• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME

EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

SKRIPSI

Disusun Oleh :

NUR ARY RIZQIAN

95510310

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

(2)

i

DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME

EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

SKRIPSI

Disusun Oleh :

NUR ARY RIZQIAN

95510310

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

(3)
(4)

ABSTRAKSI

Meskipun situasi di Laut Cina Selatan menjadi pusat perhatian belakangan ini, isu

tersebut sebenarnya bukan barang baru. Di awal 1990-an topik tersebut telah diperkirakan

khususnya oleh para analis Amerika, akan menjadi konflik yang tak berkesudahan. Dilihat

secara sepintas, situasi saat ini mungkin mirip dengan situasi pada era 1990-an. Akan tetapi,

ketika diperhatikan dengan lebih mendalam, sangat jelas bahwa kondisi sebenarnya berbeda.

Perubahan-perubahan besar telah terjadi di dalam hubungan Cina dan ASEAN, begitu pula di

dalam sistem regional semenjak awal 1990-an. Secara keseluruhan, telah terbentuk suatu

hubungan yang positif dan konstruktif di antara Cina dan ASEAN, khususnya di bidang

ekonomi yang telah mengubah berbagai aspek menyangkut dinamika politik, ekonomi, sosial,

dan keamanan di kawasan tersebut. Semua perubahan ini tidak bersifat sementara, tetapi akan

terus-menerus mempengaruhi perilaku para pihak terhadap satu sama lain, termasuk di dalam

lingkup konflik Laut Cina Selatan.

Di awal 1990-an Cina menerapkan suatu strategi pasca Perang Dingin yang baru,

bercirikan kebijakan “good neigbourhood” (bertetangga yang baik), yang bertujuan untuk

menjadikan Asia Tenggara sebagai model strategi bagi “kebangkitan Cina yang damai” (peaceful rise). Pada saat yang sama,. Pemulihan hubungan baik ini merupakan hal yang

mendasar dalam memahami mengapa Cina dan ASEAN telah berupaya untuk memelihara

hubungan mereka dalam cara yang konstruktif dan damai dan mengapa hubungan di antara

Cina dan ASEAN tersebut telah berkembang menuju arah yang positif, termasuk di dalamnya

(5)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Cina adalah negara terpadat di dunia dengan populasi lebih dari 1,35 miliar.

Cina yang memiliki nama resmi Republik Rakyat Cina ini dikuasai oleh Partai Komunis

dimana partai komunis adalah partai satu-satunya yang legal di sana.1

Antara Cina dan ASEAN pada awalnya tidak memiliki niat untuk pembangunan

hubungan kerjasama dalam bidang apapun, justru ASEAN menganggap Cina adalah

aggressor potensial menyusul runtuhnya kekaisaran Jepang menyisakan Cina sebagai

aggressor potensial di Asia. Selain itu dalam mengambil sikap terkait laut, Cina mempertahankannya dengan keambiguan sehingga semakin membuat ASEAN

ragu-ragu terhadap Cina.2

Deng Xiaoping saat memimpin Cina membawa angin segar dan perubahan

dalam Cina terkait dengan hubungannya terhadap ASEAN, dengan cara mengurangi

pengaruh komunisnya di ASEAN Deng Xiaoping melakukan pendekatan dengan

ASEAN, hal ini dimaksudkan Deng Xiaoping untuk mendukung reformasi politik dan

ekonominya.

1 University of Southern California, What are Cina’s Largest and Richest Cities, US-Cina Institue, 27

Agustus 2007,

Cina.usc.edu/(S(swqn0p55xbqmsu45cwso5lzy)A(IEcheuFczAEkAAAAODRlNTk2OTMtMDViMC00Yj

(6)

2 Selanjutnya hubungan Cina-ASEAN berkembang di masa Hu Jintao, sebagai

presiden disaat itu, Hu Jintao terfokus dalam berbagai usaha memajukan Cina, terutama

dari segi ekonomi. Hu Jintao adalah satu-satunya pemimpin Cina yang tidak banyak

membuat perubahan dalam tubuh politik dan terkesan konservatif dalam perpolitikan.

Hu Jintao melihat kawasan besar Laut Cina Selatan sebagai lautan uang, setengah

perputaran perdagangan di dunia via laut melewati Laut Cina Selatan.3 Hal inilah yang

nantinya mendorong terbentuknya regionalisme ekonomi Cina-ASEAN.

Mencakup dari Singapura dan Malaka selat ke Selat Taiwan, Laut Cina Selatan

merupakan salah satu daerah yang paling hangat diperdebatkan di dunia. Cina

meletakkan klaim untuk hampir seluruh laut tumpang tindih dengan klaim maritim dari

Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina dengan wilayah kedaulatan, sumber

daya alam, dan kepentingan nasional dipertaruhkan. Sengketa ini mengancam stabilitas

kawasan, namun tanpa memperdulikan isu keamanan tersebut, Cina tetap bisa

mempertahankan kerjasama ekonominya dengan ASEAN.

Signifikansi Selatan Laut Cina secara luas diakui oleh banyak pihak dalam

navigasi internasional, maritim, eksploitasi sumberdaya alam, perlindungan lingkungan,

dan efektivitas hukum-hukum internasional. Sengketa di Laut Cina Selatan kerap

membahas perebutan kepulauan berkaitan dengan perbedaan pandang tentang batas

masing-masing negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, seperti kasus di

Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan zona maritim sejak 1990-an.4 Upaya telah dilakukan oleh negara-negara regional untuk menstabilkan situasi dan mencari peluang

3Charle A Tayer, “Cina’s New Wave of Aggressive Assertiveness in the South Cina Sea, CSIS, 20 Juni 2011.

(7)

3 kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan. Upaya-upaya ini telah menghasilkan,

Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan pada tahun 1992 yang diadopsi pada

tahun 2002 dan Deklarasi ASEAN-Cina pada perilaku para pihak di Laut Cina Selatan,

yang menurut semua pihak yang menandatangani perjanjian untuk mencari solusi

damai, sengketa, dan melakukan kerjasama maritim dalam rangka menjaga stabilitas

regional di Laut Cina Selatan.

Dengan menarik garis demarkasinya, Cina membuat klaim besar terhadap semua

negara yang memiliki wilayah kelautan di Laut Cina Selatan. Beberapa negara telah

membuat klaim-klaim teritorial atas Laut Cina Selatan. Perselisihan tersebut telah

dianggap sebagai titik paling berbahaya di daerah Asia. Titik konflik perbatasan Cina

tersebut, yaitu Kepulauan Spratly yang mana Cina bertabrakan dengan Vietnam dan

Taiwan, sedangkan wilayah Kepulauan Scarborough Shoal Cina memperebutkannya

dengan Filipina dan Taiwan, selain itu ada juga Kepulauan Paracel yang mana Cina

memperjuangkannya melawan Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand.

Kepulauan-kepulauan kecil lain yang berada di Laut Cina Selatan pada dasarnya diperebutkan oleh

semua negara ASEAN.5

Cina sangat bersikeras atas kedaulatan di Laut Cina Selatan karena akan menjadi

keuntungan strategis bagi Cina mengingat bahwa lebih dari setengah tonase pedagang

dunia, sepertiga dari perdagangan minyak mentah, dan setengah wisata perdagangan gas

alam melalui perairan yang diperebutkan tersebut.

(8)

4 Dalam perkembangannya, Kepulauan Spratly dalam setiap pembahasan politik,

ekonomi, dan militer, Cina tampaknya akan mengambil garis keras terhadap masalah

ini. Pada bulan Maret 2010, para pejabat Cina tingkat tinggi dilaporkan menegaskan

untuk mengunjungi pejabat AS bahwa Laut Cina Selatan mengklaim ditandai

kepentingan inti untuk Beijing, Cina memperingatkan bahwa jangan sampai ASEAN

melupakan apa yang pernah terjadi bahwa Cina pernah memberikan ‘pelajaran’ pada

Vietnam pada tahun 1979.6

Memang sebelumnya Cina sangat keras terhadap tantangan dalam semua

politisasi atas Laut Cina Selatan. Di satu sisi dalam bidang ekonomi Cina dan ASEAN

telah membentuk energi politik, yaitu membentuk komunitas ekonomi baru meniru

seperti apa yang sudah dicapai Uni Eropa. Pada saat yang sama, Amerika Serikat

memperdalam hubungan strategis dengan Vietnam, Filipina, Singapura, dan Indonesia

sebagai bagian dari poros Asia. Semua ini telah memicu kekhawatiran, bahwa di era

meningkatnya persaingan besar-kekuasaan, ASEAN tidak mungkin bisa tetap

bersama-sama. Namun pada akhirnya Cina tetap mempertahankan ambiguitasnya terkait dengan

isu perbatasan Laut Cina Selatan.7

1.2. Pokok Permasalahan

Mengapa Cina tetap berusaha menjalin hubungan dengan ASEAN meskipun

Cina terlibat berbagai konflik dengan negara ASEAN?

