• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Rasio Laju Absorpsi Ibuprofen pada Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Dikeringkan dengan Freeze Dryer Dibandingkan dengan Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Segar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Rasio Laju Absorpsi Ibuprofen pada Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Dikeringkan dengan Freeze Dryer Dibandingkan dengan Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Segar"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

UJI RASIO LAJU ABSORPSI IBUPROFEN PADA USUS

HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) YANG DIKERINGKAN

DENGAN FREEZE DRYER DIBANDINGKAN

DENGAN USUS HALUS KELINCI

(Oryctolagus cuniculus) SEGAR

SKRIPSI

jra Uta

OLEH:

Asni Zahara Rambe

NIM 091501021

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI RASIO LAJU ABSORPSI IBUPROFEN PADA USUS

HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) YANG DIKERINGKAN

DENGAN FREEZE DRYER DIBANDINGKAN

DENGAN USUS HALUS KELINCI

(Oryctolagus cuniculus) SEGAR

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

jra Uta

OLEH:

ASNI ZAHARA RAMBE

NIM 091501021

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI RASIO LAJU ABSORPSI IBUPROFEN PADA USUS

HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) YANG DIKERINGKAN

DENGAN FREEZE DRYER DIBANDINGKAN

DENGAN USUS HALUS KELINCI

(Oryctolagus cuniculus) SEGAR

OLEH:

ASNI ZAHARA RAMBE NIM 091501021

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 21 Desember 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195212041980021001 NIP 195504241983031003

Pembimbing II, Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang

berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

Uji Rasio Laju Absorpsi Ibuprofen pada Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

yang Dikeringkan dengan Freeze Dryer Dibandingkan dengan Usus Halus Kelinci

(Oryctolagus cuniculus) Segar. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan

Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan

di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Bapak Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt., dan Bapak Prof. Dr.

Karsono, Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan

tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga

selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.

Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., selaku ketua penguji, Bapak Drs. Fathur

Rahman Harun, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku anggota

penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak

membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta,

Ayahanda Alm. Hajopan Rambe dan Ibunda Roslena Nasution, dan kakakku Ade

(5)

Rambe, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan

apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa/i

Farmasi angkatan 2009 yang selalu mendoakan dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun

demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Desember 2013 Penulis,

(6)

UJI RASIO LAJU ABSORPSI IBUPROFEN PADA USUS HALUS KELINCI

(Oryctolagus cuniculus) YANG DIKERINGKAN DENGANFREEZE DRYER

DIBANDINGKAN DENGAN USUS HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) SEGAR

Abstrak

Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih menguntungkan untuk penyerapan obat. Namun, metode in vitro pada usus halus mempunyai kekurangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan usus halus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan beku

(freeze dryer) adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai keunggulan

dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan dengan freeze dryer terhadap laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dan untuk mengetahui perbedaan laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) pada usus halus kelinci yang dikeringkan maupun usus halus kelinci segar sehingga dapat diketahui kelayakan pengeringan usus dengan teknik freeze dryer agar dapat digunakan pada penelitian absorpsi suatu obat.

Penelitian ini dilakukan dengan metode usus halus terbalik kelinci, menggunakan alat Crane dan Wilson yang telah dimodifikasi. Jenis sediaan ibuprofen yang dibandingkan adalah ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dengan media larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis. Kadar ibuprofen yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 222,5 nm dan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Program Service

Solution (SPSS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi ibuprofen dipengaruhi oleh jenis sediaan dan keadaan usus. Pada usus halus kelinci segar laju absorpsi ibuprofen tablet merek dagang (Proris®) (0,764 mcg/ml.menit) > ibuprofen baku (0,679 mcg/ml.menit) > ibuprofen tablet generik (0,540 mcg/ml.menit) dan pada usus halus kelinci yang dikeringkan laju absorpsi ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) (0,686 mcg/ml.menit) > ibuprofen baku (0,516 mcg/ml.menit) > ibuprofen tablet generik (0,438 mcg/ml.menit). Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji

Independent Sample T Test untuk laju absorpsi diketahui tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan dengan nilai signifikansi 0,059 dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dengan nilai signifikansi 0,001 dengan menggunakan uji One

Way ANOVA.

(7)

RATIO OF IBUPROFEN ABSORPTION RATE TEST IN FREEZE-DRIED AND FRESH RABBIT SMALL INTESTINE (Oryctolagus cuniculus)

Abstract

The intestine has advantageous anatomy and physiological characteristic for drug absorption. However,the in vitro method for intestine has a disadvantage caused by its inability to mantain its structure in a long period of time. Freeze drying is a drying method which has advantageous for maintaining the quality of the dried materials especially for heat-sensitive products.The purpose of this study is to determine differences of fresh and freeze dried small intestine in standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet (Proris®) absorption rate and to determine differences of standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet (Proris®) absorption rate in freeze-dried and fresh small intestine so as to know the feasibility of dried of freeze dryer intestine that can be used to absorption of a drug study.

This study was done with everted sac of rabbit’s intestine, used Crane and Wilson apparatus which have been modified. The type of preparation of ibuprofen compared to is standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet ibuprofen (Proris®) in buffer phosphate at pH 6,4 isotonis medium. Determination of absorpted ibuprofen which was checked in buffer phosphate isotonic solution by using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 222,5 nm and obtained data was analyzed by using Statistical Program Service Solution (SPSS).

The result of this study showed that the rate of ibuptofen absorption is influenced by the type of ibuprofen preparation and intestine conditions. In fresh rabbit small intestine the rate of brand name tablet ibuprofen (Proris®) (0.764 mcg/ml.menit) > standard ibuprofen (0.679 mcg/ml.menit) > generic tablet ibuprofen (0.540 mcg/ml.menit) and in dried rabbit small intestine the rate of brand name tablet ibuprofen (Proris®) (0.686 mcg/ml.menit) > standard ibuprofen (0.516 mcg/ml.menit) > generic tablet ibuprofen (0.438 mcg/ml.menit). Based on the results of statistical test using Independent Sample T Test for the rate of absorption is known that there are no significant differences between fresh and dried rabbit small intestine with a significance value of 0.059 and there are differences significantly between standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet ibuprofen (Proris®) absorption rate with a significance value of 0.001 using One Way ANOVA test.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BA I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Ibuprofen ... 6

2.1.1 Sifat fisikokimia ... ... 6

2.1.2 Farmakokinetik ... ... 6

2.1.3 Farmakodinamik ... ... 7

(9)

2.2 Absorpsi ... 7

2.2.1 Membran sel ... 9

2.2.2 Struktur membran sel ... 10

2.2.3 Cara penembusan obat melalui membran biologis ... 11

2.3 Usus Halus ... 14

2.4 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac) ... 17

2.5 Kinetika Laju Absorpsi ... 18

2.6 Pengeringan Beku (Freeze Dryer) ... 19

2.7 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Rancangan Penelitian ... 22

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Alat dan Bahan ... 23

3.3.1 Alat ... ………. 23

3.3.2 Bahan ... ………. 23

3.4 Hewan Percobaan ... 23

3.5 Prosedur ... 24

3.5.1 Pembuatan pereaksi ... 24

3.5.1.1 Pembuatan air bebas karbondioksida ... 24

3.5.1.2 Pembuatan kalium dihidrogenfosfat 0,2 M ... 24

3.5.1.3 Pembuatan larutan natrium hidroksida 0,2 N ... 24

3.5.1.4 Pembuatan dapar fosfat pH 6,4 isotonis ... 24

3.5.1.5 Pembuatan larutan thyrode ... 24

(10)

3.5.3 Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen dalam medium dapar

fosfat pH 6,4 isotonis ... 25

3.5.4 Pembuatan larutan obat ibuprofen baku dengan konsentrasi

2 mmol/L ... 25

3.5.5 Pembuatan larutan obat ibuprofen generik dengan konsen-

trasi 2 mmol/L ... 25

3.5.6 Pembuatan larutan obat Proris® dengan konsentrasi 2

mmol/L ... 25

4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Ibuprofen dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 6,4 Isotonis ... 30

4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Penentuan Persamaan Regresi Ibuprofen Baku dalam Larutan Dapar Fosfat pH 6,4 Isotonis.. 30

4.3 Pengecatan Membran Usus Halus Kelinci ... 30

(11)

4.5 Pengaruh Perbedaan Jenis Usus dan Jenis Sediaan Ibuprofen Terhadap Laju Absorpsi Ibuprofen pada Usus Halus Terbalik

Kelinci ... 35

4.6 Pengaruh Perbedaan Jenis Usus dan Jenis Sediaan Ibuprofen Terhadap Harga AUC (Area Under The Curve) Ibuprofen pada Usus Halus Terbalik Kelinci ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Data konsentrasi kumulatif ibuprofen pada interval waktu tertentu dalam mcg/ml pada usus halus kelinci segar ... 33

Tabel 4.2 Data konsentrasi kumulatif ibuprofen pada interval waktu tertentu dalam mcg/ml pada usus halus kelinci yang dike-

ringkan ... 34

Tabel 4.3 Data laju absorpsi ibuprofen pada usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan (mcg/ml.menit)

... 37

Tabel 4.4 Data perbandingan harga AUC (area under the curve) berbagai sediaan ibuprofen dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci segar dalam mcg.menit/ml ... 38

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2. Rumus bangun ibuprofen ... 6

Gambar 2.2 Struktur membran sel ... 10

Gambar 2.3 Difusi pasif melalui pori ... 11

Gambar 2.4 Sistem pengangkutan aktif ... 14

Gambar 2.5 Sistem pengangkutan secara pinositosis ... 14

Gambar 2.6 Skema usus halus dengan villi dan perfusinya ... 17

Gambar 4.1 Pengecatan membran hematoksilin-eosin usus halus kelinci segar ... 31

Gambar 4.2 Grafik konsentrasi kumulatif terhadap waktu dari ibuprofen baku ... 35

Gambar 4.3 Grafik konsentrasi kumulatif terhadap waktu dari ibuprofen generik ... 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Bagan alur penelitian ... 43

Lampiran 2 Flowsheet pembuatan larutan induk baku ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis ... 44

Lampiran 3 Flowsheet penentuan panjang gelombang maksimum ibuprofen baku dalam larutan dapar fosfat ph 6,4 isotonis 45

Lampiran 4 Penentuan kurva serapan ibuprofen baku dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis ... 46

Lampiran 5 Flowsheet pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen baku dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis.. ... 47

Lampiran 6 Penentuan persamaan regresi dan kurva kalibrasi ibuprofen baku dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis ….. ... 48

Lampiran 7 Flowsheet pembuatan usus halus terbalik kelinci ... 50

Lampiran 8 Flowsheet penentuan pola penembusan membran oleh berbagai sediaan ibuprofen pada usus halus terbalik kelinci 51

Lampiran 9 Contoh perhitungan pembuatan larutan obat ibuprofen 2 mmol/L ... 52

Lampiran 10 Contoh perhitungan penentuan harga konsentrasi ibuprofen baku dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci dalam mcg/ml... 53

Lampiran 11 Contoh perhitungan penentuan harga konsentrasi kumulatif ibuprofen baku dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci dalam mcg/ml ... 54

Lampiran 12 Contoh perhitungan penentuan harga konsentrasi kumulatif ibuprofen baku dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci dalam mcg/ml ... 55

Lampiran 13 Data absorbansi berbagai sediaan ibuprofen dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci segar dan usus halus terbalik kelinci yang dikeringkan ... 56

(15)

Lampiran 15 Data konsentrasi kumulatif berbagai sediaan ibuprofen dalam cairan serosa usus halus terbalik kelinci segar dan

usus halus terbalik kelinci yang dikeringkan ... 64

Lampiran 16 Hasil analisis uji independent sample t test dan uji one way anova laju absorpsi ibuprofen ... 66

Lampiran 17 Sertifikat analisa bahan baku ibuprofen ... 68

Lampiran 18 Gambar alat-alat yang digunakan ... 69

(16)

UJI RASIO LAJU ABSORPSI IBUPROFEN PADA USUS HALUS KELINCI

(Oryctolagus cuniculus) YANG DIKERINGKAN DENGANFREEZE DRYER

DIBANDINGKAN DENGAN USUS HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) SEGAR

Abstrak

Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih menguntungkan untuk penyerapan obat. Namun, metode in vitro pada usus halus mempunyai kekurangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan usus halus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan beku

(freeze dryer) adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai keunggulan

dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan dengan freeze dryer terhadap laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dan untuk mengetahui perbedaan laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) pada usus halus kelinci yang dikeringkan maupun usus halus kelinci segar sehingga dapat diketahui kelayakan pengeringan usus dengan teknik freeze dryer agar dapat digunakan pada penelitian absorpsi suatu obat.

Penelitian ini dilakukan dengan metode usus halus terbalik kelinci, menggunakan alat Crane dan Wilson yang telah dimodifikasi. Jenis sediaan ibuprofen yang dibandingkan adalah ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dengan media larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis. Kadar ibuprofen yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 222,5 nm dan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Program Service

Solution (SPSS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi ibuprofen dipengaruhi oleh jenis sediaan dan keadaan usus. Pada usus halus kelinci segar laju absorpsi ibuprofen tablet merek dagang (Proris®) (0,764 mcg/ml.menit) > ibuprofen baku (0,679 mcg/ml.menit) > ibuprofen tablet generik (0,540 mcg/ml.menit) dan pada usus halus kelinci yang dikeringkan laju absorpsi ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) (0,686 mcg/ml.menit) > ibuprofen baku (0,516 mcg/ml.menit) > ibuprofen tablet generik (0,438 mcg/ml.menit). Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji

Independent Sample T Test untuk laju absorpsi diketahui tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan dengan nilai signifikansi 0,059 dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dengan nilai signifikansi 0,001 dengan menggunakan uji One

Way ANOVA.

(17)

RATIO OF IBUPROFEN ABSORPTION RATE TEST IN FREEZE-DRIED AND FRESH RABBIT SMALL INTESTINE (Oryctolagus cuniculus)

Abstract

The intestine has advantageous anatomy and physiological characteristic for drug absorption. However,the in vitro method for intestine has a disadvantage caused by its inability to mantain its structure in a long period of time. Freeze drying is a drying method which has advantageous for maintaining the quality of the dried materials especially for heat-sensitive products.The purpose of this study is to determine differences of fresh and freeze dried small intestine in standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet (Proris®) absorption rate and to determine differences of standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet (Proris®) absorption rate in freeze-dried and fresh small intestine so as to know the feasibility of dried of freeze dryer intestine that can be used to absorption of a drug study.

This study was done with everted sac of rabbit’s intestine, used Crane and Wilson apparatus which have been modified. The type of preparation of ibuprofen compared to is standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet ibuprofen (Proris®) in buffer phosphate at pH 6,4 isotonis medium. Determination of absorpted ibuprofen which was checked in buffer phosphate isotonic solution by using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 222,5 nm and obtained data was analyzed by using Statistical Program Service Solution (SPSS).

The result of this study showed that the rate of ibuptofen absorption is influenced by the type of ibuprofen preparation and intestine conditions. In fresh rabbit small intestine the rate of brand name tablet ibuprofen (Proris®) (0.764 mcg/ml.menit) > standard ibuprofen (0.679 mcg/ml.menit) > generic tablet ibuprofen (0.540 mcg/ml.menit) and in dried rabbit small intestine the rate of brand name tablet ibuprofen (Proris®) (0.686 mcg/ml.menit) > standard ibuprofen (0.516 mcg/ml.menit) > generic tablet ibuprofen (0.438 mcg/ml.menit). Based on the results of statistical test using Independent Sample T Test for the rate of absorption is known that there are no significant differences between fresh and dried rabbit small intestine with a significance value of 0.059 and there are differences significantly between standard ibuprofen, generic tablet ibuprofen and brand name tablet ibuprofen (Proris®) absorption rate with a significance value of 0.001 using One Way ANOVA test.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar

biologik (Aiache, et al., 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk

akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat

mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai

membran sel. Membran sel mempunyai pori yang bergaris tengah antara 3,5 - 4,2 Ǻ, merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping molekul protein yang

bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena kekuatan

tekanan darah (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih

dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut

menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan

biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis obat

masuk ke peredaran sistemik (Joenoes, 2002).

Laju disolusi atau kecepatan melarut obat yang relatif tidak larut dalam air

telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Ibuprofen termasuk pada senyawa

model biopharmaceutical classification system (BCS) II, permeabilitas tinggi

kelarutan rendah (Dahan dan Amidon, 2009). Untuk obat yang mempunyai kelarutan

rendah laju disolusi merupakan tahap penentu pada proses absorpsi obat (Shargel dan

Yu, 2005).

Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih

(19)

usus halus terutama karena banyaknya lipatan-lipatan mukosa yang terutama banyak

terdapat di daerah duodenum dan jejunum (Aiache, et al., 1993). Metode in vitro pada

usus halus mempunyai kekurangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan usus

halus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka waktu yang lama.

Beberapa metode pengeringan seperti pengeringan dengan sinar matahari,

pengeringan dengan oven, pengeringan beku dan lain sebagainya sering digunakan

untuk mengeringkan suatu zat dengan tujuan agar zat tersebut tidak rusak dalam

penyimpanannya. Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode

pengeringan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil

pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas.

Keunggulan pengeringan beku dibandingkan metode lainnya yaitu dapat

mempertahankan stabilitas produk, dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan

dan dapat meningkatkan daya rehidrasi sehingga dapat kembali ke sifat fisiologis,

organoleptik dan betuk fisik yang hampir sama dengan sebelum pengeringan

(Tambunan dan Lamhot, 2000). Proses pengeringan usus halus kelinci dengan

menggunakan freeze dryer diharapkan dapat mempertahankan struktur dari usus halus

kelinci dalam jangka waktu yang lama dan dapat memberikan hasil pengujian yang

sama dengan usus halus kelinci segar.

Metode kantung terbalik merupakan teknik in vitro yang mudah dan cepat

dilaksanakan serta dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa sehingga

mencerminkan proses/lingkungan sebenarnya saat obat mengalami proses absorpsi di

usus (Barthe, et al., 1999). Metode ini baik digunakan untuk menentukan absorpsi

pada tempat yang berbeda pada usus halus. Hal ini sangat berguna untuk

mengestimasi first-pass metabolism dari obat dalam sel epithelial intestinal

(20)

Ibuprofen merupakan obat yang termasuk ke dalam kelompok AINS (anti

inflamasi non steroid). Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang

ringan hingga sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat

pada arthritis dan gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Ibuprofen

diabsorpsi dengan cepat dalam saluran cerna, kadar serum tertinggi terjadi dalam 1-2

jam setelah pemberian oral, waktu paruh 1,8-2 jam (Siswadono dan Soekardjo, 2000).

Studi biofarmasetika menyatakan bahwa metode fabrikasi dan formulasi akan

mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat (Shargel dan Yu, 2005). Pada

pembuatan sediaan obat tablet generik dan tablet merk dagang terdapat perbedaan

pada metode fabrikasi dan formulasi. Oleh karena itu dilakukan pengujian pada

ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®).

Berdasarkan hal-hal tersebut, peneliti tertarik untuk memeriksa rasio laju

absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen merk dagang

(Proris®) pada usus halus kelinci (oryctolagus cuniculus) yang dikeringkan dengan

freeze dryer dan usus halus kelinci segar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

- Apakah ada perbedaan antara usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci

yang dikeringkan dengan freeze dryer terhadap laju absorpsi ibuprofen baku,

ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®)

- Apakah ada perbedaan laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet generik

dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) pada usus halus kelinci yang

(21)

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis dalam

penelitian ini adalah:

- Tidak terdapat perbedaan antara usus halus kelinci segar dan usus halus

kelinci yang dikeringkan dengan freeze dryer terhadap laju absorpsi ibuprofen

baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®)

- Tidak terdapat perbedaan laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet

generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) pada usus halus kelinci

yang dikeringkan maupun usus halus kelinci segar

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini

adalah :

- Untuk mengetahui perbedaan antara usus halus kelinci segar dan usus halus

kelinci yang dikeringkan dengan freeze dryer terhadap laju absorpsi ibuprofen

baku, ibuprofen tablet generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®)

- Untuk mengetahui perbedaan laju absorpsi ibuprofen baku, ibuprofen tablet

generik dan ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) pada usus halus kelinci

yang dikeringkan maupun usus halus kelinci segar

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan metode absorpsi

(22)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dimulai dengan pembuatan usus halus kelinci segar dan usus halus

kelinci yang dikeringkan, pengecatan membran, dan penentuan absorpsi ibuprofen

pada kedua usus tersebut.

Secara skematis kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Usus halus kelinci yang

dikeringkan dengan freeze

dryer

Usus halus kelinci

segar - Ibuprofen baku

- Ibuprofen tablet

generik

- Ibuprofen tablet merk

dagang (Proris®)

-Pengecatan membran

- Laju absorpsi

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ibuprofen

2.1.1 Sifat fisikokimia

Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul

C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.1.

.

Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen

Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas

lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol,

metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM,

1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat. Senyawa ini mempunyai

titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al.,

2005).

2.1.2 Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan

bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai

setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan

protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah

(24)

90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau

konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi

(Stoelting, 2006; Sinatra, et al., 1992).

2.1.3 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan

menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II). Namun

tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam

pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,

basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,

mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan

menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

2.1.4 Indikasi dan dosis terapi

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga

sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan

gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan

hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg,

untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg.

Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10

mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson,

et al., 2002).

2.2 Absorpsi

Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh

(25)

Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab

itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan

tubuh (saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam

cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip: sebelum melintasi

membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam cairan disekitar

membran.

Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat

aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut

tahapan sebagai berikut:

Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan

mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat

aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif sediaan

obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.

Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan

zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat

mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)

(26)

2.2.1 Membran sel

Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen

yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur

membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa

kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran

cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel

organ atau reseptor obat.

Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari

komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:

1. Lapisan lemak bimolekul.

Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak

bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai

hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus

gliserilfosfat fosfolipid.

2. Protein.

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan

ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus

hidrofil dan hidrofob.

3. Mukopolisakarida.

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak

dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti

(27)

2.2.2 Struktur membran sel

Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956),

mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model

membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari

fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian

dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua

kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu

diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular)

mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan

merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Struktur membran

sel dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida

protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut

susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan

membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non

polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein

globuler tebalnya ± 85 Angstrom. Model ‘Mosaik Cair’ konsisten tentang eksistensi

dari chanel-chanel ion khusus dan reseptor-reseptor di dalam dan di sepanjang

permukaan membran (Syukri, 2002).

(28)

2.2.3 Cara penembusan obat melalui membran biologis

Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme

difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran

biologis.

Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas:

1. Difusi pasif

Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga,

yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut

dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.

a. Difusi Pasif Melalui Pori

Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau

osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat

melewati kanal membrane. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus

halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul

dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang

bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, et

al., 1993). Untuk lebih jelasnya difusi pasif melalui pori dapat dilihat pada Gambar

2.3.

(29)

b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia

tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran.

Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan

difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau

asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk

terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang

terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi

pasif.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat,

derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk

elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang

sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak

terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang

bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.

c. Difusi Pasif dengan Fasilitas

Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan

osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini

berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih

rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki

energi dan terjadi secara spontan.

Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa

dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah

bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai

(30)

Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan

muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan

dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.

Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti

bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan

jumlah yang diserap (Aiache, et al., 1993).

2. Transpor Aktif

Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan

suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan

molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks

tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan

lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi

dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah

digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya

suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu

dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa

tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi

transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan

mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang

diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATP-ase.

(31)

Gambar 2.4 Sistem pengangkutan aktif

3. Pinositosis

Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang

mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin,

vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada

bakteri (Siswandono dan Soekarjo, 2000)). Mekanisme pinositosis dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Sistem pengangkutan secara pinositosis

Kebanyakan dari obat melewati membran biologis dengan cara difusi pasif.

Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan bebas melewati mikroporus dari

sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran plasma menembus

membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat lipid membran sel

(32)

lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion

pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama

bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion,

bentuk tak terion larut ke dalam membran dan seterusnya maka difusi akan lebih

cepat dari pada bentuk terion (Wolf, 1994)..

2.3 Usus Halus

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;

duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

tergantung pada letaknya yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.

Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari

peritonium (Aiache, et al., 1993). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat

erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.

Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu

dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.

Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan

jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian

bawah rongga (Fawcett, 2002). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian

atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini

lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m (Aiache, et al,

(33)

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan

bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari

jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-

6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi

obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, et al., 1993).

Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan

mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga

penyerapan zat makanan.

Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan

mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang terutama

banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-villi usus

tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan

mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening

pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus

dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya

penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam

di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada

molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH

lambung.

Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan

membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif.

Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau

fraksi-fraski tak terionkan yang larut lemak.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena

(34)

hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan

susjacent. Skema usus halus dengan villi dan perfusinya dapat dilihat pada Gambar

2.6.

Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan

terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat

membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap

molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, et al., 1993).

Gambar 2.6 Skema usus halus dengan villi dan perfusinya

2.4 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac)

Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi

yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia

dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi.

Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama

preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan

senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk

(35)

Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan

dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel,1989).

Pada persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin,

disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik

sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat,

larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar usus

direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37oC, dialiri oksigen 95% dan CO2

50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel untuk

analisis.

Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan kerumitan

yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat secara in

vivo.

Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber

energi dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi mesenterikum

dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui serosa

(Swarbrick and Boylan, 1992).

2.5 Kinetika Laju Absorpsi

a. Reaksi orde nol

Laju peruraian obat secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Laju pengurangan konsentrasi

=

−��� ��

=k

Dimana; Ca = Konsentrasi zat A yang bereaksi

k = faktor perbandingan = laju reaksi

(36)

Bila data dari suatu studi stabilitas mengikuti reaksi orde nol, grafik x (jumlah

yang bereaksi) versus t (waktu) merupakan garis lurus dengan kelandaian menyamai

k. Nilai k menyatakan jumlah obat yang terurai per satuan waktu, dan titik potong

garis pada waktu nol sama dengan konstanta.

b. Reaksi ode pertama

Laju pengurangan konsentrasi = - ���

��

=kCa

Dengan memakai persamaan tersebut untuk reaksi orde pertama dihasilkan

garis lurus bila dibuat grafik logaritma konsentrasi Ca terhadap waktu. Kecepatan

atau konstanta laju reaksi, k, dapat dihitung dari kelandaian garis dikalikan 2,303

(Armstrong, 1995).

2.6 Pengeringan Beku (Freeze Dryer)

Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang

mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya

untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku

dibandingkan metode lainnya yaitu dapat mempertahankan stabilitas produk, dapat

mempertahankan stabilitas struktur bahan dan dapat meningkatkan daya rehidrasi

sehingga dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptik dan betuk fisik yang hampir

sama dengan sebelum pengeringan (Tambunan dan Manalu, 2000).

Untuk proses pengeringan beku, bahan yang dikeringkan terlebih dahulu

dibekukan kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah

sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal

dengan istilah sublimasi. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik

dibandingkan dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah dan dapat

(37)

2.7 Spektrofotometri Ultraviolet - visibel

Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet dan sinar tampak

merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai energi yang merambat dalam

bentuk gelombang. Beberapa istilah dan hubungan digunakan untuk menggambarkan

gelombang ini. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu

gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang berdekatan. Sinar

ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm, sementara sinar

tampak mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2009).

Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk

terjadinya transisi elektronik. Dengan demikian, spektra ultraviolet dan spektra

tampak dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan energi yang paling rendah

disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi – transisi elektronik akan

meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi

tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2009).

Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka

molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai.

Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan

energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul yang

sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat

pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorbsi. Pada kenyataannya, spektrum

UV – Vis yang merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai ordinat) dan panjang

gelombang (sebagai absis) bukan merupakan garis spektrum akan tetapi merupakan

pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV – Vis tersebut disebabkan oleh

terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat

(38)

Spektra UV – Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus

dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.

a. Aspek Kualitatif

Data spektra UV – Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk

identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara

lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa,

maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa

tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang

gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat

diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar dan Rohman,

2009).

b. Aspek Kuantitatif

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan

(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi

yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang

diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap

lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang

melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi

yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan

untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami

penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi

penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan.

Hukum Lambert – Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan

zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental

(experimental research). Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh atau

hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam penelitian ini yang

termasuk variabel bebas adalah: ibuprofen, usus halus kelinci yang dikeringkan dan

usus halus kelinci segar. Sedangkan variabel terikat adalah laju absorpsi.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pembuatan usus halus kelinci yang

dikeringkan dan usus halus kelinci yang segar. Setelah itu dilakukan pengecatan

membran usus halus kelinci yang dikeringkan dan usus halus kelinci yang segar.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan laju absorpsi pada usus halus kelinci yang

dikeringkan dan usus halus kelinci yang segar serta dilakukan pengecatan membran

untuk usus halus kelinci segar dan yang dikeringkan pada waktu pengujian.

Hewan terbagi dalam tiga kelompok dan tiap kelompok terdiri dari tiga

pengulangan dengan uraian sebagai berikut:

1. Kelompok pertama diberi ibuprofen baku yang dilarutkan dalam larutan buffer

fosfat pH 6,4 isotonis dengan konsentrasi 2 mmol/L.

2. Kelompok kedua diberi ibuprofen tablet Generik yang dilarutkan dalam buffer

fosfat pH 6,4 dengan konsentrasi 2 mmol/L.

3. Kelompok ketiga diberi ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) yang dilarutkan

(40)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasetika dan Farmakokinetika

dan Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas

Sumatera Utara, Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat freeze dryer (Virtis), alat uji absorpsi

(alat Crane dan Wilson yang telah dimodifikasi), beaker gelas, gelas ukur, kotak

kelinci, labu ukur, neraca analitik (Metler Toledo), pH meter (Hanna), pipet volume,

spektrofotometer UV-visibel (Shimadzu UV-Mini 1240), stopwatch, tabung oksigen

dan regulator, tabung reaksi, termometer, termostat, satu set alat bedah, vial dan alat

lain yang dibutuhkan.

3.3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, carbogen, d-glukosa

monohidrat (E.Merck), ibuprofen baku, ibuprofen tablet Generik (Kimia Farma),

kalium dihidrogenfosfat (E.Merck), kalium klorida (E.Merck), kalsium klorida

(E.Merck), magnesium klorida (E.Merck), natrium bikarbonat (E.Merck), natrium

dihidrogenfosfat (E.Merck), natrium klorida (E.Merck), dan ibuprofen tablet merk

dagang (Proris(R)) (Pharos).

3.4 Hewan Percobaan

(41)

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Pembuatan pereaksi

3.5.1.1 Pembuatan air bebas karbondioksida

Air murni dididihkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin

dan tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM, 1995).

3.5.1.2 Pembuatan kalium dihidrogenfosfat 0,2 M

Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrogenfosfat P dalam air bebas

karbondioksida P hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.1.3 Pembuatan larutan natrium hidroksida 0,2 N

Dilarutkan 8,001 natrium hidroksida P dalam air hingga 1000 ml (Ditjen

POM, 1979).

3.5.1.4 Pembuatan dapar fosfat pH 6,4 isotonis

Dicampur 50,0 ml kalium dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 11,6 ml natrium

hidroksida 0,2 N dan diencerkan dengan air bebas karbondioksida P secukupnya

hingga 200 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.1.5 Pembuatan larutan thyrode

Dilarutkan 8,0 g natrium klorida; 0,2 g kalium klorida; 0,2 g kalsium klorida;

0,1 g magnesium klorida; 0,05 g natrium dihidrogenfosfat; 1,0 g natrium bikarbonat;

dan 2,0 g d-glukosa monohidrat dalam 1000 ml akuades (Anonim1, 2009).

3.5.2 Pembuatan kurva serapan ibuprofen dalam medium dapar fosfat pH 6,4 isotonis

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dan dimasukkan ke dalam labu tentukur

250 ml kemudian ditambahkan dapar fosfat pH 6,4 isotonis sampai garis tanda. Di

pipet 0,45 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, lalu ditambahkan

(42)

menggunakan spektrofotometer UV. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang

gelombang dimana ibuprofen memperlihatkan serapan paling tinggi.

3.5.3 Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen dalam medium dapar fosfat pH 6,4 isotonis

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dan dimasukkan ke dalam labu tentukur

250 ml kemudian ditambahkan larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis sampai garis

tanda. Dari larutan tersebut di pipet 0,075 ml; 0,2 ml; 0,325 ml; 0,45 ml; 0,575 ml;

0,7 ml; 0,825 ml. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, kemudian

masing-masing diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis sampai garis tanda.

Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari kurva

serapan ibuprofen menggunakan spektrofotometer UV dan sebagai blanko digunakan

dapar fosfat pH 6,4 isotonis. Kurva kalibrasi antara jumlah serapan dan konsentrasi

dibuat dari data yang diperoleh, lalu dihitung persamaan regresi dan koefisien

korelasinya.

3.5.4 Pembuatan larutan obat ibuprofen baku dengan konsentrasi 2 mmol/L

Ditimbang seksama 20,628 mg ibuprofen baku, dimasukkan ke dalam labu

tentukur 50 ml. Dilarutkan dengan dapar fosfat pH 6,4 isotonis, dicukupkan sampai

garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 2 mmol/L.

3.5.5 Pembuatan larutan obat ibuprofen tablet generik dengan konsentrasi 2 mmol/L.

Ditimbang seksama 27,6054 mg ibuprofen generik yang telah diserbukkan,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Dilarutkan dengan dapar fosfat pH 6,4

isotonis, dicukupkan sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 2 mmol/L.

3.5.6 Pembuatan larutan obat ibuprofen tablet merk dagang (Proris®) dengan konsentrasi 2 mmol/L.

Ditimbang seksama 29,044 mg Proris® yang telah diserbukkan, dimasukkan

ke dalam labu tentukur 50 ml. Dilarutkan dengan dapar fosfat pH 6,4 isotonis,

(43)

3.5.7 Pembuatan usus halus kelinci

3.5.7.1 Pembuatan usus halus kelinci segar

Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam. Setelah

itu kelinci tersebut dianestesi, kemudian dilakukan pembedahan pada bagian perut

tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Setelah usus halus dikeluarkan dan

dibersihkan bagian dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang

mengikat pembuluh darah halus, dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting,

dan dicuci dengan larutan thyrode dingin. Lalu diangkat dan dibalik dengan

menggunakan batang pengaduk berpenampang 2 mm. Lalu diikat pada bagian ujung

dengan benang dan dilepaskan dari batang pengaduk, dicelupkan ke dalam larutan

Thyrode dingin.

3.5.7.2 Pembuatan usus halus kelinci yang dikeringkan

Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam. Setelah

itu kelinci tersebut dianestesi, kemudian dilakukan pembedahan pada bagian perut

tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Setelah usus halus dikeluarkan dan

dibersihkan bagian dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang

mengikat pembuluh darah halus, dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting,

dan dicuci dengan larutan thyrode dingin. Lalu diangkat dan dibalik dengan

menggunakan batang pengaduk berpenampang 2 mm. Lalu diikat pada bagian ujung

dengan benang dan dilepaskan dari batang pengaduk, dicelupkan ke dalam larutan

Thyrode dingin. Kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu

(44)

3.5.8 Pengecatan membran

3.5.8.1 Pengecatan membran usus halus kelinci segar

Pengecatan membran usus halus kelinci segar dilakukan dengan teknik

pengecatan menggunakan hematoksilin-eosin.

3.5.8.2 Pengecatan membran usus halus kelinci yang dikeringkan

Pengecatan membran usus halus kelinci yang dikeringkan dilakukan dengan

teknik pengecatan menggunakan hematoksilin-eosin.

3.5.9 Penentuan absorpsi ibuprofen

3.5.9.1 Penentuan absorpsi ibuprofen dalam usus halus kelinci segar dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis

Usus halus terbalik kelinci dengan panjang efektif masing-masing 7 cm diikat

pada kanula dan masing-masing diisi dengan cairan serosa 3 ml ke dalamnya berupa

larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis yang tidak mengandung bahan obat. Usus Halus

terbalik bagian atas yang digunakan sebagai kontrol, dimasukkan ke dalam tabung

berisi 75 ml cairan mukosa berupa larutan buffer posfat pH 6,4 isotonis yang tidak

mengandung bahan obat. Sedangkan untuk usus halus terbalik bagian bawah yang

digunakan sebagai percobaan, dimasukkan ke dalam tabung berisi 75 ml cairan

mukosa berupa larutan buffer posfat pH 6,4 isotonis yang mengandung bahan obat

ibuprofen baku dengan konsentrasi 2 mmol. Selanjutnya dimasukkan tabung ke

dalam termostat dengan temperatur 37 ± 0,5°C. Selama berlangsung percobaan dijaga

agar seluruh bagian usus tetap terendam dalam cairan mukosa serta terus menerus

dialiri aliran oksigen dengan kecepatan kira-kira 1 gelembung per detik.

Pada menit 5, 10, 15, 30, 60, 90, 120, 150 cairan serosa diambil 1 ml melalui

kanula dan selanjutnya diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH 6,4 isotonis

(45)

serosa. Serapan larutan yang diperiksa, diukur pada panjang gelombang maksimum

yaitu 222,5 nm dengan spektrofotometer ultraviolet. Dilakukan cara yang sama

dengan cara diatas untuk larutan obat ibuprofen tablet Generik dan ibuprofen tablet

merk dagang Proris®.

3.5.9.2 Penentuan absorpsi ibuprofen dalam usus halus kelinci yang dikeringkan dalam larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis

Usus halus terbalik kelinci yang telah dikeringkan dengan panjang efektif

masing-masing 7 cm diikat pada kanula dan masing-masing diisi dengan cairan

serosa 3 ml ke dalamnya berupa larutan dapar fosfat pH 6,4 isotonis yang tidak

mengandung bahan obat. Usus Halus terbalik bagian atas yang digunakan sebagai

kontrol, dimasukkan ke dalam tabung berisi 75 ml cairan mukosa berupa larutan

buffer posfat pH 6,4 isotonis yang tidak mengandung bahan obat. Sedangkan untuk

usus halus terbalik bagian bawah yang digunakan sebagai percobaan, dimasukkan ke

dalam tabung berisi 75 ml cairan mukosa berupa larutan buffer posfat pH 6,4 isotonis

yang mengandung bahan obat ibuprofen baku dengan konsentrasi 2 mmol.

Selanjutnya dimasukkan tabung ke dalam termostat dengan temperatur 37 ± 0,5oC.

Selama berlangsung percobaan dijaga agar seluruh bagian usus tetap terendam dalam

cairan mukosa serta terus menerus dialiri aliran oksigen dengan kecepatan kira-kira 1

gelembung per detik.

Pada menit 5, 10, 15, 30, 60, 90, 120, 150 cairan serosa diambil 1 ml melalui

kanula dan selanjutnya diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH 6,4 isotonis

hingga 25 ml. Dimasukkan kembali sebanyak 1 ml untuk setiap pengambilan cairan

serosa. Serapan larutan yang diperiksa, diukur pada panjang gelombang maksimum

(46)

dengan cara diatas untuk larutan obat ibuprofen tablet Generik dan ibuprofen tablet

merk dagang Proris®.

3.6 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 15. Data

hasil penelitian di tentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan

analisis statistik yang digunakan. Hasil analisis dapat dilihat pada lampiran 16 pada

(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Ibuprofen dalam Larutan Dapar Fosfat pH 6,4 Isotonis

Untuk mengetahui panjang gelombang maksimum ibuprofen dalam larutan

dapar fosfat pH 6,4 isotonis maka dilakukan pengukuran pada larutan induk baku

ibuprofen (9 mcg/ml) dengan menggunakan alat spektrofotometer ultraviolet. Dari

pengukuran diperoleh panjang gelombang ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH

6,4 isotonis adalah 222,5 nm. Panjang gelombang yang diperoleh mendekati dengan

panjang gelombang ibuprofen yang tertera pada U. S. P 29 yaitu 221 nm. Hasil

pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 46.

4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Penentuan Persamaan Regresi Ibuprofen Baku dalam Larutan Dapar Fosfat pH 6,4 Isotonis

Untuk menentukan kurva kalibrasi dari ibuprofen baku dalam larutan dapar

fosfat pH 6,4 isotonis dilakukan pengukuran absorbansi dari larutan induk ibuprofen

pada konsentrasi 1,5; 4; 6,5; 9; 11,5; 14; dan 16,5 mcg/ml sehingga diperoleh

absorbansi dari masing-masing konsentrasi dan persamaan regresi y = 0,0468x –

0,00755.

4.3 Pengecatan Membran Usus Halus Kelinci

Untuk mengetahui pengaruh freeze dryer pada usus halus kelinci, maka

dilakukan pengecatan membran hematoksilin-eosin pada usus halus kelinci segar dan

(48)

tersebut, maka diperoleh hasil berupa gambar membran usus yang terdapat pada

Gambar 4.1.a s/d 4.1.l sebagai berikut :

Gambar 4.1.a. Usus halus kelinci segar sebelum digunakan dengan perbesaran 4x10

Gambar 4.1.b. Usus halus

kelinci yang dikeringkan

sebelum digunakan dengan

Gambar 4.1.f. Usus halus kelinci yang dikeringkan setelah

1 jam digunakan dengan

perbesaran 4x10 Gambar 4.1.c. Usus halus

kelinci segar sebelum digunakan dengan perbesaran 40x10

(49)

Keterangan : merupakan area gambar yang dilihat dengan perbesaran 40x10.

Gambar 4.1. Pengecatan membran hematoksilin-eosin usus halus kelinci segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan

Gambar 4.1.i. Usus halus kelinci segar setelah 2 jam digunakan dengan perbesaran 4x10

Gambar 4.1.j. Usus halus kelinci yang dikeringkan setelah 2 jam digunakan dengan perbesaran 4x10 kelinci yang dikeringkan setelah

2 jam digunakan dengan

(50)

Dari hasil pengecatan membran hematoksilin-eosin pada usus halus kelinci

segar dan usus halus kelinci yang dikeringkan, dapat dilihat bahwa terdapat

perbedaan pada kedua usus halus kelinci tersebut. Perbedaan tersebut berupa semakin

besarnya pori-pori pada membran usus halus kelinci yang dikeringkan dibandingkan

dengan pori-pori pada usus halus kelinci yang segar. Hal ini menunjukkan bahwa

freeze dryer berpengaruh pada struktur membran usus halus kelinci tersebut.

4.4 Pengaruh Perbedaan Jenis Usus dan Jenis Sediaan Ibuprofen Terhadap Konsentrasi Kumulatif Ibuprofen yang Terabsorpsi pada Usus Halus Terbalik Kelinci

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis usus dan jenis sediaan ibuprofen

terhadap konsentrasi kumulatif ibuprofen, dilakukan pengujian dalam larutan dapar

fosfat pH 6,4 isotonis pada temperatur 37 ± 0,5ºC dengan hasil seperti yang terlihat

pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Data konsentrasi kumulatif ibuprofen pada interval waktu tertentu dalam mcg/ml pada usus halus kelinci segar

Waktu (Menit)

Konsentrasi Kumulatif Rata-Rata (mcg/ml)

Ibuprofen Baku Ibuprofen Tablet Generik

139,0567 ± 39,0078 43,3125 ± 4,8457 57,7008 ± 39,3629 30

188,7633 ± 47,2602 77,4567 ± 9,7789 93,6783 ± 68,3097 60

264,8050 ± 51,6316 112,7400 ± 4,7667 131,4367 ± 94,6699 90

368,3208 ± 77,8296 170,0492 ± 30,1349 234,2233 ± 124,5625 120

486,4392 ± 108,7647 248,1383 ± 8,9433 352,5550 ± 143,0798 150

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen
Gambar 2.2 Stuktur membran sel
Gambar 2.5.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Comparing between Simulated Annealing Neighborhood Generation with the Combination of Simulated Annealing and Genetic Algorithm in Facility Layout Problem..

Pemerintah Desa yang menerima Bantuan Keuangan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang dialokasikan untuk kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa Sengkuyung,

(3) Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI), sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini,

Menimbang : bahwa dalam upaya mempercepat program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bantul melalui Bantuan Keuangan Khusus Pemerintah Daerah Daerah Istimewa

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi meneliti kelengkapan administratif dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh Kepala Sekolah seperti tersebut pada angka 3 (tiga) dan

(3) Pos UKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh kader dari pekerja perusahaan atau tempat kerja sektor informal, berkoordinasi dengan Puskesmas

Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan frekuensi paling banyak adalah responden yang mempunyai dukungan keluarga yang tinggi dan memberikan ASI

Pengendalian penyakit busuk batang di Malaysia juga dilakukan dengan memangkas bagian tanaman yang terserang dan aplikasi fungisida dengan cara disemprotkan ke seluruh