EVALUASI EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TRIASE MENGGUNAKAN PATIENT ACUITY CATEGORY SCALE-WORTHING PHYSIOLOGY SCORING
SYSTEM DI INSTALASI GAWAT DARURAT RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
TESIS
KERY BAYU SANTOSO K. 20101030043
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCASARJANA
EVALUASI EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TRIASE MENGGUNAKAN PATIENT ACUITY CATEGORY SCALE-WORTHING PHYSIOLOGY SCORING
SYSTEM DI INSTALASI GAWAT DARURAT RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2
Program Studi Manajemen Rumah Sakit
KERY BAYU SANTOSO K. 20101030043
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCASARJANA
v
EVALUASI EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TRIASE MENGGUNAKAN PATIENT ACUITY CATEGORY SCALE - WORTHING PHYSIOLOGY SCORE SYSTEM DI INSTALASI GAWAT DARURAT RS PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA UNIT II
EVALUATION THE EFFECTIVITY OF PATIENT ACUITY CATEGORY SCALE - WORTHING PHYSIOLOGY SCORE SYSTEM TRIAGE IN EMERGENCY DEPARTMENT OF PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II HOSPITAL
Kery Bayu Santoso K.
Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Program Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
INTISARI
Latar Belakang: Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat merupakan pelayanan kesehatan yang bertujuan mencegah kematian dan kecacatan. Untuk itu harus diupayakan suatu cara dan mekanisme pelayanan yang cepat dan tepat. Adanya sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien sangat menolong dalam melayani pasien-pasien yang datang di Instalasi Gawat Darurat. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan triage sebelum dan sesudah penerapan Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiology Score System (PACS-WPSS) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunkan metode Quasy Eksperiment dengan rancangan Pre-Post Test sebelum dan sesudah penerapan PACS-WPSS di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji statistik independent sample t-test.
Hasil dan pembahasan: Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata respon time pasien yang dilakukan triase dengan metode PACS-WPSS baik indikasi hijau, kuning, dan merah (pre-test) adalah 5,5365 + 2,58758 menit. Rata-rata respon time pasien yang dilakukan triase dengan metode PACS-WPSS baik indikasi hijau, kuning, dan merah (post-test) adalah 3,4811 + 2,02911 menit. Hal ini berarti response time rata-rata postest lebih kecil dari pretest. Hasil independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase dengan metode PACS-WPSS dengan perbedaan rata-rata lebih cepat 2,05540 menit dari sebelum diberlakukannya triase.
vi ABSTRACT
Background: Services in the Emergency Department are health services which mean to prevent death and disability. For that,it must be pursued in promp and appropriate way and mechanism of delivery. A selection system of patients to determine the level of urgency and priority of patients handling is helpful in serving patients who come in the ED. The aim of this study was To Analyzed the Effectivity Of Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiology Score System (PACS-WPSS) Triage In Emergency Department Of PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Hospital
Method: This research is Quasy Experiment reseach which use Pre-Post Test design of PACS-WPSS triage implmentation in Emergency Department Of PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Hospital. Quantitative data will be analyze using independent sample t-test
Result and discussion: The analysis showed that the average pre-test response time of patients in all triage WPSS-PACS indication was 5.5365 + 2.58758 minutes. The average post-test response time of patients in all triage WPSS-PACS indication was 3.4811 + 2.02911 minutes. This means that the average response time of post-test is quicker than pretest. Results of independent sample t-test showed that there are differences in response time after triage imposed by the method of PACS-WPSS with an average difference 2.05540 minute faster than before triage.
Conclusion: There are respose time different between before and after PACS-WPSS triage methode implementation. It can be concluded that PACS-PACS-WPSS triage can fasten patient caring in ED
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perubahan perilaku masyarakat dari yang awalnya hanya mengikuti instruksi menjadi lebih kritis dan proaktif dalam proses berjalannya pelayanan kesehatan terutama pelayanan gawat darurat, menyebabkan manajemen rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Kualitas pelayanan kesehatan misalnya, keramahan, kenyamanan, kemudahan atau waktu tanggap yang cepat dalam melakukan pelayanan kesehatan menjadi aspek penting dalam penilaian mutu pelayanan suatu rumah sakit.
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yang berada di Jalan Wates KM 5.5 Gamping merupakan rumah sakit pendidikan bagi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarata. Sebagai rumah sakit yang terus berkembang tentunya memiliki tantangan yang tinggi terutama bagi pimpinan dan segenap jajarannya untuk mengelola secara profesional, memperbaiki citra pelayanan dan memenuhi harapan masyarakat Yogyakarta, khususnya daerah Gamping dan sekitarnya. Salah satu tantangan yang memiliki beban dan sekaligus peran penting adalah Instalasi Gawat Darurat.
Adanya sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien sangat menolong dalam melayani pasien-pasien yang datang di Instalasi Gawat Darurat. Dasar untuk pemilahan pasien gawat darurat (true emergency) dan bukan gawat darurat (false emergency) tersebut adalah triase (Pusponegoro, 2011).
Kathleen (2008) menyatakan bahwa triase adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya.
The Singapore Patient Acuity Category Scale (PACS) mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat kegawatannya secara
menurun, yaitu: kategori triase 1: Resusitasi dan Pasien Kritis; kategori triase
2: Emergensi Mayor; kategori triase 3: Emergensi Minor; kategori 4: bukan
Emergensi (Teo, 2005).
The Worthing Physiological Scoring System (WPSS) adalah suatu sistem
skoring prognostik sederhana yang mengindentifikasi penanda fisiologis pada
tahap awal untuk melakukan tindakan secepatnya, yang dituangkan dalam
bentuk intervention-calling score. Skor tersebut didapatkan dari pengukuran
tanda vital yang mencakup tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, temperatur, saturasi oksigen, dan tingkat kesadaran berdasar
The Worthing Physiological Scoring System (WPSS) melakukan
penilaian tanda vital dengan sederhana dalam identifikasi pasien, serta
memberikan kategori triage yang obyektif. Selain itu WPSS memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
1. Penilaian cepat dan akurat terhadap pasien gawat.
2. Mengubah parameter klinis yang terukur kedalam suatu nilai skor.
3. Peralatan (tensimeter, termometer, dan pulse oxymetri) yang
dibutuhkan minimal, tidak menyakiti, serta mudah digunakan.
4. Penilaian yang dilakukan akan seragam antar staf.
Hendrik, Pranowo, Sulistyo, et.al., (2006) menyatakan bahwa waktu penatalaksanaan kegawatdaruratan medis dan response time berpengaruh terhadap mutu pelayanan di instalasi gawat darurat. Merujuk pada hasil studi pendahuluan melalui kegiatan observasi yang dilakukan selama tiga hari diperoleh informasi awal mengenai pelaksanaan triage di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II masih kurang tepat atau bisa dikatakan masih belum berjalan dengan baik, sehingga hal ini dapat mempengaruhi response time penanganan pasien, apalagi jika pasien yang ditangani adalah pasien true emergency.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana efektifitas pelaksanaan triage sebelum dan sesudah penerapan Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiology Score System (PACS-WPSS) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan triage sebelum dan sesudah penerapan Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiology Score System (PACS-WPSS) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penelitian Selanjutnya
Dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya dimana data penelitian dan analisisnya dapat dipakai sebagai bahan masukan dalam menggali dan mengembangkan lagi secara lebih mendalam.
