• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN TINGKAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI DESA SELOTONG KECAMATAN SECANGGANG

KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh :

Leo Bilyanto Sembiring 081202003/Budidaya Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Keanekaragaman Jenis Dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Nama : Leo Bilyanto Sembiring

NIM : 081202003 Program studi : Kehutanan Minat : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Delvian, SP. MP Dr. Budi Utomo, SP. MP NIP. 196907232002121001 NIP. 197008202003121002

Mengetahui, Ketua Program Studi

(3)

ABSTRACT

LEO BILYANTO SEMBIRING, Biodiversity and Damage Estimation of

Mangrove Forest in the Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District.Under the guidance of DELVIAN andBUDIUTOMO.

The research of Biodiversity and Damage Estimation of Mangrove Forest in the Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District to determine the level of damage estimation of mangrove forestand the potential of carbon stock in the Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II in the Selotong Village Subdistrict SecanggangLangkatDistrict. Collecting data on the location of the research by using the transect method. Every point made sub plotswitha size of 2m x2 mfor level forseedlings(height<1.5m), 5 mx5 mfor level of stakes (1.5 m high - stem diameter <10 cm) and for level of trees (diameter≥10 cm) with a plotsize of10 mx10 m.

The result showed that mangrove forest in the Selotong Village Subdistrict

Secanggang LangkatDistrict was found 8 manggroves spesies and dominated by Rhizophora apiculata with INP(111,48)for level of trees, INP(104,69)for level of stakes and INP(125,64) for level of seedlings. The diversities mangrove at Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District regency are still low. Concentration of carbon storaged in forest stands on the observation plot is 148,49 with potensial of carbon 63,30 ton/Ha.

Keywords: Analysis of Vegetation, level of damage, Carbon Stored, Wildlife

(4)

ABSTRAK

LEO BILYANTO SEMBIRING, Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan DELVIAN dan BUDI UTOMO.

Penelitian Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan hutan mangrove dan potensi karbon tersimpan di kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Pengambilan data pada lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak. Pada setiap jalur dibuat sub petak ukur dengan ukuran 2 m x 2 m untuk semai (tinggi < 1,5m), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang ( tinggi 1,5 m - diameter batang < 10 cm) dan untuk tingkat pohon (diameter ≥ 10 cm) dengan ukuran petak 10 m x 10 m .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat memiliki 8 jenis vegetasi mangrove yang didominasi oleh Rhizophora apiculata dengan INP (111,4802) untuk tingkat, INP 104,6916 untuk tingkat pancang dan INP 125,6418 untuk tingkat semai. Keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat pada setiap tingkat pertumbuhan di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat tergolong rendah. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan pada plot pengamatan adalah 148,49 dengan potensi karbon 68,30 ton/Ha

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga usulan penelitian ini bisa diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Keanekaragaman Jenis Dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Skripsi ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam penyelesaian tugas akhir.

(6)

DAFTAR ISI Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 15

Letak Geografis ... 15

Sifat Fisika Tanah ... 16

Potensi Kawasan ... 17

Bahan dan Alat Penelitian ... 17

Metode Penelitian ... 18

Pelaksanaan Penelitian... 18

Analisis Vegetasi ... 19

Tingkat Kerusakan ... 21

Tingkat Kerusakan Mangrove ... 36

(7)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 42 Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove ... 21

2. Kekayaan Jenis Mangrove Pada Tingkat Pertumbuhan ... 24

3. Indeks Nilai Penting (INP) ... 25

4. Indeks keanekaragaman(H’) ... 29

5. Kondisi penutupan vegetasi mangrove ... 36

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pengambilan Contoh Menggunakan Jalur Berpetak ... 18

2. Kerusakan di beberapa kawasan mangrove yang dijumpai ... 38

3. Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal 3.1 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 1 ... 30

3.2 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur4 ... 31

3.3 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 7 ... 32

3.4 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 12 ... 33

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove ... 21

2. Kekayaan Jenis Mangrove Pada Tingkat Pertumbuhan ... 24

3. Indeks Nilai Penting (INP) ... 25

4. Indeks keanekaragaman(H’) ... 29

5. Kondisi penutupan vegetasi mangrove ... 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pengambilan Contoh Menggunakan Jalur Berpetak ... 18

2. Kerusakan di beberapa kawasan mangrove yang dijumpai ... 38

3. Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal 3.1 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 1 ... 30

3.2 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur4 ... 31

3.3 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 7 ... 32

3.4 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 12 ... 33

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove ... 21

2. Kekayaan Jenis Mangrove Pada Tingkat Pertumbuhan ... 24

3. Indeks Nilai Penting (INP) ... 25

4. Indeks keanekaragaman(H’) ... 29

5. Kondisi penutupan vegetasi mangrove ... 36

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pengambilan Contoh Menggunakan Jalur Berpetak ... 18

2. Kerusakan di beberapa kawasan mangrove yang dijumpai ... 38

3. Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal 3.1 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 1 ... 30

3.2 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur4 ... 31

3.3 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 7 ... 32

3.4 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 12 ... 33

(14)

ABSTRACT

LEO BILYANTO SEMBIRING, Biodiversity and Damage Estimation of

Mangrove Forest in the Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District.Under the guidance of DELVIAN andBUDIUTOMO.

The research of Biodiversity and Damage Estimation of Mangrove Forest in the Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District to determine the level of damage estimation of mangrove forestand the potential of carbon stock in the Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II in the Selotong Village Subdistrict SecanggangLangkatDistrict. Collecting data on the location of the research by using the transect method. Every point made sub plotswitha size of 2m x2 mfor level forseedlings(height<1.5m), 5 mx5 mfor level of stakes (1.5 m high - stem diameter <10 cm) and for level of trees (diameter≥10 cm) with a plotsize of10 mx10 m.

