DETERMINAN PADA PERILAKU KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY) STAF keberhasilan implementasi kampus yang berkelanjutan, perlu diprediksi faktor-faktor yang menjadi penentu perilaku mereka terhadap keberlanjutan. UGM merupakan salah satu perguruan Tinggi yang mengusung visi keberlanjutan dengan nama educopolis.
Penelitian yang dilakukan, sikap dan perilaku dari 100 staf kependidikan UGM diinvestigasi dengan menggunakan instrumen yang diadaptasi dari Theory of Planned Behaviour (TPB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa construct yang dibuat dari TPB, berupa Konsekuensi, Norma Subyektif, Faktor Situasional dan Kontrol Perilaku bisa efektif untuk menentukan sikap dan perilaku staf UGM terhadap perilaku keberlanjutan.
Kata Kunci: Keberlanjutan, Perilaku,Theory of Planned Behaviour
Pendahuluan
Satu dekade terakhir ada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlanjutan
(sustainability), Isu tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan diprakarsai oleh UNESCO
yang mencanangkan UN Decade of Education for Sustainable Development (2005-2014). Isu
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan juga menjadi isu penting di pendidikan tinggi
(Yuan & Zuo, 2012:108).
Kecenderungan keberlanjutan dalam dunia pendidikan tinggi ditunjukkandengan beberapa
indikator yang menonjol seperti sudah adanya ISCN (International Sustanability Campus Network),
yang pada saat ini telah beranggotakan 52 Perguruan Tinggi di dunia (ISCN, 2014). Kemudian,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dalam visi RIPK 2005-2015 (Rencana Induk Pengembangan
Kampus) menetapkan visi sebagai kampus educopolis.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana pencapaian visi tersebut? Model Universitas
keberlanjutan dari Van Weenen (2000) terdiri dari level 1 sampai level 4. Level 3 dan Level 4 dapat
dicapai melalui perilaku dan sikap dari staf dengan intervensi yang tepat untuk meningkatkan perilaku
yang pro-lingkungan dan berkelanjutan (Davis, et al., 2009:137-138). Faktor staf juga dianggap
penting oleh Matins (2013:1) yang menyatakan bahwa faktor kunci untuk kualitas dan keberlanjutan
(sustainability) di Pendidikan Tinggi adalah: (1) potensi pekerjaan bagi mahasiswa (2) kualitas dari
staf akademik dan kualitas fasilitas. Begitu juga model perilaku manusia yang keberlanjtuan (Zabel,
2005) yang menyaratkan dua faktor, yaitu pembentukan budaya dan faktor situasional yang melekat
pada staf baik di rumah maupun di kantor.
Davis et al. (2009) menggunakan TPB (Teory of Planned Behaviour) untuk merumuskan
ciri-ciri sikap dan perilaku para staf yang mengarah pada keberlanjutan di universitas. Sikap dan perilaku
penggunaan perangkat yang ramah lingkungan. Berkaitan dengan staf sebagai salah satu penentu
keberhasilan dari visi educopolis perlu diprediksi faktor-faktorapa saja yang menjadi determinan
terhadap perilaku staf untuk berpartisipasi dalam mensukseskan visi tersebut.
Penelitian mengenai sikap dan perilaku staf kependidikan pernah dilakukan oleh Davis et al.
(2009) di Griffith University, Brisbane. Penelitian Davis et al. (2009) ini membuat construct yang
didasarkan pada TPB (Theory of Planned Behaviour) untuk mengukur sikap dan perilaku staf
kependidikan terhadap keberlanjutan. Construct yang dihasilkan oleh Davis et al. (2009) ini
digunakan oleh penulis untuk mengidentifikasi perilaku staf kependidikan di UGM dalam
partisipasinya terhadap visi educopolis.Penelitian juga ditujukan untuk mencari faktor apa yang
menjadi determinan terhadap partisipasi staf kependidikan dalam pelaksanaan visi keberlanjutan di UGM yang tertuang dalam visi ‘educopolis’.