2. Bagi Rumah Sakit
Dapat memberikan informasi kepada pihak Manajemen Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tentang pelaksanaan triase di Instalasi Gawat Darurat untuk penyempurnaan sistem dan kebijakan selanjutnya.
3. Bagi Pendidikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Rumah Sakit
a. Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan
gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai
kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani
masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam
maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang
baik. (Siregar, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 147/MENKES/ PER/ I/ 2010 tentang perizinan rumah sakit disebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.(Triwibowo, 2012).
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (curatif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004).
b. Pelayanan Rumah Sakit
Pelayanan penderita yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis, pelayanan farmasi, dan pelayanan keperawatan. Pelayanan penderita melibatkan pemeriksaan dan diagnosa, pengobatan penyakit atau luka, pencegahan, rehabilitasi, perawatan dan pemulihan kesehatan (Siregar, 2004)
c. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit menyatakan bahwa tugas rumah sakit adalah
memberikan kesehatan perorangan secara paripurna sedangkan fungsi
rumah sakit adalah:
1) Penyelenggaraan pelyanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayan rumah sakit
2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelyanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga
sesuai kebutuhan medis
3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian
4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan bidang kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Rumah sakit menurut Aditama dalam Triwibowo (2012)
setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi sebagai berikut:
1) Menyediakan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan
terapeutiknya.
2) Memiliki pelayanan rawat jalan 3) Melakukan pendidikan dan pelatihan
4) Melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan.
5) Melaksanakan program pencegahan penyakit dan penyuluhan
kesehatan bagi populasi disekitarnya.
d. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 19
yaitu rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelyanan dan
pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelyanan yang diberikan, rumah
sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan khusus. Rumah sakit
umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada
semua jenis bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit khusus yaitu
rumah sakit yang memberikan pelyanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi
rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah
rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
badan hukum yang bersifat nirlaba yaitu Badan Layanan Umum
(BLU). Pengertian atau definisi BLU diatur dalam pasal 1 angka 23
UU no. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, yaitu “Badan
Layanan Umum adalah instansi dilingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Hal ini berarti rumah sakit
publik tidak bertujuan untuk mencari laba atau keuntungan.
(Triwibowo, 2012).
Rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan profit berbentuk perseroan terbatas atau persero.
Menurut astuti (2009), rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang
didirikan oleh pihak swasta atau non pemerintah, yaitu beberapa orang
(person) sepakat untuk mendirikan badan hukum (rechtperson) dan
badan hukum ini melakukan kegiatan dalam bidang pendirian dalam
menjalankan rumah sakit. Selain didirikan oleh persoon, sering juga
terdapat rumah sakit yang didirikan oleh kelompok-kelompok, seperti
kelompok agama. Adapun bentuk badan hukum rumah sakit yang
(stichting). Menurut Martafari (2009), rumah sakit umum pemerintah
adalah rumah sakit umum milik pemerintah baik pusat, daerah,
Departemen Pertahanan dan Keamanan maupun Badan Usaha Milik
Negara. Rumah sakit umum daerah adalah rumah sakit umum milik
pemerintah provinsi, kabupaten atau kota yang berlokasi didaerah
provinsi, kabupaten dan kota.
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 24
menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pelyanan kesehatan secara
berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelyanan rumah sakit. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri atas
rumah sakit umum kelas A, rumah sakit umum kelas B, rumah sakit
umum kelas C, rumah sakit umum kelas D. klasifikasi rumah sakit
khusus terdiri atas rumah sakit khusus kelas A, rumah sakit khusus
kelas B, dan rumah sakit khusus kelas C.
Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 340 Tahun 2010 tentang klasifikasi Rumah Sakit mengatur
klasifikasi rumah sakit secara lebih detail berdasarkan layanan,
sumberdaya manusia, peralatan, sarana prasarana dan administrasi
manajemen. (Triwibowo, 2012).
a. Pengertian Instalasi Gawat Darurat
Pengertian Intalasi Gawat Daurat (IGD) rumah sakit adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009 untuk mengatur standarisasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Guna meningkatkan kualitas IGD di Indonesia perlu komitmen Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dengan ikut memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa dalam penanganan kegawatdaruratan dan life saving tidak ditarik uang muka dan penanganan gawat darurat harus dilakukan 5 (lima) menit setelah pasien sampai di IGD.
b. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat
darurat/emergency dalam suatu prosedur pelayanan rumah sakit. Prosedur ini merupakan kunci awal pelayanan petugas kesehatan rumah sakit dalam melayani pasien secara baik atau tidaknya, dilihat dari sikap yang ramah, sopan, tertib, dan penuh tanggung jawab (Depkes RI, 2006).
Latar belakang pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD Rumah Sakit sesuai dengan standar. Disisi lain, desentralisasi dan otonomi telah memberikan peluang daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya serta siap mengambil alih tanggung jawab yang selama ini dilakukan oleh pusat.
Prinsip umum pelayanan IGD di rumah sakit dari Depkes RI (2010):
2) Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
3) Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di rumah sakit diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD).
4) Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat darurat.
5) Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit setelah sampai di IGD.
6) Organisasi IGD didasarkan pada organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi struktur organisasi fungsional (unsur pimpinan dan unsur pelaksana)
7) Setiap Rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi.
c. Mutu Pelayanan Instalasi Gawat Darurat
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit menggunakan Indikator Kinerja Kunci atau Key Performance Indicators (KPI). Dalam SPM rumah sakit untuk unit pelayanan IGD rumah sakit memiliki beberapa indikator sebagai berikut.
Tabel 2.1. Key Performance Indicators Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Jenis
Pelayanan Indikator Standar
Gawat Darurat Kemampuan menangani life saving
Jam buka pelayanan gawat darurat 24 jam Pemberi pelayanan kegawatdaruratan yang bersertifikat yang masih berlaku
ATLS/BTLS/ACLS/PPGD
24 jam
Kesediaan tim
penanggulangan bencana Satu tim Waktu tanggap pelayanan
gawat darurat
≤ 5 menit setelah pasien
datang
Kepuasan pelanggan ≥ 70%
Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka
100%
Kematian pasien ≤ 24 jam
≤ dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat
inap setelah 8 jam) Sumber: SPM Rumah Sakit Tahun 2008
3. Waktu Tanggap (Response Time)
IGD sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat darurat di
rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan
hidup klien. Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang
pentingnya waktu tanggap (response time). Menurut Kepmenkes Nomor
129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
(SPM-RS), waktu tanggap pelayanan dokter di instalasi gawat darurat memiliki
standar maksimal 5 menit di tiap kasus.
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien
yang datang ke IGD memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat
darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal
ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya
manusia dan manajemen IGD rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes RI,
2009).
Hendrik Pranowo, Sulistyo, et.al., (2006) menyatakan bahwa waktu penatalaksanaan kegawatdaruratan medis dan response time berpengaruh terhadap mutu pelayanan di instalasi gawat darurat. Dalam Penelitian yang dilakukan Aslian (2009) didapatkan hasil bahwa respon dokter triase atau respon terhadap pasien dengan jenis kegawatan true emergency dan false emergency mempengaruhi mutu rumah sakit.
Penyusunan standar tenaga keperawatan di rumah sakit
keperawatan berdasarkan kualifikasi dan jenis pelayanan keperawatan di
di rumah sakit. Dalam penanganan gawat darurat ada filosofi “Time Saving is Life Saving” artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat
kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini
mengingatkan bahwa pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam
hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia dapat
menyebabkan kematian yang fatal (Sutawijaya, 2009).
4. Konsep Triase a. Pengertian Triase
Triase adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien
berdasarkan berat ringannya kondisi klien atau kegawatanya yang
memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter
mempunyai batasan waktu (response time) untuk mengkaji keadaan
dan memberikan intervensi secepatnya yaitu < 10 menit. Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di medan
perang. Kata ini berasal dari bahasa Perancis yang berarti
bermacam-macam dalam memilah gangguan. Dominique larrey, ahli bedah
Napolleon Bonaparte yang pertama kali melakukan triase. Kini istilah
tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
memerlukan pertolongan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) setiap
tahunnya (Pusponegoro, 2010).
Triage yang akurat merupakan kunci untuk tindakan yang efisien di Instalasi Gawat Darurat (Manitoba Health, 2010). Penatalaksanaan pada kondisi darurat didasarkan pada respon klinis daripada urutan kedatangan (ACEM, 2005). Pasien dengan prioritas rendah akan menunggu lebih lama untuk penilaian dan pengobatan (Manitoba Health, 2010). Triase memiliki fungsi penting di Instalasi Gawat Darurat (IGD), di mana banyak pasien dapat hadir secara bersamaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasien dirawat sesuai urutan urgensi klinis mereka yang mengacu pada kebutuhan untuk intervensi waktu-kritis. Urgensi klinis tidak identik dengan kompleksitas atau tingkat keparahan. Triase juga memungkinkan untuk alokasi pasien untuk penilaian dan pengobatan daerah yang paling tepat, dan memberikan kontribusi informasi yang membantu untuk penanganan kasus lebih lanjut (ACEM, 2005).
b. Pembagian Triase
Berbagai sistem triase mulai dikembangkan pada akhir tahun
1950-an seiring jumlah kunjungan IGD yang telah melampaui
kemampuan sumber daya yang ada untuk melakukan penanganan
segera. Tujuan triase adalah memilih atau menggolongkan semua
Triase terbagi atas Single Patient Triage dan Routine Multiple
Casualty Triage.
1) Single Patient Triage
Menurut Pusponegoro (2011), triase tipe ini dilakukan
terhadap satu pasien pada fase pra-rumah sakit maupun pada fase
rumah sakit di Instalasi Gawat Darurat dalam day to day
emergency dimana pasien dikategorikan ke dalam pasien gawat
darurat (true emergency) dan pasien bukan gawat darurat (false
emergency). Dasar dari cara triase ini adalah menanggulangi
pasien yang dapat meninggal bila tidak dilakukan resusitasi
segera. Single patient triage dapat juga dibagi dalam kategori
berikut:
a) Resusitasi adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat
darurat dan mengancam nyawa serta harus mendapat
penanganan resusitasi segera.
b) Emergent adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat
darurat karena dapat mengakibatkan kerusakan organ
permanen dan pasien harus ditangani dalam waktu maksimal
10 menit.
c) Urgent adalah pasien yang datang dengan keadaan darurat
tidak gawat yang harus ditangani dalam waktu maksimal 30
d) Non-urgent adalah pasien yang datang dalam kondisi tidak
gawat tidak darurat dengan keluhan yang ringan-sedang,
tetapi mempunyai kemungkinan atau dengan riwayat
penyakit serius yang harus mendapat penanganan dalam
waktu 60 menit.
e) False emergency adalah pasien yang datang dalam kondisi
tidak gawat tidak darurat dengan keluhan ringan dan tidak
ada kemungkinan menderita penyakit atau mempunyai
riwayat penyakit yang serius.
2) Routine Multiple Casualty Triage
a) Simple triage and rapid treatment (START)
Dalam Hospital Preparedness for Emergencies &
Disasters (2007) dinyatakan bahwa sistem ini ideal untuk
Incident korban massal tetapi tidak terjadi functional
collapse rumah sakit. Ini memungkinkan paramedik untuk
memilah pasien mana yang perlu dievakuasi lebih dulu ke
rumah sakit. Prinsip dari START adalah untuk mengatasi
ancaman nyawa, jalan nafas yang tersumbat dan perdarahan
masif arteri. START dapat dengan cepat dan akurat tidak
boleh lebih dari 60 detik perpasien dan mengklasifikasi
pasien ke dalam kelompok terapi:
o Kuning/delayed: semua pasien yang tidak termasuk golongan merah maupun hijau.
o Merah/immediate (10%-20% dari semua kasus): semua pasien yang ada gangguan air way, breathing,
circulation, disability and exposure. Termasuk
pasien-pasien yang bernafas setelah air way
dibebaskan, pernafasan > 30 kali permenit, capillary
refill > 2 detik.
o Hitam: meninggal dunia
b) Triase bila jumlah pasien sangat banyak
SAVE (secondary Assessment of Victim Endpoint).
Sistem ini dapat mentriase dan menstratifikasi korban
bencana. Ini sangat membantu bila dilakukan dilapangan
dimana jumlah pasien banyak, sarana minimum dan jauh
dari fasilitas rumah sakit definitive (Depkes, 2007a).
Kategori triase dalam SAVE dibagi menjadi tiga kategori
sebagai berikut:
o Korban yang akan mati tanpa melihat jumlah perawatan yang diterimanya.
o Korban yang akan selamat tanpa melihat langkah perawatan apa yang diberikan.
5. Pendekatan Manajemen pada Triase di Instalasi Gawat Darurat a. Pengorganisasian Triase di Instalasi Gawat Darurat
Pengorganisasian merupakan proses penyusunan pembagian
kerja ke dalam unit-unit kerja dan fungsi-fungsinya beserta
penempatannya dengan cara yang tepat mengenai orang-orangnya
(staffing) yang harus menduduki fungsi-fungsi itu berikut
penentuannya dengan tepat tentang hubungan wewenang dan
tanggung jawabnya (Handoko, 2003).
b. Kebijakan dan Standar Prosedur Operasional
Lumenta (2012) menyatakan bahwa kebijakan adalah rangkaian
konsep dan ketentuan pokok yang menjadi garis besar dan dasar bagi
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, serta konsistensi dengan
tujuan organisasi, sedangkan standar prosedur operasional adalah
suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SPO membantu
mengurangi kesalahan dan pelayanan dibawah standar dengan
memberikan langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam
melaksanakan berbagai kegiatan.
Standar prosedur operasional disusun dengan tujuan agar
berbagai proses kerja rutin terlaksana dengan efisien, efektif,
konsisten dan aman, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
operasional disusun didasarkan atas kebijakan yang berlaku
(Lumenta, 2012).
c. Sumber Daya
1) Sumber Daya Manusia
Menurut Handoko (2003), sumber daya manusia merupakan
titik kunci untuk mencapai keberhasilan suatu tujuan organisasi.
Oleh karena itu perencanaan dan kebutuhan sumber daya
manusia perlu dikaji secara mendalam. Perencanaan sumber daya
manusia merupakan suatu proses untuk menentukan jumlah, jenis
tenaga kerja yang dibutuhkan organisasi, pada waktu dan tempat
yang tepat, dengan harapan tenaga kerja tersebut mampu
melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan harapan organisasi.
Triase di Instalasi Gawat Darurat dapat dilakukan oleh dokter
maupun perawat yang bersertifikasi gawat darurat.
2) Sarana dan Pendukung Triase
Sarana tempat layanan triase di Instalasi Gawat Darurat
harus tersedia dan memiliki kapasitas yang memadai dengan
kondisi bangunan kokoh saat terjadi bencana. Oleh karena itu
desain dan konstruksi bangunan daerah rawan gempa harus kuat
dan lebih khusus di bandingkan bangunan daerah yang tidak
rawan gempa (Depkes RI, 2007b).
Selain itu diperlukan lokasi pemisahan khusus untuk pasien
pasien memasuki ruang tindakan ataupun pengobatan. Namun
pada pelaksanaannya area triase dilakukan pada daerah yang lebih
fleksibel mengikuti jumlah dan kapasitas Instalasi Gawat Darurat
terutama saat bencana terjadi.
Hal lain yang harus difikirkan petugas triase adalah daya
tampung dan fasilitas rumah sakit yang ditetapkan tidak hanya
berdasarkan jumlah tempat tidur yang tersedia, tetapi juga
berdasarkan kapasitasnya untuk merawat korban. Dalam suatu
kejadian bencana massal permasalahan yang muncul dalam
penanganan korban adalah kapasitas perawatan bedah dan unit
perawatan intensif.
Standar tempat penerimaan korban di rumah sakit dimana
triase dilakukan (Depkes RI, 2007b) adalah:
a) Akses langsung dengan tempat dimana ambulans
menurunkan korban
b) Merupakan tempat tertutup
c) Dilengkapi dengan penerangan yang cukup
d) Akses yang mudah ketempat perawatan utama seperti
Instalasi Gawat Darurat, Kamar Operasi dan Unit Perawatan
Intensif.
d. Sistem Transportasi, Informasi dan Komunikasi
Kesiapan transportasi sebagai alat pengangkutan baik
berupa barang maupun korban dan petugas kesehatan sangat
dibutuhkan dalam menjalankan proses triase. Keperluan alat
transportasi ini mengharuskan sektor kesehatan berkoordinasi
dengan rumah sakit lain guna kepentingan proses pengangkutan
dan rujukan serta lembaga lain untuk dukungan penyediaannya.
2) Informasi dan Komunikasi
Informasi dan komunikasi sangat diperlukan dalam proses
triase masuk/rujuknya pasien ke dan dari Instalasi Gawat
Darurat terutama saat terjadi krisis dan bencana massal. Depkes
RI (2007b), mengemukakan bahwa perencanaan kesiapan
informasi internal rumah sakit menyangkut pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi korban yang masuk/datang ke rumah
sakit, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan ketersediaan
tenaga dan lain-lain.
Pelayanan kegawatan medik di Inggris diorganisasi secara
triase tidak langsung dan triase langsung. Triase tidak langsung
pertama tama penderita/penolong kontak dengan telepon 999 dan
kemudian penelpon mendapat nasehat kemana mencari
pertolongan. Triase langsung, penderita dapat masuk pada saat
yang baik ke pelayanan gawat darurat medik dan kemudian
dinilai keadaan penderita sebelum dibawa ke tempat pelayanan
Salah satu bentuk informasi dan komunikasi yang kini
gencar dilakukan adalah telenursing. Telenursing yang sudah
berlaku di Indonesia adalah prinsip call center di berbagai rumah
sakit dan pusat perawatan yang menerima pengaduan dan
layanan melalui telepon, melakukan teletriage bila pasien
mengalami kondisi kegawatdaruratan (Canadian Nursing
Informatics Association, 2006).
e. Alur Pelaksanaan Triase
1) True emergency dan False Emergency (Pusponegoro, 2011)
a) True emergency merupakan pelayanan medik gawat darurat
yang memberikan pertolongan pertama mengenai diagnosis
dan upaya penyelamatan jiwa, mengurangi kecacatan dan
kesakitan penderita dalam keadaan sebelum dirujuk.
b) False Emergency merupakan pasien yang tidak memerlukan
pemeriksaan dan perawatan segera, dapat menunggu sesuai
antrian sambil tetap dilakukan observasi longgar oleh
petugas.
f. Exercises
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tentang
tenaga kesehatan dalam pasal 10 (1) setiap tenaga kesehatan memiliki
kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan
sesuai dengan bidang tugasnya. (2) Penyelenggara dan/atau pimpinan
kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada
sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan
keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.
Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dalam
pasal 5 dijelaskan bahwa rumah sakit mempunyai fungsi
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
6. Triase Rumah Sakit
Sistem triase IGD memiliki banyak variasi dan modifikasi yang sesuai dengan kondisi masing-masing rumah sakit. Beberapa sistem triase yang digunakan di rumah sakit adalah sebagai berikut:
a. Patient Acuity Category Scale (PACS)
Sistem PACS berasal dari singapura dan diadopsi oleh rumah sakit yang bekerja sama atau berafiliasi dengan Singapore General Hospital. (Hadi, 2014).
PACS terdiri dari 4 skala prioritas yaitu:
2) PAC 2 merupakan kategori pasien-pasien sakit berat, tidur dibrankar atau bed, dan distress berat, tetapi keadaan hemodinamik stabil pada pemeriksaan awal.
Pasien pada kategori ini mendapatkan prioritas pertolongan kedua dan pengawasan ketat karena cenderung kolaps bila tidak mendapat pertolongan. Contohnya anatara lain stroke, fraktur terbuka tulang panjang, serangan asma dan lain-lain.
3) PAC 3 merupakan kategori pasien-pasien dengan sakit akut, moderate, mampu berjalan, dan tidak beresiko kolaps. Pertolongan secara efektif di IGD biasa cukup menghilangkan atau memperbaiki keluhan penyakit pasien. Contohnya antara lain vulnus, demam, cedera ringan-sedang, dan lain-lain.
4) PAC 4 merupakan kategori pasien-pasien non emergency. Pasien ini dirawat di poli. Pasien tidak membutuhkan pengobatan segera dan tidak menderita penyakit yang beresiko mengancam jiwa. Contohnya antara lain acne, dislipidemia, dan lain-lain.
b. Worthing Physiology Score System (WPSS)
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur, saturasi oksigen, dan tingkat kesadaran berdasar AVPU (alert, verbal, pain, unresponsive) (Duckitt, et al., 2007). Intervention-calling score WPSS mempunyai keterbatasan pada pasien trauma oleh karena pada pasien trauma walaupun mengalami kondisi yang berat yang berkaitan dengan traumanya namun dalam keadaan akut seringkali masih memiliki cadangan fisiologis yang masih baik.
The Worthing Physiological Scoring System (WPSS) melakukan
penilaian tanda vital dengan sederhana dalam identifikasi pasien, serta
memberikan kategori triage yang obyektif. Selain itu WPSS memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
1) Penilaian cepat dan akurat terhadap pasien gawat.
2) Mengubah parameter klinis yang terukur kedalam suatu nilai skor. 3) Peralatan (tensimeter, termometer, dan pulse oxymetri) yang
dibutuhkan minimal, tidak menyakiti, serta mudah digunakan. 4) Penilaian yang dilakukan akan seragam antar staf.
c. Australia Triage Scale
Australian Triage Scale (ATS) merupakan skala yang digunakan untuk mengukur urgensi klinis sehingga paten terlihat pada waktu yang tepat, sesuai dengan urgensi klinisnya. (Emergency Triage Education Kit. 2009)
Baru. Ini adalah skala untuk penilaian kegawatan klinis. Meskipun terutama alat klinis untuk memastikan bahwa pasien terlihat secara tepat waktu, sepadan dengan urgensi klinis mereka, ATS juga digunakan untuk menilai kasus. Skala ini disebut triase kode dengan berbagai ukuran hasil (lama perawatan, masuk ICU, angka kematian) dan konsumsi sumber daya (waktu staf, biaya). Ini memberikan kesempatan bagi analisis dari sejumlah parameter kinerja di Unit Gawat Darurat (kasus, efisiensi operasional, review pemanfaatan, efektivitas hasil dan biaya).
Tabel 2.2. Kategori Skala Triase Australia berdasarkan waktu tunggu maksimal. AUSTRALIAN TRIAGE SCALE CATEGORY ACUITY (Maximum Waiting Time) PERFORMANCE INDICATOR THRESHOLD ATS 1 ATS 2 ATS 3 ATS 4 ATS 5 Immediate 10 minutes 30 minutes 60 minutes 120 minutes 100% 80% 75% 70% 70%
d. Emergency Severity Index (ESI)
Sistem ESI dikembangkan di Amerika Serikat dan Kanada oleh
perhimpunan perawat emergensi. Emergency Severity Index diadopsi
secara luas di Eropa, Australia, Asia, dan rumah sakit-rumah sakit di
indonesia. Emergency Severity Index (ESI) memiliki 5 skala prioritas
yaitu:
[image:32.595.166.516.390.503.2]threatening problem) sehingga membutuhkan tindakan penyelematan jiwa yang segera. Parameter prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada ABCD. Contoh prioritas 1 antara lain, cardiac arrest, status epilptikus, koma hipoglikemik dan lain-lain.
2) Prioritas 2 (label merah) merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa atau organ sehingga membutuhkan pertolongan yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah pasien-pasien haemodinamik atau ABCD stabil dengan penurunan kesadaran tapi tidak sampai koma (GCS 8-12). Contoh prioritas 2 antara lain, serangan asma, abdomen akut, luka sengatan listrik dan lain-lain.
3) Prioritas 3 (label kuning) merupakan pasien-pasien yang membutuhkan evaluasi yang mendalam dan pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Contoh prioritas 3 antara lain, sepsis yang memerlukan pemeriksaan laboratorium, radiologis dan EKG, demam tifoid dengan komplikasi dan lain-lain.
5) Prioritas 5 (label putih) merupakan pasien-pasien yang tidak memerlukan sumber daya. Pasien ini hanya memerlukan pemeriksaan fisik dan anamnesis tanpa pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien dengan prioritas 5 umumnya per oral atau rawat luka sederhana. Contoh prioritas 5 antara lain, common cold, acne, eksoriasi, dan lain-lain. (Hadi, 2014)
B. Landasan Teori
1. Patient Acuity Category Scale (PACS)
Sistem PACS berasal dari singapura dan diadopsi oleh rumah sakit
yang bekerja sama atau berafiliasi dengan Singapore General Hospital.
(Hadi, 2014).
PACS terdiri dari 4 skala prioritas yaitu:
a. PAC 1 merupakan kategori pasien-pasien yang sedang mengalami kolaps kardiovaskular atau dalam kondisi yang mengancam nyawa. Pertolongan pada kategori ini tidak boleh delay, contohnya antara lain major trauma, STEMI, Cardiac arrest, dan lain-lain.
c. PAC 3 merupakan kategori pasien-pasien dengan sakit akut, moderate, mampu berjalan, dan tidak beresiko kolaps. Pertolongan secara efektif di IGD biasa cukup menghilangkan atau memperbaiki keluhan penyakit pasien. Contohnya antara lain vulnus, demam, cedera ringan-sedang, dan lain-lain.
d. PAC 4 merupakan kategori pasien-pasien non emergency. Pasien ini dirawat di poli. Pasien tidak membutuhkan pengobatan segera dan tidak menderita penyakit yang beresiko mengancam jiwa. Contohnya antara lain acne, dislipidemia, dan lain-lain.
2. Worthing Physiology Score System (WPSS)
The Worthing Physiological Scoring System (WPSS) melakukan
penilaian tanda vital dengan sederhana dalam identifikasi pasien, serta
memberikan kategori triage yang obyektif. Selain itu WPSS memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
a. Penilaian cepat dan akurat terhadap pasien gawat.
b. Mengubah parameter klinis yang terukur kedalam suatu nilai skor. c. Peralatan (tensimeter, termometer, dan pulse oxymetri) yang
dibutuhkan minimal, tidak menyakiti, serta mudah digunakan. d. Penilaian yang dilakukan akan seragam antar staf.
[image:36.595.144.524.401.607.2](Tri, 2012)
C. Keaslian Penelitian
1. Hamid-Reza Khankeh, Davoud Khorasani-Zavareh, Farah Azizi-Naghdloo, Mohammad-Ali Hoseini, Mahdi Rahgozar (2013) melakukan penelitian mengenai Triage effect on wait time of receiving treatment services and patients satisfaction in the emergency department: Example from Iran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa triase dengan signifikan mengurangi waktu tunggu pasien dari tiba di IGD sampai mendapatkan pemeriksaan dan meningkatkan kepuasan pasien. Persamaan pada penelitian ini adalah sama-sama melakukan pengukuran waktu dari pertama pasien datang ke IGD hingga mendapatkan pemeriksaan awal. Adapun perbedaannya pada penelitian ini diukur waktu tunggu pasien sampai mendapatkan pemeriksaan awal sedangkan pada penelitian saya mengukur waktu tanggap (response time) tenaga kesehatan pada saat pasien datang hingga mendapatkan pemeriksaan awal.
3. Wa Ode Nur Isnah S (2012), melakukan penelitian mengenai Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus pada Respone Time 1 di Instalasi Gawat Darurat Bedah dan non Bedah RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Hasil dari penelitian ini menunjukkan waktu tanggap (response time) penanganan kasus di IGD Bedah dan Non-Bedah RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo. Dimana faktor-faktor yang mempengaruhi seperti tersedianya stretcher didepan pintu masuk IGD memiliki hubungan yang erat dengan ketepatan response time berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Persamaan dari penelitian ini adalah pada variabel pelaksanaan triase dan waktu tanggap, sedangkan perbedaan dari penelitian ini pada fokus penelitiannya yang lebih mengarah ke faktor-faktor yang mempengaruhi.
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Pelaksanaan triase
sebelum implementasi PACS-WPSS (Pre-test)
Implementasi PACS-WPSS
Pelaksanaan triase sesudah implementasi PACS-WPSS ( post-test)
Efektifitasnya terhadap waktu tanggap (respon time)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunkan metode Quasy Eksperiment dengan rancangan Pre-Post Test, di mana pada awalnya peneliti melakukan observasi pelaksanaan triase dan waktu tanggap (response time) di Instalasi Gawat Darurat sebelum implementasi Patient Acuity Category Scale-Worthing Physiological Scoring System (PACS-WPSS) atau disebut juga Pre-test.
[image:39.595.145.504.494.610.2]Penelitian kedua peneliti melakukan observasi waktu tanggap (response time) setelah diimplementasikan triase menggunakan Patient Acuity Category Scale – Worthing Physiologic Scoring System (PACS-WPSS) atau disebut juga Post-test.
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Penelitian dilaksanakan pada bulan Febuari dan Agustus 2016.
Tabel 3.1. Waktu Penelitian Pre-test
Implementasi Triase Patient Acuity Category Scale –
Worthing Physiological Scoring System
No. Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Studi
pendahuluan
X 2. Pembuatan
proposal
X 3. Seminar
roposal
X 4. Pengambilan
data Pre-test Implementasi Post-test X X X
5. Analisis data X
6. Pembahasan X
7. 8. Seminar hasil Seminar Tesis X X
C. Populasi Sampel dan Sampling 1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh kasus pasien di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
2. Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 3 kategori yang akan di observasi pada 2 perlakuan pre-test dan post-test sehingga sampel penelitian yang dibutuhkan adalah 90 untuk pre-test dan 90 untuk post-test.
Pengambilan sampel penelitian kasus pasien IGD ditentukan berdasarkan: a. Kriteria Inklusi
Semua pasien yang datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
b. Kriteria Ekslusi
Paisen yang datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam keadaan meninggal.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah waktu tanggap (Response Time) sebagai variabel terikat, sedangkan variabel bebas yaitu implementasi triase Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiology Scoring System (PACS-WPSS) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
E. Definisi Operasional
pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya kedalam kelompok pasien gawat darurat (true emergency) atau pasien bukan gawat darurat (false emergency) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
2. Tingkat kategori pasien berdasarkan form triase Singapore Patient Acuity Category Scale (PACS) - Worthing Physiologic Scoring System (WPSS) yang digunakan di PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, yaitu:
1) Prioritas 1: Resusitasi dan Kritis (Merah) 2) Prioritas 2: Emergensi Mayor (Kuning)
3) Prioritas 3: Emergensi Minor dan bukan emergensi (Hijau) 3. Response time atau waktu tanggap adalah waktu yang dibutuhkan untuk
memberikan perlakuan atau pertolongan pertama yang memadai pada pasien ketika tiba di Rumah Sakit.
F. Instrumen Penelitian 1. Studi Dokumen
Untuk mengetahui karakteristik pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta.
2. Check list
Pedoman observasi dalam pelaksanaan triase. Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data tambahan tentang response time pelaksanaan triase.
Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan uji statistik parametrik independent t-test jika data terdistribusi secara normal serta homogen dan sebaliknya jika data terdistribusi tidak normal serta tidak homogen maka menggunakan uji Mann Whitney. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software Statistical secara computerized.
H. Jalannya Penelitian 1. Pre-test
Peneliti melakukan observasi pelaksanaan triase dan response time di Instalasi Gawat Darurat selama 5 hari pada tanggal 3-7 febuari 2016 2. Pelatihan Pelaksanaan Triase dan implikasi Patient Acuity Category
Scale - Worthing Physiological Scoring System (PACS-WPSS)
Dilakukan tanggal 14-15 Maret 2016 yang dihadiri oleh 15 Dokter umum dan 19 Perawat. Masa percobaan dilakukan selama bulan maret setelah pelatihan dilakukan.
3. Post-test
Peneliti melakukan kembali observasi jalannya pelaksanaan triase dan response time di Instalasi Gawat Darurat yang telah diterapkannya Patient Acuity Category Scale - Worthing Physiological Scoring System (PACS-WPSS) selama 10 hari pada tanggal 9-18 agustus 2016
I. Etika Penelitian
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tempat penelitian dilaksanakan. Etika dalam penelitian ini diwujudkan dalam bentuk:
1. Peneiliti mempertimbangkan hak-hak subyek penelitian untuk mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian. Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada subyek untuk memberikan informasi atau tidak memberikan informasi (partisipasi).
2. Peneliti tidak menampilkan informasi mengenai identitas subyek dan menggantinya dengan sistem kode untuk mempertahankan prinsip kerahasiaan (respect for privacy and confidentially).
3. Peneliti menjunjung prinsip keterbukaan, adil dan kehati-hatian juga diterapkan pada penelitian ini dengan menjelaskan prosedur penelitian, memperlakukan subyek dengan perlakuan yang sama tanpa membedakan etnis dan jenis kelamin dan memberikan rasa nyaman kepada subyek (respect for justice and inclusiveness).
4. Penelitian dilakukan dengan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan. Diharapkan penelitian ini dapat menghadirkan manfaat yang semaksimal mungkin bagi peneliti, institusi peneliti dan rumah sakit tempat diadakannya penelitian (balancing harms and benefits).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yang berlokasi di Jl. Wates Km. 5,5 Gamping, Sleman, Yogyakarta. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan pengembangan dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berlokasi di Jl. Ahmad Dahlan 20 Yogyakarta yang dimana milik Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki falsafah mejadikan layanan gawat darurat yang cepat, akurat dan komprehensif. Visi yang dimiliki adalah siap 24 jam melakukan layanan gawat darurat dan sebagai rujukan terpercaya dari instansi kesehatan lain dengan memberikan pelayanan cepat, bermutu, nyaman, islami, dan profesional.
lebih sekitar 3000 pasien perbulan. Pasien tersebut terdiri dari pasien emergensi dan non-emergensi.
Adapun karaktersitik tenaga kesehatan di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik tenaga kesehatan di
Instalasi Gawat Darurat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pendidikan
Jenis Kelamin Pendidikan Laki-laki Perempuan D3 S1 S2
Dokter 10 14 18 6
Perawat 8 10 11 6 1
2. Karakteristik Pasien yang Dilakukan Triase
a. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien yang Dilakukan
Triase di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Karakteristik Pasien Pre_Post Total
Pretest Postest
JK Laki-laki Jumlah 33 40 73
% 52,4% 44,4% 47,7%
Perempuan Jumlah 30 50 80
% 47,6% 55,6% 52,3%
Usia ≤ 14 tahun Jumlah 25 19 44
% 39,7% 21,1% 28,8%
15 - 64 tahun Jumlah 36 60 96
% 57,1% 66,7% 62,7%
≥ 65 tahun Jumlah 2 11 13
% 3,2% 12,2% 8,5%
Total Jumlah 63 90 153
[image:46.595.135.506.498.727.2]Tabel 4.2. menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik jenis kelamin, didapatkan pada pre-test sebagian besar pasien yang dilakukan triase adalah laki-laki sebanyak 33 orang (52,4%) dan sisanya sebanyak 30 orang (47,6%) adalah perempuan. Sedangkan selama diterapkan PACS-WPSS (post-test) didapatkan sebagian besar yang dilakukan triase adalah perempuan sebanyak 50 orang (55.6%) dan sisanya adalah laki-laki sebanyak 40 orang (44,4%).
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik usia, didapatkan pada pre-test sebagian besar pasien yang dilakukan triase berusia 15-64 tahun sebanyak 36 orang (57,1%). Berusia ≤ 14 tahun
sebanyak 25 orang (38,7%), dan sisanya berusia ≥ 65 tahun sebanyak 2
orang (3,2%). Sedangkan selama diterapkan PACS-WPSS didapatkan sebagian besar pasien yang dilakukan triase berusia 15-64 tahun sebanyak 60 orang (66,7%). Berusia ≤ 14 tahun sebanyak 19 orang (21,1%), dan
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien yang Dilakukan Triase di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Berdasarkan Indikasi
Karakteristik Pasien Pre_Post Total
Pretest Postest
Indkasi Hijau Jumlah 30 30 60
% 47,6% 33,3% 39,2%
Kuning Jumlah 25 30 55
% 39,7% 33,3% 35,9%
Merah Jumlah 8 30 38
% 12,7% 33,3% 24,8%
Total Jumlah 63 90 153
% 100,0% 100,0% 100,0%
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik Indikasi, didapatkan pada pre-test sebagian besar pasien yang dilakukan triase adalah termasuk hijau sebanyak 30 orang (47,6%), termasuk kuning sebanyak 25 orang (39,7%) dan sisanya termasuk merah sebanyak 8 orang (12,7%). Sedangkan selama diterapkan PACS-WPSS didapatkan masing-masing indikasi (merah, kuning dan hijau) sebanyak 30 orang (33.3%). Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien yang Dilakukan
Triase di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Berdasarkan Kegawatan
Karakteristik Pasien
Pre_Post
Total Pretest Postest
Kegawatan True Emergency
Jumlah 33 60 93
% 52,4% 66,7% 60,8%
False Emergency
Jumlah 30 30 60
% 47,6% 33,3% 39,2%
Total Jumlah 63 90 153
[image:48.595.163.507.167.333.2] [image:48.595.146.507.583.713.2]Tabel 4.4. menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik kegawatan didapatkan pada pre-test sebagian besar pasien yang dilakukan triase adalah termasuk true emergency sebanyak 33 orang (52,4%), dan sisanya termasuk false emergency sebanyak 30 orang (47,6%). Sedangkan selama diterapkan PACS-WPSS (post-test) didapatkan sebagian besar pasien yang dilakukan triase adalah termasuk true emergency sebanyak 60 orang (66,7%), dan sisanya termasuk false emergency sebanyak 30 orang (33,3%).
3. Deskripsi Response Time
Pada penelitian ini deskripsi response time dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata pretest dan postest sebagai berikut:
Tabel 4.5. Deskripsi Response Time.
Indikasi Pre_Post Mean
Hijau Pretest 6,4500 ± 1,84946 Postest 5,2433 ±1,79495 Kuning Pretest 5,6840 ± 2,60603 Postest 3,5667± 1,49027 Merah Pretest 1,6500 ± 0,96511 Postest 1,6333 ± 0,66402 Total Pretest 5,5365 ± 2,58758 Postest 3,4811±2,02911
Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016
[image:49.595.178.423.443.602.2]adalah 5,2433 ±1,79495. Hal ini berarti response time rata-rata postest lebih kecil dari pretest.
[image:50.595.149.501.163.410.2]
Gambar 4.1. Grafik Pretest dan Postest pada setiap kategori Triage Tabel 4.5. menunjukkan bahwa rata-rata response time triase pasien sebelum diterapkan PACS-WPSS (pre-test) untuk kategori kuning adalah 5,6840 ± 2,60603 menit. Rata-rata response time pasien setelah diterapkan PACS-WPSS untuk kategori kuning (post-test) adalah 33,5667± 1,49027 menit. Hal ini berarti response time rata-rata postest lebih kecil dari pretest.
menit. Hal ini berarti response time rata-rata postest lebih kecil dari pretest.
Tabel 4.5. menunjukkan bahwa rata-rata response time pasien sebelum diterapkan triase menggunakan PACS-WPSS baik indikasi hijau, kuning, dan merah (pre-test) adalah 5,5365 + 2,58758 menit. Rata-rata response time pasien yang dilakukan triase setelah diterapkan PACS-WPSS baik indikasi hijau, kuning, dan merah (post-test) adalah 3,4811 + 2,02911 menit. Hal ini berarti response time rata-rata postest lebih kecil dari pretest.
4. Uji Prasyarat 1. Uji Normalitas
Hasil perhitungan uji normalitas response time tersaji pada Tabel berikut ini:
Tabel 4.6. Uji Normalitas Response Time
Response_Time
N 153
Normal Parametersa,b Mean 4,3275
Std. Deviation 2,48433 Most Extreme
Differences
Absolute ,101
Positive ,101
Negative -,071
Kolmogorov-Smirnov Z 1,255
Asymp. Sig. (2-tailed) ,086
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
[image:51.595.171.457.495.645.2]2. Uji Homogenitas
Selanjutnya, dilakukan uji homogenitas varians response time. Uji homogenitas varians perlakuan menggunakan uji Lavene. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 4.8 berikut.
Tabel 4.7. Uji Homogenitas Response Time
Levene's Test for Equality of Variances
F Sig.
Respon_Time 5,681 ,018
Berdasarkan uji Lavene pada Tabel 4.7 tersebut angka signifikansinya (Sig.) di bawah 0,005. Ini berarti secara keseluruhan data rasio response time memiliki varians yang tidak sama atau tidak homogen (heterogen).
5. Perbandingan Response Time Sebelum dan Sesudah penerapan Triase PACS-WPSS
Hasil uji prasyarat menunjukkan bahwa walaupun data tersebar normal, namun variansnya tidak sama yang berarti data tidak homogen. Oleh karena itu uji hipotesis yang digunakan adalah uji statistik parametrik metode Mann Whitney. Hasil Mann Whitney perbandingan responses time pre test dan post test disajikan dalam tabel pada halaman berikut.
Tabel 4.8. Mann Whitney Test.
Indikasi Respon_Time
Hijau Mann-Whitney U 281,500
Z -2,499
Kuning Mann-Whitney U 178,000
Z -3,335
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001
Merah Mann-Whitney U 115,500
Z -,162
Asymp. Sig. (2-tailed) ,871 Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,875
b
Total Mann-Whitney U 1500,000
Z -4,954
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
Berdasarkan tabel 4.8. di atas dapat diketahui besarnya nilai Mann-Whitney U untuk pasien indikasi hijau adalah 281,500. Diketahui nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0,012 < 0,05. Dengan demikian, hasil uji Mann-Whitney U tersebut menunjukan terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase untuk pasien indikasi hijau dengan menggunakan PACS-WPSS.
Berdasarkan tabel 4.8. di atas dapat diketahui besarnya nilai Mann-Whitney U untuk pasien indikasi kuning adalah 178,000. Diketahui nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 < 0,05. Dengan demikian, hasil uji Mann-Whitney U tersebut menunjukan terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase untuk pasien indikasi kuning dengan menggunakan PACS-WPSS.
sebelum dan sesudah diberlakukan triase untuk pasien indikasi merah dengan menggunakan PACS-WPSS.
Berdasarkan tabel 4.8. di atas dapat diketahui besarnya nilai Mann-Whitney U untuk pasien seluruh indikasi adalah 1500. Diketahui nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000 < 0,05. Dengan demikian, hasil uji Mann-Whitney U tersebut menunjukan terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase untuk pasien seluruh indikasi dengan menggunakan PACS-WPSS.
B. Pembahasan
IGD rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan
asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan
darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Salah satu
indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (response time) (Depkes RI.
2006). Oleh karena itu rumah sakit menerapkan standar IGD.
Latar belakang pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang
masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat
untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat
sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu
penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan
yang tepat.
Triase adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien
berdasarkan berat ringannya kondisi klien atau kegawatanya yang
batasan waktu (response time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan
intervensi secepatnya yaitu < 10 menit. (Pusponegoro, 2010). Triage yang akurat merupakan kunci untuk tindakan yang efisien di Instalasi Gawat Darurat (Manitoba Health, 2010).
Tantangan yang dihadapi triase IGD adalah distribusi dan manajemen
lalu lintas pasien overload (berlebih). Pasien overload dapat mengganggu
pelayanan IGD. Overload ini dapat menghabiskan sumber daya IGD sehingga
pelayanan IGD tidak lagi efisien dan efektif. Guna mencegah dan
mengantisipasi hal tersebut, disusun suatu sistem triage IGD yang sesuai.
Sistem triage IGD memiliki banyak versi dan modifikasi sesuai dengan
kondisi masing – masing rumah sakit. Diantaranya adalah Singapore Patient
Acuity Category Scale (PACS)
Sistem Triase PACS berasal dari Singapura dan diadopsi oleh Rumah
Sakit yang bekerja sama atau berafiliasi dengan Singapore General Hospital.
(Hadi, 2014). Sedangakn Worthing Physiological Scoring System (WPSS)
adalah suatu sistem skoring prognostik sederhana yang mengindentifikasi
penanda fisiologis pada tahap awal untuk melakukan tindakan secepatnya,
yang dituangkan dalam bentuk intervention-calling score. Skor tersebut
didapatkan dari pengukuran tanda vital yang mencakup tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur, saturasi oksigen, dan tingkat
kesadaran berdasar AVPU (alert, verbal, pain, unresponsive) (Duckitt, et al.,
Analisis penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase dengan metode PACS-WPSS dengan perbedaan rata-rata lebih cepat 2,05540 menit dari sebelumnya. Perbedaan ini signifikan berdasarkan hasil uji Mann Whitney U untuk
keseluruhan indikasi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa diterapkannya triase menggunakan PACS-WPSS mampu mempercepat penanganan terhadap pasien IGD.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hamid-Reza Khankeh et
al (2013) yang berjudul Triage effect on wait time of receiving treatment
services and patients satisfaction in the emergency department: Example from
Iran. Penelitian Hamid-Reza Khankeh (2013) juga menunjukkan bahwa
pelaksanaan Triase di Rumah Sakit Shahid Rajaee di Karaj Iran mampu
mempersingkat waktu tunggu dan response time pasien instalasi gawat
darurat. Selain itu, pelaksanaan triase yang cepat dan tepat juga mampu
meningkatkan kepuasan pasien yang datang ke instalasi gawat darurat.
Penelitian lain yang menunjukkan hasil serupa yaitu penelitian
Sembiring, F, Y., Dradjat, R, S., Nanik, N., (2014) dengan judul Perbedaan
Efektifitas Penentuan Kategori Triase Pasien berdasarkan South African
Triage Scales (SATS) dibandingkan Singapore Patient’s Acuity Category
Scales (PACS). Penelitian Sembiring, F, Y., Dradjat, R, S., Nanik, N., (2014)
menunjukkan bahwa pelaksanaan Singapore Patient’s Acuity Category Scales
(PACS). mampu mempersingkat waktu tunggu pasien instalasi gawat darurat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
Terdapat perbedaan response time sebelum dan sesudah diberlakukan triase dengan metode PACS-WPSS dengan perbedaan rata-rata lebih cepat 2,05540 menit dari sebelum diberlakukannya triase. Perbedaan ini signifikan berdasarkan hasil uji Mann Whitney U untuk keseluruhan indikasi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa triase dengan metode PACS-WPSS mampu mempercepat penanganan terhadap pasien IGD dari segi Response Time.
B. Saran
1. Diperlukan adanya periode penelitian yang lebih lama untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan triase dari segi response time, mengingat pada saat penelitian ini dilakukan masih merupakan tahapan sosialiasi dan adaptasi terhadap pelaksanaan sistem triase berbasis PACS-WPSS di RS PKU Muhammmadiyah Yogyakarta Unit II.
seluruh pada pasien IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, sehingga pelaksanaan triase dapat ditingkatkan efektifitasnya.
3. Perlu penambahan dua kebijakan yaitu, kebijakan pelatihan berkala bagi petugas IGD dan pelatihan PPGD awam bagi petugas non-medis (care giver, petugas informasi dan pendaftaran, satpam dan petugas parker). Sehingga pelaksanaan triase mengenai response time (waktu tanggap) bisa lebih baik lagi dan maksimal.
C. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai prosedur yang ada, namun demikian masih memiliki keterbatasan yaitu dalam hal jumlah sampel pre-test yang dibutuhkan, dalam hal ini peneliti hanya dapat sampel penelitian sebesar 63 sampel dari yang seharusnya yaitu 90 sampel dikarenakan keterbatasan waktu dan telah terimplikasinya triase menggunakan PACS-WPSS di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
1
DAFTAR PUSTAKA
Aslian, Yan. 2009. Faktor-faktor yang Memperngaruhi Respon Time pada Penanganan Pasien Instalasi Gawat Darurat RSUP Persahabatan [versi elektronik].http://rsuppersahabatan.com/elibrary_rsupp/index.php?k_index =katalog&k_sub_index=9&id_ebuku=161
Astuti Rahmawati Puji, 2009. Hubungan Beban Kerja Perawat IGD dengan Waktu Tanggap Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat menurut Persepsi Paien di Instalasi Gawat Darurat Badan Pelayanan Kesehatan RSU Kabupaten Magelang. Tesis.
Australian Council on Health Standart (ACHS). 2000. Clinical Indicator-A Users Manual: Emergency Medicine Indicator. Sydney: NSW.
Australian College of Emergency Medicine. 2013. The Australian Triage Scale. Carlton Vic.: Publisher.
Australia Government-Department of Health and ageing: Emergency Triage Education Kit. 2009.
Canadian Nursing Informatics Assosiation. (2006). Satgger, Bragley-Thompson quotes. Diakses 20 Febuari 2016 dalam http://www.cnia.ca/about.htm Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Sistem Penanggulagan Gawat
Darurat (SPGD). Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007a). Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007b). Pedoman