The result showed that mangrove forest in the Selotong Village Subdistrict

Secanggang LangkatDistrict was found 8 manggroves spesies and dominated by Rhizophora apiculata with INP(111,48)for level of trees, INP(104,69)for level of stakes and INP(125,64) for level of seedlings. The diversities mangrove at Selotong Village Subdistrict Secanggang Langkat District regency are still low. Concentration of carbon storaged in forest stands on the observation plot is 148,49 with potensial of carbon 63,30 ton/Ha.

Keywords: Analysis of Vegetation, level of damage, Carbon Stored, Wildlife

(15)

ABSTRAK

LEO BILYANTO SEMBIRING, Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan DELVIAN dan BUDI UTOMO.

Penelitian Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan hutan mangrove dan potensi karbon tersimpan di kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Pengambilan data pada lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak. Pada setiap jalur dibuat sub petak ukur dengan ukuran 2 m x 2 m untuk semai (tinggi < 1,5m), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang ( tinggi 1,5 m - diameter batang < 10 cm) dan untuk tingkat pohon (diameter ≥ 10 cm) dengan ukuran petak 10 m x 10 m .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat memiliki 8 jenis vegetasi mangrove yang didominasi oleh Rhizophora apiculata dengan INP (111,4802) untuk tingkat, INP 104,6916 untuk tingkat pancang dan INP 125,6418 untuk tingkat semai. Keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat pada setiap tingkat pertumbuhan di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat tergolong rendah. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan pada plot pengamatan adalah 148,49 dengan potensi karbon 68,30 ton/Ha

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan abrasi air laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan mahluk hidup di dalamnya (Arief, 2003)

Hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kebanyakan hutan tropis, ternyata hutan mangrove memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih banyak. Karbon lebih banyak tersimpan di bawah hutan bakau daripada di atas permukaan tanah dan air. Hasil penelitian para ahli di Cifor menunjukkan bahwa penyimpanan karbon yang besar di mangrove di sepanjang kawasan pesisir wilayah Indo-Pacific. Meski hanya memiliki luas 0,7% dari luasan hutan, akan tetapi mangrove dapat menyimpan sekitar 10% dari semua emisi. Sebagian besar karbon disimpan di dalam tanah di bawah hutan mangrove. Di hutan mangrove yang dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah, penyimpanan karbon mencapai 800-1.200 ton per hektar. Pelepasan emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di daratan, hal ini karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepaskan karbon ke udara. Adapun tanaman hutan tropis yang mati melepaskan sekitar 50 persen karbonnya ke udara.

(17)

habitat mangrove merupakan tempat pembenaman karbon (carbon sinks) yang besar. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca. Para ahli dari Center for International Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim

Kekhawatiran terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai timur, termasuk di pesisir pantai barat. Fenomena ini jelas mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir, keanekaragaman vegetasi hutan mangrove yang cenderung menurun, dan hilangnya fungsi perlindungan lingkungan hutan mangrove. Oleh karena itu, untuk menentukan langkah dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut yang secara global bisa berpengaruh kepada iklim perairan di pantai timur maka perlu dilakukan pengkajian terhadap tingkat kerusakan, dan potensi karbon tersimpan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan adalah :

a. Untuk mengetahui keanekaragaman dan tingkat kerusakan hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat.

(18)

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian Tingkat Kerusakan dan Potensi Karbon Tersimpan Hutan Mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

a. Diketahuinya tingkat kerusakan dan potensi karbon tersimpan hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat.

b. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada pengelola kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat untuk menentukan arah dan kebijakan managemen, agar tercapai optimalisasi fungsi hutan mangrove. c. Menambah kasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang potensi karbon

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut halopyta (Onrizal, 2005).

Hutan mangrove banyak memberikan manfaat kepada kehidupan manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu bentuk potensi yang jarang di perhitungkan adalah kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar baik pada vegetasi (biomasa) maupun bahan organik lain yang terdapat pada ekosistem mangrove. Kerusakan vegetasi mangrove akan menurunkan kemampuan alamiahnya untuk menyerap dan menyimpan karbon.Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2005).

(20)

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora,

Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras,

Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

(21)

individu dalam tiap jenis menjadi penting, karena dapat terjadi pada dua tempat yang sama keanekaragaman jenisnya tetapi sebaran individu dalam tiap jenisnya berbeda maka kedua tempat tersebut dapat sangat berbeda.

Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan didalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Muller-Dombois, 1974), sedangkan komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan.

Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu, pembentuk kelompok vegetasi ini adalah berbagai spesies tanaman mangrove yang dapat beradaptasi secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, yaitu salinitas tinggi, sedang atau rendah, tipe tanah yang didominasi lumpur, pasir atau lumpur berpasir, dan terpengaruh pasang surut sehingga terbentuk zonasi ( Onrizal, 2005)

(22)

menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al,1979). Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987).

Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies, dan sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitasnya itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan (Irwanto, 2006).

Jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi hutan mangrove adalah pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi yang berpengaruh tersebut hutan mangrove beradaptasi dalam hal ; sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem peakaran; sistem perkembangan buah (vivipar, kriptovivipar dan biji normal); pola zonasi pertumbuhan dan komposisi mangrove (Onrizal, 2005).

(23)

reaksi tanah an-aerob (Snedaker, 1978). Mangrove adalah jenis tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang terletak diantara pasang tertinggi sampai daerah yang mendekati ketinggian rata-rata air laut, atau lebih tinggi dari permukaan laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis (Aksornkoae, 1993).

Hutan mangrove banyak menghasilkan bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi dan merupakan sumber makanan yang dibutuhkan oleh fauna invertebrata antara lain jenis kepiting . Bahan organik dari pohon-pohon dan pertumbuhan akar di bawah permukaan merupakan sumber karbon organik dalam bentuk endapan pada ekosistem mangrove.

Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) , ekosistem mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah (genetic pool) untuk mendukung keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota air dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator (Irwanto, 2006).

(24)

Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar daripada emisi sektor transportasi global. Selain itu, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 15 persen dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan (Kristensen et al., 2008).

Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia (Dirjen RLPS, 2006).

Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan kesepakatan global untuk memasukkan skema REDD, yaitu insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya, dalam perjanjian yang akan berlaku sesudah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012.

(25)

mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).

Ekosistem mangrove mampu menyimpan karbon organik dalam jumlah yang besar dan pada beberapa ekosistem mangrove, ditemukan bahwa sedimen yang kaya organik berada pada beberapa meter kedalaman. Besarnya karbon tersimpan tergantung kepada kondisi lingkungan. Kenaikan produksi utama karbon berhubungan dengan usia tegakan, besarnya tingkatan efisiensi karbon yang tersimpan di sedimen mangrove (Rahayu et al., 2009).

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya nyata yang harus segera dilakukan pada saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon atau menurunkan emisi karbon (Lasco, 2002). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada melalui pengelolaan hutan lindung, pengendalian deforestasi, penerapan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi.

(26)

adalah menanam dan memelihara pohon (Lasco,2002).

Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan tiga cara (Dirjen RLPS, 1997), yaitu:

a. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) dan indera (citra satelit).

b. Penilaian secara langsung di lapangan (terestris).

c. Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi.

Biomassa

Biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya. Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah yang merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO

(27)

Produksi Biomassa merupakan proses yang ditetapkan secara khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses fotosintesis dan proses hilangnya karbon melalui resfirasi. Karbon merupakan produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang melalui jaringan akar halus, daun, dan cabang serta karena adanya penyakit, sisanya tergabung dalam struktur yang tersimpan di dalam pohon. Penyerapan air dan elemen penting lainnya akan berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon (Johnsen et al. , 2001).

Biomassa dapat menstimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih di simpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa direpresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Boer et al., 1996).

(28)

Biomassa atau phytomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam gram atau dalam kalori. Karena kandungan air pada setiap pohon berbeda, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr m2 atau kg per ha atau ton per ha , sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya juga menyatakan persatuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al., 1987).

Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai hutan (daun, ranting dan alat reproduksi, dan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Pada hutan bakau besarnya prduksi serasah dipengaruhi oleh (1) besarnya diameter pohon, (2) produksi daun-daun baru sebagai adaftasi dari salinitas yang tinggi akibat pengaruh pasang surut air laut, (3) keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al., 2008).

Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Atau dapat dinyatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dikaitkan dengan fungsi sistim produktifitas, usia tegakan, dan penyebaran organik (Kusmana et al., 1992).

(29)

metode pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata dan (2) metode pendugaan tidak langsung yang terdiri atas (a) metode hubungan alometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yakni dengan cara menggunakan seperangkat elektroda yang kedua kutubnya di letakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.

Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric equation " berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu, et al., 2007).

Potensi tumbuhan di hutan mangrove umumnya lebih tinggi dan lebih cepat, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2. Hutan mampu menyerap karbon melalui (1) pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan, (2) penyerapan melalui tegakan hutan (Faeth dan Livenash ,1994 dalam Yasri).

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Juni 2012 di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut Resort II Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading dan Langkat Timur Laut merupakan ekosistem hutan pantai atau mangrove yang secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Tanjung Pura, Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat dan Kecamatan Labuan Deli, Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Dahulunya status Suaka Margasatwa Karanggading dan Langkat Timur Laut adalah sebagi Hutan Produksi dengan Register 2/L sesuai Besluit Kerajaan Negeri Deli tanggal 6 Agustus 1932 No. 148/PK dan disahkan oleh Gubernur Pesisir Timur Pulau Perca pada tanggal 24 September 1932. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um 11/1980 Kawasan Hutan Langkat Timur Laut/Hutan Produksi tersebut telah diubah statusnya menjadi Suaka Alam dengan fungsi sebagai Suaka Margasatwa.

Letak Geografis

(31)

Timur Laut dengan luas 9.520 ha, terletak di Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura Kabupaten Langkat serta Karang Gading dengan luas 6.245 ha, terletak di Kecamatan Labuhan Deli dan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis Suaka Margasatwa Karang

Gading dan Langkat Timur Laut, terletak antara 98030'- 8042' BT dan 3051'30" – 3059'45" LU (Kementrian Kehutanan Republik Indonesia 2012).

Sifat Fisika Tanah

Jenis tanah aluvium merupakan endapan dengan umur yang masih relatif muda dengan proses pengendapannya masih berlangsung sampai saat ini. Endapan ini sebagian besar dijumpai di sepanjang pesisir, yang terbagi menjadi alluvium sungai, alluvium rawa, alluvium delta dan alluvium pantai.

Aluvium sungai terdapat sebagai endapan sungai tua di bagian barat laut serta merupakan endapan yang lebih muda di tepi- tepi beberapa sungai besar seperti sungai Deli, sungai Buluh, Sungai Percut, Sungai Batang Kuis, Sungai Serdang, Sungai Kenang, Sungai Perbaungan, Sungai Nipah, Sungai Martebing dan Sungai Padang. Endapan ini terdiri dari campuran bongkah, kerikil, pasir dan lempung. Semakin ke- arah hilir konfigurasi ukuran semakin menghalus, bahkan di bagian muara hanya terdapat pasir dan lumpur.

(32)

Aluvium pantai terutama dijumpai di sepanjang pantai. Sungai- sungai yang bermuara disini membawa muatan sedimen materi al pasir. Sebagian dari pasir tersebut diendapkan disepanjang garis tepi pantai (Ningsih, 2008).

Potensi Kawasan

Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading dan Langkat Timur Laut disamping berfungsi sebagai hutan penyangga atau benteng dari abrasi pantai, dan juga berperan sebagai tempat kehidupan (nursery ground) sekaligus habitat biota laut berupa ikan, udang, kepiting dll.

Selain itu Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading dan Langkat Timur Laut ternyata juga beroperasi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata karena mempunyai keindahan alam yang cukup baik. Tidak berlebihan jika kawasan ini sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan ekowisata. Banyak kegiatan wisata yang dapat dilakukan, seperti : melukis, rekreasi melintasi kawasan hutan bakau, memancing ikan, fotografi dan lain-lai (Kementrian Kehutanan Republik Indonesia 2012).

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penilitian ini adalah kawasan hutan mangrove Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut resort II di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten langkat.

(33)

Metode Penelitian

Pengambilan sampel dan pengukuran dilapangan dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Kusmana, 1997). Pada setiap lokasi sampel yang diteliti dibuat jalur dengan lebar 10 m dan panjang 100 m (1000 m2), jalur dibuat dimulai dari tepi laut dan diupayakan searah tegak lurus tepi laut. Pada setiap jalur dibuat sub petak ukur dengan ukuran 2 m x 2 m untuk semai (tinggi < 1,5m), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang ( tinggi 1,5 m - diameter batang < 10 cm) dan untuk tingkat pohon (diameter ≥ 10 cm) ukuran petak 10 m x 10 m.

Pelaksanaan Penelitian

Pengukuran biomasa vegetasi mangrove disekitar kawasan Desa Selotong dilakukan dengan pembuatan plot contoh pengamatan dengan intensitas sampling 5 %. Penentuan awal plot contoh dilakukan secara purposive random sampling

melalui pengamatan data citra satelit. Plot contoh diambil pada areal yang memiliki potensi pertumbuhan mangrove yang baik dan jenis tanaman relatif seragam, untuk selanjutnya diplotkan dilapangan. Plot contoh dibuat berbentuk

T T

5 m

5 m

T T

5 m

(34)

transeck dimulai dari tepi laut menuju daratan, dengan langkah-langkah pengamatan pada plot contoh dengan ukuran 10 m x 100 m dengan pembagian sebagai berikut:

- sub petak contoh 10 x 10 m untuk pohon,( diameter ≥ 10 cm)

- sub petak contoh 5 m x 5 m untuk pancang, dan (tinggi ≥ 1,5 cm dan diameter < 10 cm)

- sub petak 2 m x 2 m untuk semai, (tinggi < 1,5 cm)

data yang diukur meliputi tinggi pohon, diameter pohon setinggi dada (dbh) dan mencatat nama semua jenis vegetasi yang ditemui.

Identifikasi jenis vegetasi dilakukan dilakukan pada vegetasi yang ditemui dengan menggunakan buku determinasi mangrove (manual mangrove) dan jasa pemandu lokal terutama dalam penamaan lokal. Untuk tingkat semai dicatat nama daerah dan nama ilmiah dengan menggunakan buku acuan Kusmana et al, (2008) kemudian dihitung jumlah individunya. Untuk tingkat pancang dan pohon dicatat nama ilmiah dan nama daerah, dihitung jumlah individu, tinggi dan diameter batang dari setiap individu. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk memperoleh gambaran kondisi vegetasi hutan mangrove pada petak petak contoh penelitian.

Analisis Vegetasi

(35)

1. Kekayaan Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

a. Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menentukan dominansi dari suatu jenis vegetasi. Indeks Nilai Penting diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

Untuk tingkat semai dan pancang, INP = KR + FR Untuk tingkat pohon, INP = KR + FR + DR Dimana KR = kerapatan relatif,

FR = frekuensi relatif dan DR = dominansi relatif.

Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kerapatan suatu jenis (K), dihitung dengan rumus :

Kerapatan relatif (KR) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

Frekuensi relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

Dominasi (D) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

Dominasi relatif (DR) suatu jenis, dihitung dengan rumus : K = Jumlah individu suatu Jenis

Luas petak contoh

KR = Kerapatan suatu Jenis

Kerapatan seluruh jenis X 100%

(36)

b. Indeks Keanekaragaman (H1)

Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan indeks Shannon Wiennerr :

Menurut Barbour, et al.(1987) menyatakan bahwa nilai H1 dengan kriteria 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang dan > 3 tergolong tinggi.

2. Tingkat Kerusakan

Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan mangrove adalah mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, dengan kriteria :

Tabel 1. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004.

No Kriteria Penutupan Kerapatan Pohon/Ha

1. Baik (sangat padat) ≥75% ≥ 1500 Pohon/Ha

2. Sedang ≥ 50% - < 75 % ≥ 1000- <1500 Pohon/Ha 3. Rusak < 50 % < 1000 Pohon/Ha

Untuk memperoleh nilai penutupan dan kerapatan pohon/ha berdasarkan kriteria baku tersebut, di hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a. Penutupan, adalah perbandingan antara luas areal penutupan jenis I (Ci) dan

luas total areal penutupan seluruh jenis (ƩC), atau : H' = ni = Jumlah individu suatu jenis ke-i

N = Jumlah total untuk semua individu

RCi = (Ci/

Ʃ

C) X 100, Ci =

Ʃ

BA/A

(37)

b. Kerapatan, adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total seluruh tegakan jenis (Ʃn), atau :

3. Biomasa Pohon

Data biomasa pohon dapat diperoleh dari hasil pengukuran sampel vegetasi mangrove yang berdiameter > 5 cm dan panjang 20 cm kemudian dilakukan penghitungan biomasa melalui pendekatan alometrik dengan menggunakan rumus yang telah diperkenalkan Hairiah, et al, 1999 dan Ketterings, (2001) : W = 0.11 ρ D2,62.

2,62 = konstanta rumus biomasa. Keterangan :

RCi = Penutupan (%) BA = Basal Area

(38)

Indeks ρ (berat jenis kayu) diperoleh dengan mengambil sampel cabang dari jenis-jenis vegetasi mangrove yang masuk ke dalam petak contoh pengukuran dan kemudian diukur diameter, panjang dan ditimbang berat basahnya, selanjutnya untuk memperoleh berat kering, sampel dikeringkan di dalam oven dengan suhu 80 °C selama 2x24 jam dan kemudian ditimbang berat keringnya dan dihitung volumenya, dan untuk mendapatkan indeks ρ (berat jenis) digunakan rumus sebagai berikut :

dan estimasi akhir jumlah karbon (C) tersimpan dihitung dengan rumus :

4. Diagram Profil

Diagram profil adalah gambaran struktur vegetasi mangrove secara vertikal dan horizontal, dengan sampel ukuran atau petak contoh 10 m x 100 m yang telah digambar terlebih dahulu secara manual di lokasi penelitian dengan menggunakan kertas milimeter, kemudian dihitung luas penutupan tajuk sampel yang telah diambil dengan menggunakan software program Autocad 2010.

