• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Keluarga Miskin Pasca Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM): (Studi Kasus Terhadap Keluarga Miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Keluarga Miskin Pasca Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM): (Studi Kasus Terhadap Keluarga Miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI ADAPTASI SOSIAL EKONOMI KELUARGA MISKIN PASCA KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) (Studi Kasus terhadap Keluarga Miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota,

Kecamatan Medan Barat, Medan)

Hendra Wahyudi Sismudjito

Abstract: Facing difficulties each and every day, including after the rise of oil price, unfortunate (poor) community already have their own strategy. The strategy stress on ’what they do have” rather than ’what they don’t have”. The community also has high fighting spirit, because, by nature, they have to struggle and use everything they have to survive. The adaptation strategy manifest in different behavior, some of them try to find part time or extra job, reduce unnecessary expenses, apply subsistence strategy, and build social network with people around them.

Keywords: poverty, coping strategies, oil price rising

PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena hingga kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia (Alfian, 2000: 13).

Dengan kekayaan alam yang melimpah dan potensi pemanfaatan nyaris tanpa batas, tidak berlebihan kiranya jika mengharapkan penghidupan yang layak. Sandang, pangan, maupun papan tersedia dalam jumlah cukup dan harga terjangkau. Penghasilan pun mencukupi untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Namun, Indonesia memang sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999, penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada

tahun 2004. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3% (Dikutip dari http://www. ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm).

Hasil pendataan BPS yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan, penduduk miskin pada 2004 sebanyak 36,1 juta jiwa atau setara dengan 9 juta rumah tangga miskin. BPS memperkirakan rumah tangga miskin secara nasional tahun 2005 mencapai 15,5 juta jiwa atau sama dengan 62 juta jiwa penduduk miskin (Dikutip dari http://www. pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/02/teropong/ 0401.htm).

(2)
[image:2.595.135.466.95.262.2]

Gambar 1.

Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1976 – 2004

Sumber: BPS, 2005

Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk, serta rendahnya etos kerja, semuanya merupakan faktor internal. Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja, dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.

Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Karena itu, pasti ada yang salah dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan tersebut.

Kehidupan rakyat miskin nampaknya memang belum akan menjadi lebih mudah. Harga-harga kebutuhan pokok semakin membubung tinggi, nyaris tak terjangkau, seiring kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara berkala, sementara upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tak kunjung mampu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.

Pemerintah bukannya tak menyadari bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan berdampak pada makin sulitnya rakyat miskin bertahan hidup, namun tetap saja kebijakan ini harus dilakukan. Alasan utamanya, harga minyak dunia yang membumbung tinggi sekitar 64,5 dolar AS per barel menyebabkan subsidi BBM meningkat drastis. Jika harga BBM domestik tidak naik, beban anggaran yang harus ditanggung negara untuk subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp 130-140 triliun.

Selain itu, argumentasi tentang keniscayaan kenaikan harga BBM yang diajukan kepada publik pun bertambah dengan besarnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Tekanan terhadap rupiah itu juga akibat besarnya permintaan valuta asing oleh Pertamina yang jumlahnya mencapai sekitar US$1,6 milyar per bulan, untuk mengimpor BBM yang harganya disubsidi.

Argumentasi-argumentasi tersebut meleng-kapi argumentasi yang pernah dikemukakan pada kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya, yang berkisar pada beberapa alasan utama. 1) Di balik angka subsidi BBM yang

sedemikian besar, ternyata hanya sebagian kecil yang tepat sasaran. Selama ini, subsidi BBM diduga lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas.

2) Perbedaan signifikan harga BBM domestik dibanding harga BBM di luar negeri memotivasi pihak-pihak tertentu untuk melakukan penyelundupan minyak mentah ke luar negeri. Bahkan tidak tanggung-tanggung sejumlah oknum Pertamina tertangkap tangan terlibat ''bisnis ekspor BBM ilegal''.

Grafik Perkembangan Jmlah Penduduk Miskin di Indonesia 1976-2004

0 10 20 30 40 50 60

19

76

19

80

19

84

19

90

19

96

19

99

20

01

20

03

Tahun

J

u

m

la

h

Pe

n

d

u

d

u

k

(3)

3) Kenaikan harga BBM tersebut akan memacu masyarakat bukan saja berhemat di dalam pemakaian BBM, tetapi juga akan memacu diversifikasi dan ekstensifikasi pemakaian energi dalam negeri. Hal itu akan mendorong ditemukannya penggunaan sumber energi alternatif non-BBM.

4) Untuk memenuhi asas keadilan, pemberian subsidi haruslah tepat sasaran, yakni terbatas hanya pada kalangan yang miskin. Untuk itu, jenis BBM yang umumnya dikonsumsi kalangan menengah ke atas dan kalangan industri, seperti premium dan minyak solar, tidak seharusnya disubsidi lagi. Hanya jenis BBM yang umum digunakan rakyat kecil, seperti minyak tanah, yang masih layak disubsidi.

Tetapi, sebagaimana pada kebijakan serupa sebelumnya, kenaikan BBM sebesar rata-rata 30 persen pada 1 Oktober 2005 lalu ternyata lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikemukakan pemerintah. Pemerintah terbukti tak mampu mengisolasi dampak kenaikan harga BBM agar tidak berimbas pada kelompok miskin. Perlu digaris bawahi bahwa dampak kenaikan BBM tampaknya sangat “menyakitkan'' bagi kelompok miskin. Sebab kenaikan harga BBM akan menyebabkan inflasi pada semua harga output di segenap sektor ekonomi.

Di samping itu, kenaikan harga tersebut juga berdampak terhadap penurunan lapangan kerja karena terjadinya penurunan output pada sebagian besar sektor ekonomi. Dampak kenaikan harga BBM berimplikasi memperparah tingkat pengangguran yang sudah tinggi saat ini. Ini semakin diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa Indonesia tidak memiliki fasilitas tunjangan kemiskinan dan pengangguran seperti yang dimiliki negara-negara maju.

Pemerintah mengatakan bahwa alokasi subsidi untuk BBM yang dicabut dari kelompok menengah ke atas akan dialokasikan untuk subsidi bagi kesehatan dan pendidikan kelompok miskin. Tapi, keraguan publik tentang retorika pemerintah tentang subsidi langsung untuk orang miskin mendapatkan pembenaran. Pasca kenaikan BBM, publik begitu gencar dijejali berita kasus busung lapar, orang-orang miskin yang kesulitan menyekolahkan anaknya, dan sulitnya mendapatkan akses pengobatan.

Program kompensasi yang dilaksanakan pemerintah, termasuk penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin nyata-nyata tak mampu menanggulangi semua dampak negatif akibat kenaikan BBM. Pemberian bantuan subsidi langsung ini tidak akan memecahkan masalah kemiskinan. Subsidi lebih banyak bersifat membantu sesaat karena daya beli masyarakat miskin yang sangat lemah.

Bantuan Langsung Tunai atau dana kompensasi BBM yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin adalah bias penanggulangan kemiskinan, karena dinilai hanya akan menciptakan sindrom ketergantungan bagi masyarakat miskin. Sesungguhnya, BLT hanya cocok diberikan bagi kelompok masyarakat yang tidak berdaya (disable group), misalnya orang cacat dan jompo terlantar.

Menghadapi kesulitan yang bertubi-tubi, termasuk pasca kenaikan harga BBM, sesungguhnya masyarakat miskin sudah memiliki strategi tersendiri. Strategi yang menekankan pada “apa yang dimiliki” ketimbang “apa yang tidak dimiliki”. Miskin konotasinya biasanya “tak punya apa-apa”. Miskin juga berarti tidak mampu mengimbangi tingkat kebutuhan hidup standar. Akan tetapi, dalam kemiskinan, biasanya masih ada semangat untuk hidup.

Semangat juang umumnya cukup tinggi, karena secara alami, harus mempertahankan diri untuk hidup. Potensi tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi adaptasi dan penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankan secara lokal. Inilah yang hendak diteliti lebih lanjut di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan. Lokasi dipilih karena di sana terdapat cukup banyak keluarga miskin yang tetap dapat bertahan pasca kenaikan harga BBM karena mampu mengembang-kan strategi adaptasi sosial ekonomi tertentu.

Rumusan masalah yang hendak diteliti adalah:

“Bagaimanakah strategi adaptasi sosial ekonomi keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup pasca kenaikan harga BBM?”

PEMBAHASAN

Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

(4)

2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.

3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya

sebagai hasil seleksi alamiah.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.

Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya: a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. b. Menyalurkan ketegangan sosial.

c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.

d. Bertahan hidup.

Proses perubahan dan penciptaan kondisi pada umumnya sering terjadi di masyarakat perkotaan. Akses terhadap teknologi (informasi, telekomunikasi, dan transportasi) memungkinkan masyarakat perkotaan untuk lebih cepat mengetahui serta menerima perubahan dibandingkan kelompok masyarakat lain. Tidak mengherankan, jika masyarakat perkotaan cenderung bersifat dinamis, terutama dalam hal penyesuaian karakteristik kehidupan sosial, yang meliputi:

a. Perubahan jumlah dan ukuran rumah tangga. b. Transisi atau peralihan lapangan pekerjaan. c. Penyesuaian dalam cara-cara pemenuhan

kebutuhan.

d. Perubahan peran serta individu dalam angkatan kerja.

e. Peningkatan mobilitas penduduk.

Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat perkotaan dapat sedemikian mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan, baik itu perubahan yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal, disengaja ataupun tidak disengaja. Masyarakat miskin, misalnya, memiliki keterbatasan dalam mencari dan

menerapkan alternatif-alternatif untuk adaptasi sosial. Akibatnya, masyarakat miskin mungkin hanya memiliki sedikit sekali prospek kemajuan.

Meski menyadari perlunya diadakan perubahan atas keadaannya sekarang, masyarakat miskin kerap mengalami kesulitan untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Potensi perubahan dengan menggunakan sumber daya internal sangat minimal, karena tidak ada surplus yang dapat disisihkan atau digunakan demi keperluan lain (Baross, 1999: 1).

Dalam menghadapi berbagai kesulitan, masyarakat miskin tampaknya memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apa yang dalam pandangan pihak luar merupakan tindak irasional, dalam kenyataannya, mungkin merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial ekonomi.

Strategi adaptasi dimaksud, oleh Edi Suharto, seorang pengamat masalah kemiskinan dari Institut Pertanian Bogor (Suharto, 2002: 1), disebut juga dengan istilah coping strategies. Secara umum, coping strategies dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola atau mengelola berbagai aset yang dimilikinya. Bisa juga dipersamakan dengan kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress). Beberapa pengamat masalah sosial mengistilahkannya dengan nama “aset portfolio management”.

Berdasarkan konsepsi ini, Moser (dalam Suharto, 2002) membuat kerangka analisis yang disebut “The Aset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti:

1. Aset Tenaga Kerja (Labour Asets)

Misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.

(5)

pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

3. Aset Produktif (Productive Asets)

Contohnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya. 4. Aset Relasi Rumah Tangga atau Keluarga

(Household Relation Asets)

Misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittances).

5. Aset Modal Sosial (Social Capital Asets) Misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan, dan pemberi kredit informal dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Sebagian besar penelitian mengenai coping strategies menggunakan keluarga atau rumah tangga sebagai unit analisis, misalnya penelitian Ellis (1998), Chambers dan Conway (1992), dan Suharto (2002). Meskipun istilah keluarga dan rumah tangga sering dipertukarkan, keduanya memiliki sedikit perbedaan. Keluarga menunjuk pada hubungan normatif antara orang-orang yang memiliki ikatan biologis. Sedangkan rumah tangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap namun tidak selalu memiliki hubungan darah. Baik anggota keluarga maupun rumah tangga umumnya memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama.

Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategies karena merupakan bagian dari atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan.

Suatu kehidupan ditunjang oleh interaksi antara orang, aset nyata dan aset tidak nyata. Orang menunjuk pada kemampuan mencari nafkah (livelihood capabilities), aset nyata menunjuk pada simpanan (makanan, emas, tabungan) dan sumber-sumber (tanah, air, sawah, tanaman, binatang ternak), sedangkan aset tidak nyata menunjuk pada klaim dan akses yang merupakan kesempatan-kesempatan untuk menggunakan sumber, simpanan, pelayanan,

informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan, makanan dan pendapatan.

Pada mulanya, konsep coping strategies sering dipergunakan untuk menunjukkan strategi bertahan hidup (survival strategies) keluarga di pedesaan negara-negara berkembang dalam menghadapi kondisi kritis, seperti bencana alam, kekeringan, gagal panen dan sebagainya. Belakangan ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsep ini ternyata dipraktikkan juga oleh keluarga di wilayah perkotaan dan tidak hanya di negara berkembang, melainkan pula di negara-negara maju (Suharto, 2002: 1).

Di wilayah perkotaan, keluarga miskin cenderung menghadapi masalah yang lebih berat dan kompleks. Di perkotaan, sumber daya alam umumnya tidak dapat digunakan secara bebas, sistem kekerabatan lebih lemah, kondisi lingkungan juga lebih berat dan kerap berbahaya (polusi, kejahatan). Dalam garis besar, beberapa bentuk coping strategies keluarga miskin dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:

a. Peningkatan Aset

Melibatkan lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil-kecilan, memulung barang-barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang, meminjam uang di bank atau lintah darat.

b. Pengontrolan Konsumsi dan Pengeluaran Mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah, mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi kunjungan ke desa, memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga sendiri.

c. Pengubahan Komposisi Keluarga

Migrasi ke desa atau ke kota lain, meningkatkan jumlah anggota rumah tangga untuk memaksimalkan pendapatan, menitip-kan anak ke kerabat atau keluarga lain baik secara temporer maupun permanen.

(6)

sosial. Secara konseptual aspek ini juga didasari teori coping strategies. Dalam penelitian ini, strategi dimaksud dapat dipilah menjadi dua yakni strategi yang berkaitan dengan ekonomi dan non-ekonomi (Tim Peneliti, 2003: 6).

Coping strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi terdapat berbagai cara yang ditempuh oleh keluarga yang diteliti. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

a.Strategi Aktif

Yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya.

b.Strategi Pasif

Yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

c.Strategi Jaringan

Misalnya menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

Adapun coping strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan non-ekonomi terdapat pula cara yang ditempuh oleh kepala keluarga. Strategi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:

a. Strategi Aktif

Yakni melakukan berbagai kegiatan untuk memperoleh dukungan emosional (misalnya: lebih giat dalam beribadah, mencari nasihat orang lain).

b. Strategi Pasif

Yaitu berusaha menghindari risiko yang diakibatkan oleh goncangan non-ekonomi (misalnya mengurangi biaya sosial, kesehatan, pendidikan, dan pasrah kepada keadaan).

c. Strategi Jaringan

Misalnya menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya: teman, tetangga, sanak keluarga).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study) tipe deskriptif. Studi kasus merupakan suatu pendekatan dalam penelitian studi kasus yang penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus bisa dilaksanakan atas individu atau kelompok (Sanapiah, 2003: 22).

Adapun studi kasus tipe deskriptif dapat melacak urutan peristiwa hubungan antarpribadi, menggambarkan subbudaya, dan menemukan fenomena kunci (Yin, 2003: 5). Hubungan antar pribadi dan subbudaya adalah hal-hal yang hampir pasti ditemukan dalam suatu strategi adaptasi sosial ekonomi. Itulah sebabnya, peneliti memilih mengaplikasikan jenis penelitian ini.

Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan. Lokasi dipilih karena di sana terdapat cukup banyak keluarga miskin (sekitar 30% dari total 1.154 KK, yakni sejumlah 346 KK) yang tetap dapat bertahan pascakenaikan harga BBM karena mampu mengembangkan strategi adaptasi sosial ekonomi tertentu.

Unit analisis adalah keluarga miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan, yang berjumlah sekitar 346 Rumah Tangga.

Sedangkan kriteria informan keluarga miskin tersebut adalah:

1. Tergolong miskin, dengan kriteria utama berpendapatan sebesar Rp.143.595,/bulan/ kapita. Apabila rata-rata anggota rumah tangga berjumlah 4,36 jiwa, maka rumah tangga/keluarga yang berpenghasilan Rp. 626.000,-/bulan adalah dalam ambang kemiskinan atau dapat dikategorikan miskin. 2. Merupakan suatu keluarga, yang terdiri atas

suami, istri, anak, dan kerabat lain yang ditanggung.

3. Dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasca kenaikan harga BBM dengan mengembangkan cara atau strategi tertentu.

DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

(7)

pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang tidak juga terselesaikan.

Berbagai pihak telah sepakat bahwa kemiskinan mempunyai banyak dimensi. Agar dapat memahami watak kemiskinan secara utuh, tidak cukup sekedar mendefinisikan kemiskinan sebagai miskin diukur dari tingkat pendapatan atau konsumsi. Kemiskinan tidak semata-mata dibatasi pada masalah pendapatan dan konsumsi, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, kerentanan terhadap goncangan, partisipasi dalam kegiatan sosial dan politik, dan banyak aspek kehidupan lainnya.

Di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, misalnya, sebagian besar informan mengaku memiliki penghasilan tetap setiap bulannya (dalam hal sumber perolehan maupun nominal). Namun, ada juga informan yang tidak mempunyai penghasilan tetap. Mereka biasanya hanya mengandalkan pekerjaan tidak tetap atau sesewaktu untuk memperoleh penghasilan.

Untungnya, sebagian informan menyata-kan bahwa ada pihak-pihak yang memberimenyata-kan bantuan finansial secara rutin kepada mereka. Pihak tersebut bisa saja keluarga terdekat, seperti anak atau menantu yang telah mapan. Namun ada juga yang memperoleh bantuan finansial dari pemerintah, dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau program pengentasan kemiskinan lainnya.

Informan lainnya menerima bantuan finansial, tapi sifatnya tidak rutin, hanya sewaktu-waktu saja. Ada juga informan yang tak pernah memperoleh bantuan finansial dari pihak manapun.

Dalam rangka mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), pada 1 Oktober 2005, pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan harga BBM. Tingkat kenaikan kali ini tergolong tinggi dibanding kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya, yaitu bensin sebesar 87,5%, solar 104,8%, dan minyak tanah 185,7%. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh:

1. Peningkatan harga BBM di pasar dunia yang melonjak tajam sehingga berakibat pada makin besarnya penyediaan dana subsidi yang dengan sendirinya makin membebani anggaran belanja negara.

2. Pemberian subsidi selama ini cenderung lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas.

3. Perbedaan harga yang besar antara dalam dan luar negeri memicu terjadinya penyelundupan BBM ke luar Indonesia.

Sejak awal, sebenarnya pola subsidi yang dilekatkan pada sumber daya (resource-based subsidy) seperti berlaku pada BBM tersebut dikritik para pakar. Pola subsidi tersebut hanya akan menguntungkan mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara masyarakat yang berdaya beli rendah hanya sedikit sekali menikmatinya. Oleh karena itu, sebagai gantinya diusulkan agar subsidi tersebut langsung diberikan kepada mereka yang tepat melalui mekanisme user-based subsidy. Pola ini pula yang diterapkan dalam penyaluran dana Rp 800 milyar yang diperoleh dari kenaikan harga BBM rata-rata 12% tersebut, seperti dalam bentuk pembangunan prasarana dan bantuan kredit, penyaluran dana bentuk tunai (cash transfer).

Penghapusan subsidi BBM tersebut juga merupakan konsekuensi langsung dari kesepakatan Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent), yang salah satu klausulnya menghendaki penyesuaian dan reformasi struktur ekonomi, termasuk penghapusan segala bentuk subsidi yang tidak efisien. Program penyesuaian struktural yang dimaksud secara ringkas dapat digambarkan sebagai upaya yang dilakukan suatu negara agar merampingkan ekonominya menuju ekonomi pasar (market-driven economy).

Namun, tak urung, pasca kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005 lalu, seluruh informan merasakan makin sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimana tidak, menyusul kenaikan harga BBM, harga barang-barang kebutuhan pokok pun turut meningkat. Padahal, penghasilan informan tidak bertambah. Akibatnya, setiap hari informan harus berjuang untuk sekedar bisa mencukupi kebutuhan hidup.

(8)

Subsidi Langsung Tunai (SLT) diberikan kepada rumah tangga miskin yang diidentifikasi oleh BPS dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan (proxy-means testing). Setiap rumah tangga menerima Rp 100.000 per bulan yang diberikan tiga bulan sekali. Pada pencairan tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 4,6 triliun bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga. Penyaluran dana dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya.

Strategi Adaptasi (Coping Strategy) Keluarga Miskin

Strategi adaptasi (coping strategy) menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya (dalam hal ini dampak negatif kenaikan harga BBM yang diikuti meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya) dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Untuk menyiasati kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya, semua informan mengaku memiliki cara dan strategi tertentu. Informan sepakat bahwa cara serta strategi tersebut mutlak diperlukan agar tetap dapat bertahan menghadapi beratnya hidup.

Dalam menghadapi berbagai kesulitan, masyarakat miskin tampaknya memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apa yang dalam pandangan pihak luar merupakan tindak irasional, dalam kenyataannya, mungkin merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial ekonomi.

Sebagian informan berupaya mencari pekerjaan sampingan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Bagi ibu-ibu, misalnya, bisa menerima pesanan makanan, membuka kedai makan sederhana atau warung kecil, menjajakan pakaian atau perabot rumah tangga dari rumah ke rumah secara tunai/kredit, mengambil jahitan atau bordir pakaian, menjual sulaman, menawarkan jasa pijat, atau berkeliling

menawarkan jasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah.

Sedangkan para bapak memilih untuk mencari pekerjaan sampingan dengan menjadi makelar atau perantara dalam jual beli tanah, rumah, atau barang-barang elektronik. Ada juga yang membuka kedai kopi, warung rokok, maupun tempat cuci kendaraan (doorsmeer). Selain itu, masih ada yang menggunakan waktu senggangnya di akhir pekan untuk bertukang (membuat perlengkapan rumah tangga dari bahan kayu untuk dijual) atau menawarkan jasa mengecat pagar dan rumah bila dibutuhkan.

Informan yang bekerja sebagai karyawan atau buruh pabrik biasanya mencari penghasilan tambahan dengan bekerja lembur. Hal hampir serupa dilakukan oleh informan yang berprofesi sebagai penarik becak atau supir angkot, dengan menambah jam kerja.

Sebagian informan juga mendayagunakan segenap potensi yang telah dimiliki demi membantu memenuhi kebutuhan hidup. Ada informan yang menggunakan sepeda motor miliknya untuk menawarkan jasa ojek. Ada yang menyewakan kamar rumah pada anak kost. Ada juga yang merelakan sebagian lahan pekarangan depan rumahnya dijadikan tempat berjualan oleh orang lain, dengan memungut sewa harian. Singkat kata, semua potensi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Informan yang memiliki pekarangan cukup luas menggunakannya pula untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. Menanam sayuran, misalnya, adalah salah satu hal yang dilakukan informan. Selain menghemat, karena tidak perlu lagi membeli sayuran, bila hasilnya berlebih juga bisa dijual kepada tetangga yang membutuhkan atau dititipkan di warung terdekat. Tomat, cabe, sawi, selada, dan tanaman berumur singkat lain biasa dijadikan pilihan karena tak terlalu rumit perawatannya serta cepat menghasilkan.

(9)

perlu ada pengeluaran tambahan guna membeli pakan ternak.

Mengurangi kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dibeli juga dilakukan oleh sebagian informan pasca kenaikan harga BBM. Sebagai contoh, jika dahulu bisa membeli beras berkualitas sedang (medium), sekarang hanya mampu memperoleh beras berkualitas rendah dengan harga yang sama. Lauk pauk pun demikian halnya. Bila dulu informan dapat mengkonsumsi daging (ayam atau sapi) seminggu sekali, kini tidak lagi. Tempe, tahu, dan telur banyak dijadikan alternatif.

Kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dibeli sehari-hari boleh saja dikurangi, namun tentunya tetap harus mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Untuk itu, informan mesti bisa menyiasati keadaan. Cara yang dilakukan informan, antara lain, dengan mengurangi atau memperkecil ukuran potongan bahan makanan. Dengan potongan kecil, seluruh anggota keluarga pasti mendapat bagian. Sedangkan beras, kadangkala ditanak hingga menjadi bubur agar cukup dikonsumsi seluruh anggota keluarga.

Informan berusaha pula menghemat atau mengurangi pengeluaran. Pengeluaran yang dikurangi biasanya yang dianggap tidak terlalu penting. Uang saku anak, misalnya, bisa dikurangi, bahkan dihapuskan. Sebagai gantinya, informan membuatkan sarapan untuk anak sebelum berangkat sekolah. Informan juga mengusahakan selalu membeli barang kebutuhannya di pasar, karena harga-harga yang ditawarkan lebih murah ketimbang warung. Membeli makanan jadi juga dihindari sebab harganya lebih mahal daripada jika memasak sendiri.

Semua informan menyatakan dirinya cukup aktif menjalin hubungan dan bergaul dengan masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat dan bisa mengandalkan hubungan yang telah terjalin jika sewaktu-waktu mengalami kesulitan.

Kegiatan yang dilakukan informan bersama sesama warga, antara lain, arisan STM dan pengajian. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara rutin, diikuti oleh warga sekitar untuk menjalin silaturahmi serta membicarakan berbagai masalah. Dalam kegiatan ini, juga sering ada warga yang berbagi kisah tentang kesulitan yang dialami, biasanya akan banyak warga lain yang berusaha membantu menawarkan solusi.

Sebagian besar informan mengaku bahwa mereka pernah meminjam uang dari sesama warga yang telah memiliki jalinan hubungan. Terkadang mereka juga berhutang di warung milik tetangganya. Ini dilakukan bila ada kebutuhan mendesak sementara informan sedang tidak memiliki uang. Adanya pinjaman dan pemberian hutang ini dirasakan informan sangat membantu.

Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu:

¾ Problem-Solving Focused Coping

Di mana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.

¾ Emotion-Focused Coping

Di mana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.

Dalam hal ini, yang dilakukan oleh informan untuk menyiasati kesulitan hidup pasca-kenaikan harga BBM adalah problem-solving focused coping, di mana mereka secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.

1. Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

2. Keyakinan atau Pandangan Positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe problem-solving focused coping.

3. Keterampilan Memecahkan Masalah

(10)

mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4. Keterampilan Sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

5. Dukungan Sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

6. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan lokal yang berkelanjutan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang dimiliki oleh orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian.

Menuju Program Pengentasan Kemiskinan yang Berpihak pada Masyarakat Miskin

Bantuan dari pemerintah pernah diterima oleh sebagian informan. Jika dahulu ada program JPS (Jaring Pengaman Sosial) untuk meredam dampak krisis moneter dan menahan laju peningkatan jumlah penduduk miskin, kini ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras untuk rakyat Miskin). BLT, yang dimaksudkan sebagai pengganti subsidi BBM

disalurkan setiap 3 bulan sebesar Rp 300.000,/KK. Sedangkan Raskin dapat dibeli

seharga Rp 1.000,-/kg, dengan jatah 10–15 kg/KK/bulan. Semuanya merupakan bantuan pemerintah bagi keluarga miskin. Tapi ada juga informan yang tidak mendapatkannya walau telah didata dan tercatat sebagai keluarga miskin.

Ada juga informan yang sebenarnya tergolong mampu secara finansial malah memperoleh BLT. Informan mengaku hal ini

dilakukannya dengan memalsukan data, bekerja sama dengan oknum kepala lingkungan setempat.

Saat diminta mengemukakan tanggapannya mengenai program pengentasan kemiskinan dan kompensasi subsidi BBM yang dilaksanakan oleh pemerintah, semua informan mengaku sangat setuju bila program maupun bantuan tersebut terus dilaksanakan. Hanya saja, menurut informan, memang masih banyak hal yang perlu dibenahi, terutama berkaitan distribusi serta mekanisme penyalurannya. Juga perlu diperhatikan dan diawasi agar tepat sasaran diterima oleh orang yang benar-benar berhak serta membutuhkannya.

Di masa mendatang, informan berharap bahwa pemerintah dapat lebih menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin dalam kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Kenaikan harga BBM, misalnya, sebisa mungkin diharapkan dihindari karena dampaknya sangat berat dirasakan oleh keluarga miskin. Program pengentasan kemiskinan dan kompensasi subsidi BBM juga dianggap perlu dilanjutkan dengan melakukan pembenahan dalam berbagai aspek pelaksanaannya.

Kemiskinan dalam pengertian konvensional pada umumnya (income) komunitas yang berada di bawah satu garis kemiskinan tertentu. Oleh karena itu sering sekali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan komunitas tersebut. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Menurut para pakar, sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu: 1. Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah,

jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.

2. Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.

(11)

4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas. 5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran

antarkelompok sosial, terfragmentasi.

6. Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.

Bila ditinjau dari konsep kebutuhan, maka 6 macam kemiskinan ini bisa diatasi dengan pemenuhan dua macam kebutuhan di atas. Kemiskinan ekonomi diatasi dengan memenuhi kebutuhan praktis sedang kemiskinan yang lain diatasi dengan pemenuhan kebutuhan strategis.

Penanggulangan kemiskinan yang selama ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan paradigmatik, antara lain pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.

Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas. Penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan muncul dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif.

Ketiga, memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek daripada subyek. Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan.

Keempat, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan

terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Dalam hal ini, Suharto (2003) mengatakan bahwa paradigma baru menekankan “apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin”. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.

Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatis penanggulangan kemiskinan tadi, ada strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan.

1. Karena kemiskinan bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomis. Strategi pengentasan kemiskinan hendaknya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

2. Untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkat-kan pendapatan melalui langkah perbaimeningkat-kan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking), serta informasi pasar.

3. Melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan.

(12)

Dalam kaitan ini, upaya memberdayakan masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu : (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3) memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam mengatasi kemiskinan.

Kemiskinan sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset produksi.

PENUTUP

1. Kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dipastikan akan semakin memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan bisa lebih berpihak pada kepentingan rakyat, dengan mempertimbangkan secara seksama bila hendak menaikkan harga BBM di masa mendatang. Sedapat mungkin, bila masih ada alternatif kebijakan lain yang bisa ditempuh, disarankan agar menghindari menaikkan harga BBM.

2. Hendaknya diperhatikan dengan seksama agar penyaluran dana kompensasi subsidi BBM benar-benar diterima oleh yang berhak dan membutuhkannya.

3. Strategi adaptasi sosial ekonomi masyarakat miskin perlu dihargai sebagai suatu bentuk inisiatif menghadapi sulitnya keadaan, namun perlu diawasi agar jangan sampai malah semakin menjerat mereka dalam perangkap kemiskinan.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, et al. (ed.). 2000. Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Jakarta, Pulsar.

Alfian. 2001. Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya. Jakarta, Pustaka Kalam.

Ali, Muhammad. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung, Alumni.

Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta, UI Press.

Aminuddin. 2000. Sosiologi: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Baross, Zsu Zsa. 1999. Prospek Perubahan bagi Golongan Miskin Kota (artikel online di http://www.jurnal_prisma.co.id)

Black, James A. (penerjemah E. Koeswara, dkk.). 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung, Eresco.

BPS (Badan Pusat Statistik). 1999. Penduduk Miskin (Poor Population). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin. No.04/Thn.II/9, Juli. Jakarta: CBS.

BPS – Depsos. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002. BPS Jakarta Indonesia.

Faisal, Sanapiah. 1999. Format-Format penelitian sosial. Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Singarimbun, Masri. 1980. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta, Bhrata Karya Akasara.

Soekanto, Soerjono. 1999. Kamus Sosiologi. Jakarta, Rajawali Pers.

Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).

Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi. Jakarta, Rineka Cipta.

Unaradjan, Dolet. 2000. Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta, Grasindo.

Usman, Husaini. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Bumi Aksara.

Situs Internet/Website:

ƒ http://www.bps.go.id

ƒ http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm (Jurnal Ekonomi Rakyat)

ƒ http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F8437/ Menyoal%20Argumentasi%20Kenaikan%20Harga%20BBM.htm

ƒ http://www.pemkomedan.go.id/medan_barat_miskin.htm

Gambar

Gambar 1.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari survei faktor risiko penyakit tidak menular di Kabupaten Rembang tahun 2010 adalah proporsi penduduk laki-laki yang merokok adalah sebesar 59,6%, proporsi

Menurut Levey dan Loomba (2000) Proses, Suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah sebuah masukan untuk menjadikan hasil yang diharapakan dari sistem tersebut

general linier model and geographic information system models, used this study aim at obtaining temporal and spatial pattern of the relationships between environmental variables

Dengan perhitungan Fuzzy RPN, mode kegagalan paling kritis pada koridor III adalah jalur yang belum steril dari pengguna kendaraan pribadi (0,742), sedangkan pada

Pada penelitian Sari dkk, aktivitas antibakteri fraksi n-heksana den - gan nilai 0,91±0,01 mg/mL terhadap biofilm Escherichia coli tidak sebaik fraksi etil ase -

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh metode eksperimen dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan penguasaan konsep siswa pada materi

Variabel pengganggu bisa dikendalikan yaitu keseragaman guru dalam pelaksanaan terapi murottal, lingkungan sekolah yang tidak bising karen melakukan terapi di dalam

Pada dasarnya, sebuah spin box digunakan untuk menampilkan suatu peubah saat itu dan kemudian nilai peubah tersebut akan bertambah ketika user menekan tombol dengan anak panah