Definisi dan Lingkup Keberlanjutan
Terminologi keberlanjutan sangat multiface dan originalitas dari keberlanjutan
(sustainability) sangatlah komplek (Bell & Morse, 2008:). Istilah keberlanjutan populer dan melekat
dengan istilah Pembangunan Berkelanjutan (sustainabledevelopment) adalah pembangunan yang
mempertemukan kebutuhan sekarang dengan mengkompromikan kemampuan dari generasi yang
akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Brundtland Commission, UN, 1987).
Salah satu lembaga pendidikan yang paling dominan didalam melaksanakan pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan adalah lembaga Pendidikan Tinggi. Perguruan
tinggi/kampus/universitas yang berkelanjutan mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Velasquez et
al. (2005:812) mendefinisikan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan sebagai keseluruhan atau
sebagai bagian dari yang membahas, terlibat, mempromosikan, pada level regional atau global,
meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, sosial, efek negatif pada kesehatan,
yang dihasilkan dalam penggunaan sumberdaya Pendidikan Tinggi untuk memenuhi fungsinya dalam
pengajaran, penelitian, penyuluhan, dan kemitraan, dan pelayanan dengan cara membantu masyarakat
untuk melakukan transisi menuju gaya hidup keberlanjutan. Cole (2003:30) mendefinisikan sebuah
masyarakat kampus keberlanjutan bertindak atas dasar tanggungjawab lokal dan global untuk
melindungi dan meningkatkan kesejahteraan manusia dan ekosistem. Aksinya secara aktif melibatkan
pengetahuan tentang masyarakat universitas untuk menghadapi tantangan ekologi dan sosial yang
dihadapi sekarang dan di masa depan.
Theory of Planned Behaviour
TPB (Theory of Planned Behaviour) dikemukakan dan dikembangkan oleh Ajzen (1991)
yang mana teori ini merupakan perkembangan dari TRA (Theory of Reasoned Action) yang
dengan cara memperluas atau menambahkan variabel baru untuk memberikan perhatian pada konsep
kemauan individu, yaitu kontrol perilaku.Kontrol perilaku merupakan kondisi di mana orang percaya
bahwa suatu tindakan itu mudah atau sulit dilakukan.
TPB menyediakan kerangka sistematis guna meneliti faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu (mempengaruhi perilaku seseorang), dan teori ini
sudah banyak diaplikasikan diberbagai bidang ilmu keperilakuan (Tonglet et al., 2004) serta dianggap
sebagai teori yang valid dan teruji ( lihat Taylor dan Tood, 2005; Flannery dan May 2000;Tonglet
2004 et al.). Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa TPB menyediakan sebuah kerangka teoritis
yang secara sistematis mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
seseorang untuk melakukan tindakan yang berkelanjutan atau ekologis, dan beberapa hasil penelitian
turut menegaskan kegunaan dan kemampuan TPB dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
mendorong perilaku yang ekologis atau keberlanjutan ( Boldero, 1995, Davies 2002, Tonglet, et al.,
2004).
Berdasarkan model TPB, perilaku seseorang merupakan fungsi dari niat, yang mana niat
seseorang tersebut dari adanya sikap, norma subyektif, dan kendali perilaku yang dipersepsikan
(Ajzen, 1991). Niat adalah indikator-indikator dari motivasi untuk melakukan sebuah perilaku
tertentu. Niat menggambarkan,"seberapa kuat seseorang bermaksud untuk mencoba, atau seberapa
banyak sebuah usaha mereka direncanakan untuk dilakukan, dalam rangka untuk mewujudkan sebuah perilaku” (Ajzen, 1991). Tang et al. (2011) mendefinisikan norma subyektif sebagai persepsi seseorang yang secara signifikan terbentuk berdasarkan keinginan dan tekanan dari pihak lain (orang
yang menjadi acuan/referensi) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sedangkan kendali
perilaku yang dipersepsikan merefleksikan keyakian seseorang akan adanya kendali diri atas
faktor-faktor yang mungin dapat memfasilitasi atau menghalangi dirinya untuk melakukan sebuah perilaku.
Menurut Tonglet, (2004) seseorang mungkin telah memiliki sikap yang positif terhadap
perilaku keberlanjutan seperti mendaur ulang, namun adanya sikap yang positif tersebut tidak
menjamin seseorang akan melakukan kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan pelaksanaan daur ulang
bisa dibatasi oleh kurangnya kesempatan, keahlian, ataupun sumberdaya yang tersedia, yang akan
menentukan tinggi rendahnya kendali perilaku yang dipersepsikan seseorang.
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa penerapan TPB pada penelitian-penelitian yang
menginvestigasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keberlanjutan masih jarang
menggunakan model yang bersifat komprehensif dan terintegrasi ( Shrum, Lowrey, McCarty 1994;
Taylor dan Todd, 1995), dan banyak peneliti yang menyatakan bahwa penggunaan TPB semata
belum cukup mampu menjelaskan perilaku ekologi dan menyarankan tambahan variabel dalam
tentang isu-isu lingkungan, konsekuensi, faktor situasional, kepuasan terhadap layanan yang ada, dan preferensi terhadap sistem mendaur ulang’.
Sebagaimana Bezzina dan Dimech (2011), Davis et al. (2009) juga menambahkan beberapa
faktor tambahan seperti; faktor demografi, pengalaman, faktor situasional, dan konsekuensi.
Konsekuensi merupakan penjabaran dari teori altruisme Schwartz (1977) yang diartikan sebagai
tendensi untuk menjadi sadar akan konsekuensi dari perilaku seseorang terhadap orang lain. Adaptasi
teori altruisme kedalam perilaku mendaur ulang telah dilakukan oleh banyak peneliti seperti
Bratt(1999).
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena bertujuan untuk menguji teori.
Sebagaimana diungkapkan oleh Cooper dan Schindler (2008:165), penelitian kuantitatif mempunyai
tujuan utama yaitu, untuk membangun dan menguji teori. Penelitian kuantitatif bersifat konfirmatori,
yang mana penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mengolah data primer yang
bersumber dari jawaban responden melalui penyebaran kuesioner dan kemudian menginterpretasikan
hasil penelitian dengan tujuan untuk menegaskan dan membandingkan dengan hasil penelitian
terdahulu (Neuman, 2006:14).
Kuesioner diadopsi dan dimodifikasi dari kuesioner Davis et al. (2009) yang mewakili 4
dimensi dari TPB (Theory of Planned Behavoiur) dan sikap serta perilaku yang mengarah pada
keberlanjutan di universitas (daur ulang dan minimalisasi sampah, efisiensi energi, konservasi air dan
penggunaan perangkat yang ramah lingkungan). Kuesioner berjumlah 39 item yang disusun
menggunakan skala Likert.
Sampel dipilih dari direktorat, fakultas dan unit berdasarkan kriteria dari penggunaan energi
listrik. Kriteria di ambil dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor
13 Tahun 2012, ada 4 (empat) kriteria penggunaan energi di lembaga BUMN (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Penggunaan Energi
Kriteria Konsumsi Energi Listrik
(KWH/Mahasiswa/Luas Lantai) Sangat Efisien < 8,5
Efisien 8,5 – 14
Cukup Efisien 14 – 18,5
Hasil Penelitian
Kuesioner dicetak dan disebar sebanyak 105 buah dan kembali 70 buah, kemudian kuesioner
online yang direspon sebanyak 33 dan yang bisa diolah sebanyak 30. Responden dari fakultas, unit
dan direktorat diambil masing-masing 25% dari total populasi. Uji Reliabilitas menghasilkan bahwa
semua instrument dinyatkan reliabel (lihat Tabel 2).NS dan KK mendapatkan nilai tertinggi yang bisa
diartikan bahwa NS dan KK merupakan faktor yang paling konsisten untuk menilai perilaku
keberlanjutan staf.
Tabel 2. Hasil Pengujian Reliabilitas
Construct Nilai α
Kesadaran akan Konsekuensi (KK) 0,809
Norma Subyektif (NS) 0,820
Faktor Situasional (FS) 0,607
Kontrol Perilaku yang Dirasakan (KP) 0,630
Statistik deskriptif juga dilakukan dan memperlihatkan bahwa FS merupakan faktor
yangmendapatkan nilai tertinggi. Nilai tersebut bisa diartikan bahwa meskipun kurang mendapatkan
dukungan sumberdaya yang ada, para staf tetap melakukan perilaku keberlanjutan.
Tabel 3.Statistik Deskriptif
Minimum Maksimum Mean Standar Deviasi
KK 1 5 4,41 0,716
NS 1 5 3,94 0,866
FS 1 5 3,34 0,976
KP 1 5 3,61 0,871
Setelah uji validitas, reliabilitas dan analisa deskriptif, langkah selanjutnya adalah dengan
melakukan analisis faktor. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis faktor ini adalah sebagai
berikut:
1. Matriks korelasi dengan menguji 4 (empat) indikator yang merupakan uji korelasi antara variabel
independen didukung oleh uji Barletts Test of Sphericity dan Kaiser Meyer Olkin (KMO). Dari
hasil analisis diperoleh nilai Barletts Test of Sphericity sebesar 0,000 dan nilai KMO sebesar 0,695.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat signifikansi yang rendah dan asumsi model faktor dapat
digunakan dalam penelitian ini.
2. Analisa faktor dilakukan untuk menjelaskan keragaman faktor-faktor yang mempengaruhi
paling dominan terhadap perilaku keberlanjutan staf sebesar 58,5%. Artinya, perilaku
keberlanjutan staf banyak dipengaruhi oleh kesadaran pengetahuan mereka akan keberlanjutan.
NS mendapatkan skor 24,7% yang artinya tekanan sosial, budaya dan kolega di kantor hanya
berpengaruh terhadap perilaku keberlanjutan staf kependiikan sebesar 24,7%. Sementara, FS dan
KP, dengan nilai kecil artinya ketersediaan sumberdaya yang ada dan kebiasaan serta faktor
kegiatan di kantor tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku keberlanjutan staf.
Tabel 4. Gambaran Pebedaan Total
Komponen Initial Eigenvalues
Total % dari Varian Kumulatif %
KK 2,341 58,536 58,536
NS 0,989 24,737 83,273
FS 0,411 10,265 93,538
KP 0,258 6,462 100,000
3. Penentuan jumlah faktor dilakukan berdasarkan Tabel 4. Yang mana nilai KK merupakan
satu-satunya yang mendapatkan nilai lebih dari 1. Sehingga, dapat disimpulkan ada dua kelompok
faktor.Kelompok 1 terdiri dari NS, FS dan KP, sedangkan kelompok faktor 2 terdiri dari KK.
Kesadaran akan Konsekuensi, yang merupakan wawasan dan kesadaran individu yang membawa
konsekuensi pada perilaku, merupakan variabel yang bersifat “noninstitusionalized” dan bersifat
tidak resmi/informal. Sedangkan Kelompok Faktor 2 berisikan variabel seperti Norma Subyektif,
Faktor Situasional dan Kontrol Perilaku merupakan variabel yang bersifat “institusionalized” dan
bersifat resmi/formal. Kontrol Perilaku, walaupun berupa persepsi staf akan tindakannya, tetapi
selalu terkait dengan kebijakan, fasilitas dan aturan-aturan lain yang ada di UGM
Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya menguji construct dan menentukkan variabel-variabel mana yang
menjadi faktor penentu dalam perilaku keberlanjutan para staf kependidikan di suatu perguruan
tinggi, dengan unit sampel 100 responden. Penelitian yang dilakukan, pada variabel dependen, yaitu
Perilaku Keberlanjutan tidak ditentukan nilainya sehingga tidak bisa dilakukan uji hipotesis. Untuk
memberikan nilai pada variabel dependen perlu data lebih banyak lagi dari UGM dan tinjauan pustaka
lebih lanjut dari penelitian-penelitian sebelumnya. Melakukan uji hipotesis, tentu harus dengan
sampel yang lebih representatif, yang mana populasi staf UGM yang menjadi responden ada sekitar
5.700 orang. Tujuanya adalah agar bisa memberikan kontribusi yang lebih luas dan jelas, baik secara
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
a. Analisis faktor pada Kesadaran akan Konsekuensi (KK), Norma Subyektif (NS), Faktor
Situasional (FS) dan Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan (KP) menunjukkan bahwa, KK
merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku keberlanjutan staf kependidikan
UGM. Pengujian dengan analisis faktor juga memberikan hasil bahwa, 4 faktor dari Davis (2009)
bisa dibagi menjadi 2 faktor. Faktor 1 yang bersifat “non-institusionalized”, tidak resmi/informal (Agen Informal). Faktor 2 bersifat “institusionalized” dan bersifat resmi/formal (Agen Formal). b. Responden secara umum mempunyai sikap dan melakukan perilaku keberlanjutan. Dengan
demikian, kebijakan UGM untuk lebih ramah terhadap lingkungan didukung oleh perilaku semua
staf UGM yang menjadi responden.
c. Responden dengan kegiatan yang ekologis atau ramah lingkungan di rumah cenderung
memberikan pernyataan positif pada perilaku keberlanjutan di kantor yang lebih tinggi, daripada
responden yang tidak melakukan kegiatan ekologis atau ramah lingkungan di rumah. Responden
juga melakukan perilaku keberlanjutan di kantor, walaupun faktor kegiatan di kantor bisa
mempengaruhi nilai ekologis unit kerja mereka.
Penelitian ini menyarankan UGM dalam implementasi kebijakan Rencana Induk
Pengembangan Kampus (RIPK) dengan visi Educopolis danbagi kampus lainnya di Indonesia, agar;
a. Implementasi kampus berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui partisipasi staf (Van Weenen,
2000; Zabel, 2005). Peningkatan partisipasi staf dalam implementasi kampus berkelanjutan
diperlukan formulasi strategi yang tepat.
b. Peningkatan partisipasi staf bisa dilakukan dengan strategi tekanan sosial dan budaya. Tekanan
sosial dan budaya bisa berupa tradisi, peraturan-peraturan, kolega dan pemimpin. Karena itu,
dalam implementasi kampus berkelanjutan, universitas perlu membuat aturan-aturan yang
mengikat, menciptakan budaya yang lebih hijau (seperti yang telah dilakukan dengan sepeda
kampus), dan kepemimpinan yang suportif terhadap isu-isu keberlanjutan. Selain pendekatan
tekanan sosial dan budaya, perlu juga pendekatan melalui penguatan pengetahuan, wawasan dan
kesadaran akan perilaku keberlanjutan. Pengetahuan, wawasan dan kesadaran bisa diberikan
dengan memperbanyak sosialisasi, pelatihan dan pendidikan kepada staf.
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (1991), The Theory of Planned Behaviour, Organized Behaviour and Human Decision Processes, Vol.50, Hal. 170-211.
Bezzina, Frank H. dan Stephen Dimech (2011) Recycling Behaviour in Malta, Management of Environmenatal Quality: An International Journal Vol.22, No.4, hal. 463-485
Boldero, J. (1995) The Prediction of Household Recycling Newspaper: The Role of Attitudes, Intentions and Situational Factor, Journal of Applied Social Psycology, Vol, 2, No.5 , Hal. 440-462
Brundtland Commission, UN, (1987) UN Documents Gathering a body of global agreements (internet) http://www.un-documents.net/ocf-02.htm, diakses pada 14-3-2014.
Bratt, C,. (1999) The Impact of Norms and Assumed COnsequences on Recycling Behaviour, Environment and Behavior 31 (5), Hal. 630-656
Cole, L., & Wright, T. (2003). Assessing sustainability on Canadian University campuses: development of a campus sustainability assessment framework. Canada: Royal Roads University. p, 30.
Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2003). Business Research Methods, McGraw-Hill Higher Education, Eight. Edition. New York: McGraw Hill
Davies, J., Foxall, G.R. dan Pallister, J. (2002), Beyond The Intention – Behaviour Mythology:An Integrated Model of Recycling, Journal of Market Theory, Vol. 2 No. 1, pp. 29-113.
Davis, G., Phillips, P.S., Read, A.D. dan Iida, Y. (2006), “Demonstrating The Need For The Development of Internal Research Capacity: Understanding Recycling Participation Using The Theory Of Planned Behaviour in West Oxfordshire, UK”, Resources, Conservation and Recycling , Vol. 46, pp. 115-27.
Davis, G., O'callaghan, F., Knox, K., (2009) Sustainable Attitutes and Behaviours Among A Sampel of Non-academic Staff: A Case Study from an Information Services Departement, Griffith University, Brisbane, International Journal of Sustainabilit in Higher Education, Vol. 10, No.2, Hal. 136-11
Dos Santos Martins, H., Correia Loureiro, S. M., & Castro Amorim, M. P. (2013). Quality and Sustainability in Higher Education Institutions: Key Factors. International Journal of Management Cases, 15(4).
Ebreo, A., Vining, J., & Cristancho, S. (2003) Responsibility for Environmental Problems and The Consequences of Waste Reduction: A Test of The Norm-Activation Model, Journal of Environmental Systems, 29(3), 219-244.
Fishbein, M. dan Ajzen, I. (1975), Belief, Attitude, Intention, and Behaviour: An Introduction to Theory and Research, Addison-Wesley, Reading, MA.
Flannery, B. L., & May, D. R. (2000). Environmental Ethical Decision Making in The U.S. Metal-finishing Industry. Academy Of Management Journal, 43(4), Hal. 642-662. doi:10.2307/1556359
Lozano, R. (2006). A Tool for A Graphical Assessment of Sustainability in Universities (GASU). Journal of Cleaner Production, 14(9), Hal. 963-972.
Neuman, W.L., (2006) Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Pearson/Allyn and Bacon.
Schwartz, S. (1977), Normative Influences on Altruism, Advances in Experimental Social Psychology, Vol. 10, Hal. 221-79.
Sekaran, U., Bougie, R.,(2010) Research Methods For Business : A Skill Building Approach,Wiley
Shrum, L. J., McCarty, J. A., & Lowrey, T. M. (1995). Buyer Characteristics of The Green Consumer and Their Implications for Advertising Strategy. Journal of Advertising, 24(2), Hal. 71-82.
Sugiyono, (2012) Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta .
Tang, Z., Xiaohong, C., Jianghong, L., (20110 Determining Socio-psycological Drivers For Rural Household Recycling Behaviour in Developing Countries: A Case Study From Wugan, Hunan, China,” Environment and Behaviour, Vol. 43, No.6, Hal. 848-876
Taylor S., dan Tood P., (1995) Understanding Household Garbage Reduction Behaviour: A Test o An Integrated Models” Journal of Public Policy & Markeing, Vol 14, No.2, Hal. 192-204 Tonglet, M., Phillips, P. S., & Bates, M. P. (2004). Determining the Drivers for Householder
Pro-environmental Behaviour: Waste Minimisation Compared to Recycling. Resources, Conservation and Recycling, 42(1), Hal. 27-48.
UNESCO,(2014)Education for Sustainable Development (ESD),
(internet)http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/education-for-sustainable-development pada tanggal 13-3-2014.
UN, (2014)Indicators for Sustainable Development Goals (internet) http://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/3233indicatorreport.pdf diakses pada 20-3-2014.
Van Weenen,H. (2000) Towards a vision of a sustainable university, International Jurnal of Sustainability in Higher Education, Vol 1 No.1, Hal.20-34.
Yuan, X., Zuo J., (2013). A Critical Assessment of the Higher Education For Sustainable Development from students ’ perspectives - a Chinese study, Jurnal of Cleaner Production 48 (2013) Hal. 108-115.