I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dengan mengatas
namakan budaya, tradisi, adat, agama, dan apapun dalam masyarakat dunia yang dilihat banyak
pihak sebagai hambatan untuk menciptakan keadilan dan demokrasi. Masalah ini kemudian
memperoleh perhatian global dan menjadi agenda PBB untuk menghapuskan kekerasan terhadap
perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination Discrimination
Against Women). Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan
memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Hal ini merupakan suatu tindakan
nyata Pemerintah dalam mengutuk segala bentuk diskriminasi wanita dan komitmen untuk
melaksanakan berbagai dalam kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita1
Selain itu dalam Konvensi PBB pada bulan Desember 1993 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan dideklarasikan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan
ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang
telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki.
Salah satu bentuk diskriminasi terhadap wanita adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau
KDRT2
1
Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah Analisis Kritis. Yayasan Obor. Jakarta.2007. hlm.3
2
Upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga (PKDRT). Perlindungan
hukum dalam konteks Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai
jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, menindak pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan melindungi Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.3
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan /atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
meliputi:
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).
3
c. Kekerasan Seksual, meliputi:
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
(Pasal 8)
d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).
Sesuai dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga. Perilaku kekerasan dalam rumah tangga adalah cerminan dari ketidak berhargaan
perempuan di mata suaminya dan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan yang
harus dijamin hak-hak asasinya. Padahal secara ideal Posisi istri dalam kehidupan rumah tangga
harus diberdayakan. Salah satu hal yang menyebabkan perempuan tidak berdaya adalah karena ia
tidak dapat mandiri terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah
tangga. Ketidak mandirian ekonomi ini pada dasarnya bukan merupakan kesalahan perempuan
karena pada aturan perkawinan, tanggung jawab ekonomi menjadi kewajiban suami dan
sekaligus menjadi hak istri untuk mendapatkannya karena istri menjalankan fungsi reproduksi.
Istri menjadi sangat tergantung pada suami secara ekonomi. Ketergantungan inilah yang
menyebabkan seringkali istri tidak berani memperingatkan suaminya yang berbuat salah.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai hak
karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau
dirampas oleh siapapun. Oleh kerana itu pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia sendiri diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap manusia di
anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya
kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan
mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan
nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan
untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
didefinisikan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dinyatakan:
“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun “.
Secara empiris, potensi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga amat mungkin
atau anggota keluarga lain. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi ketika laki-laki
memahami perempuan cuma sebagai pelengkap dari laki-laki dalam ruang domestik dengan
fungsi melayani suami. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran di masyarakat. Pemahaman
ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan.
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, bentuk-bentuk KDRT meliputi
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Sedangkan
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku penganiayaan dalam rumah tangga
bisa dijatuhi hukuman penjara atau denda. Pasal 351 KUHP mengatur penganiayaan secara
umum, Pasal 352 KUHP mengatur penganiayaan ringan, Pasal 353 KUHP penganiayaan
terencana, Pasal 354 KUHP penganiayaan berat, Pasal 355 KUHP penganiayaan berat terencana.
Menurut pasal-pasal ini, pidana untuk pelaku penganiayaan berkisar antara 8 bulan sampai 15
Tahun. Pasal 356 KUHP secara khusus menyebutkan bahwa kalau korban penganiyaan adalah
ibu, bapak, istri, atau anak sipelaku, hukumannya ditambah dengan sepertiga dari yang
disebutkan pasal-pasal tersebut.
Kekerasan terhadap perempuan paling tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal
dan internal. Secara eksternal, masih adanya pola pikir lingkungan terhadap sosok perempuan
telah dibangun secara sosial maupun kultural. Perempuan dianggap lemah lembut, cantik dan
emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan jantan. Ciri-ciri yang dimiliki oleh
seseorang tidak harus sesuai dengan stereotype yang ada di masyarakat. Seorang perempuan
dapat memiliki sifat kuat dan rasional, sedangkan laki-laki dapat memiliki sifat emosional dan
dirinya, contohnya kasus perkosaan yang disebabkan perempuan yang memakai pakaian yang
memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya seperti pusar, dada, paha dan punggung.4
Permasalahan yang menyebabkan kasus KDRT sering kali tidak terangkat ke permukaan yaitu
adanya persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini menganggap masalah KDRT
sebagai urusan pribadi dan karenanya pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak
hukum atau polisi) tidak boleh ikut campur di dalamnya. Selain itu Kebanyakan korban tidak
bisa bicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Ini bisa dimengerti
karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat
sekitarnya. Para tetangga atau saksi lainnya biasanya tidak serta merta membantu korban.
Korbanlah yang banyak menanggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan,
mencari perlindungan diri atau menanggung aib5
Penyelesaian kasus KDRT selama ini berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, sebagian besar
korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa
kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah
KDRT adalah urusan suami istri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka
berdua, juga turut memperlambat proses perlindungan terhadap perempuan.
Masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti keluarga, masyarakat,
maupun pemerintah dianggap tidak lazim.Salah satu contoh kasus tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga adalah Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang. Terdakwa bernama Aries Kurniawan SH, MH Bin Abdul Djalil terbukti secara
4
PurniantiMenyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Mitra Perempuan, Jakarta. 2006. hlm.11 5
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik
dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita.
Permasalahan yang terdapat dalam putusan tersebut adalah pelaku tindak pidana KDRT
seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat (1),
yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah). Pada kenyataannya terdakwa hanya dihukum selama tiga bulan lima belas
hari. Sesuai dengan hal tersebut maka terdapat kesenjangan antara aturan hukum dengan
pelaksnaannya di lapangan.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka
menyusun skripsi yang berjudul: Analisis Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap
Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup P enelitian 1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan
Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK sudah sesuai dengan tujuan
pemidanaan terhadap pelaku KDRT?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada pertanggungjawaban pidana
pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung
Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana pada putusan tersebut. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Kelas
IA Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2012.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi
positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga pada masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum.
Kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) atau kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya6
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
6
masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan
keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa
bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana
tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki.
Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus
memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya7
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.8
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
7
Ibid. hlm. 23 8
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan
bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
dalam undang-undang.9
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan
atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika
tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu
dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah
diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai
kesalahan10
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan
dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat
dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk
memenuhi teori pembuktian, yaitu adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan
bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang
lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184
KUHAP).
9
Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49
10
Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.
11
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan
penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam
penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai
berikut:
a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan
bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
dalam undang-undang.12
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan
11
Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77
12
tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum,
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13
c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau
melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus
diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum14
d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
E. Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan
dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual
serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
13 Ibid
. hlm. 53
14
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan
penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari
pengertian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, pertanggungjawaban pidana dan
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber
Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta
Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian,
terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor
383/Pid.B/2012 PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian
serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari
segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan
orang tersebut.1
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “ strafbaar feit “ untuk menyebutkan “
tindak pidana “ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan “feit”dalam Bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat
dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “
sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar
feit” ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan.2
1
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 20
2
Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan
terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku
adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.3
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat ( perbuatan )
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.4
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak
pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi
pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam PerUndang-Undangan secara keseluruhan.
3
P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996 hlm. 16.
4Ibid
b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).
Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi dua macam :
1) Tindak Pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.
2) Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.5
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana
materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan
tindak pidana pasif.
B. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Yang Mengatur
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
5
Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyatakan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga
yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam
lingkup rumah tangga. Undang-undang yang mengatur KDRT adalah Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat tergantung jika kualitas dan pengendalian diri tidak
dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Pengertian rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah atau
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan mengurus kebutuhan sehari-hari
bersama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan6
Rumah tangga dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama di satu tempat
kediaman. Rumah Tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasi pada tugas, unit ini lebih
besar dari individu tetapi lebih kecil dari pada ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah
tangga ada sejumlah aturan-aturan dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya.
Anggota suatu rumah tangga bisa terdiri dari satu atau beberapa keluarga (family) atau juga
keluarga dengan orang lain selama mereka hidup bersama, jadi jelas bahwa rumah tangga
berbeda dengan keluarga.7
6
Rika Saraswati.Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2005.hlm 56
7
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan:
a. Lingkup rumah tangga meliputi: a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempuyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. b. Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Dalam Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh
DPR-RI, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah:
a. Pasangan atau mantan pasangan di dalam maupun diluar perkawinan
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, adopsi dan hubungan adat dan atau agama.
c. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang menetap atau tidak disebuah rumah tangga.
d. Orang yang masih tinggal dan atau pernah tinggal bersama.
Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup rumah tangga terdiri dari suami,
istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pangasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan memetap dalam rumah tangga tersebut.
Setiap Warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sesuai
oleh negara mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Mnurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah:
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan pelanggaran
Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus dihapus, oleh karena itu diperlukan adanya sistem hukum yang dapat menjamin
perlindungan hukum terhadap korban dari kekerasan dalam rumah tangga.
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5
Undang-Undang Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, meliputi:
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).
c. Kekerasan Seksual, meliputi:
(2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
(Pasal 8)
d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).
C. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan
pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan
harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,
namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban
pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah
kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) atau kesesatan mengenai
hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak
dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya8
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan
keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa
bersalah pada terpidana.
8
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
(1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
(2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.9
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana
tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau
hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP)10
Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya,
sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi,
9
Ibid.hlm. 49
10
sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 KUHAP,
maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.11
Menurut Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini
mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut.
Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara
fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi
peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan
tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk
melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si
pelaku untuk melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
11Ibid
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan
berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau
uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi
putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah
melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari
masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit,
ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan
bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku
berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara
berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga
untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan
rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu
perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku
dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.12
12
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk
memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian
ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh
kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada
atau studi kasus1.
B. Sumber dan Jenis Data
Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian
yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari
lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi
data primer dan data sekunder2.
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:
a. Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
1
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.14
2Ibid
2
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
g. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
h. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012
PN.TK
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum
yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami
permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.
3
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu
dan ditetapkan untuk diteliti.3 Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Jaksa pada Kejaksaaan Negeri Bandar
Lampung dan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari
populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian4. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih
berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas
maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Jaksa pada Kejaksanaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang
2). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang +
Jumlah = 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library
research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta
melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk
mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
3Ibid
. hlm.82
4Ibid
4
2. Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data
lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah
permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi Data
Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
b. Klasifikasi Data
Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam
rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk
kepentingan penelitian.
c. Penyusunan Data
Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang
bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan
untuk mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan
secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian
kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik
ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)
(Skripsi)
Oleh
FERY WIRAWANSYAH
0912011324
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)
Oleh
FERY WIRAWANSYAH
Pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi pada kenyataannya pelaku hanya dihukum ringan sehingga terjadi kesenjangan antara aturan hukum dengan pelaksnaannya di lapangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap pelaku KDRT.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif.
Fery Wirawansyah
Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sebagaimana diatur. Pasal 183 KUHAP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana selama tiga bulan lima belas hari adalah: (a) Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya (b) Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum hendaknya terus meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upaya perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan terjadi KDRT pada masyarakat. (2) Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah pandangan bahwa KDRT adalah masalah intern keluarga, sehingga tidak diupayakan adanya penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan dianut maka kejahatan KDRT akan sulit untuk dihapuskan.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teori dan Konseptual... 9
E. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 17
B. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Yang Mengatur ... 20
C. Pertanggungjawaban Pidana ... 23
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 25
BAB III METODE PENELITIAN... 28
A. Pendekatan Masalah... 28
B. Sumber dan Jenis Data ... 28
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30
E. Analisis Data ... 31
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32
A. Karakteristik Responden ... 32
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor
383/Pid.B/2012 PN.TK ... 53
V PENUTUP... 62
A. Simpulan ... 62
B. Saran... 63
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001.
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996
Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.
PurniantiMenyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Mitra Perempuan, Jakarta. 2006.
Rahardjo, Satjipto.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998.
Saraswati, Rika.Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2005.
Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983.
Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah Analisis Kritis.Yayasan Obor. Jakarta.2007.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang
Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku
tindak pidana KDRT yaitu Aries Kurniawan Bin Abdul Djalil terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus
Laila Yusmanita. Terdakwa dihukum selama tiga bulan lima belas hari sebagai
bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan
ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK
mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat
33
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana
diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa
atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.
Selain itu didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
a. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah
mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum
terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya,
saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak
mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa
bersalah dan tidak menyesali perbuatannya
b. Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan
di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak
pidana.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aparat penegak hukum hendaknya terus meningkatkan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upaya
perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan terjadi
KDRT pada masyarakat.
2. Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah pandangan bahwa KDRT
34
penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan