• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DOSE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI KASUS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DOSE"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

STUDI KASUS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

DAMPAK MISINTERPRETASI DALAM KOMUNIKASI SEORANG MAHASISWA DAN DOSEN DARI AMERIKA SERIKAT DI KAMPUS FBS UNM

Komunikasi antarbudaya (KAB) pada prinsipnya merupakan komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya (bangsa, agama, ras, suku, etnik, jabatan, sosio ek onomi, faktor demografi dan lainnya). Sebagai insan sosial, manusia dalam kehidupan sehariannya tidak terlepas dari aktifitas komunikasi dengan orang lain baik dengan orang dari budaya yang sama (similar cultural background) maupun dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda (different cultural background) yang biasa dipadankan dengan model komunikasi KAB. Dalam studi kasus ini, penulis akan mengurai sebuah fenomona KAB yang terjadi antara seorang mahasiswa di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (FBS UNM) dan seorang dosen Bahasa Inggris (Native Speaker) yang berasal dari Amerika Serikat pada tahun 2010. Studi ini fokus pada perbedaan interpretasi dalam komunikasi antarbudaya antara dua komunikator diatas dengan menggunakan variabel komunikasi verbal sebagai pisau analisisnya.

A. Deskripsi Kasus

Dalam studi kasus ini terdapat dua rangkaian peristiwa misinterpretasi KAB antara seorang mahasiswa yang juga menjabat sebagai Presiden BEM FBS UNM bernama Nahrul dengan seorang dosen terbang Bahasa Inggris yang berasal dari Amerika Serikat Yang bernama Mr. Mark.

1. Kasus pertama

` Sebagai seorang mahasiswa yang sadar akan fungsi sosial kontrolnya, Nahrul sering terlibat dalam aksi demonstrasi menyangkut isu-isu sentral baik internal maupun eksternal kampus. layaknya seorang Presiden BEM, Nahrul selalu menjadi orator aksi dan terbiasa mesuk ke kelas-kelas untuk meminta izin kepada dosen untuk mengsosialisasikan isu mengajak taman-teman mahasiswa ikut bergabung dalam aksi. Seperti biasa, pada hari itu Nahrul bersama beberapa jajaran pengurusnya bermaksud masuk ke kelas Mr. Mark untuk mengsosialisasikan aksinya.

Nahrul : Excuse Sir, can I have a second to do my socialization?

Mr. Mark : Sorry, I’m teaching now, let me finish my class. (sambil menutup pintu kelas) Nahrul :(Sambil mengetuk pintu), Sir we are always allowed to do this even by the

Dean.

(2)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

Sontak Nahrul dan temannya geram mendengar Mr. Mark mengucpkan kata “This is fucking University” dan memaksa Mr. Mark untuk menarik kata-katanya.

2. Kasus kedua

`Setelah kasus pertama terjadi dan Mr. Mark meminta maaf atas kata-katanya, beberapa minggu kemudian Mr. Mark kembali mengajar namun tanpa izin ketua jurusan dia memindahkan kelasnya ke ruang Pusat Bahasa UNM yang letaknya cukup jauh dari kampus. Merasa tidak nyaman dengan pemindahan kelas yang dilakukan Mr. Mark, para mahasiswa yang ikut mata pelajarannya pun mendesak pengurus BEM untuk mengomunikasikan segera pengembalian ruang kuliah. Selain terbebani masalah waktu dan jarak tempuh, para mahasiswa juga mengeluhkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk mengikuti kelas Mr. Mark yang memang sengaja memindahkan kelas untuk menghindari interaksi dengan pengurus BEM FBS UNM. Setelah sejumlah keluhan diterima oleh pengurus BEM, Nahrul hanya menyarankan agar para mahasiswa berkomunikasi dengan baik dengan Mr. Mark dan membujuknya untuk kembali mengajar di ruang kuliah yang ada di kampus. Singkat cerita, suatu hari Nahrul mendapat kabar melalui pesan singkat dari mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah Mr. Mark bahwa Mr. Mark mengolok- olok para aktifis dengan mengatakan “when they are speech loudly, they’ re just like dogs”. Nahrul dan beberapa pengurus BEM pun lekas mendatangi ruang kelas Mr. Mark dan terjadilah perdebatan alot mengenai kabar penghinaan itu. Perlahan Mr. Mark mengakui kesalahannya bahwa dia tidak bermaksud untuk menghina, “it was just slip of tongue” Ungkap Mr. Mark untuk membela diri. Sebelum meninggalkan ruangan, Nahrul kemudian juga berpikir menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa mengenai pemindahan ruang kelas. Sambil menunggangi sepeda motornya, Nahrul mengingatkan Mr. Mark untuk memindahkan kembali ruang kelas sebagaimna digambarkan dalam dialog berikut:

Nahrul : In the name of students, I ask you to displace your class at campus. Mr. Mark : What if I don’t? (sambil mengankat bahunya)

Nahrul : (Sambil menarik gas motornya) we will see…?

Mr. Mark : WHAT..???! ( dengan memperlihatkan ekspresi bingun) Dampak

(3)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

Berita itu sungguh mengejutkan kalangan civitas akademika di UNM terutama Nahrul, mahasiswa Sastra Inggris semester enam yang dalam hal ini digugat telah melakukan ancaman psikologis terhadap Mr. Mark.

Dua rentetan kasus diatas merupakan fenomena Komunikasi Antarbudaya yang menurut proses dan dampaknya dapat dikategorikan sebagai pola KAB yang kurang efektif. Berikut adalah analisis yang lebih mendalam terkait fenomena faktual diatas.

B. Analisis Kasus

Dalam studi kasus ini, penulis akan menganalisis pertukaran symbol verbal dalam komunikasi yang terjadi antara dua komunikator (Nahrul dan MR. Mark) dengan cara memahami dan melacak perhubungan kultural makna kata yang diucapkan baik secara denotatif maupun secara konotatif.

Dua kasus diatas adalah satu kesatuan alur dalam konstruksi peristiwa dimana terdapat dua sekuen percakapan yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini.

1. Percakapan pertama

Nahrul : Excuse Sir, can I have a second to do my socialization?

Mr. Mark : Sorry, I’m teaching now, let me finish my class. (sambil menutup pintu kelas) Nahrul :(Sambil mengetuk pintu), Sir we are always allowed to do this even by the

Dean.

Mr. Mark : I told you I’m teaching now, wha.., thi..,, this is fucking university..!!

Pada alur percakapan pertama penggunaan kata yang memiliki potensi Misinterpretasi KAB ada pada kalimat yang dicetak tebal khususnya penggunaan kata “fucking”. Kata itu pulalah yang menjadi pemicu (trigger) atas timbulnya konflik makna antara kedua komunikator.

a. Denotative meaning

Menurut kamus Cambridge Advanced arti dari “fucking” ialah an adjective or adverb to emphasize statement, especially an angry one. Jadi, secara denotative, “fucking” tidak secara explisit merepresentasikan kata apapun melainkan sekedar penekanan kata yang disertai emosi yang tinggi dalam hal ini Mr. Mark menunjukkan kemarahan atau kekecewaaannya terhadap situasi yang sedang terjadi di kampus dia mengajar yaitu Universitas Negeri Makassar. Maksud penggunaaan terma “fucking” juga dapat dilihat dalam kalimat- kalimat berikut:

 What a fucking waste of time!  He’s fucking idiot.

(4)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

Dengan demikian, jika melihat dari sudut pandang arti denotatif, Komunikasi antara Nahrul dan Mr. Mark tidak semestinya menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.

b. Connotative meaning

KAB diatas akan berbeda jika arti kalimat tersebut dipahami secara konotatif. Makna konotatif ditentukan secara kultural dimana komunikasi yang terjadi antara Nahrul dan Mr. Mark ada perbedaan latar belakang kebudayaan yang sangat signifikan. Orang Amerika (Westerners) relative sudah terbiasa menggunakan beberapa istilah bahasa (ideom) dalam komunikasi sehari-hari, meski bahasa itu tidak tergolong formal mereka juga cenderung abai terhadap klasifikasi itu. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan perilaku komunikasi yang cenderung bersifat Directly Speaking sehingga penggunaan bahasa mereka tidak jarang disengaja untuk menunjukkan secara eplisit kualitas emosi yang menyertainya.

Mr. Mark dengan “facking”nya secara kontekstual bermaksud menunjukkan kesesalannya terhadad situasi kampus dimana dia tidak senang diliputi oleh situasi demonstrasi. Apa lagi Mr. Mark diketahui sangat tidak suka jika aktifitas kelasnya harus tergangu untuk sementara hanya karena ada sekelompok orang yang menawarkan audiensi isu. Sedangkan Perspektif keindonesiaan (Nahrul dkk.) yang juga dipengaruhi oleh konsep nilai yang berlaku dibudaya etnis bugis. Pemandangan seorang warga Amerika Serikat yang sedang mengatakan “this is fucking university” tentu terasa lebih sensitive dan syarat akan penghinaan. Pertama, dari aspek pesannya, image kata “fucking” dikalangan terdidik terlebih mahasiswa Program studi Sastra Inggris seperti Nahrul tidak merepresentasikan konsep ilmiah apapun apalagi kesopanan. Kata “fucking” lebih diasosiasikan terhadap hal-hal yang seronok, hina, dan mencelakakan. Tentu sulit bagi seorang mahasiswa untuk menerima penggunaan kata itu di lingkungan kampus terlebih jika dilekatkan dengan almamaternya “university”. Kedua, dari aspek sumbernya, Mr. Mark dalam kapasitasnya sebagai pengajar tidak etis menggunakan terma negatif “fucking” di depan para mahasiswa di dalam area kampus. Mr. Mark rupanya terjebak dalam shock culture dan tidak berhasil meminimalisir sisi etnosentrisnya. Dia harusnya selalu sadar bahwa setiap gerakan, perilaku, dan kata-katanya akan “diukur” dengan “Mistar Indonesia”.

2. Percakapan kedua

Nahrul : In the name of students, I ask you to displace your class at campus. Mr. Mark : What if I don’t? (sambil mengankat bahunya)

Nahrul : (Sambil menarik gas motornya) we will see…

Mr. Mark : WHAT..???! ( dengan memperlihatkan ekspresi bingun)

(5)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405) (denotative meaning) yang ditimbulkan tidak memiliki hubungan kausal dengan efek yang terjadi dilapangan. Dimana pada penjelasan sebelumnya diketahui setelah percakapan tersebut Mr. Mark kembali kenegaranya Amerika Serikat dan melaporkan kejadian tersebut kepada konsulat yang mengutusnya. Dan ternyata Mr. Mark dan konsulatnya memberi tanggapan “berlebihan” yang ditunjukkan dengan kunjungannya ke rektorat UNM untuk melaporkan kejadian dan membatalkan program bantuan beasiswa S3 bagi beberapa pejabat dan staf pengajar di lingkup UNM.

b. Connotative meaning

Dalam konteks pemaknaan kulturalnya, pribadi Mr. Mark sebagai westerners melihat adanya ancaman (terror) dari kalimat “we will see” yang dilontarkan Nahrul pada akhir percakapan. Memang secara kronologis sebelum percakapan tersebut terjadi perdebatan alot menyoal kata ““when they are speech loudly, they’ re just like dogs” yang diungkapkan Mr. Mark. Meski sedikit banyaknya ini mempengaruhi gaya berbicara keduanya pada topik berikutnya dimana masalah pertama sudah dianggap selesai, sulit kiranya untuk melacak hubungan logis dengan “ketakutan” yang dialami Mr. Mark diakhir percakapan yang membuat dirinya memutuskan untuk kembali kenegaranya. Pada akhirnya, penulis harus mengerucut pada hubungan karakteristik budaya Mr. Mark dan persepsi acaman yang diinterpretasikanya dari komunikasi interpersonal diatas.

(6)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

kapitalis. Bukan sebuah rahasia dikalangan terdidik bahwa aktifitas demonstrasi yang massif sering dihubungkan sebagai manifestasi dari sebuah pandangan sosialisme yang dalam perjalanan politiknya menjadi penanding dari ideolgi kapitalis dalam hal ini Amerika sebagai simbol kejayaan ideologi tersebut. Dengan demikian, dapat diasumsikan dari perspektif Mr. Mark bahwa dalam kontek KAB, keduanya menjadi representasi dari sebuah rivalitas ideologi sehingga tidak heran kiranya jika dampak yang ditimbulkan cukup serius.

Di pihak lain, Nahrul sebagai sumber pesan diketahui tidak mempunyai intensi untuk mengancam sebagaimana yang dimaknai Mr. Mark. Ungkapan “we will see” tidal lebih dari tanggapan biasa atas pertanyaan yang diberikan oleh Mr. Mark. Arti denotative dari kalimat “ we will see” adalah “ kita akan lihat” dimana dalam percakpaan antara keduanya, Nahrul belum tau pasti respon organisasional apa yang akan dilakukan Nahrul dan pengurusnya ketika Mr. Mark tidak bersedia memenuhi permintaan relokasi perkuliahan di kampus UNM.

C. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis telah menarik sebuah kesimpulan bahwa dampak dari misinterpretasi komunikasi antarbudaya di atas merupakan refleksi dari sebuah model komunikasi yang tidak efektif. Komunikasi yang efektif dalam hubungannya dengan etnisitas mensyaratkan adanya pemahaman menyangkut etnisitas masing-masing dari para komunikator dalam sebuah proses komunikasi. Dengan adanya pemahaman yang cukup, seorang komunikator lebih mudah mengoptimalkan perilaku komunikasinya sehingga tercapai sebuah komunikasi yang efektif dan tidak menyisakan kesalahpahaman (misinterpretasi).

(7)

MAHASISWA : NAHRUL HAYAT (P1400213405)

Referensi

Dokumen terkait

Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep developmental task (tugas perkembangan) pada tahun 1940an, yang menggabungkan antara dorongan

a. keberadaan galangan-galangan besar maupun tradisional. perusahaan aluminium yang ada di Indonesia. proses pembuatan kapal kayu aluminium FPB-28 di PT. keadaan

(2010) meliputi: tahap pendahuluan, tahap pembentukan konsep, tahap aplikasi konsep sains, tahap aplikasi spiritual Islam, tahap pemantapan konsep, dan tahap penilaian;

Kebutuhan bahan baku pembuatan dan perekat papan partikel

Pengertian jaringan komputer menurut Oetomo (2004) adalah sekelompok komputer otonom yang dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan protokol komunikasi melalui

Hasil Perhitungan ISPU Parameter Debu……… Data Kondisi Cerobong pada Pengamatan Pagi………... Data Kondisi Cerobong pada Pengamatan Siang……… Data Kondisi Cerobong

Hal ini memperlihatkan semakin lama waktu perendaman, maka senyawa aktif anti jamur yang terkandung dalam ekstrak bunga Kecombrang semakin banyak terserap dan menempel

Penelitian ini bertujuan membuat perangkat lunak untuk visualisasi eksperimen tetes minyak Milikan dan mencocokan hasil visualisasi dengan hasil eksperimen dengan