• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ABSTRAK DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI

MASYARAKAT PANJANG

(Studi Pada Cafe-Cafe di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung)

Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu, masyarakat pada umumnya yang mengutuk keras akan adanya praktikprostitusi seharusnya melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan atau setidaknya dapat mengetahui dan menginformasikan kepada masyarakat dampak yang akan timbul akibat praktik prostitusi. Daerah Panjang adalah daerah pelabuhan yang mana banyak kita jumpai cafe-cafe yang beroperasi pada malam hari, cafe-cafe tersebut menyediakan banyak hiburan bagi para tamu yang datang, oleh karena itu sebagian warga yang tinggal di daerah tersebut mempunyai dampak yang dialami mereka pada kehidupan sehari-hari. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah dampak sosial masyarakat terhadap keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan maka diperoleh kesimpulan yaitu, keterbatasan pergaulan antar masyarakat, masyarakat merasa terganggu dengan adanya cafe-cafe tersebut dikarenakan alunan suara musik yang keras yang berasal dari cafe-cafe tersebut dan anggapan masyarakat luar daerah Panjang bahwasannya tempat mereka adalah tempat prostitusi

(2)

IMPACT EXISTENCE OF PROSTITUTION COMMUNITY PANJANG

(Studies in the cafes in the area of Panjang Bandar Lampung)

Prostitution as a social problem as is seen from the relation of cause and effect and its origin can not be known with certainty, but to brothels mation encountered in everyday life, therefore, the public in general will condemn the practice of prostitution should do actions to stop or at least be aware and inform the public impact that will arise from the practice of prostitution. The length of the harbor area is an area in which we have encountered many cafes that operate at night, these cafes provide plenty of entertainment for the guests who come, therefore most of the people living in the area have experienced their impact on everyday life to-day. The formulation of the problem in this research is the social impact of the existence of the cafes in the area long. Type of research used in this study is a qualitative in-depth interviews. Based on the research and discussion by the author it could be concluded that, the limited interaction between community, community was disturbed by the cafes is due to the strains of loud music coming from the cafe and public perception outside the Long bahwasannya their place is a place of prostitution

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimana pun. Menurut Kartono (1988), pelacuran atau yang sering disebut dengan prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.

Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

(4)

lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.

Banyak budaya yang menyebabkan wanita akhirnya menjadi PSK. Koentjoro (2004) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan di Indramayu, terdapat budaya yang menganggap bekerja sebagai PSK adalah baik dan justru mendapat dorongan orangtua dan keluarga. Bahkan, keluarga menyelenggarakan slametan agar anaknya mendapat banyak pelanggan dan dapat mengirimi uang untuk keluarga di rumah.

Selain itu, masih banyak faktor yang menyebabkan perempuan menjadi PSK. Di antaranya kekerasan seksual seperti perkosaan oleh orang-orang terdekat seperti bapak kandung, paman, atau guru. Faktor lain, penipuan dan pemaksaan dengan berkedok agen penyalur tenaga kerja. Kasus penjualan anak perempuan oleh orang tua sendiri pun juga kerap ditemui.

Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai obyek seks. Karenanya, seringkali penanganan dan pencarian solusinya bersikap parsial dan bias. Tuntutan sebagian masyarakat untuk menghilangkan keberadaan prostitusi di satu sisi sangatlah kencang diutarakan, sementara di sisi lain masyarakat juga tidak siap untuk mencarikan jalan keluar secara praktis bila lokalisasi pelacuran dibubarkan.

(5)

Fenomena pelacuran merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara manusiawi. Keinginan yang timbul ini merupakan akibat dari nafsu biologismanusia yang sederhana. Ketika semua sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka jalan keluar pelacuran dapat dipakai sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem ekonomi tidak akan mampu menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut.

Bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci. Namun, berkembangnya praktek di sekitar kita tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat Indonesia sendiri yang memberikan peluang bagi praktek ini untuk terus berkembang dari masa ke masa.

(6)

Aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya.

Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung.

Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka.

(7)

Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.

Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab hal ini bergantung faktor adat istiadat norma susila dan agama yang menentang segala bentuk pelacuran.

Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.

(8)

dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempat-tempat prostitusi/ hiburan.

Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama dan sosisal sehingga menimbulkan krisisnya moral.

Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis maupun politik.

Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktifitas perkerjaan sebagai WTS.

(9)

melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun terorganisir.

Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan. Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.

(10)

beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.

Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab.

PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka.

Praktek-praktek pelacuran biasanya ditolak oleh masyarakat dengan cara mengutuk keras, serta memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya. Namun demikian ada anggota masyarakat yang bersifat netral dengan sikap acuh dan masa bodoh. Disamping itu ada juga yang menerima dengan baik. Sikap menolak diungkapkan dengan rasa benci, jijik, ngeri, takut dll. Perasaan tersebut timbul karena prostitusi dapat mengakibatkan sebagai berikut. :

(11)

mengakibatkan penderitanya menjadi epilepsi, kelumpuhan, idiot psikotik yang berjangkit dalam diri pelakunya dan juga kepada keturunan.

2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.

3. Memberi pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya remaja dan anak-anak yang menginjak masa puber.

4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan minuman keras dan obat terlarang (narkoba).

5. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.

6. Terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lain yang dilakukan oleh germo, pemeras dan centeng kepada pelacur.

7. Menyebabkan terjadi disfungsi seksual antaralain : impotensi, anorgasme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa dampak keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi :

a. Ketertiban

b. Kehidupan Masyarakat

(12)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi :

a. Ketertiban

b. Kehidupan Masyarakat

2. Untuk menganalisis tanggapan masyarakat dengan adanya keberadaan cafe-cafe di daerah mereka tinggal.

D. Mamfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis ingin menemukan bahwa manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

(13)

2. Manfaat Praktis

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Prostitusi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Prostitusi” mengandung makna suatu kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai kesepakatan.

Secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Prostitute / prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup sebagai perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki. Koentjoro (2004)

(15)

Menurut Bonger dalam Mudjijono (2005) prostitusi adalah gejala sosial ketika wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Commenge dalam Soedjono (1977) prostitusi adalah suatu perbuatan di mana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.

Prostitusi secara etimologis berasal dari kata prostitutio yang berarti hal menempatkan, dihadapkan, hal menawarkan. Adapula arti lainnya menjual, menjajakan, namun secara umum diartikan sebagai penyerahan diri kepada banyak macam orang dengan memperoleh balas jasa untuk pemuasan seksual orang itu.

Beberapa pengertian lainnya dari prostitusi (Simanjuntak, 1981)

a)Paulus Moedikdo Moeljono, pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksuil orang itu,

b)Budisoesetyo, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk perbuatan kelamin dengan mendapat upah,

(16)

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapatlah ditarik esensi dari perbuatan melacur sebagai berikut:

a) Unsur ekonomis yang berupa pembayaran sebagai tegen prestasi,

b) Unsur umum yang berupa patner yang tidak bersifat selektif, dengan kata lain siapa saja diterima asal diberi uang,

c) Unsur kontiniu yang dilakukan beberapa kali.

B. Pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK)

1. Definisi Pekerja Seks Komersial

Pekerja seks komersial (Rakhmat Jalaludin : 2004 ) adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.

(17)

Menurut Koentjoro (2004) Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki) tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik.

Dalam kehidupan manusia tidak selamanya berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan. Manusia dalam kehidupannya sering menemui kendalakendala yang membuat manusia merasa kecewa dan tidak menemukan jalan keluar sehingga manusia memilih langkah yang kurang tepat dalam jalan hidupnya.

(18)

Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai objek seks. Pekerja seks komersial pada umumnya adalah seorang wanita. Wanita adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik. Mempunyai kebutuhan daar yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa sehingga keberadaan wanita sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat diperlukan. Wanita/ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.

2. Jenis-Jenis Pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK)

Seperti jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacuran juga memiliki keragaman. Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Penggolongan pelacur ditentukan oleh usia, lokasi, tingkat pendidikan dan daya tarik. (Kartono, 1997)

a. Prostitusi (Koentjoro, 2004).

(19)

dengan pelacur tersebut (Hull dkk, 1997). Pelacur seperti ini digolongkan kedalam pelacurlow class(Kartono, 2003).

Pelacur low class pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus dan kurang berpendidikan (Kartono, 1997). Tarif seorang pelacur low classseperti ini sangat rendah dibandingkan dengan pelacur high class (Hull, 1997). Untuk pelacur tingkat rendah (low class),mbiasanya berusia 11-15 tahun yang belum berpengalaman walaupun banyak diantara pelacur low class yang berusia lebih dari itu (Kartono, 1997). Untuk seorang pelacur low class, jumlah uang yang mereka keluarkan hanya untuk kebutuhan primer dan mendasar seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005).

Koentjoro (2004) juga menambahkan beberapa hal yang memotivasi seorang pelacurlow classuntuk menjadi seorang pelacur yaitu:

1. Kemiskinan 2. Pendapatan rendah 3. Pendidikan rendah

4. Tidak memiliki keterampilan 5. Pengangguran

b. Gadis Panggilan(High Class)(Kartono 2003)

(20)

dalam Koentjoro, 2004). Sesuai dengan pernyataan diatas, Mudjiono (2005) mengatakan bahwa pelacur high class memiliki sistem kerja yang tidak menunjukkan adanya tempat lokalisasi (market place) yang terbuka oleh umum seperti yang dilakukan oleh pelacurlow class.

Karena pelacur jenis ini memiliki pendidikan yang tinggi seperi wanita karier dan mahasiswi, maka akan berhubungan dengan tarif pelayanan (Koentjoro, 2004). Semakin tinggi pendidikan pelacur, tarif yang diberikan akan semakin mahal. Harga pelayanan seksual dengan pelacur terpelajar jauh lebih mahal dibandingkan dengan pelacur biasa (low class) karena pelanggan menganggapnya lebih bergengsi (Koentjoro, 2004).

Julian (1986) mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pelacur high class, pelacurhigh classtersebut harus menjalani pelatihan selama lebih kurang dua atau tiga bulan. Pelatihan tersebut berisi tentang sikap dan perilaku yang harus mereka berikan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fieldman dan MacCullah (dalam Koentjoro, 2004), ia mengatakan bahwa untuk menjadi pelacur yang profesional diperlukan adanya pelatihan. Oleh karena itu berdasarkan kriteria diatas gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class.

3. Pekerja Seks Berdasarkan Modus Operandinya.

(21)

a. Terorganisasi

Yaitu mereka yang terorganisasi dengan adanya pimpinan, pengelola atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka tetapkan. Dalam kelompok ini adalah mereka yang bekerja di lokalisasi, panti pijat, salon kecantikan.

b. Tidak Terorganisasi

Yaitu mereka yang beroperasi secara tidak tetap, serta tidak terorganisasi secara jelas. Misalnya pekerja seks di jalanan, club malam, diskotik.

4. Penyebab Munculnya Pekerja Seks Komersial

Menurut Rakhmat Jalaluddin (2004 : 10 ) Banyaknya faktor yang melatar belakangi terjerumusnya pekerja seks komersial antara lain adalah :

a. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan, produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan, penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi. Salah satu penyebab faktor ekonomi adalah sulit mencari pekerjaan

(22)

dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah. Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004 menjadi pekerja seks komersial karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat yang akhirnya justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam.

Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah. Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan.

Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah mendapatkan uang.

b. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan.

(23)

mengungkapkan bahwa pekerja seks komersial sebagian rela menjajakan tubuhnya demi memenuhi kebutuhanlifestyle.

Menjadi pekerja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin dimiliki.

Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari nafkah sebagai PSK.

Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus di miliki.

c. Keluarga yang tidak mampu

Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.

(24)

Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial. Pasalnya kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh perempuan-perempuan kalangan menengah kebawah.

d. Faktor Kekerasan

Kekerasan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap seseorang termasuk ancaman dan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena, kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Depkes RI, 2003). Dimana salah satu faktor kekerasan adalah:

1) Perkosaan

Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal dimana si korban dipaksa untuk melakukan aktifitas seksual khususnya penetrasi alat kelamin diluar kemauannya sendiri.

Perkosaan adalah adanya prilaku kekerasan yang berkaitan dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. ( I Made Winaya : 2006 )

(25)

perlindungan dan kasih sayang serta perhatian yang lebih dari pada orang lain seperti tetangga maupun teman.

Seorang wanita korban kesewenangan kaum lelaki menjadi terjerumus sebagai pekerja seks komersial. Dimana seorang wanita yang pernah diperkosa oleh bapak kandung, paman atau guru sering terjerumus menjadi pekerja seks.

Korban pemerkosaan menghadapi situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami, calon suami dapat terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.

Biasanya seorang anak korban kekerasan menjadi anak yang perlahan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan kegairahan yang berlebihan. Misalnya anak yang pernah diperkosa banyak yang menjadi pekerja seks komersial.

2) Dipaksa / Disuruh Suami

Dipaksa adalah perbuatan seperti tekanan, desakan yang mengharuskan / mengerjakan sesuatu yang mengharuskan walaupun tidak mau.

(26)

lain. Namun kehidupan manusia di dunia ini sangat beragam lagi berbeda-beda jalan hidupnya, sehingga ditemui pula kondisi ketidak wajaran atau situasi yang berlangsung secara tidak normal salah satunya adalah suami yang tega menyuruh istrinya menjadi pelacur. Istri melacur karena disuruh suaminya, apapun juga situasi dan kondisi yang menyebabkan tindakan suami tersebut tidaklah dibenarkan, baik oleh moral ataupun oleh agama. Namun istri terpaksa melakukannya karena dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mengingat suaminya adalah pengangguran.

e. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan psikososial meliputi keluarga, kelompok, komuniti dan masyarakat. Lingkungan dengan berbagai ciri khusunya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga, sehingga penyimpangan prilaku yang tidak baik dapat terhindari. Dimana salah satu faktor lingkungan adalah :

1) Seks Bebas

(27)

yang melarang siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkannya.

Lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat, sehingga diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik dalam pergaulan sehari-hari.

Mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas tidak bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang.

Di beberapa kalangan remaja ada yang beranggapan kebebasan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang wajar.

2) Turunan

Turunan adalah generasi penerus atau sesuatu yang turun-temurun. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluarga anak belajar berespons terhadap masyarakat dan beradaptasi ditengah kehidupan yang lebih besar kelak.

(28)

model agar ditiru. Berdasarkan hal-hal diatas orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan anak, jadi gambaran kepribadian dan prilaku banyak ditentukan oleh keadaan yang ada dan terjadi sebelumnya.

Seorang anak yang setiap saat melihat ibunya melakukan pekerjaan itu, sehingga dengan tidak merasa bersalah itupula akhirnya ia mengikuti jejak ibunya. Ibu merupakan contoh bagi anak.

3) Broken Home

Keluarga adalah sumber kepribadian seseorang, didalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan keluarga dan orang tua sangat berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang.

(29)

Anak yang berasal dari keluarga broken home lebih memilih meninggalkan keluarga dan hidup sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sering mengambil keputusan untuk berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial, dan banyak juga dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang dikeluarganya tidak terpenuhi.

C. Dampak Prostitusi

Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah primitif. Dilihat dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, di cemooh, dihina, di usir dari tempat tinggalnya, dan lain – lain sebagainya. Mereka seakan akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresahkan warga sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat berasal mereka.

Dilihat dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan criminal. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.

(30)

menyimpang dari norma masyarakat dan agama, maka pelacuran hanya akan mengakibatkan efek negatif, antara lain:

a. Menimbulkan dan menyebarkuaskan penyakit kelamin dan kulit, terutama syphilis dan gonorrhoe [kencing nanah].

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakkan.

c. Mendemoralisasikan atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda pada masa puber dan adolesensi. d. Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.

f. Dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satyriasis, ejakulasi premature

Keberadaan prostitusi dalam ketertiban dan kehidupan masyarakat

Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup, baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, maupun kebutuhan sosial.Manusia berpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri, maupun keluarganya.

(31)

dihadapi adanya kesulitan-kesulitan, terutama yang dialami kaum wanita di Indonesia.

Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja di luar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah karena lapangan kerja yang sangat terbatas di samping tingkat pendidikan yang rendah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat dapat menghasilkan uang. Akhirnya banyak wanita yang dengan terpaksa terjun ke dalam bisnis pelacuran.

Menurut Verkuyt (1984: 133 ), baik dahulu maupun sekarang kita sering berdua haluan, di mana kita melarang pelacuran tetapi sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain mengekang kebutuhan biologis (libido) seksual dapat mengakibatkan bahaya, bahkan menimbulkan gangguan jiwa jika tidak diberi jalan keluar dalam promiskuitas/pelacuran (Soekamto 1996: 103)

Kontradiksi pelacuran dari segi agama dengan keberadaan manusia itu sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan biologis terkadang membuat kita harus menempatkan secara hati hati. Sebab bila tidak maka manusia akan menganggap nilai-nilai agama dapat di kesampingkan pada saat melakukan pelacuran.

(32)

dan untuk itu diberi imbalan sejumlah uang sesuai dengan tarif atau kesepakatan bersama. Bisnis seks menjalar ke mana-mana, daerah pinggiran makin ramai ketika lokalisasi di tengah kota diusik. Semua kebijakan pemerintah bersifat semu dan malu-malu, kelihatan sekali bahwa pelacuran itu merupakan bentuk kegiatan bisnis yang sangat menjanjikan.

Prostitusi merupakan masalah sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan moral. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industry dan kebudayaan, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatan yang dilakukan secara terorganisir maupun individu.

Profesi sebagai pelacur dijalani dengan rasa tidak berdaya untuk merambah kemungkinan hidup yang lebih baik. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, profesi sebagai pelacur mereka jalani tanpa menghiraukan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh praktik pelacuran dapat menyebabkan berbagai permasalahan baik pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sosialnya.

Permasalahan itu dapat berupa pengaruh pada dirinya, yaitu: (Koentjoro : 2004)

(33)

2. Terjadinya perubahan dalam pandangan hidup. Mereka tidak lagi memiliki pandangan hidup dan masa depan yang baik.

3. Perubahan terhadap penilaian moralnya. Seorang pelacur tidak pernah berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, yang penting bagi mereka adalah bagaimana caranya mendapatkan uang dan dapat hidup mewah.

Kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung Akuan Efendi menegaskan di Kota Tapis Berseri ini sudah tidak ada lokalisasi prostitusi. Kalaupun masih ada, itu jelas ilegal karena sudah ada perda yang mengatur pelarangan tempat prostitusi di kota ini. Akuan mengatakan kalau masih adanya tempat prostitusi itu bukan karena perda larangan prostitusi tidak dijalankan. Melainkan karena memang penyakit masyarakat seperti sulit dihilangkan. Jadi, meski sudah dilarang, lokalisasi kembali tumbuh karena memang ada sebagian masyarakat yang membutuhkannya. (Kompas.Juni 2011)

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung Reflianto menegaskan, tempat-tempat yang menimbulkan kemaksiatan harus ditutup. Oleh karena itu, Refli mengimbau kepada masyarakat untuk membantu pemerintah memberangus tempat-tempat maksiat itu. ’’Daripada akan menimbulkan malapetaka di kemudain hari, bukankan lebih baik dilarang dan dihilangkan dari sekarang,” ujarnya. (Radar Lampung, 12 April 2011)

(34)

Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran adalah: ( Koentjoro : 2004 )

1) Menimbukan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit, seperti Syphilis dan Gonorrhoe (kencing nanah).

2) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya merupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.

3) Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak -anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.

4) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain).

5) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.

6) Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.

Terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satiriasis, ejakulasi prematur, yaitu pembuangan sperma sebelum zakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang senggama, dan lain-lain.

Prostitusi di Kalangan Remaja

(35)

tumbuh atau tumbuh periode pertumbuhan fisiknya sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock 1993: 206).

Dalam memberikan pengertian mengenai remaja dalam masyarakat Indonesia yaitu dengan penetapan tentang batasan remaja berdasarkan batasan usia adalah sulit. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman suku maupun adat istiadat. Maka dari itu tidak adanya keseragaman yang berlaku secara nasional. Namun yang menjadi pedoman umum kita dapat mernakai batasan usia dari 11 -24 tahun dan belum menikah. Adapun seseorang yang telah menikah tidak dapat dikatakan sebagai remaja. Adapun pertimbangan-pertimbangan kita adalah sebagai berikut:

1) Usia 11 tahun merupakan usia yang pada umumnya telah tampak tanda-tanda dari bentuk fisiknya.

2) Usia 11 tahun telah dianggap sudah akil balig.

3) Pada usia tersebut telah memiliki bentuk kesempurnaan dari perkembangan jiwanya.

4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal.

5) Pengertian remaja dapat diberi batasan yaitu remaja yang belum menikah.

(36)

1) Masa remaja sebagai periode yang penting, masa di mana pertentangan fisik yang cepat.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya.

3) Masa remaja sebagai masa perubahan yang terdiri dari lima perubahan yang sama hampir bersifat universal, yaitu:

- Perubahan meningkatnya emosional

- Perubahan pada struktur tubuh

- Perubahan pada minat dan peran

- Perubahan pada minat dan pola perilaku dan nilai-nilai.

- Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, maksudnya timbulnya anggapan negatif pada masa remaja dari masyarakat.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, yakni memandang kehidupan dari kacamatanya dari diri sendiri.

(37)

Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya perilaku seks bebas di kalangan remaja menurut R. Sembiring (2002), yakni:

1) Interaksi dan komunikasi yang kurang baik, baik kualitas dan kuantitas dengan orang tua maupun otoritas lain, untuk itu orang tua terlalu sibuk dan atau remaja enggan serta merasa sukar dan rikuh untuk melaksanakannya.

2) Disiplin hidup yang kurang mantap serta disiplin diri yang tidak terarah sehingga pikiran dan tubuh tidak atau kurang terkendali, terlebih-lebih dalam hal seksualitasnya.

3) Lingkungan hidup remaja masa kini yang cenderung menggelitik atau merangsang remaja, seperti:

- Sarana kebebasan mengungkapkan seksualitas yang tersedia luas berupa club, diskotik, motel, dan panti pijat.

- Fasilitas komunikasi transportasi yang serba mutakhir misalnya telepon, handy talki, taksi dan lain-lain yang pada awalnya untuk kemudahan, namun kenyataannya justru dipakai untuk kemungkaran.

- Merebaknya bahan bacaan dan tontonan pornografis yang begitu mudah diperoleh.

(38)

D. Kerangka Pemikiran

Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang sudah dikenal sejak masa lampau dan sulit untuk dihentikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Pelacuran ini selain meresahkan masyarakat juga dapat mematikan karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman.

Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimana pun. Menurut Kartono (1988), pelacuran atau yang sering disebut dengan prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.

Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

(39)

lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.

Fenomena pelacuran merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara manusiawi. Keinginan yang timbul ini merupakan akibat dari nafsu biologismanusia yang sederhana. Ketika semua sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka jalan keluar pelacuran dapat dipakai sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem ekonomi tidak akan mampu menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut.

Bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci. Namun, berkembangnya praktek di sekitar kita tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat Indonesia sendiri yang memberikan peluang bagi praktek ini untuk terus berkembang dari masa ke masa.

(40)

Bahkan fakta menunjukkan bahwa tempat-tempat yang menyediakan fasilitas perbuatan zina ini disediakan dan dilindungi oleh badan hukum. Konsumen penikmat fasilitas ini pun beragam dari orang miskin sampai orang kaya. Dari kelas taman sampai dengan hotel berbintang dijadikan tempat berkembangnya praktek prostutisi yang jelas-jelas merusak kesehatan moral bangsa.

Sampai detik ini, prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah pun seolah-olah melegalkan praktek yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini. Padahal masyarakat sendiri sudah banyak mengetahui bentuk ancaman yang akan dihadapinya apabila prostutisnya ini tetap berkembang, seperti ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.

Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

(41)

bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang diperlukan untuk mengukur maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian di lapangan (Nasir,1998: 5). Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

Dalam buku Lexy Moleong (2007: 8 ) Penelitian Kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik mendiskripsikan dengan bahasa dan kata pada konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

(43)

suatu masalah atau gejala guna mendapat pengertian tentang sebanyak mungkin sifat masalah atau gejala itu.

Karena pendapat tersebut di atas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis untuk menganalisis masalah dampak keberadaan prostitusi bagi masyarakat Panjang, maka tipe penulisan kualitatif penulis rasa tepat digunakan sebagai tipe penelitian pada penelitian ini.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada cafe-cafe yang terletak di Jln Yos Yudarso daerah Panjang, Bandar Lampung. Dipilihnya lokasi ini dikarenakan daerah ini sangat terkenal dengan kegiatan prostitusinya, mulai dari warung remang-remang, café, hingga hotel kelas melati yang berada di daerah panjang.

C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah pemusatan konsentrasi pada tujuan dari penelitian yang dilakukan. Fokus penelitian harus dinyatakan secara eksplisit untuk memudahkan peneliti sebelum melakukan observasi. Fokus penelitian merupakan garis besar dari pengamatan penelitian, sehingga observasi dan analisa hasil penelitian lebih terarah.

(44)

dilakukan sewaktu penelitian sudah berada dilapangan berkaitan erat, bahkan seringkali disamakan dengan masalah yang akan dirumuskan dan menjadi acuan dalam penentuan fokus penelitian.

Dengan adanya fokus penelitian, akan menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadiahnya data yang melimpah ruah. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada :

1. Tanggapan masyarakat Panjang atas keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang

2. Dampak keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang di tinjau dari :

a. Sosial

b. Ketertiban

D. Penentuan Informan

Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Faisal (1999),

agar memperoleh informasi yang lebih terbukti, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan antara lain :

1. Subjek yang lama dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.

2. Subjek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.

(45)

4. Subjek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan yang mengetahui kejadian tersebut.

Informan yang dipilih dalam penelitian ini ada 6 (enam) orang informan, 1 (satu) informan berasal dari kelurahan setempat dan 5(lima) orang informan adalah warga yang telah lama tinggal di daerah Panjang.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, yang digabungkan sekaligus dalam mengambil data pada objek penelitian, hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang padat, dan tepat serta komprehensif dengan demikian dapat memenuhi standar data yang valid, dalam arti memiliki tingkat error data yang lebih kecil. Berikut teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

Menurut Kamus Ilmiah Populer (Indrawan, 2000:187) kata observasi berarti suatu pengamatan yang teliti dan sistematis, dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan metode observasi seperti yang dikatakan Hadi (1983: 136 dan Nurkancana (1990:51-52) adalah:

Suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis baik secara langsung maupun secara tidak langsung pada tempat yang diamati, secara garis besar metode observasi ini mempunyai tiga bagian yakni: Jika dilihat dari rencana kerja terdiri dari: observasi berstruktur, dan tidak berstruktur. Dari sudut posisi observer terdiri dari: Observasi partisipasi, observasi non partisipasi, dan Observasi quasi partisipasi. Serta jika ditinjau dari situasi lokasi yang diobservasi terdiri dari observasi situasi bebas, dan observasi manipulasi.

(46)

a. Metode Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistimatis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki”. Dengan demikian metode observasi bisa digunakan dan dilakukan untuk melihat dan mengamati fenomena-fenomena yang dimaksud yang akan turut menentukan hasil dari penelitian yang ada. Adapun observasi yang digunakan adalah observasi non partisan yaitu suatu kegiatan observasi dimana peneliti tidak aktif di dalam kegiatan dari obyek yang diteliti.

a. Wawancara Mendalam

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang diselenggarakan atau dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber data. Dalam hal ini menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin yang dimaksud agar tidak terjadi kekakuan tapi terserah dengan pedoman yang diterapkan (Sutrisno Hadi, 2006 : 72). wawancara ditujukan kepada lurah, pihak kepolisian, masyarakat yang berada di lingkungan prostitusi daerah Panjang.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah proses pengumpulan data melalui menghimpun data yang tertulis dan tercetak . menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 15) menyatakan bahwa dokumentasi adalah “Mencari data mengenai hal-hal

(47)

F. Teknik Analisa Data

Nawawi dan Mimi Martini (1994:189) mengemukakan bahwa tujuan analisa data, adalah untuk menjelaskan, mendeskripsikan, serta menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti. Menurut Usman dan Purnomo Seriyadi (1995:86), tujuan analisis data kualitatif adalah untuk mengungkapkan :

1. Data apa yang masih perlu dicari,

2. Hipotesis apa yang perlu diuji,

3. Pertanyaan apa yang perlu dijawab,

4. Metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan

5. Kesalahan apa yang harus segera diperbaiki.

Dari definisi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis adata adalah suatu usaha untuk mengkaji ulang dari hasil yang telah dilakukan kategori sehingga bisa dijadikan pola yang memiliki relevensi dengan teori-teori yang dilakukan dalam penelitian, yang kemudian ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data menurut Usman dan Purnomo Setiyadi (1995:85-89), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Reduksi Data

(48)

penelitian kualitatif terdapat data yang bersifat kuantitatif dalam bentuk angka-angka tersebut jangan dipisahkan dari kata-katanya secara kontekstual, sehingga tidak mengurangi maknanya.

Setelah data atau laporan terkompul dan semakin banyak, maka data tersebut perlu direduksi yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Data-data reduksi direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan. Reduksi dapat pula membantu dalam memberikan kode-kode pada spek-aspek tertentu.

2. Penyajian Data

Kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matrik, grafik, jaringan, tabel, dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diperoleh. Data yang semakin bertumpuk-tumpuk itu kurang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh. Oleh sebab itu diperlukan display data. Display data menyajikan data dalam bentuk matrix, network, chart atau grafik, dan sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data.

3. Penarikan Kesimpulan

(49)

lapangan sehingga data-data yang ada telah di uji validasinya. Untuk mencari makna yang telah diperoleh, maka peneliti berusaha mencari model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi dari data yang didapatkan, peneliti mencoba untuk mengambil kesimpulan. Mula-mula kesimpulan tersebut kabur, tetapi lama kelamaan semakin jelas karena data mendukung. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat dengan cara mengumpulkan data baru.

Dalam suatu laporan penelitian kualitatif, dapat dikatakan ilmiah jika persyaratan validitas, reliabilitas, dan objektivitasnya dapat terpengaruhi. Agar persyaratan tersebut dapat terpenuhi, maka beberapa usaha yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Kreadibilitas

a. Waktu yang digunakan peneliti harus cukup lama

b. Pengamatan terus-menerus

c. Mengadakan triagulasi yaitu memeriksa kebenaran data yang telah diperolehnya kepada pihak-pihak lainnya yang dapat dipercaya

d. Mendiskusiakan dengan teman seprofesi

e. Menganalisis kasus negatif, yaitu ksus-kasus yang bertentangan dengan hasil penelitiannya pada saat-saat tertentu.

(50)

g. Menggunakan member check, yaitu memeriksa kembali informasi responden dengan mengadakan pertanyaan ulang atau mengumpulkan sejumlah informan untuk dimintai pendapatnya tentang data yang telah dikumpulkan.

2. Transferabilitas

Transferabilitas adalah apabila hasil penelitian kualitatif itu telah dapat digunakan atau diterapkan pada kasus atau situasi lainnya. Transferabilitas dapat ditingkatkan dengan cara melkukan penelitian dibeberapa lokasi.

3. Dependabilitas dan Konfirmabilitas

(51)

BAB V

PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diperloleh melalui metode wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang penulis anggap memeiliki kapasitas untuk memberikan informasi. Penulis menentukan pilihan kepada 6 (enam) orang informan dengan deskrpsi sebagai berikut :

Informan I

Nama M Supriyadi, S.Sos, Jenis kelamin laki-laki, Usia 38 tahun, Pendidikan terakhir Sarjana Strata satu (S1), Pekerjaan Lurah Panjang, di tengah kesibukan informan menjadi lurah Panjang peneliti akhirnya bisa bertemu dengan informan dengan maksud ingin mewawancarai informan selaku lurah Panjang. Menurut informan dirinya telah menjadi lurah Panjang sejak tahun 2009 “saya diangkat menjadi lurah kira-kira pertengahan tahun 2009, sebelumnya saya hanya menjadi staff dikeluarahan ini, dan alhamdulliah saya di angkat menjadi lurah Panjang”.

(52)

cafe-cafe ini dijadikan tempat prostitusi. “sesusai dengan surat keputusan gubernur tahun 1994, no : G / 370/ B. III/ HK/ 1994 tentang pencabutan daerah ini sebagai daerah prostitusi, yang mana semua hak dan kewajiban dicabut oleh pemerintah, tidak ada yang namanya prostitusi, dulu ada pengawasan dari pemerintah daerah, mereka para PSK dibina dengan cara adanya pendekatan sosial keagamaan, ada pengajian diajarkan tentang agama agar para PSK tidak mengulangi lagi dan agar para PSK berhenti dari kegiatan yang haram ini, sedangkan dari segi kesehatan adanya pemeriksaan setiap bulan sekali dari dinas kesehatan yang mana ada utusan dari puskesmas setempat memeriksa kesehatan para wanita pekerja seks, adapunn setahu saya dulu ketika mereka diperiksa kesehatan, menurut data petugas puskesmas kurang lebih 94% para PSK positif terkena G.O”.

Menurut informan keberadaan cafe-cafe ini sering dijadikan tempat prostitusi izin cafe-cafe yang berdiri di daerah Panjang mungkin tak ada izin dari Pemerintah “Sejak dihapuskan nama dari tempat prostitusi ini barulah bermunculan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang ini, saya tidak tahu pasti keberadaan cafe-cafe ini telah mengantongi izin dari Pemerintah atau tidak, dan cafe-cafe yang ada disini beroperasi apakah sesuai dengan izin mereka kepada Pemerintah atau tidak dan jelas cafe-cafe disini bukan hanya cafe biasa, akan tetapi cafe yang menyediakan para wanita-wanita untuk dikencani oleh para tamunya”.

(53)

minuman keras, karokean, dan wanita-wanita, terkadang mungkin lebih dari itu, yaitu transaksi narkoba, oleh karena itu nama daerah Panjang menjadi jelek, mungkin anda tidak merasakan, ketika saya keluar ke daerah lain, mereka menanyakans saya tinggal dimana?, lalu saya jawab : di Panjang. Mereka pun menganggap bahwasannya tempat saya adalah tempat prostitusi, walaupun itu benar karena adanya cafe dan tempat hiburan malam lainnya, sedangkan dari kerukunan warga, warga yang tinggal di daerah ini sangatlah terganggu dengan adanya cafe-cafe ini, mereka yang kerja seharian, dari pagi hingga sore ketika ingin beristirahat terganggu dengan suara musik yang sangat keras yang berasal dari cafe-cafe tersebut”.

Menurut informan walaupun masyarakat yang tinggal di daerah cafe-cafe di Panjang ini terganggu dengan adanya cafe dan tempat hiburan malam, para masyarakat daerah Panjang sering mengadakan pengajian dan mengajak para PSK untuk ikut serta dalam pengajian keagamaan tersebut, “siapa yang tidak terganggu, hidup berdampingan dengan cafe atau tempat hiburan malam yang menyediakan minuman keras dan para wanita, akan tetapi masyarakat Panjang bersama-sama ingin membersihkan nama Panjang ini sebagai daerah prostitusi dengan mengadakan pengajian-pengajian, mengajak para PSK ikut serta dalam pengajian agar jiwa mereka terisi dengan pengertian agama, mengajak mereka untuk sholat, mengaji dan berhenti dari kegiatan yang haram tersebut”.

(54)

prostitusi ini benar-benar di tutup, hendaknya pemerintah menutup cafe-cafe yang ada di daerah Panjang, atau menjadikan cafe ini hanya lah cafe biasa yang tidak bisa dijadikan orang sebagai tempat prostitusi, kami masyarakat Panjang ingin nama daerah kami ini bersih dari tempat maksiat, dan kami ingin menghilangkan asumsi masyarakat luar daerah Panjang beranggapan bahwa daerah kami adalah daerah prostitusi”.

Informan II

Nama Firman, Jenis kelamin laki-laki, Usia 40 Tahun, Pendidikan terakhir SMA,pekerjaan wiraswasta, menurut informan dirinya sudah lama tinggal di daerah Panjang, dan informan juga tahu adanya tempat hiburan malam berupa cafe-cafe yang beroperasi di daerah Panjang pada malam hari “ saya sudah lama sekali tinggal disini, ayah saya orang Panjang, ibu saya orang teluk, ayah saya usaha disini, dan saya juga usaha di daerah Panjang ini”

(55)

Menurut informan dirinya selalu menjaga keluarganya agar tidak bergaul ke daerah cafe-cafe yang ada di Panjang “saya selalu memperingati istri, anak saya, adek-adek saya yang masih bujang, kalo mau maen jangan ke cafe-cafe itu, saya bilang jangan mencemarkan nama baik keluarga, hidup yang normal-normal aja, biarin aja cafe-cafe itu yang penting jaga jarak, jangan kesana!!”.

Keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah dirinya tinggal menurut informan sangat mengganggu karena pengelola membunyikan musik sangat keras dan itu menggangu dirinya ketika sedang beristirhat, “adanya cafe-cafe itu sangat berpengaruh bagi saya dan keluarga walaupun hanya ada pada malam hari, kalo tidur biasanya berisik banget, mereka kan suka ngidupin musik keras-keras, sangat mengganggu sekali lagh,musik yang keras, apalagi kalo kita keluar rumah, mata ingin ngeliat wanita-wanita itu, udah pake pakaian yang minim, pada ngerokok, susah kalo saya keluar malam, ganggu sekali lagh, dalam kehidupan sehari-hari kan tau masyarakat Panjang dan masyarakat luar Panjang sudahh tau ini daerah Panjang daerah cafe-cafe yang banyak hiburannya, jelek lah nama Panjang ini, adek-adek saya kalo malam saya bilangin trus, kalo mau maen jangan kesana, malu-maluin kalo mereka kesana, maen ketempat lain saja”.

(56)

Informan III

Nama Badruddin, Jenis kelamin laki-laki, Usia 42 Tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan wiraswasta, menurut informan dirinya telah lama tinggal di daerah cafe-cafe di Panjang “sudah lama sekali saya tinggal disini, lahir juga disini, hidup saya yah di daerah Panjang ini, nyari uang juga di daerah Panjang”. Menurut informan bahwasannya dirinya mengetahui adanya cafe-cafe hiburan malam yang beroperasi di Panjang “ saya tahu bagaimana cafe-cafe itu beroperasi, ada yang baru buka, ada yang sudah tutup, rame kalo malam di cafe-cafe itu, banyak juga yang datang ke cafe itu”

Menurut informan tentang pergaulan yang dia jalani dengan daerah yang banyak cafe-cafe nya bahwasannya dirinya menjaga jarak dengan para wanita-wanita yang bekerja di tempat hiburan “saya gak pernah ngombrol sama wanita-wanita yang kerja di cafe-cafe itu, yah saya tau lagh mereka, tapi saya gak pernah ngombrol, kalo dengan germonya ya saya tau lah, mereka laki-laki jadinya biasa aja, kalo dengan wanita itu takut lagh, di disangka saya godain lagi, kalo dengan laki-laki nya juga ngombrol biasa aja, mereka juga tau saya tinggal di daerah ini, saya udah punya keluarga, saya punya anak, saling menghormati aja lah, biar gak ribut”.

(57)

nongkrong, yang disediain juga minuman keras, kaorekan dan wanita-wanita cantik, sebenarnya malu dengan daerah yang di anggap tempat hiburan ini, tapi yah gimana lagi, saya gak bisa berbuat apa-apa, kalo kita kemana gitu, ditanya tinggal dimana? saya jawab di Panjang, anggapan orang udah laen dengan tempat daerah yang saya tinggalin ini”.

Adapun tanggapan informan secara pribadi dengan adanya cafe-cafe di Panjang “saya kan tinggal gak jauh dari cafe-cafe itu, orang yang lewat rumah saya kan banyak yang mau ke cafe-cafe itu, padahal ini gang kecil biasa bukan jalan raya, jadi berisik sekali banyak orang lewat waktu ingin istirahat, ada yang pke knalpot gede itu, jadinya sangat berisik lagh, apalagi musiknya di cafe-cafe itu gede banget, ganggu sekali kalo saya mau istirahat, yah gimana yah, kita kan pagi ampe sore usaha, malam mau istirahat, mau istirhat juga yah begitulah, biasakan aja lah, trus untuk keluarga saya saya melarang anak saya kesana, walaupun di siang hari, saya gak bolehin anak saya lagh kesana, mereka juga tau dan syukurnya mereka ngertiin juga, itu tempat maksiat”

(58)

Infroman IV

Nama Prasetyo Aji, Jenis kelamin laki-laki, Usia 39 tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan buruh, menurut informan dirinya adalah warga yang telah lama tinggal di daerah Panjang dan informan mengetahui bagaimana keadaan daerah Panjang “saya sudah lama sekali tinggal disini, saya juga kerjanya di Perusahan daerah Panjang ini, yah saya tau lagh bagaimana keadaan daerah yang saya tinggali ini”

Menurut informan dirinya mengetaui secara mendalam keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang “saya tau bagaimana cafe-cafe itu beroperasi, mereka beroperasi menyediakan tempat-tempat hiburan, minuman keras dan para wanita utuk di jadikan teman kencan, dulu nya disini memang tempat prostitusi, tapi kalo gak salah, tahun 90-an sudah di hapus oleh pemerintah, dulu dipasang plang bahwasannya tempat protitusi ini ditutup, tapi sekarang ada cafe-cafe yang menyediakan banyak tempat maksiat, sama saja lagh, prostitusi namanya ditutup, dan cafe-cafe itu juga masih ada, beroperasi tiap malam, apalagi kalo malam minggu, rame banget cafe-cafe itu di datangi para tamu-tamu”.

(59)

gak ganggu keluarga kita, walaupun sebenarnya gimana yah hidup berdampingan dengan cafe-cafe ini, agak was was juga, banyak maksiatnya disini”.

Menurut informan dampak adanya cafe-cafe yang ada di daerah tempat tinggalnya sangat berpengaruh bagi dirinya maupun keluarganya “daerah tempat saya tinggal ini banyak cafe-cafe nyah, orang yang datang kesini pasti minum, karokean, nyewa wanita-wanita nya, anggapan orang yang tentang daerah saya ini yah daerah tempat maksiat lagh, walaupun kebanyakan tamu yang datang ke cafe-cafe itu bukan orang sini, tapi yah gak enak lah Panjang terkenal dengan daerah maksiatnya, ada cafe-cafe yang menyediakan tempat hiburan, minuman dan wanita, anggapan orang jelek lah tentang daerah saya ini”. Adapun menurut informan dalam kehidupan pribadinya merasa takut akan pergaulan anaknya “anak saya sudah besarlah, sering main juga ketempat teman sebayanya, kalo main harus melewati komplek cafe-cafe itu, yah bagaimana takut kalo lewat sana anak saya nya gak ke kontrol pergaulannya, saya sering ngelarang juga kalo dia mau main kesana, tapi saya kerja, ibunya juga kerja, saya percaya aja ke anak saya supaya gak maen kesana, saya bilang kalo lewat sana yah lewat aja, jangan mampir-mampir kalo di panggil embak-embak yang disana”

(60)

Informan V

Nama Slamet, Jenis kelamin laki-laki, Usia 34 tahun, Pendidikan terakhir SMP, pekerjaan wiraswasta, menurut informan dari kecil sudah tinggal di daerah Panjang dan informan telah memiliki 2 orang anak “saya telah menikah dan mempunyai dua orang anak, dari kecil saya tinggal disini, ibu, kakak, dan adik-adik saya juga ada disini semua”

Menurut informan adanya cafe-cafe yang berada di daerah panjang ini sudah lama dia ketahui dia mengetahui yang mana para pekerja seks komersial (PSK) dan mana yang bukan “ada nya cafe-cafe di daerah panjang sudah lama sekali, dan para pengelola nya pun saya tahu, karena mereka kan teman saya, tapi saya gak pernah memakai wanita-wanita itu, saya sudah ada keluarga, dan saya malu lah sama orang-orang sini, saya tahu mana wanita-wanita malam, yang benar-benar, karena kan saya asli orang sini, kebanyakan dari wanita-wanita itu bukan orang sini, mereka datang dari daerah luar Lampung, ada sih sebagian mereka yang berasal dari Lampung, tapi bukan daerah Panjang, mereka dari daerah lain”

(61)

Menurut informan dampak yang dialami dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan pribadi adalah adanya anggapan masyarakat yang tinggal bukan di daerah Panjang beranggapan bahwa daerah nya adalah daerah prostitusi dan secara pribadi adanya sifat khawatir terhadap pergaulan anak-anaknya “yang saya alami selama hidup saya di Panjang, ketika saya main ke daerah lain, saya menyebutkan saya dari Panjang mereka sudah mengklaim bahwasannya saya tinggal daerah prostitusi, dan saya menganggapnya biasa saja, karena memang disini banyak sekali tempat-tempat maksiatnya, mana mungkin saya marah karena kenyataan kan??, kalo dalam hal pribadi, saya takut dengan pergaulan anak, mereka suka menanyakan ke saya tentang adanya cafe-cafe itu, dan saya hanya melarang mereka untuk bermain kesana”

Harapan informan tentang adanya cafe-cafe di daerah Panjang adalah agar pemerintah ikut andil dalam memberantas cafe-cafe daerah Panjang yang dijadikan sebagai tempat prostitusi, “harapan saya ya kepada Pemerintah Lampung aja lah, supaya di tinjau kembali apakah benar itu cafe yang hanya cafe biasa, apakah cafe itu dijadikan tempat prostitusi, walaupun tempat-tempat itu banyak teman saya, ya biarkan saja, suruh mereka cari kerja yang halal, daripada daerah Panjang dibilang daerah para wanita malam??”.

Informan VI

(62)

daerah Panjang, tempat-tempat saya bermain yaa dsini juga, dan saya menikah pun disini, sekarang saya tinggal dengan istri dan anak juga disini”

Menurut informan keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang sudah lama adanya “saya tahu adanya cafe-cafe yang beroperasi disini, menyiadakan minuman, wanita-wanita untuk di ajak karokean, yang di ajak untuk bermalam atau kencan, dulu sih emang bener disini tempat prostitusi tapi kayaknya sudah di apus namanya aja, trus jadi cafe-cafe, banyak sekali wanita-wanita yang ada di cafe-cafe ini sekarang, dari macam-macam usianya, ada yang masih mulus, ada yang udah tua juga, yah namanya juga cafe mesum pasti ada lagh wanita-wanita nya, mereka sengaja disediakan mami atau papi nya, supaya cafe mereka juga banyak yang datang”

“Pergaulan saya dengan mereka sih biasa-biasa aja, tapi yah saya jaga jarak lah kalo sedang bergaul dengan mereka, namanya juga PSK yah, kalo kita lagi ngombrol atau becandaan biasa aja pasti yang melihat kita jadi negatif pikirannya, makanya saya selalu jaga jarak dengan mereka, walaupun mereka PSK tapi kalo dengan orang-orang sini yah biasa aja, suka nyapa lagh”, adapun menurut informan bahwa dirinya melarang anaknya untuk bermain di daerah cafe-cafe yang berada di dekat rumahnya “rumah kita kan gak jauh dari cafe-cafe ini, kita juga tahu lah, kita punya keluarga, saya selalu bilang ke istri saya supaya anak saya dilihat, jangan sampai anak saya bermain ke daerah cafe-cafe itu”

Gambar

Tabel 2. Identitas informan
Tabel 3. Dampak yang dialami masyarakat Panjang yang tinggal berdekatan
Tabel 2. Identitas informan
Tabel 3. Dampak yang dialami masyarakat Panjang yang tinggal berdekatan
+3

Referensi

Dokumen terkait

penelitian Dampak Keberadaan Dusun Bambu Terhadap Kondisi Sosial. Ekonomi Masyarakat di Desa Kertawangi

1) Keberadaan perusahaan PT. Sorikmas Mining di desa Tarutung Panjang, Kec. Naga Juang, Kab. Mandailing Natal sudah berlangsung lebih dari 16 tahun yang lalu. Keberadaan

Adapun juga seperti bertambahnya tenaga ahli yang berasal dari warga asing yang terutama dari negara – negara yang maju yang dimana banyak orang ahli dalam melakukan

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Dampak Keberadaan Pelabuhan Belawan Terhadap Sosial Ekonomi

Penduduk lokal yang dimaksud di sini adalah bagi mereka yang berdomisili atau tinggal di sekitar obyek wisata tanpa mempersoalkan daerah asal mereka, dan dampak yang dimaksud

Keberadaan sekte atau aliran dalam agama adalah salah satu realitas yang perlu disikapi dengan bijak apabila masyarakat menganggap bahwa eksistensi komunitas adalah hal

Penutup Berdasarkan hasil pembahasan, keberadaan Pondok Pesantren Al-Fatah di Dusun Muhajirun Natar, Lampung Selatan memberikan dampak bagi perkembangan masyarakat Dusun Muhajirun

Grafik Jawaban Responden Dampak Masjid Sumber: Dokumen Pribadi, 2022 PEMBAHASAN Pengaruh Positif Keberadaan Masjid Raya Sheikh Zayed Surakarta terhadap masyarakat di sekitarnya