• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Warna Wajah Pada Toko Golek Cepot Dan Dursasana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna Warna Wajah Pada Toko Golek Cepot Dan Dursasana"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Gunawan, Candra. 2011. MAKNA WARNA WAJAH PADA TOKOH GOLEK CEPOT DAN DURSASANA.

Kata Kunci : Golek, Wayang, Warna

Wayang golek adalah salah satu jenis seni tradisi yang hingga

sekarang masih tetap bertahan hidup di daerah Tatar Sunda. Berbeda dari

wayang kulit yang dwimatra, golek adalah salah satu jenis wayang trimatra.

Jika wayang kulit dibuat dengan cara ditatah, golek terbuat dari bahan kayu

bulat torak dengan cara diraut dengan pisau. Seperti wayang kulit,

pementasa golek berlatar belakang cerita Mahabharata, yang disebut golek

purwa.

Warna yang digunakan pada wayang di tatar Sunda telah mencapai

kesepakatan bersama, namun kontradiksi unsur warna yang terjadi pada

beberapa tokoh Panakawan. Semar memiliki warna wajah putih, Dawala dan

Gareng memiliki wajah yang berwarna merah muda begitu pula Cepot

memiliki warna merah yang sama pada tokoh Kurawa. Untuk mencapai

tujuan tersebut, dalam menganalisa permasalahan digunakan pendekatan

secara deskriptif dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Golek Panakawan yang

terdiri atas empat tokoh golek, yaitu Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng,

tidak bisa dikelompokkan dalam satu golongan raut, karena semuanya tidak

(2)

berwarna putih, Cepot berwarna merah, Dawala dan Gareng berwarna

merah muda, hanya bisa diangkat melaui sifat secara umunya bukan melalui

peranannya. Seperti halnya wajah Cepot merah, sama merahnya dengan

wajah Dursasana (tokoh pemberang kubu Kurawa), tidak menggambarkan

watak jahat atau panas seperti Dursasana, yang menjadi kesamaannya

hanya pada sifat yang sama-sama berontak namun dalam konteks yang

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Bloomfield (dalam Abdul Wahab, 1995, h.40) makna

adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam

batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna

merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang

disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling

dimengerti. Batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan

karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang

yang berbeda dalam memaknai sebuah objek.

Istilah wayang merupakan sesuatu yang akrab bagi kebanyakan

masyarakat Indonesia, terutama penduduk Pulau Jawa dan Bali.

Penduduk di luar kawasan kedua daerah tersebut memperoleh

pengetahuan tentang wayang melalui media massa atau bangku

sekolah. Teknologi komunikasi terus berkembang pesat, tidak

terkecuali di Indonesia. Dampaknya, baik maupun buruk, bisa

dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Penerangan yang

disampaikan pemerintah dapat segera sampai pada khalayak.

Kehendak pemerintah untuk menyebarkan keseragaman penyampaian

informasi kepada seluruh anggota masyarakat dan lapisannya,

dimanapun mereka berada, menghasilkan kesamaan objek amatan dan

(4)

pemberitaan atau tayangan wayang sudah bisa sampai pada

masyarakat luas, termasuk yang berada di luar Jawa dan Bali.

Wayang merupakan hasil budaya bangsa Indonesia.

Keberadaannya telah teruji lewat perjalanan sejarah yang amat panjang

dengan hanya sedikit perubahan, hal tersebut membuktikan bahwa

wayang merupakan satu jenis hasil budaya bangsa Indonesia yang

terus menerus mendapat dukungan masyarakatnya. Sejarah

perkembangan wayang, khususnya wayang kulit, telah banyak ditulis

oleh pakar wayang. Tetapi sebaliknya, hanya sedikit yang mengupas

wayang golek. Belum jelas apa yang menyebabkan kenyataan tersebut,

apakah wayang golek kurang terkenal dibanding wayang kulit atau

apakah data kesejarahan wayang golek tidak selengkap wayang kulit,

apakah penggemar wayang golek lebih sedikit dibanding wayang kulit.

Meskipun permasalahan tersebut bukan pokok telaah tulisan ini, namun

sengaja dikemukakan untuk membeberkan data bahasan atau hasil

penelitian wayang golek sangat kurang (Suryana, 2001, h.45-46).

Pengertian wayang secara luas bisa mengandung makna

gambar karena penikmatannya hanya mungkin dari arah muka.

Wayang golek merupakan salah satu khasanah kesenian Jawa Barat

yang tergolong ke dalam cabang seni tradisi pertunjukkan. Dalam

perkembangannya, seni wayang golek telah memberikan warna

tersendiri dalam realitas budaya yang dinamis. Perubahan dalam

perspektif kebudayaan merupakan konsekuensi logis dari dinamika

(5)

Masyarakat melibatkan diri dengan respon-respon emosi

terhadap warna, maka arti simbolis warna tidak dapat dipisahkan dari

respon-respon tersebut walaupun agak bernuansa mistik. Interpretasi

mistik ini timbul pada puncak sistem kemasyarakatan masa lampau.

Masyarakat Sunda tradisi mengenal konsep penggunaan warna yang

memiliki makna perlambangan, diterapkan dengan persesuaian arah

mata angin. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”. Sifat-sifat kepribadian seseorang dihubungkan dengan

nilai simbolis warna dan disamping itu nilai simbolisnya terletak dalam

istilah tingkah laku. Asosiasi psikologis tentang warna merupakan

ikatan budaya suatu masyarakat tertentu yang telah menjadi

kesepakatan bersama, maka dengan ini muncul suatu ketetapan yang

dinamakan dengan pakem. Sebagai contoh mengenai nilai simbolis warna putih di Jawa Barat. Warna putih diasosiasikan sebagai suci,

lugu, murni. Warna putih digunakan pada pakaian pengantin gadis yang

baru menikah. Contoh lain dalam ungkapan bahasa keseharian yang

melibatkan warna, misalnya adean ku kuda “bereum (merah)” . Arti

bereum atau merah dalam pengertian tersebut bukan warna yang tampak secara visual oleh mata, namun warna merah diasosiasikan

dengan kesombongan.

Semar adalah rakyat jelata yang mengabdi sebagai pengasuh

para raja penegak kebenaran. Karena Semar telah menelan gunung

maka ada yang menganggap bahwa Semar merupakan lambang dari

(6)

akal budi. Semar memiliki tiga anak yang penuh keanekaragaman

bentuk, karakter, dan pribadi yang disikapi secara arif olehnya. Di

tengah perbedaan fisik dan psikis dalam keluarga Semar itu, tidak

terdapat pertentangan dan diskriminasi kasih sayang. Ketiga anak

Semar tersebut adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Semar yang

bertubuh hitam dan berwajah putih, Cepot yang berwarna merah,

Dawala berwarna kuning, dan Gareng berwarna merah muda. Keempat

tokoh tersebut dikenal sebagai Panakawan. Panakawan ditugaskan

membantu pada Pandawa untuk membela keadilan. Keempat tokoh

Panakawan ini juga dikenal sebagai 4 tokoh pembangun cerita wayang

serta suri tauladan yang baik bagi tokoh-tokoh wayang lainnya dan bagi

audiens.

Dalam kisah pewayangan tokoh Kurawa mempunyai sifat buruk,

jelek, jahat dan tidak pantas dicontoh. Kurawa adalah tokoh antagonis

dalam wiracarita Mahabharata. Kurawa adalah musuh bebuyutan

para Pandawa. Dursasana adalah salah satu dari seratus Kurawa

bersaudara dan dianggap orang yang paling liar. Dursasana

sebenarnya sedikit memiliki keterbelakangan mental. Bahasa yang

dikenalnya hanya bahasa kasar. Tak pernah mengenal sopan santun.

Dia hanya tahu apa yang diinginkannya maka boleh saja dia langsung

mengambilnya.

Secara umum, wayang golek di tatar Sunda mengusung empat

warna secara filosofis yaitu merah, hitam, putih, dan kuning. Merah dan

(7)

merah diaplikasikan pada tokoh-tokoh Kurawa yang berada di kubu

antagonis atau tokoh jahat. Putih dan beberapa warna cerah yang

memiliki intensitas putih yang tinggi dikatakan memiliki unsur-unsur

kebaikan, maka putih diaplikasikan pada tokoh-tokoh kahyangan dan

Pandawa. Kuning dinyatakan sebagai penentu strata, pada dasarnya

kuning dianggap mewakili emas yaitu keagungan. Biasanya

tokoh-tokoh yang menggunakan warna kuning maupun emas di kaum

Kahyangan, Pandawa, dan Kurawa adalah raja atau memiliki strata

tinggi di kaumnya. Hal tersebut secara tidak langsung menyatakan

bahwa warna yang digunakan pada wayang di tatar Sunda telah

mencapai kesepakatan bersama, namun kontradiksi unsur warna yang

terjadi pada beberapa tokoh Panakawan. Semar memiliki warna wajah

putih, Dawala dan Gareng memiliki wajah yang berunsur warna merah

begitu pula Cepot memiliki warna merah yang sama pada tokoh

Kurawa.

1.2 Identifikasi Masalah

Wayang golek sebagai suatu budaya tidak hanya mengandung

nilai estetik semata, akan tetapi meliputi keseluruhan yang terdapat

dalam masyarakat pendukungnya. Oleh karena pertunjukkan wayang

golek bertujuan memaparkan cerita, dan memiliki inti mengenai suatu

hal yang bertentangan seperti kebaikan dan keburukan. Pengendalian

emosi orang yang melihatnya sebagai komunikan terjalin disamping

(8)

secara simbolik, panas dan dingin, siang dan malam, terang dan gelap

dan lain-lain. Maka titik penyampaian unsur cerita yang terkandung

secara tidak langsung menitik beratkan pada apa yang dilihat pertama

kali, seperti warna-warna yang terdapat pada tokoh-tokoh yang

ditampilkan. Warna memiliki karakteristik tertentu, maksud dari

karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu

warna, dalam bentuk perlambangan ataupun simbol. Warna memiliki

pengaruh terhadap emosi dan asosiasinya terhadap bermacam-macam

pengalaman, maka setiap warna mempunyai arti perlambangan dan

bersifat kiasan bahkan mistik. Masing-masing dari keberagaman warna

memiliki suatu makna yang luas dan seringkali untuk barang yang

melambangkannya mempunyai hubungan dengan arti situasi dan

filosofi sebagai penyertanya.

Kontradiksi dalam interpretasi simbol warna sering terjadi karena

warna cenderung bersifat intim dan memiliki rasa daripada kenyataan

yang teoritis. Sifat-sifat kepribadian dapat dihubungkan dengan nilai

simbolis warna, dan disamping itu simbolis dapat merangkul istilah

tingkah laku secara keseluruhan, menjadikannya simbolis atau

perlambang karena makna yang terkandung merupakan pesan kepada

lingkungan yang diwakili kedalam bentuk-bentuk objek. Karakteristik

yang dibangun melalui simbol-simbol warna terdapat pada tokoh-tokoh

golek.

Berdasarkan latar belakang di atas,

(9)

a. Terjadi kenampakan warna wajah yang sama dalam dua

penokohan yang berbeda, yaitu tokoh Cepot sebagai salah satu

tokoh Panakawan dan Dursasana sebagai salah satu tokoh

Kurawa.

b. Adanya interpretasi pemaknaan visual tokoh golek yang

beragam, karena munculnya warna yang sama pada penokohan

yang berbeda yaitu pada tokoh Cepot dan Dursasana.

1.3 Perumusan Masalah

Warna merupakan sesuatu yang spesifik yang sangat sulit untuk

diberikan pemaknaannya, karena pada suatu budaya orang-orang lebih

tertarik mengungkapkan makna warna wajah melalui proses melihat

yang sifatnya sangat kontekstual atau yang ada hubungannya dengan

suatu kejadian dan kehidupan pribadi. Oleh karena itu penguraian

makna warna wajah berdasar sudut pandang filsafat, kepercayaan,

mitos dan hal-hal yang berhubungan dengan budaya suatu masyarakat,

tidak dapat hanya berdasar pada makna konseptualnya saja tapi

memerlukan penguraian makna secara lebih rinci melalui penggunaan

makna yang diungkapkan kembali.

“Bagaimana makna warna merah pada wajah tokoh Cepot dan

Dursasana yang ada dalam wayang golek Purwa ditinjau dari

konsep Nu Opat Kalima Pancer?”

Masalah tersebut dianggap penting untuk dikaji karena memiliki

(10)

teoritis kajian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman

tambahan mengenai konsep warna di daerah Sunda. Hal ini

disebabkan karena jarangnya penelitian dalam hal wayang golek yang

ditempatkan sebagai referensi, khususnya mengenai konsep warna

pada tokoh golek Cepot dan Dursasana.

1.4 Pembatasan Masalah

Bahasan tentang wayang golek mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas, karena wayang golek merupakan salah satu produk

budaya yang masih berkembang sampai sekarang. Oleh karena itu

penulis hanya menetapkan permasalahan tentang warna wajah pada

tokoh Cepot dan Dursasana pada wayang golek Purwa saja, dan jika

terdapat tokoh selain tokoh Panakawan yang menjadi bahasan, maka

tokoh tersebut hanya sebagai acuan objek utama.

1.5 Metode Penelitian

Dalam upaya memperoleh sumber atau bahan berupa data-data

yang kredibel serta relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka

diperlukan sebuah metode penelitian sebagai alat pisau bedahnya.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik

metode deskriptif. Melalui prosedur:

a. Hasil analisa warna wajah pada tokoh golek Cepot dan

Dursasana yang disajikan secara deskriptif berdasar estetika

(11)

b. Fungsi dan makna warna wajah yang diperoleh melalui

komparasi yang terdapat pada tokoh golek Panakawan dan

tokoh golek pembandingnya.

Deskriptif adalah uraian, paparan atau keterangan. Tujuan

penelitian deskriptif adalah untuk mengetahui paparan, uraian terhadap

suatu kasus yang sedang diteliti. Dengan mengetahui paparan ini

maka diharapkan peneliti dapat menganalisis dan memecahkan suatu

masalah secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

yang didapat. Penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan yang

berkenaan dengan situasi yang terjadi, sikap dan pandangan yang

menggejala di masyarakat, hubungan antarvariabel, pertentangan dua

kondisi atau lebih, pengaruh terhadap suatu kondisi, perbedaan antar

fakta (Sugiyono, 2006, h.21).

Penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.

Untuk mengetahui makna warna wajah wayang golek, maka

kajian ini akan dianalisis dengan menggunakan teori estetika paradoks

pola lima dari Jakob Sumardjo, dimana suatu benda akan dikaji dengan

menggunakan konsep pola berfikir masyarakat Sunda yang dikenal

(12)

dewa-dewa, dimana masyarakat masih mempercayai unsur mistis dan

transenden. Cara berkarya masyarakat pra-modern membentuk sebuah

pola yang sering ditemukan dalam artefak/karya benda pra-modern.

Salah satu pola tersebut adalah pola lima.

1.6 Metode Pencarian Data

Adapun cara memperoleh data yang diharapkan pada penelitian

ini, pada prinsipnya mengacu pada tiga bentuk sumber yang saling

berhubungan. Ketiga sumber tersebut adalah :

a. Sumber lisan berupa wawancara pengumpulan data melalui

interview secara langsung kepada dalang, juru golek, dan

budayawan.

b. Sumber tulisan, buku-buku terkait, dan bentuk kepustakaan

lainnya terkait sebagai referensi.

c. Dokumentasi teknologi elektronik seperti kaset audio dan kaset

(13)

1.7 Skema Penelitian

Gambar I.1 Skema Konseptual Wayang Golek

sebagai objek

Objektivasi sturuktur melalui

penokohan

Protagonis Antagonis

Penyampaian konsepsi tokoh melalui raut golek

Raut Peranan Raut Tampang Raut Wanda

Estetis Simbolik

Sistem Kemasyarakatan sebagai gagasan

Warna Wajah

(14)

1.8 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan

makna warna wajah yang terdapat pada tokoh golek Cepot sebagai

salah satu tokoh Panakawan dan Dursasana sebagai salah satu tokoh

Kurawa dalam cerita Mahabharata serta perannya di dalam wayang

golek purwa ditinjau dari konsep Nu Opat Kalima Pancer sebagai system kemasyarakatan Sunda berdasar estetika paradoks pola lima.

1.9 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini adalah :

a. Sebagai bahan informasi untuk melengkapi penelitian mengenai

warna wayang yang pernah ada sebelumnya.

b. Sebagai data awal untuk melakukan penelitian mengenai warna

wayang yang pernah dilakukan.

c. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat

apresiator wayang golek tentang makna warna, sehingga konsep

yang ada pada tokoh golek Cepot dan Dursasana dapat

(15)

1.10 Sistematika Penulisan

Ada pun sistematika penulisan dalam makalah ini diuraikan dalam

lima bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini membahas tentang latar

belakang permasalahan yang diangkat dalam makalah, identifikasi

masalah warna yang terdapat dalam Wayang Golek Sunda

(Purwa), perumusan masalah yaitu masalah-masalah yang akan

diteliti dan dibahas, pembatasan masalah yaitu batasan-batasan

yang digunakan agar penelitian menjadi fokus dan terarah,

metode penelitian berisikan pemaparan metode yang digunakan

dalam penelitian, manfaat, tujuan, dan diakhiri dengan sistematika

penulisan.

BAB II Makna Warna Dalam Wayang Golek, dalam bab ini berisi

teori-teori umum dan teori-teori khusus yang mendukung topik

penulisan skripsi, teori-teori yang digunakan berkisar mengenai

definisi warna, budaya lokal wayang, definisi wayang golek,

pengelompokan tokoh dalam wayang golek berdasarkan peran,

sistem kemasyarakatan Sunda, makna dan definisi umum

mengenai warna dan penggunaannya.

BAB III Warna pada Karakter Wayang Golek, pada bab ketiga ini

menguraikan data-data yang berkaitan dengan objek yang diteliti

yaitu “warna pada tokoh golek”, diantaranya adalah penjelasan

mengenai tokoh-tokoh yang ada pada wayang golek, raut peranan

(16)

pakem golek, dan deskripsi warna penokohan wayang golek. Data

yang diuraikan merupakan data primer maupun data sekunder.

BAB IV Kajian Makna Warna Wajah Tokoh Cepot dan Dursasana

pada Wayang Golek Purwa, dalam bab ini dibahas mengenai

analisa warna berdasar falsafah “Nu Opat Kalima Pancer”, dan

analisa deskriptif pada tokoh golek Cepot dan Dursasana.

BAB V Kesimpulan, pada bab ini merupakan bab terakhir

sekaligus bab penutup skripsi ini, bab ini mengemukakan

kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian yang

(17)

BAB II

MAKNA, WARNA DAN WAYANG GOLEK

2.1 Warna

Pemilihan warna adalah merupakan salah satu hal yang sangat

penting dalam menentukan respon dari calon pemakai. Warna adalah

hal yang pertama dilihat oleh seseorang. Warna akan membuat kesan

atau mood untuk keseluruhan gambar atau grafis, warna merupakan unsur penting dalam grafis karena dapat memberikan dampak

psikologis kepada orang yang melihat. Warna mampu memberikan

sugesti yang mendalam kepada manusia.

Dalam komunikasi grafis penggunaan warna perlu disusun dan

ditata secara tepat sehingga menimbulkan suasana mempengaruhi

luas kehidupan manusia sekaligus sebagai lambang psikologis. Warna

juga bersifat erat kaitannya dengan latar belakang budaya sebuah

bangsa atau komunitas tertentu yang mungkin memberikan penilaian

berbeda untuk penggunaan warna–warna yang berbeda. Penggunaan warna sebagai lambang yang menggambarkan perwatakan manusia

bisa ditemukan dalam kehidupan manusia.

2.1.1 Pengertian Warna

Warna adalah gejala visual yang kadang tidak tidak

begitu diperhatikan namun kehadirannya menambah nilai

(18)

Indonesia edisi ke empat (2008) ditulis, warna adalah kesan

yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh

benda-benda yang dikenainya.

Warna merupakan unsur yang sangat tajam untuk

menyentuh kepekaan pengelihatan sehingga mampu

merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, semangat,

dan lain-lain (Adi Kusrianto, 2009, h.47). Warna merupakan

salah satu sarana untuk melatih keutuhan persepsi terhadap

benda, warna menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam

menciptakan suasana benda dan warna dapat menimbulkan

pengaruh terhadap jiwa baik secara langsung maupun tidak

langsung misalnya perasaan gelisah, nyaman, panas dan

sebagainya.

2.1.2 Warna dan Kepribadian

Setiap orang memiliki kepribadian dasar. Kepribadian

seseorang telah terbentuk sejak nafas pertama ditiupkan di

dalam kandungan. Kepribadian seseorang memang dapat

berkembang tetapi tidak akan keluar dari sifat-sifat inti atau

dasarnya. Menurut Djalali (dalam Harjanti, 2008, h.1) bahwa

kepribadian adalah inti pikiran dan perasaan di dalam diri

seseorang yang memberitahu bagaimana ia membawa diri.

Kepribadian merupakan daftar respon berdasarkan nilai-nilai

(19)

mengarahkan reaksi emosional seseorang disamping rasional

terhadap setiap pengalaman hidup. Dengan kata lain,

kepribadian adalah proses aktif didalam setiap hati dan pikiran

seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa, berpikir

dan berperilaku

2.1.3 Warna di Tatar Sunda

Menurut Tubagus Hidayat (2010) dalam jurnalnya

Karakteristik Sistem Warna Dalam Bahasa Sunda”, warna

dalam masyarakat Sunda memiliki makna tertentu, dalam

kehidupan sehari-hari misalnya terlihat pada penggunaan

warna dalam upacara-upacara adat yang memiliki makna

simbolik, warna wajah tokoh wayang golek yang memiliki

makna sesuai dengan karakter tokohnya , dalam ungkapan dan

peribahasa juga terdapat kosakata warna misalnya ungkapan

‘hejo tihang’, tiang hijau bermakna orang yang selalu berpindah

tempat tinggal atau pekerjaan, hijau dalam ungkapan itu

bermakna negatif, atau dalam peribahasa ‘clik putih clak

herang’ hati yang tulus ikhlas. Putih dalam peribahasa tersebut

mengacu pada hal yang positif. Warna dalam bahasa Sunda

juga mengacu pada bendanya langsung, misalnya ‘megantara’ warna untuk kuda yang berwarna hitam mengkilat (sangat

(20)

a. Warna Dasar

Pembagian warna dalam bahasa Sunda

dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu warna dasar istilah

khusus warna, pembagian ini dapat digambarkan dalam

bagan berikut:

Warna Dasar

‘Bodas’ : Putih

‘Hideung’ : Hitam

‘Beureum’ : Merah

‘Hejo’ : Hijau

‘Koneng’ : Kuning

‘Gandola : Ungu

‘Kayas ’ : Merah muda

‘Kulawu’ : Abu-abu

‘Coklat’ : Coklat

(21)

b. Gradasi Warna

Untuk menggambarkan gradasi warna kata

warna dapat digabungkan dengan posposisi, preposisi

atau modalitas, diantara sebagi berikut:

Gambar II.2 Preposisi Warna

‘Kolot’ tua (beureum kolot, merah tua).

‘Ngora’ muda (‘hejo ngora’, hijau muda ) kecuali

untuk hitam tidak ada * ‘hideung ngora’ , hitam muda.

‘Saulas‘ agak (‘beureum saulas’, agak merah).  ‘Pisan’ sangat (‘hideung pisan’, sangat hitam).

‘Naker’sangat („bodas naker‟, sangat putih).  ‘‘Kudu’ harus (‘kudu koneng’, harus kuning).

(22)

Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning :

Gambar II.3 Nada Warna Merah dan Kuning

Beureum

Beureum cabe Beureum ati

Kasumba

Kayas

Gedang asak

Gading

Koneng Koneng enay

Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau :

Gambar II.4 Nada Warna Biru dan Hijau

Hejo

(23)

Hejo ngagedod Hejo paul

Gandaria Gandola

Bulao saheab

Pulas haseup Bulao

Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu :

Gambar II.5 Nada Warna selain Merah dan Kuning; Biru dan Hijau

Bodas Hideung

Borontok

Coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung Candramawat

Bulu hiris

(24)

2.1.4 Filosofi Warna dalam Masyarakat Sunda

Penggunaan warna sebagai lambang yang

menggambarkan perwatakan manusia bisa ditemukan dalam

kehidupan manusia. RW. Van Bemelan (seperti dikutip

Lazuardi, 2011), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan

untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur,

sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku

Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian

barat pulau Jawa, Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat

tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah

Pasundan atau Tatar Sunda.

a. Nu Opat Kalima Pancer

Masyarakat Sunda mengenal konsep penggunaan

warna yang memiliki makna perlambangan, diterapkan

dengan persesuaian arah mata angin. Konsep tersebut

kemudian dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”,

Nu opat (yang empat) menunjukkan arah mata angin: utara, timur, selatan dan barat. Kalima pancer (kelima lulugu, pemimpin) menunjukkan pusat keempat arah

mata angin, yaitu tengah. Nu opat kalima pancer ini melambangkan alam manusia, buana panca tengah

(25)

Gambar II.6 Nu Opat Kalima Pancer

Masyarakat Sunda dalam hidupnya menyerahkan

diri kepada hukum Illahi dengan bertitik tolak pada

penghayatannya terhadap alam semesta dan

menjadikannya sebagai tempat belajar atau guru (dalam

membaca situasi alam) sehingga mendapatkan hikmah

bagi dirinya. Ketika melihat matahari, bulan, bintang dan

benda-benda alam raya, maka yang ada dalam

penghayatannya adalah ingin mengidentifikasikan

(26)

tersebut untuk dihayati dalam upaya membangun

keluhuran akhlak dan budi pekertinya.

Warna putih bersesuaian dengan arah timur,

melambangkan sifat mencukupi. Pekerjaan yang sejalan

dengan sifat ini adalah bertani. Seorang petani memiliki

pembawaan yang tenang, jujur, tanpa pamrih, bisa

mencukupi diri sendiri.

Warna merah yang bersesuaian dengan arah

selatan, melambangkan sifat loba dan tamak. Loba dan

tamak menjadi sifat dasar pada pedagang yang

cenderung berusaha mendapat keuntungan demi

kepentingan diri sendiri. Berbagai upaya mengalahkan

saingan dagang kerap dilakukan untuk menggapai

keuntungan yang banyak dengan modal yang sesedikit

mungkin. Warna merah menjadi ciri wajah tokoh-tokoh

golek berwatak sombong, bengis, culas, dan watak

buruk lainnya.

Warna kuning yang bersesuaian dengan arah

barat, melambangkan sifat suka pamer. Sebagian tokoh

golek yang lagak, dengan sikap kepala tegak atau agak

mendongkak, warna wajahnya mengandung warna

dasar kekuning-kuningan (gading, hijau muda,, atau

merah kekuning-kuningan). Pada upacara-upacara

(27)

gigi), warna kuning yang dominan digunakan untuk

menghiasi bale tempat Dewi Ratih (Dewi Cinta). Oleh

karena itu, warna kuning bagi masyarakat Bali

merupakan lambang cinta.

Warna hitam yang bersesuaian dengan arah

utara, melambangkan sifat kaku. Pekerjaan yang sejalan

dengan sifat ini adalah pembantu. Warna hitam ini jarang

digunakan untuk memulas wajah golek. Sifat kaku

menggambarkan watak pengabdi yang patuh, kukuh.

Warna pancer bermacam-macam, yang melambangkan

pucuk kepemimpinan. Seorang lulugu harus berwatak baik yang tergambar dalam aneka macam warna.

Ketidakmampuan mengolah aneka warna ini akan

menghasilkan warna campuran yang kotor. Warna

campur baur ini tidak ditemukan dalam tokoh golek.

Hanya ada warna campuran dua jenis warna yang

menghasilka warna yang lebih muda atau lebih tua, yang

menggambarkan watak gabungan.

Warna putih, merah, kuning, dan hitam,

tampaknya digunakan sebagai warna perlambangan

yang pokok. Keempat konsep perlambangan tersebut

merupakan sebagai bagian warna yang digunakan

sebagai lambang. Warna hitam dan putih, dalam konsep

(28)

kebudayaan Indonesia khususnya Sunda, kedua warna

tersebut dianggap sebagai warna pokok. Dalam

naskah Sanghyang Siksakandang Karesian terdapat bagian yang menjelaskan warna yang dipakai untuk

tanda keberadaan empat arah mata angin yang

masing-masing merupakan kediaman sanghyang (dewa dalam

konteks mitologi budaya Sunda):

1. Timur, tempat Hyang Isora, warna putih

2. Selatan, tempatnya Hyang Brahma, warna merah

3. Barat, tempat Hyang Mahadewa, warna kuning

4. Utara, tempat Hyang Wisnu, warna hitam.

5. Tengah, tempat Hyang Siwa, warna:

macam-macam (aneka warna)

Tulisan dalam naskah tersebut tersebut adalah

“Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina)

(29)

warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.”

Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan (keadaan) semua

tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara,

tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya.

Ya sekian wuku lima di bumi.

b. Perlambangan Warna di Tatar Sunda

Perlambang berasal dari kata lambang, artinya

tanda atau yang menyatakan suatu hal atau

mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya keadilan

dilambangkan dengan gambar neraca, kesucian

dilambangkan dengan warna putih dan sebagainya.

Lambang-lambang yang dinyatakan dengan warna tidak

saja dipergunakan pada seni lama, baik masyarakat

yang belum maju mapun yang sudah modern. Nilai-nilai

simbolis sangat penting diketahui, karena warna sebagai

(30)

Kontradiksi dalam interpretasi lambang sering

ditemukan, karena lambang warna mungkin lebih bersifat

rasa daripada nyata. Menurut Tubagus Hidayat, tidak

adanya batasan yang jelas mengenai terminologi

merupakan penyebab kekaburan dan kebingungan

sehingga terjadi kontradiksi arti warna.

Putih ‘bodas

Arti ‘bodas’ menurut Kamus Basa Sunda yaitu; warna apu (kapur), warna kertas tulis dan lain lain,

gradasi warna dari putih tua (sangat putih) sebagai

berikut: ‘bodas’ putih kemudian „bodas nyacas’ sangat putih dan ‘bodas ngeplak’ sangat putih (lebih putih dari kata warna yang kedua). Makna figuratifnya ‘cakcak

bodas’ mata-mata/atau orang yang tidak dapat dipercaya

(makna negatif) ‘tanda bodas’ tanda putih mempunyai makna tanda pada laki-laki biasanya susah

mendapatkan keturunan (makna negative) ‘clik putih clak

herang‘ (peribahasa) bermakana tulus dan ikhlas (makna

positif), ‘getih bodas’ darah putih selain bermakna denotatif juga mempunyai makna figuratif yaitu kesucian

(31)

Hitam ‘hideung

Dalam Kamus Basa Sunda hideung berarti

warna areng, poek, harangasu, gradasi warna dari hitam (sangat hitam) sebagi berikut; hideung lestreng, hideung cakeutreuk, hideung lagedu. ‘hideung santen’ hitam seperti santan kelapa. Makna figuratif: ‘kudu puguh bule hideungna’ (peribahasa) berarti harus jelas masalahnya,

getih hideung’ darah hitam selain makna denotatif juga

mempunyai makna figuratif yaitu keberanian yang tidak

memperdulikan apapun.

Merah ‘beureum

Dalam kamus ‘beureum’ berarti warna getih, bagian kain dari bendera Indonesia gradasi warna merah

(sangat merah) sebagai berikut beureum obroy, dan beureum ati, beureum euceuy. Makna ‘beureum

paneureuy’ (ungkapan) berarti susah mencari nafkah

(32)

Kuning ‘koneng’

Dalam kamus ‘koneng’ berarti warna yang mirip cahaya lembayung. Gradasi warna dari kuning (sangat

kuning) sebagi berikut koneng obyar, koneng enay, koneng santen, koneng umyang, makna figuratif „seuri koneng‘ (ungkapan) tersenyum penuh arti, kulit koneng

(sebutan untuk orang jepang), kasakit koneng (penyakit hepatitis).

2.2 Wayang

Wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah

boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan

sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam

pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, dan Sunda), biasanya

dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun

sebelum Masehi. Menurut Darmoko (2004, h.9), dalam bahasa Jawa,

kata wayang berarti "bayangan". Jika ditinjau dari arti filsafatnya

"wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan

pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti

angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Cerita yang

dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari

(33)

Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam

mengembangkan wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur

sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa

Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan

ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan

satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi (Wayang Wong), mana yang Kulit

(Wayang Kulit), dan mana yang harus dicari (Wayang Golek).

2.2.1 Jenis - jenis Wayang

Menurut David Irvine dalam bukunya Leather Gods and Wooden Heroes (2005, h.128-134), wayang dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.

a. Wayang Kulit

Wayang Purwa, wayang kulit yang membawakan

cerita yang bersumber dari kitab Mahabarata dan

Ramayana

Wayang Suluh, wayang kulit dalam bahasa

Indonesia untuk memberikan penerangan

(penyuluhan). Wayang ini diciptakan sebagai media

penerangan mengenai sejarah perjuangan bangsa.

Karena itu, diantara tokoh wayangnya antara lain

terdapat Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo,

(34)

Wayang Krucil, wayang yang terbuat dari kulit, sering

dianggap sama dengan wayang Klitik.

Perbedaannya adalah induk cerita yang diambil

untuk lakon-lakonnya. Wayang Krucil mengambil

lakon dari cerita Panji, bukan dari Ramayana atau

Mahabarata.

 Wayang Gedog, wayang ini amat mirip dengan

wayang kulit Purwa, tetapi mengambil lakon dari

cerita-cerita Panji. Tokoh-tokoh ceritanya antara lain,

adalah Prabu Bromosekti, Probo Kelono,

Madukusumo, Ronggolawe, dan Raden Gunungsari.

Wayang Kancil, wayang ini terbuat dari kulit.

Menggunakan tokoh peraga binatang , cerita untuk

lakon-lakonnya diambil dari kitab Serat Kancil

Kridomartono karangan Raden Panji Notoroto.

Wayang Sadat, (sarana dakwah dan tablig) wayang

kulit yang mementaskan lakon para wali dari

Kerajaan Demak sampai Kerajaan Pajang,

anak-anak wayang dan dalang beserta niyaga memakai

(35)

b. Wayang Kayu

Wayang Thengul (Bojonegoro), wayang yang dibuat

dari kayu, biasanya berupa anak-anakan atau

boneka kayu.

Wayang Golek, adalah salah satu jenis seni tradisi

yang hingga sekarang masih tetap bertahan hidup di

daerah Tatar Sunda. Berbeda dari wayang kulit yang

dwimatra, wayang golek adalah salah satu jenis

wayang trimatra. Jika wayang kulit dibuat dengan

cara ditatah, wayang golek terbuat dari bahan kayu

bulat torak dengan cara diraut dengan pisau. Seperti

wayang kulit, pementasa golek berlatar belakang

cerita Mahabharata, yang disebut golek purwa.

Wayang golek purwa, cukup disebut “golek” untuk mengkhususkan penyebutannya sesuai dengan

yang biasa disebut oleh masyarakat Sunda. Wayang

golek, seperti jenis wayang lainnya, adalah alat

komunikasi yang lengkap, yaitu alat komunikasi

audio-visual yang telah lama akrab dengan

audiensnya. Aneka tuntunan dikemas dalam

tuntunan para dalang. Semua jenis wayang sejak

awal berfungsi sebagai wahana penyampaian

tuntunan disamping sebagai tontonan. Karena itu

(36)

dua sajian, yaitu sajian berupa nilai-nilai (tuntunan)

dan hiburan (tontonan).

Wayang Menak, wayang yang dibuat dari kayu dan

biasanya menceritakan tentang orang terhormat;

bangsawan, ningrat, priayi. Disebut juga Wayang

Tengul dengan peraga berbentuk boneka kecil. Latar

belakang cerita Menak adalah negeri Arab pada

masa perjuangan Nabi Muhammad menyebarkan

agama Islam.

c. Wayang Beber,

Wayang berupa lukisan yang dibuat pada kertas

gulung, berisikan cerita inti dari lakon yang akan

dikisahkan oleh dalang, dimainkan dengan cara

membeberkannya.

d. Wayang Orang / Wayang Wong

Wayang yang diperankan oleh orang. Wayang

Orang atau wayang Wong adalah seni drama tari yang

mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai

induk ceritanya. Dari segi cerita, wayang orang adalah

perwujudan drama tari dari wayang kulit Purwa. Pada

(37)

seperti pada pertunjukan Ludruk di Jawa Timur. Para

pemainnya terdiri atas abdi dalem kraton.

e. Wayang Topeng

Pertunjukan wayang dengan para pelakunya

memakai topeng.

f. Wayang Potehi

Wayang Potehi adalah teater boneka Cina dan

bukan wayang. Pertunjukan boneka ini dulu biasa

dipergelarkan di kota-kota besar di Indonesia, di dalam

Klenteng atau pasar malam. Kisah-kisah Cina yang

dipergelarkan antara lain Sie Jin Kui, Sun Go Kong, Sam

Pek Eng Tay. Pertunjukan ini diiringi oleh alat-alat musik

Cina.

2.2.2 Penokohan dan perwatakan

Perwatakan adalah penggambaran watak atau sifat

tokoh cerita. Perwatakan berfungsimenyiapkan atau

menyediakan alasan bagi tindakan tertentu dengan cara

menggambarkan watak atau sifat-sifat tokoh-tokoh cerita.

Watak atau tokoh dalam cerita terbagi atas tiga

(38)

 Tokoh Protagonis adalah tokoh utama dalam drama

yang dimunculkan untuk mengatasi berbargai persoalan

yang dihadapi dalam cerita.

 Tokoh Antagonis adalah tokoh yang melawan

Protagonis.

 Tokoh Tritagonis adalah tokoh pendamai yaitu tokoh

yang tidak memiliki sifat Protagonis dan Antagonis.

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan

tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat

para tokoh itu. Penokohan dapat digambarkan melalui dialog

antar tokoh, tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama, atau

pikiran-pikiran tokoh. Melalui penokohan, dapat diketahui

bahwa karakter tokoh adalah seorang yang baik, jahat, atau

bertanggung jawab.

Perwatakan dan penokohan dalam golek teraplikasi

kedalam beberapa peranan, yaitu:

a. Pandawa

Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa

Sanskerta, yang secara harfiah berarti anak Pandu,

yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita

Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa

merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam

(39)

protagonis. Dalam kisah Mahabharata, setiap anggota

Pandawa merupakan penjelmaan dari Dewa tertentu,

dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain

tertentu.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran,

tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna)

merupakan putera kandung Kunti, sedangkan yang

lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putera

kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu

(Tanojo, 1960).

b. Kurawa

Kurawa atau Kaurawa adalah kelompok antagonis

dalam kisahMahabharata. Kurawa adalah musuh besar

para pandawa. Jumlah mereka ada seratus dan

merupakan putra Prabu Dretarastra yang buta dan

permaisurinya, Dewi Gandari.

Berikut ini nama-nama seratus Kurawa versi Jawa

dan Sunda. Kedua Kurawa utama yaitu Suyodana alias

Duryodana dan Dursasana disebut lebih dahulu.

1. Duryodana (Suyodana)

2. Dursasana (Duhsasana)

3. Abaswa

4. Adityaketu

5. Alobha

6. Anadhresya

(Hanyadresya)

(40)

8. (Hanudhara)

9. Anuradha

10. Anuwinda (Anuwenda)

11. Aparajita

12. Aswaketu

13. Bahwasi (Balaki)

14. Balawardana

15. Bahwasi (Balaki)

16. Balawardana

17. Bhagadatta (Bogadenta)

18. Bima

19. Bimabala

20. Bimadewa

21. Bimarata (Bimaratha)

22. Carucitra

62. Krathana (Kratana)

(41)

64. Kundadhara

100. Wiwitsu (Yuyutsu)

Wyudoru

c. Panakawan Pandawa

Panakawan adalah sebutan umum untuk para

pengikut ksatriya dalam khasanah kesusastraan

Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para

Panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang,

(42)

orang sebagai kelompok penebar humor untuk

mencairkan suasana. Namun di samping itu, para

Panakawan juga berperan penting sebagai penasihat

non formal ksatriya yang menjadi asuhan mereka

(Tanojo, 1960).

Berdasarkan sejarahnya, Punakawan atau juga

disebut Panakawan lahir di bumi Indonesia. Sedangkan

tokoh-tokoh Panakawan yang menjadi topik bahasan

pada penulisan ini berfokus pada wayang purwa (Jawa).

Tokoh Panakawan yang terdiri atas Semar, Cepot,

Dawala dan Gareng dibuat sedemikian rupa mendekati

kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam

2.3 Makna dan Estetika Berdasarkan Masyarakat Pola Lima

Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus

mengerti atau memahami. Namun keadaan „lebih dahulu mengerti‟ ini

bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah.

Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya

telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan

antara mengerti dan membuat interpretasi.

2.3.1 Makna

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002,

(43)

diberikan kepada suatu bentuk kebahasan. “Untuk mengetahui

secara dalam apa yang dimaksudkan dengan istilah makna,

perlu ditelusuri melalui ilmu yang disebut seumantik. Istilah

teknis yang mengacu pada studi tentang makna” (Pateda, 2001, h.2)

Menurut Kridalaksana dalam Aminuddin (1985, h.50),

dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam

berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Sewajarnya bila

makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan,

konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi, dan

pikiran. Dari sekian banyak perngertian yang diberikan, hanya

arti yang paling dekat pengertiannya dengan makna. Meskipun

demikian bukan berarti keduanya adalah sinonim. Disebut

demikian karena arti adalah kata yang telah mencakup makna

dan pengertian.

Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek

adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa

berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada

dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi

„pakaian‟ arti pada objek. Subjek dan objek adalah term-term

yang kolektif atau saling menghubungkan diri satu sama lain.

Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi

objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas

(44)

sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka

objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1993,

h.30).

2.3.2 Estetika Masyarakat Pola Lima

Masyarakat yang ada pada pola lima adalah mereka

yang mengandalkan hidupnya dari bersawah. Masyarakat

sawah adalah petani yang berbeda dengan masyarakat

peladang yang juga petani. Di Indonesia, masyarakat peladang

dan pesawah menggantungkan sumber hidupnya dari bertani

dengan menanam padi. Kalau masyarakat peladang bertani

padi di daerah perbukitan, masyarakat sawah bertani padi di

dataran rendah sehingga terdapat perbedaan di antara

keduanya (Sumardjo, 2006, h.167). Pola lima orang sawah

dimulai dari pengaturan sosialnya yang disebabkan oleh cara

hidup yang ditempuhnya, yakni bersawah. Dibaca secara ruang

orang sawah, maka setiap kesatuan kampung terdiri dari empat

kampung yang masing-masing menempati arah mata angin,

dan satu kampung berada di pusatnya. Kampung pusat inilah

merupakan kampung terpenting, justru karena berada di pusat

ruang, sehingga mampu untuk mengatur keadilan pembagian

air irigasi persawahan yang luas itu. Dalam tradisi Jawa,

(45)

dikenal dengan nu opat kalima pancer, sedangkan mancapat (atau empat kawan) merupakan konsep mandala pada zaman

Hindu-Jawa. Namun konsep pembagian lima ini diduga telah

ada sebelum agama Hindu dan Islam masuk Pulau Jawa.

Penjelasan tentang mancopat kalimo pancer menurut Sumarjo

adalah sebagai berikut:

Pengaturan pola lima masyarakat persawahan

merupakan sumber makna bagi praktis kehidupan. Semua hal

dipola berdasarkan mancopat kalimo pancer, baik alam rohani,

alam semesta (jagat besar), manusia (jagat kecil), budaya

(negara, seni, teknologi, ekonomi). Mancopat kalimo pancer

adalah paradigma hubungan tunggal dan plural. Tunggal

adalah pusat dan plural adalah pengikut, saudara, keluarga,

anggota dari pusat. Inilah dwitunggal. Kawula-Gusti. Tunggal

adalah paradoks karena merupakan sintesa dari

anggota-anggotanya yang plural dualistik (Sumardjo, 2006, h.172).

Pengaturan ini menghadirkan yang transenden (rohani, illahi,

kedewaan) ke dunia imanen (materi, duniawi, manusiawi) atau

membuat yang imanen menjadi transenden. Hasilnya adalah

kehadiran yang transenden di dunia imanen, yang adanya di

pusat. Inilah tujuan hidup manusia sawah di dunia ini, karena

yang transenden berarti kehidupan, penuh daya hidup, kreatif,

adikodrati (supranatural), makmur, selamat, sejahtera. Semua

(46)

(termasuk seni), bangunan rumah, dan manusia adalah wujud

dari yang transenden-imanen. Itu semua medium yang

menghadirkan daya-daya adikodrati, baik untuk keselamatan

manusia dan dunia atau untuk musibah manusia.

Artefak-artefak seni pra-modern harus direkonstruksi

kembali secara etik, agar dalam dekonstruksi modern tidak

menyimpang jauh dari makna semula. Inilah bentuk

penghormatan terhadap makna artefak seni tua, sehingga kita

dapat berkerja secara fungsional. Orang modern dapat

membangun konstruksi baru yang sesuai kebutuhannya

dengan cara mendekonstruksi dari sebuah rekonstruksi yang

memadai. Menurut Sumardjo dalam Ratnawati (2010, h.32), dalam

estetika India, elemen yang penting dalam seni rupa adalah

intuisi mental dan suatu hal yang dikonsepsikan dan

personalitas seniman menyatu dengan objek. Di India sangat

mementingkan sikap dan bentuk yang simbolisme

(perlambangan). Seniman yang mencipta objek keindahan atau

seni adalah didorong oleh potensi teologisnya. Pandangan

estetika India klasik dikenal sebagai Sad-angga atau enam

pegangan keindahan yaitu Rupabhade atau pembedaan

bentuk; Sadrsya atau bentuk yang digambarkan sesuai dengan

ide; Pramuna atau sesuai dengan ukuran yang tepat; Bhawa

(47)

BAB III

WARNA PADA KARAKTER WAYANG GOLEK

3.1 Karakter pada Wayang Golek

Menurut Sudjarwo (2010, h.15), dikemukakan bahwa wayang

adalah wewayanganing ngaurip (cerminan jiwa dan karakter hidup manusia). Sebagai ungkapan seni, bentuk atau figur natural manusia

digayakan menjadi boneka kayu. Lahirlah gaya rupa wayang

sebagaimana yang kemudian dapat dikembangkan.

3.1.1 Pengertian Karakter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), karakter

disebut watak jika telah berlangsung lama dan melekat pada

diri seseorang. Contohnya tegas, berwiwaba. Seseorang

dikatakan tegas, berwibawa maksudnya menggambarkan

perilaku seseorang yang jika dikaitkan dgn norma yg berlaku

memiliki sikap dan perilaku serta perbuatan yg dipandang dari

norma sosial adalah baik dan sebaliknya. Dalam

implementasinya pada wayang golek, karakter lebih menitik

beratkan pada gambaran tingkah laku seseorang dengan

menonjolkan suatu nilai (baik-buruk, salah-benar) baik secara

eksplisit maupun implisit. Jadi dalam melakukan penilaian

terhadap perilaku seseorang ada norma tertentu yg digunakan

(48)

3.1.2 Jenis Karakter dalam Wayang Golek

Wayang golek bersinggungan dengan lingkungan

kehidupan, arti kehidupan, dilema moral, dan konflik psikologi.

Berbagai macam karakter manusia, masing-masing

merepresentasikan gabungan sifat personal yang terdapat

pada diri dari manusia. Baik-buruk, dapat dikelompokkan pada

masing-masing kriteria, pada kasta sosial, dan pada tingkat

kehalusan golek. Umumnya tekanan dramatis pada wayang

golek digambarkan melalui konflik antara sesuatu yang

berlawanan, mendeskripsikan sesuatu yang mutlak seperti :

kanan dan kiri, hitam dan putih, maupun baik dan buruk.

Pembagian karakter pada wayang golek dapat lebih tegas,

dengan nuansa yang memberikan kesan kasar dari

kepribadiannya melalui pewarnaan yang lebih menonjol

daripada kebanyakan karakter halus. Namun kaidah estetika

rupa wayang yang berlaku secara umum adalah “Tokoh yang

berbudi baik adalah yang halus, tokoh yang jahat adalah kasar”

(Sudjarwo, 2010, h.17).

Pertunjukkan wayang di Jawa mengandung arti

perlambangan mulai dari unsur cerita (lakon), gamelan (karawitan), pertunjukan, sampai pada bentuk dan karakter peran wayang itu sendiri. Panggung pertunjukan wayang dibagi

dua, disebelah kanan dan di sebelah kiri. Panggung sebelah

(49)

dan bijaksana. Biasanya wajah tokoh-tokohnya tampak

menunduk atau datar, warna mukanya gelap, kuning mas,

putih, kadang-kadang biru muda. Panggung seblah kiri tempat

para tokoh jahat, kasar, atau bengis, dengan wajah terangkat,

mata besar atau mendelik dan wajah-wajah kemerahan.

a. Halus

Kepala menganggut sebagai pertanda

kerendahan hati dan watak yang tidak suka membantu

melakukan kejahatan, wajah halus, hidung mancung,

mata berbentuk buah badam, kulit konéng pisitan –

kuning langsat dan berperawakan tinggi langsing.

Gentra (suara) merdunya leuleuy (lemah lembut) yang begitu rendah nadanya bahkan terkadang tidak

kedengaran.

b. Kasar

Sifatnya angguklung – besar kepala, mereka lebih pendek, sosok tubuhnya seperti raksasa. Tabiatnya

caluntang atau tidak tahu adat, kepala menengadah dan matanya yang sangat belotot tampak membusung.

Hidung besarnya pesek, sosok tubuhnya rapat dan

(50)

3.2 Warna Berdasar Raut Peranan

Boneka golek baru dapat dinikmati sebagai alat perupaan cerita.

Raut golek yang secara visual melambangkan watak para rokoh cerita

belum bisa dinikmati oleh penontonnya. Hanya segolongan penonton

tertentu saja yang bisa menikmatinya. Sikap kepala, warna wajah, pola

garis alis, pola mata, pola hidung, pola garis kumis, dan pola mulut,

pada dasarnya menunjukkan watak dan ciri golek tertentu. Lebih

khusus lagi, watak dan ciri golongan golek tadi ditampilkan dalam

keutuhan rautnya. Raut golek dapat dipilah berdasarkan tiga hal, yaitu

peranan tokoh disebut juga raut peranan, tampang tokoh atau raut

tampang, dan wanda tokoh atau raut wanda (Suryana, 2001, h.26-27).

Wanda tidak hanya sebatas raut yang dapat dicerap secara

visual. Wanda mengandung arti menyeluruh, yang menunjukkan

suasana hati, keadaan fisik, dan lingkungan tokoh golek. Secara visual

ciri-ciri wanda dapat dilihat dalam unsur-unsur raut golek.

Pembahasan tentang warna yang digunakan dalam wayang

merupakan masalah yang biasanya terlupakan oleh para penulis

wayang. Sejumlah buku, terutama yang menjadi acuan, luput

membahas masalah warna. Lebih khusus lagi mengenai falsafah warna

yang terkandung dalam wayang, yang dibahas hanya mengenai

masalah teknis, pembuatan bahan dan pemulasannya. Aturan, alasan,

atau latar belakang pemikiran penggunaan warna, mengapa wajah

harus merah, hitam, merah muda, gading tulang, hijau muda, biru

(51)

Warna, terutama warna wajah wayang, mendukung nilai wanda.

Warna wajah merupakan tanda watak wayang. Hal ini tampak jelas

dengan ditemukan adanya kesepakatan penggunaan warna wajah

untuk wayang-wayang sejenis. Misalnya, kelompok wayang yang dalam

cerita digambarkan lagak, mudah marah, sombong, atau serakah dan

sejenisnya, tokoh yang mana pun, warna wajahnya pasti merah.

3.2.1 Warna Pada Golek Satria

Warna, terutama warna wajah, merupakan unsur penting

pada golek. Golek-golek yang dibuat pada masa awal

menggunakan warna yang “dingin”, dalam arti warna-warna

yang digunakan adalah warna dasar yaitu merah, biru, kuning

(prada atau emas), putih, dan hitam. Sebaliknya, golek-golek

yang dibuat pada masa kini, ditambah dengan warna-warna

yang “hangat”, seperti warna-warna hasil campuran : biru

muda, hijau muda, ungu, merah muda, dan gading. Hiasan

kelapa pada awalnya hanya diberi warna prada, hitam, putih,

dan merah, dengan mengutamakan penggunaan warna prada

dan hitam.

3.2.2 Warna Pada Golek Ponggawa

Corak warna yang digunakan dalam menampilkan

karakter wajah golek Ponggawa adalah warna dasar merah.

(52)

berurusan dengan perang. Warna wajah yang lain, seperti hijau

lumut, biru muda, dan gading, hanya diterapkan dalam

wajah-wajah golek tertentu. Warna putih, biru muda, dan hijau

kekuning-kuningan pada wajah tokoh golek Gatotkaca,

misalnya, mampu menampilkan kesan Ponggawa gagah tetapi

tenang dan sopan santun, meskipun juru golek memberi warna

merah pada biji mata Gatotkaca (warna merah, bertingkat ke

warna merah muda, dan berakhir pada warna kuning pada

bagian tengah bulatan biji mata). Warna biji mata Gatotkaca

tidak termasuk simbol, hanya sebagai penanda saja. Oleh

karena itu, biji mata pada Gatotkaca karya para juru golek tidak

menunjukkan warna yang sama.

3.2.3 Warna Pada Golek Buta

Jenis warna yang digunakan dalam menampilkan wajah

golek Buta terutama warna merah. Warna merah yang

digunakan untuk wajah golek Buta, secara pasti

menggambarkan watak buruk, pemarah, barangasan, serakah, dan watak sejenis lainnya. Beberapa golek buta tambahan

wajahnya diberi warna biru muda atau hijau muda. Penguraian

warna tampaknya tidak terlalu sulit untuk dipertahankan dalam

pembuatan golek Buta, karena watak buruk secara terang

(53)

3.2.4 Warna Pada Golek Panakawan Pandawa

Warna putih, merah, merah muda, dan gading adalah

warna yang digunakan pada wajah masing-masing tokoh

Panakawan. Warna hitam digunakan untuk mewarnai bagian

badan. Karena keempat golek panakawan ini tidak bermahkota,

hiasan kepalanya cukup dengan bendo atau ada juga yang menggunakan topi dan kopiah. Warna-warna lain yang

digunakan untuk menghias bagian-bagian golek tidak

ditemukan pada kelompok golek ini.

3.3 Pakem pada Golek

Pakem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah

cerita wayang yang asli. Murtiyoso (seperti dikutip Suryana, 2001,

h.125-133) menegaskan bahwa pakem adalah “pedoman bagi suatu

pertunjukan wayang”. Para dalang yang secara terus menerus

berhubungan dengan pakem wayang, menganggap bahwa pakem

hanyalah pedoman. Bahkan dalam praktek pedalangan, terdapat ruang

bagi interpretasi pribadi maupun inovasi, dalang yang kerap longgar

dalam ikatan pakem biasa disebut sebagai dalang “kreatif”.

3.3.1 Syarat Estetika Golek

Menurut kerja produksi media desain yang baik, seperti

dalam estetika Hindu makna “baik-indah” adalah bila berhasil

(54)

a. Rupabheda

Rupabheda artinya pembedaan bentuk. Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus

dapat segera dikenal oleh audience yng melihat. Bunga

harus segera dapat dikenali sebagai bunga, pohon

sebagai pohon. Pokoknya dalam hal ini ketrampilan

seniman menyatakan bentuk harus jelas dan tak

meragukan.

b. Sadrsya

Sadrsya kesamaan dalam penglihatan. Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus

sesuai dengan ide yang terkandung didalamnya.

Misalnya sebuah pohon sengan bunga-bunga dan

buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan,

haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang

cukup mengenai kesuburan ini. Misalnya dengan

menggambarkan batang-batangnya yang serba

membulat segar, bunganya yang merekah dengan

kelopak tebal seolah-olah dialiri air yang pada dasarnya

(55)

c. Pramana

Pramana sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini. Maka tradisi

menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari

tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah

perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini

harus diteguhkan dengan ukuran-ukuran yang tetap

pula. Disini proporsi menjadi sangat penting.

d. Warnikabhangga

Warnikabhangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Seperti dalam seni lukis, warna

mempunyai porsi sangat penting. Syarat ini adalah

meliputi: pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan

alat-alat lukis, percampuran warna dan pemakaian

warna secara tepat.

e. Bhawa

(56)

f. Lawanya

Lawanya artinya keindahan, daya pesona. Dalam hal ini sebuah karya dinilai secara kualitas, suatu hasil

seni akan menimbulkan kesan yang dalam bagi

penikmat seni bahkan bisa mempengaruhi batinnya.

Seperti misalnya melihat sebuah patung Budha

memancarkan keagungan, ketentraman dan

kekhidmatan.

3.3.2 Pakem Rupa Golek Melalui Pembuatannya

Bagi orang Indonesia terutama orang Jawa dan Sunda,

raut golek bisa dikatakan estetis bila semua unsur rautnya,

seperti tunduk-tengadah kepala, warna wajah, pola alis, pola

mata, pola hidung, pola kumis, dan pola mulut, tetap mengacu

pada satu kesatuan yang taat pakem, mengikuti aturan pakem

pembuatan dan cerita golek.

Pakem adalah semacam patokan untuk

menggambarkan sistem gagasan. Seperti dalam patokan

estetika umum, sebentuk benda seni rupa trimatra yang

dianggap memiliki nilai estetis umum, dapat dijelaskan

berdasarkan susunan unsur-unsur seperti garis, bidang, barik,

warna, terang-gelap, proporsi yang bersifat estetis. Pakem raut

(57)

dengan latar belakang sistem gagasan yang disepakati

masyarakat pendukungnya melalui bahasa rupa.

Golek Sikap

Satria Ladak Dangah

Beureum

Kedondong Bangir Turih Rada ageung

Buta Tanggah Beureum

Ageung,

rerengon

turih

Kedondong Medang,

bangir Turih Sihungan

Panakawan:

tulis Peten, juling Panjang Tulis Cadok

Panakawan:

Gareng Tungkul Kayas tulis Juling Benguk Tulis Gusen

Tabel III.1 Pakem Golek Menurut Ade Sukentar

(58)

3.4 Warna Pada Tokoh Golek

Warna wajah pada wayang golek mempunyai arti simbolis,

akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah

untuk wajah yang sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka,

akan tetapi tokoh Karna yang memiliki warna rias muka putih adalah

pengecualian karena dalam wiracarita, sosok Karna sebenarnya

bukan darah Kurawa asli. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan

oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain,

seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Tokoh Arjuna,

baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah

tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah dikenal secara umum.

Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang

dan waktu pemunculannya. Arjuna dengan warna muka kuning

ataupun putih dipentaskan untuk adegan di dalam kerajaan,

sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa

dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan

(59)

3.4.1 Pandawa

Gambar III.7 Pandawa Lima Sumber : David Irvine (2005)

Pandawa adalah anak Pandu yaitu salah satu

Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan

demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan

tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa

adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa,

yaitu putera Dretarastra, saudara Pandu sendiri.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di

antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putera

kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa)

merupakan putera kandung Madri, namun ayah mereka sama,

yaitu Pandu.Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut

merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing

(60)

 Yudistira penitisan dari Dewa Yamaraja, Dewa keadilan dan

kebijaksanaan,

 Bima penitisan dari Dewa Bayu, penguasa angin,

 Arjuna penitisan dari Dewa Indra, penguasa Surga,

 Nakula dan Sadewa penitisan dari Dewa kembar Aswin,

Dewa pengobatan.

Filosofi Pandawa

 Jempol – Yudistira: sebagai kakak tertua yang menaungi

dan sebagai contoh sopan santun dalam hidup, Yudhistira

adalah salah satu karakter yang nerimo, dalam artian,

Yudhistira adalah orang yang selalu menyatakan, “silahkan”

monggo” dalam hal ini, masyarakat Jawa selalu

menggunakan jempol untuk menunjukkan arah, atau

menyatakan persetujuan.

 Jari Telunjuk – Bima: sebagai raksasa, Bima dikenal

sebagai orang yang lurus dan terus terang, walaupun keras

dan apa adanya, bahkan dia hanya menggunakan Kromo Inggil (bahasa jawa yang halus) hanya kepada gurunya, Dewa Ruci. Bima dikenal sebagai orang yang keras dan

berusaha mengingatkan dengan galak. Masyarakat kita,

jika memarahi orang atau mengingatkan orang, akan

menggunakan jari telunjuk yang teracung, simbolisme Bima

Gambar

Gambar I.1 Skema Konseptual
Gambar II.2 Preposisi Warna
Gambar II.4 Nada Warna Biru dan Hijau
Gambar II.6 Nu Opat Kalima Pancer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ruang warna yang terbaik pada citra dengan satu wajah menggunakan ruang warna RGB dengan rata-rata MSE senilai

Makna idiomatikal warna merupakan makna khusus dan berbeda dari makna leksikal; (2) terdapat hubungan antara makna leksikal dan makna idiomatikal secara metafora 12 kanyouku ,

Nilai pendidikan yang diajarkan melalui tokoh punakawan dapat dilihat dari makna simbolik bentuk tata rias wajah punakawan, dengan melihat karakteristik rias wajah pada

Hasil yang di dapatkan dari penelitian ini adalah makna warna pada karya lukis wadji iwak, pelukis ternama asal sidoarjo yang khas akan objek ikan dan warna yang di gunakannya

Nilai-nilai budaya Jawa yang terkandung di dalam pertunjukan wayang golek di Kebumen dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan tuntunan hidup yang baik bagi manusia

Makna idiomatikal warna merupakan makna khusus dan berbeda dari makna leksikal; (2) terdapat hubungan antara makna leksikal dan makna idiomatikal secara metafora 12 kanyouku,

Hasil pengamatan fisik dan kimia sedian masker wajah tradisional Sumbawa Seme Babak dari Kulit Batang Pohon Mangga golek Mangifera indica Linn yang meliputi uji fisik ukuran partikel,

Fokus Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini difokuskan pada analisis bentuk dan makna visual seperti warna, gestur, karakter, dan makna karakter yang terdapat dalam