6 Ibid, hal. 176.

(9)

5 1.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka dasar teori merupakan bagian yang terdiri dari uraian yang

menjelaskan variable-variable dan hubungan-hubungan antar variable berdasarkan

konsep definisi tertentu. Teori adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab

pertanyaan mengapa fenomena itu terjadi.8 Konsep adalah abstraksi yang mewakili

obyek atau fenomena.9

Morgenthau dalam memandang penentuan teori politik bahwasannya suatu

teori politik harus bersubyek pada pengujian dua hal yaitu alasan dan pengalaman.10

Untuk menghapuskan sebuah teori yang telah berkembang selama berabad-abad adalah

dengan menghadirkan praduga modern yang menjamin superioritas kondisi saat ini

dibandingkan masa lampau, bukan hanya sebuah argument rasional.11

Politik realisme meyakini bahwa politik, dipengaruhi oleh hukum-hukum

obyektif yang berlandaskan kemanusiaan. Jauh sebelum Morgenthau sebenarnya arah

pemikiran manusia sudah belajar untuk hal ini sejak masa ”Renaissance” yaitu dengan pola pendekatan Immanuel Kant yang dia jabarkan dalam bukunya Critique of Pure Reason dalam memisahkan objek untuk di pelajari.12 Sehingga model penulisan skripsi ini sesuai dengan nilai dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang akan

8 Mohtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 219.

9 Sofyan Efendi, Unsur-unsur Pengertian Ilmiah, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 14.

10 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Alfredd A Knoff, New York, 1976, hal. 4.

11 Ibid, hal. 7.

(10)

6 menciptakan karakter yang islami dan unggul dan tentunya modern.13 Kaitannya dengan

dunia sosial bahwa menurut Morgenthau untuk membangun masyarakat perlu dipahami

hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pelaksanaan hukum-hukum ini

menjadi ganjalan bagi preferensi kita, orang yang menantangnya akan menemui resiko

kegagalan.14

Dalam perkembangannya sesuai dengan disiplin ilmu Hubungan Internasional,

kelahiran ilmu ini berdasarkan pengalaman gagalnya Liga Bangsa-bangsa sehingga

pecahnya perang dunia II kala itu banyak aliran pemikiran yang berkembang adalah

pemikiran/idiologi idealisme, sehingga pola pemikiran yang umum di pakai sekarang,

yaitu realisme.15 Sehingga pokok penekanan di skripsi ini adalah dengan pemakaian pola realisme yang meyakini seperti apa adanya obyektifitas hukum-hukum politik, juga

percaya kemungkinan pengembangan sebuah teori rasional meskipun tidak sempurna

dan berat sebelah.16

Realisme yang akan menjadi tolak ukur dan cara pandang di sini dipahami oleh

penulis, bahwa hal itu tidak menolak kemungkinan adanya perbedaan pendekatan dari

setiap ahli, namun dengan pendekatan ini di harapkan dapat menemukan fakta-fakta dan

memberikan arti berdasarkan alasan tertentu.

13 Ibid, Hal. 14. Di sini Rahman berasumsi bahwa proses pemahaman manusia akan objek selalu di kembalikan tentang bagaimana objek itu berasal, kenapa tidak mengisolasi objek tersebut tanpa harus mengkaitkan bagaimana asalnya objek tersebut, sehingga kita bias memahami objek tersebut secara utuh dan objektif, contoh: bagaimana gunung-gunung tinggi itu bias ada, lalu seseorang menjawab “itulah kehebatan Tuhan, Tuhan mampu menciptakan gunung-gunung yang tinggi” di mana jawaban ini pada dasarnya tidak menjawab pertanyaan yang ada.

14 Hans J. Morgenthau, Op.Cit.,hal. 4.

15 Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press, Cambridge, hal. 2.

(11)

7 Untuk memudahkan penulis dalam menjelaskan analisa terhadap permasalahan

yang dihadapi serta untuk memilih konsep yang tepat dalam membentuk hipotesa, maka

diperlukan suatu kerangka teoritis. Untuk menjelaskan kepentingan Cina terhadap Laut

Cina Selatan paska perang dingin, penulis menggunakan:

Teori Saling ketergantungan (Interdependensi)

Teori Interdependensi atau saling ketergantungan merupakan sebuah teori yang

lahir dari perspektif liberalis yang terdapat dalam hubungan internasional.

Interdepedensi akan menciptakan dunia hubungan internasional yang jauh lebih

kooperatif dan menguntungkan bagi pihak – pihak yang berinteraksi di dalamnya. Aktor

transnasional menjadi semakin penting dan kesejahteraan merupakan tujuan yang

dominan dari negara. Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang di

karakteristikkan dengan timbal balik antar aktor negara yang berbeda, efek ini

merupakan hasil dari transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia,

dan informasi yang melewati batas-batas negara. Saling ketergantungan menyebabkan

adanya interaksi antar negara, J Frankel mengawalinya dengan mengetengahkan

tipe-tipe hubungan yang ada dan berlangsung dalam politik internasional, terdapat dua tipe-tipe

hubungan yang ekstrim, yaitu konflik dan kerjasama, sedangkan situasi yang jatuh

diantara dua tipe yang ekstrim ini disebut sebagai persaingan. Hubungan antar negara

ditentukan oleh sifat negara dan masyarakat internasional.17

(12)

8

Menurut Mohtar Mas’oed dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

interdepedensi adalah sebagai kontak atau pertukaran (exchange) diantara bangsa-bangsa, interdepedensi timbul akibat tindakan suatu pemerintah dan sebagian oleh

pemerintah lain. Pengertian interdepedensi ini bersifat positif, karena bisa membuka

suatu ikatan kerjasama yang saling menguntungkan.

Tahun 1990an menjadi era meningkatnya kunjungan antara Cina dan Asia

tenggara, dan serangkaian perjanjian, memorandum, deklarasi, dan pernyataan

ditandatangani pada kesempatan tersebut. Inisiatif politik ini menjadi dasar dari

perluasan aktivitas ekonomi antara Cina dan Asia tenggara di tahun 1990an termasuk

perdagangan, investasi, bantuan luar negeri, dan turisme.

Nampaknya Cina mengalami perubahan yang baik dihubungan ekonominya

dengan Asia tenggara sejak tahun 1990an. Sebelum kebijakan open door, Cina hanya memiliki volume perdagangan yang rendah dengan negara-negara Asia tenggara.

Semenjak tahun 1988 baru terlihat perkembangan perdagangan Cina dengan Asia

tenggara, sebagai contoh, volume perdagangan bilateral antara Cina dan Asia tenggara

sebesar $3,8 milyar, tetapi jumlah ini terus meningkat dari $4,3 milyar di tahun 1990

dan menjadi $10,6 milyar di tahun 1993 dan menjadi $19.4 milyar di tahun 1995. Selain

memperbaiki hubungan dengan negara di region tersebut, Cina juga mulai partisipasi di

dalam kegiatan ASEAN.

Perekonomian Cina terus berkembang semenjak implementasi dari kebijakan

(13)

9 untuk menentukan kebijakan luar negerinya. Di tahun 2002, dimana merupakan tahun

pertama Cina memasuki World Trade Organization (WTO) membuat China mempunyai peluang untuk membangun hubungan ekonomi politik yang lebih dekat

denagn negara lain di bawah kerangka institusi WTO.

Dengan begitu pemimpin Cina mengajukan strategi “going global” yang

bertujuan untuk membawa perusahaan Cina ke luar negeri, kebalikan dari kebijakan

open door dimana itu mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di pasar Cina. Menurut menteri perdagangan Cina, beberapa langkah diambil pada tahun

2002 untuk mempromosikan kebijakan “going global” seperti membuat hukum dan regulasi untuk perusahaan asing, memperbaiki administrasi untuk pekerja asing,

membantu perusahaan untuk mengambil proyek skala besar di negara lain. Tahun 2002,

juga menjadi saksi dimana hubungan Cina dengan ASEAN yang menjadi semakin

dekat. Cina mencapai beberapa perjanjian penting dan mengadakan rapat penting

dengan ASEAN, termasuk perjanjian untuk mengadakan area perdagangan bebas di

pertemuan ASEAN-Cina yang ke 6 pada 4 November 2002. Selain menjalankan

kebijakan “go global” kebijakan good neighbor juga masih dijalankan. Hu Jintao menyebutkan 3 kunci utama kebijakan Cina terhadap Asia tenggara, yaitu good neighbours, stabilizing neighbours, dan enriching neighbours. Strategi go global

sebenarnya merupakan kontinuitas dari kebijakan good neighbor.

Dengan adanya penyesuaian-penyesuaian hubungan Cina dengan

negara-negara Asia Tenggara maka beberapa negara-negara ASEAN kemudian meningkatkan

(14)

10 negara-negara anggota ASEAN telah berjalan selama beberapa tahun ke belakang,

Namun perdagangan ini lebih bersifat bilateral antara Cina dan salah satu negara

anggota ASEAN. perkembangan ekspor Cina meningkat dalam 2 dekade terakhir ini,

dan peningkatan ini sangatlah signifikan sehingga mendongkrak Cina menjadi negara

ke 5 dengan jumlah pengekspor terbesar. Hubungan ASEAN-Cina mulai terjalin ketika

menteri luar negeri Cina menghadiri ASEAN Ministerial Meeting (AMM) atau pertemuan antar menteri luar negeri ASEAN ke 24 di Kuala Lumpur pada tanggal 19-24

Juli 1991. Pada saat pertemuan AMM ke 25 pada tahun 1992, Cina kembali diundang

sebagai tamu ASEAN. Pada saat itu Menlu Cina menawarkan dibentuknya

ASEAN-China Consultative Relationship, serta menawarkan kerjasama ASEAN di bidang Iptek dan perdagangan. Hubungan perdagangan ASEAN dan Cina berkembang dipengaruhi

oleh pertumbuhan dan perkembangan kedua ekonomi negara tersebut. Dalam 10 tahun

terakhir, perdagangan antara Cina dan ASEAN tumbuh dari $8 trilyun pada tahun 1991,

menjadi $40 trilyun pada tahun 2001. Meningkatnya interdepensi ekonomi antara Cina

dan ASEAN akan lebih diperlukan untuk meningkatkan intra industri antara Cina dan

ASEAN. Dengan adanya perjanjian free trade, diharapkan Cina akan menjadi partner dagang yang baik dibandingkan menjadi kompetitor. Dengan terbentuknya Free Trade Agreement ini, maka secara tidak langsung globalisasi mengambil peran untuk hubungan antar Negara tersebut.

Globalisasi atau lebih tepatnya globalisasi neoliberal telah menantang kapasitas

ekonomi politik negara bangsa. Dalam bidang politik, negara bangsa tidak lagi menjadi

(15)

11 politik global dewasa ini. Globalisasi dalam kerangka world politics tidak dapat dipisahkan dari globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi juga identik dengan paham

liberalisme yang mempromosikan konsep free trade dan interdependensi. Dewasa ini, ASEAN dan Cina adalah Negara yang mempunyai ekonomi yang kian meningkat dan

keduanya sangat penting untuk pengembangan Asia Timur untuk di kemudian hari.

Secara umum Cina memang lebih unggul dalam ekonomi global dibandingkan dengan

ASEAN. Agar ekonomi mereka semakin maju, mereka membutuhkan integrasi yang

konsisten baik dalam perdaganngan maupun investasi dan lebih mendalami hubungan

dengan wilayahnya maupun dengan dunia luar lainnya.

Dewasa ini, sikap ASEAN masih mendua dikarenakan secara ekonomi Cina

semakin menantang, pada saat yang sama Cina juga muncul sebagai ancaman bagi

ASEAN, dimana pada awal tahun 1990-an meski Indonesia dan Singapura membuka

kembali hubungan diplomasi dengan Cina, mereka juga dengan cepat membuka pintu

kerja sama dengan negara lain dalam bentuk penyediaan basis militer yang

terbatas.Sementara itu, negara-negara ASEAN juga mencurigai Cina sebagai induk dari

gerakan komunis yang ada di Asia Tenggara. Lebih dari itu, mayoritas penduduk

negara-negara ASEAN sendiri adalah muslim dan kristen sementara Cina komunis

atheis. Banyaknya perantau Cina yang sukses di negara-negara ASEAN menambah

(16)

12 perantau Cina tersebut. Tidak mengherankan jika agama dan ideologi menjadi suatu

penghalang hubungan Cina dengan ASEAN pada awalnya.18

Sebagai salah satu negara penganut ideologi komunis, hubungan Cina dan

ASEAN pada awalnya dipenuhi rasa saling curiga karena sebagian besar negara

ASEAN dikendalikan oleh Amerika Serikat sebagai kampiun ideologi liberal dan

merupakan musuh ideologi komunis. Selain itu, sebagian besar penduduk ASEAN

merupakan muslim dan Nasrani yang tentunya berseberangan dengan Cina yang

berpaham atheis.Pada dasarnya ASEAN memiliki strategi keamanan mengenai tatanan

regional. Terdapat semacam anjuran bahwa kunci yang dibawa oleh regionalisme di

ASEAN bersandar pada dua jalan utama untuk menuju pada tatanan regional,

yakni ”omni-enmeshment of major powers” dan ”complex balance of influence

implementasi dari keduanya bertujuan lebih untuk mengatur tatanan regional

dibandingkan untuk mencegah terjadinya transisi kekuatan. ASEAN juga tidak

menghiraukan adanya batas-batas antara militer, ekonomi, dan kekuatan politik;

menghilangkan distingi-distingsi yang dapat mengaburkan ikatan di antara

negara-negara anggota ASEAN serta melaksanakan prinsip containment atau menantang adanya asumsi bahwa pengaturan tatanan regional hanya merupakan bisnis dari

negara-negara dunia yang memiliki kekuatan besar.19

Cina tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru, Cina merupakan salah

satu dari 5 kekuatan besar dunia dan tentunya tidak ingin dominasinya di kawasan Asia

18Mondejar,Reuben and Wai Lung Chu, “ASEAN-China Relations: Legacies and Future Directions”, dalam Ho Khai Leong and Samuel C.Y Ku (eds), Cina and southeast Asia: Global Changes and Regional Challenges, ISEAS,Singapura, 2005, hal. 127.

(17)

13

Tenggara ”diambil alih” oleh kekuatan lain. Hubungan kerja sama Cina dengan ASEAN

lebih merupakan upaya mengambil kepercayaan guna eksisnya kekuatan dominasi dan

hegemoni Cina di Asia Tenggara, selain karena ingin mendapat dukungan politik atas

kasus Taiwan.. Masa depan ASEAN lebih ditentukan akan pergerakannya mereka

dalam mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari kerjasama dengan Amerika

Serikat dan Cina sebagai bentuk kebijakan penyeimbang kekuatan besar dunia di

kawasan Asia Tenggara dengan tetap menjaga hubungan baik antara keduanya. 20

Hal ini mampu menjelaskan tentang alasan kenapa Cina tetap bisa membangun

hubungan dan kerja sama dengan ASEAN yang notabene pernah salah satu anggotanya,

yaitu Vietnam di serang oleh Cina dan mayoritas anggota negara dari ASEAN memiliki

isu perbatasaan di Laut Cina Selatan.

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah menjadi salah satu instrumen politik luar negeri Cina dalam mengejar kepentingan ekonomi dan

keamanannya di kawasan Asia Tenggara. Instrumen ini digunakan Cina sejak negara ini

memutuskan untuk membuka dirinya kepada ASEAN. Hingga sekitar 1980-an, Cina

adalah satu-satunya negara di Asia yang berorientasi kepada negara maju, bukan kepada

negara tetangganya di kawasan. Cina juga merupakan satu-satunya negara dunia ketiga

yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap menjaga jarak ini antara lain

ditunjang oleh aspek historis Cina yang mengarahkan kepada ketatnya kontrol yang

dilakukan pemerintah terhadap hubungan dengan negara lain. Namun, transformasi

(18)

14 terhadap sikap ini kemudian muncul ketika Perang Dingin usai.21 Meskipun telah

memiliki hubungan bilateral yang baik dengan beberapa negara anggota ASEAN, Cina

tidak memiliki hubungan yang erat dengan ASEAN sebelum era 1990-an. Pada 1991,

Cina menjadi Consultative Member di ASEAN dan pada 1996, ASEAN secara resmi menjadikan Cina sebagai mitra dialog pada 29th ASEAN Ministerial Meeting di Jakarta. Pada awal 1997, lima kerangka dialog terjalin antara ASEAN dengan Cina, yakni

China-ASEAN Political Consultation, China-ASEAN Joint Committee on Economicand Trade Cooperation, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC), China-ASEAN Joint Committee on Scientific and Technological Cooperation, dan ASEAN Beijing Committee. Pertemuan konsultasi juga dilakukan Cina pada ASEAN Regional Forum (ARF), the Post Ministerial Conference (PMC) 9+1, the Joint Cooperation Committee (JCC), ASEAN-China Senior Official Meeting (SOM) dan ASEAN-China Bussiness Council Meeting.22

Keuntungan ekonomi tentu dapat diperoleh melalui kerjasama Cina dengan

ASEAN. Menurut Swee-Hock, perdagangan antara Cina dengan ASEAN tergolong

menjalani perkembangan yang sangat cepat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 20,8

persen sejak 1990 hingga 2003. Hingga 2005, ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima

terbesar bagi Cina. Sedangkan Cina merupakan mitra kerjasama keenam bagi ASEAN.

Investasi ASEAN di Cina meningkat rata-rata sekitar 28 persen sejak 1991 hingga 2000.

Walaupun investasi Cina ke ASEAN masih terhitung sedikit, namun hingga 2001

21 M. Yahuda, “The International Politics of the Asia-Pacific, 1945-1995”, Routledge, London, 1995, hal. 186-211.

(19)

15 jumlah investasi tersebut adalah sekitar 7,7 persen dari seluruh investasi Cina di luar

negeri. Pada ASEAN-China Summit November 2001, Cina mengusulkan ide pembentukan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA).

Selain keuntungan ekonomi, keuntungan keamanan juga dapat diperoleh dalam

interaksi Cina dengan ASEAN. Interaksi Cina-ASEAN dalam hal keamanan diawali

pada Desember 1997. Presiden Cina Jiang Zemin bertemu muka dalam pertemuan

informal kepala Negara (ASEAN+1) dan merancang joint statement. Sejak 1999 hingga 2000 China telah menandantangani kerangka kerja dokumen dalam kerjasama bilateral

dengan seluruh negara anggota ASEAN. Kerjasama dalam transnational non traditional security threats terutama dalam hal drug trafficking terwujud dalam Beijing Declaration

pada Agustus 2001 antara Cina, Laos, Myanmar dan Thailand. Hal ini diikuti dengan

penandatanganan Joint Declaration of ASEAN and China on Cooperation in the field of Non Traditional Security Issues. Pada 2003, Cina menandatangani ASEAN Security Protocol yang penting, yaitu The Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Kerjasama dengan masing-masing negara anggota ASEAN dilakukan dengan kunjungan antara

pemimpin militer, pelatihan militer dan bantuan persenjataan, teknologi militer dan

kunjungan pelabuhan.23

1.4. Hipothesis

Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesa, yaitu bahwa

untuk mempertahankan perekonomian Cina, mereka membutuhkan hubungan dan kerja

(20)

16 sama dengan ASEAN sebagai pangsa pasar dan berbagai instrumen diplomasi untuk

meredam isu perbatasan di Laut Cina Selatan.

1.5. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian ilmiah biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran objektif

mengenai fenomena tertentu. Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain untuk:

1. Mengetahui motif apa yang melatarbelakangi Cina membangun hubungan dan

kerjasama dengan ASEAN

2. Mengetahui kenapa Cina tetap bersihkeras menjaga hubungan dan kerjasamanya

dengan ASEAN, sedangkan di sisi lain dianatara kedua belah pihak, Cina dan

ASEAN sama – sama memiliki isu perbatasan di Laut Cina Selatan

3. Secara teoritis mapun metodologis, penelitian ini diharapkan akan memberikan

sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi Ilmu Hubungan

Internasional

1.6. Metode Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan metode deduktif, artinya dengan berdasarkan

kerangka teori dan konsep, kemudian ditarik suatu hipotesa yang akan dibuktikan

(21)

17 Pengumpulan data dalam hal ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau

library research. Oleh karena itu, data yang akan diolah adalah data sekunder yang bersumber dari literatur-literatur, makalah ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, internet

dan sumber-sumber lain. Penulis juga memanfaatkan fasilitas internet serta sumbangsih

dunia pers yang tehimpun lengkap pada koleksi koran yang memuat berita maupun

komentar tentang subjek yang penulis pilih.

1.7. Jangkauan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis memberi batasan penelitian dari tahun 1978 karena 3

tahun sebelumnya Amerika menarik pasukannya dari Vietnam sehingga menyisakan

Cina sebagai kekuatan besar di Asia terutama di Asia Tenggara, selain itu di tahun 1978

ini Deng Xiaoping mulai melancarkan reformasi ekonominya dan memandang bahwa

Cina perlu memisahkan urusan ekonomi dan politik, seta menjalin kerjasama dagang

hingga kerjasama dengan negara-negara ketiga, hal ini di dukung kuat pada tahun 1997,

Cina diundang masuk ke dalam forum ASEAN, kondisi yang ada pada saat itu

bahwasannya mayoritas negara-negara anggota ASEAN terkena dampak krisis

ekonomi, sehingga Cina bisa masuk dan memiliki nilai ’bargaining’ tersendiri, ini tidak

hanya menguntungkan pihak Cina semata namun hal ini juga di inginkan oleh

negara-negara anggota ASEAN, selain itu dengan absennya Amerika dan sekutunya karena

berakhirnya perang dingin membuat Cina menjadi kekuatan besar yang tersisa di Asia

(22)

18 sudah di sebut di atas. Masuknya Cina dalam forum ASEAN dan berakhirnya perang

dingin, namun pembahasan tetap tidak menutup kemungkinan di luar tahun tersebut

dianggap sebagai pemicu.

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I Pada bab ini akan memaparkan tentang Latar Belakang Masalah, Pokok

Permasalahan, Kerangka Pemikiran, Hipothesis, Tujuan Penelitian, Metode

Pengumpulan Data, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan

BAB II Akan menjelaskan tentang dinamika hubungan Cina dan ASEAN dari sejak

terbentuknya ASEAN, Cina di masa Deng Xiaoping hingga hubungan

Cina-ASEAN paska perang dingin

BAB III Bercerita tentang isu perbatasan di Laut Cina Selatan antara Cina dan

mayoritas negara-negara anggota ASEAN

BAB IV Ini akan menjabarkan tentang Regionalisme ekonomi yang terjadi antara

Cina dan ASEAN

(23)

19 BAB II

DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN

Cina di masa Mao Zedong membangun hubungan dan kerjasama dengan negara

lain dengan pemilihan partner sangat terbatas, Nikita Krushcev selaku pengganti Stalin

melancarkan politik de-stalinisasi, berakibat pada buruknya hubungan Cina dan Rusia,

sedangkan Cina sangat tergantung pada Rusia, Mao Zedong yang sangat dekat dengan

Stalin ini sebenarnya memutuskan untuk mencari pasar baru, namun karakter

kepemerintahan otokrat-totaliter dan tema komunis terlalu melekat di Cina menjadi batu

ganjalan bagi Mao Zedong dalam mengembangkan pasarnya.

Deng Xiaoping selaku pengganti Mao Zedong, memiliki semangat reformasi

yang sangat besar terkait di bidang politik dan ekonomi, salah satu nilai reformasi yang

di lancarkan Deng Xiaoping adalah pembenahan hubungan Cina-ASEAN, dengan sikap

Norma ”ASEAN Way” nya ASEAN tetap konsisten untuk menjaga dan

mengembangkan hubungan serta kerjasama dengan Cina dengan mempertimbangkan

posisi strategis dan potensi pasar yang sangat besar, hal ini memungkinkan Cina

memiliki tiga agenda sekaligus di ASEAN; dukungan ASEAN terkait Taiwan,

kerjasama ekonomi, serta isu perbatasan di Laut Cina Selatan.

Puncak hubungan dan kerjasama ekonomi Cina-ASEAN tergambar dalam

pertemuan ASEAN Regional forum pada tahun 1994, Dimana Cina juga hadir dan

(24)

20 membicarakan isu-isu keamanan secara formal dan bersifat langsung.Cina juga terlibat

langsung dengan pertemuan selanjutnya, yaitu ASEAN+3 pada tahun 1997, pertemuan

ini sangat penting bagi Cina untuk mempererat hubungan dan kerjasama dengan

ASEAN. yang kemudian mengantarkan Cina ke Pertemuan Puncak ASEAN yang

dihadiri seluruh Pemimpin Negara Anggota ASEAN pada tahun 2003. Dalam

pertemuan akbar ini Cina-ASEAN menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama

Ekonomi antara Cina dan ASEAN untuk persiapan Perjanjian Perdagangan Bebas

Cina-ASEAN yang diharapkan terealisir dalam kurun waktu 10 tahun.24

Meskipun terbentuk kerjasama ekonomi antara Cina-ASEAN, hal ini tidak serta

merta membuat Cina menjadi lunak terkait isu perbatasan Laut Cina Selatan, klaim Cina

atas Laut Cina Selatan yang berbentuk ”U” kerap menggunakan nada keras dan

memaksa, sebelum kedatangan Amerika di Asia Tenggara Cina menjadikan isu Laut

Cina Selatan menjadi ”core national interestnya”, namun sejak pendekatan Cina yang

secara bilateral ini menjadi multirateral oleh ASEAN dan dengan intervensi Amerika,

membuat Cina berpikir ulang untuk mempertahankan isu ini sebagai bagian dari ”core

national interest” nya.

A. Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin

Cina dan Asia Tenggara hubungannya banyak berubah sejak masa Cina di

pimpin Deng Xiaoping, Deng Xiaoping yang lahir pada tanggal 22 Agustus 1904 adalah

(25)

21 pemimpin politisi dan reformis Cina setelah kematian Mao Zedong yang memimpin

negaranya menuju pasar ekonomi. Lahir di Guangan, Sichuan, Deng belajar dan bekerja

di Perancis pada tahun 1920, kemudian dia terpengaruh doktin Marxisme-Leninisme.

Dia bergabung dengan Partai Komunis Cina pada tahun 1923. Sekembalinya ke Cinaia

bekerja sebagai komisaris politik di daerah-daerah pedesaan dan dianggap sebagai

"veteran revolusioner" dari Long March.25

Mewarisi sebuah Negara yang penuh dengan kesengsaraan sosial dan

kelembagaan yang dihasilkan dari Revolusi Kebudayaan dan gerakan politik massa

lainnya dari era Mao, Deng menjadi inti dari "generasi kedua" kepemimpinan Cina pada

saat itu. Dia dianggap "arsitek" dari pemikiran baru sosialis, setelah dikembangkan

"Sosialisme dengan karakteristik Cina" dan memimpin reformasi ekonomi Cina melalui

kebijakan yang dikenal sebagai "ekonomi pasar". Deng membuka Cina untuk investasi

asing, pasar global dan persaingan terbatas swasta.Dia mengembangkan Cina menjadi

salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama lebih dari 30 tahun dan

meningkatkan standar hidup rakyat Cina.26

Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu dari hampir seluruh kawasan

di dunia yang terkena imbas dari pengaruh ideologi Perang Dingin. Kedekatan geografis

kawasan Asia Tenggara dengan China ikut mempengaruhi kedekatan ideologis pula. Di

samping itu perhatian yang diberikan Amerika Serikat (AS) pada negara-negara Asia

Tenggara terkait dengan isu memerangi terorisme di kawasan atas adanya gerakan Islam

25 Cheng Li. Cina's Leaders: The New Generation,Maryland, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 2001, hal. 131.

(26)

22 radikal membuat China tidak mau kalah dalam menyebarkan pengaruhnya di Asia

Tenggara. Akan tetapi hal tersebut dirasa wajar sebagai konsekuensi dari dinamika

ekonomi China (Vaughn & Morrison, 2006). Akan tetapi negara-negara Asia Tenggara,

melalui ASEAN berupaya untuk tidak berpihak pada keduanya, dan hal ini kemudian

menjadi salah satu penyebab menurunnya hubungan ASEAN dengan China.

Semasa Perang Dingin, China hadir sebagai aktor baru yang sedang dalam

mengembangkan ekonomi dan memperkuat militer, dan banyak menyebarkan pengaruh

komunis di Asia Tenggara, yang dekat secara geografis. Dalam hal ini AS khawatir

apabila China menjadi sebuah polar kekuatan baru dengan pertumbuhan ekonomi dan

militernya yang dapat mengganggu tatanan dunia pada saat itu (Goh, 2007). Di samping

itu Friedberg (1993) memandang bahwa berakhirnya Perang Dingin memunculkan dua

kelompok scholar, yakni yang berpikiran optimis dan pesimis. Mereka yang optimis

beranggapan bahwa kebangkitan ekonomi di China adalah bentuk cerminan dari

bangkitnya negara-negara di Timur, sementara mereka yang pesimis beranggapan

bahwa China akan menjadi kekuatan polar baru yang tidak stabil akibat terkena

pengaruh dari runtuhnya Soviet (Friedberg, 1993).

China mulai mengintensifikasi hubungan dengan negara-negara kawasan

Asia Tenggara pasca Perang Dingin melalui banyak bentuk kerjasama utamanya dalam

bidang ekonomi, dan pembentuka ASEAN + 3 (ASEAN, China, Jepang, Korea

Selatan). Juga dalam bidang keamanan, China bergabung dalam Forum Regional

ASEAN (ARF, ASEAN Regional Forum) yang didirikan pada tahun 1994 bersama

(27)

23 Menteri Luar Negeri dari 17 negara kawasan Asia Pasifik dan perwakilan dari Uni

Eropa (EU, European Union), untuk duduk bersama membicarakan masalah keamanan

kawasan. Dalam hal ini China berusaha untuk mewujudkan Security Policy Conference

dalam kerangka kerja ARF tersebut. Di mana dengan demikian China dapat menjadi

salah satu posisi kunci yang penting dalam ARF. Kemudian pengklasifikasian ini akan

memiliki fokus multilateral yang akan menawarkan alternatif arsitektur keamanan

ASEAN yang selama ini secara tradisional telah didominasi oleh aliansi bilateral

dengan AS (Vaughn & Morrison, 2006).

Dalam bidang sosial budaya, dibentuk pula Komunitas Sosial Budaya

ASEAN (ASCC, ASEAN Sosio-Cultural Community) yang bertujuan untuk,

…promote a people-oriented ASEAN in which all sectors or society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building” (Piagam ASEAN, pasal 1 ayat 13). Sementara itu dalam bidang ekonomi, peran penting China terhadap ASEAN dipengaruhi oleh masuknya imigran China ke

wilayah Thailand dan Burma. Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat pergeseran

fundamental hubungan pada dari kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC, Asia Pacific

Economic Cooperation) yang juga melibatkan AS, ke arah ASEAN plus three, yakni dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, yang lebih menuju ke arah perdagangan

bebas antara ASEAN dengan China.

Akan tetapi tidak berhenti pada pengembangan kerjasama ke arah yang lebih

positif, China juga dipandang menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara.

(28)

24 serta konflik klaim teritori Laut China Selatan pada tahun 1990-an. Di mana China

memiliki kepentingan dan berambisi untuk dapat menguasai Spartly Island dan diakui

sebagai miliknya. Akan tetapi negara-negara ASEAN yang secara langsung berbatasan

dengan Laut China Selatan seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam

merasa terganggu akan hal ini. Konflik ini akhirnya menimbulkan bentrok angkatan laut

antara Vietnam dan China pada tahun 1988 yang menewaskan 70 personil angkatan laut

Vietnam. Jua pada tahun 1995 China berhasil merebut Mischief Reef yang juga diklaim

oleh Filipina. Kemudian solusi yang muncul adalah dibuatnya sebuah peraturan (CoC,

Code of Conduct) yang mengatur segala hal mengenai sengketa wilayah laut tersebut.

Namun pada pembentukannya sendiri timbul perbedaan pendapat di antara sesama

anggota ASEAN. Di satu sisi Filipina dan Vietnam menginginkan agar seluruh anggota

ASEAN menyetujui sebuah konsep CoC untuk kemudian disodorkan dan

dinegosiasikan dengan China. Sementara sebagian lain beranggapan perlu bagi ASEAN

untuk melibatkan China dalam proses perumusan CoC sejak awal. Dari sini terlihat

bahwa ASEAN masih memiliki permasalahan integritas yang cukup serius. Hingga

akhirnya China mau bersikap lebih kooperatif, ketika ARF mulai campur tangan meski

sangat terbatas. Pada tahun 2002 China setuju untuk menandatangani The Declaration

on the Conduct of Parties in the South China. Dan akhirnya Vietnam dan China

menegaskan kembali kedaulatan mereka atas kepulauan melalui pernyataan publik pada

(29)

25 Selain itu pengaruh China dalam hal ekonomi yang mulai mendominasi ASEAN

melalui dukungannya terhadap persebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara juga

dianggap sebagai ancaman. Meski kemudian pada akhirnya persepsi tersebut mulai

berubah saat terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997/1998, di mana China

menolak untuk mendevaluasi mata uangnya sementara nilai mata uang negara-negara

lain di Asia turun secara tajam. Kemudian di akhir 2004, China dan ASEAN secara

bertahap sepakat untuk menghilangkan tarif dalam perdagangan dan mulai menciptakan

area perdagangan bebas –free trade area—pada tahun 2010 dengan membentuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan negara-negara ASEAN

dengan China saat ini telah mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik

dibandingkan pada masa Perang Dingin. Terlihat dari kerjasama yang terjadi dalam

berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi adalah kerjasama melalui ACFTA. Dalam

bidang keamanan melalui keterlibatan China dalam ARF. Penulis berpendapat bahwa

dalam kerjasama ekonomi, China lebih banyak mengambil keuntungan daripada

negara-negara ASEAN. Hal ini terlihat dari produk-produk China yang lebih banyak

membanjiri pasaran. Dan hal ini justru menjadi tantangan bagi ASEAN untuk mencari

strategi supaya tidak kalah oleh China, dan dapat mengambil keuntungan dari kerjasama

tersebut.

Titik awal perubahan hubungan Cina dengan ASEAN (saat itu ASEAN masih

berbentuk SEATO dan ASA) sebenarnya dimulai setelah Deng Xiaoping menggantikan

(30)

26 mulai terbentuk dan resistansi terhadap negara penganut komunisme tidak terlalu besar

Cina mulai mendekati ASEAN dengan mengurangi dukungannya terhadap gerakan

komunis di ASEAN dengan langkah pertama menutup Radio Rakyat Thailand di

propinsi Yunan pada tahun 1979 dan menutup siaran radio komunis (Suara Demokrasi

Malaya) pada tahun 198327. Langkah ini diyakini dapat membuka hubungan ASEAN dan sekaligus mengimbangi kebijakan Uni Soviet yang mendukung invasi Vietnam ke

Kamboja.28

Cina dengan perkembangannya dan menyisakan Amerika dalam dominasi Asia

membuat negara-negara di Asia Tenggara bereaksi, negara-negara di Asia Tenggara ini

tidak serta merta melihat kebijakan Cina ini sebagai langkah yang tidak perlu di curigai,

Sebagian dari mereka sudah melakukan langkah kebijakan untuk membentengi dirinya

dengan bergabung dalam organisasi keamanan regional yang dibentuk dan dikendalikan

oleh Amerika Serikat, Inggris dan Sekutunya seperti Colective Defence Treaty,

SEATO, FPDA dan yang pada akhirnya ASEAN hingga terbentuknya ZOPFAN

sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Cina berpandangan langkah yang diambil

sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara ini tidak mendukung dalam usaha Cina

untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kerjasama.29

Pada awalnya hal ini terjadi karena setelah Perang Dunia II, tidak lama setelah

Filipna mendapatkan kemerdekannya, Filipina melakukan Perjanjian Basis Militer ( the

Military Bases Agreements) dengan Amerika Serikat untuk kehadiran pasukan

27N. Ganesan, “ASEAN’s Relations with Major External Powers”, Contemporary Southeast Asia : A Journal of International & Strategic Affairs, Vol.22, Issue 2, August 2000, hal. 8.

(31)

27 militernya di negara tersebut.30 Pada tahun 1954 terbentuk organisasi regional

keamanan yang di sebut Collective Defence treaty for Southeast Asia ditandatangi di Manila yang melibatkan lebih banyak negara di luar Asia Tenggara (Amerika Serikat,

Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Thailand, dan Filipina).

ASEAN sendiri baru terbentuk saat pada tahun 1967 saat 5 menteri luar negeri

masing-masing dari 5 negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Menteri-menteri ini adalah: Adam Malik, Abdul Razak, Narciso Ramos, S Rajaratnam,

dan Thanat Khoman, mereka berlima adalah pendiri dari ASEAN.

ASEAN terbentuk dari ketertarikan akan komunitas keamanan, ketakutan akan

komunisme dan krisis kepercayaan dari kekuatan-kekuatan besar, maka dari itu mampu

menjelaskan bila sebelumnya dibentuk juga Organisasi yang di sebut Southeast Asia

Treaty Organization (SEATO).31

SEATO ini sangat berbeda dengan NATO karena lebih mengutamakan

mekanisme konsultasi bagi para anggotanya, walau dalam pembentukannya di

maksudkan sebagai NATO dari timur. Organisasi ini sebenarnya lebih merupakan

upaya Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunis di kawasan Asia

Tenggara, sedangkah organisasi yang dibentuk sepenuhnya oleh negara-negara Asia

Tenggara untuk pertama kalinya adalah the Association of Southeast Asia (ASA) pada

tahun 1961.

Pada tahun yang sama dengan dibentuk SEATO, Indonesia yang tidak termasuk

kedalam anggota SEATO, menggalang kekuatan dalam Konferensi Bandung pada tahun

30David Wurfel, Filipino Politics: Development and Decay, Ithaca and London: Cornell University Press, 1988

(32)

28 1955. Pada tahun 1971 disaat Thailand dan Filipina mulai mengembangkan politik luar

negeri yang lebih mandiri, Malaysia dan Singapura masih terikat dengan perjanjian Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang beranggotakan Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Inggris, dimana perjanjian ini sebelumnya bernama Anglo

MALAYSIA Defense Agreement (AMDA) yang bertujuan awal untuk menghadapai

politik konfrontasi Indonesia. Tapi pada pertengahan 70-an akhirnya Inggris dan

Australia menarik pasukannya dari Asia Tenggara.

ASEAN juga berusaha menguatkan posisi mereka sebagai organisasi regional

dengan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Zona Perdamaian,

Kebebasan, dan Netralitas atau Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN).

Pernyataan tentang netralitas ASEAN ini didasari pada keinginan negara-negara

anggota, yang diprakarsai oleh Malaysia, untuk menjaga netralitas ASEAN dari campur

tangan negara-negara luar.ZOPFAN juga didorong oleh keinginan kuat untuk

meningkatkan otonominya sebagai organisasi regional yang mandiri dan tidak

dikendalikan oleh kekuatan luar. Sekalipun kenyataannya bahwa beberapa negara

anggota belum sepenuhnya dapat memisahkan diri dir kerjasama keamanan dengan

negara lain karena alasan geografis dan sejarah.32

Kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Thailand pada tahun 1988 yang

menjelaskan kebijakan dasar Cina terhadap ASEAN adalah upaya untuk memperbaiki

dan mengembangkan hubungan antara Cina – ASEAN. Pada tahun 1989, Cina

membubarkan Partai Komunis Malaysia dan Partai Komunis Thailand secara resmi

(33)

29 sebagai upaya untuk memperkuat keyakinan ASEAN terhadap kebijakan Cina untuk

memperbaiki dan membuka hubungan dengan ASEAN. Indonesia menanggapi

kebijakan ini dengan membuka kembali hubungan diplomatik dengan Cina pada

Agustus 1990 dan kemudian diikuti oleh Singapura sebulan kemudian.33

Pada Juli 1991 Menteri Luar Negeri Cina Qian Qichen menghadiri

pembukaan ASEAN Ministeril Meeting ke 24. Momen itu di manfaatkan oleh Cina

untuk menyampaikan niatnya bekerjasama dengan ASEAN yang ditanggapi positif oleh

ASEAN dengan memberikan Cina status sebagai Mitra Konsultasi. Cina memanfaatkan

kemajuan ini untuk meningkatkan hubungan dengan ASEAN yang berdampak dengan

diberikannya Cina status penuh sebagai Mitra Dialog pada Juli 1996.34

Setelah Cina menjadi Mitra Dialog dengan ASEAN, bukan berati tidak ada

masalah dalam hubungan itu. Indonesia yang pada saat itu masih mempermasalahkan

alasan etnis dan teringat kudeta komunis pada tahun 1965 masih sulit menjalin

hubungan dengan normal, sementara itu agresi militer Cina ke Vietnam pada tahun

1979 masih menyimpan rasa trauma pada bangsa Vietnam. Presepsi negative ini

diperumit oleh pendudukan Cina atas kepulauan Paracel pada tahun 1974 dan yang

nantinya berkonflik atas kepulauan Spratly pada tahun 1998 Serta isu kepulauan

Mischief Reef antara Cina-Filipina yang menambah gelombang anti-Cinaisme semakin

kuat. Karena alasan etnis pula, Malaysia dan Singapura tidak sekuat Negara ASEAN

lainnya dalam menanggapi agresivitas Cina dalam kaitan isu klaim perbatasan wilayah.

Bahkan Myanmar memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Cina dibanding Negara

33Bambang Cipto, op.cit., hal. 171.

(34)

30 anggota ASEAN yang lain karena memiliki hubungan perdagangan dan akses Cina ke

kawasan teluk Bengal.35

B. Hubungan Cina-ASEAN Paska Perang Dingin

Untuk memahami hubungan Cina-ASEAN paska perang dingin dapat melalui

dua pendekatan, yaitu; isu keamanan dan isu ekonomi. Selepas perang dingin,

ketertarikan Amerika akan Asia tenggara sangat berkurang, ketakutan Amerika saat itu

adalah munculnya “efek domino” komunisme di Asia Tenggara, saat itu dalam

usahanya untuk menekan penyebaran komunisme di Asia, Amerika menjadikan Jepang

sebagai jawara demokrasi di Asia, sedangkan untuk di wilayah Asia Tenggara, melihat

perkembangan Vietnam, Amerika takut akan terjadinya “efek domino” sehingga

Amerika menggaet ASEAN dengan cara memberikan bantuan bantuan pada negara

yang yang berada dikawasan ini.

Di satu sisi negara-negara di Asia sendiri juga membentengi dirinya dengan

membentuk SEATO, hingga akhirnya terbentuk ASEAN yang kemudian membentuk

ZOPFAN,36 namun menyusul runtuhnya Uni Soviet menghasilkan apa yang sudah

ditempuh ASEAN menjadi “obsolete”, dan mengurangi “interest” mereka karena sudah

tidak ada ancaman berarti lagi dari kekuatan asing yang nyata.37 Namun hal ini berubah begitu focus Cina kembali ke Laut Cina Selatan.

35N.Ganesan, op.cit., hal. 18.

36Untuk mengetahui tentang SEATO dan ZOPFAN lihat di sub-bab “Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin”.

(35)

31 Dengan absennya Amerika menyisakan Cina sebagai penguasa regional dengan

kekuatan ekonomi dan militer terlampau jauh dari Negara Asia lainnya terutama di Asia

Tenggara, hal ini mendorong Cina untuk memanfaatkan absennya Amerika dengan

menghidupkan kembali isu Laut Cina Selatan dan menjadikan hal tersebut sebagai

“national interest” nya.

Selama masa paska perang dingin isu Laut Cina Selatan menjadi topik terpanas

di Asia berkaitan dengan pembahasan geopolitik maupun politik internasional, klaim

Cina akan wilayah Laut Cina selatan yang berbentuk “U” awalnya di mulai Cina dengan

bentuk hubungan bilateral agar Cina menang dalam diplomasi terkait dengan posisi

Cina sebagai pihak terkuat di regional Asia, pendekatan bilateral Cina ini juga di

maksudkan untuk mencegah Negara-negara di Asia Tenggara menentang klaim dan

untuk mencegah intervensi Amerika.38

Melihat arah ASEAN yang mulai solid Cina pun melakukan pendekatan lain,

dengan tetap mempertahankan klaimnya atas Laut Cina Selatan, pada tahun 1992 Cina

memberikan pernyataan bahwa: “Cina memandang Asia Tenggara sebagai teman dan

partner, utamanya ASEAN”, ASEAN pun menyambut baik niat Cina dalam

pembangunan kerjasama ekonomi, ASEAN melihat Cina adalah Negara besar dan

potensial untuk di jadikan mitra ekonomi, akhirnya Cina bergabung dalam forum

ASEAN, hal ini di mendorong Indonesia untuk mensosialisasikan “COC” (Code of

Conduct) hanya saja saat itu Cina masih tidak mau mendiskusikan dan bernego apapun

(36)

32 terkait perbatasan Laut Cina Selatan dan masih bertahan dengan klaim berbentuk “U”

nya.39

Cina sudah terlanjur masuk dalam forum ASEAN dan mendapatkan dirinya di

cecar dengan banyak keluhan dari Negara-negara anggota ASEAN terkait isu

perbatasan Laut Cina Selatan, akhirnya di prakarsai oleh Indonesia “COC” ini secara

resmi di umumkan pada bulan Juli tahun 1996 saat Ministerial Meeting ASEAN yang

ke 26, hingga saat itu Cina tetap masih belum mau menandatangani apapun, bahkan

Cina memberikan nada-nada yang lebih keras dan mengancam dalam usahanya

mengklaim Laut Cina Selatan, “COC” ini sendiri bertujuan agar semua Negara yang

berbatasan dengan Laut Cina Selatan agar mematuhi nilai-nilai dari “TAC” ( Treaty of

Amity and Cooperation in South East Asia .)40

Reaksi Cina atas “COC” ini adalah dengan kembali kearah komunikasi bilateral,

dan penggunaan nada-nada yang mengancam dan memaksa, namun seiring terjadi

serangan terorisme 11 september pada tahun 2011, Amerika mengangkat isu terorisme

menjadi isu global, kebetulan Amerika bekerjasama dengan Malaysia, Filipina dan

Vietnam yang mana ketiga Negara tersebut bermasalah dengan Cina dalam isu

perbatasan Laut Cina Selatan.

Melihat kehadiran Amerika, Cina bersuara dan meyakinkan Amerika bila

membawa isu Laut Cina Selatan menjadi isu internasional hanya akan memperburuk

keadaan. Kehadiran Amerika di Asia Tenggara membawa banyak analisis dan spekulasi

di Cina sendiri, Cina yang sudah menjadikan isu Laut Cina Selatan sebagai “national

39Ibid.

(37)

33

interest” nya tadinya ingin menjadikan isu ini menjadi level “core national interest”,

namun memandang kehadiran Amerika Cina kuatir dengan menjadikan isu ini teramat

penting bagi Cina hanya akan membuat Amerika memiliki alasan untuk mendatangkan

kapal-kapal perangnya ke Asia.

Permasalahan Laut Cina Selatan yang akhirnya menarik perhatian Amerika ini,

dengan nada keras yang selalu di keluarkan Cina dalam usahanya mengklaim Laut Cina

Selatan menggeser pendekatan bilateralnya menjadi ‘bimultilateral’, awalnya

Negara-negara di Asia Tenggara mulai solid dan menyuarakan tentang keinginan Cina yang

terlalu berlebihan dan tanpa dasar dalam perhitungan klaimnya hingga akhirnya

Amerika ikut andil dalam isu Laut Cina Selatan.41

Indonesia melihat kehadiran Amerika dapat dimanfaatkan untuk mendorong

Cina agar menandatangani perjanjian “COC” ini, akhirnya pada tahun 2002 Cina dan

ASEAN menandatangani perjanjian berdasarkan “COC” dan mendelakrasikannya

menjadi “DOC” ( Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea ),

setelah terdelakrasikannya “DOC” memang Cina sempat tidak melakukan gerakan

apapun setelah “DOC” namun pada tahun berikutnya Cina kembali mendesak beberapa

Negara ASEAN untuk membahas perbatasan Laut Cina Selatan secara bilateral.

Cina yang terkesan tidak ‘kapok’ ini meneruskan usahanya untuk mengklaim

wilayah Laut Cina Selatan hingga Amerika benar-benar melakukan intervensi.

Intervensi Amerika ini di takutkan oleh Cina karena mengganggu usaha Cina untuk

menjadi pemimpin regional Asia, dan membuat ketergantungan Asia terutama Asia

(38)

34 Tenggara pada Amerika semakin besar, tentunya Cina sendiri lah alasan kenapa

Negara-negara di Asia Tenggara menggantungkan isu keamanannya pada Amerika, Cina

menginginkan bahwasannya Cina di anggap sebagai teman, namun di satu sisi Cina

mencapai keinginannya terkait klaim wilayah Laut Cina Selatan

Pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN ke 43 di Hanoi para

menteri-menteri luar negeri tersebut menyuarakan keluhannya akan Cina yang tidak mengikuti

protokol “COC” yang sudah di setujui, menteri luar negeri Cina saat itu Yang Jiechi

berkilah bahwasannya jangan membawa permasalahan ini menjadi isu multilateral

antara Cina di satu sisi melawan ASEAN, Yang Jiechi mengatakan bahwa:

“permasalahan Laut Cina Selatan ini adalah permasalahan bilateral dan kami

berkonsentrasi agar permasalahan ini tidak menjadi multilateral atau sampai menjadi

permasalahan internasional”.

Merespon dengan apa yang terjadi selama ini pada isu Laut Cina Selatan,

Amerika menyatakan: “Amerika sangat mendukung proses diplomasi yang kolaboratif

dan Amerika akan bersiap-siap untuk memfasilitasi hal ini”, Cina menangkap maksud

dari Amerika ini dan berubah menjadi berhati-hati dalam usaha klaimnya, Cina merasa

bahwa bila mereka memaksakan isu Laut Cina Selatan sesuai dengan keinginan Cina

hal tersebut hanya akan memfasilitasi “Carrier” Amerika mendekati Cina.

Keadatangan Carrier Amerika ini sendiri pergerakannya tergantung dari

seberapa besar isu yang berkembang, saat Taiwan ingin menyatakan kemerdekaannya

Cina secara keras menentang hal itu dan berusaha menghalaunya dengan segala cara,

(39)

35 ASEAN, saat isu Taiwan Amerika membawa dua Carriernya; Nimitz dan Independence,

tentunya Cina tidak ingin hal itu terulang, terlebih lagi Amerika akan menggabungkan

agenda Laut Cina Selatan dan Taiwan, dan itu hanya akan membuat kemajuan Cina

pada isu Taiwan mundur lagi, begitu juga dengan isu Laut Cina Selatan tentunya akan

di jadikan isu internasional oleh Amerika.42

(40)

36 BAB III

ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN

Konflik di Laut Cina Selatan dapat di kategorikan dalam 4 Hal ; Perebutan

wilayah, lokasi untuk perikanan, eksplorasi dan pengembangan minyak, dan gas.

Konflik di Laut Cina Selatan ini sebenarnya bukanlah konflik di antara semua negara

ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih

wilayah dengan Filipina, Vietnam, dan Thailand, namun pada perkembangannya

negara-negara seperti ; Indonesia, Malaysia, dan Brunei juga terkena gelombang

permasalahan wilayah di Laut Cina Selatan.

Perkembangan konflik ini berdasarkan dari klaim berbentuk “U” Cina yang

mengoverlaping dan meresahkan ASEAN. Hal ini dapat dipahami kenapa diplomasi

yang terjadi diantara Cina-ASEAN dari bilateral menjadi ‘bi-multilateral’, dalam

berbagai diplomasi langsung Cina kerap memaksa dan memojokkan menggunakan

kalim sejarah mereka, namun dalam berbagai pertemuan ASEAN terlebih lagi dengan

kehadiran Amerika, Cina tidak mengemukakan isu ini, kebalikannya justru ASEAN

yang kerap mengangkat isu ini.

A. Klaim Cina Berbentuk “U” di Wilayah Laut Cina Selatan

Konflik maritim dan teritorial di Laut Cina Selatan menyeret 5 negara, yaitu :

(41)

37 diantara Negara-negara tersebut tidak dapat terpecahkan dalam jangka waktu yang

singkat.

Dari sudut pandang Cina dapat dipahami bahwasa wilayah Laut Cina Selatan

memiliki hampir semperempat cadangan minyak di dunia, walaupun hal belum terbukti

dengan eksplorasi yang lebih jauh, namun Cina selalu marah bila ada usaha eksplorasi

ataupun usaha pengembangan ‘off shore’ minyak atau pencarian gas di Laut Cina

Selatan. Kejadian ini berulang kali dialami oleh Vietnam akhir-akhir ini. Puncaknya

pada tahun 2011, kerjasama yang sudah hampir ‘goal’ dengan Exxon Mobil digagalkan

oleh Cina, begitu juga dengan apa yang terjadi di Filipina, lama-lama bagi ASEAN Cina

merupakan ancaman, begitupun juga Cina merasa ASEAN bagaikan kotoran yang

(42)

38 Gambar 1 : Peta Laut Cina Selatan didengan garis yang menandakan klaim wilayah masing masing negara.

(43)

39 Gambar diatas ini adalah peta dari Laut Cina Selatan, dimana di dalamnya

menjelaskan tentang klaim wilayah dari negara :

 Cina

 Filipina

 Vietnam

 Brunei

 Malaysia

Garis-garis itu menunjukan klaim dari negara; Cina ditunjukan dengan garis

putus-putus berwarna ungu, Filipina dengan garis warna hijau, Vietnam dengan warna

biru muda, Brunei dengan warna kuning, dan Malaysai dengan warna oranye. Dari

gambar diatas terlihat terjadi tumpang tindih klaim di laut tersebut dengan klaim Cina

yang menyerupai huruf U. Dari negara-negara tersebut hanya Brunei yang klaimnya

memiliki legalitas, sedangkan negara lain yang mengklaim menurut patokan Zona

Ekonomi Esklusif (ZEE) yang berjarak 200 mil dari batas pantai wilayahnya. Dalam

perkembangannya setiap negara memiliki klaim sepihak yang rumit dan unik, dimana

klaim itu secara otomatis memperpanjang wilayahnya minimal 200 mil, sama dengan

patokan maksimal ZEE, meskipun terjadi ‘overlaping’ dalam klaimnya dengan negara

lain. Kerumitan ini bisa bertambah dengan klaim sepihak yang lebih jauh dari ZEE

(44)

40 Gambar 2 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Cina dan wilayah yang diklaim berbentuk U.

Sumber: CSIS

Garis putih ini adalah klaim Cina, Ambisi Cina dalam klaim ini di tolak

mentah-mentah oleh pihak anggota-anggota negara ASEAN, berdasar dari klaim Cina ini

bahkan Brunei tidak akan memiliki pantai, sayangnya tolakan ASEAN tidak memiliki

nilai tawar “power” yang bisa di anggap Cina memuaskan, ASEAN dan Amerika

menyatakan bahwa klaim berdasarkan nilai historis tidak akan pernah bisa menang dan

dunia internasional akan tetap mendukung perjanjian tentang batas wilayah berdasar

(45)

41

ASEAN yang menyepakati “Jakarta Charter” yang dalam salah satu poinnya adalah:

“Berpatokan pada “United Nations Charter” dan hukum internasional”. Lebih jauh lagi

menanggapi klaim Cina ini ASEAN memutuskan untuk menjalin kerjasama di bidang

pertahanan dalam pembuatan senjata (industry pertahanan) yang akan di realisasikan

pada tahun 2030 dan di dukung oleh Amerika.

Gambar 3 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Vietnam dan wilayah yang diklaim.

Sumber : CSIS

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa konflik ini tidak bisa diselesaikan

(46)

42 dimana akan selalu terjadi konflik dan sengeketa berkepanjangan tanpa titik temu. Jika

di lihat dari patokan ZEE yang benar maka seharusnya batas laut negara-negara tersebut

tidak menimbulkan sengeketa karena klaim yang terjadi tidak terdapat tumpang tindih

wilayah laut seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi menurut ZEE

Sumber : CSIS

Kelima negara yang bersengketa ini yaitu; Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia,

dan Brunei saat ini sama sama mengklaim seluruh kepulauan Spratly menjadi wilayah

(47)

43 Vietnam pun dilaporkan sudah mengerahkan pasukannya untuk menduduki 21 pulau

diantaranya, diikuti Filipina 8 pulau, Cina 6 pulau, dan Malaysia 3 pulau.Mereka

berlomba-lomba saling mengklaim berdasarkan beberapa historis, territorial, dan isu-isu

yang ada.Tidak berhenti disitu, Cina dan Vietnam pun ikut mengklaim kepulauan

Paracel dan Scarborough Shoal43.Jika dilihat dari gambar peta di bawah ini, jelas terlihat pembagian gugusan kepulauan yang di sengketakan.

Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan pembagian gugusan kepulauan Spratly, Paracel dan Scarborough Shoal.

Sumber : CSIS

(48)

44 Pada gambar diatas, gugusan kepulauan Spratly di kelompokan dalam warna

hijau, gugusan kepulauan Paracel dalam warna ungu, dan gugusan kepulauan

Scarborough Shoal dalam warna kuning. Sengketa yang mencakup area seluas 298.000

mil ini sudah beberapa kali di cari konflik resolusinya, dimana konflik ‘inter-personal’

antara negara yang menghasilkan pemecahan masalah atau meneruskan konflik tersebut

dengan cara yang lebih halus dengan meminimalisir konflik sejata. Proses resolusi

konflik ini ada umumnya melalui cara negosiasi, mediasi, diplomasi dan pembangunan

hubungan damai.44 Perkembangan ini membutuhkan focus dari anggota ASEAN yang

bersengketa dengan Cina, yaitu; Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei untuk

menentukan sikap dengan apa yang sebenarnya di sengketakan di Laut Cina Selatan dan

yang tidak. Selama faktor yang fundamental ini tidak jelas, Cina akan selalu bersikap

ambigu dan kontradiksi dalam mengklaim kepentingan di Laut Cina Selatan atas negara

tetangga yang lebih kecil. Beberapa langkah yang mengarah ke faktor itu sudah diambil

oleh beberapa anggota ASEAN yang berkonflik, seperti Vietnam dan Malaysia yang

pada tahun 2009 bergabung dalam sub-misi tetang wilayahnya yang mereka kaliam

secara sepihak kepada CLCS adalah langkah yang pertama yang penting dalam konflik

ini, dilanjutkan oleh Filipina dalam hukum baseline pada tahun yang sama establishing

its coastal baseline in accordance dengan UN Convention on the law of the Sea

(UNCLOS) dan yang lainnya.45

44Lalita Boonpriwan , op.cit., hal. 6.

45Republic of the Philippines, republic Act no.9522, 10 Maret 2009,

Gambar

Gambar 1 : Peta Laut Cina Selatan didengan garis yang menandakan klaim wilayah masing
Gambar 2 : Peta Laut Cina Selatan dengan  dengan wilayah resmi Cina dan wilayah yang
Gambar 3 : Peta Laut Cina Selatan dengan  dengan wilayah resmi Vietnam dan wilayah yang
Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan  dengan wilayah resmi menurut ZEE
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa osilasi Rabi dalam sistem SQD- MNP heterodimer dapat dimodifikasi dengan mengontrol parameter sistem maupun intensitas

Agar IBO tetap memiliki semangat berbisnis penting bagi IBO pada MLM khususnya pada Oriflame untuk meningkat kinerja dari bisnis yang mereka bangun, IBO yang baru

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan teori nilai konsumsi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pilihan konsumen mengenai produk ramah

applicable to non-joint stock companies) Modal yang termasuk phase out dari CET1 N/A 5 Common share capital issued by subsidiaries and held by.. third parties (amount allowed

Berdasarkan trend suhu dan kelembaban udara pada Gambar 7 di daerah lahan pertanian lahan gambut di Desa Pelalawan memenuhi syarat tumbuh untuk tanaman padi dan jagung..

Hal ini sesuai dengan hasil pada penelitian yang sebelumnya telah dilakukan didapatkan juga menunjukkan bahwa pemberian tempe pada mencit dengan dosis 10 g/kgBB/hari

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa persepsi konsumen terhadap kualitas keseluruhan sabun, kualitas fisik produk serta kemasan yang positif akan

Kontribusi dari kegiatan ini adalah sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat Desa Kajongan Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga yang memiliki potensi banyak