Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ADLUL ALGHOFIQI NIM: 1112044100006
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
vi
KATA PENGANTAR
محرلا نمرلا ه مسب
هتارب و ه ةمر و ميلع ماسلا
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan berbagai macam nikmat, rahmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis
kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan
para pengikutnya yang senantiasa berjuang dengan ikhlas untuk menyebarkan
dakwah Islam kepada seluruh makhluq hingga saat ini.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Selain itu, skripsi merupakan bentuk pengamalan ilmu yang penulis dapat
selama menimba ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang penulis persembahkan untuk seluruh umat. Membahas dan
menyusun skripsi ini bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan ‘azam yang kuat,
ikhtiar yang sungguh-sungguh dan doa yang tulus.
Penulis banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan bimbingan dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
vii
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Abdul Halim, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Arip Purkon, M.Ag. selaku Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga.
3. Ibu Dr. Isnawati Rais selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
ikhlas dan sabar untuk memberikan arahan, bimbingan dan koreksi
yang sangat berharga dan berarti dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M.Ag. selaku penguji I dan Ibu
Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A. selaku penguji II yang telah
memberikan arahan dan membimbing kepada penulis dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Narasumber, Bapak Muhammad Tamrin, Papa, Mama, Bapak Sawir,
Datuk H. Khaidir, Bapak Makmur Hendrik, Bang Dalis, Etek Seri yang
telah memberikan doa dan informasi berkenaan dengan materi skripsi
yang penulis tulis.
6. Ibu Dr. Hj. Azizah selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memperhatikan dan memberikan arahan kepada penulis semasa
menjalankan kewajiban sebagai seorang mahasiswa serta arahan dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini.
7. Para dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
penulis khususnya dan kepada seluruh mahasiswa umumnya semasa
menimba ilmu di universitas ini.
8. Papa tersayang, Muhammad Tamrin, dan Mama tercinta, Murniati, sujud ta’zhim dan abdi Fiqi kepada Papa dan Mama. Yang senantiasa
mencurahkan kasih sayang kepada penulis. Tak dapat diungkapkan apa
saja yang telah mereka berikan kepada penulis dengan keikhlasan yang
tinggi, semangat mereka dalam mendidik penulis dan adik-adik penulis
agar menjadi anak yang shaleh/ah. Tak dapat penulis balas seluruh jasa
mereka, penulis hanya mampu berdoa kepada Allah SWT,
mudah-mudahan Papa dan Mama senantiasa mendapatkan cinta, kasih sayang
serta keridhaan Allah SWT. Aamiin.
9. Adik-adik penulis, Adlul Ayatullah dan Adlul Finy Rahma atas
semangat dan motivasi serta doa yang kalian berikan kepada penulis.
Mudah-mudahan kita dijadikan anak yang shaleh dan shalehah yang
akan menjadi bibit amal untuk papa dan mama kita. Aamiin.
10. Seluruh keluarga besar penulis di manapun berada. Doa, dorongan dan
nasehat yang kalian berikan kepada penulis menjadi cambuk semangat
penulis dalam menimba ilmu.
11. Seluruh lapisan masyarakat Pasir Putih, Desa Buluh Cina atas doa,
motifasi dan informasi yang sangat barmanfaat bagi penulis.
12. Seluruh guru penulis, baik itu guru di TPA Masjid Nurul Islam Pasir
ix
penulis dapat mencicipi salah satu nikat Allah yang besar, yakni ilmu
pengetahuan.
13. Seluruh Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah
Pekanbaru (IKAPDH) dan seluruh keluarga besar Serumpun
Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, Ilka, bang Riko, bang Icksan
(cobro), bang TQ, bang Jefri, bang Notok, Rahmad, Miko, Khaidir,
Umi, Ridha, dan kawan-kawan lainnya yang besar tak dapat disebut
gelar dan yang kecil tak dapat disebut nama tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, atas apa yang telah kalian berikan kepada
penulis. Kekeluargaan yang kita buat dalam organisasi ini menjadi
dorongan, semangat dan modal yang besar bagi penulis di perantauan
ini dalam menimba ilmu. Untuk adek-adekku di IKAPDH dan
SEMARI, terus semangat dalam menimba ilmunya, ikhlas dan syukur
jangan dilupakan, semoga kita semua menjadi bibit bangsa yang
berharga dan berguna bagi masyarakat. Walaupun kita jauh dari orang
tua dan keluarga, namun di IKAPDH dan atau SEMARI ini kita
ciptakan kekeluargaan yang tak kalah hangatnya sebagai salah satu
bekal kita di perantauan ini.
14. Seluruh sahabat dan teman-teman penulis di manapun dan dari
manapun. Pelajaran hidup dan motivasi dari kalian penulis ambil
sebagai i’tibar bagi penulis dalam meniti kehidupan ini terkhusus Diana
x
semangat dan motivasi kepada penulis selama menimba ilmu di
Madrasah Aliyah hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan
kepada seluruh pihak atas segala yang telah diberikan kepada penulis hingga
selesainya penulisan skripsi ini dan semoga apa yang telah penulis tuangkan
dalam skripsi ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pribadi penulis dan bagi
seluruh umat sehingga menjadi tabungan amal bagi penulis dan menjadi salah satu
modal penulis untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal
‘Aalamiin.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan
skripsi selanjutnya.
و ه ةمر و ميلع ماسلا و
هتارب
Ciputat, Oktober 2016 M Muharram 1438 H
v ABSTRAK
Adlul Alghofiqi. NIM 1112044100006. Kewarisan Suku Domo Ditinjau Dari Kewarisan Islam. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, 1438 H / 2016 M, xii + 93 halaman + 19 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap kewarisan Islam serta penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo. Dalam kewarisan suku Domo, anak perempuan mendapat bagian yang lebih dari pada anak laki-laki, hal ini jelas berseberangan dengan kewarisan Islam yang memberikan bagian lebih kepada anak laki-laki. Ahli waris yang berhak menerima warisan dalam kewarisan suku Domo jika seluruh ahli waris hidup adalah anak pewaris saja. Ahli waris yang lainnya terhijab oleh anak. Hal ini juga merupakan perbedan yang besar dengan kewarisan Islam. Untuk itu, penulis perlu meneliti kewarisan suku Domo ini yang secara keseluruhan mereka adalah muslim, sehingga di satu sisi mereka memiliki kewajiban untuk menjalankan kewarisan Islam sebagai seorang muslim dan kewarisan adat sebagai masyarakat yang beradat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dengan mewawancara para pihak yang memiliki peran dalam kewarisan suku Domo, dimana para narasumber dalam penelitian ini adalah pemuka adat, alim ulama dan masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat suku Domo secara umum terhadap kewarisan Islam sangat terbatas. Penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo terdapat dalam musyawarah para ahli waris yang diberitahukan oleh tokoh agama bagian yang mereka dapat dalam kewarisan Islam. Selain itu kewarisan Islam digunakan secara utuh ketika ahli waris memilih untuk menggunakan kewarisan Islam dan ketika tidak tercapai kata mufakat dalam musyawarah para ahli waris.
