• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL )"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL )

Oleh

Anggun Zeltia Fitri

Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat, berakibat merugikan orang lain atau para pihak yang bersangkutan. Contoh seperti yang dilakukan oleh Hermansyah KS yang telah mengklaim tanah milik PT Umas Jaya Agrotama seluas 498 Hektar di Kampung Gunung Katun Tanjungan Kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten Tulang Bawang Barat, dasar Hermansyah KS mengklaim tanah tersebut dengan menggunakan 3 (tiga) lembar surat keterangan izin pembukaan hutan tempat berladang tertanggal 13 Mei tahun 1975, 1 lembar surat keterangan ijin pembukaan hutan berladang tertanggal 07 Juni tahun 1977, 1 lembar surat keterangan ijin pembukaan hutan berladang tertanggal 19 Mei tahun 1979, tersebut terdapat kejanggalan-kejanggalan terutama pada tanda tangan Kepala Kampung gunung Katun Tanjungan yang bernama Kepala Mega yang tidak sesuai dengan aslinya serta cap stempel yang digunakan tidak sesuai dengan cap stempel yang digunakan oleh Kampung Gunung katun Tanjungan pada tahun 1975, tahun 1977 dan tahun1979 sebagaimana telah ditunjukan dengan Putusan Perkara Pidana Nomor 199/Pid.B/2011/PN.Mgl. yang menyatakan Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu bersalah berdasar Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan permasalahan Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam perkara No.199/Pid.B/2011/PN.Mgl di Pengadilan Negeri Menggala dan Apakah dasar pertimbangan hakim dalam perkara No.199/Pid.B/2011/Mgl di Pengadilan Negeri Menggala.

(2)

Anggun Zeltia Fitri

melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa (1) Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/Pid.b/2011/PN.MGL memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana yaitu para terdakwa mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab, para terdakwa mempunyai unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan perbuatan para terdakwa merupakan perbuatannya tidak menghapus pidana. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/Pid.b/2011/PN.MGL. Yaitu hakim akan mempertimbangkan fakta yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim bersifat yuridis adalah alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa, dan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan terdapat dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.

(3)

A. Latar Belakang

Dewasa ini tindak kejahatan tidak hanya terjadi pada kasus-kasus pembunuhan,

pemerkosaan, perampokan dan pembataian sekeluarga yang melibatkan antara manusia dengan manusia lainnya sebagai korban, adapun kejahatan lainnya adalah terhadap harta benda yang dilakukan dengan cara-cara penipuan, pemalsuan,

penggelapan, penyelundupan dan sejenisnya yang, tentunya melibatkan manusia sebagai pelaku dan dokumen-dokumen atau surat-surat sebagai sarana atau cara

yang dipergunakan dalam melakukan suatu perbuatan tindak pidana.

Dokumen adalah surat-surat atau benda-benda yang berharga, termasuk rekaman

yang dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk mendukung keterangan supaya lebih meyakinkan. Dokumentasi adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, menyusun,

menyelidiki, meneliti dan mengolah serta memelihara dan menyiapkan dokumen baru sehingga lebih bermanfaat. Dari definisi ini terlihat bahwa dokumen itu lebih luas daripada surat. Surat hanya sebagian kecil dari dokumen.

Dalam bidang administrasi perkantoran, sebagian besar dokumennya memang berupa surat <http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/akta-otentik/> diakses 15

(4)

2

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagian dari masyarakat kurang

menyadari pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para pihak cukup dilakukan dengan rasa saling percaya dan dibuat secara

lisan, tetapi ada pula sebagian masyarakat yang lebih memahami pentingnya membuat suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan-kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk tulisan, yang nantinya akan dapat digunakan sebagai

alat bukti yang diperlukan apabila lain hari muncul sengketa / konflik.

Masyarakat sebenarnya sudah mulai menyadari dan membuatnya dalam bentuk yang tertulis dari suatu peristiwa penting dengan mencatatnya pada suatu surat

(dokumen) dan ditandatangani oleh orang-orang yang berkepentingan dengan disaksikan dua orang saksi atau lebih. Tetapi, dewasa ini ada cara-cara illegal

yang sekarang banyak di temukan yaitu penipuan, pemalsuan, penggelapan, penyelundupan dan sejenisnya yang, tentunya melibatkan manusia sebagai pelaku dan dokumen-dokumen atau surat-surat sebagai sarana atau cara yang

dipergunakan dalam melakukan suatu perbuatan tindak pidana.

Suatu akta otentik sangat dibutuhkan agar dokumen itu tidak dapat di palsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang di tulis dalam akta tersebut harus

dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang

(5)

Pentingnya surat atau akta otentik yaitu sebagai alat bukti yang sempurna tentang

apa yang dimuat didalamnya, bukti yang sempurna mengenai kepastian tanggal, kepastian penandatanganan dan kepastian isi akta yang dikehendaki oleh para

pihak. Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk

itu dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Akta ini meliputi akta otentik dibidang hukum publik dan yang

membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara (TUN), contohnya adalah KTP, SIM, IMB, paspor. Contoh akta – akta tersebut dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga yang dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, berita acara sidang, akta banding atau kasasi.

Akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta hibah. Sedangkan, dimaksud dengan akta di

bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya antara para pihak yang

berkepentingan saja.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk

lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu

(6)

4

bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian

dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat

bukti dikemudian hari <http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/akta-otentik/> diakses 15 januari 2012.

Akta Otentik sebagai alat bukti yang sempurna. Pembuktian dalam hukum acara

mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa

tertentu <http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/akta-otentik/> diakses 15 januari 2012.

Pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR

ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk

membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Artinya dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia

(7)

Menurut Pasal 164 HIR alat-alat bukti terdiri dari :

Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat

bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh Undang-Undang,

salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.

Akta otentik memberikan para pihak termasuk ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari pihak itu tentang suatu bukti yang sempurna apa yang

diperbuat / dinyatakan di dalam akta ini dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan

bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu <http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/akta-otentik/> diakses 15 januari 2012.

Para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta memberikan

keterangan-keterangan yang tidak benar dan menyerahkan surat-surat/dokumen yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituang kedalam akta lahirlah sebuah akta yang

mengandung keterangan palsu. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pelaku tindak pidana pemalsuan surat. Tindak pidana mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau

(8)

6

adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Tindak

pidana pemalsuan surat ini terdapat pada Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-Undang-Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)

Pada keterangan tersebut terdapat perkara yang sama yaitu tentang perbuatan memalsukan keterangan palsu mengenai akta tanah yang dokumennya telah

dipalsukan oleh terdakwa Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu yang telah menggunakan 3 (tiga) lembar surat keterangan izin pembukaan hutan tempat

berladang yang tidak dapat dipastikan tanggal dan bulannya di antara tahun 2009 sampai dengan 2010, bertempat di Kampung Gunung Katun Tanjungan dan Kampung Gunung Katun Malai Kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten

Tulang Bawang Barat, Terdakwa telah membuat 1 (satu) lembar surat Keterangan Izin Pembukaan Hutan Tempat Berladang tertanggal 13 Mei 1975, 1 (satu) lembar

Surat Keterangan Izin Pembukaan Hutan Tempat Berladang tertanggal 7 Juni 1977, dan 1 (satu) lembar Surat Keterangan Izin Pembukaan Hutan Tempat Berladang tertanggal 19 Mei 1979 yang seolah-olah surat-surat tersebut benar

dibuat oleh Kepala Kampung Gunung Katun Tanjungan yang bernama Kepala Mega, ditandatangani oleh Radja Pukuk dan dicap stempel Kecamatan Tulang

Bawang Udik, dengan berbekal surat-surat yang telah dibuatnya, kemudian terdakwa menguasai tanah seluas 498 hektar yang berada di Kampung Gunung Katun Tanjungan dan Kampung Gunung Katun Malai kecamatan Tulang Bawang

(9)

akhir tahun 2009 terdakwa menyewakan tanah seluas 100 hektar kepada sdr. Irfan

dengan harga Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) perhektar, padahal tanah tersebut adalah milik PT. Umas Jaya Agrotama yang telah diberikan izin

lokasi tanah oleh Pemerintah Negara Republik indonesia. (Resume kutipan perkara No/199/Pid.B/2011/PN.Mgl hal 5).

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa menggunakan surat palsu dapat

membahayakan orang lain dan merugikan PT Umas Jaya Agrotama dan ditunjukan dengan Putusan Perkara Pidana No 199/PID.B/2011/PN.Mgl

menyatakan Hermansyah KS telah melanggar Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal-pasal yang terdapat di Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara ini. (Resume kutipan perkara No/199/Pid.B/2011/PN.Mgl hal 1).

Akibat dari perbuatan menggunakan surat palsu yang dilakukan terdakwa tersebut, maka dalam Putusan Perkara Pidana No 199/PID.B/2011/PN.Mgl menyatakan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah dengan pidana penjara 1 tahun 3

bulan. (Resume kutipan perkara No/199/Pid.B/2011/PN.Mgl hal 39).

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas mendorong penulis untuk mengadakan

(10)

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi

permasalahan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor

199/PID.B/2011/PN.Mgl ?

2. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam menentukan perbuatan pemalsuan

surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.Mgl ?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini ialah substansi penelitian, agar pembahasan tentang penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti membatasi penelitian

pembahasan terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana terhadap perbuatan pemalsuan surat, yang masih lingkup kajian hukum pidana.

Objek penelitian, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor: 199/Pid.B/2011/PN.Mgl. Tahun penelitian, dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2012. Lokasi penelitian, dilakukan di Pengadilan Negeri Menggala, Kejaksaan

(11)

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.Mgl.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menentukan perbuatan pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis

Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Perkara No. 199/Pid.B/2011/PN.Mgl Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Surat di Pengadilan Negeri Menggala.

b. Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan maupun sebagai sumber informasi bagi para pengkaji ilmu hukum khususnya, serta kepada

masyarakat pada umumnya serta dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi para pihak yang ingin mengetahui dan memahami tentang tindak pidana

(12)

10

C. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka-kerangka yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang sangat

relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang

telah melakukan tindak pidana. Menurut Tolib Setiady (2010 : 145 ) menjelaskan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak

melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Orang yang telah melakukan perbuatan pidana kemudian juga akan dipidana, tergantung pada soal,

apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut pada dasarnya mempunyai kesalahan, pasti akan dipidana. Tetapi, jika seseorang tidak

mempunyai kesalahan walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela, tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tiada dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat (liability based on fault) dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur

(13)

penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur

mental dalam tindak pidana. Sehubungan dengan hal itu, untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan

syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan

dengan kesalahan. Dipindahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan

sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu

pengkajian lebih lanjut.

Pertanggungjawaban pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu,

pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi

sesungguhnya penerapan dari teori terdapat dalam putusan pengadilan.

(14)

12

Salah satu yang harus diperhatikan adalah:

1. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu;

2. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Dua hal tersebut yang harus diperhatikan, dimana diantaranya keduanya terjalin erat satu dengan lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi faktor akal

dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikenadaki oleh

hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan

dan mana yang tidak.

Doktrin atau asas mens-rea ini penulis gunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini karena sesuai dengan doktrin atau asas pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh Pasal 263 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum

(15)

sautu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut

dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan Remy Sjahdeni, 2007:33).

Hakim dalam menjatuhkan pidana banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan

pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang.

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim harus bertanya kepada diri sendiri, jujurlah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya

itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang Hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi para masyarakat pada umumnya.

Pada bukunya, Ahmad Rifai ( 2011 :105 ) menuliskan bahwa menurut Mackenzie ada beberapa teori pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim dalam

mempetimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Keseimbangan

Adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.

2. Teori Pendekatan Seni dan instuisi

(16)

14

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan

putusan terdahulu dalam rangka menjmin konsistensi dari putusan hakim. 4. Teori Pendekatan Pengalaman

Adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara

sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan terdahulu dalam rangka menjmin konsistensi dari putusan hakim.

5. TeoriRatio Decidendi

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.

6. Teori Kebijaksanaan.

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.Adanya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka kebebasan hakim semakin besar, dimana hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya

(17)

Hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya, tetapi Hakim juga dapat

menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagai keputusan.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari ari-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

Pada penelitian ini akan dijelaskan pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam

penelitian, sehingga mempunyai batasan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian.

Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam skripsi ini adalah : 1. Analisis

Merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahaan

bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar

Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, 2008 : 58 ). 2. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung

(18)

16

3. Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana adalah (1) Pelaku utama atau disebut orang yang melakukan; (2) Pelaku yang menyuruh melakukan; (3) Pelaku yang turut

melakukan; (4) Pelaku yang sengaja membujuk melakukan; (5) Pelaku yang membantu melakukan (Pasal 55 KUHP).

4. Pemalsuan surat

Pasal 263 Ayat (1) dirumuskan sebagai membuat surat palsu, atau memalsukan surat yanng dapat menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan

atau suatu pembebasan dari hutang atau surat-surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian dengan tujuan dan maksud untuk memakai surat itu asli dan tidak dipalsu dan pemakaian itu dapat mengakibatkan suatu

kerugian ( Wirjono Pradjodikoro, 2008 : 187).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluran. Sistematika penulisannya

sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam bab ini lebih bersifat teoritis

yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan dalam prakteknya.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang hasil pembahasan dan hasil penelitian di lapangan terhadap permasalahan dalam penulisan ini yang akan menjelaskan

bagaimana analisis yuridis tentang perbuatan memalsukan keterangan ke dalam akta otentik

V. PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah

melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar dari pada dipidananya si pembuat. Walaupun azas ini tidak secara tegas tercantum

dalam KUHP maupun peraturan lainnya, namun berlakunya azas ini sudah tidak diragukan lagi.

Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana itu sendiri, yang semula

menitikberatkan pada perbuatan (Daadstrafrecht) kemudian berkembang ke arah hukum pidana yang menitikberatkan pada orang yang melakukan tindak pidana

(Daderstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari daadstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dapat disebut sebagai Dual-daderstrafrecht, yaitu hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya” ( Tri Andrisman, 2009 : 91).

Pada bukunya, Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad (1983 : 40) menuliskan

(21)

non facit reum, nisi mens sit rea. Artinya, bahwa “sesuatu perbuatan tidak dapat

membuat orang menjadi bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat”. Dari

kalimat itu dapat disimpulkan bahwa dalam suatu tindak pidana yang menjadi

suatu permasalahan penting untuk diperhatikan dan dibuktikan adalah:

1. Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari kehendak (actus reus) ;

2. Kondisi jiwa, itikad jahat yang melandasi perbuatan itu (Mens-Rea).

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dalam DoktrinMens-Rea ini adanya unsur subyektif (yang mengacu pada pelaku) adalah mutlak bagi pertanggungjawaban

pidana. Mens-Rea merupakan unsur mental yang bervariasi dalam berbagai jenis tindak pidana (Mustafa abdullah dan Ruben Achmad, 1983 : 40).

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan

bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya

dipandang sekedar unsur dalam tindak pidana.

Hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena

tidak melakukan tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dengan pidana barangsiapa yang

melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas

(22)

20

Seseorang tidak mungkin dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana.

Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana menjurus

kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari

beberapa hal yaitu:

1. Keadaan Jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (idiot, gila, dan sebagainya);

c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotis, amarah yang meluap dan

sebagainya). 2. Kemampuan Jiwanya

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya;

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak;

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan batasan,

(23)

Ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:

1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan;

2. Jiwanya terganggu karena penyakit.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban

harus dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, Untuk

dapat dipidanakan pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.

Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.

Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko

dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan Undang-Undang.

B. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan

Perbuatan pemalsuan masyarakat yang sudah maju dimana surat, uang logam, merk atau tanda tertentu dipergunakan untuk mempermudah lalu lintas hubungan

di dalam masyarakat. Tindak pidana mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau

(24)

22

Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang

tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan si pelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak

dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran atau pemerkosaan terhadap kebenaran tersebut dapat dilakukan dengan cara :

1. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang

diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan

pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaran, hingga tulisan atau surat itu

mempunyai isi tidak benar.

2. Pemalsuan materiil :

a. Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk mata uang, tulisan / huruf

yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan / surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain dari pada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan /

surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar.

b. Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan / surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang

(25)

Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 objek dari tindak

pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang antara lain adalah :

1. Keterangan diatas sumpah;

Perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan intelektuil.

Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu data / tulisan / surat merupakan data / tulisan / surat sendiri yang keseluruhannya asli, tidak

diubah, tetapi pernyataan yang termuat didalamnya adalah tidak asli atau tidak benar. Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam buku II XII, Pasal 263 Ayat (1) dan (2)

Ketentuan Pasal 263 KUHP menyatakan :

(1)Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(26)

24

C. Dasar Pertimbangan Hakim

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim harus bertanya kepada diri sendiri, jujurlah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya

itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para

pihak dalam perkara atau bagi para masyarakat pada umumnya.

Pada bukunya, Ahmad Rifai ( 2011 :105 ) menuliskan bahwa menurut Mackenzie ada beberapa teori pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

mempetimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara. Teori pendekatan tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak

tergugat.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi suatu kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam

perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau Penuntut

(27)

penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan terdahulu dalam rangka menjmin konsistensi dari putusan hakim.

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan yang lain, sehungga putusan yang dijatuhkannya dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan

pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan

(28)

26

5. TeoriRatio Decidendi

Selain itu, dalam teori penjatuhan pidana di atas, dikenal pula suatu teori yang disebut dengn teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari Peraturan Perundang-Undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan putusan, serta petimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan

bagi para pihak yang berperkara. Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan, karena filsafat itu biasanya berkaitan dengan hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat dalam diri

hakim tersebut.

6. Teori Kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini

berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, ikut

bertanggung jawab untuk membimbing, memina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan, yaitu yang pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana,

(29)

rangka membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana anak, dan yang

keempat, sebagai pencegahan umum dan khusus.

Seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila

tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu

berjalan, peranan hakim penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.

Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga

diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: Kekuasaan

Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hal di atas ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang

disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

(30)

28

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pada proses persidangan harus memerhatikan hal-hal

seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman sebagai berikut :

Pasal 3 menentukan:

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib

menjaga kemandirian peradilan,

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 4 menentukan:

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(31)

Pasal 5 menentukan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim.

Pasal 6 menentukan:

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali

undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak seorang pun dapat dijstuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena

alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7 menentukan:

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 8 menentukan:

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan

(32)

30

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 9 menentukan:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 10 menentukan:

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak menuntut usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Undang-Undang memberikan syarat-syarat kepada hakim dalam menjatuhkan

pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah: a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang;

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah (Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP));

c) Adanya keyakinan hakim;

(33)

e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.

Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 angka 1 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa dalam memeriksa dan memutus

perkara, Hakim bertanggung jawab atas penerapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Adanya Undang-Undang No.48 Tahun 2009, maka kebebasan hakim semakin besar, dimana hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus atau straf modalitet), juga mempunyai

kebebasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain hakim tidak hanya

(34)

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan

menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas

hukum, konsepsi-konsepsi, doktrin-doktrin hukum, dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan perbuatan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor

199/PID.B/2011/PN.MGL. Adapun pedekatan yuridis empiris digunakan dalam penelitian lapangan yang ditujukan pada penerapan hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka

(35)

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukannya wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara

membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP).

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

(3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder

Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan

(36)

✁ ✂

Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Putusan Pengadilan Negeri Menggala nomor 199/PID.B./2011/PN. MGL .

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari literartur,

berita dan keterangan media massa sebagai pelengkap (Soerjono Soekanto, 1986:52).

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit anilisis data, yang ciri-cirinya akan diduga. (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1989: 152).

Dalam penulisan skripsi ini yang dijadikan populasi penelitian adalah Jaksa dari Kejaksaan Negeri Menggala, Hakim dari Pengadilan Negeri Menggala, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk menentukan sample dan

(37)

Dalam hal ini penulis memilih petugas yang benar-benar memiliki kualifikasi

dalam pelaksanaan tugasnya sehingga yang akan dijadikan sampel dapat menjamin penelitian.

Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Menggala : 1 orang

2. Hakim Pengadilan Negeri Menggala : 2 orang 3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

: 4 orang

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan data

dengan membaca, memahami, dan mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan,

(38)

✆6

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan metode wawancara (interview) secara langsung dengan

narasumber/responden sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan daftar pertanyaan secara tertulis.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul baik data yang diperoleh dari studi pustaka maupun studi

lapangan, data-data tersebut kemudian diolah dengan cara: a. Editing

yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data

yang diperoleh itu telah relevan dan sesuai dengan bahasa. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang

lengkap akan diadakan penambahan. b. Klasifikasi data

adalah mengelompokkan data menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data

adalah penyusunan data secara sistematis yaitu sesuai dengan pokok bahasan

(39)

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini mengunakan analisis kualitatif, artinya

menguraikan data yang telah diolah secara rinci ke dalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis yuridis empiris, yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif dan

analisis komparatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir

(40)

68

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam

Putusan Pengadilan Negeri Menggala 199/Pid.B/2011/PN.MGL dengan terdakwa Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu, dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan denda sebesar Rp 2.000

(dua ribu rupiah) telah terpenuhi sesuai Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Memenuhi unsur-unsur kesalahan :

a. Mempunyai kemampuan bertanggungjawab yang disini terdakwa Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu mempunyai kemampuan bertanggungjawab.

b. Mempunyai unsur kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu.

(41)

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara

pemalsuan surat sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor 199/Pid.B/2011/PN.MGL bersifat yuridis yang tercantum

dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana ( KUHAP ) dan Pasal 184 Ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai minimal 2 ( dua ) alat bukti yaitu berupa :

1. keterangan saksi-saksi yaitu: Saksi Gajah Mada dan saksi Supardi selaku yang membenarkan bahwa terdakwa menggunakan keterangan palsu.

2. keterangan ahli yaitu: Muhammad Fuad selaku staf ahli bahasa dari Universitas Lampung

3. keterangan terdakwa yaitu: Hermansyah KS bin Kiay Sang Ratu.

Serta pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah:

a. hal yang memberatkan yaitu: Perbuatan terdakwa dapat membahayakan

orang lain dan merugikan PT Umas Jaya Agrotama. b. hal yang meringankan yaitu:

1. Terdakwa mengakui sepenuhnya dan menyesali semua perbuatannya

tersebut ;

2. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga anak dan istri ;

(42)

✟0

B. Saran

1. Pertanggungjawaban pidana dengan memberikan sanksi terhadap pelaku

tindak pidana pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (2) dinilai tidak memberikan efek jera karena tidak memberikan batas pidana minimal dan denda minimal atas perbuatan yang dilakukan pelaku yang telah

melakukan tindak pidana pemalsuan, akan tetapi kepada orang lain yang takut melakukan tindak pidana menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar

hukum karena sanksi pidananya berat, yang berakibat dapat merugikan orang lain dan diri sendiri, Hendaknya kepada setiap orang yang ingin membuat surat sepertia akta tanah, akta rumah dan sebagainya harus dengan pihak yang

bertanggung jawab dan aman agar tidak terjadi tindak pidana pemalsuan surat lagi yang telah terjadi pada Putusan perkara No.199/Pid.B/2011/Mgl.

2. Setiap putusan seorang hakim harus menyampaikan dasar-dasar pertimbangan

terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal 14 ayat (2)

(43)

199/PID.B/2011/PN.MGL )

(Skripsi)

Oleh

Anggun Zeltia Fitri

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(44)

ANALISIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor

199/PID.B/2011/PN.MGL )

Oleh

Anggun Zeltia Fitri

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(45)

BANDAR LAMPUNG 2011

RuANG LINGKUP

Adapun ruang lingkup pembahasan skripsi ini, dilihat dari sisi materinya terbatas pada penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah, yang ditinjau dari bberbagai aspek.

Kejahatan

(46)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

1. Permasalahan... 8

2. Ruang lingkup... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian... 9

2. Kegunaan Penelitian... 9

D. Kerangkan Teori dan Konseptual ... . 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Konseptual... 15

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan ... 21

C. Dasar Pertimbangan Hakim ... 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

1. Data Primer... 33

2. Data Sekunder... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 34

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

(47)

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 199/Pid.b/2011/PN.MGL... 40 C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana

pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri

Menggala No. 199/PID.B/2011/PN.Mgl... 45 D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menentukan perbuatan

pemalsuan surat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala

Nomor 199/PID.B/2011/PN.Mgl... 53

V. PENUTUP

A. KESIMPULAN... 68 B. SARAN... 70

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Mustafa dan Achmad Ruben.1983.Intisari Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Andrisman, Tri. 2009.Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universita Lampung. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Masalah Penegakan hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.. Citra Aditya Bakti. Bandung.

___________________, 2010. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. PT Alumni Bandung.

Frank, Noodle. 2009. The Crime of Theories (Teori-Teori Kejahatan). UI Press. Jakarta

Hamzah , Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Huda, Chairul. 2011. DariTiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana

Prenada Media Group.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008.Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Rifai, Ahmad. 2011.Penemuan hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.Sinar Grafika. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1982.Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta

Setiady, Tholib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung.

Sianturi. 1996.Asas-Asas Pidana di Indonesia dan Penerapannya.Alumni Aheam Petehaem. Jakarta.

(49)

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Subekti. 2005.Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Sudarto. 1986.Hukum dan Hukum Pidana. 2007. Alumni. Bandung

Tim Penyusun Kamus Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Partemen Bahasa Edisi keempat. Depatemen Pendidikan Nasional, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

.

Universitas Lampung, 2008.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(50)
(51)
(52)

DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno. 2000.Asas Asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Muhammad, abdul Kadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nyoman, SPJ, 2008.Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008.Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2009.Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis.Genta Publishing. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

_______________ . 2006.Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo. Jakarta. Tongat. 2008.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan.UMM. Malang.

Tim Pustaka Phoenix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi baru. Media Pustaka Phoenix. Jakarta.

Tim penyusun Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998.Kamus Besar bahasa indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Bab 1

Chazawi, Adami. 2005.Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1986.Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidana Dalam Konteks politik Hukum Pidana. Makalah.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

(53)

_______________ . 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo. Jakarta. SPJ, Nyoman. 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM. Malang.

Bab 2

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Universitas Lampung. 2007. Format Penelitian Karya Ilmiah. Penerbit Universitas Lampung.

Bab 3

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Bab 4

(54)

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Analisis Yuridis Tentang

Perbuatan Memalsukan Keterangan Ke Dalam Akta Outentik “ sebagai syarat

untuk menempuh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(55)

Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL )

Nama Mahasiswa :

Anggun Zeltia Fitri

No. Pokok Mahasiswa : 0812011008

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Deni Achmad, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19810315 200801 1 014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(56)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Sekretaris : Deni Achmad, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Hj. Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(57)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Pada tanggal 30 Agustus 1990, anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan

Bapak Lukman Hakim dan Ibu Zubaidah.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Al Azhar 4 diselesikan pada tahun 1996, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Perumnas

Way Halim yang diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 19 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Atas (SMA) YP Unila yang diselesaikan pada tahun 2008, pada tahun

yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Lampung, melalui Penelusuran Kemampuan

Akademik Bakat (PKAB). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah memperoleh bantuan beasiswa dari Penelusuran Prestasi Akademik (PPA) Periode 2009/2010, Periode 2010/2011, dan Periode 2011/2012.

Organisasi yang telah penulis ikuti yaitu, Siswa Pencinta Alam (SISPALA) di

Sekolah Menengah Atas (SMA) YP Unila, dan organisasi Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana (HIMA Pidana) di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada

(58)

MOTTO

Dunia ini ibarat laut tak bertepi, dalam tak berakar.

Belajarlah dengan pesona sebagai perahu, kebenaran sebagai

Kemudinya, takwa sebagai nakhodanya, dan iman sebagai

Pedoman.

Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada akal yang diperintah

dengan ilmu, dan ilmu yang diperintah dengan kebenaran,

kebaikan, dan agama

(59)

Aku dedikasikan buah pikir yang sederhana ini

Penuh Syukur dalam sujud kerendahan hati,

Untuk orang-orang terkasih :

Mama dan Papa tercinta, atas perhatian, curahan kasih sayang yang

tiada henti selama ini, yang selalu menanti dengan doa, kepercayaan

dan harapan serta dukungan baik moril maupun materil sehingga

mengantarkanku meraih gelar sarjana.

Kiay Andi, Ohti Nana, Ses nani, Kak lies, serta Makwo

yang selalu memberikan doa, kepercayaan, perhatian, cinta dan

dorongan untuk menuntaskan asa yang ada.

Sahabat-sahabat terbaikku yang tersayang

yang selama ini selalu menemani, memberikan

dukungan dan do anya untuk keberhasilanku

dan demi kesuksesan bersama-sama, terima kasih atas persahabatan

yang kalian berikan selama ini.

(60)

SANWANCANA

Alhamdulillah Hirobbil alamin,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya maka penulisan skripsi ini akhirnya

dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL) , ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis, menyadari isi yag tersaji dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal

ini semata-mata karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum

(61)

penulis.

4. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang telah memberi saran, dukungan, bimbingan dan keikhlasannya meluangkan waktu untuk memandu penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Hj. Firganefi, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan perhatian, masukan dan saran dalam mengkritisi materi skripsi ini.

6. Ibu Dona Raisa, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H., selaku Narasumber yang telah

meluangkan waktunya dan telah memberikan pendapat serta sarannya kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membekali

ilmu pengetahuan kepada penulis.

9. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakults Hukum Universitas Lampung

yang telah memberikan bantuan selama masa kuliah.

10. Bapak Ojo Sumarna, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Negeri Kelas II Menggala yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan

penelitian di Pengadilan Negeri Kelas II Menggala, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

(62)

tempatnya atas informasi yang berguna bagi penulisan skripsi ini, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

12. Bapak Rustam Gaus, S.H., M.H., selaku Ketua Kejaksaan Negeri Menggala

yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Menggala, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

13. Bapak Sima Simson, S.H.,S.E., selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Menggala yang telah memberikan waktu dan tempatnya atas informasi yang berguna

bagi penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

14. Mama dan Papa tercinta atas doa, kasih sayang, perhatian,

kesabaran, dan dukungannya baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15. Kakak-kakakku

Kiay Andi

,

Ohti Nana

,

Kak Lies

,

dan

Makwo

atas doa, kasih sayang, dan dukungannya yang telah diberikan.

16. Seluruh keluarga besar yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan perhatian, saran, dan dukungan kepada penulis.

17. Sahabat-sahabatku Novi, Devi, Febri, Mitha, Nila, terima kasih atas

kesetiaan, kebersamaan, dukungan, dan persaudaraan yang telah terjalin

selama ini, semoga terus terjalin untuk selamanya,

18. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum ’08 Hartiani Wibowo, Intan KD,

(63)

motivasi tersendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kelemahan dan

kekurangan baik dari segi materi maupun tekhnik penulisannya. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun

demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah segalanya penulis serahkan, semoga Allah SWT berkenan memberikan balasan yang setimpal kepada mereka yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Universitas Lampung juga

bagi pembaca. Amin.

Bandar Lampung, 15 Mei 2012

Penulis,

(64)

Referensi

Dokumen terkait

Softcopy proposal lengkap dalam format PDF ( 1 proposal lengkap dengan maksimum besar file 5 MB ) diunggah oleh pengusul secara mandiri. Dalam proposal lengkap tersebut juga telah

[r]

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti berikut: Bagaimana memprediksi potensi kebangkrutan keuangan

Sesuai dengan pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, maka pada tanggal 5 Mei dilakukan pengundian nomor urut pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala

operasi namun berjalan diatas Dalvik, sebuah virtual machine yang khusus dirancang untuk digunakan pada sistem embedded. Arsitektur sistem terdiri atas 5 layer ,

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual