MEMAHAMI PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL DAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH
( Studi Fenomenologi pada Kabupaten Poso)
Fransiskus Randa1
Santo Paledung
2(FE Universitas Atma Jaya, Makassar)
ABSTRACT
The purpose of this research was to implementated of fiscal decentralization on the public interested and to sa ho u h PAD’s ga e a o tri utio to Poso’s dis tir t de elop e t for fis al de e tralizatio duri g the years 2010- . I this resear h ased o a ase study o lo al Poso’s distri t go er e t, Ce tral Sulawesi. Data used were primary data and secondary data. Data analysis was used to financial ratio analysis, consisted of the ratio of fiscal decentralization degree, efektivas and efficiency ratio, growth rate, and contribution ratio, in addition to used by interviewing as well. Results of analysis used to ratio analysis showed that the trend of the increased occurred in the aspect of of local revenue collection efficiency when viewed from the aspect of fiscal decentralization degree, effectiveness, growth, and o tri utio , Perfor a e of Poso’s Distri t Go er e t has ot ee a le to i reased its lo al re e ue , hereas for i ter ie ed a alysis a d Poso’s poli y go er e t said that i the past fis al de e tralizatio district of Poso government has been not managed to did particularly equitable development for infrastructure in such that way the purpose for the welfare of the people have not been successful. If Poso’s Go er e t Perfor a e i pro ed i the future, the it ould ade local government more advanced and developed so that the purpose for the welfare of the people could be realized through development evenly.
Key words : Ratio of the Level of Decentralized Fiscal, Decentralized Fiscal, effectiveness Ratio, efficiency Ratio, growth Ratio, Share Ratio, District.
I. PENDAHULUAN
Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, negara Indonesia
menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Hal tersebut tercermin dari adanya dominasi
pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan di daerah, serta
kurang melibatkan stakeholders di daerah. Sistem pengaturan keuangannya adalah model
pengaturan keuangan yang sangat sentralistis dan lebih menguntungkan pemerintah pusat.
Dampak ketergantungan daerah pada pusat ini yaitu tidak berkembangnya desentralisasi
keuangan daerah dan ketidakberdayaan masyarakat lokal untuk mengatur rumah tangganya
sendiri. Sebagai langkah reformasi dan proses demokratisasi maka pada tanggal 1 Januari 2001
pemerintah secara resmi mulai melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
yang mengalami beberapa kali perubahan atas undang-undang tersebut menjadi UU No. 32
Tahun 2004, kemudian menjadi undang-undang No. 3 Tahun 2005 dan berubah lagi menjadi
undang-undang No. 8 Tahun 2005 (perubahan pertama) dan yang terakhir berubah menjadi
1
Staff Pengajar Universitas Atma Jaya Makassar 2
undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang lebih bertumbuh pada
pemerintah tingkat Kabupaten/Kota bukan di level provinsi.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam UU
No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan
kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah
Daerah dalam melakukan pemungutan guna mendapatkan sumber pendanaan bagi
pembangunan daerah.
Desentralisasi fiskal adalah salah satu pendukung pelaksanaan otonomi daerah karena
kemampuan keuangan daerah merupakan hal yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Indikator penting keberhasilan kemampuan keuangan daerah tercermin dalam
kemampuan suatu daerah dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD) nya untuk membiayai
belanja rutin dan pembangunan di daerah tersebut. Dilain pihak sebagai daerah otonom yang
tetap menjadi bagian dari negara kesatuan, daerah masih harus tetap melaksanakan tugas-tugas
yang dibebankan pemerintah pusat. Kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut tentu saja
disertai dengan pembiayaan dan bantuan dari pusat. Selain itu, mengingat kondisi dan potensi
masing-masing daerah otonomi yang berbeda-beda, pemerintah pusat juga memberikan dana
perimbangan yang bertujuan untuk melakukan pemerataan dalam pembangunan. Dengan
demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan mampu membuka peluang pemerintah daerah
untuk meningkatkan efektifitas pencapaian kesejahteraan masyarakat dan pemerataan
pembangunan, selanjutnya diharapkan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
Komponen desentralisasi fiskal yang pertama yaitu Pendapatan Asli Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang juga
merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan
memenuhi belanja daerah. PAD merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan
dalam mendapatkan dana dari pemerintah pusat (Widjaja, 1992).
Keberhasilan desentralisasi fiskal jelas mensyaratkan keberhasilan daerah dalam
mengelola potensi keuangan daerahnya. Hal ini menunjukkan PAD sebagai salah satu parameter
utama keberhasilan Pemerintah Daerah (Juwaini, 2007). PAD bisa dijadikan indikator keberhasilan
desentralisasi fiskal karena PAD merupakan penerimaan daerah yang asli berasal dari daerah itu
(2005), PAD merupakan sumber keuangan daerah yang utama. Idealnya semua pengeluaran
pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi
benar-benar mandiri (Waluyo, 2007 dalam Annisa, 2009). Seperti yang dikemukakan Adi dan
Harianto (2007) bahwa dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus
beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai
sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber PAD.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan
PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Menurut Waluyo, 2007 dalam Annisa
2009, selama tahun 2001 hingga 2003 fenomena yang terjadi di Indonesia adalah peranan PAD
terhadap pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya peranan
PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa
terjadi peningkatan peranan mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana
perimbangan (Waluyo, 2007 dalam Annisa, 2009). Selain itu menurut Mahroji, (2005) dalam
Waluyo, (2007) menunjukkan bahwa masih terjadinya ketimpangan vertikal antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia pada
tahun 2001, yang disebabkan adanya kelebihan dana penerimaan di pemerintah pusat. Dari hasil
penelitian Waluyo (2007) juga menunjukkan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia diduga lebih didominasi oleh mekanisme dana alokasi umum
yang berfungsi sebagai pemerata fiskal daerah sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah.
Yang diharapkan oleh setiap daerah otonom di masa desentralisasi fiskal ini adalah
bagaimana setiap pemerintah daerah berusaha untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
mengoptimalkan sumber-sumber Pendapatan Asli daerah-nya yang akan berpengaruh besar
terhadap pembanggunan di daerah. Namun beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki
mampu menyelenggarakan desentralisasi, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa
daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003). Dari pelaksanan desentralisasi selama
ini, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan pada umumnya
adalah ketidakcukupan sumber daya keuangan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus
mempunyai finansial yang cukup dan lebih leluasa dalam mengelola keuangannya. Dalam
pemberian wewenang itu sendiri harus meliputi kewenangan dalam mengelola keuangan
(desentralisasi fiskal). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan
Fenomena yang terjadi yang dilihat dari awal penelitian ini adalah bahwa kebijakan
yang dijalankan dalam rangka desentralisasi dan otonomi di bidang keuangan daerah lebih banyak
ditekankan pada aspek pembelanjaan dibanding aspek penerimaan. Perenan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kabupaten Poso dalam mendukung penerimaan daerah-nya masih sangat kecil,
dimana pada tahun 2008 Realisasi PAD hanya mencapai Rp 11.488.107.449,72. Salah satu
penyebab kecilnya dari PAD tersebut adalah karena minimnya objek pajak dan Retribusi daerah.
Akan tetapi pada tahun 2009 mulai ada peningkatan dari Rp 11.488.107.449,72 meningkat
menjadi Rp 26.000.603.515,82. Tetapi peningkatan tersebut masih menggambarkan tingkat
ketergantungan Kabupaten Poso yang masih sangat besar terhadap pemerintah pusat, dimana
besarnya bantuan pemerintah pusat melalui Dana Perimbangan masih sangat besar, yaitu pada
tahun 2008 sebesar Rp 440.652.422.377,00 dan pada tahun 2009 sebesar Rp 475.532.245.907,00.
Sedangkan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, Pemerintah Kabupaten Poso
diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Berikut dibawah ini Realisasi Total Pendapatan
Daerah kabupaten Poso Tahun 2008-2009.
Tabel 1.1
Realisasi Total Pendapatan Daerah Kabupaten Poso
Tahun 2008-2009
No Jenis Penerimaan 2008 2009
1 Pendapatan Asli Daerah 11.488.107.449,72 26.000.603.515,82.
2 Dana Perimbangan 440.652.422.377,00 475.532.245.907,00
3 Lain-Lain Pendapatan
Daerah Yang Sah
85.020.447.335,00 74.294.040.203,00
Jumlah 537.160.977.161,72 575.826.889.625,82
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab. Poso (data diolah 2013)
Bertolak dari latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka masalah pokok
dalam penelitiann ini adalah
1. Bagaimana pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat bermanfaat bagi masyarakat umum.
2. Bagaimana Peningkatan PAD Kabupaten Poso selama desentralisasi fiskal.
Tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat
dalam perumusan masalah diatas, yaitu :
2. Untuk melihat seberapa besar kontribusi PAD terhadap pembangunan Kabupaten Poso untuk
tahun 2010-2012 selama desentralisasi fiskal.
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan studi ilmiah untuk mengetahui dampak desentralisasi fiskal terhadap
PAD kabupaten Poso tahun 2010-2012.
b. Sebagai referensi untuk peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan analisis
desentralisasi fiskal dan PAD.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian praktis bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Poso untuk
mengevaluasi kinerjanya selama kurun waktu 2010-2012.
II. METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu, data subjek dan
data dokumenter. Data subjek, alalah data yang bersumber dari data primer yang diperoleh
dengan jalan manuskrip, pengamatan, serta wawancara langsung dengan narasumber yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini.Data dokumenter, adalah data yang bersumber dari data
sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen serta sumber-sumber lainnya berupa informasi
yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti dan mendukung pokok bahasan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Wawancara
Teknik pengumpulan data ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai
objek penelitian dengan cara tanya jawab secara mendalam dan terbuka dengan bertatap muka
langsung dengan informan/responden. Bentuk data yang diperoleh terdiri dari kutipan langsung
yang merupakan pengalaman langsung dan pengetahuan informan/responden dengan
menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara. Wawancara dilakukan dengan
beberapa informan/responden terpilih yang menguasai informasi mengenai objek penelitan.
2. Observasi
Teknik ini berupa pengamatan langsung terhadap objek penelitian guna memperoleh
Teknik ini juga digunakan untuk mengetahui relevansi antara keterangan informan/responden
dan data dengan kenyataan yang ada dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek
penelitian dan tetap mengontrol keabsahannya. Data yang didapat melalui observasi langsung
terdiri dari keterangan kegiatan berupa perilaku, tindakan, dan keseluruhan kemungkinan
interaksi interpersonal dan proses penataan yang merupakan kecenderungan dan pengalaman
manusia yang dapat diamati. Observasi dilakukan secara langsung oleh peneliti pada objek
penelitian.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan dengan megumpulkan
kebijakan-kebijakan pemerintah daerah kabupaten Poso yang menyangkut desentralisasi fiskal, selain itu
mengambil data dari Dinas Pendapatan Asli Daerah (DPAD)) dan kantor pajak.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis ini akan digunakan untuk menjelaskan data dari suatu variabel yang
diteliti dengan meggunakan rasio sebagai berikut:
1. Analisis Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal:
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah digunakan untuk
mengukur tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal,
khususnya komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan Total
Pendapatan Daerah (TPD) di kali 100% (seratus persen) . Secara umum, semakin tinggi
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal berarti semakin tinggi tingkat Kemampuan
Keuangan Daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya. Dan sebaliknya, semakin
rendah Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal berarti semakin rendah Kemampuan
Keuangan Daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya.
DDF
Keterangan:
DDF = Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
PADit = Total Pendapatan Asli Daerah pada tahun t
2. Rasio efektivitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
mereliasasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target
yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio
yang dicapai minimal sebesar 1 atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio
efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Guna memperoleh
ukuran yang lebih baik, rasio efektivitas tersebut pula diperbandingkan dengan efisiensi
yang dicapai pemerintah daerah.
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang
diterima.
Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan
dikategorikan efisiensi apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 atau dibawah 100 persen.
Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemda semakin baik.
3. Analisis Rasio Pertumbuhan
Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar angka
pertumbuhan APBD tahun anggaran tertentu dari tahun anggaran sebelumnya. Semakin
besar peningkatan rasio growth semakin besar pula APBD diperoleh. Namun dalam
penelitian ini hanya mengukur pertumbuhan PAD-nya saja, oleh karena itu semakin besar
rasio growth diperoleh semakin besar juga peningkatan PAD dari daerah yang
bersangkutan. Rasio growth juga mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai
dari suatu periode ke periode berikutnya. Rumus untuk Rasio Pertumbuhan:
Ket: PADi: Pendapatan Asli Daerah Periode i
4. Rasio Kontribusi
Rasio share merupakan rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap belanja rutin dan
belanja pembangunan daerah. rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan daerah
membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan
untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah. Semakin kecil rasio ini berarti
semakin kecil pula kontribusi Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai total belanja
daerah.
Rasio Kontribusi=
2. Analisis Pemaknaan Melalui Wawancara
Analisis ini akan digunakan untuk menguraikan mengenai evaluasi pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal terhadap PAD Kabupaten Poso dengan melihat apakah
kebijakan yang ada bisa berdampak positif kepada masyarakat.
Informan
Untuk memperkuat hasil analisis ini, maka peneliti melakukan wawancara yang
mendalam dengan informan sebagai berikut:
1. Anggota DPRD Kabupaten Poso.
2. Kepala Dinas Pendapatan Asli daerah
3. Masyarakat.
III. KERANGKA TEORI
Konsep dan Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi (otonomi daerah) adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di
daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
Pengertian ini dijelaskan lagi dengan UU No. 25 tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, desentralisasi (otonomi
daerah) merupakan suatu masyarakat lokal yang mempunyai peran signifikan dalam proses
pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan arah dan tujuan pembangunan masyarakat
lokal itu sendiri. Pada hakekatnya pelaksanaan otonomi daerah merupakan penyerahan
diikuti dengan penyerahan personil, prasarana, pembiayaan, dan dokumen. Selain itu hubungan
keuangan antara pusat dan daerah menyangkut masalah keadilan diwujudkan dengan alokasi
dana bagi hasil, sedangkan pemerataan diimplementasikan dengan dana alokasi umum dan
pembagian sumber daya yang ada. Hubungan tersebut menyangkut pembagian kekuasaan dan
pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan
unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan. Menurut Elmi, 2002 dalam Annisa,
2009 menyatakan bahwa pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi
tiga bagian besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi
fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan semestinya dilaksanakan bersama-sama
agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti peningkatan kualitas layanan publik tidak
terbengkalai.
Pengertian Desentralisasi fiskal
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi. Dengan terjadinya
pelimpahan sebagian kewenangan terhadap sumber-sumber penerimaan Negara kepada
pemerintah di daerah, diharapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin,
pelayanan publik dan meningkatkan investasi yang produktif di daerahnya. Oleh karena itu, salah
satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan ( sebagian
sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian perenan
dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.
Desentralisasi fiskal memerlukan pergeseran beberapa tanggungjawab terhadap
pendapatan dan/atau pembelanjaan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang
sangat penting menentukan desenteralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi
wewenang untuk menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain juga yang penting
adalah kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan mereka (PAD). Tetapi desentralisasi
fiskal bukanlah semata-mata peningkatan PAD saja tetapi lebih dari itu adalah kewenangan dalam
mengelola potensi daerah demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat.
Menurut Kuncoro (1995), pembangunan terutama fisik yang cukup pesat selama orde
baru merupakan akibat dari kebijakan fiskal yang sentralistis, tetapi di sisi lain ketergantungan
fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar. Kertergantungan daerah yang tinggi
terhadap pusat mengakibatkan pemerintah pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap daerah
dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan. Hal ini akan
Sehubungan dengan ini, penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerja sama dengan
Badan Litbang Depdagri untuk mengukur kemampuan daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, menggunakan nilai persentase PAD
terhadap APBD tersebut yang disebut derajat desentralisasi fiskal (DDF). Tingkat kemandirian
fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dipelajari dengan melihat besarnya Derajat
Desentralisasi Fiskal (DDF). Menurut hasil Penelitian Tim Fisipol UGM (1991) persentase
perbandingan antara PAD terhadap TPD menggunakan skala interval berikut :
Tabel 3.3
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 - 10,00 Sangat Kurang
10,01 - 20,00 Kurang
20,01 - 30,00 Cukup
30,01 - 40,00 Sedang
40,01 - 50,00 Baik
>50,00 SangatBaik
Sumber : Adhidian fajar sakti (2007: 22)
Manfaat Desentralisasi Fiskal
Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda
argumentasi. Pertama: desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi
ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok
kedua : tak satupun dari manfaat tersebut yang akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi
penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini, desentralisasi fiskal
nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan
mungkin bisa menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi
Prud’Ho e, 99 dala A isa, 9 .
(1). Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti: Bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA),
Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK.
(3). Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk pusat.
(4). Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah.
(5). Kewenangan melakukan pinjaman.
Kerugian Desentralisasi Fiskal
Menurut Kaho (2003) dalam Annisa (2007), ada beberapa kerugian yang bisa
ditimbulkan akibat desentralisasi fiskal yaitu :
(1). Karena besarnya organ-organ pemerintah maka struktur pemerintahan menjadi kompleks
sehingga mempersulit koordinasi.
(2). Keseimbangan dan keserasian antar kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
(3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat menimbulkan apa yangdisebut daerahisme.
(4). Keputusan yang diambil dapat memakan waktu yang cukup lama.
(5). Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak.
Pengertian Pendapatan Daerah
Pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau
penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran bersangkutan. Secara
umum pendapatan dalam APBD dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Halim, 2007), yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah.
2. Pendapatan Transfer
3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah. Kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis
yaitu;
1. Pajak Daerah.
Pajak daeraah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pajak. Menurut UU No 34
Tahun 2000, jenis pendapatan pajak untuk provinsi meliputi objek pendapatan, yaitu:
a. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Kendaraan di Atas Air.
e. Pajak Air di Bawah Tanah.
Sedangkan jenis pajak kabupaten/kota menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersusun dari:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g. Pajak Parkir
2.Retribusi Daerah
Ratribusi Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari retribusi daerah. Menurut
UU No 34 Tahun 2000, untuk provinsi jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan, yaitu:
a. Retribusi pelayanan kesehatan
b. Retribusi pemakaian kekayaan daerah
c. Retribusi penggantian biaya cetak peta
d. Retribusi pengujian kapal perikanan
Selanjutnya, jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan,
yaitu:
a. Retribusi pelayanan kesehatan
b. Retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan
c. Retribusi penggantian biaya cetak KTP
d. Retribusi penggantian biaya cetak akte catatan sipil
e. Retribusi pelayanan pemakaman
f. Retribusi pelayanan pengabuan mayat
g. Retribusi pelayanan parker di tepi jalan umum
h. Retribusi pelayanan pasar
i. Retribusi pengujian kendaraan bermotor
j. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran
k. Retribusi pemakaian kekayaan daerah
l. Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan
m. Retribusi jasa usaha tempat pelelangan
n. Retribusi jasa usaha terminal
p. Retribusi jasa usaha tempat penginapan
q. Retribudi jasa usaha rumah potong hewan
r. Retribusi jasa usaha pelayanan pelabuhan kapal
s. Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga
t. Retribusi jasa usaha penyebrangan di atas air
u. Retribusi jasa usaha pengolahan limbah cair
v. Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah
w. Retribusi izin mendirikan bangunan
x. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol
y. Retribusi izin gangguan
z. Retribusi izin trayek
2. Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan
daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini
dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.
b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik Negara/BUMN.
c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perushaan milik swata atau kelompok usaha
masyarakat.
3. Lain-lain PAD yang Sah
Lain-lain PAD merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik
pemerintah daerah. Pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:
a. Hasil penjualan barang milik daerah yang tidak dipisahkan.
b. Penerimaan jasa giro.
c. Pendapatan bunga.
d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.
e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan,
pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.
f. Penerimaan keuangan dari selisish nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
h. Pendapatan denda pajak.
j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.
k. Pendapatan dari pengembalian.
l. Fasilitas social dan umum.
m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Pendapatan Transfer
Pendapatan transfer merupakan pendapatan daerah yang diperoleh dari otoritas
pemerintah di atasnya. Sebelumnya munculnya (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006, kelompok pendapatan ini terbatas hanya pada dana perimbangan. Setelah
peraturan ini muncul, terdapat transfer dana lain di luar dana perimbangan. Tiga jenis pendapatan
transfer yaitu:
1. Transfer pemerintah pusat-dana perimbangan, meliputi:
a. Dana bagi hasil pajak.
b. Dana bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam).
c. Dana alokasi umum.
d. Dana alokasi khusus.
2. Transfer pemerintah pusat-lainnya, meliputi:
a. Dana otonomi khusus.
b. Dana penyesuaian.
3. Transfer pemerintah provinsi, meliputi:
a. Pendapatan bagi hasil pajak.
b. Pendapatan bagi hasil lainnya.
Lain-lain Pendapatan yang Sah
Pada peraturan sebelumnya, yaitu keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No
29 Tahun 2002, pendapatan ini dikelompokkan dalam jenis pendapatan bantuan dana
kontijensi/penyeimbang dari pemerintah dan dana darurat. Menurut Permendagri No 13 Tahun
2006, pendapatan ini dibagi menurut jenis pendapatan, yaitu:
a. Pendapatan Hibah.
b. Pendapatan dana darurat.
c. Pendapatan lainnya.
Pemberdayaan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk meningkatkan nilai guna suatu
sumber daya. Pemberdayaan PAD adalah suatu cara atau teknik penggunaan dana PAD yang
efektif dan tepat sasaran dalam program yang telah ditetapkan dalam APBD (Kaloh, 2007).
Strategi pemberdayaan PAD dalam penganggaran daerah merupakan kategori kebijakan
anggaran yang disusun berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD. Perumusan strategi dan
prioritas PAD dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh
daerah dalam peningkatan PAD. Strategi peningkatan diarahkan pada upaya pencapaian target
kinerja berdasarkan kemampuan sumber daya (manusia, dana dan teknologi) yang tersedia serta
kondisi lingkungan. Strategi mengintegrasikan semua sumber daya yang tersedia untuk
meningkatkan potensi PAD serta mengatasi kendala yang dihadapi. Strategi pemberdayaan PAD
(Kaloh, 2007):
1. Sumber dan sasaran penggunaan PAD diketahui dengan jelas, sehingga mudah untuk ditelusuri
penggunaanya.
2. Memaksimalkan penggunaan PAD pada pos-pos anggaran.
3. Meningkatkan kinerja atau kemampuan sumber daya (manusia, dana dan teknologi)
pendukung PAD, sehingga PAD efektif penggunaannya.
Strategi peningkatan PAD:
1. Perencanaan program dan kegiatan peningkatan PAD. Mengembangkan potensi-potensi
sumber PAD yang sudah ada dan memaksimalkan.
2. Memanfaatkan peluang sumber-sumber PAD.
3. Mengatasi kelemahan dan tantangan daerah dalam menigkatkan potensi PAD.
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Tentang Kabupaten Poso
Kabupaten Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ibukota
Kabupaten Poso adalah Poso. Kabupaten Poso dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1959 (Lembaran Negara Rebublik Indonesia Tahun 1959 Nomor: 74 Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor: 1822). Kabupaten Poso saat ini dipimpin oleh seorang bupati yakni Bapa Drs.
Piet Inkiriwang MM dengan masa jabatan dua periode.
Keadaan Geografi
Kabupaten Poso terletak dipesisir selatan teluk Tomoni, erada pada koordi at ˚
Poso sebelah utara berbatasan dengan kabupaten parigi Moutong dan Teluk Tomoni, sebelah
timur berbatasan dengan kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Morowali, sebelah selatan
berbatasa dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Sigi.
Kondisi Ekonomi
Terdapat tiga sektor ekonomi yang memegang perenan penting dalam perekonomian
kabupaten Poso yaitu sektor Pertanian, Perdaganggan dan jasa. Sektor pertanian yang
mendominasi perekonomian Kabupaten Poso, dimana pada tahun 2010 memberikan kontribusi
sebesar 45,73% dari total PDRB. Kontribusi sektor ini terlihat mengalami peningkatan dari tahun
2009 yang hanya 44,81%. Untuk subsektor perkebunan terdapat tiga komoditas yang menonjol
yaitu kakao, kelapa ( kopra), cengkeh, kopi, dan vanili. Kebijakan investasi di sub sektor
perkebunan adalah berupa usaha perkebunan dengan syarat kemitraan dengan pola perkebunan
inti rakyat, maupun pola kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan dan
masyarakat. Sektor terbesar kedua adalah perdagangan , dimana memberikan kontribusi sebesar
14,85% dan disusul sektor jasa sebesar 11,24%, dari kedua sektor ini jika dibandingkan pada tahun
sebelumnya terus-menerus mengalami peningkatan.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Poso tahun 2010 mencapai 16,32 persen,
peningkatan tersebut disebabkan oleh bertambahnya nilai bruto masing-masing sub sektornya,
antara lain sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub
sektor kehutanan dan sub sektor perikanan. Sementara itu, sub sektor penggalian mencapai
pertumbuhan sebesar 18,42 persen, sedangkan untuk sektor industri pengolahan mengalami
kontraksi sebesar 10,90 persen. Sektor listrik dan air bersih pertumbuhan pada tahun 2010
mencapai 19,28 persen, pertumbuhan ini naik secara signifikan dari tahun 2009 yaitu 9,11 persen.
Pertumbuhan tersebut paling besar dipengaruhi oleh pertumbuhan sub sektor listrik dan sub
sektor air bersih.
Untuk sektor bangunan pertumbuhannya sebesar 17,18 persen, pertumbuhan sektor
ini sebagian besar karena adanya pembangunan PLTA di daerah Sulewana, pertumbuhan sektor
perdagangan, hotel, Restoran, sebesar 14,38 persen. Pertumbuhan sektor angkutan dan
komunikasi cukup besar yaitu 23,14 persen, ini dipengaruhi oleh pertumbuhan sub sektor
Perkembangan Total Pendapatan Daerah
Data realisasi pendapatan daerah Pemerintahan Kabupaten Poso dari tahun 2010
sampai 2012 yang telah diperoleh peneliti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.6
Realisasi Total Pendapatan Daerah Kabupaten Poso
Tahun 2010-2012
No Jenis
Penerimaan
2010 2011 2012
1 Pendapatan
Asli Daerah
18.920.307.993,74 25.439.012.471,41 26.227.934.460,06
2 Dana
Perimbangan
429.781.199.701,00 525.463.131.041,00 603.141.171.905,00
3 Lain-Lain
Pendapatan
Daerah Yang
Sah
73.227.996.307,00 146.513.626.819,50 92.492.508.431,50
Jumlah 521.929.504.001,74 697.415.770.331,91 721.861.614.796,56
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab. Poso (data diolah 2013)
Total Pendapatan Daerah (TPD) merupakan total pendapatan yang diterima daerah
yang berasal dari daerahnya sendiri ataupun dari luar seperti bantuan pemerintah pusat ataupun
Provinsi. Total Pendapatan Daerah pemerintah Kabupaten Poso cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunya. Hal ini dapat dilihat pada nilai TPD Kabupaten Poso pada tahun 2010
yaitu Rp 521.929.504.001,74, yang kemudian pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp
175.486.266.330,17 sehingga menjadi Rp 697.415.770.331,91 sedangkan pada tahun 2012
mengalami peningkatan sebesar Rp 24.445.844.464,65 sehingga Total Pendapatan Daerah
Kabupaten Poso pada tahun 2012 adalah Rp 721.861.614.796,56.
Analisis Hasil Penelitian
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah digunakan untuk mengukur
tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah (TPD) di kali 100% (seratus
persen) . Secara umum, semakin tinggi Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal berarti semakin
tinggi tingkat Kemampuan Keuangan Daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya. Dan
sebaliknya, semakin rendah Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal berarti semakin rendah
Kemampuan Keuangan Daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya.
Dari Hasil perhitungan Derajat Desentralisasi Fiskal tersebut dapat dilihat bahwa
tingkat kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Poso dalam melaksanakan otonomi daerah
untuk tahun 2010-2012 dalam hal peningkatan Pendapatan Asli Daerah masih sangat kurang
karena hanya memberikan kontribusi rata-rata sebesar 3,63% dari total pendapatan daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa tiga tahun terakhir kemampuan pemerintah daerah
Kabupaten Poso untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah-nya hampir sama untuk setiap
tahunnya. Dengan kontribusi yang sangat minim. Minimnya PAD yang dihasilkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Poso karena kurangnya keseriusan pemerintah daerah Kab. Poso dalam hal
pemungutan pajak dan retribusi yang belum optimal dan kesadaran masyarakat dalam membayar
pajaknya masih kurang. Selain itu juga kurangnya pembekalan kepada personil penagihan yang
langsung turun ke lapangan untuk melakukan penagihan langsung.
Hal ini dibuktikan langsung melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan
kepala dinas pendapatan daerah bapak Octovianus Lebang, SE yang menyatakan:
Mi i ya PAD ya g dihasilka oleh Pe eri tah Daerah Ka upate Poso, salah satu
penyebab selama ini adalah kurangnya pembekalan kepada para personil yang turun
langsung ke lapangan untuk melakukan penagihan. Namun saya sebagai kepala dinas
pendapatan Daerah tetap optimis untuk dapat meningkatkan PAD Kabupaten Poso
untuk tahun-tahun berikutnya dengan berbagai upaya, salah satunya adalah saya
berupaya melakukan pembenahan personil secara keseluruhan, tidak terkecuali
terhadap para petugas yang turun dilapangan untuk melakukan Penagihan. Semua ini
saya e ahi, saya i gi se ua perso il solit dala ekerja.
Rasio Efektivitas
Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target
yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar satu atau 100 persen. Namun
Tabel 4.7.2
Target dan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Poso
Tahun 2010-2012
Tahun Target Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah
Realisasi Pendapatan
Asli Daerah
Hasil
2010
2011
2012
24..383.367.200,00
27.822.037.499,00
29.906.351.654,00
18.920.307.993,74
25.439.012.471,41
26.227.934.460,06
77,59%
91,43%
87,70%
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab Poso ( data diolah 2013)
Dari perhitungan terlihat bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan
Pendapatan Asli Daerah belum efektif. Hal ini terlihat dari tahun 2010 realisasinya hanya sebesar
Rp 18.920.307.993,74 dan targetnya Rp 24.383.367.200,00, terlihat dari persentase perbandingan
sebesar 77,59%. Tahun 2011 realisasinya Rp 25.439.012.471,41 dan targetnya Rp
27.822.037.499,00 terlihat dari persentase perbandingan sebesar 91,43%, dan untuk Tahun 2012
realisasinya sebesar Rp 26.227.934.460,06 dan targetnya sebesar Rp 29.906.351.654,00, terlihat
dari persentase perbandingan sebesar 87,70%.
Hal ini dibuktikan dari hasi wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti dengan
Kepala Bidang Pengawasan dan Pembinaan Pendapatan Daerah Kabupaten Poso mengatakan
bahwa:
Efektifitas Pe dapata Asli Daerah Ka . Poso pada tahu -2012 tidak efektif. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak selain itu
juga pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak belum optimal, sehingga
pendapata daerah e gala i pe uru a dari target ya g dire a aka .
Jadi data diatas dapat disimpulkan bahwa rasio efektifitas Kab. Poso pada tahun
2010-2012 kemampuan daerah dalam menjalankan tugas belum efektif karena persentase rasio
efektifitasnya belum mencapai maksimal 100% atau dibawah 100%.
Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.
apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisiensi
berarti kinerja pemda semakin baik. Untuk itu, pemda perlu menghitung secara cermat beberapa
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya
sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisiensi atau
tidak.
Tabel 4.7.3
Realisasi Penerimaan Dan Biaya Pemungutan PAD
Kabupaten Poso
Tahun 20010-2012
Tahun Realisasi Pendapatan Asli
Daerah
Biaya Yang
Dikeluarkan untuk
memungut PAD
Hasil
2010
2011
2012
18.920.307.993,74
25.439.012.471,41
26.227.934.460,06
215.625.000,00
229.662.230,70
236.652.000,00
1,13%
0,90%
0,90%
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab Poso ( data diolah 2013)
Dari perhitungan rasio efisiensi pada tahun 2010 dapat dikatakan sangat efisien karena
pengeluaran hanya sebesar Rp 215.625.000,00 dan pendapatannya sebesar Rp 18.920.307.993,74
persentase rasio efisiensinya sebesar 1,13%, rasio efisiensi pada tahun 2011 sangat efisien karena
pengeluaran hanya sebesar Rp 229.662.230,70 dan pendapatannya sebesar Rp 25.439.012.471,41
persentase rasio efisiensinya 0,90%, dan untuk tahun 2012 sama halnya dengan yang terjadi pada
tahun 2010-2011 pemungutan PAD sangat efisien dengan pengeluaran sebesar Rp 236.652.000,00
dan pendapatannya sebesar Rp 26 227.934.460,06 persentase rasio efisiensinya 0,90%.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti dengan
Kepala Bidang Pengawasan dan Pembinaan Pendapatan Daerah Kabupaten Poso mengatakan
bahwa:
Ki erja Pe eri tah Daerah Ka . Poso sudah isa dikataka ukup aik. Hal i i
dikarenakan sudah adanya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah Kab. Poso
dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Apabila persentase rasio diatas 50%
maka dikatakan tidak efisiensi dan apabila dibawah 50% maka kinerja pemerintah
Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010-2012 kinerja
Pemerintah Daerah Kab. Poso sudah sangat baik, sebab rasio efisiensi berada dibawah 50%. Hal
ini dapat dikatakan kegiatan pemungutan pendapatan daerah pada tahun 2010 dan 2012 sudah
efisien, karena biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya
lebih kecil daripada realisasi pendapatan yang diterima.
Rasio Pertumbuhan
Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar angka pertumbuhan
APBD tahun anggaran tertentu dari tahun anggaran sebelumnya. Semakin besar peningkatan rasio
growth semakin besar pula APBD diperoleh. Namun dalam penelitian ini hanya mengukur
pertumbuhan PAD-nya saja, oleh karena itu semakin besar rasio growth diperoleh semakin besar
juga peningkatan PAD dari daerah yang bersangkutan. Rasio growth juga mengukur seberapa
besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari suatu periode ke periode berikutnya. Berikut ini realisasi
penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kab. Poso Tahun 2010-2012.
Tabel 4.7.4
Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Poso
Tahun 2010-2012
No Keterangan Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012
1 Pendapatan Asli
Daerah
18.920.307.993,74 25.439.012.471,41 26.227.934.460,06
2 Pertumbuhan
PAD
- 34.45% 3.10%
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab Poso ( data diolah 2013)
Hasil perhitungan untuk rasio pertumbuhan menunjukkan bahwa peningkatan PAD Kabupaten
Poso terus mengalami peningkatan namun peningkatan tersebut tidak signifikan karena nilai
peningkatannya tidak jauh dari nilai tahun sebelumnya.
Hasil perhitungan tersebut semakin dikuatkan dengan hasil wawanacara yang
dilakukan oleh peneliti dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Poso yang
mengatakan:
Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kab. Poso dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2012 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun tetapi peningkatan yang diberikan
tidak signifikan karena nilai yang diberikan tidak jauh berbeda dari nilai tahun
Poso dalam hal pemungutan pajak dan retribusi yang belum optimal dan kesadaran
asyarakat dala e ayar pajak ya asih kura g .
Rasio Kontribusi
Rasio share merupakan rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap belanja rutin dan
belanja pembangunan daerah. rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan daerah membiayai
kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas
kemampuan keuangan daerah. Semakin kecil rasio ini berarti semakin kecil pula kontribusi
Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai total belanja daerah.
Tabel 4.7.5
Tingkat Kontribusi PAD terhadap Belanja Daerah Kab Poso
Tahun 2010-2012
Tahun Realisasi Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Total Belanja Share
2010
2011
2012
18.920.307.993,74
25.439.012.471,41
26.227.934.460,06
613.422.877.768,00
554.706.962.900,00
747.306.931.216,81
3.08%
4,59%
3,51%
Sumber : Bidang Penagihan dan Penyuluhan Dipenda Kab Poso ( data diolah 2013)
Kesimpulan yang bisa diambil dari perhitungan tersebut adalah bahwa Peningkatan
Kontribusi PAD Kabupaten Poso terhadap belanja daerah belum dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membiayai belanja daerah, terlihat bahwa peningkatan yang diberikan masih sangat kecil,
oleh karena itu pemerintah harus melihat potensi-potensi yang ada untuk dikembangkan
sehingga bisa lebih meningkatkan PAD Kab. Poso.
Perhitungan tersebut juga didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya dengan Kabid Pengawasan dan Pembinaan Pendapatan Daerah Kabupaten
Poso yang menyatakan bahwa:
Ko tri usi Pe dapata Asli Daerah terhadap A ggara Pe dapata Bela ja Daerah
Kab. Poso sudah memberikan kontribusi, tapi masih sangat kecil dari target yang
diinginkan dan pemerintah daerah masih kurang mampu dalam menggali
daerah karena pemerintah berusaha untuk melakukan perubahan atas tata cara
pemungutan pajak dan retribusi daerah yang lebih e gu tu gka asyarakat .
Analisis Pemaknaan Melalui Wawancara dan Kebijakan Daerah Kabupaten Poso
Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di salah satu kantor pemerintah daerah
Kabupaten Poso yaitu DPRD Kabuapten Poso. Peneliti telah memperoleh data berupa
kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Daerah-nya Khususnya Pendapatan
Asli Daerah Kabupaten Poso dan data juga diperoleh melalui wawancara dengan anggota DPRD
Kabupaten Poso yakni Bapak Pdt. Yames Salahrupa, S.Th selaku ketua Fraksi Bhineka Tunggal Ika.
Berikut Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dalam meningkatkan
Pendapatan Daerah-nya. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Poso Tahun 2011 dan Peraturan
Bupati Poso Nomor 49 Tahun 2011 tentang penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah maka Pemerintah Daerah Kabupaten Poso membuat kebijakan-kebijakan dalam
pengelolaan Pendapatan Daerah. Adapun kebijakan umum Pendapatan Daerah adalah rangka
meningkatkan efektivitas dan optimalisasi sumber-sumber Pendapatan Daerah melalui:
Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Daerah
Pemerintah Kabupaten Poso dalam melakukan upaya optimalisasi pengelolaan
pendapatan daerah khususnya yang berasal dari PAD, yaitu dengan melakukan intensifikasi dan
ekstensifikasi pendapatan daerah. Upaya ini dilakukan melalui penyederhanaan sistem dan
prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah. Selain itu dilakukan pula upaya
penegakkan dalam rangka meningkatkan ketaatan wajib pajak dan wajib retribusi daerah serta
meningkatkan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan Pendapatan Asli daerah. Sebagai
upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dilaksanakan dengan semakin diinsentifkannya
pemungutan pajak dan retribusi baru, namun diupayakan tidak menimbulkan kontraksi pada
perekonomian daerah maupun pelayanan kepada masyarakat. Selain itu upaya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah dilakukan dengan upaya-upaya penyehatan dan peningkatan kinerja
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai sumber pendapatan daerah, serta menjalin kerjasama
dengan mitra usaha dalam pengembangan potensi daerah (sumber: DPRD Kab. Poso).
Kebijakan tersebut didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dalam Pembuatan kebijakan Desentralisasi
Fiskal lebih mengutamakan kepentingan masyarakat Kabupaten Poso sehingga dengan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dapat berdampak positif terhadap
pemerintah daerah dalam hal peningkatan PAD dan berdampak baik pula terhadap
kepentingan masyarakat Kabupaten Poso. Hal ini diwujudkan dengan memudahkan
cara pemungutan pajak sehingga masyarakat lebih mudah memahami tata cara
pe ayara pajak.
Dampak positif juga dirasakan oleh masyarakat dari adanya kebijakan untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Masyarakat lebih mudah memahami tata cara
pembayaran pajak dan pelaporannya karena petugas pajak melakukan sosialisasi langsung kepada
masyarakat. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti
dengan salah satu masyarakat yang melakukan usaha penggalian golongan c yakni Bapak Alpius
Ra go’o ya g e gataka ahwa:
Me urut saya Pe eri tah Daerah Ka upate Poso dala pelaksa aa tugas ya
sudah cukup baik karena saya selaku masyarakat biasa belum memahami bagaimana
pelaporan pajak yang harus saya sampaikan kepada daerah. Dengan adanya program
pemerintah yang baru, saya selaku pengusaha merasa dimudahkan karena pemerintah
datang langsung ke rumah saya untuk mensosialisasikan tata cara pelaporan dan
pembayarannya dan pembayarannya pun dilakukan langsung di rumah saya atau
istilah ya je put ola .
Selama penerapan desentralisasi fiskal di Kabupaten Poso khusunya untuk tiga tahun
terakhir dari tahun 2010-2012 pelaksanaannya sudah cukup baik karena ada upaya-upaya
pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Daerah melalui kebijakan-kebijakan yang di
buat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Namun dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
yang menyangkut peningkatan Pendapatan Asli Daerah masih banyak menemui kendala. Hal ini
dikuatkan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu anggota DPRD
Kabupaten Poso yang berkaitan langsung dengan pembuatan kebijakan tersebut yang
menyatakan bahwa:
Pe eri tah Daerah Ka upate Poso dala e erapka dese tralisasi fiskal
khusunya pengelolaan pendapatan daerah masih banyak menemui kendala seperti
selain itu ada juga lain-lain pendapatan yang sah, dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan. yang menyebabkan ketiganya tidak mencapai terget adalah
tidak adanya pengawasan dari dinas teknis dalam mengawasi keluar masuk kendaraan
di area pertambangan dan karena pendapatan denda pajak dan sumbangan pihak
ketiga tidak lagi dipu gut
Implementasi Desentalisasi Fiskal Kepada masyarakat
Dimasa desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dituntut untuk bagaimana
mengelolasumber-sumber Pendapatan Asli Daerah untuk digunakan dalam pembiayaan
pembangunan di daerah guna untuk kesejahtraan rakyat. Kabupaten Poso merupakan salah satu
kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah, yang melaksanakan otonomi daerah atau
desentralisasi fiskal.
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso berupaya untuk melakukan pembangunan
disegala bidang yaitu pelayanan umum pemerintahan, ketertiban dan keamanan, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan,
dan perlindungan sosial (sumber DPRD Kab. Poso). Pembangunan tersebut sesuai dengan visi
yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Poso yakni terwujudnya Kabupaten Poso
yang aman, damai, sejahtera, Maju, dan berdaya saing. Visi ini diungkapkan oleh salah satu
angota DPRD Kabupaten Poso pada saat peneliti melakukan wawancara.
Dimasa desentralisasi fiskal ini, tujuan yang diharapkan untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah belum tercapai secara optimal sehingga menghambat pembangunan di
daerah. Tidak terlaksananya pembangunan secara merata di daerah dikarenakan dana yang
tersedia tidak cukup untuk membiayai pembangunan secara keseluruhan. Ini terbukti dari hasil
realisasi pendapatan daerah tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa PAD Kab. Poso lebih kecil
dibandingkan dengan dana dari pihak lain yang kontribusinya untuk pembangunan lebih besar.
Pembangunan yang kurang merata dibuktikan oleh peneliti melalui pengamatan
langsung di daerah Kecamatan Pamona Selatan tepatnya di Desa Owini, infrastuktur yang sangat
buruk menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat terutama bagi wisatawaan luar negeri
karena infrastruktur tersebut merupakan jalan pariwisata yang menghubungkan langsung dengan
daerah wisata di bagian Tentena.
Selain itu beberapa desa yang ada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah masih terisolir.
sehingga saat ini masih merasa hidup di zaman penjajahan, hal ini tentu terkait dengan sarana
transportasi darat yang belum diambil serius oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Poso.
Dengan adanya permasalahan tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Poso
seharusnya lebih berupaya keras untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya melalui upaya
evaluasi diri dengan melihat apa yang menjadi kelemahan dari tahun sebelumnya sehingga untuk
tahun selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten Poso lebih mudah untuk menjalankan
program-program yang telah disusun. Selain itu juga usaha mengoptimalisasi Sumber Daya Alam dan
Sumber Daya Manusia merupakan hal yang paling penting untuk dapat meningkatkan Pendapatan
Daerah dan juga dari semuanya itu kebijakan yang diambil harus mengutamakan kepentingan
masyarakat sehingga dalam penerapannya masyarakat lebih mudah untuk memahami dan
melaksanakannya.
5.KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut
ini, pertama,Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Poso dari tahun 2010-2012 terus
mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut tidak berkontribusi besar terhadap
pembangunan di daerah. Kedua, Perkembangan Pendapatan Daerah Kabupaten Poso untuk
tahun 2010-2012 terus juga mengalami peningkatan namun peningkatan tersebut lebih
didominasi oleh bantuan dari pihak eksternal (Provinsi dan Pusat), hal ini terlihat bahwa
pemerintah daerah Kabupaten Poso masih sangat mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat.
Ketiga, Analisis rasio derajat desentralisasi fiskal tidak lebih dari 10%, hal ini menggambarkan
bahwa pemerintah Kabupaten Poso belum mampu untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah-nya guna membiayai kegiatan pembangunan daerahDaerah-nya secara mandiri. Keempat, Dari hasil
perhitungan rasio efektivitas, menggambarkan bahwa kemampuan Pemerintah Daerah
Kabupaten Poso dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah-nya belum efektif karena dari hasil
perhitungan belum mencapai 100 persen. Kelima, Dari hasil perhitungan rasio efisiensi pada
tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dalam melakukan
pemungutan PAD-nya sudah sangat efisien karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari PAD
yang terrealisasikan atau rasio efisiensi berada di bawah 50%. Keenam, Berdasarkan perhitungan
rasio pertumbuhan dari tahun 2010-2012 pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Poso
pemerintah, pembangunan, dan pelayanan publik, hal ini terlihat pada tahun 2011 pertumbuhan
PAD sebesar 34,45% dan mengalami penurunan pada tahun 2012 sebesar 30,10%. Ketujuh, Dari
hasil perhitungan rasio kontribusi dapat dilihat bahwa dari keseluruhan penerimaan daerah
Kabupaten Poso, PAD hanya mampu memberikan kontribusi antara 3,08% sampai 4,59% dalam
membiayai belanja daerah selama tiga tahun. Hal ini menunjukkan bahwa PAD Kabupaten Poso
belum mampu sepenuhnya dapat diandalkan untuk membiayai belanja daerah. Kedelapan, Dari
hasil analisis pemaknaan melalui wawancara dan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso
dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Poso sudah melakukan upaya-upaya
dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah-nya melalui kebijakan-kebijakan yang dibaut oleh
PEMDA (Pemerintah Daerah) yakni melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Kesembilan,
Implementasi desentralisasi fiskal kepada masyarakat Kabupaten Poso dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Poso belum berhasil untuk melakukan pembangunan secara merata khusunya untuk
infrastruktur yang masih sangat memprihatinkan di beberapa desa di Kabupaten Poso.
DAFTAR PUSTAKA
Adhidian F. S. (2007).
Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah Dalam
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Sukoharjo
. Surakarta
Universitas
Abimanyu, A., Purwiyanto., Makmun., Subardi, E., dan Kemu, Z. S. (2005).
Evaluasi
Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja Sama Internasional.
Alfitara, S. (2007).
Desentralisasi dan otonomi daerah
. Jakarta: LIPI Press
.Dian, E. (2012).
Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD Kabupaten
Mamasa
. Skripsi Universitas Atma Jaya Makassar.
Dorani, A. (2011).
Analisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap PDRB di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008.
Skripsi Universitas
Diponegoro Semarang.
Halim, A. (2007).
Akuntansi keuangan daerah
. Jakarta: Salemba Empat.
Kaloh, J. (2007). Mencari bentuk otonomi daerah. Suatu solusi menjawab kebutuhan
lokan dan tantangan global.
Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah Tahun 2011, DPRD: Kabupaten Poso
Keputusan menteri dalam negeri (Kepmendagri) Nomor 13 Tahun 2006.
Khusaini, M. (2006).
Ekonomi publik desentralisasi fiskal dan pembangunan di daerah
.
Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Litvack, J. (1999).
Decentralization,
washington, DC.
Word Bank.
Mudrajad, K. (2004).
Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang
. Jakarta: Penerbit Erlangga
Pabanga, A. (2012).
Analisis kinerja keuangan pada pemerintah daerah Kabupaten Toraja
Utara.
Skripsi Universitas Atma Jaya Makassar.
Paron, A. ( 2009).
Analisis Kemandirian Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Konteks
Desentralisasi Fiskal.
Skripsi Universitas Atma Jaya Makassar.
Peraturan Bupati Poso Nomor 49 Tahun 2011 tentang Penjabaran Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Puspa, D. (2009). Fenomena Ilusi Fiskal Dalam Kinerja Anggaran Pemerintah Daerah.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia.
Volume 6, Juni 2009.
Retrieved from
http://hukumindustri.wordpress.com
Retrieved from
http://majalahpendidikan.com
Sanusi, A. (2011).
Metodologi Penelitian Bisnis
. Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo, J. (2007).
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia
. Disampaikan dalam Seminar
Paralel Session 1 A : Wisma Makara UI, Depok.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi dan Desentralisasi Fiskal.
UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah.