• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU ATAU KESAKSIAN PALSU DI BAWAH SUMPAH DI DEPAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU ATAU KESAKSIAN PALSU DI BAWAH SUMPAH DI DEPAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU ATAU KESAKSIAN PALSU DI

BAWAH SUMPAH DI DEPAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA

Oleh

WELIN TRI MAYASARI

Saat ini banyak ditemukan saksi yang memberikan keterangan palsu di depan persidangan dan merugikan pihak-pihak tertentu. Sedangkan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam proses peradilan dan peranan saksi di depan persidangan dapat menimbulkan akibat hukum pada putusan pengadilan. Keterangan palsu atau kesaksian palsu dibawah sumpah di depan persidangan merupakan tindak pidana apalagi sampai menimbulkan akibat hukum yang dapat merugikan pihak tertentu. Terhadap seseorang yang memberikan keterangan/sumpah palsu, ia dapat dituntut berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah dan mengikat. Dalam pendalaman Pasal 242 KUHP perihal kaitannya dengan Pasal 174 KUHAP, bahwa kejahatan keterangan palsu dibawah sumpah harus dilakukan dalam persidangan. Maka dalam penulisan ini saya mendapat pokok permasalahan tentang bagaimanakah penegakan hukum atas tindak pidana pada Pasal 242 KUHP oleh hakim yang mengadili ? dan faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat terhadap penerapan Pasal 242 KUHP ?

(2)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini adalah (1) Penegakan hukum terhadap Pasal 242 KUHP tidak mutlak harus melalui prosedur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 174 KUHAP dan bukanlah jalan satu-satunya untuk menuntut seorang saksi yang disangka telah memberikan keterangan palsu atas dasar sumpah di depan persidangan, berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah dan mengikat. Mengadukan tindak pidana kesaksian palsu atau keterangan palsu dibawah sumpah di depan persidangan tidak harus melalui penetapan pengadilan terlebih dahulu. (2) Faktor-faktor yang menghambat penerapan Pasal 242 KUHP ini adalah (a) Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini undang-undang. (b) Faktor penegak hukum itu sendiri, salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri yang dalam hal ini Hakim itu sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mencoba memberikan saran kepada penegak hukum khususnya Hakim sebaiknya memiliki tolak ukur dalam penilaian saksi, karena dalam pengambilan keputusan kuncinya ada di tangan hakim. Selain itu, aparatur penegak hukum hendaknya memberikan hukuman secara maksimal kepada para pelaku tindak pidana pemberi keterangan palsu atau kesaksian palsu, agar efek jera benar-benar dapat diwujudkan kepada para pelaku. Upaya penegakan hukum secara sistemik harus memperhatikan ketiga aspek secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata, terutama dalam mengungkapkan dan memproses tindak pidana kesaksian palsu atau keterangan palsu dibawah sumpah di depan persidangan.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF LAW ENFORCEMENT CRIME GIVING FALSE INFORMATION OR PERJURY UNDER THE SWEAR IN FRONT OF

CRIMINAL PROCEEDINGS TRIAL

By

WELIN TRI MAYASARI

Today many are found false witnesses who testified before the court and hurt certain parties. Meanwhile, witness statements as evidence in court proceedings and the role of the witness before the trial could lead to legal consequences in court. False information or false testimony under oath in front of a criminal court let alone the legal consequences that can be detrimental to certain parties. Against a person who provides information/perjury, he could be prosecuted based on any legal force and binding. In Article 242 of KUHP regarding deepening relation to Article 174 of KUHAP, the crime of false information under oath must be made during the trial. So in writing this I got the point about how the enforcement of any offense in Article 242 of KUHP by the judge who judges? and factors that are a barrier to the implementation of the article?

The approach used in the writing of the problem this paper uses juridical normative and empirical jurisdiction. Respondents consisted of members of Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Public Prosecutor at Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Judge of Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang and Academics Law Faculty , at University of Lampung. Procedures Data collection was conducted by literature study (library research) and field (field research). Analysis of the data used in this research is the analysis of qualitative.

(4)

enforcement in particular Judges should have a benchmark in assessing the witness, because the key decisions in the hands of judges. In addition, law enforcement officials should give maximum punishment to the perpetrators of criminal acts giving false testimony or perjury, that the deterrent effect can actually be realized to the perpetrators. Systemically law enforcement must consider three aspects simultaneously, so that the process of law enforcement and justice itself internally can be manifested, especially in expressing and processing the crime of perjury or false statement under oath in front of the court.

(5)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK

PIDANA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU ATAU

KESAKSIAN PALSU DI BAWAH SUMPAH DI DEPAN

PERSIDANGAN PERKARA PIDANA

Oleh

WELIN TRI MAYASARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...10

C. Tujuan dan KegunaanPenelitian ...11

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ...12

E. Sistematika Penulisan ...19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum ...19

B. Alat-Alat Bukti ...26

C. Pembuktian Pidana ...32

D. Tindak Pidana Kesaksian Palsu dan Sanksi Pidana ...39

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ...52

F. Penerapan dan Proses Penegakan Hukum ...53

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ...55

B. Sumber dan Jenis Data ...55

C. Penentuan Populasi dan Sampel ...57

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ...58

(7)

A. Karakteristik Responden ...61 B. Uraian Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2514/Pid/2007

tentang Penerapan Pasal 242 KUHP ...64 C. Penegakan Hukum Terhadap Tidak Pidana Pemberian Keterangan Palsu Di Bawah Sumpah Di Depan Persidangan ...71 D. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Penerapan

Pasal 242 KUHP Tentang Tindak Pidana Pemberian Keterangan Palsu Atau Kesaksian Palsu Di Bawah Sumpah Di Depan Persidangan ...82

V. PENUTUP

A. Simpulan ...86 B. Saran ...88 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Admosudirjo, Prajudi. 2001. Teori Kewenangan. Jakarta. PT. Rineka Cipta Atmasasmita, Romli. 1996. Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme

dan Abolisionisme. Bandung . Bina Cipta

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta ____________. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta.Sinar Grafika ____________. 2011. Delik-Delik Tertentu Di Dalam KUHP. Jakarta.Universitas

Trisakti

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika

Lamintang, P.A.F. Lamintang, Theo. 2009. Delik-Delik Khusus. Jakarta.Sinar Grafika

Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Jakarta. Sinar Grafika

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tidak Pidana Tertentu Di Indonesia.Bandung. PT. Refika Aditama

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI-Press

____________. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo

Utrecht, E. Saleh, Djindang Moh. 1989. Pengantar Dalam HukumIndonesia. Jakarta. PT. Ichtiar Baru

(9)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman

Sumber Website :

Makalah Penegakan Hukum Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH http://www.docudesk.com (di akses pada : 1/1/2013)

(10)

Judul Skripsi : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBERIAN

KETERANGAN PALSU ATAU KESAKSIAN PALSU DI BAWAH SUMPAH DI DEPAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA

Nama Mahasiswa : Welin Tri Mayasari No.Pokok Mahasiswa : 0912011385

Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. NIP. 19631217 198803 2 003 NIP. 19801118 200801 1 008

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(11)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris : Rinaldy Amrullah,S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Diah Gustiniati M.,S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(12)

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 10 Mei 1990, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Sardjono. SP dan Rachmawati. AS.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh Penulis yaitu Taman Kanan-kanak Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1996, Sekolah Dasar Al-Azhar 2 Way Halim, Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Kedaton, Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 10 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan Pendidikan Diploma I Bahasa Inggris Teknokrat Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

(13)

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkankan

kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemberian Keterangan Palsu Atau Kesaksian Palsu Di Bawah Sumpah Di Depan Persidangan Perkara Pidana, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis miliki. Penyelesaian penulisan skripsi ini penulis kerjakan dengan semaksimal mungkin, namun tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I dan Penguji Skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

(14)

bimbingan hingga terselesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas II, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

6. Bapak Muhtadi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Papa dan mama yang telah banyak memberikan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kakakku ”Mas Wiwid” dan Mbaku ”Mba Indah” yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini selesai, serta keluarga dan saudara-saudara ku tersayang terima kasih untuk semua motivasi selama ini dalam mendukung menyelesaikan semuanya sesuai dengan waktunya, Alhamdulillah berhasil taraf Sarjana Hukum...

9. Special gift thanks untuk seseorang yang istimewa terima kasih untuk semua motivasinya selama ini semoga apa yang kita cinta dan cita-citakan dapat tercapai.

10.Teman tersayang sekaligus rekan seperjuanganku baik suka dan duka selama kuliah dari awal propti hingga saat ini Vanny Ciendy Octaviany dan M. Soleh teman seperjuangan selama skripsi semangat Sarjanaaa guys...!!!

(15)

cabul, Agoy, Saddam geyol, Agung Senna, Acil, Toddy, Andri ganteng, Anand damus, Ajo Ridho, Fahmy onta kalian best friend ever dah. Buat bang Doni, bang Yoan teman yang selalu menghibur.

12.Rekan-rekan senior BKBH yang dahsyat, mba Mona kece I Love you, bang Ivin, mba Adel, bang Indra, bang Arif tukul, kak Komeng, mba Asri cici, kak Eko, bang Adi, bang Deswan, hingga junior-junior baru BKBH , thank guys, I get graduated this year, tidak lupa pula rekan-rekan LKBH Lentera Cendikia.

