• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

(Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

Oleh:

Ari Siddiq Rismawan

Anak merupakan modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional serta generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Kualitas anak sangat ditentukan oleh proses dan bentuk perlakuan terhadap mereka dimasa kini. Sementara itu, anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal pemidanaannya dinilai kurang efektif bila dijatuhi pidana penjara. Seharusnya ada suatu alternatif berupa tindakan-tindakan atau upaya-upaya lain yang dapat dilakukan untuk menangani dan menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana sebagai pengganti pidana penjara. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam skripsi ini yaitu apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak, dalam perkara pidana Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK, dan bagaimanakah upaya-upaya serta tindakan-tindakan lain yang dapat dilakukan atau diusahakan dalam menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara.

Dalam melakukan penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Suber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sampel dalam penelitian ini di ambil dari responden sebanyak (4) orang, yaitu: Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjungkarang, (2) Orang dan Dosen pada bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Lampung, (2) orang.

(3)

kekuatan pembuktian atas suatu tindak pidana. Sedangkan landasan nonyuridis berkaitan dengan aspek sosiologis (latar belakang kehidupan anak, keadaan keluarga, pendidikan anak, ekonomi dan lingkungan masyarakat), aspek psikologis (berkaitan dengan kepribadian dan kejiwaan anak), serta aspek kriminologis (berkaitan dengan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan oleh anak). Metode Diversi dan Restorative Justice menjadi suatu pilihan dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak hak anak.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu, putusan hakim dalam penjatuhan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pada Putusan Nomor 622/PID/B(A)/2011/PN.TK memang sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 363 ayat (1) Ke-3, ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tentang pencurian dengan pemberatan, serta peraturan perundang-undangan, namun jika mengingat stigma negatif atau cap jahat sebagai akibat dari pidana penjara, maka seyogyanya hakim memperhatikan dan dapat mempertimbangkan efek negatif bagi kelangsungan hidup anak. Hakim pun harus mengedepankan prinsip ultimum remidium. Dalam hal penegakan hukum, jika anak memang harus atau pantas di jatuhi pidana, maka penjatuhan pidana terhadap perkara anak seyogyanya hakim mengefektifkan jenis pidana bersyarat sebagai alternatif pidana penjara (terlebih penjara yang singkat), dan terlebih jika hakim dapat mengupayakan suatu tindakan-tindakan serta upaya-upaya lain sebagai alternatif pemidanaan terhadap anak, maka hal itu akan lebih baik bagi anak.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN

MOTTO

SANWACANA

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah …... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Anak ... 22

B.Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan ... 27

C.Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak... 33

(7)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah ... 50

B.Sumber dan Jenis Data ... 51

C.Penentuan Populasi dan Sample ... 53

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 55

E.Analisis Data ... 57

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden……….… 58 B.Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan……….……….….. 60

C.Upaya-Upaya Lain yang Dapat Dilakukan atau Diusahakan dalam Menyelesaikan Anak yang Melakukan Tindak Pidana, Tanpa Harus Menjalani Hukuman Penjara……….… 71

V. PENUTUP

A. Simpulan……….…… 93

B. Saran………... 94

DAFTAR PUSTAKA

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus merupakan modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Karena itu kualitas anak tersebut sangat ditentukan oleh proses dan bentuk perlakuan terhadap mereka dimasa kini. Anak Indonesia adalah manusia indonesia yang di besarkan dan dikembangkan sebagai manusia seutuhnya, sehingga mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang rasional, bermanfaat dan bertangging jawab.

(9)

Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang secara terus-menerus dan mempengaruhi kehidupanya dalam keluarga, masyarakat dan negara. Situasi yang seperti ini dapat membahayakan negara, karena pada dasarnya maju atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pembangunan bangsa.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga Negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak perlindungan dari tindak pidana dan diskriminasi serta hak sipil atas kebebasan. Arti dari anak dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijiunjung tinggi.1

Sebelum anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, maka sebelumnya, terlebih dahulu anak tersebut akan mengalami masa-masa atau dunia anak-anak. Selanjutnya dunia anak-anaklah yang akan membentuk dan mempersiapkan bagaimana proses pendewasaan nanti. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia. Upaya perlindungan dan pembinaan terhadap anak perlu dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan atas hak-haknya serta perlakuan tanpa diskriminasi.

1

(10)

Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan berupa pencurian. Kejahatan pencurian tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi juga anak-anak yang dikategorikan oleh hukum masih dibawah umur sebagai pelakunya. Perbuatan anak yang nyata-nyata bersifat melawan hukum, dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Sebagai akibatnya, kehidupan masyarakant menjadi resah, timbul perasaan tidak aman dan nyaman, bahkan menjadi ancaman bagi usaha mereka. Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian terhadap usaha penanggulangan dan penaganannya, khususnya dibidang hukum pidana beserta hukum acaranya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara sangat perlu dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak dan terbinanya anak-anak ke arah kehidupan yang terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta anak-anak berprilaku positif dan terhindar dari tindak keahatan atau perbuatan melawan hukum. Adapun hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana yang di atur dalam perundang-undangan ataupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Anak yang yang dikategorikan sebagai anak dibawah umur adalah bila anak tersebut belum berusia delapan belas (18) tahun.

(11)

pelaku tindak pidana anak, yang kerap disebut sebagai anak nakal.Selama ini, penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong anak dibawah umur, dapat dikatakan hampir sama penanganannya dengan perkara-perkara pidana yang pelakunya adalah orang dewasa.

Hal yang transparan dalam proses pemeriksaan terhadap anak, adalah apabila terhadap tersangka anak tersebut dilakuan penahanan, dari segi waktu tidak berbeda dengan waktu penahanan yang berlaku bagi orang dewasa. Begitu pula petugas pemeriksa dalam memeriksa tersangka anak-anak dilakukan dengan cara yang sama dengan orang dewasa. Selain itu, karena kamar tahanan tidak mencukupi, maka terpaksa di campur, dengan pelaku tindak pidana dewasa. Tindakan pencampuran ini kurang bijaksana, karena anak-anak tersebut dapat menimba modus operandinya.2

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak ternyata juga telah mencabut ketentuan Pasal 45, 46, dan Pasal 47 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang selama ini digunakan dalam menangani perkara anak. Sehingga saat ini, ketentuan-ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Selain itu dalam Ketentuan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 atas perubahan UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dengan pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai anak nakal, bukan merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustifikasi oleh setiap orang.

Pemberian kategori anak nakal merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standartnya akan ditimbang serta dibuktikan

2

(12)

dimuka hukum. Dengan adanya perubahan tersebut, maka diharapkan penanganan perkara anak sudah dapat dibedakan dengan perkara orang dewasa demi perkembangan psikologis anak serta kepentingan dan kesejahteraan masa depan anak.

Dalam meminimalisir kasus yang merugikan anak, Negara/Pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, namun hal tersebut belum mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Untuk menyikapi hal itu, maka Negara/Pemerintah, telah merumuskan suatu peraturan perundang-undangan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tantang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan diberlakukan untuk mengatasi dan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dengan adanya dan akan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tantang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut diharapkan dapat lebih tepat dan optimal dalam menangani serta menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana.

(13)

Berhadapan Dengan Hukum. Adapun Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut menyatakan:

a. Bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa berhak memperoleh perlindungan baik secara fisik, mental, maupun sosial sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar termasuk anak yang berhadapan dengan hukum;

b. Bahwa penanganan anak yang berhadapan dengan hukum oleh aparat penegak hukum belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam peraturan perlindungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. Bahwa untuk meningkatkan penanganan anak yang berhadapan dengan

hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu kerja sama yang terpadu antar penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu untuk pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak;

d. Bahwa pendekatan keadilan restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanan sistem peradilan pidana terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hukum;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia;3

Berdasarkan data pra penelitian (Pra Research) di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjungkarang diperoleh data bahwa tindak pidana pencurian yang dilakukan anak dibawah umur juga terjadi di Provinsi Lampung, hal itu dapat dilihat dari putusan perkara Nomor 622/ PID /B(A)/2011/ PNTK. Dalam kasus tersebut, terdakwa atas nama Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin dinyatakan telah dengan sengaja mengambil barang Playstation yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dan dilakukan diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

3

Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 22 Desember 2009 Tentang Penanganan Anak yang

(14)

rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak, yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu.

Adapun kronologis peristiwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi yang menjelaskan bahwa perkara tersebut yaitu berawal pada hari Kamis tanggal 09 September 2010 sekitar jam 03.30 WIB bertempat JL.RE.Martadinata Gg. Pekon Lom No21 Kel.Keteguhan Kec. Keteguhan Teluk Betung Barat, Bandar Lampung, awalnya terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin masuk ke dalam rumah saksi korban Rini Novianti Binti Suparna dengan cara melalui dinding papan rumah yang agak rapuh. Kemudian terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin mendongkel dinding papan tersebut dengan menggunakan tangan dan setelah terbuka kemudian terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin masuk kedalam warung sementara ujang (belum tertangkap) menunggu diuar berjaga-jaga. Selanjutnya terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin mengambil 1 (satu) unit Playstation merek Sony warna hitam tersebut, selain itu terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin juga mengambil 2 (dua) bungkus rokok Sampoerna mild milik saksi korban Rini Novianti Binti Suparna.

(15)

bersekutu atau bekerjasama, pencurian tersebutdilakukan pada waktu malam hari, dan dilakukan dengan cara merusak untuk masuk ke tempat kejahatan, yaitu dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. Dan atas perbuatannya, maka hakim menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

Putusan Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK, dimana hakim menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan terhadap terdakwa Ardiansyah als Ardi Bin Jafarudin, cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini adalah akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dalam konteks hukum acara pidana menegaskan bahwa aktifitas pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lainnya haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.4

Pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat merekasulit untuk kembali menjadi anak “baik”.5

Menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, perkara pencurian dengan nilai barang relative kecil yang diproses pidana hingga

4

Sudarto, R. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Halaman 119.

5

(16)

pengadilan dinilai oleh masyarakat sangat tidak adil jika diancam dengan hukuman hingga 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), Apalagi bila pelaku pencurian tersebut adalah seorang anak yang masih dibawah umur dan dikategorikan “belum

dewasa” menurut hukum maka seharusnya dalam menjatuhkan putusan atau

sanksi pidana hendaklah memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak.6

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan

penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi ini dengan judul: ”Analisis

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Pada Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan”. (Studi Putusan Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan , maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak, dalam perkara pidana Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK?

b. Bagaimanakah upaya-upaya serta tindakan-tindakan lain yang dapat dilakukan atau diusahakan dalam menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara?

6

(17)

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Ruang Lingkup Keilmuan

Ruang lingkup keilmuan pembahasan masalahnya mengacu kepada ilmu hukum yang mengatur dan menjelaskan tentang pencurian dengan pembertan, serta Undang-Undang Pengadilan Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas. Sedangkan objek penelitian berdasarkan kepada putusan Pengadilan Negeri No. 622/PID/B(A)/2010/ PNTK.

b. Ruang Lingkup Substansi

Dalam ruang lingkup substansi, yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini adalah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak dan upaya-upaya serta tindakan-tindakan lain yang dapat dilakukan atau diusahakan dalam menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara.

c. Ruang Lingkup Wilayah

(18)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian adalah dirumuskan secara deklaratif dan merupakan penyertaan-penyertaan tetang apa yang hendak dicapai dalam penelitian.7

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak dalam perkara pidanaNomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya-upaya serta tindakan-tindakan lain yang dapat dilakukan atau diusahakan dalam menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara.

2. Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum pidana yang berhubungan dengan Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Pada Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan, (Studi Putusan Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK).

7

(19)

2. Kegunaan praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi penegak hukum dan masyarakat sesuai dengan permasalahan yang dibahas serta menambah informasi kepada para pihak-pihak terkait mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak dari putusan pengadilan, sehingga proses peradilan terhadap anak dapat dijalankan dengan memperhatikan hak-hak anak dan penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Ketentuan dasar Hukum Acara Pidana dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, meliputi asas-asas sebagai berikut :

a. Asas belum dewasa

Asas belum dewasa menjadi syarat ketentuan untuk menentukan seseorang dapat diproses dalam peradilan anak. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 4. Asas belum dewasa membentuk kewenangan untuk

8

(20)

menentukan batas usia bagi seseorang yang disebut sebagai anak yang dapat melahirkan hak dan kewajiban.

b. Asas keleluasaan pemeriksaan

Ketentuan asas keleluasaan pemeriksaan, yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi penyidik, penuntut umum, hakim maupun petugas lembaga pemasyarakatan dana atau petuga sprobation/social worker untuk melakukan tindakan-tindakan atau upaya berjalannya penegakan hak-hak asasi anak, mempermudah sistem peradilan anak, dan lain-lain. Asas keleluasaan pemeriksaan diatur dalam Pasal 41 - Pasal 59. Tujuan utama adalah meletakkan kemudahan dalam system peradilan anak, yang diakibat kannya ketidak mampuan rasional, fisik/jasmani dan rohani atau keterbelakangan pemahaman hukum yang didapat secara kodrat dalam diri anak.

c. Asas probation/pembimbing kemasyarakatan /social worker

Kedudukan probation atau social worker yang diterjemahkan dengan arti pekerja social diatur dalam Pasal 33.Ketentuan asas ini lebih diutamakan kepada system penerjemahan ketidak mampuan seorang anak menjadi lebih transparan dalam sebuah proses peradilan anak.9

Penelitian suatu teori sangat diperlukan sebagai suatu dasar pemikiran dan landasan dalam penulisan suatu karya ilmiah, dimana suatu tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini dapat dilakukan oleh semua orang, baik oleh orang yang sudah dewasa maupun oleh seorang anak-anak yan masih dibawah umur. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 362

9

(21)

disebutkan bahwa pencurian adalah mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum

Pencurian dengan pemberatan ini disebut juga pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde deifstal) atau pencurian khusus dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hal ini diatur didalam buku II KUHP pada bab XXII dan perumusannya sebagaimana disebut dalam Pasal 363 KUHP.

Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa gequalificeerde deifstal adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan lain-lain unsur, sehingga ancaman hukumannya menjadi diperberat.10 Sedangkan M. Sudradjat Bassar mengatakan,

bahwa pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP termasuk “pencurian

istimewa” maksudnya suatu pencurian dengan cara tertentu atau dalam keadaan

tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara 5 tahun.11

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pencurian dengan pemberatan oleh anak, jadi pelaku tindak pidana disini adalah anak. Oleh karena itu perlu diperhatikan pula adanya beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Teori-teori tersebut diantaranya adalah teori pertimbangan

10

P.A.F Lamintang. 1985. Hukum pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. Halaman 83.

11

M. Sudradjat Bassar. Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang

(22)

hakim. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.12

Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu.13 Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat atau tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan. 2. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan

perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan

3. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.14

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya tiga unsur pokok, yaitu:

a. Unsur perbuatan atau tindakan seseorang

Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat.

b. Unsur orang atau pelaku

Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia. Maka hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya dengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku dan akan tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman.15

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan

12

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 54. 13

R. Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Hal 9.

14

Ibid. Halaman 91.

15

(23)

pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan darihakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

(24)

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan,serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan

Teori ini berkenaan dengan putusan Hakim dalam perkara di Pengadilan Anak, dan aspeknya menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, orang tua dan keluarga ikut bertanggungjawab dalam membiana, mendidik dan melindingi anak agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat serta bangsanya.16

Penegakan hukum pidana yang rasional sebagai pertimbangan hukum pidana, melibatkan minimal tiga faktor yang berkaitan, yaitu para penegak hukum, nilai-nilai dan hukum perundang-undangan. Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka hukum pidana hanya dapat dijatuhkan bila perbuatan tersebut telah diatur dalam kertentuan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyabutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau

16

(25)

menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Akan tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat hukum, tetapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Oleh karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang lainnya.17

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.18

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini, agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap pokok-pokok pembahasan.

Adapun istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau peristiwa untuk memberikan jawaban atas kejadian atau peristiwa tersebut.19 2. Pertimbangan Hakim adalah suatu keputusan yang memuat alasan-alasan

hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengapa ia sampai

17

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 18

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Hal. 132.

19

(26)

mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.20

3. Penjatuhan pidana adalah hal yang berhubungan dengan pernyataan hakim dalam memutuskan perkara dan menjatuhkan hukuman.21

4. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.22

5. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.23

6. Pencurian dengan pemberatan atau kualifikasi adalah suatu pencurian dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).24

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mempermudah untuk memahaminya, maka penulis menyajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

20

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

21

Oemar seno adji. 1989. KUHP Sekarang. Erlangga. Jakarta. Hal. 13.

22

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

23

Moeljanto. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 54. 24

(27)

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tersebut dapat di tarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptuan serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap dasah hukum, pengertian-pengertian umum mengenai tentang pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan yang terdapat dalam praktek. Adapun garis besar penjelasan dalam bab ini adalah menjelaskan mengenai Analisis Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Pada Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan(Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK).

III. METOE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penelitian poulasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap terakhirnya yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(28)

Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK).

V. PENUTUP

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak

Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak merupakan bagian dari generasi muda. Untuk memudahkan memahami temtang pengertian anak dan menghindari salah penerapan kadar penilaian orang dewesa terhadap anak, maka perlu dketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dalam pengertian umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang kehidupan, seperti Agama, hukum dan sosiologisnya yang menjadikan penhertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, kedudukan anak memiliki makna dari susistem hukum yang ada dalam lingkungan perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyarakatan universal. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah:

(30)

dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.1

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mendefinisikan bahwa anak adalah:

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.2

Kedua pengertian tersebut dapat diketahui bahwa batasan umur dilihat bukan saja dari aspek fisik dan secara biologis pada seseorang tetapi juga dilihat dari aspek jumlah usia antara 15 hingga 18 tahun adalah usia yang disebut anak-anak. Sedangkan seseorang yang berusia antara 18 sampai 21 tahun tidak dapat lagi disebut sebagai anak-anak

Adapun proses perkembangan anak terdiri dati beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada perkembangan jasmanian anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi kedalam tiga (3) fase, yaitu:

1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia 0 sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak.

1

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 2

(31)

2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 tahu sampai 14 tahun, sebagai masa kanak-kanak.

3. Fase ketiga dimulai pada usia 14 tahun sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja. Pada fase ini, merupakan masa pasa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

Menurut Zakiah Drajat, usia 21 tahun sampai dengan 25 tahun masih dapat dikelompokkan kedalam generasi muda, walaupun dari segi perkembangan jasmani dan kecerdasan betul-betul dewasa, dan emosi juga sudah stabil, namun segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapan.

Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, diakui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak anak-anak dizalimi secara hukum. Proses hukum terhadap anak tidak hanya untuk membuktikan kesalahannya dan apa akibat dari kesalahannya.

(32)

anak bukan hanya proses pembuktian kesalahannya tapi harus membuktikan tindakan-tindakan yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak, bukan atas dasar criminal mind yang datang dari dalam diri si anak.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia pengertian anak berada dalam penafsiran hukum negatif. Sebagai subjek hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan, namun karena statusnya di bawah umur, anak memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap mengupayakan agar anak memperoleh hak atas kesejahteraan layak dan masa depan lebih cerah.

(33)

Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan,

” Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan

lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama ”.3

Berbagai masalah dalam penerapan sistem peradilan anak hingga kini masih terjadi seperti akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap berbagai ketentuan nasional dan internasional tentang peradilan anak. Faktor lain menyangkut batasan usia anak yang berbeda pada instansi yang menangani perkara anak. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, dapat diperiksa oleh Penyidik. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.4

Proses peradilan anak sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak masih sering diabaikan. Ketika diperiksa Kepolisian, anak tidak dampingi petugas kemasyarakatan, psikolog atau penasehat hukum. Ada anak-anak di tahan, ada hakim memerintahkan anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum yang dialami anak-anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana.

3

Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, Tanggal 20 November 1989

4

(34)

B. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian merupakan bentuk kejahatan yang paling sering terjadi dalam masyarakat. Sebagai salah satu bentuk tindak pidana, pencurian memiliki kriteria yang dibagi atas 5 (lima) macam, yaitu:

1. Pencurian biasa (eenvouding diefstal, Pasal 362 KUHP), 2. Pencurian berat (gekwalificeerde diefstal, Pasal 363 KUHP), 3. Pencurian ringan (lichte diefstal, Pasal 364 KUHP),

4. Pencurian dengan kekerasan (diefstal met geweldepleging, Pasal 365 KUHP), 5. Pencurian dalam keluarga (familie diefstal, Pasal 367 KUHP).

Tindak pidana adalah terjemahan dari kata-kata Sraaf Baarfeit. Tindak pidana pencurian dirumuskan oleh pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan untuk memilikinya secara melawan hukum.5

Istilah gequalificeerde diefstal yang mungkin dapat diterjemahkan sebagai pencurian khusus dimaksudkan sebagai suatu pencurian dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara (5) lima tahun dari pasal 362 KUHP.6

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada buku kedua tentang kejahatan yang mengatur tentang pencirian ada pada bab XXII. Sedangkan

5

Wirjono Prodjodikoro. 2008. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama Bandung. Halaman 14.

6

(35)

mengenai bentuk pokok tindak pidan pencurian adalah seperti bunyi Pasal 363 KUHP, yaitu:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau subagian

kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.7

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen atau unsur-unsur pendukungnya adalah:

a. Unsur Objektif, yaitu: - Mengambil - Barang

- Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain b. Unsur Subjektif, yaitu:

-. Dengan maksud - Untuk memiliki

- Secara melawan hukum

Adapun hal yang berkaitan dengan pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP, yaitu:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: ke-1. Pencurian ternak;

ke-2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kerata api, huru-hara, pemberontaka atau bahaya perang;

7

(36)

ke-3. Pencurian pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

ke-4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orfang atau lebih dengan bersekutu; ke-5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat kejahatan, atau untuk sampai

pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.8

Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Hal ini menunjukkan pada dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam melakukan tindak pidana pencurian, seperti misalnya mereka bersama-sama mengambil barang-barang dengan kehendak bersama.9

Tidak perlu ada rancangan bersama yang mendahului pencurian, akan tetapi tidak cukup apabila meraka secara kebetulan pada persamaan waktu mengambil barang-barang. Bekerjasama ini misalnya terjadi apabila setelah mereka merancangkan niatnya untuk bekrjasama dan melakukan pencurian, kemudian hanya seorang yamg masuk kedalam rumah dan mengambil barang, dan kawannya hanya tinggal diluar rumah untuk menjaga dan memberitahu kepada yang memasuki rumah jika perbuatan mereka diketahui oleh orang lain.10

perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, atau yang lazim disebut dengan delict. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang berarti suatu perbuatan yang oleh antara hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, bagi siapa yang

8

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

9

Tri Andrisman. 2009. Delik Khusus dalam KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Halaman 64.

10

(37)

melanggar larangan tersebut.11 Tindak pidana adalah kelakuan atau suatu perbuatan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.12

Suatu perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, bagi barang siapa yang melakukannya. Larangan ini merupakan dasar bagi adanya perbuatan pidana, jadi dapat dikatakan bahwa asas ini adalah dasar dari

”perbuatan pidana”. Tanpa adanya aturan terlebih dulu mengenai perbuatan apa

yang dilarang, maka kita tidak akan tahu adanya perbuatan pidana.13

Beberapa sarjana telah berusaha memberikan perumusan tentang pengertian Straaf Baarfeit. Antara lain perumusan yang dikemukakan oleh Simon yang dikutip oleh Satochid Kartanegara, bahwa tindak pidana itu harus memuat beberapa unsur, yaitu:

1. Suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu dilarang oleh undang-undang diancam dengan hukuman atau pidana

3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipermasalahkan atas perbuatan tersebut

Sedangkan rumusan pidana lengkap mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan Manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan)

2. Diancam dengan pidana (Stafbaar Gesteld) 3. Melawan hukum (Onrechtmatig)

4. Dilakukan dengan kesalahan (Met shuld in verband staand)

11

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. Halaman 7.

12Andi Hamzah. 1999. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hal 88.

(38)

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Toerekeningsvatbaar persoon).14

Suatu perbuatan pidana tidak dapat dikenakan hukuman tanpa ada alasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia (seseorang tersebut) tidak melakukan tindak pidana. Akan tetapi meskipun melakukan suatu perbuatan tindak pidana, tidak selalu dapat dipidanakan.15

Dari pendapat-pendapat tersebut diatas, maka dapat diketahui kesimpulan bahwa suatu tindak pidana itu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Melakukan suatu kejahatan, atau perbuatan melawan hukum 2. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-Undang pidana

3. Pelakunya dapat diancam dengan pidana

4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Unsur pertama, kedua dan ketiga tersebut merupakan unsur objektif, maka tindak pidana adalah suatu tindakan (berbuat atau lalai berbuat), yang bertentangan dengan hukum positif, jadi bersifat tanpa hak yang menimbulkan yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Segi objektif dari tindakan pidana adalah segi kesalahan, yakni akibat yang tidak diingini oleh undang-undang yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan asas yang berlaku didalam hukum pidana maka

14

Satochid Kartanegara. Hukum Pidana I, Kumpulan Kuliah. Balai Lektor Mahasiswa. Halaman 74

15

(39)

unsur objektif adalah berkaitan dengan asas legalitas yang disebut juga Nullum Delictum yang berarti suatu peristiwa tidak dapat dikenal hukuman, selain atas kekuatan peraturan Undang-Undang pidana yang mendahuluinya, asas ini didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 1 ayat 1. Berdasarkan asas ini, Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas suatu peristiwa yang tidak dengan tegas disebut dan diuraikan dalam Undang-Undang.

Unsur subjektif berkaitan dengan asas kesalahan yang berati orang yang melakukan tindak pidana, baru akan di hukum apabila ia mempunyai kesalahan atau juga dapat dikaitkan tindak pidana tanpa kesalahan.

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menuntut bahwa ketentuan pidana harus diterapkan dalam undang-undang yang sah yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum ornag selanjutnua menurut pula ketentuan pidana dala undang-undang tidak mungkin berlaku surut ( mundur).16

Mengenai perbuata pidana ini dalam asas 1 ayat (1) KUHP disebutkan Suatu peristiwa pidana tidak dapat dikenakan hukuman, selain atas kekuatan peraturan undang-undang pidana yang mendahuluinya. Asas dari pasal 1 KUHP itu dipandang sebagai jaminan yang perlu sekali bagi keamanan hukum bagi para pencari keadilan (melindungi orang terhadap perbuatan sewenang-wenang dari para hakim ).17

16

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 17

(40)

Dari apa yang dikemukakan diatas, ternyata bahwa hukum pidana adalah merupakan bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan atau dilarang, dan dapat diancam dengan sanksi pidana bagi mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut. Juga dalam hal ini jangan dilupakan antara hukum dan manusianya, yang saling berkaitan. Karena jika tidak ada manusianya, maka hukum pun tidak akan ada.

Sedangkan manusia itu sendiri senantiasa ingin hidup bebas. Akan tetapi, dalam kenyataannya manusia itu tidak dapat menghindari untuk hidup bersosial, bermasyarakat serta berinteraksi dengan yang lainya. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat dihindari atau dihiraukan terhadap kepentingan dari masyarakat itu.

Dalam arti kata melindungi kepentingan kolektif maupun individu, sebagaimana telah dikatakan dalam uraian diatas, maka yang terpenting dari hukum pidana bukan saja masalah pemidanaan para terdakwa, akan tetapi perlu diperhatikan apakah terdakwa itu telah melakukan perbuatan pidana jika sebelumnya telah ada peraturan perundang-undangan.

C. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak

(41)

pada dirinya akan lebih besar pengaruhnya dalam menentukan sikapnya daripada nilai pribadinya.

Penyelenggaraan proses peradilan anak sebagai suatu sistem penyelesaian perkara tindak pidana anak harus berorientasi pada kepentingan masa depan anak, karena anak nakal pada akhirnya harus diperbaiki kembali sifat, tingkah laku, kondisi jiwa, dan alam pikiraannya. Untuk itu, yang diperlukan dalam penanganan masalah penyelesaian perkara tindak pidana anak dalah mengembalikan jiwa anak. Megembalikan kesadaran dan ketaatan anak pada aturan hukum dan tata nilai yang berlaku harus berbeda dengan cara yang harus dilakukan terhadap orang dewasa. Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila diperlukan pendekatan khusus dalam menangani dan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam proses peradilan anak, seperti yang terungkap di dalam berbagai pernyataan, antara lain:

1. Anak yuang melakukan kenakalan (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat (criminal), tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.18

2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif educatif dan pendekatan kejiwaan atau psikologis yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat

18

Tri Andrisman. 2007. Hukum Pidana, Asas-Asas Dasar Aturan Umum Hukum Pidana.

(42)

menghambat proses perkembangan, kematangan, dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.19

Pengamatan terhadap prektik peradilan anak sebelum berlakunya undang-undang pengadilan Anak, selama ini penegak hukum melandaskan diri pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diperuntukkan bagi orang dewasa.secara khusus ketentuan KUHAP yang berkaitan dengan anak hamya terdiri dari 2 (dua) pasal saja, yaitu:

1. Pasal 153 ayat (3) dan ayat (5) KUHAP yang mengatur kemungkinan diberlakukannya sidang tertutup, sepanjang terdakwa seorang anak: dan dalam sidang terbuka, hakim menentukan bahwa anak yang belum mencapai usia 17 tahun, tidak diperkenankan menghadiri sidang.

2. Pasal 171 KUHAP yang mengatur tentang anak yang belum cukup umur 15 tahun dan belum pernah kawin dapat diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah.20

Dalam penyelanggaraan sidang anak, selain hukum acara yang diperuntukkan bagi orang dewasa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga mengikuti petunjuk atau pedoman dalam bentuk Surat Edaran Pengadilan Tinggi Jakarta 15 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Sidang Perkara Anak, yang khusus diberlakukan bagi Pengadilan Negeri daerah Hukum Pengadilan Tinggi Jakarta dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1959 tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara Pidana Dengan Pintu Tertutup

19

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Halaman 115.

20

(43)

Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa. Surat Edaran merupakan suatu terobosan di bidang peradilan anak, dalam menyikapi dan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak.

Adapun kutipan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1959, yang memuat hal-hal sebagai berikut:

1) Perkara anak disidangkan: - Terpisah dari orang dewasa - Pada hari tertentu saja

- Oleh hakim tertentu yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri masing-masing

2) Baik hakim, polisi, dan jaksa dalam sidang anak initidak memakai toga/pakaian dinasnya masing-masing.

3) Sidang selalu bersifat tertutup, wartawan tidak diperbolehkan hadir dan putusannya diucapkan dalam sidang yang tertutup, publikasipin dilarang. 4) Orang tua, /wali, /penanggun gjawab anak harus hadir agar hakim dapat

mengetahui juga keadaan yang meliputi si anak, misalnya keadaan di rumah, untuk dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan penempatan si anak.

5) Sejak dari penyidikan dari pihak kepolisian telah diambil langkah pengkhususan, misalnya:

- Pemeriksaan dilakukan oleh bagian tersendiri terpisah dengan bagian untuk dewasa.

- Tempat penahanan terpisah dari tempat tahanan untuk orang dewasa. 6) Oleh Kejaksaan ditunjuk Jaksa Khusus sebagai penuntut untuk perkara

anak.

7) Dalam sidang perkara anak diikutsertakan seorang petugas sosial (Social Worker).21

Dalam perjalanannya, penanganan dan penyelesaian kasus tindak pidana anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat karena dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum. Dalam meminimalisir kasus yang merugikan anak, Negara/Pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002

21 A

gung Wahyono dan Siti Rahayu. 1993. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di

(44)

Tentang Perlindungan Anak, namun hal tersebut belum mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara khusus menentukan bahwa dalam menangani dan menyelesaikan perkara/kasus anak yang melanggar hukum atau melakukan tindak pidana, para aparat penegak hukum harus memperhatikan segi-segi keselahteraan anak. Demikian pula dalam penjatuhan hukuman terhadap anak nakalharus diorierntasikan pada perlindungan dan kesejahteraan anak, demi kelangsungan masa depan anak.22

Akan tetapi, saat ini dirasakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.23

22

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

23

(45)

D. Tugas Hakim Dalam Perkara Pidana Anak

Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana, karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.

Disini tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisia belen) untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

(46)

teliti dan mengetahui segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim harus benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental, dan intelektual anak. Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan penderitaan batin seumur hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan hakim bermotif perlindungan.

Menurun Mackenzie, ada beberapa toeri atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan terhadap suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

(47)

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan

(48)

anak agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat serta bangsanya.24

Hakim dalam menjatuhan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana anak, didasarkan pada landasaan yuridis dan nonyuridis. Landasan yuridis didasarkan pada ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil yang dimaksud adalah adanya unsur-unsur delik atau unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar. Unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdiri dari unsur subjektif (dilakukan dengan sengaja atau kealpaan), unsur objektif (adanya perbuatan, menimbulkan akibat, keadaan-keadaan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum) dan adanya kemampuan bertanggungjawab serta tidak adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitings-grondery). Hukum pidana formil berkaitan dengan acara pemeriksaan perkara pidana anak dan kekuatan pembuktian atas suatu tindak pidana. Sedangkan landasan nonyuridis berkaitan dengan aspek sosiologis (latar belakang kehidupan anak, keadaan keluarga, pendidikan anak, ekonomi dan lingkungan masyarakat), aspek psikologis (berkaitan dengan kepribadian dan kejiwaan anak), serta aspek kriminologis (berkaitan dengan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan oleh anak).

Dalam hal anak melakukan tindak pidana sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke sidang anak. Hakim yang mengadili perkara anak, adalah

24

(49)

Hakim yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Dalam hal belum ada Hakim Anak, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim Anak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dengan ketentuan yang bersangkutan segera diusulkan sebagai Hakim Anak.

Hakim Anak memeriksa dan mengadili perkara anak dengan Hakim Tunggal, dan dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis (Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya).

Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal tersebut, patut dikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan; perkembangan jiwa anak; tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif, diketahui bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, antara lain:

1. Keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana

(50)

2. Keadaan psikologis anak setelah dipidana

Hakim harus memikirkan dampak atau akibat yang ditimbulkan terhadap anak setelah dipidana. Pemidanaan anak bukan hanya bertujuan untuk memidana, melainkan untuk menyadarkan anak, agar tidak melakukan tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang lainnya setelah menjalani pidana. Perkembangan jiwa anak setelah menjalani pidana, menjadi perhatian Hakim dalam menjatuhkan pidana, bila tidak demikian halnya maka dikhawatirkan perkembangan jiwa anak bukan menjadi semakin baik namun sebaliknya, anak akan menjadi lebih buruk.

3. Keadaan psikologis Hakim dalam menjatuhkan pidana

Hakim harus mempertimbangkan berat ringannya kenakalan yang dilakukan anak, jika kenakalan dilakukan anak menurut pertimbangan Hakim sudah keterlaluan atau dapat membahayakan masyarakat, maka hakim dapat menjatuhkan pidana. Atas pertimbangan kepentingan anak, hakim dapat memutuskan agar anak diserahkan ke Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan untuk dididik dan dilatih serta dibina. Apabila Hakim merasa perbuatan anak tidak terlalu berat atau tidak membahayakan, maka Hakim dapat mengembalikannya kepada orangtua, wali atau orangtua asuhnya untuk lebih diperhatikan atau diawasai dan dibina kembali.25

Secara singkat dapat dikatakan bahwa dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan pidana terhadap anak, adalah latar belakang kehidupan anak yang meliputi keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonominya, keadaan rumah tangga orangtua atau walinya, keterangan mengenai anak sekolah atau tidak,

25

Nanda Agung Dewantara, 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu

(51)

hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungannya, yang dapat diperoleh Hakim dari Petugas Pemasyarakatan. Pertimbangan dijatuhkannya pidana, adalah dengan harapan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak, anak yang bersangkutan mendapat bimbingan dan pendidikan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

E. Bentuk Sanksi Yang Dapat dijatuhkan Kepada Anak Yang Melakukan

Tindak Pidana

Pada masa remaja merupaka masa seorang anak mengalami perubahan yang sangan pesat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja merupakan masa goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang terkadang dapat menyababkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai sebagai perbuatan nakal. Istilah kenakalan remaja merupakan terjemahan dari Juvenile Deliquency.

Istilah Juvenille sendiri berasal dari bahasa latin yaitu Juvenilis yang artinya

“anak-anak, anak muda, ciri karakteristik, sifat-sifat khas pada periode remaja”.

Sementara istilah Deliquent berasal dari kata latin Deliquere yang berarti

“terabaikan, mengabaikan”, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat,

asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dan lain-lain.26

26

(52)

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak,anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang

melanggar hukum, kebiasaan disebut dengan “Anak Nakal”. Dengan demikian

perbuatan anak tersebut diatas yang melanggar hukum pidana (tindak pidana)

disebut “Kenakalan Anak”. Sedangkan anak yang melakukan kenakalan/tindak

pidana disebut “Anak Nakal”.27

Pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan perampasan kemerdekaannya, untuk itu penjatuhan pidana kepada anak harus dijadikan sebagai ultimum remedium, sebagai pilihan terakhir dan pilihan ini harus melalui pertimbangan sangat matang dan melibatkan banyak pihak berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan atau dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak.

Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (disingkat UUPA), dijelaskan bahwa:

“ Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tidakan yang

ditentukan dalam undang-undang ini ”.28

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUPA tersebut, dapat diketahui bahwa stelsel pemidanaan yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun UUPA tetap sama, yaitu menganut sistem Double Track System. Artinya

27

Tri Andrisman. 2008. Hukum Peradilan Anak. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Halaman 3.

28

(53)

sistem penjatuhan pidana didasarkan pada 2 (dua) jenis sanksi, yaitu yang terdiri dari pidana dan tindakan.29

Putusan hakim anak yang merupakan putusan akhir, maka sebelum hakim memutuskan untuk menjatuhkan suatu hukuman atau pidana terhadap anak, hakim harus banyak mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhkan tersebut. Adapun putusan hakim tersebut terdiri dari:30

1. Putusan Bebas (vrijsprak)

Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila ia berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan ( pasal 191 ayat (1) KUHAP)

2. Putusan Lepas dari Tuntutan Hukum

Putusan ini dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (pasal 191 ayat (2) KUHAP).

3. Putusan Dengan Penjatuhan Pidana atau Tindakan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, putusan hakim dalam sidang Pengadilan Anak dapat berupa penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tenteng Perlindungan Anak)

29

Ibid, Halaman 50.

30

(54)

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan ialah :31

a. Pidana Penjara

Pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1) ). Apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana

Berkaitan dengan jenis penelitian yang dimaksud di atas maka penelitian ini akan mendiskripsikan tentang dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

PENERAPAN PASAL 486 KUHP OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN.. PUTUSAN PIDANA

khususnya hakim dalam penjatuhan pidana bagi anak yang melakukan

ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA.. GOLONGAN I NOMOR URUT 11 JENIS EKSTASI (Putusan

“ ANALISIS YURIDIS TENTANG FORMULASI DAKWAAN JAKSA DAN PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PENJATUHAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA PERJUDIAN (Putusan Nomor : 398/Pid.B/2012/PN.Mkt)

Untuk semakin memperkuat dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian, maka Hakim juga

Dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan