Sepinya Masjidku Oleh: Muhsin Hariyanto
Pada bulan yang Ramadhan lalu, masjidku penuh dengan jamaah. Tidak hanya di waktu taraweh (qiyâm al-lail), di waktu subuh pun karpet yang terhampar di seluruh bagian lantai masjid dipenuhi oleh jamaah, utamanya di sepuluh hari pertama bulan itu. Tapi, kini karpet-karpet itu kesepian dan – kalau bisa menangis – mungkin akan menangis meratapi nasibnya yang tak seberuntung pada bulan Ramadhan itu. Masjidku kini sepi kembali, seperti bulan-bulan sebelum Ramadhan.
Banyak orang yang tak bisa menjawab, kenapa sejumlah masjid sepi dari jamaah. Utamanya ketika waktu subuh. Padahal, tempat itu semestinya menjadi tempat yang sangat dirindukan oleh setiap muslim. Apakah kini tempat itu sudah sekadar menjadi simbol kesucian tanpa kesalehan para jamaahnya, atau karena mereka – umat Islam – sudah menganggapnya sebagai tempat eksklusif yang hanya pantas dihadiri dalam upacara-upacara suci — atau tepatnya: “dianggap suci” – seperti ritual Jumatan dan – lebih khusus lagi –“walimatul ‘ursy”?
Pertanyaan itu semakin tidak terjawab ketika banyak orang yang harus bersabar menunggu ‘antrean’ pemberangkatan jamah haji dari tahun ke tahun, karena terbatasnya kuota. Ibadah haji yang harus dilaksanakan dengan persiapan yang lebih rumit, ternyata lebih menarik daripada ibadah-ibadah sederhana – seperti shalat jamaah– di masjid. Apalagi, dalam acara pengajian rutin bulanan yang diselenggarakan oleh pengurus ranting Muhammadiyah di sebuah kampung di sudut kota Yogyakarta, yang secara kebetulan penulis menjadi ustadz tetapnya, yang hadir tidak pernah lebih daripada hitungan jari-jemari penulis. Kalau tidak salah hitung, — yang secara rutin menghadirinya — kurang lebih 17 orang, dari kurang lebih seratus lebih orang Islam di kampung itu yang mengaku menjadi warga, atau minimal simpatisan Muhammadiyah.
Tetapi, pernah satu saat pengurus pengajian itu menyelenggarakan pengajian pamitan calon jemaah haji, dan – ternyata di luar dugaan – yang hadir lebih dari dua ratus orang (jamaah). Mereka datang bersama dengan para calon jemaah haji yang jumlahnya hanya dua orang (suami-isteri). Subhânallâh wal hamdulillâh, spontan terucap dua kalimah thayyibah dari lisan penulis, sambil tetap bertanya-tanya: “Ke mana saja ratusan orang ini pada waktu yang lain. Kenapa mereka tidak pernah muncul, dan baru terlihat pada acara pengajian-pamitan calon jamaah haji?”
lain berisi nasihat: “Orang-orang yang akan dinaungi oleh Allah SWT pada hari kiamat nanti antara lain adalah: rajulun qalbuhu mu’alaqun bil masâjid (mereka yang selalu terpaut dengan masjid). (HR al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Pada bulan Ramadhan yang baru berlalu, masjidku bagaikan rumah tinggalku, yang selalu tampak terasa ‘hangat’ pada setiap waktu selama bulan Ramadhan. Utamanya di malam hari, di ketika sahabat-sahabat karibku memakmurkannya dengan berbagai acara: “buka bersama”, shalat berjamaah, qiyâm al-lail (taraweh), pengajian-pengajian, tadarus al-Quran, hingga i’tikaf – utamanya — pada sepuluh hari terakhir bulan itu. Namun, di saat Ramadhan berlalu, masjidku kembali sepi, ditinggal oleh para jamaahnya. Sedih, rasanya!
Bagi mereka yang selalu menambatkan hati ke masjidku, rasa rindu mereka untuk beribadah di dalamnya tak pernah sirna, mereka selalu berusaha untuk melakukan tazkiyatun nafs (menyucikan dirinya) dari debu-debu dosanya. Allah berkata di dalam kalam suci-Nya, ”Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (QS at-Taubah [9]: 108).
Menjadikan masjid sebagai rumah, bukan sebatas mendatanginya secara fisik. Tetapi, lebih jauh dari itu, selalu mengisinya dengan sejumlah aktivitas yang dipandu oleh kehendak hati untuk mengekspresikan keimananan yang ada di dalam hati menuju berbagai amal saleh yang bisa kita hadirkan dalam seluruh akvitas ibadah di masjid kita, hingga Allah pun berkenan memanjakan kita dengan melipatgandakan pahala dan menghapuskan dosa-dosa kita yang pernah kita perbuat, dan pada akhirnya membukakan pintu “ar-Rayân” menuju surga-Nya.
Penulis selalu yakin, bahwa setiap shalat yang kita lakukan di mesjid, karena kehendak hati kita – dengan fondasi iman — ketika diundang oleh para muazin melalui seruan azannya untuk datang ke masjid, pasti dicatat oleh Allah sebagai ‘amal saleh’. Di tempat ini, kita disatukan dengan simbol bersama, dengan tujuan yang sama, yakni ‘hanya’ untuk beribadah kepada Allah. Kita — para jamaah — selalu bersedia menghadapkan wajah kita ke satu arah yang sama dengan penuh ketundukan dan ketaatan. Hingga kita mendapatkan satu perolehan terindah dari Allah berupa: “ridha”. Sebuah perolehan yang paling bermakna dalam ibadah kita, meskipun harus kita lakukan dengan sejumlah pengorbanan.
Namun demikian, penulis pun juga sadar bahwa tidak setiap orang memiliki kesiapan untuk menjadi pemakmur masjid. Hanya orang-orang yang benar-benar kokoh imannya yang ‘sadar’ dan memiliki semangat kuat untuk menjadi yang pertama dan utama dalam aktivitas “memakmurkan masjid”, sebagaimana firman Allah: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah orang-orang yang (bersedia) memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah, 9: 17-18).
Hingga kini, penulis tidak tahu mau berkomentar ”apa” terhadap gejala sepinya mesjid-mesjid kita pada bulan-bulan selain (bulan) Ramadhan. Hanya ada sejumlah pertanyaan di benak penulis: ”Apakah kita (baca: umat Islam) sudah kehilangan ’iman’ yang menancap di hati kita pada bulan Ramadhan? Atau selama ini kita tidak terlatih untuk membiasakan diri ’menegakkan shalat’ dalam seluruh aspek kehidupan kita, dengan tetap menjaga kontinuitas untuk beramal saleh dan meninggalkan perbuatan maksiat? Atau, karena kita sering lupa untuk membayar zakat? Atau, sekarang ini kita posisikan diri kita menjadi seseorang yang kehilangan sifat as-sajâ’ah (berani) dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar karena harus berhadapan dengan risiko duniawiah? Atau, (sementara) kita sudah merasa puas untuk tidak mendapatkan hidâyah (petunjuk) karena kelalaian-kelalaian kita selama ini? Wallâhu a’lam.
Untuk itu, sebelum kita benar-benar lupa, marilah kita mulai melangkah. Kita kembalikan ingatan kita kepada Allah, dengan selalu hadir di mesjid-mesjid yang telah kita bangun dengan susah-payah, supaya diri kita benar-benar menjadi pecinta mesjid yang selalu hadir dengan kerinduan yang dalam untuk bertemu Allah dalam keasyikan kita ”beribadah” kepadaNya.
Kalau pun bulan Ramadhan masih lama untuk kita jumpai kembali, kita bisa menjadikan semua bulan dalam setiap tahun seolah-olah adalah bulan Ramadhan. Kita ramaikan mesjid-mesjid kita seperti ketika bulan Ramadhan menjumpai diri kita. Agar kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapatkan rahmat, maghfirah dan surga yang dijanjikan oleh-Nya. Dan tak perlu lagi kita bertanya: ”Masjidku, ke manakah jamaahmu?”
Semoga!