13.Dosen pendamping BKBH aku yang top markotop, Pak Eko, Pak Shafruddin, Pak Depri, Pak Deny, Pak Dita and Ibu cantik Rohaini. Tak lupa pula babe Narto yang senantiasa selalu membantu dan yang kasih semangat terus buat kita-kita dikantor, thanks for all.

(16)

15.Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepadaku selama dalam penulisan skripsi ini.

Penulis berdoa semoga semua bantuan dan kebaikan kalian yang tulus ikhlas mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa, tepat pada waktunya. Dan Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna sebagaimana mestinya dan bermanfaat bagi yang membacanya.

Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis

(17)

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem hukum selalu terdiri dari sejumlah komponen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi kepentingan individu agar ia tidak diperlakukan semena-mena, dan dipihak lain hukum merupakan pelindung bagi masyarakat dan negara agar tidak seorang pun melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.1 Keberhasilan penegakan hukum dalam suatu negara akan ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, dalam arti masyarakat secara suka rela mematuhi hukum.2

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan tersebut disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggarnya. Tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam buku II KUHP, sedangkan pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Meskipun hukum menempatkan dirinya dalam posisi sedemikian rupa, akan tetapi tidak boleh dikesampingkan adanya beberapa faktor lainnya.

1

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Alumni, Bandung, 1991, Hlm. 174.

2

(18)

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang merupakan alat-alat bukti yang sah ialah :

a. Keterangan saksi peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.3 Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu

3

(19)

perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Saksi merupakan kunci dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184-185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menempatkan keterangan saksi diurutan pertama di atas alat bukti lainnya, urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan. Ketentuan undang-undang yang mengancam dengan pidana terhadap orang yang memberikan keterangan palsu atau kesaksian palsu atau yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan itu adalah Pasal 242 KUHP adapun perumusannya adalah sebagai berikut :

1) Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

2) Jika keterangan palsu diatas sumpah, diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(20)

4) Pidana pencabutan hak tersebut pasal 35 (tentang pencabutan hak) nomor 1-4 dapat dijatuhkan.

Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal yang ada di dalam KUHAP guna menentukan apakah seorang terdakwa terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak dan apabila terbukti bersalah maka seorang terdakwa tersebut dapat dijatuhi pidana atau sebaliknya bila tidak terbukti bersalah maka seorang terdakwa harus diputus bebas sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebenaran materil diatas maka hakim dalam mengemban tugas harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dipihak lain dalam diri hakim bersangkutan juga dituntut adanya

4

(21)

integritas moral yang baik sehingga dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak merugikan “justiabelen” (para pencari keadilan).5

Kemandirian hakim adalah kemandirian dalam tugas dan wewenang dalam kapasitasnya ketika sedang menangani perkara, adapun wewenang hakim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.Salah satu kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di dalam persidangan yaitu pada saat menangani perkara pidana tentang sumpah palsu dan keterangan palsu Pasal 242 KUHP, yang merujuk pada ketentuan Pasal 174 KUHAP.

Ketentuan yang mengatur tentang keterangan saksi dalam perkara pidana yang disangka palsu dalam hal yang demikian, apabila telah dilakukan upaya peringatan yang bersangkutan tetap berketerangan yang disangka palsu maka saksi tersebut dapat ditahan dan dituntut dengan dakwaan sumpah palsu dengan tata cara sebagaimana di uraikan dalam Pasal 174 KUHAP. Adapun isi pasalnya yaitu sebagai berikut :

1. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

5

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,

(22)

2. Apabila saksi tetap pada keterangannya, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

3. Dalam hal yang demikian, oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang, serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Terhadap seseorang yang memberikan keterangan/sumpah palsu, ia dapat dituntut berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah dan mengikat. Dalam pendalaman Pasal 242 KUHP perihal kaitannya dengan Pasal 174 KUHAP, bahwa kejahatan keterangan palsu dibawah sumpah harus dilakukan dalam persidangan.

(23)

melalui prosedur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 174 KUHAP tersebut bukanlah satu-satunya jalan/cara untuk menuntut seorang saksi yang disangka telah memberikan keterangan palsu atas dasar sumpah di depan persidangan, berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah dan mengikat.

Suatu keterangan adalah palsu jika sebagian dari keterangan itu adalah tidak benar, kecuali jika ini sedemikian rupa sehingga dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak disengaja dalam memberikan keterangan palsu.Mekanisme memproses saksi yang memberikan keterangan palsu terdapat dalam Pasal 174 KUHAP, jika hakim menduga atau meyakini saksi berbohong, majelis hakim mengingatkan ancaman pidana keterangan palsu berdasarkan Pasal 242 KUHAP.

Berbohong di dalam ruang sidang bukan saja suatu tindak pidana, tetapi juga relatif berat dari sisi ancaman pidana karena Pasal 242 ayat (1) KUHP mengancam hukuman tujuh tahun bagi siapapun dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan maupun tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu. Ada atau tidak akibat hukum, berbohong di persidangan tetap bisa dikriminalisasi. Jika berakibat merugikan pada terdakwa, hukumannya akan diperberat. Tindak pidana memberikan keterangan palsu selesai begitu pemeriksaan saksi bersangkutan berakhir. Jika keterangan palsu sudah selesai, saksi tak bisa menariknya lagi.

(24)

acara pemeriksaan dengan memuat alasan persangkaan. Berita Acara dari panitera itulah yang dipakai jaksa untuk menyusun dakwaan terhadap saksi pemberi keterangan palsu. Jika perlu perkara pokok ditangguhkan dulu untuk membuktikan tuduhan berbohong.

Menurut pendapat Bambang Hartono sebagai saksi ahli dalam Gelar Perkara Tentang Kesaksian Palsu di POLRESTA Bandar Lampung, ia berpendapat yang menilai bahwa keterangan saksi tidak benar atau bohong adalah Majelis Hakim, itupun Majelis Hakim terlebih dahulu mengingatkan kepada saksi yang dalam praktek sampai dengan 3 (tiga) kali, untuk memberi keterangan yang benar karena telah disumpah dan jika tetap melanggar Hakim “dapat menetapkan” saksi telah

melakukan sumpah palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHPidana. Apabila saksi ditetapkan telah melakukan sumpah palsu, maka Majelis Hakim membuat ketetapan saksi telah diduga melanggar Pasal 242 KUHPidana dan dilakukan proses pidana sebagaimana dimkasud dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dan pemeriksaan didahulukan selanjutnya perkara pokok ditunda menunggu putusan perkara sumpah palsu. Yang dimaksud jika keterangan palsu tersebut merugikan salah satu pihak, maka dapat saya jelaskan bahwa keterangan saksi tersebut dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk memutus perkara pokok dan merugikan pihak lain.

(25)

ada perintah hakim untuk mencatat dalam berita acara sidang bahwa saksi telah memberikan keterangan tidak benar / palsu. Lebih dari itu Majelis Hakim tidak pernah mengeluarkan ketetapan bahwa saksi telah melakukan “sumpah palsu”. Dengan demikian saksi tidak dapat dikatakan/dikategorikan telah melakukan sumpah palsu. Karena yang mempunyai kewenangan menilai bahwa saksi telah memberikan keterangan palsu dibawah sumpah (sumpah palsu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHPidana Hanya Majelis Hakim Dalam Perkara.

Menetapkan seorang saksi berbohong tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ukuran keterangan yang benar yang dijadikan majelis hakim sebagai perbandingan masih menjadi pertanyaan, apalagi jika majelis hakim belum mempunyai keyakinan penuh atas keterangan saksi-saksi pembanding dan alat bukti lain.

Yahya Harahap menyatakan bahwa keyakinan Hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa, keyakinan hakim dalam sistem pembuktian secara positif tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa.6 Terhadap pendapat ini apakah Pasal 174 KUHAP tetap menjadi satu-satunya ketentuan positif yang mengatur tentang penerapan Pasal 242 KUHP tentang keterangan palsu di bawah sumpah.

Berdasarkan uraian di atas penulis akan melakukan penelitian dengan judul analisis penegakan hukum terhadap tindak pidana pemberian keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan ketentuan Pasal 242 KUHP (tinjauan terhadap penerapan dan proses penegakan hukum oleh hakim).

6

(26)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah penegakan hukum atas tindak pidana pemberian keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan Pasal 242 KUHP oleh hakim yang mengadili ?

b. Faktor apakah yang menjadi penghambat terhadap penerapan Pasal 242 KUHP tentang tindak pidana pemberian keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan ?

2. Ruang Lingkup

(27)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui penegakan hukum atas tindak pidana pemberian keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan Pasal 242 KUHP oleh hakim yang mengadili

b. Untuk mengetahui faktoryang menjadi penghambat terhadap penerapan Pasal 242KUHP tentang tindak pidana pemberian keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan tersebut

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah dan memberikan sumbangan pemikiran dalam berkarya ilmiah bagi ilmu hukum terutama di bidang hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan tindak pidana keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan pada tinjauan terhadap penerapan dan proses penegakan hukum oleh hakim.

b. Kegunaan Praktis

(28)

tindak pidana keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan pada tinjauan terhadap penerapan dan proses penegakan hukum oleh hakim serta dapat memberikan konstribusi dan masukan sebagai bahan pemikiran bagi pihak-pihak yang memerlukan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan indentifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.7 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban dalam hukum) pada dasarnya secara normal mengakui hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penegakan sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne La-Favre 1964). Penegakan hukum bukanlah semata-mata beratri pelaksanaan perundangan-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia cenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian enforcement begitu populer. Selain itu, ada

7

(29)

kecenderungan kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).8

Faktor penghambat penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Faktor penghambat tersebut

terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9

Penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini sehingga dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.

Menurut Sudarto, penegakan hukum dengan istilah kriminalisasi yaitu proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana, maka terbentuklah peraturan hukum

8

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.2011. Hlm. 7

9

(30)

pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim. Sedangkan istilah dekriminalisasi mengandung arti suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.10 Pedoman serta aturan pemberian pidana sangat penting ditegaskan dalam pembentuk undang-undang, agar supaya Hakim dalam memberi keputusannya, didalam kebebasannya sebagai Hakim, ada juga batasnya yang ditetapkan secara obyektif.11

Sudarto menegaskan, penegakan hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal. Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non penal ini dengan sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non penal. Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive yaitu penindasan/pemberantasan/penumpasan sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu

pencegahan/penangkalan/pengendalian sebelum kejahatan terjadi.12

10

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 2007. Hlm. 31-32

11

Sudarto, Ibid. Hlm. 45 12

(31)

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut : 13

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.

Teori sumpah Palsu atau Keterangan Palsu adalah suatu keterangan yang diberikan sehubungan dengan sumpah. Keterangan itu terdiri tidak hanya atas keterangan-keterangan kesaksian dalam perkara pidana, tetapi semua pemberitahuan-pemberitahuan dalam kata-kata tentang perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa. Keterangan itu harus diberikan diatas sumpah, pengambilan

13

(32)

sumpah mana dilakukan sebelum keterangan itu diberikan untuk menegaskannya.14

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.15 Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan adalah : a. Penegakan adalah suatu proses, cara perbuatan menegakkan sesuatu.16

b. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.17

c. Penerapan adalah pengenaan, perihal mempraktikan suatu hal.

d. Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

e. Pembuktian adalah salah satu asas umum peradilan dan asas praduga tidak bersalah (persumption of innosence) yang dirumuskan pada butir c Penjelasan Umum KUHAP bahwa setiap orang yang disangka atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tiak bersalah sampai adanya putusan

14

http://bloghukumumum.blogspot.com(di akses pada : 15/11/2012 )

15

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. Hlm. 112

16

http://www.artikata.com/arti-380786-penegakan.html

17

(33)

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.18

f. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

g. Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 Angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

h. Sumpah Palsu atau Keterangan Palsu adalah suatu keterangan yang diberikan sehubungan dengan sumpah. Keterangan itu terdiri tidak hanya atas keterangan-keterangan kesaksian dalam perkara pidana, tetapi semua pemberitahuan-pemberitahuan dalam kata-kata tentang perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa. Keterangan itu harus diberikan diatas sumpah, pengambilan sumpah mana dilakukan sebelum keterangan itu diberikan untuk menegaskannya.19

i. Dibawah Sumpah adalah dapat diberikan secara lisan atau dengan tulisan, sendiri atau oleh wakilnya. Keterangan dengan lisan ini berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan di muka seorang pejabat dengan disertai

18

Leden Marpaung,Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Jakarta. Sinar Grafika, 2009, Hlm. 23

19

(34)

sumpah, yaitu memohon kesaksian Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di dalam pengadilan.20

j. Tindak Pidana Keterangan Palsu adalah dalam hal-hal di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (Pasal 242 Ayat (1) KUHP). Jika Tindak Pidana Keterangan Palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun (Pasal 242 Ayat (2) KUHP).

k. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

20

(35)

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sistematika penulisannya yang disusun sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dari berbagai referensi atau bahan pustaka, meliputi pengertian pembuktian pidana, tindak pidana, tindak pidana sumpah palsu dan keterangan palsu, dasar pengaturan tindak pidana dan sanksi pidana tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, penegakan hukum atas tindak pidana pada Pasal 242 KUHP oleh hakim yang mengadili, penerapan pasal tersebut.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(36)

saksi dalam pembuktian tindak pidana keterangan palsu atau kesaksian palsu di bawah sumpah di depan persidangan, penegakan hukum atas tindak pidana pada Pasal 242 KUHP oleh hakim yang mengadili dan faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat terhadap penerapan pasal tersebut.

V. PENUTUP

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu suatu suatu proses, cara atau perbuatan menegakkan sesuatu. Sedangkan, hukum :

1. Peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak, misalnya yang disebut negara hukum ialah negara yang dalam segala hal berdasarkan pada hukum.

2. Segala undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.

3. Ketentuan (kaidah, patokan) mengenai sesuatu peristiwa atau kejadian alam, dan sebagainya; misalnya sesuai dengan hukum bahasa Indonesia.

4. Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim (dalam pengadilan); misalnya memutuskan hukum, menjatuhkan keputusan‟ kena hukum, dijatuhi

hukuman yang diputuskan oleh hakim.1

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

1

(38)

bernegara. Ditinjau dari sudutnya penegakkan hukum dibagi menjadi dua yaitu dari sudut subyektif dan sudut obyektif.

Dari sudut subyeknya penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subyek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

(39)

dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti

sempit.2

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak. 3

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjbarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaiaan pergaulan hidup. 4

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataannya Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan-pelaksanaan putusan hakim. Perlu diingat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan apabila pelaksanaan

2

http://viarviorviera.blogspot.com/2012/03/penegakan-hukum-di-indonesia.html(di akses pada : 3/1/2013 )

3

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. vii

4

(40)

perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. 5

Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu untuk bekerja mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi baraometer legitimasi hukum di tengah-tengah realitas sosialnya. 6

Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-kosep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Kedalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Apabila berbicara tentang penegakan hukum, maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan hukum, maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabeneadalah abstrak tersebut. Dirumuskan secara lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum. 7

Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan diperoleh gambaran stereotips yang kosong. Membahas penegakan

(41)

hukum menjadi berisi apabila dikatitkan dengan pelaksanaannya yang kongkret oleh manusia. 8 Penegakan hukum memang dilakukan oleh orang-orang, tetapi perlu ditambahkan bahwa penegakan hukum adalah juga kegiatan suatu organisasi. Maka tindakan orang-orang tersebut tidak dapat dilepaskan dari tempat mereka menjadi anggotanya.

Penegakan hukum merupakan penjabaran ide dan cerita hukum ke dalam bentuk-bentk konkrit. Untuk mewujudkan hukum sebagai ide kedalam bentuk konkrit membutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Organisasi-organisasi tersebut, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan sebagi unsur klasik penegkan hukum yang dibentuk oleh negara. Walaupun pada hakekatnya organisasi tersebut bertugas untuk mengantarkan kepada tujuan-tujuan hukum, namun masing-masing badan berdiri sendiri dan bersifat otonom.

Penegakan hukum juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah maupun struktur sosial masyarakatnya. Hukum dan masyarakat sangat terkait erat dan saling mempengaruhi. Dilihat dari segi penegakan hukum, maka ini berarti, hukum juga akan tertarik kedalam medan pengaruh dari konfigursai kekuasaan dalam masyarakat. Akhirnya, apabila hukum dituntut untuk memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama, pada saat yang sama hukum justru dihadapkan pada keadaan yang tidak sama.

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang

8

(42)

bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

B. Alat-Alat Bukti Dalam KUHP

Menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dan di dalam Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya atau biasanya di sebutkan satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Dengan demikian fungsi alat bukti dalam pembuktian dalam sidang sangat penting sekali sehingga sering kita dengar bahwa suatu tindak pidana yang tidak cukup bukti tidak dapat dijatuhi pidana baik denda maupun penjara.9

Kekuatan alat bukti atau juga disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum, dan hubungan dengan warga masyarakat) dan partisipasi masyarakat. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing

9

(43)

perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah.

Diformulasikan oleh Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) adanya 5 (lima) alat bukti yang sah. Dibandingkan dengan hukum acara pidana terdahulu yaitu HIR (Stb. 1941 Nomor 44), ketentuan mengenai alat-alat bukti yang diatur oleh KUHAP ini mempunyai perbedaan yang prinsip dengan HIR.10

Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal tersebut di atas berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum

melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.

Penyidikan dilakukan untuk mengumpulkan alat-alat bukti yang sah dalam persidangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat-surat 4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

10

(44)

1. Keterangan Saksi

Saksi menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.11

Memahami saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.12Mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, Pasal 1 butir 26 KUHAP, ditentukan :“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pasal 1 butir 26 tersebut diatas hanya menyebutkan tentang orang yang dapat memberikan keterangan. Menyimak klausula ini, tentu ditafsirkan ada orang-orang tertentu yang tidak dapat memberikan keterangan sebagai saksi. Memang dalam KUHAP sendiri telah ditentukan mengenai pengecualian-pengecualian

11

Andi Hamzah, 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia. Hlm. 162

12

(45)

untuk menjadi saksi. Pengecualian-pengecualian yang dimaksud antara lain diatur dalam Pasal 168, 170 dan 171 KUHAP.

Pengecualian menjadi saksi termasuk dalam Pasal 168 KUHAP, ditentukan : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa. b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau

saudara bapak, juga karena yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2. Keterangan ahli

Pasal 1 butir 28 KUHAP, ditentukan :

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Keterangan ahli dapat

berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

(46)

Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Ketentuan pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat dikategorikan bahwa ada dua kelompok ahli yaitu, ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli-ahli lainnya.

3. Alat Bukti Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran.Surat merupakan alat bukti yang menduduki urutan ketiga dari alat-alat bukti lain sebagaimana tersebut kedalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

4. Alat Bukti Petunjuk

Menurut Pasal 188 KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHP, menyatakan dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

(47)

188 ayat (2) hanya dapat diperoleh dari Keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

5. Keterangan Terdakwa

Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Pada ketentuan Pasal diatas, pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan atau diberikan terdakwa di sidang Pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu tidak mutlak, oleh karena keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan Pengadilan. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab.

Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, adalah bahwa keterangan terdakwa tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai alat-alat bukti lainnya dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini mengingat terdakwa dalam memberikan keterangan tidak atau tanpa mengucapkan sumpah atau janji.

(48)

apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat dua alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka hal itu cukup untuk menuntut si pelaku. Kecukupan bukti permulaan (minimal dua alat bukti terpenuhi), cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dimaksud.

C. Pembuktian Pidana

Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

(49)

terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta

2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum

Menurut Leden Marpaung,13 salah satu asas umum peradilan adalah asas praduga tidak bersalah (presumption innosence) yang dirumuskan pada butir c Penjelasan Umum KUHAP bahwa setiap orang yang disangka atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Tersangka/terdakwa dianggap tidak bersalah “sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannnya. Kesalahan tersangka/terdakwa berdasarkan pendapat pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri adalah yang menurut pendapat

13

(50)

Penuntut Umum memenuhi syarat. Hal ini berarti bahwa menurut pendapat Penuntut Umum, perbuatan/delik yang didakwakan kepada terdakwa telah didukung oleh alat bukti yang cukup.

Secara logika, karena Penuntut Umum yang mendakwakan maka Penuntut Umum harus dapat membuktikan perbuatan terdakwa yang didakwakannya, tetapi secara kenyataan karena alat bukti sah yang tercantum pada berkas perkara bukan ia yang mempersiapkan (dipersiapakan penyidik) maka jika pada pemeriksaan di persidangan ada perubahan tentang nilai pembuktian adalah hal yang tidak wajar jika dipertanggung jwabkan kepadanya.

Pasal 66 KUHAP menyatakan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajban pembuktian. Demikian juga dengan Penuntut Umum, menurut Pasal 129 KUHAP, setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

Pasal 183 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

(51)

berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP).

Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledoi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.

Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Berdasarkan kedua rumusan Pasal 139 dan Pasal 138 Ayat (2) KUHAP maka dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh penyidik yang berusaha maksimal mengumpulkan alat bukti sah yang selanjutnya diteliti oleh Penuntut Umum yang akan menentukan kelanjutan proses perkara tersebut apakah ditutup demi kepentingan hukum atau dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau dilakukan sendiri pada pemeriksaan tambahan.

Ruang Lingkup Pembuktian : 1. Sistem pembuktian 2. Jenis alat bukti

(52)

4. Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti

Secara Teoritis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu sebagai berikut:

1. Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie)

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah.

2. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime)

(53)

3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.

Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)

Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

(54)

Di dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap.

Hal ini, sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan minimal ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Pasal 184 ayat (1) KUHAP memperinci alat-alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standard Beyond a reasonable doubt (patokan penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

(55)

D. Tindak Pidana Kesaksian Palsu dan Sanksi Pidana

1. Pengertian Kesaksian Palsu

Kesaksian atau keterangan palsu di pengadilan, saksi diduga telah menyampaikan keterangan secara tidak pantas, tidak sewajarnya dan, atau tidak masuk akal sehat, yang dapat dikategorikan sebagai kesaksian palsu. Hampir seluruh pertanyaaan majelis hakim, jaksa maupun pengacara dan, atau terdakwa yang ditujukan kepada saksi dijawab dengan serba "tidak." Yakni, "tidak tahu", "tidak ingat alias lupa", "tidak ada", "tidak kenal", "tidak pernah", "tidak mengerti", "tidak menerima uang" dan berbagai kata "tidak" lainnya.

Saksi dan kesaksian, dalam hukum pidana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (Bahasa Belanda) dan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang, Hukum Acara Pidana dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan pidana ini (materidanacara) merupakan hukum positif di Indonesia, atau hukum/ketentuan yang berlaku saat ini.

(56)

tahun. Pada ayat (2) disebutkan, "Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberikan dalam perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau si tersangka, tersalah itu dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Sedangkan pada ayat (3) ditambahkan, "Yang disamakan dengan sumpah, yaitu perjanjian atau pengakuan, yang menurut UU umum, menjadi ganti sumpah". Agar seorang saksi yang memberikan keterangan palsu dapat dihukum, unsur yang harus dipenuhi adalah, keterangan itu harus di atas sumpah. Keterangan itu diwajibkan menurut UU atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh pemberi keterangan.

2. Sumpah Palsu (Meineed)

Sumpah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya, kemudian perkataannya itu di kaitkan dengan pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu, untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalai pernyataan itu tidak benar. Sedangkan palsu, yaitu ucapan atau keterangan seorang saksi ahli di bawah sumpah yang diikrarkan di persidangan yang memuat keterangan tidak benar.

(57)

peristiwa-peristiwa. Keterangan itu harus diberikan diatas sumpah, pengambilan sumpah mana dilakukan sebelum keterangan itu diberikan untuk menegaskannya.

Antara sumpah atau janji dan pelanggarannya terdapat jangka waktu, pelanggaran terjadi setelah pemberian keterangan palsu. Selanjutnya keterangan itu harus palsu, tidak benar atau bertentangan dengan nilai kebenaran. Keterangan itu sudah bersifat palsu, apabila keterangan itu memuat kekurangan dalam kebenaran.

Kekurangan dalam kebenaran dapat bersifat positif atau negatif. Bersifat positif apabila keterangan yang diberikan itu bertentangan dengan kebenaran atau tidak benar, sedangkan bersifat negatif, apabila kebeanaran atas sesuatu hal disembunyikan.

Keterangan palsu bahwa keterangannya harus bohong atau tidak benar. Untuk sumpah palsu cukup bahwa sebagian dari keterangannya tidak benar, jadi tidak perlu semua ketrangannya itu bohong. Menurut Simons-Pompe, apabila dengan memberitahukan sesuatu, maka hal yang lebih dulu telah diberitahukan menjadi tidak benar, hal ini merupakan sumpah palsu. Dengan adanya unsur kesengajaan dalam hal ini berarti bahwa si pemberi keterangan harus tahu bahwa keterangannya tidak benar.

3. Keterangan Di Bawah Sumpah

(58)

memohon kesaksian Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di dalam pengadilan.

Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-masing. Keterangan dengan tulisan berarti bahwa seseorang menulis keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah dari suatu pemeriksaan dalam menyidik perkara pidana. Sedangkan keterangan di bawah sumpah diberikan oleh seorang wakil, maka wakil itu harus diberi kuasa khusus, artinya dalam surat kuasa harus disebutkan dengan jelas isi keterangan yang akan diucapkan oleh wakil itu.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence

keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.

Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut :

1. Harus mengucapkan sumpah atau janji

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan: “wajib mengucapkan”

sumpah atau janji.

2. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing 3. Lafal sumpah atau janji

Referensi

Dokumen terkait

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 mengenai hak-hak yang berkaitan dengan saksi korban. 2) Kitab Undang-Undanng Hukum Pidana.. 3)

Dengan demikian berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan yang terdiri dari : pertimbangan fakta (meliputi : keterangan saksi-saksi, keterangan

Saksi merupakan alat bukti pertama dalam Kitab undang-undang hukum acara pidana. penyusunan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran dan fungsi saksi dalam sistem

Satu-satunya saksi yang memenuhi kriteria seseorang disebut sebagai saksi dalam pasal 1 angka 26 kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), adalah “orang yang

Dimana hakim dalam menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa didasari oleh pertimbangan yuridis yang didasarkan pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP, bahwa keterangan saksi yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Proses pembuktian pada prinsipnya menganut adanya keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, akan

Tujuan penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis kewajiban jaksa penuntut umum dalam menghadirkan saksi di persidangan berdasarkan hukum acara pidana berikut

Keterangan saksi yang dinilai sebagai alat bukti Keterangan saksi yang mempunyai ni- lai pembuktian adalah keterangan yang di- tegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hu- kum Acara Pidana