Kata Kunci : Masyarakat Suku Domo, Kewarisan Adat Suku Domo, Kewarisan Islam.
Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A.
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... ... v
KATA PENGATAR ... vi
DAFTAR ISI ... ... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Review Studi Terdahulu ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan ... 14
B. Dasar Hukum Kewarisan ... 18
C. Rukun dan Syarat Kewarisan ... 22
D. Sebab-Sebab dan Penghalang Kewarisan ... 27
E. Macam-Macam Ahli Waris dan Hak Masing-Masing... 32
BAB III : SUKU DOMO DI KECAMATAN SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR-RIAU DAN SISTEM KEWARISANNYA A. Profil Suku Domo ... 44
B. Sosial Budaya dan Adat Istiadat Suku Domo... 49
C. Gambaran Umum Kewarisan Suku Domo ...56
xii
B. Kewarisan Masyarakat Suku Domo Ditinjau dari Kewarisan Islam ... 81
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 88 B. Saran-Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses kehidupan manusia di muka bumi ini dimulai dengan ia dilahirkan
dari rahim ibunya, kemudian ia hidup dan kemudian meningga dunia. Seluruh
proses kehidupan tersebut membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
lingkungan tempat ia dilahirkan, hidup dan meninggal dunia.1 Kematian
merupakan suatu hal yang pasti kedatangannya. Allah SWT. berfirman dalam
Alquran:
لةَقِئ
ٓاَذ ٖسۡفَن لُ
ِتۡوَم
ۡ
لٱ
َۡلِإ ملث
َ ولوَعۡجلر تَا
(
وبكنعلا
ت
:
۷۵
)
Artinya: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut: 57)
Kematian seorang manusia tersebut membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban bagi orang lain (fardhu kifayah) terhadap dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. 2
Kematian tersebut juga menimbulkan akibat hukum yang lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan hukum yang menyangkut hak para keluarganya
1
Suparman Usman dan Yusuf Somawanita, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. II, h. 1.
2
terhadap harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (baitul mal)3 pun dalam keadaan tertentu mempunyai hak atas harta peninggalan tersebut.4 Hal ini
dalam Islam dikenal dengan kewarisan atau mawaris.
Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban orang lain terhadap
harta peninggalan tersebut sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena
meninggalnya seseorang dijelaskan dan diatur dalam ilmu kewarisan atau
mawaris. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-perturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban
terhadap harta peninggalan orang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau
badan hukum lainnya.5
Kewarisan merupakan ilmu yang sangat penting dalam Islam. Hal ini
disebabkan kewarisan ini menjelaskan cara penyaluran harta peninggalan orang
yang meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya. Selain itu kewarisan
juga mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan antar ahli waris dalam
memperebutkan bagian dari harta penginggalan tersebut.6
Allah SWT telah menetapkan pembagian harta peninggalan dalam
kewarisan dengan hikmah dan ilmu-Nya, Dia telah menentukan bagian di antara
para ahli dengan sebaik-baik pembagian, sesuai dengan tuntunan hikmah-Nya
yang sangat tinggi dan rahmat-Nya yang menyeluruh serta ilmu yang mencakup
3
Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan. Lihat Pasal 171 KHI. 4
Suparman Usman dan Yusuf Somawanita, Fiqh Mawaris, h. 1. 5
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), h.3.
6
segala sesuatu, Dia menjelaskan demikian itu dengan penjelasan yang sempurna,
maka datanglah ayat-ayat dan hadis-hadis tentang waris yang meliputi segala
sesuatu yang mungkin terjadi terkait dengan pembagian harta warisan, tetapi di
antara ayat-ayat itu ada yang terang dan jelas maksudnya yang dapat dipahami
oleh setiap orang, dan sebagiannya ada yang membutuhkan perhatian dan
perenungan yang mendalam.7
Kewarisan di Indonesia selain dikenal kewarisan yang berasal dari syari’at
Islam, dikenal juga kewarisan lain, yaitu kewarisan yang berasal dari hukum adat
bangsa Indonesia dan kewarisan yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW) yang terdapat pada Buku II.8 Kewarisan yang berasal dari syariat
Islam membagikan harta peninggalan pewaris kepada yang berhak menerimanya,
yakni para ahli waris. Para ahli waris tersebut telah ditentukan oleh Allah SWT
dalam Alquran dan juga sunnah Nabi. Untuk membagi harta peninggalan tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Alquran dan sunnah Nabi dengan bagian yang telah ditentukan jumlahnya (dzawil furudh), yakni 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3, maupun yang tidak disebutkan secara jelas bagiannya (ashabah). Kewarisan yang berasal dari KUH Perdata (BW) memiliki dua cara untuk membagi harta
peninggalan, yakni menurut undang-undang tersebut dan menurut wasiat dari
pewaris. Dalam pembagiannya tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Selanjutnya, kewarisan yang berasal dari adat dipengaruhi oleh
sistem kekerabatan yang dianutnya. Berbeda dengan kewarisan Islam dan BW,
7
Abu Najiyah Muhaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Tegal: Ash-Shaf Media, 2007), cet. I, h.1.
8
yang termasuk dalam warisan bukan hanya harta materiil, namun juga yang
non-materiil.9
Kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam, siapapun
dan di manapun ia berada. Walaupun demikian, kewarisan Islam ini dapat
terpengaruh oleh corak kehidupan masyarakat di suatu daerah, seperti adat istiadat
dan kebiasaan masyarakat. Pada dasarnya pengaruh tersebut semestinya
merupakan pengaruh yang terbatas dan tidak dapat melampaui garis-garis pokok
dari ketentuan kewarisan Islam. Pengaruh tersebut dapat juga terjadi pada
bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam.10
Sistem kekerabatan yang terdapat dalam setiap adat istiadat atau suku ini
sedikit-banyaknya mempengaruhi pemahaman dan penerapan masyarakat
terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat tersebut. Masyarakat asli Indonesia
tidak hanya terdapat satu sistem kekerabatan/ kekeluargaan saja, melainkan di
berbagai daerah terdapat berbagai macam sistem kekerabatan yang dapat
dimasukkan dalam tiga golongan, yaitu:
1. Sifat kebapakan (patriarchaat), 2. Sifat keibuan (matriarchaat), dan 3. Sifat kebapak-ibuan (parental). 11
9
Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat Di Indonesia (Sistem Kekerabatan, Perkawinan dan Pewarisan Menurut Hukum Adat), (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2015), h. 116.
10
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. VIII, h.1.
11
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai ragam suku di berbagai daerah.
Hal ini tidak terkecuali pada masyarakat yang berada di Kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang merupakan salah satu bagian masyarakat
Indonesia yang memiliki adat istiadat atau suku tersendiri. Salah satu suku yang
ada di masyarakat Kecamatan Siak Hulu adalah suku Domo. Menurut mereka
suku ini merupakan suku asli yang berasal dari daerah Kampar. Suku Domo
merupakan suatu suku yang berada dalam rumpun Melayu.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh suku Domo ini adalah sistem
kekerabatan yang bersifat keibuan (matriarchaat). Sistem kekerabatan ini
sedikit-banyaknya mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya serta
mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di dalamnya. Selain itu, sistem
kekerabatan tersebut juga memiliki pengaruh yang dapat dikatakan cukup besar
terhadap sistem kewarisannya. Dalam kewarisan menurut adat suku Domo ini
dapat dilihat bahwa anak perempuan mendapatkan suatu pengkhususan dalam
pembagian harta peninggalan orang tuanya.
Suku Domo menetapkan agama Islam sebagai agama yang harus diyakini
oleh seluruh lapisan masyarakat suku Domo. Dalam ketentuannya, seseorang
yang dilahirkan dari darah suku Domo dapat dikatakan masyarakat suku Domo
jika ia memeluk agama Islam. Walaupun sebagian orang telah hidup turun
beragama Islam, maka mereka belum diakui sebagai orang Melayu pada
umumnya dan belum diakui sebagai masyarakat suku Domo khususnya.12
Masyarakat suku Domo merupakan masyarakat yang beragama Islam,
dengan demikian, maka mereka mempunyai dua kewajiban sekaligus dalam hal
kewarisan. Pertama, mereka berkewajiban untuk menjalankan kewarisan Islam
sebagai seorang muslim. Kedua, mereka memiliki kewajiban untuk menjalankan
kewarisan adat sebagai masyarakat yang beradat dan hidup dalam lingkungan
yang beradat. Sementara itu, kewarisan adat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar-Riau memiliki beberapa perbedaan dengan kewarisan Islam,
diantaranya adalah: Pertama, pembagian harta warisan dilakukan ketika kedua orang tua telah meninggal dunia, jika salah satu orang tua meninggal dunia, harta
peninggalan belum dapat dibagikan. Harta tersebut dibagikan jika kedua orang tua
telah meninggal dunia. Kedua, penetapan pembagian harta warisan dengan pembagian berupa harta benda, rumah tua/ pusaka dan tanah satu bidang diberikan
kepada anak perempuan (jika sendiri) atau anak perempuan paling bungsu (jika
lebih dari satu).
Dari pemaparan di atas, penulis merasa perlu untuk mengangkat
kepermukaan permasalahan tersebut dalam skripsi ini dengan memberi judul:
“KEWARISAN MASYARAKAT SUKU DOMO DITINJAU DARI
KEWARISAN ISLAM”
12
B. PEMBATASAN MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi penulisan pada tata
cara pembagian kewarisan menurut adat suku Domo ditinjau dari kewarisan
Islam.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan permasalahan pada skripsi ini, penulis merumuskan
permasalahan-permasalahan yang dinilai oleh penulis diperlukan dalam
penelitian skripsi ini. Rumusan masalah tersebut ialah:
a. Bagaimana pemahaman masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak
Hulu Kabupaten Kampar-Riau terhadap kewarisan Islam dan
penerapannya?
b. Bagaimana kewarisan suku Domo ditinjau dari kewarisan Islam?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk meneliti pemahaman masyarakat suku Domo di Kecamatan
Siak Hulu Kabupaten Kampar-Riau terhadap kewarisan Islam.
b. Untuk meneliti kewarisan suku Domo ditinjau dari kewarisan
2. Manfaat Penilitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Menambah pemahaman secara bagi penulis tentang pemahaman
masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten
Kampar Provinsi Riau terhadap kewarisan Islam dan sistem
penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan adat suku Domo di
Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
b. Sebagai tambahan literatur di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum tentang kewarisan yang berkaitan dengan kewarisan adat
suku Domo dan kewarisan Islam.
c. Sebagai kontribusi pemikirin bagi Lembaga Adat Kampar (LAK)
dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
d. Menambah wawasan keilmuan bagi pelajar, mahasiswa dan
masyarakat tentang kewarisan adat Melayu dan kewarisan Islam.
D. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
empiris, yakni suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk
menganalisa hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola
dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa
kata-kata tertulis dari sumber-sumber yang diperoleh. Lalu dianalisi lebih lanjut
kemudian diambil suatu kesimpulan. Penelitian kualitatif menurut Bogdan
dan Tailor seperti yang dikuti oleh Lexy J. Maleong yaitu sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.13
3. Jenis Data Penelitian
a. Data Primer : Adapun data primer dalam penelitian ini adalah
hasil wawancara para sumber yang dirasa berkompeten dan ahli dalam
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder : Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah
buku-buku, perundang-undangan, artikel dan sebagainya yang
berkenan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan data
a. Wawancara : Wawancara merupakan sumber bukti yang esensial
bagi studi kasus, karena studi kasus umumnya berkaitan dengan
urusan kemanusiaan. Urusan kemanusiaan ini harus diintrepertasikan
pada wawancara yang akan dilakukan terhadap responden, dan para
13
responden yang mempunyai informasi dapat memberikan
keterangan-keterangan penting dengan baik kedalam situasi yang berkaitan.14
Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung kepada
orang yang ahli dalam bidang hukum adat, khususnya adat suku
Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
secara tatap muka antara penulis dengan narasumber guna
mendapatkan informasi-informasi yang berkenaan dengan permasalah
yang diangkat dalam penelitian ini.
b. Studi Kepustakaan : Studi kepustakaan (Library Research) yaitu metode yang digunakan untuk mengumpulkan serta menganalisa data
yang diperoleh dari literatur-literatur yang berkenaan dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berupa buku, artikel
dan sebagainya.
5. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti pada daerah
Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Penulis
mengambil lokasi ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan salah
satu lokasi yang suku aslinya adalah suku Domo. Selain itu juga
memiliki bahasa daerah yang dikuasai dan dipahami secara baik oleh
penulis sehingga akan mempermudah proses pengambilan data.
14
b. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai pada bulan
April 2016.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini
mengacu kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.
E. REVIEW STUDI TERDAHULU
Untuk mendukung materi dalam penulisan skripsi ini, berikut akan
dikenalkan beberapa penelitian terdahulu, diantaranya:
Sripsi Pembahasan Persamaan dan Perbedaan
Zasri Mali, Sistem Kewarisan Adat
Melayu Rokan
Hulu (Analisis Sosiologis dan Hukum Islam),
2008
Dalam skripsi ini
menitikberatkan
penelitiannya dari segi
sosiologis dan hukum
Islam. Mengkaji
macam-macam harta dalam
pernikahan dan
pembagian harta warisan
menurut adat Melayu di
Persamaan dengan skripsi ini
adalah sama-sama membahas
tentang kewarisan adat yang
berada di Provinsi Riau.
Sedangkan perbedaannya
adalah selain pada perbedaan
tempat penelitian, juga
terdapat pada perbandingan
Kabupaten Rokan Hulu
yang ditinjau dengan
menggunakan kewarisan
Islam.
Zasri Malik tersebut hanya
membahas tentang
macam-macam harta dalam
perkawinan dan pembagian
harta warisan saja, namun
dalam skripsi ini membahas
pemahaman masyarakat suku
Domo tentang kewarisan Islam
serta penerapannya dalam
kewarisan adat suku Domo di
Kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar, Riau
dengan melihat dari
macam-macam ahli waris, waktu
pembagian harta warisan, tata
cara pembagian harta warisan
dan besar bagian yang diterima
oleh ahli waris.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar dalam penulisaan skripsi ini menjadi terarah, penulis membuat
sistematika penulisan yang disusun per bab. Adapun sistematika penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, dimuat tentang latar belakang, pembatasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu,
dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM KEWARISAN ISLAM
Dalam bab dua ini, penulis akan membahas secara umum tentang
pengertian kewarisan,dasar hukum kewarisan,rukun dan syarat kewarisan,
sebab-sebab dan penghalang kewarisan, serta macam-macam ahli waris dan hak
masing-masing dalam Kewarisan Islam.
BAB III SUKU DOMO DI KECAMATAN SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR-RIAU DAN SISTEM KEWARISANNYA
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan secara umum profil suku
Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau, sosial budaya dan
adat-istiadat suku Domo serta gambaran umum kewarisan suku Domo.
BAB IV TINJAUAN KEWARISAN ISLAM TERHADAP
KEWARISAN SUKU DOMO
Dibahas mengenai pemahaman dan penerapan kewarisan di masyarakat
suku Domo serta sistem kewarisan suku Domo ditinjau dengan hukum Islam.
BAB V PENUTUP
14 BAB II
TINJAUAN UMUM SISTEM KEWARISAN ISLAM
A. PENGERTIAN KEWARISAN
Kewarisan dalam Bahasa Indonesia merupakan rangkaian kata dasar waris
dengan awalan ke dan akhiran an yang secara etimologi berarti mendapat
warisan.1 Kata waris itu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu dari kalimat :
ل (
–
ل
ل ēي
–
ل
لا (
–
ل
ا ا
هóæف(لđعبل&افل$æملهيال تا
2ل
Artinya : “Waratsa, yaritsu, wartsan, irtsan. Yaitu memindahkan harta
seseorang kepada orang lain sesudah seseorang meninggal dunia.”
Mawaris adalah bentuk jamak dari kata “Mirats” yang artinya “harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia”. Sedangkan menurut istilah ialah
Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan, orang-orang
yang tidak berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris dan cara
pembagiannya.”3
Kita dapat melihat pengertian dari kewarisan dalam Pasal 171 huruf (a)
Kompilasi Hukum Islam:
Yang dimaksud dengan :
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), h. 1148.
2Luis Ma’luf,
Al-Munjid, (Beirut: Darul Masyrik, Libanon, tt), h. 895. 3
Kewarisan merupakan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang mengatur
atau menetapkan harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi
kepada para ahli waris dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa harta
kekayaan yang bersifat materiil maupun immateriil melalui cara dan proses
peralihannya.4
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan ini disebut dengan
berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam dikenal beberapa istilah untuk
menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraid, fikih mawaris, dan hukm al-waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi, karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata lazim dipakai adalah faraid. Kata ini dipakai oleh an-Nawawi dalam kitab fikih Minhaj al-Thalibin. Oleh al-Mahalliy dalam komentarnya atas Matan Minhaj disebutkan alasan penggunaan kata tersebut :
Lafaz faraid merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafaz faridhah yang mengandung arti mafrudahah, yang sama artinya dengan muqaddarah, yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan waris Islam yang
terdapat dalam Alqur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan
dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraidh.5
Dengan demikian penyebutan faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.
4
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 2010). h. 56.
5
Dalam literatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa nama yang
keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan, pusaka, dan
hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum “waris” memandang kepada
orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari
hukum ini. Adapun yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta
warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Untuk maksud terakhir ini ada yang
memberi nama “pusaka”, yaitu nama lain yang dijadikan objek dari warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.6
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil
kata asal “waris” dengan tambahan awal „ke’ dan akhiran „an’. Kata “waris” ini
sendiri dapat berarti orang yang mewarisi sebagai subjek dan dapat pula berarti
proses. Dalam arti pertama mengandung arti „hal ihwal orang yang menerima
harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung arti “hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup.” Arti yang terakhir ini digunakan dalam istilah hukum.
Disebut dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.
Dinamakan ilmu faraidh karena dalam ilmu ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli waris. Kedua istilah
tersebut prinsipnya sama yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang
6
berkenaan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal.7 Hukum waris adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.8
Fiqih mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah al-faraidh bentuk jamak dari kata fard, artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah
ñ حت سملىعلñكرالñ س لñي يكلهبل!ēعيلمع
Artinya : “Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya.”
Atau dalam pengibaratan lain :
æهمل ا(لللبيğل(لñكراليل حل) لللصخلæملæهل!ēعيل æسحال(له ال ملđعاو
9
Atinya : “Beberapa kaidah yang terpetik dari fiqh dan hisab, untuk dapat
mengetahui apa yang secara khusus mengenai segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati, dan bagian masing-masing waris dari harta peninggalan tersebut.”
Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sedangkan ilmu faraidh oleh sebagian faraidhiyun (ahli ilmu faraid) didefenisikan dengan :
“Ilmu yang berpautan dengan pembagian harta peninggalan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka.”10
7
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2008), cet. I, h. 102.
8
Suwardi, Rahman Hendra, dkk, Hukum Adat Melayu Riau, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2011), h. 56.
9
Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Imami, 2002), Juz. III, h. 379. 10
‘Ilmul Miraats adalah kaidah-kaidah fiqih dan perhitungan yang dengannya
diketahui bagian setiap ahli waris akan peninggalan mayit. Sebagian ulama
mendefinisikan bahwa ilmu mirats (
ارم
) adalah ilmu tentang pokok-pokok fiqihdan hisab yang dengan itu diketahui apa yang menjadi hak khusus setiap orang
yang berhak dari peninggalan mayit. Ini lebih umum dari pada ahli waris, sebab
mencakup wasiat, utang, dan sebagainya.11
Penggunaan kata “hukum” di awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat, dan penggunaan kata “Islam” di belakang mengandung arti dasar
yang menjadi rujukan. Degan demikian, dengan segala titik lemahnya, hukum
kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan : “Seperangkat aturan yang tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.”12
B. DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM
1. Al-Quran
a. QS. An-Nisa’/4: 7
ل¼ۡ ٱ.(ل 0&ا. 0ِٰ.و¼
ٱل .#.ē.تلæ 01مل ٞبي0ğ.ل0ء3æ .س01نل0.(ل.&و/ب.ē¼ ¼ۡ ٱ.(ل0&ا.0ِٰ.و¼ ٱل.#.ē.تلæ 01مل ٞبي0ğ.ل0$æ.ج01ēل01
ل . /ُ.كل ¼(ٱل/ه¼ۡ0مل . لæ 0مل .&و/ب.ē¼
لæ 7ض( /ē¼ ملæ7بي 0ğ.
ل:لءæسنا(
٧
)
ل
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib-kerabatnya; dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 340. 12
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”13
b. QS. An-Nisa’/4: 11
/ه.ل.فل 0 ¼ي.ت.ن¼ث ٱل ."¼و.فل7ء3æ .س0ل /كل&
æ.فل 0 ¼ي.ي.ث ¼ۡ ٱل01ظ.حل / ¼ث0مل 0ē.كذ0لۖ¼ /ك0đٰ . ¼(ٱل3 0يل /َ ٱل/ /ُي 0صو/ي
ِ
ل ¼ò. .َل&
ِ
ا.(ل ۖ.#.ē.تلæ.ملæ.ث/ل/ثل
ل.#.ē.تلæ 0مل / /đس ٱلæ. / ¼ه01مل 6đ0حٰ.(ل 01 /ك0ل0ه¼ي.و.ب 0ۡ.(ل /ف ¼ğ01ن
ٱلæ.ه.ل.فل7 .đ0ح
ٰ.(
ل
ل3ۥ/ه.ث0 .(.(ل ٞ.ِ.(لۥ/َل / .يل¼مل&ِæ.فل
ٞ.ِ.(لۥ/.َل.&.َل&
ا
ِ
ل ¼(ٱل3æ. 0هل 0ِو/يل 6ñي 0ص.(ل 0đ¼ع.بل ½ 0مل / /đس ٱل0ه01م 0ِ.فل ٞ .و¼خِال3ۥ/.َل .&.َل&ِæ.فل
/ث/لث ٱل0ه01م 0ِ.فل/ها.و.بٱ
ل .َل¼ /ك/ؤ3æ.ن¼بٱ.(ل¼ /ك/ؤ3 .َا.ءلۗ- ¼ي.
ل/ّٱل .&(/ ¼đ.ó
لæ7م0 .حلæ+م0ل.عل .& .َل .َ ٱل&
الۗ0َ ٱل . 01مل7ñ .ضي0ē.فل æ7ع¼ . ل¼ /ُ.ل / .ē¼ ٱل¼م
ِ
ل:لءæسنا(
١١
)
Artinya: “Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”14
c. QS. An-Nisa’/4: 12
ل 0مل /ع/بē ٱل/ /ُ.ل.فل ٞ.ِ.(ل /ه.ل .& .َل&
ِæ.فل ٞ.ِ .(ل /هل / .يل ¼مل&ِال¼ /ُ/جٰ.(¼ٱل .#.ē.تلæ.مل /ف ¼ğ0ل¼ /ُ. .(
ل6ñي 0ص.(ل 0đ¼ع.بل ½ 0مل . ¼ك.ē.تلæ
ل ٞ.ِ .(ل¼ /ُل / .يل¼مل&ِال¼/ُ¼ك.ē.تلæ 0مل/ع/بē
ٱل /ه. .(ل 6 ¼ي. ل¼(ٱل3æ. 0هل.ي 0صو/ي
ل
ل0đ¼ع.بل ½ 01مل /ُ¼ك.ē.تلæ 0مل / / ث ٱل /ه.ل.فل ٞ.ِ.(ل¼ /ُ.ل .& .َل&
ِ
æ.ف
ل01 /ك0ل.فل ٞò¼خٱل ¼(ٱل, ٱل3ۥ/.َ.(لٞٱ.ē¼م ٱل0(ٱل+ .َٰ . .كل / .و/يل ٞ /ج. ل .& .َل&
ِ
ا.(لۗ6 ¼ي. ل ¼(ٱل3æ. 0هل.&و /صو/óل6ñي 0ص.(
ل / /đس ٱلæ. / ¼ه01مل 6đ0حٰ.(ل
ل¼كٱل2ا3و/ .َل&
æ.ف
ِ
ل7ñي 0ص.(ل 613æ .ض/مل . ¼ر.غل - ¼ي. ل ¼(ٱل3æ. 0هل ٰ .َو/يل6ñي 0ص.(ل0đ¼ع.بل ½ 0مل 0ث/لث ٱل 0يل/ء3 .َ. /ُل ¼م/ه.فل . 0ِٰ. ل 0مل . .ُ
لۗ0َ ٱل . 01مل
لٞم0ل.حل,م0ل.عل /َ ٱ.(
ل:لءæسنا(
١١
)
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
13
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 12.
14
istrimu) mempunyai anak وmaka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu ada mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya15 dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.16
d. QS. An-Nisa’/4: 33
ل 0مل . 0ِ ٰ.و.ملæ.ن¼ل.ع.جل 61 /ك0 .(
ل.فل¼ /ُ/نٰ . ¼يٱل ¼ .đ. .عل . ي0َ ٱ.(ل .&و/ب.ē¼ ¼ۡ ٱ.(ل 0&ا. 0ِٰ.و¼
ٱل .#.ē.تلæ
ل
ل 01 /لل ٰ .ى.عل .& .َل .َ
ٱل&
ال ¼م/ .ُي 0ğ.ل¼ /ۡو/óæ
ِ
لا+đي0ه .شل 6ء ¼ .َ
ل:لءæسنا(
٣٣
)
Artinya : “Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”17
2. Al-Hadits
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan
diantaranya:
a. Hadis Ibnu Abbas:
æبعل بال ع
ل
:
ل
مسل(لهيلعلهلىصلهل$وس ل$æ
ل
ل:
ل æتكلىعلĠئاē ال هاليبل$æمالاو س ا
له
)مسملها( (
18 15Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 342. 16
Departemen Agama RI, Mushaf Al-qurán dan Terjemahannya, h. 78. 17
Departemen Agama RI, Mushaf Al-qurán dan Terjemahannya, h. 83. 18
Artinya : “Dari Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW bersabda : Bagilah harta warisan di antara ahli waris sesuai ketentuan Kitabullah.”(H.R. Muslim). b. Hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi:
$æ لمسل(لهيلعلهلىصلينال&4ٱلاهعلهلي لđي ل بلñمæس4ٱل ع
ل
لَل(لēفاالمسمال ē يلَل:
مسمالēفاا
ل
Ēمرالها( (
*
)
19
Artinya : “Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW. Bersabda : Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.”(H.R. Tirmidzi).
3. Ijtihad Para Ulama
Meskipun Alqur’an dan hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Alqur’an maupun hadis.20
Contoh: Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek.
Di dalam Alqur’an hal ini tidak dijelaskan. Yang jelas hanyalah status saudara -saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki
yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab,
kecuali dalam masalah kalalah21maka mereka mendapat bagian.
Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang
mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapatkan pusaka
secara muwasamah(tawar menawar, negosiasi)dengan kakek.22
19
Abu Isa al-Tirmidziy, al-Jami’u al-Shahih IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy, 1938), h. 432. 20
Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 9. 21
Seseorang mati namun tidak mempunyai ayah dan keturunan. Lihat Pasal 182 KHI. 22
C. RUKUN DAN SAYARAT KEWARISAN
1. Rukun Kewarisan
Kewarisan dapat terjadi jika rukun- rukun waris terpenuhi. Bila ada salah satu
dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi kewarisan.
Kewarisan Islam memiliki 3 macam rukun, yakni:
a) Muwarrits (pewaris)
Muwarits (pewaris) yaitu orang yang meninggal dunia baik meninggal dunia secara haqiqi atau karena putusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab. Harta peninggalan yang ditinggalkan berhak dipusakai oleh
orang lain.23
Kewarisan juga dijelaskan dalam Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam:
”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
b) Warits (ahli waris)
Warits (ahli waris) ialah orang-orang yang bisa memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal dunia. Ahli waris dapat dilihat dari dua segi;
Pertama, dari segi kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua,
dari segi haknya atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh (ahli waris yang mempunyai bagian tertentu) dan ashabah (alwi waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu).
23
Sedangkan menurut Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam
disebutkan :
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Menurut hukum Islam, ahli waris adalah orang-orang yang berhak
mendapatkan harta peninggalan si mati, baik disebabkan adanya hubungan
kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak
perwalian dengan muwarrits.24
c) Mauruts (harta waris)
Mauruts (harta warisan) menurut Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli
warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan
harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si
mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya;
sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’
berhak diterima oleh ahli warisnya.25
Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah apa yang ditinggalkan oleh
pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain di dalamnya.
24
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), h. 36. 25
Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan
ulama Hanafiyah.26
Ulama fikih lain mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang
dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang
ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau
hak-hak.27
Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi
sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak
berbeda antara harta warisan dan harta peninggalan. Namun kalau
diperhatikan dalam pelaksanaan selanjutnya, bahwa sebelum harta
peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dahulu wasiat
dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah SWT dalam ayat 11 dan 12 surat
an-Nisa’. Dengan demikian, maka jelas bahwa dua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya
sama saja.28
Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi
harta warisan itu harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Di antara
usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan wasiat dan
membayarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang
dan wasiat itu dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di
26
Ibnu Abidin, Hasyiyatul Radd al-Mukhtar, (Mesir: Mustafa al-babiy, 1966), cet. VI, h. 759
27
Hasanin Makhluf Muhammad, al-Mawaritsu fi al-Syari’st al-Islamiyah, (Majelis
al-A’lali Syuun al-Diniyah, 1971), h. 11. 28
dalamnya terdapat orang yang meninggal; di antaranya ongkos
penyelenggaraan jenazah sampai kuburan; termasuk biaya pengobatan waktu
sakit yang membawa kepada kematiannya.29
2. Syarat Kewarisan
Untuk membuktikan warisan, disyaratkan tiga hal; matinya orang yang
mewariskan, hidupnya orang yang mewarisi dan mengetahui arah kekerabatan.
a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan harus
dibuktikan, bisa secara haqiqi, hukmi, atau taqdiri dengan cara menganalogikan orang-orang yang mati.30
Mati haqiqi adalah tidak adanya kehidupan, adakalanya dengan melihat, seperti seseorang disaksikan telah meninggal, diberitakan telah meninggal, atau
dengan suatu bukti.31 Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud ada padanya. Kematian ini dapat disaksikan
oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.32
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih
hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.33
29
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. IV, h. 208. 30
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349. 31
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349. 32
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
33
Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy
dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dengan keyakinan yang kuat.34 Mati taqdiri adalah menyamakan seseorang dengan orang-orang yang telah mati,
dalam perkiraan (taqdiri). 35
b. Hidupnya orang yang mewarisi : Hidupnya orang yang mewarisi setelah
kematian orang yang mewariskan harus terwujud juga, bisa dengan kehidupan
hakiki dan tetap atau disamakan dengan orang-orang yang masih hidup dengan
perkiraan (taqdiri).36
Hidup haqiqi adalah hidup yang stabil, tetap pada orang yang disaksikan setelah matinya orang yang mewarisi.
Taqdiri adalah hidup yang tetap karena diperkirakan.
c. Mengetahui arah warisan. Ketiadaan halangan – yaitu tiadanya halangan warisan – bukanlah syarat warisan. Syarat hanyalah dua hal pertama. Sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang Mesir, di mana dalam pasal dua
hanya dinyatakan dua syarat pertama saja.37
34
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
35
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350. 36
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350. 37
D. SEBAB-SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN 1. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam sebab seseorang itu
mendapat warisan dari si mayit dapat diklasifikasikan sebagai berikut :38
a. Hubungan perkawinan
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling
mewarisi antara suami dan istri. Kriteria suami istri tetap saling mewarisi
disamping keduanya telah melakukan akad nikah secara syah menurut syariat,
juga antara suami istri belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari
keduanya meninggal dunia.39
Adapun kedudukan istri-istri yang dicerai raj’i40 dan suami lebih berhak
untuk merujuknya (perceraian pertama dan kedua) selama masa iddah41, maka iapun berhak menerima warisan.42
b. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris
yang disebabkan oleh faktor kelahiran. Dalam kedudukan hukum Jahiliyah,
kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah
dewasa, kaum perempuan dan anak-anak tidak mendapat bagian. Setelah
38
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999,) h. 53.
39
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 29.
40
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Lihat Pasal 118 KHI.
41
Masa Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya, baik karena cerai hidup/cerai mati. Lihat Pasal 153 KHI.
42
Islam datang merevisi tatanan Jahiliyah, sehingga kedudukan laki-laki dan
perempuan sama dalam mewarisi, tak terkecuali pula anak yang masih dalam
kandungan.
Adapun dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak yang sama :
ا . 0ِا.و 2ال .#.ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل 0$لæ.ج10ēل0
ل0&
ل
لæ 0مل .& 2و/ب.ē2 ل.َ2ا.(ل 0 ل . 0ِا.و 2ال .#.ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل
æ .س01نل0 .(ل .& 2و/ب.ē2 ل.َ2ا.(
ِ
ل/ه2ۡ0مل .
ل./ُ.ك2(ل.ا
سنا(لæ +ض 2( /ē2 .مل/æب2ي 0ğ.ل
ءæ
ل
ل:
۷
(
Artinya :“Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditentukan”. (QS. An-Nisa’/4: 7)
ل.(
: æ óَا(لهل 0 لæ.ت0كل 0ِل -Ġ2ع.ب0بلىل(2ل.ال2م/ه /ض0ع.يل0%لæ.ح2 .َ2ا2و/ 2(ل/ا
ل
۷۷
(
Artinya : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah”. (QS.
An-Nisa’/4: 78)
c. Hubungan memerdekakan budak (al-Wala’)
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong, namun sepertinya
sebab hubungan memerdekakan budak ini jarang dilakukan atau malah tidak
ada sama sekali.
Adapun para fuqaha membagi hubungan wala’ menjadi 2 bagian :
1. Walaaul ‘Itqi atau hubungan antara yang memerdekakan (mu’tiq)
bahwa walaaul ‘itqi merupakan sebab menerima pusaka, hanya golongan
Khawarij yang tidak membenarkan hal itu.
2. Walaaul Muwalah, yaitu hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia.
Menurut golongan Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah dipandang sebagai sebab
mewarisi, sedang menurut jumhur ulama tidak termasuk.43
Adapun bagian orang yang memerdekakan budak (hamba sahaya) adalah
1/6 harta peninggalan. Namun kondisi modern ini, dengan tidak adanya
hamba sahaya, maka secara otomatis hubungan al-wala’pun dihapus.
Selain hal-hal yang menyebabkan adanya hak untuk mewarisi, maka
sebaliknya pula ada beberapa yang menghalangi seseorang untuk menerima
warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan
dalam hukum Islam adalah sebagai berikut : 1) Karena halangan kewarisan
dan 2) karena adanya kelompok keutamaan dan hijab.44
d. Hubungan agama (sesama Islam)
Jika orang Islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik
karena hubungan kerabat, pernikahan maupun wala’, maka harta
peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut dengan hubungan agama dalam waris-mewarisi.
Rasulullah SAW bersabda :
م
ل
#ēت
ل
َæم
ل
هتث ولف
ل
اا(
ل
ا(
لم
ل
ا(َ
لَ
ل(
ها(
ل
đما
ل,
وبا
ل
(ا
ل
ىæسنا(
)
45ل
43Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 33. 44
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, h. 53. 45
Artiya : “Barangsiapa yang meninggalkan harta (warisan) maka itu adalah hak milik para ahli warisnya, dan aku (Rasul) adalah ahli waris dari orang yang tidak punya ahli waris." (HR Ahmad, Ibnu Majah, At Tirmidzi).
Yang dimaksud Rasulullah menjadi ahli waris adalah bahwa Rasulullah itu
menerima dan menyalurkan kepada kaum muslimin, atau digunakan untuk
kemaslahatan umat Islam.
2. Penghalang Kewarisan
a. Pembunuhan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung prinsip kemanusiaan sehingga
secara tegas melarang adanya pembunuhan. Dalam kaitannya dengan hak waris
mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris tidak mendapat hak mewarisi dari
pewaris tersebut. Hal ini terdapat dalam hadits Rasul SAW :
مس(لهيلعلهلىصللهل$وس ل$æ
:
لاوفل ا(لَل يلمل&5ا(لءَلل óæ للسي
لهي 5ال æنال ē 4ٱلهث
æåيشل óæ ال ēيلَ(
)
(لكملها(
ēمل علđما
(
46
Artinya : “Rasulullah bersabda: “Pembunuh (yang membunuh pemebri warisan) tidak memiliki hak sedikitpun (untuk mewarisi). Jika ia (pemberi warisan) tidak meninggalkan pewaris maka yang berhak mewarisinya adalah orang yang paling dekat (hubungan keluarga) dengannya, dan pembunuh itu tidak mewarisi sesuatu”(H.R. Malik dan Ahmad dari „Umar).
Adapun mengenai jenis pembunuhan yang menjadi penghalang kewarisan,
diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Jenis-jenis pembunuhan disini ada lima, yaitu pembunuhan secara hak dan tidak berlawanan hukum, pembunuhan
dengan sengaja dan terencana (tanpa adanya hak), mirip disengaja (seperti
sengaja), dan pembunuhan khilaf.
46
b. Beda agama
Beda agama menjadi penghalang mewarisi yaitu apabila ahli waris atau
muwarrits salah satunya non muslim.
Dasar hukumnya :
$æ لمسل(لهيلعلهلىصلينال&4ٱلاهعلهلي لđي ل بلñمæس4ٱل ع
ل
لَل(لēفاالمسمال ē يلَل:
مسمالēفاا
ل
)*Ēمرالها( (
47
Artinya : “Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW. Bersabda : Seorang
muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.”(H.R. Tirmidzi).
Nabi pun telah mempraktekkan pembagian warisan dimana perbedaan
agama menjadi penghalang mewarisi, yaitu pembagian waris dari Abu Thalib.
Adapun yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarrits beda agama atau tidak adalah pada saat muwarrist meninggal.
c. Pembudakan (al-‘Abd)
Bukan karena status kemanusiaannya sehingga perbudakan menjadi
penghalang mewarisi, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima
warisan karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah
SWT :
ل:ل حنا(ل - 2ْ . شل .ى.ع/ ل0đ2 .ي.َ +َ2و/ل2 .ملا+đ2ب.عل+ا.ث.ملهل . . .َ
۷۵
(
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak
(hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun
47
d. Berlainan negara
Berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara
ahli waris dan muwarristnya berdomisili di negara yang berbeda kriterianya. Apabila kedua negara tersebut muslim, maka tidak menjadi penghalang mewarisi.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meskipun negaranya berbeda tapi apabila
sama-sama negara muslim, maka tidak menjadi masalah.
E. MACAM-MACAM AHLI WARIS DAN HAK MASING-MASING
Ahli waris dapat di lihat dari dua segi; Pertama, dari jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua, dari segi hak atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh dan ashabah.48
1. Ahli Waris Laki-laki
Ahli waris laki-laki terdiri dari :
a. Bapak,
b. Kakek (ayahnya bapak) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki,
c. Anak laki-laki,
d. Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki,
e. Saudara laki-laki kandung,
f. Saudara laki-laki seayah,
g. Saudara laki-laki seibu,
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung,
48
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
j. Paman sekandung (saudara laki-laki bapak sekandung),
k. Paman sebapak (saudara laki-laki seayah),
l. Anak laki-laki paman sekandung,
m. Anak laki-laki paman seayah,
n. Suami, dan
o. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya. 49
2. Ahli Waris Perempuan
Ahli waris perempuan terdiri dari :
a. Ibu,
b. Nenek dari pihak ibu terus ke atas,
c. Nenek dari pihak bapak (tidak terus ke atas),
d. Anak perempuan,
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah dari garis
laki-laki,
f. Saudara perempuan sekandung,
g. Saudara perempuan seayah,
h. Saudara perempuan seibu,
i. Istri, dan
j. Perempuan yang memerdekakan hamba sahaya. 50
49
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, cet. I, h. 109.
50
Apabila semua ahli waris perempuan masih hidup, maka yang berhak
menerima warisan adalah :
a. Anak perempuan,
b. Ibu, dan
c. Nenek.
Apabila semua ahli waris baik yang laki-laki maupun yang perempuan masih
ada (hidup), maka yang berhak menerima warisan adalah :
a. Anak laki-laki,
b. Anak perempuan,
c. Ayah,
d. Ibu, dan
e. Suami/ istri. 51
3. Ahli Waris dengan Bagian Tertentu
Di dalam Alquran dan hadis Nabi disebutkan bagian-bagian tertentu dan
disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu. Bagian tertentu ini di
dalam Alquran yang disebut furudh adalah dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Para ahli waris yang mendapatkan menurut angka-angka
tersebut dinamai ahli waris dzawil furudh.52
Ahli waris yang mendapatkan bagian yang telah ditetapkan tersebut sebagai
berikut :
51
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, h. 110. 52
a. 1/2, diberikan kepada :
1) Anak perempuan tunggal, apabila tidak ada anak laki-laki,
2) Cucu perempuan tunggal, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
c) Anak perempuan.
3) Saudara perempuan kandung tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Bapak,
e) Kakek dari bapak.
4) Saudara perempuan sebapak tunggal, apabilal tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Saudara laki-laki kandung,
f) Saudara perempuan kandung,
g) Bapak,
h) Kakek dari pihak bapak.
5) Suami, apabila tidak ada ahli waris :
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki.
b. 1/3, diberikan kepada :
1) Ibu, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Dua orang saudara atau lebih : baik laki-laki maupun
perempuan, baik saudara sekandung, sebapak, maupun seibu.
2) Dua orang saudara atau lebih seibu, baik laki-laki maupun
perempuan, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Bapak,
f) Kakek dari pihak bapak,
c. 1/4, diberikan kepada :
1) Suami, apabila ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki.
2) Istri, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki.
d. 1/6, diberikan kepada :
1) Bapak, apabila ada ahli waris :
a)Anak laki-laki,
b)Anak perempuan.
c)Cucu alki-laki dari anak laki-laki,
d)Cucu perempuan dari anak laki-laki.
2) Ibu, apabila ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan,
baik sekandung, sebapak maupun seibu.
3) Nenek, dari pihak ibu atau bapak, apabila tidak ada ahli waris :
a) Ibu,
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabilal tidak ada ahli waris :
a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
c. Anak perempuan lebih dari seorang.
5) Saudara perempuan sebapak, baik seorang atau lebih, dengan syarat
bersamanya ada seorang saudara perempuan sekandung. Itu pun
apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu