• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK

DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS SERING KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TAHUN 2010

S K R I P S I

Oleh :

ERWINA RAFNI HARAHAP NIM : 061000017

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Diabetes melitus dikenal sebagai non communicable disease adalah penyakit yang sering diderita di Indonesia saat ini. Penyakit diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan data dari Puskesmas Sering ada 105 pasien diabetes melitus. Dari data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak tahun 2007 Puskesmas Sering telah membentuk klinik diabetes melitus. Pemanfaatan klinik diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai penyakit diabetes melitus dan klinik diabetes melitus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes melitus yang mengikuti pengobatan di klinik diabetes melitus Puskesmas Sering yang berjumlah 105 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah purposive dengan kriteria yaitu pasien diabetes melitus telah melakukan kunjungan ke klinik diabetes melitus minimal dua kali, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sering, dan bersedia menjadi responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya berada pada kategori pengetahuan sedang (72,5%), dan kategori sikap baik (70%) serta kategori tindakan sedang (90%). Diperoleh hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering. Kemudian diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dan sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering.

Disarankan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk melakukan kegiatan monitoring secara bertahap untuk dapat memperoleh gambaran efektifitas dan efesiensi dari pemanfaatan klinik diabetes melitus dan bagi petugas kesehatan perlu peningkatan promosi kesehatan untuk meningkatkan pencegahan komplikasi diabetes melitus dan pemanfaatan klinik diabetes melitus.

(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Diri

Nama : Erwina Rafni Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Sitinjak, 6 Pebruari 1988

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Jumlah Keluarga : 6 orang

Alamat : Jl.Letda Sudjono Gg Hasan Basri

No.1C Medan

Telp. : 085297492199

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar Negeri(SDN) 145583 Parsalakan, 1994 - 2000

2. Madrasah Tsanawiyah Negeri Padang Sidimpuan, 2000 - 2003

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Plus Sipirok, 2003 - 2006

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam

bagi Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya karena atas berkat dan

rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada wakturahmat-nya. Alhamdulillah,

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Hubungan Pengetahuan

dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010”.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih

terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan saran dan

kritik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi

skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin

menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Tukiman, MKM selaku Kepala Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu

Perilaku dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan

waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada

penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. DR. R. Kintoko Rochadi, MKes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

menyumbangkan waktu dan pikiran untuk penulisan skripsi ini.

4. dr. Taufik Ashar, MKM dan Drs. Eddy Syahrial, MS sebagai dosen penguji yang

telah memberikan saran dan kritik serta motivasi kepada peneliti untuk perbaikan

skripsi ini.

5. DR. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku dosen pembimbing akademik penulis pada

(5)

6. Seluruh staf pengajar FKM USU serta dosen Peminatan Bagian Pendidikan

Kesehatan dan Ilmu Perilaku khususnya yaitu Ibu Dra. Syarifah, MS., Ibu Lita Sri

Andayani, SKM, MKes., Ibu Linda T. Maas, MPH., dan Bapak Drs. Alam Bakti

Keloko, MKes serta seluruh pegawai FKM USU.

7. Kepala Puskesmas Sering dr. Hj. Rosita Nurjannah S. yang telah memberikan izin

melakukan penelitian di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Kecamatan

Medan Tembung beserta Seluruh staff Puskesmas yang telah banyak membantu

penulis dalam melakukan penelitian ini, khususnya buat kak Ana.

8. Ayahanda Sori Monang Harahap dan Ibunda Nurhayani Dalimunthe yang dengan

sabar dan penuh cinta, perhatian, kasih dan sayang memberikan dukungan moral,

spritual dan material hingga penulis bisa menyelesaikan studi di FKM USU.

9. Saudara-sudaraku yang tercinta, kakanda Sriyanti Harahap, S.Si, adinda Erwin

David Harahap dan Tetty Rohani Harahap yang selalu mendukung lewat setiap

doa-doa dan motivasinya.

10.Sahabat-sahabatku seperjuangan Syuharni Nihe, SKM., Leny Mairani, SKM.,

Dede Hariani MS, Aysyahtun Hasanah Siregar, Neni Simanjuntak, Budi Aswin,

SKM., dan lain-lain. Teman-teman di Fotokopi FKM USU (kak Yeni, kak Fitri,

Endang). Terima kasih buat persahabatan, perhatian dan motivasi yang diberikan

buat penulis.

11.Buat Keluarga kak Sandra dan bang Duner terima kasih penulis ucapkan yang

sebesar-besarnya atas doa dan motivasinya.

12.Semua yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu

per satu.

Semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan berkah-Nya pada kita semua.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

(6)

DAFTAR ISI

2.4. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku ... ... 28

2.5. Konsep Sehat dan Sakit ... ... 29

2.6.6. Pengelolaan Diabetes Melitus Klinik Diabetes Melitus ... 39

2.7. Klinik Diabetes Melitus ... ... 41

2.7.1. Sejarah Klinik Diabetes Melitus ... ... 41

2.7.2. Pengertian Klinik Diabetes Melitus ... ... 42

2.7.3. Visi dan Misi Klinik Diabetes Melitus ... ... 42

2.7.4. Kegiatan Klinik Diabetes Melitus ... ... 43

2.8. Kerangka Konsep Penelitian... ... 44

(7)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.6. Defenisi Operasional dan Skala Pengukuran ... ... 49

(8)

LAMPIRAN − Kuesioner

− Master Pengolahan Data

− Hasil Pengolahan Data

(9)

DAFTAR TABEL

TABEL HAL

Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 59 Tabel 4.2. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas

Sering ... 59 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik

Responden di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun

2010 ... 60 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi di

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 61 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penyakit

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 62 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Kadar Gula

Darah di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010... 64 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang

Penanggulangan dan Pencegahan Komplikasi Diabetes Melitus

di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 66 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Klinik

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 67 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Tingkatan Pengetahuan Responden Terhadap

Penyakit Diabetes Melitus dan Klinik Diabetes Melitus ... 68 Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Sikap Responden di Klinik Diabetes Melitus

Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 68 Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Tingkatan Sikap Responden Terhadap Penyakit

Diabetes Melitus dan Klinik Diabetes Melitus ... 71 Tabel 4.12. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden Ketika Ada Gejala

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 72 Tabel 4.13. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan Pertama

Kali Datang ke Klinik Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas SeringTahun 2010 ... 72 Tabel 4.14. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan

Menggunakan Klinik Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus

(10)

Tabel 4.15. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Tempat Berobat Sebelum di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 73 Tabel 4.16. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan Memilih

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 74 Tabel 4.17. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Kegiatan yang

Pernah Diikuti di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 74 Tabel 4.18. Distribusi Tindakan Frekuensi Responden tentang Waktu Mengukur

Kembali Kadar Gula Darah di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas

Sering Tahun 2010 ... 76 Tabel 4.19. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Jumlah Kalori

yang Dikonsumsi di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 76 Tabel 4.20. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden terhadap Kategori Olahraga

yang Dilakukan di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 77 Tabel 4.21. Distribusi Frekuensi Tingkatan Tindakan Responden Terhadap

Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 78 Tabel 4.22. Hubungan Umur Responden dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik

Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 78 Tabel 4.23. Hubungan Jenis Kelamin Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 79 Tabel 4.24. Hubungan Tingkat Pendidikan Responden dengan Tindakan

Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 80 Tabel 4.25. Hubungan Pekerjaan Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 80 Tabel 4.26. Hubungan Pendapatan Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 81 Tabel 4.27. Hubungan Tingkatan Pengetahuan Responden tentang Diabetes

Melitus dan Klinik Diabetes Melitus dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 82 Tabel 4.28. Hubungan Tingkatan Sikap Responden tentang Diabetes Melitus dan

Klinik Diabetes Melitus dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik

(11)

ABSTRAK

Diabetes melitus dikenal sebagai non communicable disease adalah penyakit yang sering diderita di Indonesia saat ini. Penyakit diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan data dari Puskesmas Sering ada 105 pasien diabetes melitus. Dari data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak tahun 2007 Puskesmas Sering telah membentuk klinik diabetes melitus. Pemanfaatan klinik diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai penyakit diabetes melitus dan klinik diabetes melitus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes melitus yang mengikuti pengobatan di klinik diabetes melitus Puskesmas Sering yang berjumlah 105 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah purposive dengan kriteria yaitu pasien diabetes melitus telah melakukan kunjungan ke klinik diabetes melitus minimal dua kali, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sering, dan bersedia menjadi responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya berada pada kategori pengetahuan sedang (72,5%), dan kategori sikap baik (70%) serta kategori tindakan sedang (90%). Diperoleh hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering. Kemudian diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dan sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering.

Disarankan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk melakukan kegiatan monitoring secara bertahap untuk dapat memperoleh gambaran efektifitas dan efesiensi dari pemanfaatan klinik diabetes melitus dan bagi petugas kesehatan perlu peningkatan promosi kesehatan untuk meningkatkan pencegahan komplikasi diabetes melitus dan pemanfaatan klinik diabetes melitus.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari

berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun kadang bisa

dicegah atau dihindari. Konsep sehat sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan

universal karena ada faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi

terutama faktor sosial budaya. Jadi, sangat penting menumbuhkan pengertian yang

benar pada benak masyarakat tentang konsep sehat dan sakit karena dengan konsep

yang benar maka masyarakat pun akan mencari alternatif yang benar pula untuk

menyelesaikan masalah kesehatannya (Foster, 2006).

Pengetahuan masyarakat tentang konsep sehat dan sakit yang benar akan

membuat masyarakat mengerti bagaimana memberdayakan diri untuk hidup sehat dan

kebiasaan mereka untuk mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini

merupakan dua dari empat grand strategy yang dilakukan Departemen Kesehatan

untuk mewujudkan visinya yaitu “memandirikan masyarakat untuk hidup sehat”

dengan misi “membuat masyarakat sehat” (Depkes RI, 2009).

Pemerintah sering dihadapkan pada berbagai masalah di bidang kesehatan,

masalah yang cukup menjadi perhatian para ahli belakangan ini adalah assessment

faktor risiko penyakit tidak menular. Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit

(13)

penyakit tidak menular ini banyak terjadi di negara berkembang karena

perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah maka terjadi peralihan

bentuk penyakit yang harus dihadapi, yaitu dari penyakit menular dan infeksi menjadi

penyakit tidak menular dan kronis. Proses tersebutlah yang kerap dikenal sebagai

transisi epidemiologi (Bustan, 1997).

Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin meningkatnya

kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di beberapa rumah sakit.

Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit utama rawat

inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi epidemiologi juga

menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang menyeluruh (Soegondo, 2004).

Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit tidak

menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai

negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi secara

cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial, ekonomi dan

kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penyakit tidak

menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara global dan memberikan

kontribusi bagi penyebab kematian secara global atau global burden of disease

sebesar 60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80 persen dari penyakit tidak

menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau yang

sering disebut sebagai low and middle income countries (Mirza, 2008).

Perubahan pola hidup manusia seperti gaya hidup, sosial ekonomi, urbanisasi

(14)

menular, khususnya penyakit degeneratif. Kecenderungan untuk beralih dari makanan

tradisional menjadi makanan cepat saji dan berlemak, terutama di daerah urban

mengakibatkan perubahan penyakit yaitu menurunnya penyakit infeksi dan

meningkatnya penyakit non infeksi (degeneratif). Hal ini menunjukkan telah terjadi

transisi epidemiologi. Tentu saja penyakit ini akan menimbulkan suatu beban bagi

pelayanan kesehatan dan perekonomian suatu negara karena memerlukan biaya yang

besar untuk perawatannya (Bustan, 1997).

Salah satu jenis penyakit tidak menular yang ternyata menimbulkan angka

kesakitan dan kematian yang tinggi adalah penyakit diabetes melitus. Penyakit ini

bukanlah penyakit yang baru, hanya saja kurang mendapat perhatian di tengah-tengah

masyarakat khususnya yang memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit

tersebut. Ketidaktahuan akan gambaran penyakit diabetes melitus dan kurangnya

perhatian masyarakat, serta minimnya informasi akan mempengaruhi perilaku serta

anggapan yang salah akan penyakit ini (Mirza, 2008).

Berdasarkan Laporan WHO tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus

di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan

meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada

tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan

meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang

jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta

orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun

(15)

Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable disease adalah

salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di

Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus diabetes melitus tidak terdiagnosa

karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi.

Penyakit tidak menular seperti diabetes melitus semakin hari semakin meningkat,

dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut di masyarakat

(Soegondo, 2004).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita diabetes melitus di

Indonesia jumlahnya sangat luar biasa. Pada tahun 2000 jumlah penderita 8.400.000

jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa dan diperkirakan tahun 2030

jumlah penderita bisa mencapai 21.300.000 jiwa. Data jumlah penderita diabetes di

Indonesia pada tahun 2005 sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus

meningkat pada tahun yang akan datang (Soegondo, 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Data Surveilans Terpadu

Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus yang paling banyak adalah penyakit

diabetes melitus dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah

sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Untuk rawat jalan penyakit diabetes melitus ini

mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit dan 998 pasien yang dirawat di

487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota seluruh Sumatera Utara. Sedangkan

pada tahun 2009 mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien

(16)

terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi

(STPTM Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008).

Penyakit diabetes melitus di Medan, sampai September 2009 merupakan

penyakit dengan penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2009

terlihat jumlah kasus yang terbanyak setelah hipertensi adalah kasus diabetes melitus.

Hingga September 2009 ada 10347 penderita diabetes melitus yang berobat ke 39

Puskesmas di kota Medan. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita diabetes

melitus di Kota Medan sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Kota Medan, 2009).

Dari data tersebut di atas, dapat dilihat trend penyakit diabetes melitus di

Indonesia menunjukkan prevalensi yang meningkat. Prediksi yang diajukan oleh

semua ahli epidemiologi menyebutkan angka prevalensi yang makin meningkat di

masa yang akan datang, sehingga menempatkan diabetes melitus sebagai The Global

Epidemy (PERKENI, 2009).

Diabetes melitus apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan

timbulnya komplikasi dengan penyakit serius lainnya, diantaranya: jantung, stroke,

disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem syaraf. Jika positif menderita

diabetes melitus, maka sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter dan mengikuti

anjuran dokter dengan penuh disiplin. Selain itu cara yang efektif yang diterapkan

pada diabetes melitus adalah perencanaan makan (diet), latihan (olahraga),

pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan lain-lain yang dapat diperoleh

(17)

khusus kepada setiap pasien diabetes melitus dan juga membantu pasien dalam

merubah kebiasaan dan gaya hidupnya, melalui terapi perilaku, dukungan kelompok

dan penyuluan gizi yang berkelanjutan (Soegondo, 2004).

Puskesmas Sering yang merupakan puskesmas satu-satunya yang memiliki

klinik diabetes melitus di Kota Medan mencatat bahwa penderita diabetes melitus

yang ada di wilayah kerjanya ada sekitar 105 orang, akan tetapi yang mau datang

berobat dan mengikuti program-program yang ada di klinik tersebut hanya 12-15

orang (17-21%) tiap minggunya (klinik diabetes melitus buka pada hari Kamis saja),

tidak sesuai dengan harapan petugas yaitu 45-50% dari jumlah penderita. Pihak klinik

diabetes melitus sendiri merasa telah memberikan pelayanan yang baik, namun

ternyata belum sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen (penderita diabetes

melitus). Hal tersebut menyebabkan penanganan diabetes melitus tidak optimal

sehingga faktor resiko diabetes melitus akan tetap tinggi di masa yang akan datang.

Kondisi ini membuat klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering

membuat visi yang terkait dengan kondisi kesehatan Indonesia yaitu memberikan

pelayanan diabetes melitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas.

Untuk mencapai visi tersebut maka ditetapkan misi yaitu : 1. Memberikan edukasi

agar pasien diabetes melitus dapat mengatur diet sendiri, 2. Mendidik pasien agar

terhindar dari komplikasi diabetes melitus, 3. Memberikan penyuluhan kepada pasien

dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes melitus agar tidak

(18)

Melalui survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa penderita

diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak datang lagi

berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan terakhir mereka

memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan kembali datang lagi

berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak normal lagi. Selain itu

ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat diabetes harus sesuai dengan

anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang tersisa dan mereka menunggu

sampai obat tersebut habis.

Penelitian ini terfokus kepada Puskesmas Sering mengingat lokasi penelitian

yang merupakan bagian dari Puskesmas Sering. Puskesmas Sering adalah puskesmas

satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota Medan. Sehingga dengan

diadakannnya penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sering ini akan memberikan

gambaran tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pelayanan klinik

diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung dan

bagaimana cara mereka memandang klinik diabetes melitus tersebut sehingga bisa

dilakukan tindakan preventif dan rehabilitatif terhadap kondisi di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku

penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas

Sering Kecamatan Medan Tembung sehingga dapat diketahui seberapa maksimal

pelayanan yang dilakukan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering dan

tindakan yang dilakukan oleh penderita diabetes melitus untuk memanfaatkan

(19)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan

Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus yang ada di Puskesmas Sering Kecamatan

Medan Tembung Tahun 2010.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes

melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan

Medan Tembung tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan

dan pendapatan) penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

2. Untuk mengetahui pengetahuan penderita diabetes melitus terhadap

pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan

Tembung tahun 2010.

3. Untuk mengetahui sikap penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan

klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung

(20)

4. Untuk mengetahui tindakan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan

klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung

tahun 2010.

5. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan pemanfaatan klinik diabetes

melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

6. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

7. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

8. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

9. Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dengan pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

10.Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan klinik

diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun

2010.

11.Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes

(21)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Puskesmas Sering dan Dinas

Kesehatan Kota Medan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan derajat

kesehatan masyarakat.

2. Sebagai acuan bagi pihak lain yang ingin melanjutkan penelitian ini ataupun

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon

ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif

(melakukan tindakan) (Sarwono, 1993).

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu

sendiri, yang mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara,

bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas

organisme, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung

(Notoatmodjo, 2007).

Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut

dipengaruhi oleh faktor genetik dan hidup terutama perilaku manusia. Faktor

keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku

makhluk hidup itu selanjutnya, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan

untuk perkembangan perilaku tersebut.

Dengan demikian kita juga dapat menyimpulkan bahwa banyak perilaku yang

(23)

yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku kesehatan. Becker, 1979

membuat suatu konsep tentang perilaku dalam 3 kelompok yaitu:

2.1.1. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan menurut Skinner dalam Notoatmodjo adalah suatu respon

seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan.

(Notoatmodjo, 2007).

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi tentang

perilaku kesehatan yang terdiri dari:

1. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku Hidup Sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau

kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya

yang mencakup antara lain:

Makan dan menu seimbang (appropriate diet)

• Olahraga teratur

• Tidak merokok

• Tidak minum-minuman keras dan narkoba

• Istirahat yang cukup

• Mengendalikan stress

• Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak

(24)

2. Perilaku sakit (IIInes behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab

penyakit, dan sebagainya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,yang

harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama

keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang

meliputi:

• Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

• Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit

yang layak.

• Mengetahui hak (misalnya : hak memperoleh perawatan, memperoleh

pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit

(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada

dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain,

dan sebagainya).

Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu

pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan

contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama

petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk memperkuat

(25)

2.1.2. Perilaku Sakit

Menurut Suchman dalam Sarwono (2004), ada lima macam reaksi dalam

mencari proses pengobatan sewaktu sakit yaitu:

Shoping atau proses mencari beberapa sumber yang berbeda dari medical care

untuk satu persoalan atau yang lain, meskipun tujuannya adalah untuk

mencari dokter yang akan mendiagnosis dan mengobati yang sesuai harapan.

Fragmentation atau proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada

lokasi yang sama.

Procastination atau penundaan pencarian pengobatan sewaktu gejala sakit

dirasakan.

Self Medication atau mengobati sendiri dengan berbagai ramuan atau

membelinya diwarung obat.

Discontuinity atau proses tidak melanjutkan (menghentikan pengobatan).

Menurut Hendrik L. Blum faktor – faktor yang berpengaruh terhadap derajat

kesehatan digambarkan sebagai berikut :

Keturunan

Fasilitas kesehatan (Pelayanan Kesehatan)

Perilaku

Lingungan

(Environment) Status

(26)

Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa perilaku manusia mempunyai

kontribusi, yang apabila dianalisa lebih lanjut kontribusinya lebih besar. Sebab

disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga berpengaruh tidak

langsung melalui lingkungan terutama lingkungan buatan manusia, sosio budaya,

serta faktor fasilitas kesehatan. Faktor perilaku ini juga berpengaruh terhadap faktor

keturunan. Karena perilaku manusia terhadap lingkungan dapat menjadikan pengaruh

yang negatif terhadap kesehatan dan karena perilaku manusia pula maka fasilitas

kesehatan disalah gunakan oleh manusia yang akhirnya berpengaruh terhadap status

kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Bentuk-Bentuk Perilaku

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat

luas. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi pendidikan

membagi perilaku ke dalam tiga domain atau ranah/kawasan yaitu ranah kognitif

(cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotor

(psychomotor domain), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai

batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan

tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku

tersebut yang terdiri dari:

1. Pengetahuan peserta terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge).

2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan

(27)

3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan

materi pendidikan yang diberikan (practice).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan rumus teori Skinner tersebut maka

perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat

diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam

bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus

yang bersangkutan.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan,

atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior.

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam

diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

1. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri

seseorang.

Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan

fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi maupun

(28)

2. Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang.

Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat

berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan

sebagainya.

Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal merupakan faktor yang

memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena

dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo,

2007).

2.2.1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan

hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari

pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di

dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap

suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

(29)

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysa)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau subjek kedalam

komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (syntesa)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru sari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

(30)

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi

pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima

informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka

miliki.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan

pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek fisik dan

psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini taraf berpikir seseorang semakin

matang dan dewasa.

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap

sesuatu. Minat menjadikan sesorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada

akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari

(31)

saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi

pengetahuan pada individu secara sabjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. (Wahid dkk,

2007).

2.2.2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Selain bersifat positif atau negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang

berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dsb). Sikap itu tidaklah sama dengan

perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab sering kali terjadi

bahwa seseorang memperhatikan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap

dapat berubah dengan diperoleh tambahan informasi tentang objek tersebut melalui

persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1993).

Adapun ciri – ciri sikap adalah sebagai berikut:

1. Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu dibedakan dari motif – motif psikologi

lainnya, misalnya : lapar, haus, nyeri adalah motif psikologis yang tidak dipelajari,

(32)

tidak disengaja atau tanpa kesadaran sebagai individu. Mungkin saja yang terjadi

adalah mempelajari sikap denga sengaja bila individu mengerti bahwa hal tersebut

akan membawa lebih baik untuk dirinya sendiri, membantu tujuan kelompok atau

memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.

2. Memiliki kesetabilan (stability)

Sikap yang bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil

melalui pengalaman. Misalnya pengalaman terhadap suka atau tidak suka terhadap

warna tertentu (spesifik) yang sifatnya berulang – ulang.

3. Personal Societal Significance

Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dengan orang lain dan juga antara

orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain

menyenangkan, terbuka dan hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya dan dia akan

merasa bebas dan nyaman.

4. Berisi Kognitif dan Affecty

Komponen kognitif dari sikap adalah berisi informasi yang aktual, misalnya

objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan

5. Approach – Avoidence Directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang mudah beradaptasi terhadap sesuatu objek,

mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap

(33)

Selanjutnya ciri – ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :

1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan

pertimbangan – pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, dan

merupakan modal untuk bertindak dengan pertimbangan untung – rugi,

manfaat serta sumberdaya yang tersedia.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personnal references)

Merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap

mengacu pada pertimbangan – pertimbangan individu

3. Sumber daya (resurces) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap

positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan

kebutuhan dari pada individu tersebut.

4. Sosial budaya (culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir

seseorang untuk bersikap terhadap objek / stimulus tertentu. (Notoatmodjo,

2005).

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport

(1954) dalam Notoatmodjo (2007), yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

(34)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan

emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan

sikap, yaitu:

1. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan objek.

2. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan

dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

3. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

(kecenderungan untuk bertindak).

4. Bertanggung jawab (responsible) yaitu yang bertanggung jawab atas segala

sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang

paling tinggi.

Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus dipelajari selama

perkembangan hidupnya.

2. Sikap itu tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan

suatu objek, pada umumnya sikap tidak berkenaan dengan suatu objek saja,

(35)

3. Sikap, pada umumnya mempunyai segi-segi motivasi dan emosi, sedangkan pada

kecakapan dan pengetahuan hal ini tidak ada.

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yaitu :

1. Sikap sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

Sikap adalah sesuatu yang bersifat coomunicable, artinya suatu yang mudah

menjalar, sehingga menjadi mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa

menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan

anggota kelompoknya.

2. Sikap sebagai alat pengatur tingkah laku.

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada anak dewasa dan yang sudah

lanjut usianya tidak ada. Perangsang itu pada umumnya tidak diberi perangsang

secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai

perangsang-perangsang itu.

3. Sikap sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.

Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak

pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua berasal dari dunia luar tidak

semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu

dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi, semua pengalaman diberi penilaian lalu

dipilih.

4. Sikap sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang, ini disebabkan karena sikap tidak

(36)

sikap-sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi

orang tersebut. Sikap merupakan pernyataan pribadi (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3. Tindakan (practice)

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk terbentuknya suatu sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain

fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari

pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007).

Tingkatan-tingkatan praktik itu adalah :

1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (guided response) adalah bila seseorang dapat melakukan

sesuatu sesuai urutan yang benar.

3. Mekanisme (mechanism) adalah apabila seseorang melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi (adaptation) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang

dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.

2.3. Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan

yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari

(37)

berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga

kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan

perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik

perilaku individu, sebelum mampu mengubah perilaku tersebut (Machfoedz, 2006).

Health Belief Model (HBM) adalah suatu model kepercayaan penjabaran dari

model sosio-psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa

masalah-masalah kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakat untuk

menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan

oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku

pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Health Belief Model (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh kelompok

ahli psikologi sosial dalam pelayanan kesehatan masyarakat Amerika. Model ini

digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat

dalam program pencegahan atau deteksi penyakit dan sering kali dipertimbangkan

sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia

yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan (Maulana, 2007).

HBM ini digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. HBM

merupakan model kognitif yang berarti bahwa khususnya proses kognitif dipengaruhi

oleh informasi dari lingkungan. Menurut HBM kemungkinan individu akan

melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua

keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan

(38)

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan

muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau

kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila

ancaman yang dirasakan tersebut maka perilaku pencegahan juga akan meningkat.

Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada

ketidakkekebalan yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat

mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. Keseriusan yang

dirasakan orang-orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut

apabila mereka mengembangkan masalah kesehatan mereka atau membiarkan

penyakitnya tidak ditangani.

Penilaian kedua yang dibuat adalah antara keuntungan dan kerugian dari

perilaku dalam usaha untuk memutuskan tindakan pencegahan atau tidak yang

berkaitan dengan dunia medis dan mencakup berbagai ancaman, seperti check up

untuk pemeriksaan awal dan imunisasi. Penilaian ketiga yaitu petunjuk berperilaku

sehat. Hal ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat mengenai

permasalahan kesehatan, misalnya media massa, promosi kesehatan dan nasihat orang

lain atau teman (Maulana, 2009).

Sebagai kesimpulan, apabila individu bertindak untuk melakukan pengobatan

dan pencegahan penyakitnya ada 3 hal yang berpengaruh terhadap upaya yang akan

(39)

1. Kerentanan yang Dirasakan

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia

harus merasa bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut.

2. Keseriusan yang Dirasakan

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakitnya

akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat.

3. Manfaat dan Rintangan yang Dirasakan

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit yang dianggap gawat

atau serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan tersebut

tergantung pada manfaat dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil

tindakan tersebut.

2.4. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

1. Perubahan Alamiah (natural change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian dari perubahan itu disebabkan

karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan

lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat

didalamnya juga akan mengalami perubahan.

2. Perubahan Terencana (planned change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

subjek.

(40)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam

masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk

menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat

untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang

mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2003).

2.5. Konsep Sehat dan Sakit

Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur

pengalaman masa lalu, di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya, petugas

kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif

berdasarkan symptom yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang

individu. Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang

sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan.

Terkadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan

yang tersedia sebab dia tidak merasa mengidap penyakit. Atau jika si individu merasa

bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh makhluk halus, maka ia akan memilih untuk

berobat pada “orang pandai” yang dianggap mampu mengusir makhluk halus tersebut

dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Sarwono, 1997).

2.6. Diabetes Melitus

2.6.1. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas ditandai

oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau penurunan efektifitas

(41)

protein, lemak, air dan elektrolit. Gangguan metabolisme tergantung pada adanya

kehilangan aktivitas insulin dalam tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya

menimbulkan kerusakan selular, khususnya sel endotelial vaskular pada mata, ginjal

dan susunan saraf (Soegondo, 2004).

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus adalah suatu

kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi nilai

normal (hiperglikemia) dengan diagnosa kadar gula darah sewaktu >> 200 mg/dl atau

kadar gula darah puasa >> 120 mg/dl, yang terjadi oleh karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah

tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi.

Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar

kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada

penderita diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat

menurunkan atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Oleh

karena itu terjadi gangguan jumlah insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah

menjadi tidak stabil.

2.6.2. Jenis-Jenis Diabetes Melitus

Secara umum, diabetes melitus dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM atau DM Tipe-1)

Kebanyakan diabetes tipe-1 adalah anak-anak dan remaja yang pada

(42)

memakai insulin. Pankreas sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan

insulin (Soegondo, 2004).

Diabetes melitus tipe-1 dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin

pada Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Sampai

saat ini, diabetes tipe-1 tidak dapat dicegah. Diet dan olahraga tidak bisa

menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe-1. Kebanyakan penderita diabetes

tipe-1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai diderita.

Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada

penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe-1 adalah

kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi

autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Saat ini diabetes

tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang

teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah (Mirza,

2008).

2. Diabetes Mellitus Tipe-2 atau Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)

Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam

produksi insulin dan resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas

terhadap insulin yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal

abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap insulin,

yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini,

(43)

meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi gula dari hepar,

namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi

dengan insulin kadang dibutuhkan.

Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh

terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi

dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi

kekurangan insulin relatif (Mirza, 2008).

DM Tipe-2 biasanya terjadi pada usia > 40 tahun. Penderita DM Tipe-2 lebih

sering dijumpai dari pada DM Tipe-1, proporsinya mencapai 90% dari seluruh kasus

diabetes. Pasien-pasien yang termasuk dalam kelompok DM Tipe-2 biasanya

memiliki berat badan yang berlebih dan memiliki riwayat adanya anggota keluarga

yang menderita DM, 25% dari pasien DM Tipe-2 mempunyai riwayat adanya

anggota keluarga yang menderita DM. Kembar identik dengan DM Tipe-2, pasangan

kembarnya akan menderita penyakit yang sama (Noer, 1996).

3. Diabetes Melitus Gestasional (Diabetes Kehamilan)

Diabetes melitus gestasional melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan

reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, yang meniru DM Tipe-2.

Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa juga meningkat atau lenyap.

Meskipun kejadiannya sementara, namun diabetes jenis ini bisa merusak kesehatan

janin dan ibu.

Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) terjadi sekitar 2-5 % dari semua

(44)

jika tidak, bisa menyebabkan masalah dalam kehamilan seperti makrosomia, cacat

janin, penyakit jantung sejak lahir, gangguan pada sistem saraf pusat, dan juga cacat

otot. Bahkan ada dugaan bahwa hiperbillirubinemia juga diakibatkan oleh binasanya

sel darah merah akibat dari meningkatnya gula dalam darah. Bahkan dalam kasus

yang parahm hal ini bisa mengakibatkan kematian. Karena itulah, hal ini harus

mendapat pengawasan medis yang seksama selama kehamilan.

2.6.3. Gejala Diabetes Melitus

Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau

kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana

peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni

(urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine

sering dilebung atau dikerubuti semut (Mirza, 2008).

Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah

ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :

1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)

2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)

3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)

4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)

5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya

6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki

7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu

(45)

9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya

10.Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang

tidak sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala kencing manis dapat

berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan,

terutama pada seorang anak yang menderita penyakit Diabetes Mellitus Tipe-1. Lain

halnya pada penderita Diabetes Mellitus Tipe-2, umumnya mereka tidak mengalami

berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita

kencing manis.

2.6.4. Determinan Diabetes Melitus

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari:

a. Genetik

Diabetes melitus dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap

penyakit diabetes melitus, yang disebabkan oleh karena kelainan gen yang

mengakibatkan tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Individu yang

mempunyai riwayat keluarga penderita diabetes melitus memiliki resiko empat kali

lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga yang sehat.

Jika kedua orang tuanya menderita diabetes melitus, insiden pada

anak-anaknya akan meningkat, tergantung pada umur berapa orang tuanya mendapat

diabetes melitus. Resiko terbesar bagi anak-anak untuk mengalami diabetes melitus

terjadi jika salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum 40 tahun.

(46)

penyakit diabetes melitus dan gambaran ini lebih rendah pada anak-anak dari orang

tua dengan diabetes melitus yang timbulnya lebih lanjut (Waspadji, 1997).

b. Umur

Bertambahnya usia mengakibatkan mundurnya fungsi alat tubuh sehingga

menyebabkan gangguan fungsi pankreas dan kerja dari insulin. Pada usia lanjut

cenderung diabetes melitus tipe 2 (Noer, 1996).

c. Pola Makan dan Obesitas

Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran pola makan di

masyarakat, seperti pola makan di berbagai daerah pun berubah dari pola makan

tradisional ke pola makan modren. Hal ini dapat terlihat jelas dengan semakin

banyaknya orang mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food) dan berlemak.

Kelebihan mengkonsumsi lemak, maka lemak tersebut akan tersimpan dalam tubuh

dalam bentuk jaringan lemak yang dapat menimbulkan kenaikan berat badan

(obesitas).

Kelebihan berat badan atu obesitas merupakan faktor resiko dari beberapa

penyakit degeneratif dan metabolik termasuk diabetes melitus. Pada individu yang

obesitas banyak diketahui terjadinya retensi insulin. Akibat dari retensi insulin adalah

diproduksinya insulin secara berlebihan eleh sel beta pankreas, sehingga insulin

didalam darah menjadi berlebihan (hiperinsulinemia). Hal ini akan meningkatkan

tekanan darah dengan cara menahan pengeluaran natrium oleh ginjal dan

(47)

Insulin diperlukan untuk mengelola lemak agar dapat disimpan ke dalam

sel-sel tubuh. Apabila insulin tidak mampu lagi mengubah lemak menjadi sumber energi

bagi sel-sel tubuh, maka lemak akan tertimbun dalam darah dan akan menaikkan

kadar gula dalam darah (Noer,1996).

d. Kurangnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik seperti pergerakan badan atau olah raga yang dilakukan secara

teratur adalah usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari kegemukan dan

obesitas. Pada saat tubuh melakukan aktivitas atau gerakan maka sejumlah gula akan

dibakar untuk dijadikan tenaga, sehingga jumlah gula dalam tubuh akan berkurang

sehingga kebutuhan hormon insulin juga berkurang. Dengan demikian, untuk

menghindari timbulnya penyakit diabetes melitus karena kadar gula darah yang

meningkat akibat konsumsi makanan yang berlebihan dapat diimbangi dengan

aktifitas fisik yang seimbang, misalnya dengan melakukan senam, jalan jogging,

berenang dan bersepeda. Kegiatan tersebut apabila dilakukan secara teratur dapat

menurunkan resiko terkena penyakit diabetes melitus, sehingga kadar gula darah

dapat normal kembali dan cara kerja insulin tidak terganggu (Soegondo, 2004).

e. Kehamilan

Diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut Diabetes Melitus

Gestasi (DMG). Hal ini disebabkan oleh karena adanya gangguan toleransi insulin.

Pada waktu kehamilan tubuh banyak memproduksi hormon estrogen, progesteron,

gonadotropin, dan kortikosteroid, dimana hormon tersebut memiliki fungsi yang

(48)

banyak. Oleh sebab itu, setiap kehamilan bisa menyebabkan munculnya diabetes

melitus. Jika seorang wanita memiliki riwayat keluarga penderita diabetes melitus,

maka ia akan mengalami kemungkinan lebih besar untuk menderita Diabetes Melitus

Gestasional (Waspadji, 1997).

2.6.5. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus

Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya

perawatan pasien penderita diabetes melitus yang terutama disebabkan oleh karena

komplikasi, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun

1994, upaya pencegahan pada penderita diabetes melitus ada 3 tahap, yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang yang

termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita diabetes

melitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes melitus. Pencegahan ini

merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah

orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya

menjadi sangat luas (Noer, 1996).

Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua

pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko,

seperti : kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak

rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan

(49)

ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Hal ini merupakan

salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah dan efektif (Noer, 1996).

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat timbulnya

komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit.

Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi.

Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk Indonesia kegiatan

tersebut memerlukan biaya yang sangat besar (PERKENI, 2002).

Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat seperti

pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan pelayanan

kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga diperlukan

penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai

penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

c. Pencegahan Tertier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri dari 3

tahap, antara lain :

1. Mencegah timbulnya komplikasi.

2. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ.

3. Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter

(50)

komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya (Soegondo, 2004).

2.6.6. Pengelolaan Diabetes Melitus

Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi atas tujuan jangka pendek dan

tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan/

gejala diabetes sehingga penderita dapat menikmati hidup sehat dan nyaman.

Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada

pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka

morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).

a. Edukasi / Penyuluhan

Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan

keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap penderita

diabetes. Disamping kepada penderita, edukasi juga diberikan kepada anggota

keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang beresiko tinggi. Tim kesehatan

harus senantiasa mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Makanya

dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi

(Waspadji, 1997).

Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita diabetes melitus adalah apa

penyakit diabetes melitus itu, cara perencanaan makanan yang benar (jumlah kalori,

jadwal makan dan jenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa makan dalam

mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan, sedang, teratur setiap hari

(51)

berbahaya) seperti : sepatu, potong kuku, tersandung, hindari trauma dan luka

(Waspadji, 1997).

b. Diet Diabetes

Tujuan utama terapi diet pada penderita diabetes melitus adalah menurunkan

atau mengendalikan berat badan disamping mengendalikan kadar gula atau

kolesterol. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan

mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut maupun kronis.

Penurunan berat badan pasien diabetes melitus yang mengalami obesitas umumnya

akan menurunkan resistensi insulin. Dengan demikian, penurunan berat badan akan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki pengendalian glukosa

darah (Mirza, 2008).

c. Latihan Fisik

Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat keseimbangan

antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja insulin. Latihan juga dapat

membuang kelebihan kalori, sehingga dapat mencegah kegemukan juga bermanfaat

untuk mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (Noer, 1996).

Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes melitus, tetapi

syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan insulin di dalam tubuh harus cukup.

Apabila latihan dikerjakan oleh penderita diabetes melitus yang tidak cukup

persediaan insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita tersebut.

Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada penderita diabetes melitus

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Puskesmas Sering Tahun 2010 No. Ketenagaan Puskesmas Sering Pustu Sidorejo
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden       di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi
Tabel 4.5.     Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penyakit  Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kaini :iampaikan bahwa nekanisme penyalura dana hibah akal dilakukan )nelalui perjanjiai kcriasama antara DRPM Diilcr) l,cnguaian RisbaDg Kenenristekdikti dengan PT

Sedangkan untuk tingkat terendah terletak pada variabel tabel 3.30 dengan rata-rata sebesar 1,87 mengenai adanya opsi bantuan yang disediakan pada website layanan perpanjangan

Uraian Kepada seluruh penyedia yang mendaftar disilakan memasukkan penawaran dalam waktu yang tersedia,.. 4, Panitia Jam

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan silabus matematika kelas X SMA Islam Terpadu Nurhidayah Surakarta yang meliputi kesiapan dan dukungan

Pengembangan subsektor peternakan diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga dapat memberikan peran

kualitas, efisiensi, dan pemerataan kesempatan, pendidikan dengan memodifikasi struktur pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke daerah dan seterusnya ke sekolah.

Museum Sangiran berbasis multimedia dengan menggunakan Augmented Reality Technology serta untuk menguji kemampuan pengunjung mengenai penemuan benda purba di