Volume = ӆR2 T Berat Kering (g) Volume (cm3 ) dan berat jenis (ρ) = BJ (g cm3) =

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekayaan Jenis

Hasil analisis vegetasi mangrove yang meliputi komposisi jenis tumbuhan di Desa Selotong dijumpai 8 jenis vegetasi yang ditemukan pada seluruh tingkat pertumbuhan yaitu pada tingkat semai (6 jenis), tingkat pancang (8 jenis), dan

tingkat pohon (8 jenis) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kekayaan jenis mangrove pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada plot contoh per Ha .

Tabel 2 menunjukkan jenis yang mendominasi terdapat pada jenis

Rhizophora apiculata pada setiap pertumbuhan, sedangkan yang terendah terdapat pada jenis Ceriops tagal untuk tingkat pertumbuhan pancang dan pohon, dan

Sonneratia caseolaris pada tingkat pertumbuhan semai. Banyaknya jumlah

individu Rhizophora apiculata disetiap pertumbuhan disebabkan oleh karakteristik dari tanaman Bakau (Rhizophora apiculata) yang mampu tumbuh pada tanah yang berlumpur halus dan tergenang pada saat pasang normal. Kondisi ini didukung dengan kondisi pesisir Desa Selotong mengalami pasang surut yang normal yang mendukung jenis Bakau (Rhizophora apiculata) dapat berkembang dengan baik sehingga mendominasi disetiap tingkat pertumbuhan.

No Famili

Jenis Tingkat pertumbuhan (Ha)

Nama lokal Nama ilmiah Semai Pancang Pohon

1 Rhizophoraceae Bakau Rhizophora apiculata 1537 408 669

2 Rhizophoraceae Mata Buaya Bruguiera sexangula 150 98 100

3 Rhizophoraceae Lengadai Bruguiera parviflora 250 102 99

4 Avicenniaceae Api-api Avicennia alba 312 52 63

5 Meliaceae Nyirih Xylocarpus granatum 112 48 54

6 Euphorbiaceae Buta-buta Excoecaria agallocha - 12 37

7 Sonneratiaceae Berembang Sonneratia caseolaris 25 22 20

8 Ceriops Tengar Ceriops tagal - 4 17

(40)

Banyaknya jenis Rhizophora apiculata yang mendominan di setiap tingkat pertumbuhan juga disebabkan karena propagul jenis ini memiliki sifat buah vivipar dimana buah jenis Rhizophora apiculata ini dapat berkecambah ketika masih melekat pada pohon induknya dan kecambah telah keluar dari buah sehingga pada saat jatuh buahnya langsung dapat menancap dilumpur ditempat jatuhnya atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain di hutan mangrove.

Dominansi Jenis

Penentuan jenis vegetasi dominan dilakukan dengan menggunakan indeks nilai penting (INP). Beberapa jenis tumbuhan yang ditemui di kawasan Desa Selotong untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 3 :

Tabel 3. Daftar dominansi jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II yang dilakukan pada areal seluas 2Ha (20 Jalur)

No Jenis

Tingkat pertumbuhan

INP Semai (%) INP Pancang (%) INP Pohon (%)

1 Rhizophora apiculata 125,64 104,69 111,16

2 Avicennia alba 14,44 26,29 32,03

3 Xylocarpus granatum 23,74 28,93 41,51

4 Bruguiera sexangula 25,32 15,39 31,43

5 Excoecaria agallocha 8,77 13,80 25,40

6 Bruguiera parviflora - 3,18 25,51

7 Sonneratia caseolaris 2,06 6,10 18,98

8 Ceriops tagal - 1,58 16,56

(41)

Berdasarkan data Tabel 3 , jenis yang dominan pada tingkat pohon adalah

Rhizophora apiculata (INP = 111,16 %) dan terendah berada pada jenis Ceriops tagal (INP = 16,56). Pada tingkat pancang jenis yang mendominasi masih terdapat pada Rhizophora apiculata (INP = 104,69%) dan terendah terdapat pada jenis

Ceriops tagal (INP = 1,58%) sedangkan pada tingkat semai jenis yang

mendominasi terdapat pada Rhizophora apiculata (INP = 125,64%) dan terendah terdapat pada Sonneratia caseolaris (INP = 2,06%). Untuk jenis Ceriops tagal, Bruguiera parviflora pada tingkat semai sama sekali tidak ada dijumpai anakan disetiap petak contoh di lapangan.

Jenis-jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona inti yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta (Onrizal, 2005). Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut dan memiliki akar napas.

(42)

lain yang ada dalam komunitas tersebut. Sebaliknya, rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut dapat berkurang dari tahun ke tahunnya.

Jenis yang mendominansi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; faktor genetik dan lingkungan, persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Iklim dan mineral yang dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies, sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan di dalam suatu kawasan. Disekitar kawasan Desa Selotong vegetasi yang mendominan terdapat pada jenis vegetasi Rhizophora apiculata yang hampir terdapat pada setiap plot pengamatan. Banyaknya bakau (Rhizophora apiculata) yang mendominan disebabkan oleh mudahnya propagul jenis ini tumbuh dan didukung oleh daur hidup yang baik dan jenis bakau ini memiliki benih yang dapat berkecambah ketika masih berada pada pohon sehingga sangat mendukung pada proses pertumbuhan tanaman dengan baik.

(43)

sama seperti kondisi maksimum mereka hanya akan mampu tumbuh berbeda dengan kondisi optimum dimana kondisi yang diharapkan suatu jenis mampu untuk tumbuh dan berkembang. Jenis tumbuhan yang mendominansi berarti memiliki kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan jenis yang lainnya, sehingga dengan kisaran toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan menyebabkan suatu jenis tumbuhan akan memiliki sebaran yang luas.

Onrizal (2005) juga mengatakan, jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi hutan mangrove adalah pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi yang berpengaruh tersebut hutan mangrove beradaptasi dalam hal sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem peakaran, sistem perkembangan buah (vivipar, kriptovivipar dan biji normal), dan pola zonasi pertumbuhan dan komposisi mangrove.

Keanekaragaman Jenis

(44)

Tabel 4. Indeks Keanekargaman (H')

Komposisi vegetasi pada suatu tipe hutan sangat penting diketahui, komposisi dimaksud meliputi vegetasi pada lapisan tajuk di bagian atas (pohon) dan vegetasi pada lapisan bawah (lantai hutan). Tingginya tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) di hutan mangove dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kondisi tempat tumbuh mangrove tersebut. Pada tabel 4 dari 8 jenis vegetasi mangrove yang ditemukan dalam plot penelitian diketahui bahwa indeks keanekaragaman vegetasi mangrove untuk tingkat pertumbuhan semai (H' = 1,15), pancang (H' = 1,42), dan pohon (H' = 1,31), maka berdasarkan Barbour, et al, (1987) apabila nilai H' 0-2, maka keanekaragaman vegetasinya tergolong rendah.

Penutupan Tajuk dan Tingkat Kerusakan Mangrove

Diagram profil vegetasi mangrove menggambarkan kondisi mangrove secara vertikal dan horizontal di kawasan Desa Selotong berdasarkan prinsip-prinsip yang diperkenalkan Mueller-Dombois (1974). Hasil pengamatan pada petak contoh yang berukuran 10 x 100 m yang mewakili kondisi rata-rata di lokasi penelitian dibuat diagram profil untuk menggambarkan kondisi vegetasi secara vertikal dan horizontal, disajikan pada Gambar 3.

No Tingkat pertumbuhan Indeks Keanekaragaman

1 Semai 1,15

2 Pancang 1,42

(45)

0 m 25 m 75 m

10 m

5 m

0 m

25 m 75 m

25 m 75 m 100m

100m

5 m 6 m

Penampang horizontal jalur 1

Penampang vertikal jalur 1

Skala 1: 500

Gambar 3.1 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal Jalur 1 50 m

(46)

0 m 25 m 75 m

10 m

5 m

100 m

0 m

25 m

75 m

5 m 6 m

75 m

25 m 75 m 100 m

Penampang horizontal jalur 4

Penampang vertikal jalur 4

Skala 1: 500

Gambar 3.2 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal jalur 4 50 m

(47)

0 m

25 m 75 m

10 m

5 m

100 25 m

75 m

5 m 6 m

75 m

75 m 25 m

0 m

Penampang horizontal jalur 7

Penampang vertikal jalur 7

Skala 1: 500

Gambar 3.3 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal jalur 7 50 m

(48)

0 m 25 m 75 m

10 m

5 m

100 m 25 m

75 m

6 m

75 m

0 m 75 m 100 m

5 m

25 m Penampang horizontal jalur 12

Penampang vertikal jalur 12

Skala 1: 500

Gambar 3.4 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal jalur 12 50 m

(49)

0 m 25 m 75 m

10 m

5 m

100 m

5 m 6 m

100 m 75 m

25 m 0 m

Penampang horizontal jalur 18

Penampang vertikal jalur18

Skala 1: 500

Gambar 3.5 Sebaran dan profil vegetasi secara vertikal dan horizontal jalur 18 50 m

(50)

Dari gambar 3 nampak jenis bakau (Rhizophora apiculata) berwarna merah mendominasi di setiap jalur dan menyebar di setiap plot pengamatan. Hal ini didukung dengan kondisi kawasan Desa Selotong mengalami pasang surut air yang stabil dan berada pada daerah dekat sungai yang masih mengandung air payau yang meyebabkan terciptanya kondisi yang baik tempat habitat bakau yang mempengaruhi pertumbuhan di setiap jalur pengamatan.

Berdasarkan tingkat penggolongan struktur vertikal hutan (stratifikasi) dari setiap sebaran tinggi pohon, diketahui bahwa pohon yang menyusun di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat memiliki sebaran tinggi 4-5,5 m.Perbedaan kelas tinggi yang tidak tampak sama menandakan bahwa tegakan yang terdapat di kawasan hutan Desa selotong merupakan tegakan seumur karena tidak memiliki perbedaan tingkat tinggi pohon yang sangat berbeda. Hal ini diperkuat dengan informasi yang didapat dari masyarakat bahwa sebagian daerah kawasan Desa Selotong merupakan lahan bekas kegiatan reboisasi yang dilakukan masyarakat dan Departemen Kehutanan sekitar tahun 90’an yang membuat ketinggian dan umur relatif sama.

(51)

Kondisi penutupan mangrove di kawasan Desa Selotong dapat dilihat dari diagram profil penampang horizontal dan kerapatan dihitung dengan menggunakan rumus yang mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Kondisi Penutupan Vegetasi Hutan Mangrove Pada 5 Jalur seluas 5000 m2

Dari tabel 5 diketahui jumlah penutupan sebesar 50,02% yang di diketahui dari 5 gambar penampang horizontal yang termasuk kriteria penutupan sedang. Penutupan hutan mangrove terbesar terdapat pada jenis bakau sebesar 31,64 % dan terendah terdapat pada buta-buta sebesar 1,11 % ini dapat dilihat pada gambar yang dimana warna merah (bakau) meyebar di setiap jalur pengamatan dan warna biru muda (buta-buta) hanya beberapa individu yang terlihat. Untuk kerapatan dapat dilihat dari tabel Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove dimana nilai kerapatan sebesar 1061 pohon per Ha yang termasuk dalam kriteria sedang( ≥ 1000- <1500 Pohon/Ha).

No Nama lokal Jenis Luas Penutupan Tajuk

m2 %

1 Bakau Rhizophora apiculata 1582,19 31,64

2 Api-api Avicennia alba 287,01 5,74

3 Nyirih Xylocarpus granatum 187,56 3,75

4 Mata Buaya Bruguiera sexangula 201,09 4,02

5 Buta-buta Excoecaria agallocha 55,61 1,11

(52)

Kerapatan pohon per Ha dapat menggambarkan kerapatan tajuk suatu kawasan hutan. Semakin baik kerapatan pohon semakin tinggi tingkat penutupan tajuk di suatu kawasan hutan dan semakin sedikit celah yang terbentuk sehingga lantai hutan semakin tertutup oleh tajuk pohon. Semakin baik kondisi hutan berarti penutupan tajuk hutannya semakin rapat dan lantai hutan semakin tertutup. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya iklim mikro di dalam hutan yang relatif baik, sehingga memperkecil berkembangnya jenis vegetasi luar yang berkembang di habitat mangrove, sehingga kelestarian vegetasi mangrove bisa tumbuh dengan stabil.

Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai peredam hempasan gelombang. Sistem perakarannya dapat berperan sebagai perangkap sedimen dan pemecah gelombang. Hal ini dapat terjadi apabila didukung oleh formasi hutan mangrove yang belum terganggu atau kondisinya masih alami. Kerapatan hutan mangrove yang cenderung menurun, maka fungsinya sebagai peredam gelombang juga akan cenderung menurun. Sistem perakaran mangrove dapat mengikat dan menstabilkan substrat di garis pantai sehingga garis pantai tetap stabil, akibatnya badan pantai akan terus meninggi. Penanaman dan perlindungan mangrove merupakan salah satu sistem pelindung kestabilan garis pantai secara alami agar tidak mengalami abrasi sehingga akan mendukung proses ekologi di kawasan pesisir.

(53)

berlangsung secara terus menerus berpotensi merusak perekonomian lokal, regional dan nasional dalam sektor perikanan.Untuk jangka panjang kerusakan mangrove dapat menurunkan produksi perikanan laut. Rusaknya hutan mangrove juga dapat mengakibatkan terputusnya ekosistem (mata rantai mahluk hidup) dan sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakseimbangan antara mahluk hidup dan alam.

Di sekitar kawasan lokasi penelitianan masih banyak dijumpai kawasan yang rusak atau sudah di alih fungsikan menjadi kawasan tambak dan perkebunan maupun dirambah. Dengan itu perlu segera dilakukan upaya-upaya perbaikan terhadap kawasan Suaka Margsatwa Karanggading Langkat Timur Laut II Kabupaten Langkat, sehingga dapat berfungsi dengan semestinya dengan bai.

(a) (b)

Gambar 2. Kerusakan dibeberapa kawasan yang dijumpai (a) kerusakan pembukaan lahan untuk pembangunan tiang listrik (b) pembukaan lahan perkebunan

Potensi Karbon Tersimpan

(54)

Tabel 7. Potensi Karbon Tersimpan

Dari Tabel 7 dapat diihat bahwa jenis vegetasi Rhizopora apiculata

mempunyai potensi biomasa yang tertinggi dengan jumlah biomasa 188329,12 kg/2Ha dan yang terendah terdapat pada Ceriops tagal dengan jumlah biomasa 5214,90 kg/2Ha. Hasil pengukuran pada plot contoh penelitian menunjukan bahwa kawasan Suaka Margsatwa Karanggading Langkat Timur Laut II memiliki total biomasa tegakan mangrove sebesar 148490,40 kg/Ha dengan potensi karbon 68,30 ton/Ha.

Menurut Arief, (2001) biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Di alam sendiri proporsi penyimpanan karbon terbesar umumnya terdapat pada komponen tegakan atau biomasa pohon.

Jumlah karbon tersimpan pada tabel 7 di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut II lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Yasri (2010), yang melaporkan di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading

No Nama lokal Nama ilmiah BJ W =(0.11 p D2,62)

1 Bakau Rhizophora apiculata 0,8462 188329,12

2 Api-api Avicennia alba 0,9193 32185,27

3 Nyirih Xylocarpus granatum 0,9368 30633,07

4 Mata Buaya Bruguiera sexangula 0,8007 15930,53

5 Buta-buta Excoecaria agallocha 0,5447 8928,59

6 Lengadai Bruguiera parviflora 0,7547 5266,07

7 Berembang Sonneratia caseolaris 0,8247 10493,23

8 Tengar Ceriops tagal 1,0407 5214,90

Total/2Ha 296980,80 kg/2Ha

Jumlah kg/Ha 148490,40 kg/Ha

Estimasi Karbon (C=total biomassa kg/ha x 0,46) 68305,58 kg/Ha

(55)

Langkat Timur Laut I di Deli Serdang pada tahun 2010 sebesar 41,79 ton/ha, dan lebih rendah dari Wayan Susi Dharmawan dan Chairil Anwar Siregar (2008), melaporkan cadangan karbon di tegakan Avicennia marina di Kph Ciasem sebesar 182,5 ton/ha.

Perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian disebabkan karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah ( Rahayu, et al., 2007 ) . Tinggi rendahnya jumlah spesies pada suatu hutan selain dipengaruhi oleh kondisi habitat dan faktor lingkungan juga tingkat gangguan baik dari hewan dan terutama akibat kegiatan manusia. Mengingat jumlah karbon yang semakin meningkat pada saat ini harus diimbangi dengan jumlah serapannya oleh tumbuhan guna menghindari pemanasan global. Dengan demikian dapat diduga berapa banyak tumbuhan yang harus ditanam pada suatu lahan untuk mengimbangi jumlah karbon yang terbebas.

(56)
(57)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ditemukan 8 jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon dan pancang, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai hanya ditemukan 6 jenis vegetasi, dimana untuk Indeks Nilai Penting (INP) pada tingkat semua pertumbuhan didominasi oleh jenis Rhizopora apiculata sedangkan yang terendah didapatkan pada jenis Ceriops tagal dan yang terendah pada semai terdapat pada Sonneratia caseolaris.

2. Tingkat kerusakan yang terjadi dikawasan penelitian termasuk dalam kriteria sedang dengan kerapatan sebesar 1061 pohon/Ha (<1000).

3. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove untuk tingkat pertumbuhan semai (H' = 1,1507), pancang (H' = 1,4261), dan pohon (H' = 1,3158), maka berdasarkan Barbour, et al, (1987) apabila nilai H' 0-2 adalah termasuk kriteria keanekaragaman vegetasinya tergolong rendah.

4. Jumlah kandungan biomasa yang tersimpan pada Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut adalah sebesar 148,49 ton/Ha dengan potensi karbon 68,30ton/Ha.

Saran

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S., 1993. Ecology and Management of Mangrove s. IUCN Bangkok, Thailand.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

______. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Barbour, G.M, J.K. Burk, & J.K. Pitts. 1987. Terresrtrial plant ecology. New

York: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc.

Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Boer, R. & Ginting, A.N., 1996. Greenhouse gases emission and uptake by Indonesian forest. Training workshop on greenhouse gases mitigation option and economic limitation. Jakarta.

Brown.1999. Guidelines for inventory and monitoring carbon offsets in forest-based, Project. Winrock, International. Forest carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA.

Canadell, JG., 2002. Land use effects on terrestrial carbon sources and sinks.

Science in China Vol. 45: 1-9.

Chapman, SB., 1976, Production Ecology and nutrient budgets. Dalam Chapman, SB (Ed.) Methods in plant ecology. 2nd ed. Blackwell Scientific Publisher, Oxford. 157-228p.

Direkrorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial., 2006, Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Wilayah Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun Propinsi Jawa Tengah.

Dharmawan, Wayan Susi dan Chairil Anwar Siregar.2008. Karbon Tanah Dan Pendugaan Karbon Tegakan Avicennia marina (Forsk) Vierth.Ciasem.Purwakarta.

FAO, UNEP. 2005, A Thematic Study Prepared in The Framework of The Global Forest Resources Assessment, 2005.

(59)

Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. Bogor.

Irwanto. 2006. Peranan Hutan Mangrove, Yogyakarta 2006.

Johnson C.M. I.C.G. Vieira, Zarin, D.J., Frizano,Jonshon, A.H., 2001. Carbon and nutrient storage in primary and secondary forest in eatern Amazonia. For Ecol. & Manage. 147 : 245 -252

Kartawinata, K, Adisoe marto, S, So emodi hardjo, S dan Tantra, I.G.M., 1979. Status Peng etahuan Hutan Bakau di Indone sia. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. LIPI - Jak arta.

Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, 2012. Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut.

Kitamura, S. 2003, Buku Panduan Mangrove di Indonesia Terjemahan dari Handbook of Mangroves in Indonesia.

Kristensen, E, Bouillon, S, Dittmar, T & Marchand, C., 2008, Organic Carbon Dynamics in mangrove Ecosystem, Journal Aquatic Botany 89, 201-219. Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusmana, C, Istomo, Wibowo, C, Budi, S.W.R., Zulkarnain, I.S, Tiryana, T, &

Sukardjo, S., 2002, Manual or Mangrove Silviculture in Indonesia. Collaboration Between Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry and Korea International Cooperation Agency (KOICA). Lasco RD., 2002. Forest carbon budgets in Southeast Asia following harvesting

and land cover change. In: Impacts of land use Change on the Terrestrial Carbon Cycle in the Asian Pacific Region'. Science in China Vol. 45, 76-86.

Mueller, D and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methode of Negetation Ecology. Jhon Willey dan Song, New York

Ningsih, Sri Susanti.2008.(Tesis) Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah Kabupaten Deli Serdang. PSL USU

(60)

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

Onrizal, 2005. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Medan. USU press.

Rahayu, S, Lusiana, B, dan Noordwijk, M.v. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

Gambar

Gambar  1.  Pengambilan contoh menggunakan metode  jalur berpetak
Tabel 1. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berdasarkan
Tabel 2. Kekayaan jenis mangrove pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan                pohon pada plot contoh per Ha
Tabel 3. Daftar dominansi jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di Kawasan Suaka Margasatwa Karanggading Langkat Timur Laut II yang dilakukan pada areal seluas 2Ha (20 Jalur)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Linux merupakan OS pilihan yang baik untuk server, karena Linux open source, kecepatan yang lebih tinggi dengan spesifikasi yang sama disbanding Windows NT, tidak sering hang,

sebagian apa yang ia miliki untuk diberikan kepada fihak lain, dalam hal ini kepada pondok pesantren. Dukungan materil ini biasanya lebih sulit diwujudkan karena

Hal ini dapat dilihat: pada kondisi awal diperoleh hasil yang tidak memuaskan dimana sebanyak 16 siswa atau 57,1% tidak tuntas karena nilai prestasi belajarnya di bawah Kriteria

Jumlah natrium tiosulfat 0,1 N yang diperlukan untuk mencari bobot glukosa dalam tabel adalah pengurangan volume titar blanko dengan volume titar contoh (V2 – V1).. fp adalah

(Study Deskriptif Motif Pelajar Sma Sekolah Islam Di Gresik Dalam Menonton Tayangan Progam Acara “Islam KTP” Di

S ecara garis besar sistem ko- m oditas ubijalar, ubi N agara dan ubi A labio ini terdiri dari subsistem industri pengolahan, subsistem konsum en dan subsistem distribusi/pem

Budaya membaca yang akhir-akhir ini disosialisasikan baik oleh pemerintah maupun beberapa kalangan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,telah memicu semangat beberapa

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang