Hamdani : Pengaruh Faktor Upaya Pengobatan Dan Pencegahan Yang Dilakukan Ibu Pada Balita Dengan Penyakit Diare Di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008, 2009
PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008
TESIS
Oleh
HAMDANI
057023005/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
SE K O L AH
P A
S C
A S A R JA
PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
HAMDANI
057023005/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2008
Nama Mahasiswa : Hamdani Nomor Pokok : 057023005
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)) (drh. Hiswani, M.Kes) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K) Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2009
ABSTRAK
Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian, Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu penduduk untuk dewasa dan 75 per 100 ribu balita.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional
yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita dengan penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pengambilan sampel berjumlah 271 orang, dengan menggunakan simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisa data yang digunakan adalah
Chi-Square Test dan Regresi Logistik.
Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian diare pada balita adalah status gizi anak, sumber air bersih, tempat pembuangan tinja, lamanya pemberian ASI, kebiasaan cuci tangan. Berdasarkan uji multivariat ditemukan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah variabel status gizi anak dengan dengan nilai Exp ( ) 5,426.
Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya agar selalu memperhatikan program peningkatan status gizi anak dan diusahakan agar program pemberian makanan tambahan kepada balita dapat diteruskan dalam penyusunan rencana strategis (Renstra) pada tahun berikutnya.
ABSTRACT
Up to now, diarrhea is still one of the main causes of the incident of morbidity and mortality. The epidemiology of diarrhea can geographically be found in all areas of the world and the cases of diarrhea can occur in all age groups but severe diarrhea with high mortality especially occurs in the infants and children under five years old. Based on the Household Health Survey done in 2004, in Indonesia, the diarrhea caused mortality rate reached 23 persons out of 100 thousand adults and 75 persons out of 100 thousand children under five years old.
The purpose of this analytical study with cross-sectional design is to analyze the influence of the treatment and prevention efforts done by mothers of children under five years old on diarrhea in Bandar Baru Health Center, Pidie Jaya District. The samples for this study were 271 mothers, selected through simple random sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square and Logistic Regresion tests.
The result of bivariate test shows that the variables that are significantly related to the incident of diarrhea in the children under five years old are the children’s nutrition status, clean water resources, human feces dumping place, length of breasfeeding, and habit of washing hand. The result of multivariate test shows that the most influencing variable on the incident of diarrhea in the children under five years old is the children’s nutrition status with Exp ( ) 5.426.
It is expected that Pidie Jaya District Health Office to pay attention to the improvement of the children’s nutrition status and continue the program of administrating supplementary food to the children under five years old in the planning process of strategic plan for the coming years.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan
tesis dengan judul “Pengaruh Faktor Upaya Pengobatan dan Pencegahan yang
Dilakukan Ibu pada Balita dengan Penyakit Diare di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008”.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan oleh
karena adanya arahan dan bimbingan serta dukungan dari berbagi pihak. Oleh karena
itu pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, Sp.A (K) yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada
penulis untuk menempuh pendidikan.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, MSc, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Bapak Dr. Drs.
Surya Utama, MS yang juga telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Komisi Pembimbing, Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A(K) selakuKetua Komisi
Pembimbing dan Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan yang sangat besar,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Kepada Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.Kes dan Ibu Ir. Indra Chahaya S, M.Si
selaku Dosen Pembanding.
6. Kepala Dinas Kesehatan Pidie Jaya yang telah memberikan izin untuk dapat
7. Camat Bandar Baru yang juga telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat
melaksanakan penelitian di Puskesmas Bandar Baru.
8. Kepala Puskesmas Bandar Baru yang telah memberikan izin dan data-data yang
penulis perlukan dalam menulis tesis ini.
9. Isteri tercinta Cut Fajriah, Amd.Keb yang telah sangat banyak membantu penulis
dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
10.Ananda tercinta Hanif Fuadi, dan Syakir Afifi yang telah menjadi motivator besar
bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
11.Ayahanda sekeluarga yang juga telah membantu dan mendoakan sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
12.Yusnidariyani, SKM, dr. Irawati, Alfian Helmi, S.Kep,M.Kes, Laila Kusumawati,
SKM, M.Kes dan Zulkifli, M.Kes yang juga turut membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
13.Seluruh teman-teman peminatan Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih perlu perbaikan, untuk itu
penulis mengharapkan kirtik dan saran yang sifatnya membangun.
Medan, Januari 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama : Hamdani
Tempat/Tanggal Lahir : Pulo Pueb, 22 Januari 1975
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Jumlah Anak : 2 Orang
Alamat Kantor : AKPER Pemerintah Kabupaten Pidie Sigli
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Tahun 1987 Lulus SD Negeri Pulo Pueb
2. Tahun 1990 Lulus SMP Negeri Lueng Putu
3. Tahun 1993 Lulus SMA Negeri Lueng Putu
4. Tahun 1996 Lulus AKPER MONA Banda Aceh
5. Tahun 1999 Lulus FKM UNMUHA Banda Aceh
6. Tahun 2005 Tugas Belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
RIWAYAT PEKERJAAN
1. 1 Maret 2000 diangkat menjadi CPNS.
2. 1 April 2001 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
DAFTAR ISI
2.3. Patogenesis ………....………..……….
2.4. Gejala Diare……….………..
2.5. Epidemiologi Penyakit Diare……….
2.6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pencegahan dan
Pengobatan Diare….….…………...
2.7. Pencegahan Penyakit Diare...……….………
2.8. Kerangka Teoritis...……….
2.9. Kerangka Konsep Penelitian....……….………
BAB III. METODE PENELITIAN……….……… 3.1. Jenis Penelitian…...……….…...
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian …..………...
3.3. Populasi dan Sampel....………...………...
3.4. Metode Pengumpulan Data...………...
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ….………... 3.6. Metode Pengukuran..………...
3.7. Metode Analisa Data ……….…………...
BAB IV. HASIL PENELITIAN... 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 4.2. Analisis Univariat... 4.3. Analisis Bivariat... 4.4. Analisis Multivariat ...
BAB V. PEMBAHASAN... 5.1. Karakteristik Ibu... 5.1. Karakteristik Anak... 5.3. Upaya Pengobatan ... 5.4. Pencegahan Diare ...
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA... 60 60 64 71 80
83 83 88 91 92
98 98 98
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Sistem Skor Dehidrasi……….. 23
2.2 Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif………. 28
2.3 Baku Antropometri Menurut Standar WHO – NCHS………….. 31
2.4 Cara Pemberian Oralit……….. 33
3.1 Definisi Operasional.……… 53
3.2 Tabel Skor……… 59
4.1 Nama-Nama Desa yang Termasuk Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008………. 61
4.2 Jumlah Kunjungan Menurut Bulan pada Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008……….. 62
4.3 Distribusi Tenaga Kesehatan Berdasarkan Jenis Pendidikan yang Bekerja pada Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008………. 63
4.4 Distribusi Sepuluh Besar Penyakit yang Dilayani di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008……... 63
4.5 Distribusi Responden Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008……….. 65
4.6 Distribusi Balita Menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Status Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008……….. 67
4.7 Distribusi Responden Menurut Upaya Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008……… 68
4.8 Distribusi Responden Menurut Sarana Air Bersih, Tempat Pembuangan Tinja, di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru
4.9 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Mencuci Tangan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 69
4.10 Distribusi Responden Menurut Lamanya Penyapihan,
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 70
4.11 Distribusi Responden Menurut Pemberian Imunisasi
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 71
4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 72
4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu dan Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008……… 72
4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008……… 73
4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan dan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008……… 74
4.16 Distribusi Balita Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008…. 74
4.17 Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008….. 75
4.18 Distribusi Balita Berdasarkan Status Gizi dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008…... 76
4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Upaya Pengobatan dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 76
4.20 Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Air Bersih dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 77
4.21 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Tinja dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
4.22 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Pemberian ASI dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008……… 78
4.23 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Cuci Tangan dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 79
4.24 Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian Imunisasi dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008………. 80
4.25 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008... 81
4.26 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko Diare pada Balita Setelah Dikeluarkan Faktor Pemberian ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Model Interelasi Tumbuh Kembang Anak ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuisioner Penelitian ………. 105
2. Hasil Uji Regresi Logistik ……….. 111
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas………. 130
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diare merupakan salah satu penyakit menular dengan peningkatan kasus
kesakitan dan kematian yang signifikan di beberapa daerah di Indonesia, terutama
pada golongan umur di bawah lima tahun masih merupakan masalah kesehatan yang
harus mendapat perhatian yang lebih serius dari berbagai lapisan masyarakat,
terutama pemerintah melalui bidang kesehatannya.
Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian, epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah
geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi
penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam
setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan CFR 15% sampai dengan 34% dari
semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, 2004).
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne
infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
Di negara maju diperkirakan insiden diare 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200
juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.
Berdasarkan laporan organisasi kesehatan dunia (WHO, 2000), di Bangladesh selama
kurun waktu 10 tahun (1974 - 1984) angka kejadian diare berkisar 1,93% - 4,2%, dan
di Thailand dari seluruh pasien rawat jalan anak di rumah sakit ditemukan 20%
merupakan penderita diare. Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan
kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak-anak terserang diare
infeksi 7 kali setiap tahunnya.
Hasil Survei Depkes R.I tahun 2000 memperlihatkan angka kesakitan diare
pada semua usia mencapai 301 per 1000 penduduk. Kebanyakan kasus diare muncul
pada dua tahun pertama usia anak dan proporsi tertinggi terjadi pada kelompok usia
6-11 bulan saat dimulainya pemberian makanan pendamping ASI atau makanan
sapihan "Case fatality ratenya saat KLB mencapai 1,6%.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka
kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu penduduk untuk
dewasa dan 75 per 100 ribu balita. Angka kejadian itu termasuk masih cukup tinggi
dibandingkan negara lain.
Hasil survei Depkes RI, pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare pada
semua usia di Indonesia adalah 423 per 1000, dan frekwensi 1-2 kali per tahun pada
anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Pada 2001, angka kematian rata-rata yang
tinggi terjadi pada kelompok anak berusia di bawah 5 tahun, yaitu 75 per 100.000
orang. Sementara kematian anak berusia di bawah tiga tahun akibat diare dengan
CFR 19%.
Di Indonesia angka insiden diare selama kurun waktu 4 tahun dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2003 mempunyai kecenderungan menurun dari 21,9 per 1000
pada tahun 2000 menjadi 10,6 per 1000 pada tahun 2003. Namun dalam kurun waktu
dua tahun terakhir terjadi peningkatan hampir 2 kali lipat yakni 6,7 per 1000 pada
tahun 2002 menjadi 10,6 per 1000 pada tahun 2003 (Depkes RI, 2004).
Kondisi kejadian diare pada balita di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pada tahun 2004 sebanyak 32.466 balita, untuk tahun 2005 berjumlah 37.801 balita,
yang berarti terjadi peningkatan sebesar 16,43% pada tahun 2006 kejadian diare pada
balita berjumlah 36.960 balita. Bila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi
penurunan sebesar 2,2% (Dinkes NAD, 2007). Namun demikian penurunan ini tidak
dapat disimpulkan insiden diare menurun, tetapi karena cakupan penerimaan laporan
juga menurun.
Dari seluruh kejadian diare pada balita di Nanggroe Aceh Darussalam pada
tahun 2006 yang berjumlah 36.960 balita, 18% di antaranya terjadi di Kabupaten
Pidie. Kontribusi ini merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan kabupaten
lainnya (Dinas NAD, 2007).
Untuk Kabupaten Pidie pada tahun 2005, tercatat jumlah penderita diare pada
tahun berjumlah 5158. Jumlah ini mencapai 50% dari seluruh penderita diare untuk
semua golongan umur (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2005).
Pada tahun 2006, mulai bulan Januari sampai dengan bulan November 2006
tercatat jumlah penderita untuk golongan umur di bawah 5 tahun sebanyak 4.773
penderita, dari jumlah keseluruhan untuk semua golongan umur 13.677 penderita,
atau 35% penderita diare adalah golongan umur di bawah lima tahun. Bila
dibandingkan dengan penyakit lainnya dari sepuluh besar penyakit yang sering
dialami oleh balita pada tahun 2006, maka penyakit diare menduduki peringkat kedua
terbesar setelah penyakit Influenza, dengan jumlah kasus 4773 balita, atau 35%.
Sedangkan peringkat ketiga terbesar adalah kasus Pneumonia dengan jumlah
penderita 581 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2005).
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku
masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan (Depkes RI, 2000). Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya diare dapat berupa lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, sosial
ekonomi, dan faktor perilaku (
Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, pemerintah telah mendirikan
Rumah Sakit dan Puskesmas. Dalam sistem manajemen, kesehatan puskesmas adalah
salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Puskesmas
merupakan pelaksana pelayanan kesehatan dasar. Untuk hal tersebut dalam rangka
menetapkan program, mempertahankan jangkauan dan pemerataan serta
meningkatkan mutu pelayanan (Depkes R.I, 1999).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nielsen di Pakistan tahun 2001
didapatkan bahwa persepsi ibu yang keliru tentang penyebab terjadinya diare.
Menurut ibu terjadinya diare pada balita disebabkan oleh karena terlalu banyak
mengkonsumsi cairan, tidak seimbangnya antara diet makanan panas dan dingin, ASI
ibu yang buruk, pemberian makanan pada bayi yang berusia lebih dari 6 (enam)
bulan, dan juga terjadi diare bila bayangan melewati anak (Nielsen, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh litbang Depkes RI tahun 2001 tentang
perilaku ibu untuk mengobati anaknya yang menderita diare adalah pernah mengobati
sendiri sebesar 46,6%, berobat ke dukun/tabib sebesar 0,9%, sedangkan yang berobat
ke tenaga kesehatan sebesar 52,5%. Dari keseluruhan ibu yang membawa anaknya
berobat ke pelayanan kesehatan, 29% dibawa ke Puskesmas dan pustu, praktek
petugas kesehatan 16,7% dan praktek dokter 6,8%.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan di Kabupaten Pidie masih rendah, angka
kunjungan ke pelayanan kesehatan hanya sebasar 30%, selebihnya tidak
menggunakan pelayanan kesehatan (Surkesda Kab. Pidie, 2006).
Berdasarkan data-data di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang
dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru
1.2. Permasalahan
Diare pada anak balita masih merupakan permasalahan kesehatan yang
penting mengingat angka kesakitan dan kematian yang relatif masih tinggi, dan diare
pada balita dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Selain itu adanya kenyataan dalam masyarakat di mana upaya
mencari pelayanan kesehatan di saat kondisi anak sudah dalam keadaan parah dan
persepsi masyarakat tentang pelayaan kesehatan yang kurang memuaskan. Maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah “Apakah ada pengaruh faktor upaya
pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor upaya pengobatan
dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu
1.5. Manfaat
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat
memberikan informasi tentang pengaruh antara faktor upaya pengobatan dan
pencegahan yang dilakukan ibu terhadap balita terhadap penyakit diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk
pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, memberikan informasi baru tentang ada
pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada
balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie
Jaya yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian dimasa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Diare
Suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi
dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih
dari biasanya 3 kali atau lebih dalam 1 hari (Depkes RI, 2005). Dikatakan diare
apabila tinja mengandung lebih banyak air dibandingkan dengan yang normal.
Mengeluarkan tinja normal secara berulang tidak disebut diare (Andrianto, 1995).
Diare Akut adalah kondisi buang air besar dengan frekuensi yang meningkat
dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya,
dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 (dua) minggu (Suharyono, 2008).
Di samping itu ada juga klasifikasi yang lain berdasarkan organ yang terkena
infeksi yaitu:
a. Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus, parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (Otitis media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan lainnya) (Suharyono, 2008).
Menurut Depkes RI (1996), diare merupakan penyakit gastroenteritis yang
ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja menjadi lembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya, lazimnya tiga kali
atau lebih dalam sehari. Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan
kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau
tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut,
disentri, dan diare persisten. Menurut Depkes RI (2000), secara operasional
didefinisikan bahwa diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam
sehari).
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi 4
kelompok yaitu:
1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari),
2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus,
4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.
Suharyono (1991), menjelaskan bahwa diare adalah buang air besar dengan
frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau
cair.
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan,
atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif
minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan
diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi
buang air besar lebih dari tiga kali sehari disertai adanya perubahan bentuk dan
konsistensi tinja penderita. Dikenal diare akut yang timbul dengan tiba-tiba dan
berlangsung beberapa hari dan diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu
bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab
lainnya (Winardi, 1981).
2.2. Etiologi
Penyebab diare dapat berupa:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral, Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak, meliputi:
(1).Infeksi bakteri seperti Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
(2).Infeksi virus seperti Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Polimyelitis)
Adeno-virus, Rotavirus, dan lain-lain.
(3).Infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides),
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis),
b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti otitis
media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis,
dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur
di bawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
(1).Malabsorbsi korbohidrat, disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada
bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa.
(2).Malabsorbsi lemak.
(3).Malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak
yang lebih besar) (Ngastiyah, 2005).
Etiologi diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan
tetapi kini, telah lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini telah dapat
diidentifikasi tidak kurang dari jenis 25 jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan diare pada bayi dan anak. Penyebab itu dapat digolongkan lagi ke
dalam penyakit yang ditimbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus. Penyebab
utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya
ialah virus Norwalk, Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus
Di seluruh pelosok dunia diestimasikan bahwa Rotavirus menyebabkan lebih
dari 125 juta episode diare dan menjadi sebab hampir 1 juta kematian setiap tahun
pada bayi dan anak-anak. Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
adalah Aeromonas hydrophila, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium
defficile, Clostridium perfringens, E. Coli Plesiomonas, Shigelloides, Salmonella spp,
Staphylococcus aureus, Vibrio cholrae dan Yersinia enterocolitica.
Sedangkan penyebab diare oleh parasit adalah Balantidium coli, Capillaria
Philippinensis, Cryptosporodium, Entamoeba hytolitica, Giardia lamblia, Isopora
billi, Fasiolopsis buski, Sarcocytis suihominis, Strongiloides stercoralis, dan
Trichuris trichiura. Virus dapat menyebabkan 40-60% dari semua penyakit diare
pada bayi dan anak yang datang berobat ke rumah sakit, sedangkan untuk komunitas
sebesar 15%. Patogenesa terjadinya diare yang disebabkan virus (misal Rotavirus)
adalah sebagai berikut: virus masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman
setelah virus sampai ke dalam enterosit (sel epitel usus halus) akan menyebabkan
infeksi serta kerusakan jonjot-jonjot (fili) usus halus. Enterosit usus yang rusak
diganti oleh enterosit fungsinya masih belum baik. Jonjot-jonjot usus mengalami
atrofi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, cairan dan
makanan yang tidak terserap dan tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik
usus, usus meningkatkan motilitasnya (hiperperistaltik) sehingga cairan dan makanan
yang tak terserap akan didorong keluar usus melalui anus dan terjadilah apa yang
Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari
(3-4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (self limiting disease). Penderita akan sembuh
kembali setelah enterosit usus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru dan yang
normal serta sudah matang (mature), sehingga dapat menyerap dan mencerna cairan
serta makanan dengan baik.
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah bakteri
non infasif dan bakteri infasif. Yang termasuk dalam golongan bakteri noninfasif
adalah; Vibrio chlorerae, E. Coli patogen (EPEC, ETEC, EIEC). Sedangkan
golongan bakteri infasi adalah Salmonella spp, shigella spp, E. coli infasif (EIEC), E.
coli hemorrhagic (EHEC) dan Campylobacter spp. Diare karena bakteri infasif dan
nonifasif terjadi melalui salah satu mekasnisme yang berhubungan dengan pengaturan
transport ion dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (Cyclic Adenosin
Monophosphate), cGMP (Cyclic Guanosin Monophosphate), Ca-dependet dan
pengaturan ulang sitokeleton.
Terjadinya diare karena bakteri non infasif (misal V. cholerae) adalah sebagai
berikut: Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan atau minuman
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri tertelan dan masuk ke lambung, di dalam
lambung bakteri akan dibunuh oleh asam lambung, namun bila jumlah bakteri cukup
banyak maka ada yang lolos sampai ke dalam usus 12 jari (duodenum). Di dalam
duodenum bakteri akan berkembang biak sehingga jumlahnya mencapai 100 juta
koloni atau lebih per ml cairan usus halus. Dengan memproduksi enzim mucinase
usus sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membran (dinding sel epitel).
Di dalam membran bakteri mengeluarkan toksin yang disebut subunit A dan
subunit B. Subunit B akan melekat di dalam membran dari subunit A dan akan
bersentuhan dengan membran sel serta mengeluarkan cAMP (Cyclic Adenosin
Monophosphate). cAMP berkhasiat merangsang sekresi cairan usus di bagian
kripta vili dan menghambat absopsi cairan di bagian apical vili, tanpa
menimbulkan kerusakan set epitel tersebut sebagai akibat adanya rangsangan
sekresi cairan dan hambatan absorpsi cairan tersebut, volume cairan di dalam
lumen usus akan bertambah banyak. Cairan ini akan menyebabkan dinding usus
menggelembung dan tegang dan sebagai reaksi dinding usus akan mengadakan
kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas atau hiperperistaltik untuk mengalirkan
cairan ke bawah atau ke usus besar. Dalam keadaan normal usus besar akan
meningkatkan kemampuannya untuk menyerap cairan yang bertambah banyak,
tetapi tentu saja ada batasnya. Bila jumlah cairan meningkat sampai dengan 4500
ml (4,5 liter), masih belum terjadi diare, tetapi bila jumlah tersebut melampaui
kapasitasnya untuk menyerap, maka akan terjadilah diare. Jadi diare ini
sebenarnya merupakan proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan cairan yang
berlebih di dalam lumen usus, sama seperti halnya dengan terjadinya proses batuk,
flatus, bersin, dan sebagainya.
Toksin V cholerae dapat bertahan di dalam tubuh sehingga 36 - 72 jam dan
masih tetap akan menyebabkan diare walaupun kumannya telah mati. Diare karena
mencapai 5-10 liter sehari dan menyebabkan kematian yang cukup banyak. Kolera
biasanya terjadi dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) atau wabah, misalnya
karena banjir, adanya pengungsian besar-besaran karena bencana alam atau perang
dan sebagainya.
Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E coli agak berbeda
dengan patogenesis diare oleh V. cholera, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya
bakteri Salmonella dan Shigella dapat mengadakan invasi (menembus) sel mukosa
usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi sistemik (demam, kram perut dan
sebagainya) toksin Shigellae spp juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak
dan juga menyebabkan kejang. Diare oleh Salmonella dan Shigella sering juga
menyebabkan adanya darah dalam tinja, suatu keadaan yang disebut disentri.
Pada Entamoeba yang bersifat enterotoksigenik selain mengeluarkan toksin
yang bersifat labil pada suhu panas, juga mengeluarkan toksin yang stabil pada
suhu panas. Toksin itu merupakan suatu peptida kecil yang dapat menstimulasi
guanyllat cyclase yang mengakibatkan peningkatan konsentrsi cGMP intra seluler,
dan sebagaimana halnya cAMP, keadaan itu menyebabkan sekresi klorida dan
diare. Fasano A, 1998 menyebutkan pula bahwa kalsium intra seluler merupakan
regulator utama dari transpot elektrolit pada mamalia, dan berperanan secara
langsung maupun tidak langsung poda regulasi tranport dari elektrolit aktif, baik
di dalam usus halus maupun usus besar. Dalam sejumlah besar studi mengenai
entrosit, suatu keadaan yang menyebabkan peningkatan kosentrasi kalsium dapat
menghambat absorbsi Na dan Ca, menstimulasi sekresian ion atau memodulasi
konduksi Kapika atau basolateral membran. Dari hal-hal yang telah disebutkan itu
hasilnya adalah akumulasi cairan di dalam lumen, meskipun keadaan tersebut
efeknya lebih sedikit jika dibandingkan dengan cAMP.
Teori lain menegenai proses infasi, spreading, dan modulasi dari
permebilitas usus halus dari bakteri adalah konsep mengenai perubahan susunan
sitoskeleton dari enterosit. Perubahan susunan itu berhubungan dengan modifikasi
fungsional epitel usus halus, yaitu mempermudah "komunikasi" antara
kuman-kuman yang patogen pada usus dengan enterosit.
Lokasi dan faktor yang mempengaruhi timbulnya diare selalu saling terkait.
diare sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu: diare infeksi,
yaitu suatu diare yang disebabkan infeksi kuman-kuman seperti bakteri, virus dan
parasit, sedangkan diare non inteksi yaitu penyakit diare yang disebabkan bukan
oleh infeksi kuman apapun, tetapi disebabkan oleh karena kurang gizi, alergi
maupun intoleran makanan tertentu (misalnya: susu atau produk susu) makanan
asing terhadap individu tertentu yang pedas atau tak sesuai kondisi usus, dapat
pula disebabkan penyakit imunodefisiensi (gangguan dalam pembuatan zat anti,
keracunan makanan oleh bahan-bahan kimiawi dan faktor psikologis).
Keseimbangan mikroflora atau mikrobiota dalam saluran gastrointestinal
dapat dikatakan merupakan kunci utama untuk nutrisi dan kesehatan manusia.
Melalui proses fermentasi, mikroflora usus memetabolisir berbagai macam
pendek dan gas. Metabolisme anaerob ini akan membantu memberikan tambahan
energi terhadap pejamu. Dalam keadaan tertentu gangguan keseimbangan dapat
menyebabkan proses fermentasi menghasilkan metabolit yang tidak diinginkan
dan hal ini bisa menyebabkan gangguan gastrointestinal baik akut maupun kronis,
terutama diare.
Beberapa macam obat, terutama antibiotika, dapat juga menjadi penyebab
diare. Antibiotika agaknya membunuh flora normal usus sehingga organisme yang
tidak biasa atau yang kebal terhadap antibiotika akan berkembang bebas.
Di samping itu, sifat famakokinetika dari antibiotika itu sendiri juga memegang
peran penting. Sebagai contoh ampisilin dan klindamisin adalah antibiotik yang
dikeluarkan di dalam empedu yang merubah flora tinja secara intesig walaupun
diberikan secara parental. Antibiotik dapat pula menyebabkan malabsorbsi,
misalnya Tetrasiklin, Kanamisin, Basitrasin, Polimiksin, danNeomisin.
Beberapa keadaan akut bedah, misalnya invaginasi dapat menyebabkan
diare. Diare juga dapat berhubungan dengan penyakit lain, misalnya malaria,
schistosomiasis, campak, atau pada infeksi sistemik lain, misalnya peneumonia,
radang tenggorok dan otitis media serta mungkin akibat intoleransi ataupun alergi
terhadap makanan tertentu.
Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu
diare somotik dan diare sekretorik, serta diare karena gangguan motilitas usus.
Diare osmotik terjadi karena adanya bahan yang tidak dapat diabsorpsi pada
menyebabkan air dari intraseluler diikuti hiperperistaltik usus, sebagai contoh
adalah akibat defisiensi laktase atau malabsorbsi glukosa galaktosa. Pada diare
sekretonik terjadi sekresi, cairan dan elektrolit oleh mukosa akibat stimulan
primer oleh enterotoksin atau oleh neoplasma yang mengeluarkan hormon tertentu
yang mempengaruhi sekresi, sedangkan transport absorpsi dan sekretonik diatur
oleh pembawa pesan intraselular termasuk ion kalsium bebas, adenosin,
monofosfat siklik (c-AMP) dan guanosin monofosfat siklik (c-GMP), serta
sitokleton. Cara kerja enterotoksin dan toksin lain dari bakteri terutama melalui
pembawa pesan intraselular ini. Sedangkan pada diare akibat gangguan motilitas
usus terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik, misalnya diaberik
neuropati, post vagotomi, post reseksi usus serta tiroksikosis.
Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta
gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan
hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang
terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah. Hipoglikemia
akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita mulnutrisi
(Soegijanto, 2002).
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar,
tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan
keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang
bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan
aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan
adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides,
Blastsistis huminis, protozoa, Entamuba histolitica, Giardia labila, Belantudium co/i
dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan:
a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang dikandung dan
diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5) Imundefisiensi dan
(6) sebab-sebab lain (Widaya, 2004).
2.3. Patogenesis
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni
gangguan osmotik dan gangguan sekretorik (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI,
1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999).
2.3.1. Gangguan Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan
ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap.
Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan
yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila
dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama
dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.
2.3.2. Gangguan Sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan
vili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung
terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke
dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
1. Diare mengakibatkan terjadinya:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia.
b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi
jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat,
kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare
dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan
karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan
tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering
terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi
terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono,
2008).
2. Faktor penyebab diare:
a. Pengurangan atau penghambatan ion-ion.
b. Perangsangan dan sekresi aktif ion-ion pada usus (secretory diarrhea).
3. Terdapatnya zat yang sukar diabsorpsi atau cairan dengan tekanan osmotic yang
tinggi pada usus, yaitu:
a. Larutan yang sulit diserap/laksatif.
b. Penyimpangan pencernaan makanan.
c. Kegagalan pengangkutan makanan non-elektrolit yang mempunyai tekanan
osmotik yang tinggi.
4. Perubahan pergerakan dinding usus
a. Penurunan pergerakan peristaltik yang menyebabkan bertambahnya
perkembangbiakan bakteri dalam rongga usus.
b. Meningkatnya pergerakan usus yang menyebabkan kurangnya waktu kontak
antara makanan dengan permukaan usus halus, sehingga makanan cepat
masuk ke dalam lumen kolon.
c. Pengosongan kolon secara premature yang disebabkan isi kolon atau proses
peradangan kolon (sindrom irritable colon) yang mempersingkat waktu
kontak, sehingga volume dan feses akan bertambah cair (Inayah, 2004).
Menurut Hasan dkk (1985), mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya
makanan tidak dapat diserap oleh organ pencernaan. Hal ini di sebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
di rongga usus. Akibat isi rongga usus berlebihan, merangsang usus
mengeluarkannya sehingga terjadi diare; 2) Gangguan sekresi. Diare terjadi karena
ada rangsangan zat tertentu misalnya oleh toksin. Hal ini menyebabkan dinding usus
meningkatkan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus; 3) Gangguan motilitas usus.
Hiperperitaltik usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya jika peristaltik usus
menurunkan meningkatkan bakteri tumbuh berlebihan, dan akan memicu terjadinya
diare.
2.4. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.
Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan
hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit
melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4 kali atau
lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak
nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat
mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba
kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala-
gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala.
Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah
atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah
diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan
tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang
melebihi pemasukannya (Suharyono, 1986). Kehilangan cairan akibat diare
menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat. Untuk dipakai
di lapangan oleh tenaga paramedis, dibuat suatu sistem untuk menilai derajat
dehidrasi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sistem Skor Dehidrasi
Nilai Untuk Gejala yang Ditemukan Bagian Tubuh yang
Harus Diperiksa 0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, lekas marah, apatis,
ngantuk (lunglai)
Mengigau, koma atau renjatan
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
2.5. Epidemiologi Penyakit Diare
Menurut WHO pada tahun 2000 memperkirakan, tidak kurang dari 1 milyar
episode diare terjadi tiap tahun di seluruh dunia, 25-35 juta di antaranya terjadi
di Indonesia (Zein, 2001). Di negara berkembang, anak mengalami episode diare
lebih dari 12 kali setiap tahun, diperkirakan 4-6 juta penderita diare meninggal setiap
tahunnya.
Di Indonesia, dari beberapa penelitian di laporkan bahwa angka kesakitan
diare bervariasi dari tahun ke tahun. Dari survei Kesehatan Rumah Tangga (SKTR)
tahun 1980 dilaporkan angka proporsi kejadian diare 28,09%, SKTR tahun 1986
menurun menjadi 20,05%. Analisis lanjut dari survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 1991 menyatakan bahwa satu dari sepuluh balita menderita
diare dalam dua Minggu terakhir. Diare juga merupakan salah satu penyebab utama
kematian anak balita. SKRT tahun 1986 di laporkan 19,6% kematian, proporsi ini
meningkat pada SKRT 1992 menjadi 23%. Sementara itu hasil survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1991 menunjukkan bahwa anak yang termasuk
kelompok umur 12-23 bulan, merupakan golongan yang paling banyak menderita
diare dibanding dengan kelompok umur lain dari anak balita (Atmojo, 1998).
Pada tahun 1992 diare tidak lagi menempati urutan pertama dari penyebab
kematian di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan karena perbaikan kesehatan
lingkungan serta perorangan dan mungkin pula karena meningkatnya penggunaan
oralit dalam penanganan penyakit diare oleh masyarakat. Bila dibandingkan dengan
masalah serius lagi. Pada tahun 1974 angka kesakitan diare 70-80%. Pada tahun 1986
angka kesakitan diare menurun dari penyebab kesakitan nomor satu menjadi nomor 9
dengan angka 5,3%. Tahun 1992 sebesar 31% dari angka kesakitan terjadi pada anak
balita (Soegijanto, 2002).
Berdasarkan SKRT (1986), menunjukkan angka kesakitan diare untuk seluruh
golongan umur 120-360 per 1000 penduduk dan untuk balita 1-2 kali episode diare
setiap tahunnya atau 60% dari semua kesakitan diare. Angka kematiannya dapat
mencapai 5 per 1000 balita atau 135.000 kematian tiap tahun yang berarti tiap 4 menit
1 balita meninggal karena diare (Sudarmo dkk, 2001).
Dari hasil survei P2 diare (2000), diketahui angka kesakitan diare masih
cukup tinggi mencapai 301 per 1000 penduduk pada semua umur, dan episode pada
balita sebesar 1,5 per tahun. Dari SKRT (1995) diketahui angka kematian karena
diare untuk semua adalah 54 per 1000 penduduk dan pada balita 2,5 per 1000 balita
(Widaya, 2004).
Selama 2001-2003, KLB diare masih sering terjadi, malah di beberapa daerah
di Indonesia terjadi peningkatan kejadian dan penderitanya, tetapi dengan case
fatality rate yang semakin menurun, seperti terjadi di Propinsi NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI
Jakarta, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, NTB,
NTT, dan Papua. KLB sering terjadi di daerah yang mengalami kekeringan, kemarau
2.6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pencegahan dan Pengobatan Diare 2.6.1. Karakteristik Ibu
2.6.1.1.Umur
Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat
pula kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukkan kematangan
jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, dan
bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan motivasinya.
2.6.1.2.Pendidikan
Pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan
sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup,
proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimum (Ihsan, 1997).
Tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia disebabkan
oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare (Depkes RI., 1995).
Hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok ibu dengan tingkat pendidikan
rehidrasi pada balita, bila dibandingkan dengan kelompok ibu yang tingkat
pendidikannya SD kebawah. (Erial, 1994). Penelitian Wibowo, dkk (2002)
menunjukkan bahwa 23,8% kejadian diare pada anak balita yang ibunya memiliki
tingkat pengetahuan tentang diare dengan katagori kurang. Berdasarkan tingkat
pendidikan ibu, balita yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah (SLTA kebawah)
lebih berisiko menderita diare dari pada balita dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
2.6.1.3.Pengetahuan
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor
yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh.
Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi
(Notoatmodjo, 2005). Sebelum seseorang mengadobsi perilaku baru, harus tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain
Tabel 2.2. Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif
Domain Definisi Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Memahami Kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.
Analisis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.
Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Evaluasi Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
(Notoatmodjo, 2003)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo,
2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan
kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan
tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994).
2.6.1.4.Pekerjaan
Menurut Khomsan (2004), permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan
berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik.
Permasalahan kesehatan dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi serta
perlakuan yang adil pada perempuan bisa menjadi salah satu kunci pemecahan
mempunyai posisi ekonomi yang baik. Hal ini juga disertai dengan mendapatkan
pendidikan, kesehatan, dan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pekerjaan ibu dapat dikatagorikan sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta
memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan ibu yang bekerja
sebagai buruh atau petani. Kondisi ini mempengaruhi ibu dalam dalam mengasuh
anaknya, ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain,
sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi diare (Giyantini, 2000).
2.6.2. Karakteristik Anak 2.6.2.1.Umur
Umur mempengaruhi seseorang untuk menderita suatu penyakit. Ada penyakit
yang banyak menyerang kelompok umur anak saja seperti Morbilli, Polio, Pertusis,
Diphtherie, Cacar air dan juga diare, hal ini terjadi karena anak belum mempunyai
kekebalan terhadapnya (Soemirat, 2005). Faktor umur sangat berpengaruh dalam
proses terjadinya suatu penyakit infeksi atau penyakit menular. Menurut Crofton et
al. (1992), kekuatan untuk melawan infeksi merupakan pertahanan tubuh untuk
mengatasi perkembangan infeksi, tergantung tingkat umur penderita saat terkena
infeksi. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat
perlahan-lahan sampai umur 10 tahun. Setelah puberitas, pertahanan tubuh lebih baik
dalam mencegah penyebaran infeksi.
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DepKes RI tahun 2000,
bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa
bayi dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaja, 2002). Angka
kesakitan dan kematian pada anak usia 1-4 tahun dikarenakan diare sebagai akibat
pengaruh gizi buruk, anak di bawah 1 tahun rata-rata mendapat diare 1 kali dalam
setahun, sedangkan usia 1-5 tahun mendapat lebih dari 2 kali setahun terserang diare.
Sebagian besar diare terjadi pada anak di bawah umur usia 2 (dua) tahun.
Hasil analisis lanjut SDKI (1995) didapatkan bahwa umur balita 12 sampai dengan 24
bulan mempunyai risiko terjadi diare 2,23 kali dibandingkan anak umur 25 sampai
dengan 59 bulan.
2.6.2.2.Jenis kelamin
Insiden berbagai penyakit di antara jenis kelamin kebanyakan berbeda.
Perbedaan ini terutama disebabkan karena paparan terhadap agent bagi setiap jenis
kelamin berbeda, misalnya anak laki-laki lebih suka aktivitas fisik dari pada anak
perempuan, maka penyakit yang diderita akan berbeda akibat perilaku dan fungsi
sosial berbeda (Soemirat, 2005). Jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dan mempunyai perbedaan dalam menentukan status kesehatan (Depkes.
RI, 1994).
2.6.2.3.Status gizi
Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan
yang dikonsumsi. Penentuan status gizi anak atau seseorang didasarkan pada kategori
dan indikator yang digunakan. Di bawah ini adalah kategori dan indikator yang
di Bogor bulan Januari 2000 dan di Semarang bulan Mei 2000, yang tercantum dalam
surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat No: KM.02.03.1,4,1298, tanggal 31
Juli 2000 tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita, Pemantauan Status Gizi (PSG)
dan Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG). Standar antropometri untuk pengukuran
status gizi dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Baku Antropometri Menurut Standar WHO – NCHS
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat badan menurut
Berat badan menurut tinggi badan
Penilaian status gizi berguna untuk memperoleh gambaran tentang:
Status gizi anak untuk memutuskan apakah anak perlu diberikan intervensi atau tidak.
Status gizi masyarakat yang sering digambarkan dengan besaran masalah gizi
pada kelompok anak balita. Besaran masalah gizi ini biasanya disajikan dalam nilai
2.6.3. Upaya Pengobatan 2.6.3.1.Rumah sakit
Fungsi rumah sakit selain yang diatas juga merupakan pusat pelayanan
rujukan medik spesialistik dan sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan
Pemulihan (rehabilitasi pasien) (Depkes R.I, 1989).
Rumah sakit merupakan salah satu sistem penyelenggara pelayanan
kesehatan. Menurut Wolpen dan Pena (Azwar, 1997), rumah sakit adalah tempat
orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tindakan, penelitian
klinis untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan
lainnya diselenggarakan. Dari batasan tersebut di atas, fungsi dan kegiatan rumah
sakit saat ini mengalami berbagai perkembangan. Jika dahulu fungsi rumah sakit
hanya untuk menyembuhkan orang sakit (nasocomium/hospital), maka pada saat ini
telah berkembang menjadi tempat pendidikan.
2.6.3.2.Puskesmas
Depkes RI (1991) mendefinisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan
organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan
pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok.
Salah satu kegiatan pokok puskesmas dalam upaya pencegahan penyakit
penyakit diare, melaporkan kasus penyakit diare, menyelidiki di lapangan untuk
melihat benar atau tidaknya laporan yang masuk untuk menemukan kasus-kasus baru,
dan untuk mengetahui sumber-sumber penularan, tindakan sesegera mungkin untuk
mencegah perkembangan penyakit secara luas, mengobati penderita sehingga tidak
lagi menjadi sumber penularan penyakit, pemberian imunisasi, pemberantasan vektor,
serta memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Effendy, 1998).
Upaya pengobatan diare yang dilakukan puskesmas yaitu: Melaksanakan
diagnosa penyakit diare sedini mungkin meliputi: mengkaji riwayat penyakit,
mengadakan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium, menegakkan
diagnosa diare. Setelah penentuan diagnosa, maka dilakukan tindakan pengobatan
segara terhadap penderita diare. Melakukan upaya rujukan bila dianggap perlu
(Effendy, 1998).
Penanganan penderita diare dengan dehidrasi ringan atau sedang dilakukan
dengan pemberian oralit selama periode 3 (tiga) jam. Ketentuan pemberian oralit
berdasarkan usia dan berat badan.
Tabel 2.4. Cara Pemberian Oralita
Usia Barat Badan Jumlah (ml)
0 Sampai 4 bulan < 6 kg 200 – 400
4 sampai 12 bulan 6 s/d 10 kg 400 – 700
12 sampai 24 bulan 10 s/d 12 kg 700 – 900
Kemudian ajarkan kepada ibu cara pemberian oralit yaitu:
a. Minum sedikit-sedikit, tetapi sering.
b. Jika anak muntah, tunggu 10 menit kemudian lanjutkan lagi pemberian oralit.
c. Lanjutkan pemberian ASI selama anak mau (Sudiharto, 2007).
2.6.3.3.Dokter praktek
Dokter praktek umum adalah kontraktor independen, yang memberikan
serangkaian pelayanan medik yang menyeluruh selama 24 jam sehari dan 7 hari
dalam seminggu kepada pasien pasien praktik mereka dan pasien di luar itu yang
mengalami kedaruratan. Dokter umum ini menetapkan target tertentu untuk
Imunisasi, sitologi dan screening untuk usia lanjut dan juga menetapkan anggaran
praktik.
2.6.3.4.Biaya
Perilaku seorang ibu dalam menangani anak balita yang sakit banyak
dipengaruhi oleh sosial diantaranya adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat
jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif. Alasan
lain adalah takut kepada dokter, takut pergi ke rumah sakit, dan takut akan biaya yang
besar. Katagori penggunaan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga. Ini berarti bahwa sumber pendapatan keluarga menentukan kesanggupan
untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anggota keluarganya (Notoatmodjo,
2003).
Pendapatan rumah tangga merupakan sumber terbesar bagi pembiayaan atau
Pembayaran ini adalah setiap pembayaran yang dilakukan konsumen kepada pemberi
pelayanan kesehatan seperti pembayaran atas jasa yang dikonsumsi atau harga yang
harus dibayar untuk penggunaan barang dan peralatan fasilitas kesehatan pemerintah
mungkin saja menarik biaya kepada pengguna atas penggunaan pelayanan tertentu.
Tingkat pengeluaran rumah tangga yang ada saat ini sebagian besar akibat
dari pola pelayanan kesehatan yang ada, serta keterbatasan untuk dapat menggunakan
pelayanan kesehatan pemerintah yang gratis/murah biayanya. Masyarakat
berpendapatan rendah cenderung menunda penggunaan pelayanan kesehatan sampai
penyakitnya parah benar, sebagian dengan asumsi bahwa mereka menghindarkan
pembayaran yang tidak terjangkau (Tjiptoherijanto, 1994).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sigit diketahui bahwa tidak semua balita
dibawa berobat ke pelayanan kesehatan dan tingkat ekonomi berpengaruh dengan
pencarian pengobatan, di mana keluarga dengan tingkat ekonomi kurang berpeluang
1,42 kali, keluarga dengan tingkat ekonomi sedang berpeluang 1,65 kali, keluarga
dengan tingkat ekonomi cukup berpeluang 1,56 kali dan keluarga dengan tingkat
ekonomi tinggi berpeluang 2,09 kali untuk menggunakan pelayanan kesehatan bagi
balita (Purwatmoko, 2001).
Faktor yang mempengaruhi pencarian pengobatan pada oleh ibu balita adalah
pengaruh orang lain dan kepercayaan pengobatan. Pengaruh variabel orang lain
berpeluang mengobati anaknya ke tenaga kesehatan 6,54 kali dibandingkan dengan
ibu yang memilih upaya pencarian pengobatan dengan inisiatif sendiri (Hendarawan,
Sosial ekonomi keluarga mencerminkan singkat kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, sosial ekonomi keluarga sama dengan tingkat pendapatan yang
diterima keluarga, sosial ekonomi menggambarkan tingkat kesejahteraan anggota
keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan, begitu juga terhadap pengelolaan jamban
keluarga, membutuhkan dana dan kemampuan untuk dapat membuat jamban yang
memenuhi syarat sehat (Rahmat, 1994).
2.6.3.5.Cara pemberian obat
Diare yang diinduksi oleh virus dan bakteri biasanya hanya membutuhkan diet
cair bersih serta peningkatan asupan cairan. Terapi anti mikroba dapat diindikasikan
bila ada darah dalam tinja. Zat-zat anti diare yang menurunkan mobilitas usus
dikontra indikasikan pada penyakit infeksi parasit dan beberapa infeksi bakteri,
karena menghambat pengeluaran organisme. Diare yang diinduksi oleh obat atau
toksin paling baik diterapi dengan menghentikan zat penyebab bila memungkinkan
(Olson, 2004).
Ada tiga patokan bagi seorang ibu untuk mengobati sendiri diare yaitu:
menambah cairan, makanan bagi si anak terus diberikan, jika tidak membaik maka
anak harus segera dibawa ke petugas kesehatan (Andrianto, 1995).
Menurut penelitian LA Maiman, faktor pendapatan dan pendidikan ibu
mempengaruhi perlakuan ibu terhadap pemberian obat bagi anaknya. Selain itu
persepsi ibu tentang kerentanan anaknya terhadap penyakit tertentu dan status sosial