DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME
EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh :
NUR ARY RIZQIAN
95510310
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
i
DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME
EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh :
NUR ARY RIZQIAN
95510310
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
ABSTRAKSI
Meskipun situasi di Laut Cina Selatan menjadi pusat perhatian belakangan ini, isu
tersebut sebenarnya bukan barang baru. Di awal 1990-an topik tersebut telah diperkirakan
khususnya oleh para analis Amerika, akan menjadi konflik yang tak berkesudahan. Dilihat
secara sepintas, situasi saat ini mungkin mirip dengan situasi pada era 1990-an. Akan tetapi,
ketika diperhatikan dengan lebih mendalam, sangat jelas bahwa kondisi sebenarnya berbeda.
Perubahan-perubahan besar telah terjadi di dalam hubungan Cina dan ASEAN, begitu pula di
dalam sistem regional semenjak awal 1990-an. Secara keseluruhan, telah terbentuk suatu
hubungan yang positif dan konstruktif di antara Cina dan ASEAN, khususnya di bidang
ekonomi yang telah mengubah berbagai aspek menyangkut dinamika politik, ekonomi, sosial,
dan keamanan di kawasan tersebut. Semua perubahan ini tidak bersifat sementara, tetapi akan
terus-menerus mempengaruhi perilaku para pihak terhadap satu sama lain, termasuk di dalam
lingkup konflik Laut Cina Selatan.
Di awal 1990-an Cina menerapkan suatu strategi pasca Perang Dingin yang baru,
bercirikan kebijakan “good neigbourhood” (bertetangga yang baik), yang bertujuan untuk
menjadikan Asia Tenggara sebagai model strategi bagi “kebangkitan Cina yang damai” (peaceful rise). Pada saat yang sama,. Pemulihan hubungan baik ini merupakan hal yang
mendasar dalam memahami mengapa Cina dan ASEAN telah berupaya untuk memelihara
hubungan mereka dalam cara yang konstruktif dan damai dan mengapa hubungan di antara
Cina dan ASEAN tersebut telah berkembang menuju arah yang positif, termasuk di dalamnya
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Cina adalah negara terpadat di dunia dengan populasi lebih dari 1,35 miliar.
Cina yang memiliki nama resmi Republik Rakyat Cina ini dikuasai oleh Partai Komunis
dimana partai komunis adalah partai satu-satunya yang legal di sana.1
Antara Cina dan ASEAN pada awalnya tidak memiliki niat untuk pembangunan
hubungan kerjasama dalam bidang apapun, justru ASEAN menganggap Cina adalah
aggressor potensial menyusul runtuhnya kekaisaran Jepang menyisakan Cina sebagai
aggressor potensial di Asia. Selain itu dalam mengambil sikap terkait laut, Cina mempertahankannya dengan keambiguan sehingga semakin membuat ASEAN
ragu-ragu terhadap Cina.2
Deng Xiaoping saat memimpin Cina membawa angin segar dan perubahan
dalam Cina terkait dengan hubungannya terhadap ASEAN, dengan cara mengurangi
pengaruh komunisnya di ASEAN Deng Xiaoping melakukan pendekatan dengan
ASEAN, hal ini dimaksudkan Deng Xiaoping untuk mendukung reformasi politik dan
ekonominya.
1 University of Southern California, What are Cina’s Largest and Richest Cities, US-Cina Institue, 27
Agustus 2007,
Cina.usc.edu/(S(swqn0p55xbqmsu45cwso5lzy)A(IEcheuFczAEkAAAAODRlNTk2OTMtMDViMC00Yj
2 Selanjutnya hubungan Cina-ASEAN berkembang di masa Hu Jintao, sebagai
presiden disaat itu, Hu Jintao terfokus dalam berbagai usaha memajukan Cina, terutama
dari segi ekonomi. Hu Jintao adalah satu-satunya pemimpin Cina yang tidak banyak
membuat perubahan dalam tubuh politik dan terkesan konservatif dalam perpolitikan.
Hu Jintao melihat kawasan besar Laut Cina Selatan sebagai lautan uang, setengah
perputaran perdagangan di dunia via laut melewati Laut Cina Selatan.3 Hal inilah yang
nantinya mendorong terbentuknya regionalisme ekonomi Cina-ASEAN.
Mencakup dari Singapura dan Malaka selat ke Selat Taiwan, Laut Cina Selatan
merupakan salah satu daerah yang paling hangat diperdebatkan di dunia. Cina
meletakkan klaim untuk hampir seluruh laut tumpang tindih dengan klaim maritim dari
Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina dengan wilayah kedaulatan, sumber
daya alam, dan kepentingan nasional dipertaruhkan. Sengketa ini mengancam stabilitas
kawasan, namun tanpa memperdulikan isu keamanan tersebut, Cina tetap bisa
mempertahankan kerjasama ekonominya dengan ASEAN.
Signifikansi Selatan Laut Cina secara luas diakui oleh banyak pihak dalam
navigasi internasional, maritim, eksploitasi sumberdaya alam, perlindungan lingkungan,
dan efektivitas hukum-hukum internasional. Sengketa di Laut Cina Selatan kerap
membahas perebutan kepulauan berkaitan dengan perbedaan pandang tentang batas
masing-masing negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, seperti kasus di
Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan zona maritim sejak 1990-an.4 Upaya telah dilakukan oleh negara-negara regional untuk menstabilkan situasi dan mencari peluang
3Charle A Tayer, “Cina’s New Wave of Aggressive Assertiveness in the South Cina Sea”, CSIS, 20 Juni 2011.
3 kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan. Upaya-upaya ini telah menghasilkan,
Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan pada tahun 1992 yang diadopsi pada
tahun 2002 dan Deklarasi ASEAN-Cina pada perilaku para pihak di Laut Cina Selatan,
yang menurut semua pihak yang menandatangani perjanjian untuk mencari solusi
damai, sengketa, dan melakukan kerjasama maritim dalam rangka menjaga stabilitas
regional di Laut Cina Selatan.
Dengan menarik garis demarkasinya, Cina membuat klaim besar terhadap semua
negara yang memiliki wilayah kelautan di Laut Cina Selatan. Beberapa negara telah
membuat klaim-klaim teritorial atas Laut Cina Selatan. Perselisihan tersebut telah
dianggap sebagai titik paling berbahaya di daerah Asia. Titik konflik perbatasan Cina
tersebut, yaitu Kepulauan Spratly yang mana Cina bertabrakan dengan Vietnam dan
Taiwan, sedangkan wilayah Kepulauan Scarborough Shoal Cina memperebutkannya
dengan Filipina dan Taiwan, selain itu ada juga Kepulauan Paracel yang mana Cina
memperjuangkannya melawan Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Kepulauan-kepulauan kecil lain yang berada di Laut Cina Selatan pada dasarnya diperebutkan oleh
semua negara ASEAN.5
Cina sangat bersikeras atas kedaulatan di Laut Cina Selatan karena akan menjadi
keuntungan strategis bagi Cina mengingat bahwa lebih dari setengah tonase pedagang
dunia, sepertiga dari perdagangan minyak mentah, dan setengah wisata perdagangan gas
alam melalui perairan yang diperebutkan tersebut.
4 Dalam perkembangannya, Kepulauan Spratly dalam setiap pembahasan politik,
ekonomi, dan militer, Cina tampaknya akan mengambil garis keras terhadap masalah
ini. Pada bulan Maret 2010, para pejabat Cina tingkat tinggi dilaporkan menegaskan
untuk mengunjungi pejabat AS bahwa Laut Cina Selatan mengklaim ditandai
kepentingan inti untuk Beijing, Cina memperingatkan bahwa jangan sampai ASEAN
melupakan apa yang pernah terjadi bahwa Cina pernah memberikan ‘pelajaran’ pada
Vietnam pada tahun 1979.6
Memang sebelumnya Cina sangat keras terhadap tantangan dalam semua
politisasi atas Laut Cina Selatan. Di satu sisi dalam bidang ekonomi Cina dan ASEAN
telah membentuk energi politik, yaitu membentuk komunitas ekonomi baru meniru
seperti apa yang sudah dicapai Uni Eropa. Pada saat yang sama, Amerika Serikat
memperdalam hubungan strategis dengan Vietnam, Filipina, Singapura, dan Indonesia
sebagai bagian dari poros Asia. Semua ini telah memicu kekhawatiran, bahwa di era
meningkatnya persaingan besar-kekuasaan, ASEAN tidak mungkin bisa tetap
bersama-sama. Namun pada akhirnya Cina tetap mempertahankan ambiguitasnya terkait dengan
isu perbatasan Laut Cina Selatan.7
1.2. Pokok Permasalahan
Mengapa Cina tetap berusaha menjalin hubungan dengan ASEAN meskipun
Cina terlibat berbagai konflik dengan negara ASEAN?
6 Ibid, hal. 176.
5 1.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka dasar teori merupakan bagian yang terdiri dari uraian yang
menjelaskan variable-variable dan hubungan-hubungan antar variable berdasarkan
konsep definisi tertentu. Teori adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab
pertanyaan mengapa fenomena itu terjadi.8 Konsep adalah abstraksi yang mewakili
obyek atau fenomena.9
Morgenthau dalam memandang penentuan teori politik bahwasannya suatu
teori politik harus bersubyek pada pengujian dua hal yaitu alasan dan pengalaman.10
Untuk menghapuskan sebuah teori yang telah berkembang selama berabad-abad adalah
dengan menghadirkan praduga modern yang menjamin superioritas kondisi saat ini
dibandingkan masa lampau, bukan hanya sebuah argument rasional.11
Politik realisme meyakini bahwa politik, dipengaruhi oleh hukum-hukum
obyektif yang berlandaskan kemanusiaan. Jauh sebelum Morgenthau sebenarnya arah
pemikiran manusia sudah belajar untuk hal ini sejak masa ”Renaissance” yaitu dengan pola pendekatan Immanuel Kant yang dia jabarkan dalam bukunya Critique of Pure Reason dalam memisahkan objek untuk di pelajari.12 Sehingga model penulisan skripsi ini sesuai dengan nilai dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang akan
8 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 219.
9 Sofyan Efendi, Unsur-unsur Pengertian Ilmiah, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 14.
10 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Alfredd A Knoff, New York, 1976, hal. 4.
11 Ibid, hal. 7.
6 menciptakan karakter yang islami dan unggul dan tentunya modern.13 Kaitannya dengan
dunia sosial bahwa menurut Morgenthau untuk membangun masyarakat perlu dipahami
hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pelaksanaan hukum-hukum ini
menjadi ganjalan bagi preferensi kita, orang yang menantangnya akan menemui resiko
kegagalan.14
Dalam perkembangannya sesuai dengan disiplin ilmu Hubungan Internasional,
kelahiran ilmu ini berdasarkan pengalaman gagalnya Liga Bangsa-bangsa sehingga
pecahnya perang dunia II kala itu banyak aliran pemikiran yang berkembang adalah
pemikiran/idiologi idealisme, sehingga pola pemikiran yang umum di pakai sekarang,
yaitu realisme.15 Sehingga pokok penekanan di skripsi ini adalah dengan pemakaian pola realisme yang meyakini seperti apa adanya obyektifitas hukum-hukum politik, juga
percaya kemungkinan pengembangan sebuah teori rasional meskipun tidak sempurna
dan berat sebelah.16
Realisme yang akan menjadi tolak ukur dan cara pandang di sini dipahami oleh
penulis, bahwa hal itu tidak menolak kemungkinan adanya perbedaan pendekatan dari
setiap ahli, namun dengan pendekatan ini di harapkan dapat menemukan fakta-fakta dan
memberikan arti berdasarkan alasan tertentu.
13 Ibid, Hal. 14. Di sini Rahman berasumsi bahwa proses pemahaman manusia akan objek selalu di kembalikan tentang bagaimana objek itu berasal, kenapa tidak mengisolasi objek tersebut tanpa harus mengkaitkan bagaimana asalnya objek tersebut, sehingga kita bias memahami objek tersebut secara utuh dan objektif, contoh: bagaimana gunung-gunung tinggi itu bias ada, lalu seseorang menjawab “itulah kehebatan Tuhan, Tuhan mampu menciptakan gunung-gunung yang tinggi” di mana jawaban ini pada dasarnya tidak menjawab pertanyaan yang ada.
14 Hans J. Morgenthau, Op.Cit.,hal. 4.
15 Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press, Cambridge, hal. 2.
7 Untuk memudahkan penulis dalam menjelaskan analisa terhadap permasalahan
yang dihadapi serta untuk memilih konsep yang tepat dalam membentuk hipotesa, maka
diperlukan suatu kerangka teoritis. Untuk menjelaskan kepentingan Cina terhadap Laut
Cina Selatan paska perang dingin, penulis menggunakan:
Teori Saling ketergantungan (Interdependensi)
Teori Interdependensi atau saling ketergantungan merupakan sebuah teori yang
lahir dari perspektif liberalis yang terdapat dalam hubungan internasional.
Interdepedensi akan menciptakan dunia hubungan internasional yang jauh lebih
kooperatif dan menguntungkan bagi pihak – pihak yang berinteraksi di dalamnya. Aktor
transnasional menjadi semakin penting dan kesejahteraan merupakan tujuan yang
dominan dari negara. Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang di
karakteristikkan dengan timbal balik antar aktor negara yang berbeda, efek ini
merupakan hasil dari transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia,
dan informasi yang melewati batas-batas negara. Saling ketergantungan menyebabkan
adanya interaksi antar negara, J Frankel mengawalinya dengan mengetengahkan
tipe-tipe hubungan yang ada dan berlangsung dalam politik internasional, terdapat dua tipe-tipe
hubungan yang ekstrim, yaitu konflik dan kerjasama, sedangkan situasi yang jatuh
diantara dua tipe yang ekstrim ini disebut sebagai persaingan. Hubungan antar negara
ditentukan oleh sifat negara dan masyarakat internasional.17
8
Menurut Mohtar Mas’oed dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
interdepedensi adalah sebagai kontak atau pertukaran (exchange) diantara bangsa-bangsa, interdepedensi timbul akibat tindakan suatu pemerintah dan sebagian oleh
pemerintah lain. Pengertian interdepedensi ini bersifat positif, karena bisa membuka
suatu ikatan kerjasama yang saling menguntungkan.
Tahun 1990an menjadi era meningkatnya kunjungan antara Cina dan Asia
tenggara, dan serangkaian perjanjian, memorandum, deklarasi, dan pernyataan
ditandatangani pada kesempatan tersebut. Inisiatif politik ini menjadi dasar dari
perluasan aktivitas ekonomi antara Cina dan Asia tenggara di tahun 1990an termasuk
perdagangan, investasi, bantuan luar negeri, dan turisme.
Nampaknya Cina mengalami perubahan yang baik dihubungan ekonominya
dengan Asia tenggara sejak tahun 1990an. Sebelum kebijakan open door, Cina hanya memiliki volume perdagangan yang rendah dengan negara-negara Asia tenggara.
Semenjak tahun 1988 baru terlihat perkembangan perdagangan Cina dengan Asia
tenggara, sebagai contoh, volume perdagangan bilateral antara Cina dan Asia tenggara
sebesar $3,8 milyar, tetapi jumlah ini terus meningkat dari $4,3 milyar di tahun 1990
dan menjadi $10,6 milyar di tahun 1993 dan menjadi $19.4 milyar di tahun 1995. Selain
memperbaiki hubungan dengan negara di region tersebut, Cina juga mulai partisipasi di
dalam kegiatan ASEAN.
Perekonomian Cina terus berkembang semenjak implementasi dari kebijakan
9 untuk menentukan kebijakan luar negerinya. Di tahun 2002, dimana merupakan tahun
pertama Cina memasuki World Trade Organization (WTO) membuat China mempunyai peluang untuk membangun hubungan ekonomi politik yang lebih dekat
denagn negara lain di bawah kerangka institusi WTO.
Dengan begitu pemimpin Cina mengajukan strategi “going global” yang
bertujuan untuk membawa perusahaan Cina ke luar negeri, kebalikan dari kebijakan
open door dimana itu mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di pasar Cina. Menurut menteri perdagangan Cina, beberapa langkah diambil pada tahun
2002 untuk mempromosikan kebijakan “going global” seperti membuat hukum dan regulasi untuk perusahaan asing, memperbaiki administrasi untuk pekerja asing,
membantu perusahaan untuk mengambil proyek skala besar di negara lain. Tahun 2002,
juga menjadi saksi dimana hubungan Cina dengan ASEAN yang menjadi semakin
dekat. Cina mencapai beberapa perjanjian penting dan mengadakan rapat penting
dengan ASEAN, termasuk perjanjian untuk mengadakan area perdagangan bebas di
pertemuan ASEAN-Cina yang ke 6 pada 4 November 2002. Selain menjalankan
kebijakan “go global” kebijakan good neighbor juga masih dijalankan. Hu Jintao menyebutkan 3 kunci utama kebijakan Cina terhadap Asia tenggara, yaitu good neighbours, stabilizing neighbours, dan enriching neighbours. Strategi go global
sebenarnya merupakan kontinuitas dari kebijakan good neighbor.
Dengan adanya penyesuaian-penyesuaian hubungan Cina dengan
negara-negara Asia Tenggara maka beberapa negara-negara ASEAN kemudian meningkatkan
10 negara-negara anggota ASEAN telah berjalan selama beberapa tahun ke belakang,
Namun perdagangan ini lebih bersifat bilateral antara Cina dan salah satu negara
anggota ASEAN. perkembangan ekspor Cina meningkat dalam 2 dekade terakhir ini,
dan peningkatan ini sangatlah signifikan sehingga mendongkrak Cina menjadi negara
ke 5 dengan jumlah pengekspor terbesar. Hubungan ASEAN-Cina mulai terjalin ketika
menteri luar negeri Cina menghadiri ASEAN Ministerial Meeting (AMM) atau pertemuan antar menteri luar negeri ASEAN ke 24 di Kuala Lumpur pada tanggal 19-24
Juli 1991. Pada saat pertemuan AMM ke 25 pada tahun 1992, Cina kembali diundang
sebagai tamu ASEAN. Pada saat itu Menlu Cina menawarkan dibentuknya
ASEAN-China Consultative Relationship, serta menawarkan kerjasama ASEAN di bidang Iptek dan perdagangan. Hubungan perdagangan ASEAN dan Cina berkembang dipengaruhi
oleh pertumbuhan dan perkembangan kedua ekonomi negara tersebut. Dalam 10 tahun
terakhir, perdagangan antara Cina dan ASEAN tumbuh dari $8 trilyun pada tahun 1991,
menjadi $40 trilyun pada tahun 2001. Meningkatnya interdepensi ekonomi antara Cina
dan ASEAN akan lebih diperlukan untuk meningkatkan intra industri antara Cina dan
ASEAN. Dengan adanya perjanjian free trade, diharapkan Cina akan menjadi partner dagang yang baik dibandingkan menjadi kompetitor. Dengan terbentuknya Free Trade Agreement ini, maka secara tidak langsung globalisasi mengambil peran untuk hubungan antar Negara tersebut.
Globalisasi atau lebih tepatnya globalisasi neoliberal telah menantang kapasitas
ekonomi politik negara bangsa. Dalam bidang politik, negara bangsa tidak lagi menjadi
11 politik global dewasa ini. Globalisasi dalam kerangka world politics tidak dapat dipisahkan dari globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi juga identik dengan paham
liberalisme yang mempromosikan konsep free trade dan interdependensi. Dewasa ini, ASEAN dan Cina adalah Negara yang mempunyai ekonomi yang kian meningkat dan
keduanya sangat penting untuk pengembangan Asia Timur untuk di kemudian hari.
Secara umum Cina memang lebih unggul dalam ekonomi global dibandingkan dengan
ASEAN. Agar ekonomi mereka semakin maju, mereka membutuhkan integrasi yang
konsisten baik dalam perdaganngan maupun investasi dan lebih mendalami hubungan
dengan wilayahnya maupun dengan dunia luar lainnya.
Dewasa ini, sikap ASEAN masih mendua dikarenakan secara ekonomi Cina
semakin menantang, pada saat yang sama Cina juga muncul sebagai ancaman bagi
ASEAN, dimana pada awal tahun 1990-an meski Indonesia dan Singapura membuka
kembali hubungan diplomasi dengan Cina, mereka juga dengan cepat membuka pintu
kerja sama dengan negara lain dalam bentuk penyediaan basis militer yang
terbatas.Sementara itu, negara-negara ASEAN juga mencurigai Cina sebagai induk dari
gerakan komunis yang ada di Asia Tenggara. Lebih dari itu, mayoritas penduduk
negara-negara ASEAN sendiri adalah muslim dan kristen sementara Cina komunis
atheis. Banyaknya perantau Cina yang sukses di negara-negara ASEAN menambah
12 perantau Cina tersebut. Tidak mengherankan jika agama dan ideologi menjadi suatu
penghalang hubungan Cina dengan ASEAN pada awalnya.18
Sebagai salah satu negara penganut ideologi komunis, hubungan Cina dan
ASEAN pada awalnya dipenuhi rasa saling curiga karena sebagian besar negara
ASEAN dikendalikan oleh Amerika Serikat sebagai kampiun ideologi liberal dan
merupakan musuh ideologi komunis. Selain itu, sebagian besar penduduk ASEAN
merupakan muslim dan Nasrani yang tentunya berseberangan dengan Cina yang
berpaham atheis.Pada dasarnya ASEAN memiliki strategi keamanan mengenai tatanan
regional. Terdapat semacam anjuran bahwa kunci yang dibawa oleh regionalisme di
ASEAN bersandar pada dua jalan utama untuk menuju pada tatanan regional,
yakni ”omni-enmeshment of major powers” dan ”complex balance of influence”
implementasi dari keduanya bertujuan lebih untuk mengatur tatanan regional
dibandingkan untuk mencegah terjadinya transisi kekuatan. ASEAN juga tidak
menghiraukan adanya batas-batas antara militer, ekonomi, dan kekuatan politik;
menghilangkan distingi-distingsi yang dapat mengaburkan ikatan di antara
negara-negara anggota ASEAN serta melaksanakan prinsip containment atau menantang adanya asumsi bahwa pengaturan tatanan regional hanya merupakan bisnis dari
negara-negara dunia yang memiliki kekuatan besar.19
Cina tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru, Cina merupakan salah
satu dari 5 kekuatan besar dunia dan tentunya tidak ingin dominasinya di kawasan Asia
18Mondejar,Reuben and Wai Lung Chu, “ASEAN-China Relations: Legacies and Future Directions”, dalam Ho Khai Leong and Samuel C.Y Ku (eds), Cina and southeast Asia: Global Changes and Regional Challenges, ISEAS,Singapura, 2005, hal. 127.
13
Tenggara ”diambil alih” oleh kekuatan lain. Hubungan kerja sama Cina dengan ASEAN
lebih merupakan upaya mengambil kepercayaan guna eksisnya kekuatan dominasi dan
hegemoni Cina di Asia Tenggara, selain karena ingin mendapat dukungan politik atas
kasus Taiwan.. Masa depan ASEAN lebih ditentukan akan pergerakannya mereka
dalam mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari kerjasama dengan Amerika
Serikat dan Cina sebagai bentuk kebijakan penyeimbang kekuatan besar dunia di
kawasan Asia Tenggara dengan tetap menjaga hubungan baik antara keduanya. 20
Hal ini mampu menjelaskan tentang alasan kenapa Cina tetap bisa membangun
hubungan dan kerja sama dengan ASEAN yang notabene pernah salah satu anggotanya,
yaitu Vietnam di serang oleh Cina dan mayoritas anggota negara dari ASEAN memiliki
isu perbatasaan di Laut Cina Selatan.
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah menjadi salah satu instrumen politik luar negeri Cina dalam mengejar kepentingan ekonomi dan
keamanannya di kawasan Asia Tenggara. Instrumen ini digunakan Cina sejak negara ini
memutuskan untuk membuka dirinya kepada ASEAN. Hingga sekitar 1980-an, Cina
adalah satu-satunya negara di Asia yang berorientasi kepada negara maju, bukan kepada
negara tetangganya di kawasan. Cina juga merupakan satu-satunya negara dunia ketiga
yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap menjaga jarak ini antara lain
ditunjang oleh aspek historis Cina yang mengarahkan kepada ketatnya kontrol yang
dilakukan pemerintah terhadap hubungan dengan negara lain. Namun, transformasi
14 terhadap sikap ini kemudian muncul ketika Perang Dingin usai.21 Meskipun telah
memiliki hubungan bilateral yang baik dengan beberapa negara anggota ASEAN, Cina
tidak memiliki hubungan yang erat dengan ASEAN sebelum era 1990-an. Pada 1991,
Cina menjadi Consultative Member di ASEAN dan pada 1996, ASEAN secara resmi menjadikan Cina sebagai mitra dialog pada 29th ASEAN Ministerial Meeting di Jakarta. Pada awal 1997, lima kerangka dialog terjalin antara ASEAN dengan Cina, yakni
China-ASEAN Political Consultation, China-ASEAN Joint Committee on Economicand Trade Cooperation, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC), China-ASEAN Joint Committee on Scientific and Technological Cooperation, dan ASEAN Beijing Committee. Pertemuan konsultasi juga dilakukan Cina pada ASEAN Regional Forum (ARF), the Post Ministerial Conference (PMC) 9+1, the Joint Cooperation Committee (JCC), ASEAN-China Senior Official Meeting (SOM) dan ASEAN-China Bussiness Council Meeting.22
Keuntungan ekonomi tentu dapat diperoleh melalui kerjasama Cina dengan
ASEAN. Menurut Swee-Hock, perdagangan antara Cina dengan ASEAN tergolong
menjalani perkembangan yang sangat cepat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 20,8
persen sejak 1990 hingga 2003. Hingga 2005, ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima
terbesar bagi Cina. Sedangkan Cina merupakan mitra kerjasama keenam bagi ASEAN.
Investasi ASEAN di Cina meningkat rata-rata sekitar 28 persen sejak 1991 hingga 2000.
Walaupun investasi Cina ke ASEAN masih terhitung sedikit, namun hingga 2001
21 M. Yahuda, “The International Politics of the Asia-Pacific, 1945-1995”, Routledge, London, 1995, hal. 186-211.
15 jumlah investasi tersebut adalah sekitar 7,7 persen dari seluruh investasi Cina di luar
negeri. Pada ASEAN-China Summit November 2001, Cina mengusulkan ide pembentukan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA).
Selain keuntungan ekonomi, keuntungan keamanan juga dapat diperoleh dalam
interaksi Cina dengan ASEAN. Interaksi Cina-ASEAN dalam hal keamanan diawali
pada Desember 1997. Presiden Cina Jiang Zemin bertemu muka dalam pertemuan
informal kepala Negara (ASEAN+1) dan merancang joint statement. Sejak 1999 hingga 2000 China telah menandantangani kerangka kerja dokumen dalam kerjasama bilateral
dengan seluruh negara anggota ASEAN. Kerjasama dalam transnational non traditional security threats terutama dalam hal drug trafficking terwujud dalam Beijing Declaration
pada Agustus 2001 antara Cina, Laos, Myanmar dan Thailand. Hal ini diikuti dengan
penandatanganan Joint Declaration of ASEAN and China on Cooperation in the field of Non Traditional Security Issues. Pada 2003, Cina menandatangani ASEAN Security Protocol yang penting, yaitu The Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Kerjasama dengan masing-masing negara anggota ASEAN dilakukan dengan kunjungan antara
pemimpin militer, pelatihan militer dan bantuan persenjataan, teknologi militer dan
kunjungan pelabuhan.23
1.4. Hipothesis
Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesa, yaitu bahwa
untuk mempertahankan perekonomian Cina, mereka membutuhkan hubungan dan kerja
16 sama dengan ASEAN sebagai pangsa pasar dan berbagai instrumen diplomasi untuk
meredam isu perbatasan di Laut Cina Selatan.
1.5. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran objektif
mengenai fenomena tertentu. Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain untuk:
1. Mengetahui motif apa yang melatarbelakangi Cina membangun hubungan dan
kerjasama dengan ASEAN
2. Mengetahui kenapa Cina tetap bersihkeras menjaga hubungan dan kerjasamanya
dengan ASEAN, sedangkan di sisi lain dianatara kedua belah pihak, Cina dan
ASEAN sama – sama memiliki isu perbatasan di Laut Cina Selatan
3. Secara teoritis mapun metodologis, penelitian ini diharapkan akan memberikan
sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi Ilmu Hubungan
Internasional
1.6. Metode Pengumpulan Data
Penulisan ini dilakukan dengan metode deduktif, artinya dengan berdasarkan
kerangka teori dan konsep, kemudian ditarik suatu hipotesa yang akan dibuktikan
17 Pengumpulan data dalam hal ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau
library research. Oleh karena itu, data yang akan diolah adalah data sekunder yang bersumber dari literatur-literatur, makalah ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, internet
dan sumber-sumber lain. Penulis juga memanfaatkan fasilitas internet serta sumbangsih
dunia pers yang tehimpun lengkap pada koleksi koran yang memuat berita maupun
komentar tentang subjek yang penulis pilih.
1.7. Jangkauan Penelitian
Dalam skripsi ini penulis memberi batasan penelitian dari tahun 1978 karena 3
tahun sebelumnya Amerika menarik pasukannya dari Vietnam sehingga menyisakan
Cina sebagai kekuatan besar di Asia terutama di Asia Tenggara, selain itu di tahun 1978
ini Deng Xiaoping mulai melancarkan reformasi ekonominya dan memandang bahwa
Cina perlu memisahkan urusan ekonomi dan politik, seta menjalin kerjasama dagang
hingga kerjasama dengan negara-negara ketiga, hal ini di dukung kuat pada tahun 1997,
Cina diundang masuk ke dalam forum ASEAN, kondisi yang ada pada saat itu
bahwasannya mayoritas negara-negara anggota ASEAN terkena dampak krisis
ekonomi, sehingga Cina bisa masuk dan memiliki nilai ’bargaining’ tersendiri, ini tidak
hanya menguntungkan pihak Cina semata namun hal ini juga di inginkan oleh
negara-negara anggota ASEAN, selain itu dengan absennya Amerika dan sekutunya karena
berakhirnya perang dingin membuat Cina menjadi kekuatan besar yang tersisa di Asia
18 sudah di sebut di atas. Masuknya Cina dalam forum ASEAN dan berakhirnya perang
dingin, namun pembahasan tetap tidak menutup kemungkinan di luar tahun tersebut
dianggap sebagai pemicu.
1.8. Sistematika Penulisan
BAB I Pada bab ini akan memaparkan tentang Latar Belakang Masalah, Pokok
Permasalahan, Kerangka Pemikiran, Hipothesis, Tujuan Penelitian, Metode
Pengumpulan Data, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan
BAB II Akan menjelaskan tentang dinamika hubungan Cina dan ASEAN dari sejak
terbentuknya ASEAN, Cina di masa Deng Xiaoping hingga hubungan
Cina-ASEAN paska perang dingin
BAB III Bercerita tentang isu perbatasan di Laut Cina Selatan antara Cina dan
mayoritas negara-negara anggota ASEAN
BAB IV Ini akan menjabarkan tentang Regionalisme ekonomi yang terjadi antara
Cina dan ASEAN
19 BAB II
DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN
Cina di masa Mao Zedong membangun hubungan dan kerjasama dengan negara
lain dengan pemilihan partner sangat terbatas, Nikita Krushcev selaku pengganti Stalin
melancarkan politik de-stalinisasi, berakibat pada buruknya hubungan Cina dan Rusia,
sedangkan Cina sangat tergantung pada Rusia, Mao Zedong yang sangat dekat dengan
Stalin ini sebenarnya memutuskan untuk mencari pasar baru, namun karakter
kepemerintahan otokrat-totaliter dan tema komunis terlalu melekat di Cina menjadi batu
ganjalan bagi Mao Zedong dalam mengembangkan pasarnya.
Deng Xiaoping selaku pengganti Mao Zedong, memiliki semangat reformasi
yang sangat besar terkait di bidang politik dan ekonomi, salah satu nilai reformasi yang
di lancarkan Deng Xiaoping adalah pembenahan hubungan Cina-ASEAN, dengan sikap
Norma ”ASEAN Way” nya ASEAN tetap konsisten untuk menjaga dan
mengembangkan hubungan serta kerjasama dengan Cina dengan mempertimbangkan
posisi strategis dan potensi pasar yang sangat besar, hal ini memungkinkan Cina
memiliki tiga agenda sekaligus di ASEAN; dukungan ASEAN terkait Taiwan,
kerjasama ekonomi, serta isu perbatasan di Laut Cina Selatan.
Puncak hubungan dan kerjasama ekonomi Cina-ASEAN tergambar dalam
pertemuan ASEAN Regional forum pada tahun 1994, Dimana Cina juga hadir dan
20 membicarakan isu-isu keamanan secara formal dan bersifat langsung.Cina juga terlibat
langsung dengan pertemuan selanjutnya, yaitu ASEAN+3 pada tahun 1997, pertemuan
ini sangat penting bagi Cina untuk mempererat hubungan dan kerjasama dengan
ASEAN. yang kemudian mengantarkan Cina ke Pertemuan Puncak ASEAN yang
dihadiri seluruh Pemimpin Negara Anggota ASEAN pada tahun 2003. Dalam
pertemuan akbar ini Cina-ASEAN menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama
Ekonomi antara Cina dan ASEAN untuk persiapan Perjanjian Perdagangan Bebas
Cina-ASEAN yang diharapkan terealisir dalam kurun waktu 10 tahun.24
Meskipun terbentuk kerjasama ekonomi antara Cina-ASEAN, hal ini tidak serta
merta membuat Cina menjadi lunak terkait isu perbatasan Laut Cina Selatan, klaim Cina
atas Laut Cina Selatan yang berbentuk ”U” kerap menggunakan nada keras dan
memaksa, sebelum kedatangan Amerika di Asia Tenggara Cina menjadikan isu Laut
Cina Selatan menjadi ”core national interestnya”, namun sejak pendekatan Cina yang
secara bilateral ini menjadi multirateral oleh ASEAN dan dengan intervensi Amerika,
membuat Cina berpikir ulang untuk mempertahankan isu ini sebagai bagian dari ”core
national interest” nya.
A. Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin
Cina dan Asia Tenggara hubungannya banyak berubah sejak masa Cina di
pimpin Deng Xiaoping, Deng Xiaoping yang lahir pada tanggal 22 Agustus 1904 adalah
21 pemimpin politisi dan reformis Cina setelah kematian Mao Zedong yang memimpin
negaranya menuju pasar ekonomi. Lahir di Guangan, Sichuan, Deng belajar dan bekerja
di Perancis pada tahun 1920, kemudian dia terpengaruh doktin Marxisme-Leninisme.
Dia bergabung dengan Partai Komunis Cina pada tahun 1923. Sekembalinya ke Cinaia
bekerja sebagai komisaris politik di daerah-daerah pedesaan dan dianggap sebagai
"veteran revolusioner" dari Long March.25
Mewarisi sebuah Negara yang penuh dengan kesengsaraan sosial dan
kelembagaan yang dihasilkan dari Revolusi Kebudayaan dan gerakan politik massa
lainnya dari era Mao, Deng menjadi inti dari "generasi kedua" kepemimpinan Cina pada
saat itu. Dia dianggap "arsitek" dari pemikiran baru sosialis, setelah dikembangkan
"Sosialisme dengan karakteristik Cina" dan memimpin reformasi ekonomi Cina melalui
kebijakan yang dikenal sebagai "ekonomi pasar". Deng membuka Cina untuk investasi
asing, pasar global dan persaingan terbatas swasta.Dia mengembangkan Cina menjadi
salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama lebih dari 30 tahun dan
meningkatkan standar hidup rakyat Cina.26
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu dari hampir seluruh kawasan
di dunia yang terkena imbas dari pengaruh ideologi Perang Dingin. Kedekatan geografis
kawasan Asia Tenggara dengan China ikut mempengaruhi kedekatan ideologis pula. Di
samping itu perhatian yang diberikan Amerika Serikat (AS) pada negara-negara Asia
Tenggara terkait dengan isu memerangi terorisme di kawasan atas adanya gerakan Islam
25 Cheng Li. Cina's Leaders: The New Generation,Maryland, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 2001, hal. 131.
22 radikal membuat China tidak mau kalah dalam menyebarkan pengaruhnya di Asia
Tenggara. Akan tetapi hal tersebut dirasa wajar sebagai konsekuensi dari dinamika
ekonomi China (Vaughn & Morrison, 2006). Akan tetapi negara-negara Asia Tenggara,
melalui ASEAN berupaya untuk tidak berpihak pada keduanya, dan hal ini kemudian
menjadi salah satu penyebab menurunnya hubungan ASEAN dengan China.
Semasa Perang Dingin, China hadir sebagai aktor baru yang sedang dalam
mengembangkan ekonomi dan memperkuat militer, dan banyak menyebarkan pengaruh
komunis di Asia Tenggara, yang dekat secara geografis. Dalam hal ini AS khawatir
apabila China menjadi sebuah polar kekuatan baru dengan pertumbuhan ekonomi dan
militernya yang dapat mengganggu tatanan dunia pada saat itu (Goh, 2007). Di samping
itu Friedberg (1993) memandang bahwa berakhirnya Perang Dingin memunculkan dua
kelompok scholar, yakni yang berpikiran optimis dan pesimis. Mereka yang optimis
beranggapan bahwa kebangkitan ekonomi di China adalah bentuk cerminan dari
bangkitnya negara-negara di Timur, sementara mereka yang pesimis beranggapan
bahwa China akan menjadi kekuatan polar baru yang tidak stabil akibat terkena
pengaruh dari runtuhnya Soviet (Friedberg, 1993).
China mulai mengintensifikasi hubungan dengan negara-negara kawasan
Asia Tenggara pasca Perang Dingin melalui banyak bentuk kerjasama utamanya dalam
bidang ekonomi, dan pembentuka ASEAN + 3 (ASEAN, China, Jepang, Korea
Selatan). Juga dalam bidang keamanan, China bergabung dalam Forum Regional
ASEAN (ARF, ASEAN Regional Forum) yang didirikan pada tahun 1994 bersama
23 Menteri Luar Negeri dari 17 negara kawasan Asia Pasifik dan perwakilan dari Uni
Eropa (EU, European Union), untuk duduk bersama membicarakan masalah keamanan
kawasan. Dalam hal ini China berusaha untuk mewujudkan Security Policy Conference
dalam kerangka kerja ARF tersebut. Di mana dengan demikian China dapat menjadi
salah satu posisi kunci yang penting dalam ARF. Kemudian pengklasifikasian ini akan
memiliki fokus multilateral yang akan menawarkan alternatif arsitektur keamanan
ASEAN yang selama ini secara tradisional telah didominasi oleh aliansi bilateral
dengan AS (Vaughn & Morrison, 2006).
Dalam bidang sosial budaya, dibentuk pula Komunitas Sosial Budaya
ASEAN (ASCC, ASEAN Sosio-Cultural Community) yang bertujuan untuk,
“…promote a people-oriented ASEAN in which all sectors or society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building” (Piagam ASEAN, pasal 1 ayat 13). Sementara itu dalam bidang ekonomi, peran penting China terhadap ASEAN dipengaruhi oleh masuknya imigran China ke
wilayah Thailand dan Burma. Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat pergeseran
fundamental hubungan pada dari kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC, Asia Pacific
Economic Cooperation) yang juga melibatkan AS, ke arah ASEAN plus three, yakni dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, yang lebih menuju ke arah perdagangan
bebas antara ASEAN dengan China.
Akan tetapi tidak berhenti pada pengembangan kerjasama ke arah yang lebih
positif, China juga dipandang menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara.
24 serta konflik klaim teritori Laut China Selatan pada tahun 1990-an. Di mana China
memiliki kepentingan dan berambisi untuk dapat menguasai Spartly Island dan diakui
sebagai miliknya. Akan tetapi negara-negara ASEAN yang secara langsung berbatasan
dengan Laut China Selatan seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam
merasa terganggu akan hal ini. Konflik ini akhirnya menimbulkan bentrok angkatan laut
antara Vietnam dan China pada tahun 1988 yang menewaskan 70 personil angkatan laut
Vietnam. Jua pada tahun 1995 China berhasil merebut Mischief Reef yang juga diklaim
oleh Filipina. Kemudian solusi yang muncul adalah dibuatnya sebuah peraturan (CoC,
Code of Conduct) yang mengatur segala hal mengenai sengketa wilayah laut tersebut.
Namun pada pembentukannya sendiri timbul perbedaan pendapat di antara sesama
anggota ASEAN. Di satu sisi Filipina dan Vietnam menginginkan agar seluruh anggota
ASEAN menyetujui sebuah konsep CoC untuk kemudian disodorkan dan
dinegosiasikan dengan China. Sementara sebagian lain beranggapan perlu bagi ASEAN
untuk melibatkan China dalam proses perumusan CoC sejak awal. Dari sini terlihat
bahwa ASEAN masih memiliki permasalahan integritas yang cukup serius. Hingga
akhirnya China mau bersikap lebih kooperatif, ketika ARF mulai campur tangan meski
sangat terbatas. Pada tahun 2002 China setuju untuk menandatangani The Declaration
on the Conduct of Parties in the South China. Dan akhirnya Vietnam dan China
menegaskan kembali kedaulatan mereka atas kepulauan melalui pernyataan publik pada
25 Selain itu pengaruh China dalam hal ekonomi yang mulai mendominasi ASEAN
melalui dukungannya terhadap persebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara juga
dianggap sebagai ancaman. Meski kemudian pada akhirnya persepsi tersebut mulai
berubah saat terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997/1998, di mana China
menolak untuk mendevaluasi mata uangnya sementara nilai mata uang negara-negara
lain di Asia turun secara tajam. Kemudian di akhir 2004, China dan ASEAN secara
bertahap sepakat untuk menghilangkan tarif dalam perdagangan dan mulai menciptakan
area perdagangan bebas –free trade area—pada tahun 2010 dengan membentuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan negara-negara ASEAN
dengan China saat ini telah mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik
dibandingkan pada masa Perang Dingin. Terlihat dari kerjasama yang terjadi dalam
berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi adalah kerjasama melalui ACFTA. Dalam
bidang keamanan melalui keterlibatan China dalam ARF. Penulis berpendapat bahwa
dalam kerjasama ekonomi, China lebih banyak mengambil keuntungan daripada
negara-negara ASEAN. Hal ini terlihat dari produk-produk China yang lebih banyak
membanjiri pasaran. Dan hal ini justru menjadi tantangan bagi ASEAN untuk mencari
strategi supaya tidak kalah oleh China, dan dapat mengambil keuntungan dari kerjasama
tersebut.
Titik awal perubahan hubungan Cina dengan ASEAN (saat itu ASEAN masih
berbentuk SEATO dan ASA) sebenarnya dimulai setelah Deng Xiaoping menggantikan
26 mulai terbentuk dan resistansi terhadap negara penganut komunisme tidak terlalu besar
Cina mulai mendekati ASEAN dengan mengurangi dukungannya terhadap gerakan
komunis di ASEAN dengan langkah pertama menutup Radio Rakyat Thailand di
propinsi Yunan pada tahun 1979 dan menutup siaran radio komunis (Suara Demokrasi
Malaya) pada tahun 198327. Langkah ini diyakini dapat membuka hubungan ASEAN dan sekaligus mengimbangi kebijakan Uni Soviet yang mendukung invasi Vietnam ke
Kamboja.28
Cina dengan perkembangannya dan menyisakan Amerika dalam dominasi Asia
membuat negara-negara di Asia Tenggara bereaksi, negara-negara di Asia Tenggara ini
tidak serta merta melihat kebijakan Cina ini sebagai langkah yang tidak perlu di curigai,
Sebagian dari mereka sudah melakukan langkah kebijakan untuk membentengi dirinya
dengan bergabung dalam organisasi keamanan regional yang dibentuk dan dikendalikan
oleh Amerika Serikat, Inggris dan Sekutunya seperti Colective Defence Treaty,
SEATO, FPDA dan yang pada akhirnya ASEAN hingga terbentuknya ZOPFAN
sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Cina berpandangan langkah yang diambil
sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara ini tidak mendukung dalam usaha Cina
untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kerjasama.29
Pada awalnya hal ini terjadi karena setelah Perang Dunia II, tidak lama setelah
Filipna mendapatkan kemerdekannya, Filipina melakukan Perjanjian Basis Militer ( the
Military Bases Agreements) dengan Amerika Serikat untuk kehadiran pasukan
27N. Ganesan, “ASEAN’s Relations with Major External Powers”, Contemporary Southeast Asia : A Journal of International & Strategic Affairs, Vol.22, Issue 2, August 2000, hal. 8.
27 militernya di negara tersebut.30 Pada tahun 1954 terbentuk organisasi regional
keamanan yang di sebut Collective Defence treaty for Southeast Asia ditandatangi di Manila yang melibatkan lebih banyak negara di luar Asia Tenggara (Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Thailand, dan Filipina).
ASEAN sendiri baru terbentuk saat pada tahun 1967 saat 5 menteri luar negeri
masing-masing dari 5 negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Menteri-menteri ini adalah: Adam Malik, Abdul Razak, Narciso Ramos, S Rajaratnam,
dan Thanat Khoman, mereka berlima adalah pendiri dari ASEAN.
ASEAN terbentuk dari ketertarikan akan komunitas keamanan, ketakutan akan
komunisme dan krisis kepercayaan dari kekuatan-kekuatan besar, maka dari itu mampu
menjelaskan bila sebelumnya dibentuk juga Organisasi yang di sebut Southeast Asia
Treaty Organization (SEATO).31
SEATO ini sangat berbeda dengan NATO karena lebih mengutamakan
mekanisme konsultasi bagi para anggotanya, walau dalam pembentukannya di
maksudkan sebagai NATO dari timur. Organisasi ini sebenarnya lebih merupakan
upaya Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunis di kawasan Asia
Tenggara, sedangkah organisasi yang dibentuk sepenuhnya oleh negara-negara Asia
Tenggara untuk pertama kalinya adalah the Association of Southeast Asia (ASA) pada
tahun 1961.
Pada tahun yang sama dengan dibentuk SEATO, Indonesia yang tidak termasuk
kedalam anggota SEATO, menggalang kekuatan dalam Konferensi Bandung pada tahun
30David Wurfel, Filipino Politics: Development and Decay, Ithaca and London: Cornell University Press, 1988
28 1955. Pada tahun 1971 disaat Thailand dan Filipina mulai mengembangkan politik luar
negeri yang lebih mandiri, Malaysia dan Singapura masih terikat dengan perjanjian Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang beranggotakan Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Inggris, dimana perjanjian ini sebelumnya bernama Anglo
MALAYSIA Defense Agreement (AMDA) yang bertujuan awal untuk menghadapai
politik konfrontasi Indonesia. Tapi pada pertengahan 70-an akhirnya Inggris dan
Australia menarik pasukannya dari Asia Tenggara.
ASEAN juga berusaha menguatkan posisi mereka sebagai organisasi regional
dengan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Zona Perdamaian,
Kebebasan, dan Netralitas atau Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN).
Pernyataan tentang netralitas ASEAN ini didasari pada keinginan negara-negara
anggota, yang diprakarsai oleh Malaysia, untuk menjaga netralitas ASEAN dari campur
tangan negara-negara luar.ZOPFAN juga didorong oleh keinginan kuat untuk
meningkatkan otonominya sebagai organisasi regional yang mandiri dan tidak
dikendalikan oleh kekuatan luar. Sekalipun kenyataannya bahwa beberapa negara
anggota belum sepenuhnya dapat memisahkan diri dir kerjasama keamanan dengan
negara lain karena alasan geografis dan sejarah.32
Kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Thailand pada tahun 1988 yang
menjelaskan kebijakan dasar Cina terhadap ASEAN adalah upaya untuk memperbaiki
dan mengembangkan hubungan antara Cina – ASEAN. Pada tahun 1989, Cina
membubarkan Partai Komunis Malaysia dan Partai Komunis Thailand secara resmi
29 sebagai upaya untuk memperkuat keyakinan ASEAN terhadap kebijakan Cina untuk
memperbaiki dan membuka hubungan dengan ASEAN. Indonesia menanggapi
kebijakan ini dengan membuka kembali hubungan diplomatik dengan Cina pada
Agustus 1990 dan kemudian diikuti oleh Singapura sebulan kemudian.33
Pada Juli 1991 Menteri Luar Negeri Cina Qian Qichen menghadiri
pembukaan ASEAN Ministeril Meeting ke 24. Momen itu di manfaatkan oleh Cina
untuk menyampaikan niatnya bekerjasama dengan ASEAN yang ditanggapi positif oleh
ASEAN dengan memberikan Cina status sebagai Mitra Konsultasi. Cina memanfaatkan
kemajuan ini untuk meningkatkan hubungan dengan ASEAN yang berdampak dengan
diberikannya Cina status penuh sebagai Mitra Dialog pada Juli 1996.34
Setelah Cina menjadi Mitra Dialog dengan ASEAN, bukan berati tidak ada
masalah dalam hubungan itu. Indonesia yang pada saat itu masih mempermasalahkan
alasan etnis dan teringat kudeta komunis pada tahun 1965 masih sulit menjalin
hubungan dengan normal, sementara itu agresi militer Cina ke Vietnam pada tahun
1979 masih menyimpan rasa trauma pada bangsa Vietnam. Presepsi negative ini
diperumit oleh pendudukan Cina atas kepulauan Paracel pada tahun 1974 dan yang
nantinya berkonflik atas kepulauan Spratly pada tahun 1998 Serta isu kepulauan
Mischief Reef antara Cina-Filipina yang menambah gelombang anti-Cinaisme semakin
kuat. Karena alasan etnis pula, Malaysia dan Singapura tidak sekuat Negara ASEAN
lainnya dalam menanggapi agresivitas Cina dalam kaitan isu klaim perbatasan wilayah.
Bahkan Myanmar memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Cina dibanding Negara
33Bambang Cipto, op.cit., hal. 171.
30 anggota ASEAN yang lain karena memiliki hubungan perdagangan dan akses Cina ke
kawasan teluk Bengal.35
B. Hubungan Cina-ASEAN Paska Perang Dingin
Untuk memahami hubungan Cina-ASEAN paska perang dingin dapat melalui
dua pendekatan, yaitu; isu keamanan dan isu ekonomi. Selepas perang dingin,
ketertarikan Amerika akan Asia tenggara sangat berkurang, ketakutan Amerika saat itu
adalah munculnya “efek domino” komunisme di Asia Tenggara, saat itu dalam
usahanya untuk menekan penyebaran komunisme di Asia, Amerika menjadikan Jepang
sebagai jawara demokrasi di Asia, sedangkan untuk di wilayah Asia Tenggara, melihat
perkembangan Vietnam, Amerika takut akan terjadinya “efek domino” sehingga
Amerika menggaet ASEAN dengan cara memberikan bantuan bantuan pada negara
yang yang berada dikawasan ini.
Di satu sisi negara-negara di Asia sendiri juga membentengi dirinya dengan
membentuk SEATO, hingga akhirnya terbentuk ASEAN yang kemudian membentuk
ZOPFAN,36 namun menyusul runtuhnya Uni Soviet menghasilkan apa yang sudah
ditempuh ASEAN menjadi “obsolete”, dan mengurangi “interest” mereka karena sudah
tidak ada ancaman berarti lagi dari kekuatan asing yang nyata.37 Namun hal ini berubah begitu focus Cina kembali ke Laut Cina Selatan.
35N.Ganesan, op.cit., hal. 18.
36Untuk mengetahui tentang SEATO dan ZOPFAN lihat di sub-bab “Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin”.
31 Dengan absennya Amerika menyisakan Cina sebagai penguasa regional dengan
kekuatan ekonomi dan militer terlampau jauh dari Negara Asia lainnya terutama di Asia
Tenggara, hal ini mendorong Cina untuk memanfaatkan absennya Amerika dengan
menghidupkan kembali isu Laut Cina Selatan dan menjadikan hal tersebut sebagai
“national interest” nya.
Selama masa paska perang dingin isu Laut Cina Selatan menjadi topik terpanas
di Asia berkaitan dengan pembahasan geopolitik maupun politik internasional, klaim
Cina akan wilayah Laut Cina selatan yang berbentuk “U” awalnya di mulai Cina dengan
bentuk hubungan bilateral agar Cina menang dalam diplomasi terkait dengan posisi
Cina sebagai pihak terkuat di regional Asia, pendekatan bilateral Cina ini juga di
maksudkan untuk mencegah Negara-negara di Asia Tenggara menentang klaim dan
untuk mencegah intervensi Amerika.38
Melihat arah ASEAN yang mulai solid Cina pun melakukan pendekatan lain,
dengan tetap mempertahankan klaimnya atas Laut Cina Selatan, pada tahun 1992 Cina
memberikan pernyataan bahwa: “Cina memandang Asia Tenggara sebagai teman dan
partner, utamanya ASEAN”, ASEAN pun menyambut baik niat Cina dalam
pembangunan kerjasama ekonomi, ASEAN melihat Cina adalah Negara besar dan
potensial untuk di jadikan mitra ekonomi, akhirnya Cina bergabung dalam forum
ASEAN, hal ini di mendorong Indonesia untuk mensosialisasikan “COC” (Code of
Conduct) hanya saja saat itu Cina masih tidak mau mendiskusikan dan bernego apapun
32 terkait perbatasan Laut Cina Selatan dan masih bertahan dengan klaim berbentuk “U”
nya.39
Cina sudah terlanjur masuk dalam forum ASEAN dan mendapatkan dirinya di
cecar dengan banyak keluhan dari Negara-negara anggota ASEAN terkait isu
perbatasan Laut Cina Selatan, akhirnya di prakarsai oleh Indonesia “COC” ini secara
resmi di umumkan pada bulan Juli tahun 1996 saat Ministerial Meeting ASEAN yang
ke 26, hingga saat itu Cina tetap masih belum mau menandatangani apapun, bahkan
Cina memberikan nada-nada yang lebih keras dan mengancam dalam usahanya
mengklaim Laut Cina Selatan, “COC” ini sendiri bertujuan agar semua Negara yang
berbatasan dengan Laut Cina Selatan agar mematuhi nilai-nilai dari “TAC” ( Treaty of
Amity and Cooperation in South East Asia .)40
Reaksi Cina atas “COC” ini adalah dengan kembali kearah komunikasi bilateral,
dan penggunaan nada-nada yang mengancam dan memaksa, namun seiring terjadi
serangan terorisme 11 september pada tahun 2011, Amerika mengangkat isu terorisme
menjadi isu global, kebetulan Amerika bekerjasama dengan Malaysia, Filipina dan
Vietnam yang mana ketiga Negara tersebut bermasalah dengan Cina dalam isu
perbatasan Laut Cina Selatan.
Melihat kehadiran Amerika, Cina bersuara dan meyakinkan Amerika bila
membawa isu Laut Cina Selatan menjadi isu internasional hanya akan memperburuk
keadaan. Kehadiran Amerika di Asia Tenggara membawa banyak analisis dan spekulasi
di Cina sendiri, Cina yang sudah menjadikan isu Laut Cina Selatan sebagai “national
39Ibid.
33
interest” nya tadinya ingin menjadikan isu ini menjadi level “core national interest”,
namun memandang kehadiran Amerika Cina kuatir dengan menjadikan isu ini teramat
penting bagi Cina hanya akan membuat Amerika memiliki alasan untuk mendatangkan
kapal-kapal perangnya ke Asia.
Permasalahan Laut Cina Selatan yang akhirnya menarik perhatian Amerika ini,
dengan nada keras yang selalu di keluarkan Cina dalam usahanya mengklaim Laut Cina
Selatan menggeser pendekatan bilateralnya menjadi ‘bimultilateral’, awalnya
Negara-negara di Asia Tenggara mulai solid dan menyuarakan tentang keinginan Cina yang
terlalu berlebihan dan tanpa dasar dalam perhitungan klaimnya hingga akhirnya
Amerika ikut andil dalam isu Laut Cina Selatan.41
Indonesia melihat kehadiran Amerika dapat dimanfaatkan untuk mendorong
Cina agar menandatangani perjanjian “COC” ini, akhirnya pada tahun 2002 Cina dan
ASEAN menandatangani perjanjian berdasarkan “COC” dan mendelakrasikannya
menjadi “DOC” ( Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea ),
setelah terdelakrasikannya “DOC” memang Cina sempat tidak melakukan gerakan
apapun setelah “DOC” namun pada tahun berikutnya Cina kembali mendesak beberapa
Negara ASEAN untuk membahas perbatasan Laut Cina Selatan secara bilateral.
Cina yang terkesan tidak ‘kapok’ ini meneruskan usahanya untuk mengklaim
wilayah Laut Cina Selatan hingga Amerika benar-benar melakukan intervensi.
Intervensi Amerika ini di takutkan oleh Cina karena mengganggu usaha Cina untuk
menjadi pemimpin regional Asia, dan membuat ketergantungan Asia terutama Asia
34 Tenggara pada Amerika semakin besar, tentunya Cina sendiri lah alasan kenapa
Negara-negara di Asia Tenggara menggantungkan isu keamanannya pada Amerika, Cina
menginginkan bahwasannya Cina di anggap sebagai teman, namun di satu sisi Cina
mencapai keinginannya terkait klaim wilayah Laut Cina Selatan
Pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN ke 43 di Hanoi para
menteri-menteri luar negeri tersebut menyuarakan keluhannya akan Cina yang tidak mengikuti
protokol “COC” yang sudah di setujui, menteri luar negeri Cina saat itu Yang Jiechi
berkilah bahwasannya jangan membawa permasalahan ini menjadi isu multilateral
antara Cina di satu sisi melawan ASEAN, Yang Jiechi mengatakan bahwa:
“permasalahan Laut Cina Selatan ini adalah permasalahan bilateral dan kami
berkonsentrasi agar permasalahan ini tidak menjadi multilateral atau sampai menjadi
permasalahan internasional”.
Merespon dengan apa yang terjadi selama ini pada isu Laut Cina Selatan,
Amerika menyatakan: “Amerika sangat mendukung proses diplomasi yang kolaboratif
dan Amerika akan bersiap-siap untuk memfasilitasi hal ini”, Cina menangkap maksud
dari Amerika ini dan berubah menjadi berhati-hati dalam usaha klaimnya, Cina merasa
bahwa bila mereka memaksakan isu Laut Cina Selatan sesuai dengan keinginan Cina
hal tersebut hanya akan memfasilitasi “Carrier” Amerika mendekati Cina.
Keadatangan Carrier Amerika ini sendiri pergerakannya tergantung dari
seberapa besar isu yang berkembang, saat Taiwan ingin menyatakan kemerdekaannya
Cina secara keras menentang hal itu dan berusaha menghalaunya dengan segala cara,
35 ASEAN, saat isu Taiwan Amerika membawa dua Carriernya; Nimitz dan Independence,
tentunya Cina tidak ingin hal itu terulang, terlebih lagi Amerika akan menggabungkan
agenda Laut Cina Selatan dan Taiwan, dan itu hanya akan membuat kemajuan Cina
pada isu Taiwan mundur lagi, begitu juga dengan isu Laut Cina Selatan tentunya akan
di jadikan isu internasional oleh Amerika.42
36 BAB III
ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN
Konflik di Laut Cina Selatan dapat di kategorikan dalam 4 Hal ; Perebutan
wilayah, lokasi untuk perikanan, eksplorasi dan pengembangan minyak, dan gas.
Konflik di Laut Cina Selatan ini sebenarnya bukanlah konflik di antara semua negara
ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih
wilayah dengan Filipina, Vietnam, dan Thailand, namun pada perkembangannya
negara-negara seperti ; Indonesia, Malaysia, dan Brunei juga terkena gelombang
permasalahan wilayah di Laut Cina Selatan.
Perkembangan konflik ini berdasarkan dari klaim berbentuk “U” Cina yang
mengoverlaping dan meresahkan ASEAN. Hal ini dapat dipahami kenapa diplomasi
yang terjadi diantara Cina-ASEAN dari bilateral menjadi ‘bi-multilateral’, dalam
berbagai diplomasi langsung Cina kerap memaksa dan memojokkan menggunakan
kalim sejarah mereka, namun dalam berbagai pertemuan ASEAN terlebih lagi dengan
kehadiran Amerika, Cina tidak mengemukakan isu ini, kebalikannya justru ASEAN
yang kerap mengangkat isu ini.
A. Klaim Cina Berbentuk “U” di Wilayah Laut Cina Selatan
Konflik maritim dan teritorial di Laut Cina Selatan menyeret 5 negara, yaitu :
37 diantara Negara-negara tersebut tidak dapat terpecahkan dalam jangka waktu yang
singkat.
Dari sudut pandang Cina dapat dipahami bahwasa wilayah Laut Cina Selatan
memiliki hampir semperempat cadangan minyak di dunia, walaupun hal belum terbukti
dengan eksplorasi yang lebih jauh, namun Cina selalu marah bila ada usaha eksplorasi
ataupun usaha pengembangan ‘off shore’ minyak atau pencarian gas di Laut Cina
Selatan. Kejadian ini berulang kali dialami oleh Vietnam akhir-akhir ini. Puncaknya
pada tahun 2011, kerjasama yang sudah hampir ‘goal’ dengan Exxon Mobil digagalkan
oleh Cina, begitu juga dengan apa yang terjadi di Filipina, lama-lama bagi ASEAN Cina
merupakan ancaman, begitupun juga Cina merasa ASEAN bagaikan kotoran yang
38 Gambar 1 : Peta Laut Cina Selatan didengan garis yang menandakan klaim wilayah masing masing negara.
39 Gambar diatas ini adalah peta dari Laut Cina Selatan, dimana di dalamnya
menjelaskan tentang klaim wilayah dari negara :
Cina
Filipina
Vietnam
Brunei
Malaysia
Garis-garis itu menunjukan klaim dari negara; Cina ditunjukan dengan garis
putus-putus berwarna ungu, Filipina dengan garis warna hijau, Vietnam dengan warna
biru muda, Brunei dengan warna kuning, dan Malaysai dengan warna oranye. Dari
gambar diatas terlihat terjadi tumpang tindih klaim di laut tersebut dengan klaim Cina
yang menyerupai huruf U. Dari negara-negara tersebut hanya Brunei yang klaimnya
memiliki legalitas, sedangkan negara lain yang mengklaim menurut patokan Zona
Ekonomi Esklusif (ZEE) yang berjarak 200 mil dari batas pantai wilayahnya. Dalam
perkembangannya setiap negara memiliki klaim sepihak yang rumit dan unik, dimana
klaim itu secara otomatis memperpanjang wilayahnya minimal 200 mil, sama dengan
patokan maksimal ZEE, meskipun terjadi ‘overlaping’ dalam klaimnya dengan negara
lain. Kerumitan ini bisa bertambah dengan klaim sepihak yang lebih jauh dari ZEE
40 Gambar 2 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Cina dan wilayah yang diklaim berbentuk U.
Sumber: CSIS
Garis putih ini adalah klaim Cina, Ambisi Cina dalam klaim ini di tolak
mentah-mentah oleh pihak anggota-anggota negara ASEAN, berdasar dari klaim Cina ini
bahkan Brunei tidak akan memiliki pantai, sayangnya tolakan ASEAN tidak memiliki
nilai tawar “power” yang bisa di anggap Cina memuaskan, ASEAN dan Amerika
menyatakan bahwa klaim berdasarkan nilai historis tidak akan pernah bisa menang dan
dunia internasional akan tetap mendukung perjanjian tentang batas wilayah berdasar
41
ASEAN yang menyepakati “Jakarta Charter” yang dalam salah satu poinnya adalah:
“Berpatokan pada “United Nations Charter” dan hukum internasional”. Lebih jauh lagi
menanggapi klaim Cina ini ASEAN memutuskan untuk menjalin kerjasama di bidang
pertahanan dalam pembuatan senjata (industry pertahanan) yang akan di realisasikan
pada tahun 2030 dan di dukung oleh Amerika.
Gambar 3 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Vietnam dan wilayah yang diklaim.
Sumber : CSIS
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa konflik ini tidak bisa diselesaikan
42 dimana akan selalu terjadi konflik dan sengeketa berkepanjangan tanpa titik temu. Jika
di lihat dari patokan ZEE yang benar maka seharusnya batas laut negara-negara tersebut
tidak menimbulkan sengeketa karena klaim yang terjadi tidak terdapat tumpang tindih
wilayah laut seperti pada gambar dibawah ini :
Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi menurut ZEE
Sumber : CSIS
Kelima negara yang bersengketa ini yaitu; Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia,
dan Brunei saat ini sama sama mengklaim seluruh kepulauan Spratly menjadi wilayah
43 Vietnam pun dilaporkan sudah mengerahkan pasukannya untuk menduduki 21 pulau
diantaranya, diikuti Filipina 8 pulau, Cina 6 pulau, dan Malaysia 3 pulau.Mereka
berlomba-lomba saling mengklaim berdasarkan beberapa historis, territorial, dan isu-isu
yang ada.Tidak berhenti disitu, Cina dan Vietnam pun ikut mengklaim kepulauan
Paracel dan Scarborough Shoal43.Jika dilihat dari gambar peta di bawah ini, jelas terlihat pembagian gugusan kepulauan yang di sengketakan.
Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan pembagian gugusan kepulauan Spratly, Paracel dan Scarborough Shoal.
Sumber : CSIS
44 Pada gambar diatas, gugusan kepulauan Spratly di kelompokan dalam warna
hijau, gugusan kepulauan Paracel dalam warna ungu, dan gugusan kepulauan
Scarborough Shoal dalam warna kuning. Sengketa yang mencakup area seluas 298.000
mil ini sudah beberapa kali di cari konflik resolusinya, dimana konflik ‘inter-personal’
antara negara yang menghasilkan pemecahan masalah atau meneruskan konflik tersebut
dengan cara yang lebih halus dengan meminimalisir konflik sejata. Proses resolusi
konflik ini ada umumnya melalui cara negosiasi, mediasi, diplomasi dan pembangunan
hubungan damai.44 Perkembangan ini membutuhkan focus dari anggota ASEAN yang
bersengketa dengan Cina, yaitu; Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei untuk
menentukan sikap dengan apa yang sebenarnya di sengketakan di Laut Cina Selatan dan
yang tidak. Selama faktor yang fundamental ini tidak jelas, Cina akan selalu bersikap
ambigu dan kontradiksi dalam mengklaim kepentingan di Laut Cina Selatan atas negara
tetangga yang lebih kecil. Beberapa langkah yang mengarah ke faktor itu sudah diambil
oleh beberapa anggota ASEAN yang berkonflik, seperti Vietnam dan Malaysia yang
pada tahun 2009 bergabung dalam sub-misi tetang wilayahnya yang mereka kaliam
secara sepihak kepada CLCS adalah langkah yang pertama yang penting dalam konflik
ini, dilanjutkan oleh Filipina dalam hukum baseline pada tahun yang sama establishing
its coastal baseline in accordance dengan UN Convention on the law of the Sea
(UNCLOS) dan yang lainnya.45
44Lalita Boonpriwan , op.cit., hal. 6.
45Republic of the Philippines, republic Act no.9522, 10 Maret 2009,