ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAIRI
T E S I S
Oleh
YON HENDRIK
077018049/EP
S
EK O L A H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAIRI
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
YON HENDRIK
077018049/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAIRI
Nama Mahasiswa : Yon Hendrik Nomor Pokok : 077018049
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, SE.,M.Si) (Drs. Iskandar Syarief, MA)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Dr. Murni Daulay, SE.,M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 25 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 2. Drs. Iskandar Syarief, MA
3. Dr. Jonny Manurung, MS 4. Dr. Rahmanta, M.Si
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui berapa besar pengaruh masing-masing komponen Kapasitas Fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi periode 2001-2008.
Pengumpulan data diperoleh dari data skunder yaitu data yag diperoleh dari instansi atau lembaga seperti BPS dan Badan Pengelola Keuangan Kabupaten Dairi serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dairi, data yang dianalisa alah data dari tahun 2001 s/d 2007. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Hasil estimasi menunjukan bahwa Hasil estimasi menunjukan bahwa nilai (R2) sebesar 0,954 menunjukkan bahwa variabel independen yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu menjelaskan variasi perkembangan PDRB sebesar 95,4%, sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi.Berdasarkan uji t-statistik (hitung) diketahui bahwa ada 3 variabel yang mempengaruhi secara signifikan terhadap PDRB di Kabupaten Dairi, ketiga variabel tersebut yaitu PDRBt-1 prob sebesar 0,0001 < 0,05, kemudian Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak pada prob 0,042 < o,o5, dan PAD sebesar 0,074 < 0,10. Sedangkan variabel Dana Alokasi Umum (DAU) tidak signifikan mempengaruhi PDRB di kabupaten Dairi.Berdasarkan Uji Asumsi Klasik bahwa model terlepas dari masalah linieritas, multikolinearitas dan autokorelasi.Berdasarkan nilai F-statistik (hitung) sebesar 119,20 yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% (α = 5%) bila dibandingkan dengan angka F tabel = 3,94, ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama (serempak) yaitu variabel Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu mempengaruhi secara signifikan variabel PDRB di Kabupaten Dairi..
ABSTRACT
The purpose of this econometric study with Ordinary Least Square (OLS) is to analyze and find out, to what extent, the influence of each fiscal capacity component on the economic growth (PDRB) of Dairi District from 2001 – 2007.
The data used for this study were the secondary data within the period of 2001 to 2007 obtained from the institutions such as BPS ( Bureau of Statistics) and Badan Pengelola Keuangan kabupaten Dairi (Dairi District Financial Management Board), and Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dairi (Dairi District/Regional Planning and Development Board).
The result of the estimation shows that the value of R2 (0.954) reveals that the independent variable such as Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Tax and Non-Tax Revenue Sharing), Dana Alokasi Umum (General Allocation Fund), Pendapatan Asli Daerah (Local Original Revenue), and PDRBt-1 can explain the development variation of economic growth (PDRB) for 95.4%, while the other 4.6 % are explained by the other variables which are not included in the estimation model. The result of the partial statistic t-test (count)(Partial Test) shows that the variable of Tax and Non-Tax Revenue Sharing has a significant influence on the economic growth (PDRB) in Dairi District at α = 5%, while the variables of General Allocation Fund, Local Original Revenue, and PDRBt-1 significantly influence or are not able to influence the economic growth in Dairi District. The result of Classic Assumption Test shows that the model is free or apart from the problems of multicolinearity and autocorelation. Based on the value of statistic-F (count) for 119,20 which is significant at the level of confidence of 95% (α = 5%) if compared to the value of F table = 3.94, it shows that simultaneously the variables of Tax and Non-Tax Revenue Sharing, General Allocation Fund, Local Original Revenue, and PDRBt-1 can significantly influence the variable of economic growth (PDRB) in Dairi District.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari
perkuliahan pada program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, sampai dengan menyelesaikan penulisan tesis yang
berjudul ” Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan Kabupaten
Dairi.
Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa hal ini
tidak terlepas dari bantuan, semangat, serta saran dan pendapat dari berbagai pihak,
oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam menyelesaikan tesis ini
maupun selama mengikuti pendidikan yaitu kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Ketua Komisi
Pembimbing dengan penuh kearifan, kesabaran dan perhatian telah berkenan
memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga selesainya tesis ini.
3. Bapak Drs Iskandar Syarief, MA, selaku anggota pembimbing yang telah
4. Bapak Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, Mec, selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak. Dr. Jonni Manurung, M.Si, Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Drs.
Rahmad Sumanjaya, M.Si selaku komis Pembanding yang telah memberikan
pengarahan dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Sekretariat Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dan pelayanan yang sangat baik;
7. Terima kasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada
Mamanda Rosmini yang senantiasa mendoakan, memberikan semangat dan
bantuan moril dan materil kepada penulis dan Papanda Darwis (alm) yang telah
memberikan teladan dan nasehat semasa hidupnya. Dan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan kepada ayah mertua Wagirun dan Ibu Mertua
Lasmini atas doa da perhatian serta bantuan moril maupun materil mulai dari
masa studi hingga selesai penulisan tesis ini
8. Teristimewa kepada Istriku tercinta Elvina Rahmi dan Anak-anakku Wanda
Nindya Tasya, Windy Sayyida Amalis dan Fauzan Fajar Fathona dengan setia dan
penuh pengertian memberikan motivasi, dukungan doa mulai dari masa studi
sampai selesainya penulisan tesis ini.
9. Tak Lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ariandi, Yeyen Wisdaliani, Supriadi Yusuf serta Moh. Ismaidi ats doa dan
dorongan hingga selesainya tesis ini .
10.Rekan-rekan mahasiswa MEP-USU, yang telah membantu baik selama dalam
mengikuti pendidikan maupun dalam menyelesaikan penulisan tesis ini;
Tak lupa juga penulis menghatur terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis
baik moril maupun materil.
Sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan,
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan. Dalam rangka penyempurnaan tesis ini penulis mengharapkan
masukan dan kritik yang membangun dan dapat dikembangkan dalam penelitian lebih
lanjut. Semoga Allah SWT memberikan Rahmad dan Hidayah kepada kita semua
Amiin…
Medan , Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Yon Hendrik
2. Tempat/Tanggal Lahir : Bangka, 19 Oktober 1973
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Kawin
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
7. Alamat : Jl. Pahlawan No. 50 Sibura-bura Sidikalang Dairi
8. PENDIDIKAN
a. SD : SDN 01 Desa Sungai Liku Kecamatan Ranah Pesisir
Kab Pesisir Selatan Sumatera Barat (1980-1986)
b. SMP : SMPN 01 Balai Selasa Kec Ranah Pesisir Kab.
Pesisir Selatan Prop Sumatera Barat. (1986-1989)
c. SMA : SMAN 01 Balai Selasa Kec Ranah Pesisir Kab.
Pesisir Selatan Prop Sumatera Barat. (1989-1992).
d. Strata. 1 : Sekolah Tinggi Dalam Negeri (STPDN) 1993-1997.
e. Strata. 2 : Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan
( 2007-2009)
Medan, Agustus 2009
DAFTAR ISI
2.1 Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintah ... 11
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1.1. Target / Realisasi Penerimaan dan Belanja Kabupaten Dairi ... 7
1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Kabupaten Dairi Periode Tahun 2001 – 2007 ... 8
2.1. Formulasi Untuk Menghitung Besarnya DAU ... 33
4.1. Produk Domestik Regional Brutto atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Dairi Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2007 (jutaan rupiah)... 53
4.2. Pendapatan Pajak Daerah (PPD) Kabupaten Dairi ... 54
4.3. Pendapatan Retribusi Daerah (PRD) Kabupaten Dairi ... 55
4.4. Pendapatan Lain-lain yang sah (LLs) Kabupaten Dairi ... 55
4.5. Pendapatan Bagi Hasil Pajak (BHD) Kabupaten Dairi ... 56
4.6. Pendapatan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP) Kabupaten Dairi ... 57
4.7. Pendapatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Dairi ... 57
4.8. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB di Kabupaten Dairi ... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul Halaman
1. Tabulasi Data ... 70
2. Hasil Regresi ... 71
3. Uji Normalitas Data ... 72
4. Uji Serial Korelasi... 73
5. Uji Heterokedastisitas ... 74
6. Uji Stabilitas Data (Linieritas Data)... 75
7. Uji Multikolinearitas ... 76
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui berapa besar pengaruh masing-masing komponen Kapasitas Fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi periode 2001-2008.
Pengumpulan data diperoleh dari data skunder yaitu data yag diperoleh dari instansi atau lembaga seperti BPS dan Badan Pengelola Keuangan Kabupaten Dairi serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dairi, data yang dianalisa alah data dari tahun 2001 s/d 2007. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Hasil estimasi menunjukan bahwa Hasil estimasi menunjukan bahwa nilai (R2) sebesar 0,954 menunjukkan bahwa variabel independen yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu menjelaskan variasi perkembangan PDRB sebesar 95,4%, sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi.Berdasarkan uji t-statistik (hitung) diketahui bahwa ada 3 variabel yang mempengaruhi secara signifikan terhadap PDRB di Kabupaten Dairi, ketiga variabel tersebut yaitu PDRBt-1 prob sebesar 0,0001 < 0,05, kemudian Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak pada prob 0,042 < o,o5, dan PAD sebesar 0,074 < 0,10. Sedangkan variabel Dana Alokasi Umum (DAU) tidak signifikan mempengaruhi PDRB di kabupaten Dairi.Berdasarkan Uji Asumsi Klasik bahwa model terlepas dari masalah linieritas, multikolinearitas dan autokorelasi.Berdasarkan nilai F-statistik (hitung) sebesar 119,20 yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% (α = 5%) bila dibandingkan dengan angka F tabel = 3,94, ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama (serempak) yaitu variabel Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu mempengaruhi secara signifikan variabel PDRB di Kabupaten Dairi..
ABSTRACT
The purpose of this econometric study with Ordinary Least Square (OLS) is to analyze and find out, to what extent, the influence of each fiscal capacity component on the economic growth (PDRB) of Dairi District from 2001 – 2007.
The data used for this study were the secondary data within the period of 2001 to 2007 obtained from the institutions such as BPS ( Bureau of Statistics) and Badan Pengelola Keuangan kabupaten Dairi (Dairi District Financial Management Board), and Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dairi (Dairi District/Regional Planning and Development Board).
The result of the estimation shows that the value of R2 (0.954) reveals that the independent variable such as Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Tax and Non-Tax Revenue Sharing), Dana Alokasi Umum (General Allocation Fund), Pendapatan Asli Daerah (Local Original Revenue), and PDRBt-1 can explain the development variation of economic growth (PDRB) for 95.4%, while the other 4.6 % are explained by the other variables which are not included in the estimation model. The result of the partial statistic t-test (count)(Partial Test) shows that the variable of Tax and Non-Tax Revenue Sharing has a significant influence on the economic growth (PDRB) in Dairi District at α = 5%, while the variables of General Allocation Fund, Local Original Revenue, and PDRBt-1 significantly influence or are not able to influence the economic growth in Dairi District. The result of Classic Assumption Test shows that the model is free or apart from the problems of multicolinearity and autocorelation. Based on the value of statistic-F (count) for 119,20 which is significant at the level of confidence of 95% (α = 5%) if compared to the value of F table = 3.94, it shows that simultaneously the variables of Tax and Non-Tax Revenue Sharing, General Allocation Fund, Local Original Revenue, and PDRBt-1 can significantly influence the variable of economic growth (PDRB) in Dairi District.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah (revisi dari UU no 22/1999 dan UU no 25/1999), yang diharapkan menjadi
momentum bagi masyarakat dan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi, dimana pola sentralisasi pada
semua aspek membawa dampak tidak tepatnya pelaksanaan pembangunan dengan
sasaran yaitu kesejahteraan masyarakat, karena memang rentangnya yang terlalu
panjang.
Semangat kemandirian yang dikandung oleh kedua UU tersebut, memberikan
penyelesaian atas berbagai masalah yang ada. Namun dalam pelaksanaannya akan
sangat bergantung kepada adanya kesepahaman berbagai pihak atas pelaksanaan
kedua UU tersebut. Oleh karena itu peran Pemerintah Pusat di satu sisi ma-sih sangat
menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, se-lain prakarsa kreatif
dari daerah pada sisi lainnya.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut , maka dana
perimbangan dialokasikan sebagian besar dalam bentuk dana block grant yaitu
untuk penggunaannya. Hal ini memberikan implikasi penting kepada daerah yaitu
memperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan pembangunan di daerah.
Namun disisi lain keberhasilan serta kegagalan pengalokasiannya sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam
mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Mardiasmo (2005) menyatakan
bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi
dituntut untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan
potensi yang selama ini (sebelum otonomi) dapat dikatakan terpasung. Adanya
kewenangan yang dimiliki ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan
kemandirian daerah (Sidik, 2002). Daerah diharapkan mengalami percepatan
pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat).
Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat
nyata, yaitu : pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil
pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan
potensi yang tersedia di daerah masing-masing. Kedua, memperbaiki alokasi sumber
daya produksi melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat
pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi paling lengkap
(Mardiasmo 2002:6).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah
Pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah
satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai
kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar,
sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU
dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat
mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal
yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan
mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu
mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang
berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau
retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya
kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk
memberikan DAU bisa lebih dikurangi.
Hal ini kemudian disikapi pemerintah dengan penerapan otonomi daerah lebih
luas, nyata dan bertanggungjawab yang bertujuan untuk meningkatan pelayanan
publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo 2002). Sehingga dapat
memacu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah yang pada akhirnya
memperkuat perekonomian nasional. Penerapan otonomi daerah. Sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
mensyaratkan adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup
pembagian keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antardaerah secara
proporsional, adil, demokratis dan transparan.
Alokasi dana dari pusat ke daerah secara garis besar ditentukan oleh dua
faktor, yaitu kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need).
Penerimaan daerah adalah salah satu faktor pendukung dalam melaksanakan
kewenangan-kewenangan yang menjadi tanggungjawab dan urusan pemerintah
kabupaten/kota.
Dalam hal pembangunan perekonomian daerah, peranan pemerintah dapat
dikaji dari sisi anggarannya (APBD). Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah
(APBD) merupakan instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah untuk
menentukan arah dan tujuan pembangunan. Instrumen ini diharapkan berfungsi
sebagai salah satu komponen pemicu tumbuhnya perekonomian suatu daerah.
Pemahaman tentang betapa pentingnya peranan anggaran sebagai salah satu
instrumen kebijakan yang berfungsi memacu perekonomian suatu daerah harus
berhadapan dengan kondisi di lapangan yang tidak dapat menjamin berjalannya
fungsi tersebut dengan baik.
Secara rinci komponen-komponen dalam APBD tersebut, dapat dicermati
sebagai berikut: Pertama, pendapatan daerah (bukan penerimaan daerah),
dikelompokkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana Perimbangan dan
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. PAD yaitu pendapatan yang diperolah daerah yang
terdiri atas komponen-komponen pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD
serta lain-lain PAD. Pada komponen-komponen PAD inilah daerah otonom memiliki
kewenangan yang luas untuk mengkreasikan penerimaannya, baik secara
ekstensifikasi maupun secara intensifikasi sumber-sumber penerimaan. Sedangkan
dana perimbangan terdiri atas: bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana
alokasi khusus (DAK). Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan
(PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari
Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil
Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity
bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur
kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan
daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah
pusat.
DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam
APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik
secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan
kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan khususnya.
Lain-lain pendapatan yang sah, dapat berupa dana kontinjensi atau dana
daerah yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa
giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan
atau pengadaan barang dan jasa oleh Daerah.. Belanja daerah yang terdiri atas 4
(empat) komponen yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja
bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tak terduga. Belanja aparatur daerah
secara operasional dapat dipahami sebagai belanja yang dialokasikan dan digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat luas. Sedangkan belanja pelayanan public, yakni belanja
yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan
dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Target / Realisasi
Penerimaan dan belanja Kabupaten Dairi dapat dilihat dalam tabel 1.1. sebagai
Tabel 1.1. Target / Realisasi Penerimaan dan Belanja Kabupaten Dairi
TA URAIAN TARGET REALISASI
Anggaran Pendapatan 155.017.112.423 139.597.863.805 2001
Anggaran Belanja 144.221.444.000 140.357.684.827 Anggaran Pendapatan 173.335.124.225 165.924.058.218 2002 Anggaran Belanja 146.212.351.433 137.834.275.854
Anggaran Pendapatan 200.228.023.000 190.138.761.286. 2003
Anggaran Belanja 152.331.222.350,- 148.470.361.291 Anggaran Pendapatan 159.030.187.000 162.813.774.769,34 Anggaran Belanja 177.613.986.575 172.376.819.068 Anggaran Penerimaan
Anggaran Pendapatan 181.488.248.000 182.682.556.892,7 Anggaran Belanja 204.246.333.000 197.728.269.973,36 Anggaran Penerimaan
Anggaran Pendapatan 345.175.840.000 343.689.372.086,97 Anggaran Belanja 357.238.280.000 327.994.400.048,74 Anggaran Penerimaan
Anggaran Pendapatan 390.630.510.000 399.191.003.523,05 Anggaran Belanja 420.352.682.500 370.418.427.774,12 Anggaran Penerimaan
Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Dairi
Sedangkan penerimaan Pemerintah Kabupaten Dairi, baik yang bersumber
dari Pendapatan Asli Daerah maupun tranver dari pemerintah pusat dapat dilihat
Tabel. 1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Kabupaten Dairi Periode Tahun 2001-2007
No Tahun PAD Dana Perimbangan
1 2001 3.356.788.051 139.597.863.805
2 2002 3.920.291.480 165.924.058.218
3 2003 4.140.808.868 181.448.030.714
4 2004 4.723.253.513 158.090.521.255
5 2005 5.678.963.000.- 163.851.181.334,-
6 2006 8.481.049.000,- 343.689.372.086,-
7 2007 8.788.285.788,- 375.847.564.623,-
Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kab. Dairi.
Kebutuhan fiskal yang dimiliki oleh daerah juga berhubungan dengan
pembangunan sosial di masing-masing daerah. Pembangunan sosial merupakan aspek
yang penting setidaknya karena tiga alasan. Pertama, aspek sosial adalah ukuran yang
jelas sebagai hasil pembangunan ekonomi. Peningkatan dalam indikator-indikator
ekonomi tidak banyak artinya jika tidak ada peningkatan indikator-indikator sosial.
Kedua, ada keterkaitan (nexus) antara dua rangkaian ini. Pendapatan yang tinggi
menghasilkan kapasitas untuk tingkat kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya standar
kesejahteraan yang lebih besar akan menghasilkan produktivitas dan efisien yang
lebih tinggi. Ketiga, kemajuan sosial berperan dalam kohesi dan kerukunan
masyarakat.
Beranjak dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang Pengaruh kapasitas fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Berapa besar pengaruh
kapsitas fiskal yang terdiri dari:
1) Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi?
2) Bagaimana pengaruh Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi?
3) Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi?
4) Bagaimana pengaruh PDRBt-1 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
(PDRB) Kabupaten Dairi?
1.3 Tujuan penelitian
Dari masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini secara khusus adalah untuk :
1) Menganalisis pengaruh Dana Lokasi Umum Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi
2) Menganalisis pengaruh Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi.
3) Menganalisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Pertumbuhan
4) Menganalisis pengaruh PDRBt-1 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
(PDRB) Kabupaten Dairi.
1.4 Manfaat penelitian
1) Sebagai masukkan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi, terutama
para pengambil keputusan maupun pelaksana pembangunan daerah untuk
penyusunan dan merumuskan perencanaan pembangunan daerah tahap
berikutnya.
2) Memperkaya kajian dan bahan referensi bagi penulis selanjutnya yang
berminat mengkaji pertumbuhan ekonomi regional.
3) Bagi penulis dalam memperluas pengetahuan dan wawasan tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pokok-pokok
Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah bagian dari
penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia,yang dirumuskan sebagai
otonomi yang nyata dan bertang jawab,dimana dalam penyelenggaraannya banyak
dilimpahkan kepada daerah dan dilaksanakan secara bertahap.
Meningkatnya kewenangan Pemerintah Pusat yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah, menyebabkan peranan keuangan daerah sangat penting. Oleh
karena itu daerah dituntut untuk lebih aktif dalam memobilisasikan sumber dayanya
sendiri disamping mengelola dana yang diterima dari Pemerintah Pusat secara efisien.
Kemandirian daerah inilah yang tidak dapat ditafsirkan bahwa Pemerintah Daerah
harus dapat membiayai seluruh kebutuhannya dari Pendapata Asli Daerah. Namun
harus pula disertai dengan kemampuan dalam memantapkan manajemen keuangan
daerah melalui efisiensi pembiayaan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, bahwa penyelenggaraan Pemerintah Daerah harus dilaksanakan berdasarkan
1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi
perjuangan rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi
tingkat kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya.
2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
3. Azas Desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan Azas Dekonsentrasi,
dengan memberikan kemungkinan bagi pelaksanaan azas tugas pembantuan
(medebewid).
4. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan
tujuan di samping aspek pendemokrasian.
5. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam
pelaksanaan pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta
untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
2.2 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia,
sudah diatur dalam UU RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di
daerah. Dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama
pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan
horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya
1997). Praktek internasional desentralisasi fiskal baru dijalankan pada 1 Januari 2001
berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No. 33
tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “Money
Follows Functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan
dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada
daerah.
Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2000 sumber-sumber penerimaan
daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana
Perimbangan keuangan Pusat-Daerah (PKPD) merupakan mekanisme transfer
pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam
(DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman
daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan.
Besarnya PAD dan pembiayaan daerah dapat diklasifikasikan sebagai dana non
PKPD, karena berasal dari pengelolaan fiskal daerah. Khusus pinjaman daerah
pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi utang negara, sehingga belum
mengijinkan penerbitan utang daerah.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan
menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Selama tahun
semakin menurun. Menurunnya peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan
pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan
mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan (Mahi, 2005).
Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah untuk
pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer) (Ehtisham,
2002). Secara umum dana PKPD terdiri dari bantuan umum (block grant) dan
bantuan khusus (spesific grant) (Davey, 1998). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH
SDA (block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada awal
penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin
terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat
menjadi pegawai pemda (Isdijoso, dan Wibowo, 2002). Sedangkan penggunaan DAK
(spesific grants) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah
penerima harus menyediakan 10% dana pendamping.
Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk
memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah
(horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat
daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini karena
selama pemerintahan orde baru hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah
pusat (Devas, 1989). Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah. Walaupun
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak
dan Irian Jaya akan mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar jika
dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada sisi yang lain
Jakarta dan kota besar lainnya akan memperoleh dana bagi hasil pajak (PBB,
BPHTB, dan PPh) yang cukup besar, sebagai konsekuensi terkonsentrasinya pusat
bisnis di kota metropolitan. Phenomena seperti ini akan berdampak terhadap
meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui kebijakan
ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan ketimpangan
pendapatan antardaerah dan wilayah.
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di
samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional
spillovers, dan meningkatkan penyediaan barang publik di daerah (Mahi, 2002 (c)).
Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat
penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai
dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam
jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan
bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk
melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan
daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2000).
Meningkatnya penerimaan daerah melalui pemberian dana PKPD dan
pengumpulan dana non PKPD pada satu sisi akan meningkatkan pertumbuhan
Peningkatan penerimaan daerah akan memberikan keleluasaan untuk mendesain
kebijakan yang dapat memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Alokasi
anggaran daerah untuk investasi akan meningkatkan kapital stok daerah dan
memperluas kesempatan kerja, sehingga akan meningkatkan kapasitas ekonomi
daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap konsumsi dan tabungan (investasi)
masyarakat sehingga akan memperbesar basis pajak daerah. Dampak selanjutnya
yaitu terjadi peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan
daerah akan meningkat. Pada sisi yang lain kondisi endowment factors setiap daerah
yang berbeda berdampak terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah, dan
berpotensi memperparah ketimpangan antardaerah dan wilayah. Terjadinya migrasi
tenaga kerja dan pergerakan modal ke daerah core, serta tidak berjalannya
mekanisme trickle down effect akan berdampak meningkatkan ketimpangan
antardaerah (Myrdal, 1957, dan Hirchman, 1958). Hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan, investasi, konsumsi, dan mekanisme transfer
dana PKPD dan non PKPD terjadi dalam hubungan simultan (Dartanto, dan
Brodjonegoro, 2005). Permasalahan ini merupakan topik utama yang akan di bahas
dalam penelitian ini.
Desentralisasi fiskal terdiri dari kata desentralisasi dan fiskal. Pengertian
desentralisasi menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
Desentralisasi fiskal menurut Linvack dan Seddon dalam Prawirosetoto
(2002) adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan
kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek
penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment).
Selanjutnya menurut Bastian (2001) menyatakan kebijakan fiskal adalah kebijakan
yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka untuk membelanjakan uangnya guna
mencapai tujuan negara dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam
mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan pemerintah.
Sidik (2002) mengemukakan desentralisasi fiskal merupakan salah satu
komponen utama dari desentralisasi. Pemerintah daerah melaksanakan fungsinya
secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan
pelayanan di sektor publik, maka daerah harus didukung sumber-sumber keuangan
yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk
sucharge of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun
subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.
2.3 Kapasitas Fiskal
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah pasal 28 ayat 4 menyebutkan kapasitas fiskal daerah
merupakan pendanaan yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil..
Menurut Sidik ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan
berbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan
kewenangan penggunaannya; kedua, menyajikan suatu bagian yang memadai dari
sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan
fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan
pemerintah daerah; ketiga, sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah secara
adil di antara daerah-daerah, atau sekurang-kurangnya memberikan prioritas pada
pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat, pajak dan retribusi
yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas
beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat
Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah adalah ; pendapatan asli daerah, dana perimbangan,
pembiayaan, dan lain-lain pendapatan.
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan. Desentralisasi fiskal
merupakan konsekuensi logis dari diterapkan kebijakan otonomi daerah. Prinsip dasar
yang harus diperhatikan adalah money follow functions, artinya penyerahan atau
pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan
untuk 4 melaksanakan kewenangan tersebut. Perimbangan keuangan dilakukan
melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan
desentralisasi. Masalah keseimbangan anggaran menjadi masalah serius karena
banyak pemerintah pusat tidak mengijinkan pemerintah daerah untuk melakukan
utang kepada publik.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan
expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment
menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran local public goods
meningkat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui dua tahap: Pertama; Menentukan
secara umum batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua; Membagi secara
tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara spesifik untuk urusan
yang bersifat “grey area”. Pendekatan ini mensyaratkan penentuan Standar Pelayanan
Minimum (SPM) setiap urusan yang dilimpahkan ke pemerintah daerah sudah
terindentifikasi, sehingga besarnya standar pengeluaran minimum (Standard
Spending Assesement = SSA) untuk setiap penyediaan barang publik yang
didaerahkan dapat diketahui.
Ciri utama pendekatan revenue assigment yaitu memberikan peningkatan
kemampuan keuangan, melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam
rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan (Mahi, 2002 (c); Lewis, 2001 dan
2003, LPEM FE-UI, 2001). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat
dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment. Lima prinsip utama dalam
menjalankan tax assigment dapat diuraikan sebagai berikut: Satu; Progressive
pendapatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat Dua: Taxes suitable for
economic stabilization should be centralized, pajak untuk kepentingan stabilisasi
perekonomian sebaiknya dipungut oleh pemerintah pusat. Tiga; Unequal tax bases
among jurisdictions should be centralized. Misalnya pembebanan pajak terhadap
deposit sumber daya alam menjadi tanggungjawab pemerintah pusat untuk
menghindari geographical inequities dan menjaga allocative distortions.
Empat;Taxes on mobile factors of production should be centralized. Objek pajak
yang relatif tidak bergerak akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Artinya
bahwa pemerintah pada level yang lebih rendah akan menghindari objek pajak yang
mudah berpindah, karena pajak tersebut dapat mendistrosi aktivitas perekonomian.
Lima; Residence-based taxes, such as excise, should be levied by local authorities.
Hal ini dimungkinkan karena tidak ada potensi perpindahan antar daerah (Musgrave,
Mahi, 2005).
2.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu pendapatan yang menunjukan
kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumbersumber dana untuk membiayai
pengeluaran rutin. Jadi dapat dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah sebagai
pendapatan rutin dari usahausaha Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan
potensi-potensi sumber keuangan daerahnya sehingga dapat mendukung pembiayaan
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos
Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos
Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan
Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam. (Bastian, 2002)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Menurut Elita Dewi, dalam jurnalnya yang
membahas tentang identifikasi sumber pendapatan daerah, dijelaskan bahwa
identifikasi adalah pengenalan atau pembuktian sama, jadi identifikasi sumber
pendapatan asli daerah adalah : meneliti, menentukan dan menetapkan mana
sesungguhnya yang menjadi sumber pendapatan asli daerah 14 dengan cara meneliti
dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar
sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Pemerintah Daerah supaya dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan
sebaik-baiknya, maka perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup.
Tetapi mengingat bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada
daerah maka daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuanganya
sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari
sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan daerah.
Berdasarkan UU nomor 22 tahun 1999 pasal 79 disebutkan bahwa pendapatan asli
daerah terdiri dari :
b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan milik daerah yang
dipisahkan.
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
a. Pajak Daerah
Menurut Kaho pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat
kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan
untuk Public Investment.
Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapakan
sebagai badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan
kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada pada daerah.
b. Retribusi Daerah
Rochmat Sumitra mengatakan bahwa retribusi adalah pembayaran kepada
negara yang dilakukan kepada mereka yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya
retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakain jasa atau kerena 15 mendapat
pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan
oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu setiap
pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan
jasa yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi daerah terletak
pada yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Jadi retribusi sangat berhubungan erat
Disamping itu menurut Kaho, ada beberapa ciri-ciri retribusi yaitu :
1. Retibusi dipungut oleh negara
2. Dalam pungutan terdapat pemaksaan secara ekonomis
3. Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk
4. Retribusi yang dikenakan kepada setiap orang / badan yang menggunakan /
mengenyam jasa-jasa yang disediakan oleh negara.
Dari uraian diatas dapat kita lihat pengelompokan retribusi yang meliputi :
1. Retribusi jasa umum, yaitu : retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan.
2. Retribusi jasa usaha, yaitu : retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh
sektor swasta.
c. Perusahaan Daerah
Dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan
berbagai cara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 16
yang berlaku. Salah satu sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan
perlu mendapat perhatian khusus adalah perusahaan daerah.
1. Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat :
a. Memberi jasa
b. Menyelenggarakan pemanfaatan umum
2. Tujuan perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan
daerah khususnya dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan
menggutamakan industrialisasi dan ketentraman serta ketenangan kerja
menuju masyarakat yang adil dan makmur.
3. Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan
rumah tangganya menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok
pemerintahan daerah.
4. Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup
orang banyak di daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
d. Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula
sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, menurut
Devas bahwa : kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II
mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan
bahan jasa. Penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta 17
penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber penerimaan
daerah sangt bergantung pada potensi daerah itu sendiri.
2.5 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Batasan mengenai definisi pajak dikemukakan oleh : (Munawir,2000), pajak
dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik (tagen presties) yang langsung
dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke
uitgiven). Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa dalam mencapai kesejahteraan umum.
Pajak adalah kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada Negara
disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari Negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. Dari beberapa definisi tentang
pajak tersebut,dapat disimpulkan pajak adalah merupakan iuran atau kewajiban yang
ditarik pemerintah yang dapat dipaksakan dimana tidak ada timbale jasa secara
langsung kepada pembayarnya untuk memelihara kesejahteraan umum.
Unsur adalah sesuatu yang harus ada supaya sesuatu itu ada. Ciri adalah apa
yang tampak dari luar kepada kita melalui panca indera.maka dapat disebutkan
unsur-unsur dan ciri-ciri pajak adalah (Rochmat Soemitro, 2000)
Unsur-unsur pajak adalah :
1. Adanya penguasaan pemungut pajak
2. Adanya subjek pajak
3. Adanya objek pajak
4. Adanya masyarakat atau kepentingan umum
6. Adanya Undang-Undang pajak yang mendasari
Ciri-ciri pajak adalah :
1. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari perseorangan atau badan ke dalam
kas negara.
2. Tanpa imbalan langsung yang dapat ditujukan dalam pembayaran pajak secara
individu
3. Dapat dipaksakan
4. Pemungutannya berulang-ulang atau sekaligus
5. Digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah baik pengeluaran rutin
maupun pengeluaran pembangunan
6. Pemungutannya dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
7. Dapat digunakan sebagai alat pendorong atau penghambat
8. Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu diluar bidang keuangan, termasuk
kebijakan yang lazimnya disebut kebijakan fiscal
9. Untuk dimasukan ke dalam kas Negara
Dalam hukum pajak terdapat pembagian jenis-jenis pajak yang dibagi dalam
berbagai kelompok pajak. Cara pengelompokan pajak didasarkan atas sifat-sifat
tertentu yang terdapat dalam masingmasing pajak atau didasarkan pada ciri-ciri
tertentu pada setiap pajak. Sifat atau ciri-ciri tertentu yang bersamaan dari setiap
pajak dimasukan dalam suatu kelompok sehingga terjadilah pengelompokan atau
1. Pengelompokan pajak menurut golongannya
a. Pajak Langsung. Yaitu pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain, atau
menurut pengertian administrasif pajak yang dikenaan secara periodik/
berkala dengan menggunakan kohir. Kohir adalah surat ketetapan pajak
dimana wajib pajak tercatat sebagai pembayar pajak dengan jumlah pajaknya
yang terhutang, yang merupakan dasar dari penagihan. Misalnya : pajak
penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung. Yaitu pajak yang oleh si penanggung dapat
dilimpahkan kepada orang lain, atau menurut pengertian administratif pajak
yang dapat dipungut tidak dengan kohir dan pengenaanya tidak secara
langsung periodik tergantung ada tidaknya peristiwa atau hal yang
menyebabkan dikenakannya pajak, misalnya : pajak penjualan, pajak
pertambahan nilai barang dan jasa.
2. Pengelompokan pajak menurut sifat-sifatnya
a. Pajak Subjektif. Adalah wajib pajak yang memperhatikan pribadi wajib pajak,
pemungutannya berpengaruh pada subjeknya, keadaan pribadi wajib pajak
dapat mempengaruhi besar kecilnya pajak yang harus dibayar.
b. Pajak Objektif. Adalah pajak yang tidak memperhatikan wajib pajak, tidak
memandang siapa pemilik atau keadaan wajib pajak, yang dikenaan atas
3. Pengelompokan pajak menurut wewenang pemungutannya
a. Pajak Pusat. Adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang
penyelenggaraannya di daerah dilakukan oleh inspeksi pajak setempat dan
hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya Yang
termasuk dalam pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat adalah:
1) Pajak yang dikelola oleh inspektorat jendral pajak, misalnya: Pajak
Penghasilan, pajak kekayaan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak
penjualan barang mewah, bea materai, IPEDA, bea lelang.
2) Pajak yang dikelola direktorat moneter, misalnya : pajak minyak bumi.
3) Pajak yang dikelola direktorat jendral bea cukai, misalnya : bea masuk, pajak
eksport.
4) Pajak Daerah. Adalah pajak yang dipungut oleh Daerah beradasarkan
peraturanperaturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan
pembiayaan rumah tangga di daerahnya, misalnya : pajak radio,pajak
tontonan.Fungsi pajak pada umumnya dibagi menjadi 2 yaitu : (Munawir,
2000) a. Fungsi Budgeter (penerimaan negara) Fungsi Budgeter dari pajak
berarti bahwa pungutan pajak oleh Negara dilakukan untuk menutup
pembiayaan penyelenggaraan pemerintah baik rutin maupun pembangunan.
Sesuai dengan anggaran pengeluaran rutin dan pembangunan setiap tahun,
maka biaya tersebut sedapat mungkin bisa ditutup dengan penerimaan pajak
yang dikumpulkan dari masyarakat berdasarkan peraturan perundangundang
b. Fungsi Regulereend (pengatur). Menurut fungsi ini pajak digunakan sebagai alat
pengatur kebijakan ekonomidan sosial misalnya tingginya tingkat inflasi akan
dapat ditekan Pemerintah dengan menaikan pajak penghasilan.
Dalam pengenaan pajak Adam Smith telah mengajukan beberapa prinsip,
yang dikenal dengan Smith Canon’s yaitu : (Suparmoko, 2000).
a. Prinsip kesamaan /keadilan (Equity). Artinya pajak harus disesuaikan dengan
kemampuan relatif dari setiap wajib pajak. Perbedaan dalam tingkat
penghasilan harus digunakan sebagai dasar distribusi pembenaan pajak,
sehingga bukan pajak dalam arti uang tetapi beban riil dalam arti kepuasan
yang hilang.
b. Prinsip kepastian (Certanty). Artinya pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti
bagi setiap wajib pajak sehingga mudah dimengerti dan memudahkan
administrasi sendiri.
c. Prinsip kecocokan (Convenience).Artinya pajak jangan sampai terlalu
menekan wajib pajak, sehingga wajib pajak akan dengan suka rela dan senang
hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
d. Prinsip ekonomi (Economy). Artinya pajak hendaknya menimbulkan kerugian
yang minimal dalam arti jangan sampai biaya pemungutannya lebih besar dari
pada jumlah penerimaan pajak.
Smith Canon’s ini masih dilengkapi oleh sarjana lain dengan prinsip satu lagi
yaitua prinsip ketepatan (adequase) artinya pajak hendaknya dipungut tepat pada
Agar pemungutan pajak negara maupun pajak daerah tidak menimbulkan
hambatan atau perlawanan maka pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut : (Munawir, 2000)
a. Syarat keadilan. Adil yang dimaksud adalah adil yang bersifat
horizontal dan adil yang bersifat vertikal. Adil yang bersifat horisontal
adalah orang atau wajib pajak yang kondisinya sama haruslah
memikul beban pajak yang sama pula. Sedangkan adil yang bersifat
vertikal adalah orang atau wajib pajak yang kondisinya berbeda
haruslah memikul beban pajak yang berbeda pula.
b. Syarat yuridis (berdasarkan Undang-Undang). Pengungutan pajak
haruslah mengacu pada hukum pajak yang berlaku sehingga dapat
memberikan jaminan atau kepastian hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara atau untuk warga
negaranya. Seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang
menyatakan bahwa : “ pengenaan pajak dan pemungutan pajak
(termasuk bea dan cukai ) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi
berdasarkan Undang-Undang “.
c. Syarat ekonomi. Pemungutan pajak dan kebijakasanaan pajak
diusahakan jangan sampai mengganggu keseimbangan perekonomian.
Bahkan sebaliknya dengan adanya pajak maka perekoomian harus
menjadi lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari fungsi pajak sebagai
d. Syarat finansial. Pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk
menutup sebagian dari pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan
fungsinya yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgetair).
Oleh karena itu untuk melaksanakan pemungutan pajak hendaknya
tidak memakan biaya pemungutan yang besar.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Untuk mencapai efisiensi
pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak dalam
menghitung dan memperhitungkan pajaknya maka harus diterapkan
sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan
sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang
sulit.
2.6 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah
sebagai berikut:
a. Dana Alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari
penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. Dana Alokasi umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah
kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi
c. Dana Alokasi umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu
ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk
daerah/kabupaten yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan.
d. Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan
proporsi bobot daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. (Prakosa, 2004)
Sejak akhir dekade 1950-an, dalam literature ekonomi dan keuangan daerah,
hubungan pendapatan dan belanja daerah didiskusikan secara luas, serta berbagai
hipotesis tentang hubungan ini diuji secara empiris. Seperti yang dinyatakan oleh
Holtz-Eakin et al (1985), yang dikutip oleh Maemunah (2006), 18 bahwa terdapat
keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja pemerintah daerah.
Analisisnya menggunakan model maximizing under uncertainty of intertemporal
utility function dengan menggunakan data runtun waktu selam tahun 1934-1991
untuk mengetahui seberapa jauh pengeluaran daerah dapat dirasionalkan melalui
suatu model.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimulai sejak 1
Januari 2001, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata,
dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Daerah
pajak, baga hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD
sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek
pembangunan menjadi sangat berkurang.
Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak, juga menyebabkan
Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan
daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari
dana perimbangan, terutama dana alokasi umum. Alternatif jangka pendek
peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari PAD. 19 Pungutan
pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat meningkatkan
PAD, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang
pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya PAD. (Brahmantio, 2002). Berikut
adalah formulasi yang digunakan untuk menghitung besarnya DAU suatu daerah:
Tabel 2.1. Formulasi Untuk Menghitung Besarnya DAU
Besarnya DAU DAU Untuk Propinsi DAU Untuk Kabupaten/Kota
DAU Suatu Kabupaten =
Sumber: UU No. 25 Tahun 1999
Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan
Pemda, Pempus akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi
Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Disamping dana 20 perimbangan
tersebut, pemda mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli
Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua
dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari
Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemda untuk
meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana
tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.
Namun, pada praktiknya, transfer dari Pempus merupakan sumber pendanaan
utama Pemda untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh Pemda
“dilaporkan” di perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi
(kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan
menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri. Hal ini
2.7 Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam
jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang
ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau
dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi,
institusional (kelembagaan), dan idiologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang
ada (Smith dan Todaro, 2004).
Menurut pandangan ekonomi klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas
Robert Malthus dan John Struart Mill, maupun ekonom neoklasik, Robert Solow dan
Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) Jumlah stok
barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi. Suatu
perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat
kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
Artinya perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan
dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya
Smith dan Todaro (2004) mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen
utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah;
pertama akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, perlatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. Kedua,
pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah angkatan
pertumbuhan ekonomi yang paling penting. Ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi
yaitu; kemajuan teknologi yang bersifat netral, kemajuan teknologi yang hemat
tenaga kerja, dan kemajuan teknologi yang hemat modal. Peranan investasi terhadap
pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori
pertumbuhan(Todaro dan Smith 2004,), antara lain :
Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori ini menyatakan bahwa agar bisa
tumbuh dengan cepat, maka setiap perekonomian harus menginvestasikan sebanyak
mungkin bagian dari pendapatan nasionalnya., dengan model persamaan sebagai
berikut :
1. Tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau s, dari pendapatan
nasional (Y). Oleh karena itu, dapat ditulis dalam bentuk persamaan sederhana:
sY
S = (2.1)
2. Investasi neto (I) didefenisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat
diwakili oleh ΔK, sehingga persamaan tersebut ditulis sebagai berikut:
K
I =Δ (2.2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal, K mempunyai hubungan langsung dengan
jumlah pendapatan nasional atau output, Y, seperti yang ditunjukkan oleh rasio
3. Mengingat tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto(I), maka
persamaan berikutnya dapat ditulus sebagai berikut:
I
Teori pertumbuhan Neo-Klasik Solow, model pertumbuhan Neo-Klasik
Solow (Solow neoclassical growth model) merupakan pilar yang sangat mewarnai
teori pertumbuhan Neo-Klasik. Model ini menyatakan bahwa secara kondisional,
perekonomian berbagai negara akan bertemu (converge) pada tingkat pendapatan
yang sama., dengan syarat bahwa negara-negara tersebut mempunyai tingkat
tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja, dan pertumbuhan produktivitas
yang sama.
Konsep tersebut dituliskan oleh Solow, yang menjadi salah satu karya klasik
dalam literatur pertumbuhan ekonomi. Solow memasukkan faktor produksi modal
(capital) dan tenaga kerja (labour) sebagai sumber pertumbuhan. Model pertumbuhan
yang dikembangkan Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yakni:
Di mana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal
manusia dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan
secara eksogen.
Teori pertumbuhan endogen atau teori pertumbuhan baru (new growth theory,
teori ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan endogen,
yaitu pertumbuhan GNP yang persistem, yang ditentukan oleh sistem yang mengatur
proses produksi dan bukan oleh kekuatan-kekuatan di luar sistem. Teori pertumbuhan
endogen berupaya menjelaskan skala hasil yang semakin meningkat dan pola
pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara.
Aspek yang paling menarik dari model ini adalah, membantu menjelaskan
keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan negara maju
dangan negara berkembang dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer
dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan
pengembangan.
Untuk menggambarkan pendekatan pertumbuhan endogen, akan dibahas
model pertumbuhan endogen Romer, yang mengasumsikan bahwa proses
pertumbuhan berasal dari tingkat perusahaan atau industri: