• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian dampak kawasan konservasi laut daerah terhadap kondisi ekologi terumbu karang: studi kasus Pulau Natuna Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian dampak kawasan konservasi laut daerah terhadap kondisi ekologi terumbu karang: studi kasus Pulau Natuna Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DAMPAK KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

TERHADAP KONDISI EKOLOGI TERUMBU KARANG

(Studi Kasus Pulau Natuna, Kabupaten Natuna,

Provinsi Kepulauan Riau)

ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Dampak Kawasan Konservasi Laut Daerah Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang (Studi Kasus Pulau Natuna, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Ilham

(3)

iii

ABSTRACT

ILHAM. Assessing the Impact of Marine Conservation Area to the Condition of Coral Reef Ecology (Case Study Natuna Island, Natuna Regency, Kepulauan Riau Province). Under direction of M. MUKHLIS KAMAL, and SETYO BUDI SUSILO.

Through the activities of Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II (COREMAP II), some areas of Natuna Islands waters designated as the Marine Conservation Area (MCA). MCA in Natuna regency set through Natuna Regent Decree No. 299 of 2007, dated 5 September 2007. Research conducted in the village of Sabang Mawang and Teluk Buton, Natuna Regency. The aims of this study were to : (a) assess the impact of MCA to the percentage of live coral cover, diversity and evenness index of coral, diversity and evenness index of reef fish, and abundance of megabenthos, (b) assess the

social conditions of communities in relation to the existence of MCA, and (c) establish of management scenario. Coral data collected by using line

intercept transect (LIT) method, reef fish using underwater fish visual census (UVC) and benthos using Reef Check Benthos. While the social data collected by using the method of observation, structured interviews and Focus Group Discussion. The results showed an increasing percentage of live coral cover, coral diversity and reef fish, megabenthos abundance for Community based-Marine Protected Area Setanau in Sabang Mawang Village. Whereas the location of Teluk Buton Village only variable percentage of live coral cover increased. Social conditions affect the achievement of ecological objectives MCA establishment. The intensity of assistance and intervention projects have been successfully changed perceptions, participation and utilization patterns of coral reef resources in the village of Sabang Mawang. Conversely in the Teluk Buton Village has not seen any real change enough. Scenario (pathways method) developed successfully defined several important things to do for the development of MCA, especially related to the institutions of MCA, zoning and law enforcement.

Keywords: marine conservation areas, community based-marine protected areas, the condition of coral reef ecology, community participation, scenarios.

(4)

iv

RINGKASAN

ILHAM. Kajian Dampak Kawasan Konservasi Laut Daerah Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang (Studi Kasus Pulau Natuna Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL, dan SETYO BUDI SUSILO.

Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan, telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya (Manuputty et al. 2007). Melalui kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management (COREMAP II), sebagian kawasan perairan Kepulauan Natuna diperuntukkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD di Kabupaten Natuna ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Natuna Nomor : 299 Tahun 2007, tanggal 5 September 2007. KKLD ini secara keseluruhan memiliki luas 142 977 Hektar, yang terbagi dalam 3 kawasan yaitu : 1) kawasan I, meliputi kawasan Pulau Tiga - Sedanau dan laut di sekitarnya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan, seluas 54 572 Hektar; 2) kawasan II, meliputi kawasan Bunguran Utara dan laut di sekitarnya diprioritaskan untuk suaka perikanan, seluas 52 415 Hektar, dan 3) kawasan III, meliputi kawasan pesisir Timur Bunguran dan laut di sekitarnya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari, seluas 35 990 Hektar.

Kinerja keberhasilan KKLD dapat diukur dari 3 sudut pandang penting yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa variabel ekologi yang dapat diukur di antaranya ialah (a) kekayaan spesies dan indeks keanekaragaman, (b) kelimpahan invertebrata, (c) penutupan karang, (d) distribusi spasial spesies, (e) komposisi spesies dan kepadatan relatif. Variabel ekonomi yang dapat diukur di antaranya adalah (a) biaya pengelolaan, (b) jumlah kunjungan dan pengeluaran kasar secara langsung terkait dengan KKLD, (c) perubahan dalam upaya penangkapan ikan. Kemudian variabel sosial yang dapat diukur ialah (a) persepsi masyarakat, (b) frekuensi pertemuan antara masyarakat dan pengelola KKLD.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sabang Mawang dan Desa Teluk Buton, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, bertujuan untuk (a) mengkaji dampak KKLD terhadap kondisi ekologi terumbu karang berupa persentasi tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang, dan kelimpahan megabenthos, (b) mengkaji kondisi sosial masyarakat terkait keberadaan KKLD berupa persepsi masyarakat, keterlibatan masyarakat dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, dan (c) menyusun skenario pengelolaan KKLD. Pengambilan data karang menggunakan metode line intercept transect (LIT), ikan karang menggunakan metode underwater fish visual census (UVC) dan benthos menggunakan metode reef check benthos (RCB). Sedangkan pengumpulan data sosial menggunakan metode observasi, wawancara terstruktur dan focus group discussion (FGD).

(5)

v terhadap beberapa variabel ekologi yang diamati dibandingkan stasiun yang bukan lokasi DPLBM. Peningkatan ini terjadi pada persentasi tutupan karang hidup, keanekaragaman karang dan ikan karang, serta kelimpahan megabenthos. Sedangkan lokasi KKLD non DPLBM (Desa Teluk Buton) hanya variabel persentasi tutupan karang hidup yang meningkat, variabel lainnya menurun.

Kondisi sosial sangat mempengaruhi pencapaian tujuan ekologis pembentukan KKLD. Intensitas pendampingan serta intervensi proyek sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial telah berhasil merubah persepsi, partisipasi dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Desa Sabang Mawang. Sebaliknya di Desa Teluk Buton belum terlihat adanya perubahan yang cukup nyata. Skenario jalur yang dikembangkan berhasil menetapkan beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk pengembangan KKLD terutama terkait dengan lembaga pengelola KKLD, zonasi dan penegakan hukum.

Penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah secepatnya membentuk lembaga pengelola KKLD sebagai konsekuensi ditetapkannya PERDA Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Terumbu Karang. Selain itu pemerintah daerah perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam pengelolaan KKLD, misalnya dengan membentuk DPLBM yang lebih banyak di wilayah KKLD, karena terbukti telah memberikan dampak yang sangat nyata bagi kelestarian ekosistem terumbu karang dan kelimpahan ikan karang serta biota laut lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Kata kunci : kawasan konservasi laut daerah, daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, kondisi ekologi terumbu karang, partisipasi masyarakat, skenario.

(6)

vi © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vii

KAJIAN DAMPAK KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

TERHADAP KONDISI EKOLOGI TERUMBU KARANG

(Studi Kasus Pulau Natuna, Kabupaten Natuna, Provinsi

Kepulauan Riau)

ILHAM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tampo, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 14 Agustus 1975, sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Hayung dan Ibunda Kalma.

Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Haluoleo - Kendari, lulus tahun 1999. Pada tahun 2007 penulis memperoleh beasiswa dari Proyek Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) ADB untuk melanjutkan pendidikan Magister (S2) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Program yang diikuti ini sifatnya sandwich class, sehingga pada semester tiga penulis berkesempatan melanjutkan studi di luar negeri yaitu pada Coastal and Ocean Management Institute, Universitas Xiamen, Republik Rakyat China.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Permasalahan ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Kerangka Pendekatan Penelitian ...3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang ...6

2.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Daerah Perlindungan Laut ...9

2.3 Dampak KKLD dan Pengelolaan Perikanan ...19

2.4 Dimensi Sosial KKLD ...22

2.5 Skenario dan Pengelolaan Adaptif KKLD ...23

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...25

3.2 Metode Pengumpulan Data ...26

3.2.1 Data primer ...26

3.2.2 Data sekunder ...29

3.3 Metode Analisa Data ...30

3.3.1 Analisa data ekologi ...30

3.3.2 Analisa data sosial ...32

3.3.3 Penyusunan skenario pengelolaan KKLD ...32

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Natuna ...33

4.1.1 Penetapan kawasan konservasi laut daerah ...33

4.1.2 Kondisi perairan ...35

4.1.3 Kekayaan flora dan fauna ...36

4.1.4 Pengelolaan KKLD dan permasalahannya ...37

4.2 Desa Teluk Buton ...38

4.2.1 Karakteristik umum desa ...38

4.2.2 Kependudukan ...38

4.2.3 Potensi sumberdaya perikanan ...40

4.3 Desa Sabang Mawang ...41

4.3.1 Karakteristik umum desa ...41

4.3.2 Kependudukan ...42

4.3.3 Potensi sumberdaya perikanan ...44

4.4 Variabel Lingkungan Perairan ...47

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Ekologi Terumbu Karang Desa Teluk Buton ...49

(12)

5.1.2 Kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang ...52

5.1.3 Kelimpahan megabenthos ...56

5.2 Kondisi Ekologi Terumbu Karang Desa Sabang Mawang ...57

5.2.1 Persentasi Tutupan Karang Hidup ...57

5.2.2 Kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang ...59

5.2.3 Kelimpahan megabenthos ...62

5.3 Analisis Dampak KKLD terhadap Ekosistem Terumbu Karang ...63

5.4 Analisis Kondisi Sosial Masyarakat ...65

5.4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap KKLD ...65

5.4.2 Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan KKLD ...66

5.4.3 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang ...67

5.5 Skenario Pengelolaan KKLD ...68

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...71

6.2 Saran ...71

DAFTAR PUSTAKA ...73

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria kawasan konservasi laut dan kawasan MMA ...11

2 Matriks perbandingan kriteria penetapan kawasan konservasi ...12

3 Tahapan, kegiatan, hasil dan indikator pengembangan DPL ...18

4 Dampak terukur dari perikanan di kawasan konservasi laut ...21

5 Komposisi penduduk Desa Teluk Buton menurut usia dan jenis kelamin ...39

6 Jumlah penduduk Desa Teluk Buton menurut jenis mata pencaharian ...39

7 Jumlah penduduk Desa Teluk Buton menurut tingkat pendidikan ...40

8 Komposisi penduduk Desa Sabang Mawang menurut struktur umur ...42

9 Jenis mata pencaharian masyarakat Desa Sabang Mawang ...43

10 Jumlah penduduk Desa Sabang Mawang menurut tingkat pendidikan ...43

11 Kalender musim penangkapan ikan di Desa Sabang Mawang ...46

12 Variabel lingkungan perairan di masing - masing stasiun penelitian ...47

13 Perbandingan nilai variabel ekologi terumbu karang sebelum KKLD (tahun 2007) dan sesudah KKLD (tahun 2009) ...63

14 Perbandingan nilai variabel ekologi terumbu karang berdasarkan stasiun penelitian ...65

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kerangka pendekatan penelitian ...4

2 Diagram alir pelaksanaan penelitian ...5

3 Pengelompokan alat pencapaian tujuan dalam strategi MMA ...13

4 Jaringan daerah perlindungan laut (DPL) dalam satu unit pengelolaan KKLD di kabupaten/kota ...15

5 Kerangka pengelolaan MMA secara efektif ...16

6 Peta lokasi penelitian ...25

7 Visualisasi stasiun penelitian ...26

8 Sebaran kawasan konservasi laut Kabupaten Natuna...34

9 Persentasi tutupan karang dan kategori bentik lainnya di Desa Teluk Buton ...49

10 Persentasi tutupan karang hidup pada masing - masing waktu pengamatan (t0 dan t1) di perairan Desa Teluk Buton ...50

11 Karang hasil penambangan masyarakat ...51

12 Boxplot persentasi tutupan karang hidup tahun 2007 dan 2009 di perairan Desa Teluk Buton ...52

13 Komposisi dan distribusi suku ikan target dan ikan major di perairan Desa Teluk Buton ...53

14 Kelimpahan marga Chaetodon di perairan Desa Teluk Buton ...54

15 Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan ikan karang di perairan Desa Teluk Buton tahun 2007 dan 2009 ...55

16 Kelimpahan megabenthos tahun 2007 dan 2009 di perairan Desa Teluk Buton ...56

17 Persentasi tutupan karang dan kategori bentik lainnya di DPLDM Setanau Desa Sabang Mawang………. ...57

18 Persentasi tutupan karang hidup pada masing - masing waktu pengamatan di DPLBM Setanau Sabang Mawang ...58

19 Komposisi dan distribusi suku ikan target dan ikan major di DPL Setanau Desa Sabang Mawang ...60

20 Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan ikan karang di DPL Setanau tahun 2007 dan 2009 ...61

21 Kelimpahan megabenthos tahun 2007 dan tahun 2009 di DPL Setanau Desa Sabang Mawang ...62

22 Perbandingan nilai variabel ekologi terumbu karang sebelum KKLD (tahun 2007) dan sesudah KKLD (tahun 2009) ...64

(15)

24 Bentuk partisipasi responden di Desa Sabang Mawang dan

Desa Teluk Buton ...67 25 Pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Desa Sabang

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Persen Tutupan Karang Hidup dan Lifeform di Stasiun 1 dan 2 Perairan Pulau Panjang Desa Teluk Buton ...80 2. Data Persen Tutupan Karang Hidup dan Lifeform di Stasiun DPL

Setanau Desa Sabang Mawang ...88 3. Kelimpahan Jenis Ikan Karang pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

di Desa Teluk Buton ...92 4. Kelimpahan Jenis Ikan Karang di Stasiun DPL Setanau ...93 5. Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis dan Kemerataan Jenis Ikan

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan, telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya (Manuputty etal. 2007).

Melalui kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management (COREMAP II), sebagian kawasan perairan Kepulauan Natuna diperuntukkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD di Kabupaten Natuna ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Natuna Nomor 299 Tahun 2007, tanggal 5 September 2007. KKLD ini secara keseluruhan memiliki luas 142 977 Hektar, yang terbagi dalam 3 kawasan yaitu : 1) kawasan I, meliputi kawasan Pulau Tiga - Sedanau dan laut di sekitarnya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan, seluas 54 572 Hektar; 2) kawasan II, meliputi kawasan Bunguran Utara dan laut di

sekitarnya diprioritaskan untuk suaka perikanan, seluas 52 415 Hektar, dan 3) kawasan III, meliputi kawasan pesisir Timur Bunguran dan laut di sekitarnya

diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari, seluas 35 990 Hektar. Berdasarkan dokumen rencana pengelolaan KKLD, disebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan KKLD Kabupaten Natuna adalah (a) melindungi ekosistem terumbu karang dan satwa langka di dalamnya dari degradasi akibat pemanfaatan yang merusak lingkungan, (b) melestarikan ekosistem terumbu karang sebagai

wadah penunjang pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan, (c) meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan

sumberdaya ikan dan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan, (d) melaksanakan sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang

berbasis masyarakat, dan (e) terciptanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang (DKP Kabupaten Natuna 2007).

Selanjutnya sasaran pengelolaan KKLD Kabupaten Natuna ialah (a) terhapusnya praktek - praktek pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan

(18)

berinteraksi dengan ekosistem terumbu karang, (d) terkendalinya pemanfaatan

ekosistem terumbu karang yang berpotensi menyebabkan kerusakan, (e) tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan

sumberdaya ikan dan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan, (f) terlaksananya fungsi kelembagaan desa untuk berperan serta menyalurkan

aspirasi masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan ekosistem terumbu karang, dan (g) terpeliharanya tertib administrasi dalam bidang perijinan pemanfaatan ekosistem terumbu karang melalui pemberdayaan sistem pengawasan berbasis masyarakat.

Pelletier et al. (2005) mengemukakan bahwa kinerja keberhasilan KKLD dapat diukur dari 3 sudut pandang penting yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa variabel ekologi yang dapat diukur di antaranya ialah (a) kekayaan spesies dan indeks keanekaragaman, (b) kelimpahan invertebrata, (c) penutupan karang, (d) distribusi spasial spesies, (e) komposisi spesies dan kepadatan relatif. Variabel ekonomi yang dapat diukur di antaranya adalah (a) biaya pengelolaan, (b) jumlah kunjungan dan pengeluaran kasar secara langsung terkait dengan KKLD, (c) perubahan dalam upaya penangkapan ikan. Kemudian variabel sosial yang dapat diukur ialah (a) persepsi masyarakat, (b) frekuensi pertemuan antara masyarakat dan pengelola KKLD.

Mempertimbangkan tujuan dan sasaran pengelolaan KKLD tersebut di atas, perlu dilakukan suatu penelitian kajian dampak KKLD terhadap ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial masyarakat. Lagi pula studi seperti ini belum pernah dilakukan di Kepulauan Natuna.

1.2 Rumusan Permasalahan

(19)

Secara garis besar pembentukan KKLD di Kabupaten Natuna memiliki tujuan yang merupakan perpaduan dari kepentingan ekologis, sosial dan ekonomi. Kepentingan ekologis terwakili oleh tujuan melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Sementara itu tujuan sosial dan ekonomi yang ingin dicapai adalah terciptanya sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat serta adanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang dan pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Untuk memastikan apakah tujuan tersebut telah dicapai serta berbagai permasalahan yang dihadapi, maka dalam penelitian ini dilakukan kajian terhadap aspek tersebut. Secara singkat permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : “Bagaimana dampak KKLD di Kabupaten Natuna terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial masyarakat”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1 Mengkaji dampak KKLD terhadap kondisi ekologi terumbu karang berupa persentasi tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang, serta kelimpahan megabenthos.

2 Mengkaji kondisi sosial masyarakat terkait keberadaan KKLD berupa persepsi masyarakat terhadap KKLD, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.

3 Menyusun skenario pengelolaan KKLD yang merupakan bagian penting dari pengelolaan secara adaptif (adaptive management) untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan.

1.4 Kerangka Pendekatan Penelitian

(20)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pendekatan penelitian.

(21)

Sementara itu komponen kajian dan analisis yang kedua adalah sosial untuk menjawab permasalahan bagaimana dampak KKLD terhadap kondisi sosial masyarakat. Variabel yang dikaji adalah persepsi masyarakat terhadap keberadaan KKLD, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Kajian ini sangat menentukan keberhasilan implementasi KKLD. Dan yang terakhir sebagai implikasi kebijakan pengelolaan KKLD dilakukan penyusunan skenario yang beranjak dari kondisi faktual lapangan dan bersumber dari masyarakat setempat. Pendekatan penelitian yang telah dirumuskan selanjutnya diuraikan dalam sebuah alur penelitian seperti disajikan dalam Gambar 2.

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (Coral Reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Berbagai organisme yang dominan hidup disini adalah binatang - binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Terumbu karang dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).

Sejalan dengan itu Sukarno, et al. (1981) mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan komunitas berproduktivitas hayati tinggi, memiliki keanekaragaman jenis biota yang besar dan dilihat dari estetika sangat indah sekali. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selanjutnya Nybakken (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis.

Seperti hewan lain, karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan pembentukan koloni baru. Sedangkan reproduksi seksual merupakan reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih kompleks karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan larva, pertumbuhan dan pematangan). Baik reproduksi secara seksual maupun secara aseksual dijalankan oleh karang tentunya untuk tujuan mempertahankan keberadaan spesiesnya di alam. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi (Timotius 2003).

(23)

(pemijahan). Perbedaan ini ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Pada karang yang melakukan brooding, telur-telur yang dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer dierami hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Sedangkan karang yang melakukan spawning adalah melepaskan telur-telur dan sperma ke kolom perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Sebagian besar karang di dunia bereproduksi dengan cara spawning, begitu pula dengan model reproduksi di Indonesia. Dari 21 spesies karang yang dilaporkan hanya 1 spesies (Pocillopora damicornis) yang melepaskan planula dan 1 spesies (Stylophora pistillata) belum jelas model reproduksinya. Perbedaan model reproduksi ini akan mempengaruhi beberapa aspek ekologi karang, antara lain transfer alga symbiont zooxanthellae ke dalam larva, larval competency (kemampuan larva dalam melakukan penempelan untuk menetap dan metamorfosis), penyebaran larva, pola distribusi karang, keanekaragaman genetis, laju spesiasi dan evolusi (Richmond 1996).

Menurut Veron (1995), terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface sirculation) air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Kini, hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding 2002) dan dengan pertimbangan luasan kawasannya sebesar 34% (51% kontribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total luas kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia.

(24)

Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan (Bengen 2001).

Menurut Suharsono (1998) karang tepi merupakan karang yang paling umum dijumpai di Indonesia. Sedangkan pertumbuhan karang di Indonesia didominasi oleh karang dari marga Acropora, Montipora dan Porites. Ketiga marga karang tersebut tidak hanya mendominasi persentasi tutupan karang hidup di perairan tetapi juga mendominasi jumlah kekayaan jenis karang. Jumlah jenis karang batu di Indonesia tercatat berjumlah 362 jenis. Acropora merupakan marga yang mempunyai jenis terbesar yaitu 62 jenis kemudian diikuti Montipora

29 jenis dan Porites 14 jenis.

Nybakken (1992) mengemukakan bahwa perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor - faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1 Suhu air lebih besar dari 18 0C, tapi bagi perkembangan yang optimal

diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 - 25 0C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 - 40 0C.

2 Kedalaman perairan kurang dari 50 meter, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 meter atau kurang.

3 Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36 0/00.

4 Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Pecahan ombak yang besar pada sisi yang terbuka (windward) suatu atol menciptakan perkembangan pematang algae dan rataan terumbu. Pada daerah ini perkembangan karangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yang terlindung (leeward), perkembangan pematang algae berkurang dan perkembangan karang dominan.

(25)

Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per Km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai $ AS 20 000 - $ AS 151 000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai dan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai $ AS 23 100 - $ AS 270 000.

2.2 Kawasan Konservasi Laut dan Daerah Perlindungan Laut

Sebelum menjelaskan tentang kawasan konservasi laut dan daerah perlindungan laut, terlebih dahulu diuraikan beberapa penjelasan tentang kawasan konservasi. Menurut IUCN (1994), kawasan konservasi dibagi atas 6 kelompok yaitu (a) cagar alam murni (strict nature reserve), (b) taman nasional (National Park), (c) monumen - monumen nasional (nature monument) dan bentukan - bentukan alam (Landmarks), (d) suaka alam dan cagar alam yang dikelola (habitat/species management area), (e) bentang alam darat dan laut yang dilindungi (protected landscape/seascape), dan (f) kawasan yang dilindungi dengan sumberdaya alam yang dikelola (managed resources protected area).

Selanjutnya MacKinnon et al. (1990) mengelompokkan jenis kawasan yang dilindungi di Indonesia ialah (a) cagar alam, (b) suaka margasatwa, (c) taman nasional , (d) taman wisata, (e) taman buru, dan (f) hutan lindung.

Terkait dengan konservasi ekosistem pesisir dan lautan, Sobel dan Dahlgren (2004) mengemukakan bahwa upaya ini lebih lambat dimulainya bila dibandingkan dengan konservasi di daratan. Perhatian konservasi pesisir dan lautan baru diberikan belakangan ini. Saat ini hanya 1 % wilayah lautan yang masuk dalam kawasan yang dilindungi. Padahal sebanyak 20 % dari lautan di dunia harus dilindungi secara ketat untuk melindungi jumlah ikan komersial yang telah menurun.

Mengacu pada IUCN (1994) istilah Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) adalah daerah - daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi sebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut.

(26)

area“ untuk menjelaskan aktivitas pengelolaan laut lokal. Kesepakatan tersebut didasarkan pada persetujuan : a) istilah ”protected”’ merupakan istilah yang tidak cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Pasifik sehingga digantikan dengan istilah ”local marine management”, b) istilah ”MPA” merupakan istilah formal yang pakai oleh badan - badan nasional dan internasional (legal authority) yang tidak sama pelaksanaanya dengan LMMA dalam suatu wilayah. Istilah LMAA secara eksklusif diartikan sebagai upaya - upaya pengelolaan dan perlindungan non-formal dikenal sebagai legalitas MPA. LMMA berupaya menurunkan isu - isu lisensi perikanan, tumpang tindih peralatan penangkapan ikan, pembatasan destructive fishing.

Wiryawan dan Dermawan (2006) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan terminologi yang digunakan oleh COREMAP II Asian Development Bank (COREMAP II ADB) dan COREMAP II World Bank (COREMAP II WB) dalam mendefinisikan kawasan konservasi laut. COREMAP II ADB memberikan peristilahan dengan MMA (Marine Management Area) dan COREMAP II WB menyebutnya sebagai MCA (Marine Conservation Area).

(27)

Tabel 1 Kriteria kawasan konservasi laut dan kawasan MMA

Kategori Tujuan Pengelolaan

Cagar Bahari Pengawetan sumberdaya hayati laut dan

ekosistemnya yang memiliki kekhasan dan keunikan.

• Perlindungan ekosistem tertentu dan

pekembangannya berlangsung secara alami.

Suaka Bahari • Pengawetan keadaan alam yang mempunyai

kekhasan berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis biota laut.

• Pembinaan habitat bagi kelangsungan hidup jenis biota tersebut apabila diperlukan.

Taman Laut/

Taman Bahari •

Pengawetan ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi.

• Pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang kebudayaan, pariwisata dan rekreasi.

Taman Wisata Bahari

• Pemanfaatan untuk wisata bahari dan rekreasi alam

Daerah Perlindungan Laut

• Menyediakan sumberdaya perikanan laut bagi masyarakat adat/ lokal untuk kegiatan pemanfaatan yang didasarkan pada praktek-praktek pemanfaatan secara tradisional yang sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian

• Melindung produktivitas keragaman genetik dan spesies ikan melalui perlindungan habitat dan praktek penagkapan secara lestari oleh masyarakat.

• Mendorong praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya alam secara arif dan bijaksana.

Suaka Perikanan Menjamin kelestarian sumberdaya ikan melalui prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan

• Memelihara proses ekologis sistem pendukung kehidupan sumberdaya ikan di wilayah pesisir dan laut.

Kawasan

Pengelolaan Laut (Marine Management Area)

• Mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistemnya

• Melindungi dan mengelola perwakilan tipe-tipe ekosistem penting di wilayah pesisir dan laut untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang

• Memanfaatkan sumberdaya alami bagi kepentingan berbagai kegiatan konservasi dan ekonomi serta bentuk kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi.

• Mengembangan program pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya oleh masyarakat dan atau masyarakat adat terkait dengan praktek-praktek budaya tradisional.

(28)

Tabel 2 Matriks perbandingan kriteria penetapan kawasan konservasi Kriteria penetapan

kawasan konservasi laut

Tipe kawasan konservasi laut

CB SB TB/TL TWB DPL SP MMA

Ekologi

- Keanekaragaman Ekosistem X X X

- Keanekaragaman Jenis Flora X X X

- Keanekaragaman Jenis Fauna X X X X

- Keterwakilan X X X

- Keaslian X X X

- Keunikan X X X X

- Ketergantungan X

- Produktivitas X X X

Manfaat

- Luas Wilayah X X X X X X

- Pemulihan Kondisi Alam X X X

Sosial

- Sarana Rekreasi X X X

- Penelitian dan Pendidikan X X

- Keamanan X X

- Aksesibilitas X X

- Estetika X X

- Dukungan Masyarakat X X

- Kultural X X

- Kesehatan masyarakat X

- Penyadartahuan X

Ekonomi

- Pariwisata X X

- Kepentingan Bagi Spesies X X X

- Kepentingan Bagi Nelayan X X X

- Ancaman dari alam X

- Keuntungan Ekonomi X

Sumber : DKP 2005 Keterangan :

X = Cross tanda penilaian (harus ada) CB = Cagar Laut / Cagar Bahari

DPL = Daerah Perlindungan Laut TB = Taman Bahari TL = Taman Laut TWB = Taman Wisata Bahari SB = Suaka Bahari SP = Suaka Perikanan

Menurut LMMA Network (2004) tujuan pembentukan MMA adalah : a) peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang lamun, dan hutan

mangrove), b) peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya ikan, c) peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya ikan, d) peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat, e) peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya alam.

(29)

Gambar 3 Pengelompokan alat pencapaian tujuan dalam strategi MMA (Sumber : LMMA 2004).

Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga strategi spesifik dalam pencapaian tujuan MMA, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Perlindungan yang menyeluruh (full reserve) - yakni perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam dalam suatu area. Daerah tersebut sering disebut “sanctuary”, atau daerah tanpa gangguan atau “fully protected area”. 2. Pembatasan penangkapan spesies (species specific refugia) - pada daerah

tertentu ada pembatasan penangkapan terhadap spesies tertentu atau beberapa spesies atau individu ukuran tertentu dan atau jenis kelamin tertentu.

3. Pengurangan usaha atau perlakuan lain (effort or behavioral restrictions) -Regulasi pembatasan usaha penangkapan atau pemanfaatan-pemanfaatan tertentu dalam daerah tertentu. Perijinan oleh pemerintah / penguasa lokal menyangkut pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat usaha penangkapan (seperti : jumlah ikan, jumlah perahu, kuota terhadap jumlah penangkapan), keterbatasan musim, pola usaha lain yang diperbolehkan dan yang tidak (seperti rekreasi penyelaman, tanpa jangkar) dan pembatasan perijinan.

Model strategi dan alat pencapaian tujuan tersebut dapat diaplikasikan pada skala spasial dan kerangka waktu yang berbeda terhadap semua kawasan MMA. Skala spasial (spatial scale) memiliki pengertian tool atau peralatan yang spesifik dapat digunakan pada skala yang berbeda terhadap semua lokasi yang sedang dikelola.

Strategi MMA

Ancaman langsung dan

tak langsung Perlindungan

penuh

Spesies spesifik refugia

Pengurangan perlakuan yang merusak

(30)

Peralatan tersebut dapat diaplikasikan pada semua lokasi yang dikelola atau peralatan yang berbeda dapat diaplikasikan pada lokasi yang berbeda. Sementara itu kerangka waktu (time frame) mengandung makna bahwa peralatan tersebut di atas dapat diimplementasi secara permanen atau temporal sepanjang waktu . Peralatan boleh diglir atau dirotasi dari daerah yang satu ke daerah yang lain pada semua tempat sepanjang waktu.

Terdapat empat asumsi bagaimana pencapaian tujuan MMA untuk meningkatkan keutuhan lingkungan dan memperkaya sumberdaya perikanan. Apabila tool di atas diimplementasikan secara efektif pada daerah tertentu selama waktu tertentu, maka ada empat keuntungan yang dapat diperoleh : 1. Safe haven. MMA akan mengupayakan perlindungan daerah sanctuary

untuk kepentingan biodiversity, menjaga suatu wilayah yang berhubungan dengan spesies tertentu dan individu-individu spesies (baik anakan maupun dewasa), habitat, dan fungsi ekosistem dalam daerah tertentu yang dilindungi, dikelola, dan atau dibiarkan berkembang sendiri.

2. Seeding. MMA mengupayakan perlindungan daerah pemijahan, sumber telur, larva, dan atau juvenile bagi spesies tertentu. Asumsi ini perpengaruh penting dalam proses transport telur-telur, larva, dan juvenile bermigrasi ke daerah pembesaran dimana biota-biota tersebut mencapai dewasa dan dapat ditangkap

3. Spill over - MMA akan menyediakan daerah sumber induk spesies - spesies tertentu. Sehingga terjadi peningkatan kepadatan populasi dalam daerah perlindungan, spesies akan berpindah ke daerah - daerah terdekat dimana mereka dapat ditangkap.

4. Successional yield - MMA akan menyediakan daerah untuk spesies tertentu seperti : spesies yang menetap (sedentery), non moving species untuk berkembangbiak selama periode tertentu, secara bergantian selanjutnya penangkapan pada musim-musim tertentu. Semua spesies dikelola sesuai dengan musim perkembangbiakannya.

Selanjutnya Wiryawan dan Dermawan 2006, mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan konservasi laut berbasis desa (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses

(31)

kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi (seperti ikan dan mamalia laut) dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi.

Gambar 4 Jaringan daerah perlindungan laut (DPL) dalam satu unit pengelolaan KKLD di kabupaten/kota (Sumber : Wiryawan dan Dermawan 2006).

Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka jaringan KKLD dapat berupa kawasan-kawasan konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan peraturan pemerintah tentang konservasi sumber daya ikan yaitu : taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan dan suaka perikanan.

Terkait dengan pengelolaan kawasan MMA, Hockings et.al (2000) menggambarkan suatu desain pengelolaan interaktif terhadap wilayah konservasi (MPA) meliputi : manajemen, monitoring, evaluasi dan adaptasi dapat dilihat pada Gambar 5.

(32)
[image:32.612.136.500.81.313.2]

Gambar 5 Kerangka pengelolaan MMA secara efektif (Sumber : Hockings et al. 2000).

Tulungen et al. (2002) memberikan definisi Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) sebagai daerah pesisisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Kegiatan perikanan dan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Contoh DPL-BM adalah seperti DPL-BM di Desa Blongko, Talise dan Tumbak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Lampung dan marine sanctuary di Pulau Apo, Dumaguette, Filipina, dengan luas antara 6-25 hektar.

Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan adanya kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya dilarang untuk diambil. Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara musiman atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan “Sasi” di

Evaluasi

Planning MMA

Bagaimana bisa mendapatkannya

Input

Apa yang kita butuhkan

Proses Menejemen

Bagaimana kita mengelolanya

Output

Apa yang telah dilakukan Apa hasilnya Pelayanan yang telah dihasilkan

Outcome

Apa yang telah dicapai

Visi MMA

Dimana kita ingin berada

Status dan Ancaman

(33)

Maluku atau “Mane’e” di Sangir Talaud. Pembukaan musiman dapat menyebabkan fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami gangguan oleh manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik. Zona inti cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa besar, seperti Kerapu dan Hiu (Tulungen et al.2002).

Menurut Wiryawan dan Dermawan (2006) yang mengacu pada pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar 3 - 5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan. Kajian lain menyatakan bahwa satu kilometer persegi DPL dapat menghasilkan 20 - 30 ton ikan per tahun (Tulungen

et al. 2002).

Lokasi dan ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Sebenarnya tidak ada ukuran yang ideal untuk DPL, namun demikian ilmuwan merekomendasikan “semakin luas ukuran DPL akan semakin baik fungsinya”. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 10 - 30 % dari luasan terumbu karang di suatu desa. Suatu penelitian di Filipina menunjukkan bahwa DPL-BM skala kecil yang ditetapkan di sekitar pulau , dengan 10 - 20 % kawasan terumbu karangnya dapat menghasilkan dua kali lipat hasil tangkapan nelayan di luar kawasan DPL-BM, khususnya jenis ikan karang (Tulungen et al. 2002).

(34)

masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan pengguna (nelayan) akan menjadi besar.

[image:34.612.89.509.188.691.2]

Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan dalam pengembangan DPL (Tabel 3).

Tabel 3 Tahapan, kegiatan, hasil dan indikator pengembangan DPL Tahapan proses perencanaan dan pengelolaan Kegiatan yang dilakukan Hasil yang

diharapkan Indikator Hasil

Pengenalan dan

Sosialisasi Program •

Lokasi desa dipilih

• Penempatan

Penyuluh

• Survei data dasar • Pembuatan Profil

Desa

• Diskusi program

pendampingan masyarakat

• Identifikasi isu-isu

Sosioekonomi dan budaya dipahami

• Pendekatan dapat

dipahami bersama

• Deskripsi data dasar • Profil lingkungan

disebarkan kepada masyarakat

• Jumlah pertemuan

masyarakat ttg DPL

Pelatihan,Pendidikan, Pengembangan Kapasitas Masyarakat

• Studi banding DPL • Penyuluhan DPL

dan lingkungan • Pelatihan Pemetaan Kawasan • Pelatihan Kelompok • Pemahaman Masyarakat

• Peta Karang • Peningkatan Pengawasan • Dukungan masyarakat • Kapasitas masyarakat meningkat

• Kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya

• Jumlah

pelatihan/penyuluhan

• Jumlah peserta

pelatihan

• Jumlah kelompok

masyarakat

• Jumlah proposal

kegiatan kelompok

• Pelaporan

penggunaan dana

Konsultasi Publik Pembuatan draft Perdes

• Diskusi

formal/informal

• Perbaikan draft Perdes

• Partisipasi dalam

Pembuatan Perdes

• Konsensus

tentang aturan DPL

• Jumlah pertemuan • Jumlah peserta

dalam penyiapan Perdes

• Jumlah peserta setuju dengan Perdes

Persetujuan

Peraturan Desa •

Musyawarah Desa • Peresmian

Perdes • Peresmian

Formal oleh Pemerintah

• Penerimaan DPL secara formal • Dasar Hukum

• Jumlah musyawarah • Penandatanganan

Perdes • Peresmian DPL

oleh Pemerintah

Pelaksanaan Pemasangan Tanda Batas

• Rencana Pengelolaan

• Papan Informasi • Rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) • Pertemuan Pengelola • Monitoring • Penegakan Hukum • Penyuluhan dan

pendididkan

• Ketaatan • Pengelolaan

efektif

• Tutupan karang

meningkat

• Kepadatan biota

meningkat

• Hasil tangkapan

meningkat

• Jumlah pelanggaran

menurun

• Jumlah pertemuan kelompok

• Survei monitoring • Data statistik

perikanan di DPL

(35)

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah DPL memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. DPL membantu menjaga sumber - sumber larva karang dari daerah yang telah rusak. Tindakan - tindakan pengelolaan berkaitan dengan DPL yang dapat membantu regenerasi terumbu karang adalah : a) mengidentifikasi daerah - daerah karang yang tidak terlalu rusak dalam DPL dan meninjau ulang skema zonasi dan perbatasan untuk menjamin terumbu karang yang sehat dilindungi dengan ketat, b) memastikan DPL yang ada dikelola secara efektif, dan c) mengembangkan pendekatan yang lebih strategis untuk sistem DPL, rangkaian wilayah geografis yang tersebar luas dan variasi DPL (Westmacott et al.2000).

2.3 Dampak KKLD dan Pengelolaan Perikanan

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001). Beragam metode digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan (Danielsen et al.2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen.

Jenis informasi yang dikumpulkan akan bergantung pada tujuan pengelolaan kawasan. Pemantauan tidak hanya berguna untuk mengetahui kesehatan kawasan, namun juga dapat mengevaluasi apakah pengelolaan yang dilakukan bekerja dengan baik atau tidak (Hockings 2003).

(36)

Salah satu solusi untuk mengatasi beragam konflik kepentingan dalam kawasan yang dilindungi adalah dengan memberlakukan sistem zonasi. Sistem zonasi tersebut bertujuan mengelola kawasan secara keseluruhan, dengan merancang dan menentukan wilayah yang akan diberikan prioritas bagi kegiatan tertentu. Dengan sistem zonasi pada suatu kawasan yang dilindungi akan dimungkinkan berbagai macam kegiatan misalnya, menentukan lokasi pemancingan, kegiatan olahraga air, perlindungan spesies terancam, restorasi komunitas, maupun penelitian ilmiah. Tantangan dari system zonasi ini adalah berkompromi dengan masyarakat agar dapat menggunakan sumberdaya alam jangka panjang yang berkelanjutan. Contoh zonasi yang berupaya melibatkan masyarakat adalah yang sedang dikembangkan di Taman Nasional Laut Bunaken (Indrawan et al. 2007).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa zonasi telah terbukti sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan dan mempertahankan populasi ikan dan satwa lainnya, seperti yang telah dilakukan di Filipina melalui penetapan Marine Protected Area (Gell dan Roberts 2003). Beberapa taman nasional laut di Kenya dan Tanzania memiliki jumlah ikan komersial serta tutupan karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya yang tidak dilindungi (McClanahan dan Arthur 2001). Sebuah jejaring terdiri dari 5 KPL berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 dan 90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an.

(37)
[image:37.612.97.504.94.704.2]

Tabel 4 Dampak terukur dari perikanan di kawasan konservasi laut Nama Daerah Perlindungan dan Lokasinya Jangka Waktu Perlindungan (Tahun)

Tipe Habitat Dampak yang Dilaporkan

Looe Key, Florida, USA

2 Terumbu

Karang

Setelah adanya pelarangan pola perikanan tangkap dengan tombak, 15 jenis ikan target densitasnya meningkat , Kakap densitasnya meningkat sebanyak 93 % dan Grunts 439 % (Clark et al. 1989)

Daerah Perlindungan Anse Chastanet

2 Terumbu

Karang

Biomasa total untuk spesies komersial penting lebih dari dua kali lipatnya dari daerah penangkapan ikan dan daerah perlindungan memiliki jenis-jenis spesies yang ditangkap tiga kali lebih mudah dibandingkan di daerah manapun (Robert dan Hawkins 1997) Kepulauan Mayotte,

Samudera Hindia

3 Terumbu

Karang

Jumlah total spesies tidak berbeda antara di dalam kawasan perlindungan dengan di luar kawasan, meskipun demikian jenis karnivora besar yang umum ditemukan lebih beragam dan berlimpah di dalam kawasan perlindungan. Nilai tengah biomassa dari spesies komersial di dalam kawasan sebesar 202 g / m2 dan 79 g / m2 di luar kawasan (Babcock 1999). Taman Nasional Laut

Laguna Selatan, New Caledonia

5 Terumbu

Karang

Di dalam kawasan perlindungan terdapat peningkatan populasi ikan sebanyak 67 %, peningkatan densitas sebanyak 160 % dan biomassa sebesar 246 % tapi ukuran rata-rata ikan dari hampir semua spesies tidak

menunjukkan peningkatan (Wantiez et al. 1997)

Taman Nasional Laut Kisite, Kenya

5 Terumbu Karang Kakap, Injil dan Kerapu lebih berlimpah di dalam Taman Nasional dan tampaknya sampai ke daerah penangkapan. Perlindungan tidak berdampak pada keragaman spesies (Watson et al. 1996) Daerah Perlindungan

Kepulauan Maria, Tasmania

6 Sub tropis Karang berbatu

Densitas lobster karang (Jasus rubra) dan ikan Terompet (Latridopsis forsteri) meningkat satu atau dua ordo dari jumlah yang ada dikawasan perlindungan. Jumlah spesies ikan, avertebrata dan alga juga bertambah di dalam kawasan, serta densitas ikan juga meningkat lebih besar dari 33 cm (Edgar dan Barret 1999) Daerah Perlindungan

Kepulauan Apo, Filipina

6 Terumbu Karang Biomassa pemangsa besar meningkat 8 kali lipat dari dalam daerah perlindungan. Didalam kawasan penangkapan densitas rata - rata dan kekayaan jenis meningkat (Russ dan Alcala 1996)

Daerah Perlindungan Kepulauan Sumilon, Filipina

10 Terumbu

Karang

Delapan belas bulan setelah penangkapan dimulai lagi di dalam kawasan, tangkapan per unit upaya menurun sampai setengahnya dan total panen 54 % lebih sedikit dibanding kawasan penangkapan lainnya (Alcala dan Russ 1990)

Taman Bawah Laut Edmond,

Washington, USA

27 Subtropis

Karang Berbatu

Jumlah telur ikan Rock dan larva yang asli hidup di dalam kawasan jumlahnya lebih besar 55 kali dari yang di luar kawasan. Untuk Lingcod (Ophiodon elongates) jumlahnya lebih banyak sebesar 20 kali (Pallson dan Pacunski 1995)

(38)

2.4 Dimensi Sosial KKLD

KKLD sebagai suatu alat pengelolaan merupakan hasil kelembagaan sosial, yang diciptakan oleh manusia dengan tujuan mengelola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan sumberdaya pesisir dan laut (Bromley 1991). Mascia (2003) mengemukakan bahwa KKLD hasil dari proses pembuatan keputusan masyarakat dan penentuan suatu insentif yang diperlukan dalam merubah perilaku masyarakat untuk mencapai keberhasilan. Pembangunan, pengelolaan dan pencapaian KKLD dibentuk oleh konvergensi kepentingan antara pengguna sumberdaya, pemangku kepentingan sumberdaya, masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga internasional.

Umumnya KKLD memiliki tujuan dan sasaran biologi, sosial ekonomi dan tata kelola (Pomeroy, Parks dan Watson 2003). Tujuan biologi termasuk keberlanjutan atau perlindungan sumberdaya laut, perlindungan keanekaragaman biologi, perlindungan habitat. Tujuan sosial ekonomi diantaranya ketahanan pangan, matapencaharian, peningkatan kesadaran lingkungan dan pengetahuan. Sedangkan tujuan tata kelola termasuk mengatur struktur pengelolaan yang efektif dan strategis, memastikan partisipasi pemangku kepentingan, mengelola dan mengurangi konflik pemanfaatan sumberdaya. Christies et al. (2003) mengemukakan bahwa tujuan biologi, sosial ekonomi dan tata kelola kadangkala kontradiktif, sehingga menimbulkan kontroversi dan konflik. Dinamika ini memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap kegagalan KKLD, diperkirakan sekitar 90 persen di beberapa negara (White et al. 2002).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor sosial merupakan penentu utama sukses tidaknya KKLD (Fiske 1992, Kelleher dan Recchia 1998, McClanahan 1999, Roberts 2000).

(39)

2.5 Skenario dan Pengelolaan Adaptif KKLD

Skenario adalah cerita tentang apa yang mungkin terjadi. Berbeda dengan proyeksi, skenario tidak perlumenggambarkan masa depan seperti apa yang kitaharapkan. Sebaliknya skenario berusaha untuk merangsang pemikiran kreatif yang membantu orang melepaskan diri dari pola pandang yang sudah mapanterhadap berbagai situasi dan merencanakan tindakannya (Wollenberg et al. 2001).

Menurut Wollenberg et al. (2000) paling tidak ada empat pendekatan skenario yang dapat digunakan, untuk tujuan yang berbeda. Skenario visi bertujuan untuk mengetahui harapan dan impian. Skenario proyeksi menunjukkan apa pendapat orang tentang konsekuensi situasi mereka sekarang. Skenario jalur digunakan untuk membandingkan kondisi sekarang dan kondisi yang diinginkan di masa depan sehingga dapat menyusun strategi untuk melakukan perubahan. Skenario alternatif menunjukkan berbagai kemungkinan perubahan di masa depan untuk membantu orang ”membingkai” ketidakpastian. Salah satu atau kombinasi dari berbagai skenario ini dapat diterapkan sesuai kebutuhan.

Definisi pengelolaan adaptif merupakan suatu proses yang digunakan untuk menyesuaikan strategi pengelolaan agar dapat mengatasi perubahan dengan lebih baik. Mencermati perubahan dalam interaksi antara manusia dengan pesisir dan laut adalah titik awal dari pengelolaan secara adaptif. Informasi baru atau cara baru untuk mengkaji informasi merangsang proses belajar berulang - ulang sehingga dapat menilai strategi - strategi pengelolaan. Masyarakat setempat, juga pemangku kepentingan lain yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan tentang pesisir dan laut bekerjasama untuk melakukan penilaian tersebut. Sesuai dengan ketersediaan sumber daya, insentif dan kemampuan kelembagaan, penilaian bersama ini dapat mengarah kepada penyesuaian dalam pengelolaan (Wollenberg et al. 2001).

(40)

dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti, (6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi.

Peterson et al. (2003) mengemukakan bahwa teknik - teknik yang menggunakan skenario membantu pengelola kawasan konservasi untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai kemungkinan yang diantisipasi. Sifat interaksi jangka panjang dan dinamika antara penghidupan masyarakat setempat, kepentingan kesinambungan dan keadaan biofisik laut lebih sulit tertangkap oleh proses belajar dari pengalaman yang jauh lebih sederhana. Metode antisipatif yang lebih terbuka dan lebih tepat untuk mengatasi kompleksitas dan resiko.

Skenario dapat digunakan secara tidak langsung untuk meningkatkan proses belajar dari pengalaman, misalnya dalam pemantauan. Para pemangku kepentingan bisa menggunakan skenario untuk menggali apa yang mereka anggap penting untuk dipantau di masa depan dan mengembangkan kesepakatan di antara mereka. Nilai skenario datang dari belajar untuk berpikir dengan cara baru tentang masa depan dan dalam mengambil keputusan sesuai keadaan yang tidak menentu. Melalui proses ini orang bisa meningkatkan kesiapannya menghadapi masa depan dankemampuannya untuk menyesuaikan diri (Peterson etal. 2003).

(41)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni sampai Agustus 2009. Berdasarkan tujuan pemanfaatan KKLD di Kabupaten dibagi dalam tiga kawasan. Dari tiga kawasan tersebut, dipilih dua kawasan sebagai lokasi penelitian yakni kawasan 1 yang diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan dan kawasan 2 yang diprioritaskan untuk mendukung kegiatan suaka perikanan. DPL Setanau yang secara administratif terletak di Desa Sabang Mawang, dipilih sebagai lokasi penelitian di kawasan 1 KKLD dan perairan Pulau Panjang yang terletak di Desa Teluk Buton dipilih sebagai stasiun penelitian di kawasan 2 KKLD. Pemilihan kedua lokasi ini didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data tahun sebelumnya (tahun 2007) serta adanya transek permanen yang bisa dipantau.

[image:41.612.124.505.418.680.2]

Peta lokasi penelitian disajikan dalam Gambar 6 dan visualisasi lokasi tampak dari permukaan disajikan dalam Gambar 7.

(42)

Kabupaten N

Gambar 7 (a) Pulau (b) Hampar (c) DPL S Mawang

3.2 Metode Pengump

Data yang dikumpul sekunder. Data primer survei lapang. Sedangk seperti Dinas Kelautan Daerah, BPS, dan lain -3.2.1 Data primer

Data primer yang di 1 Data Ekologi.

• Persentasi tut • Kelimpahan • Keanekaraga • Kemerataan i • Kelimpahan

Natuna).

au Panjang sebagai stasiun penelitian di Desa Tel paran pasir putih sepanjang pantai Desa Teluk B L Setanau sebagai stasiun penelitian di Desa Sabang

ang, dan (d) Bendera tanda DPL Setanau.

pulan Data

pulkan dalam penelitian ini berupa data prime r diperoleh secara langsung dari lapangan melal edangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instans

an dan Perikanan, Badan Perencanaan Pem - lain.

ang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi :

i tutupan karang hidup. pahan ikan karang.

agaman ikan karang. taan ikan karang. pahan megabenthos.

eluk Buton Buton,

abang

(43)

Pengumpulan data persentasi tutupan karang hidup, keanekaragaman karang, dan kemerataan karang menggunakan metode Line Intercept Transect

(LIT) mengikuti English et al. (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 meter dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangan yakni meletakkan roll meter berukuran sepanjang 70 meter sejajar garis pantai, posisi pantai berada di sebelah kiri. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0 - 10 meter, 30 - 40 meter dan 60 - 70 meter. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter. Untuk mengidentifikasi jenis karang batu digunakan buku identifikasi “Jenis-Jenis Karang Batu Di Indonesia” (Suharsono 2004) dan “Corals of Australia and Pasific” (Veron 1986).

Pengamatan ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Census (UVC). Pada setiap titik transek permanen, ikan - ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 meter di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 meter dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 m x 70 m) = 350 m2.

Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda, et al. (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Spesies ikan yang diamati dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama (English, et al. 1997) sebagai berikut :

1 Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan - ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan Kerapu), Lutjanidae (ikan Kakap), Lethrinidae (ikan Lencam), Nemipteridae (ikan Kurisi), Caesionidae (ikan Ekor Kuning), Siganidae (ikan Baronang), Haemulidae (ikan Bibir Tebal), Scaridae (ikan Kakak Tua) dan Acanthuridae (ikan Pakol).

2 Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan - ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan Kepe-Kepe). 3 Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5-25 cm,

dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini

(44)

Pomacentridae (ikan Betok Laut), Apogonidae (ikan Serinding), Labridae (ikan Sapu - Sapu) dan Blenniidae (ikan Peniru).

Sementara itu untuk mengetahui kelimpahan beberapa megabenthos, dilakukan dengan menggunakan metode Reef Check Benthos pada stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 meter di sebelah kiri dan kanan roll meter berukuran 70 meter, dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 m x 70 m) = 140 m2. Identifikasi jenis megabenthos mengacu pada “Manual Monitoring Kesehatan Karang” (Tim Riset Monitoring CRITC - LIPI 2006).

2 Data Sosial.

Data sosial yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : • Persepsi masyarakat terhadap KKLD.

• Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD.

• Pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.

Metode pengumpulan data sosial dalam penelitian ini menggunakan kombinasi prinsip triangulasi yakni penggabungan beberapa teknik antara lain observasi lapangan, wawancara terstruktur dan Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah. Tujuan penggunaan beberapa teknik ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih baik serta meminimalisir kesalahan melalui cross cek informasi dari berbagai teknik yang digunakan.

Bungin (2008) mengemukakan bahwa observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan terhadap obyek penelitian. Sementara itu menurut Basrowi dan Suwandi (2008), observasi dilakukan dengan melibatkan diri secara aktif dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dilokasi penelitian.

Wawancara terstruktur adalah proses memperoleh data dan informasi melalui tanya jawab antara peneliti dan informan atau responden dengan menggunakan pedoman pertanyaan atau quesioner yang telah disiapkan. Pedoman wawancara digunakan oleh peneliti sebagai pemandu agar proses wawancara berjalan lancar dan responden dapat memberi jawaban sesuai keinginan peneliti (Basrowi dan Suwandi 2008).

(45)

Sedangkan menurut Bungin (2001) FGD adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif untuk memperoleh data dari kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Rudito dan Famiola (2008) mengemukakan bahwa FGD bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih mendetail tentang topik - topik atau isu-isu tertentu. Dalam penelitian ini jumlah peserta FGD sebanyak 5 orang untuk setiap lokasi penelitian, yang merupakan representasi dari kelompok nelayan. Sehingga jumlah peserta FGD keseluruhan adalah 10 orang.

Salah satu pertimbangan menggunakan FGD dalam pengumpulan data sosial adalah keterbatasan individu dalam memberikan informasi dan biasanya sangat subjektif. Padahal intersubjektif selalu mendekati kebenaran yang terbaik. Melalui FGD informasi yang ditangkap peneliti adalah informasi kelompok, sikap kelompok, pendapat kelompok, dan keputusan kelompok. Dengan demikian, kebenaran informasi bukan lagi kebenaran perorangan (subjektif) namun menjadi kebenaran intersubjektif, karena selama diskusi berlangsung masing - masing orang tidak saja memperhatikan pendapatnya sendiri namun juga mempertimbangkan pendapat peserta lainnya (Basrowi dan Suwandi 2008).

Rudito dan Budimanta (2003) mengemukakan langkah - langkah dalam pelaksanaan FGD ialah (a) merencanakan dan menulis pertanyaan - pertanyaan sebelum pertemuan dilaksanakan, (b) setiap partisipan memperkenalkan diri dan memulai untuk membuat pernyataan secara individu.

Sementara itu standar operasional dalam memfasilitasi FGD antara lain ialah (a) selalu memulai dengan memperkenalkan fasilitator dan partisipan, (b) memulai setiap sesi dengan ritual budaya atau berdoa jika memungkinkan bagi kelompok, (c) memastikan bahasa yang digunakan dipahami oleh peserta atau menggunakan penerjemah, (d) memulai sesi dengan menjelaskan tujuan, mendeskripsikan agenda atau kegiatan dan mengidentifikasi sasaran yang diinginkan, (e) menjelaskan proses yang dilalui, peran peserta dan waktu yang diharapkan (International Institute of Rural Reconstruction 1998).

3.2.2 Data sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi :

(46)

Data tersebut diperoleh dari laporan Studi Baseline Ekologi Natuna Tahun 2007 oleh Tim CRITC COREMAP II - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Laporan Akhir Baseline Studi Ekologi dan Sosek Tahun 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna. Selain data ekologi tersebut, beberapa data sekunder yang juga dikumpulkan adalah data biofisik perairan, data oseanografi dan kumpulan peta KKLD.

(2). Data Sosial

• Laporan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Lokasi COREMAP II Kabupat

Gambar

Gambar 5   Kerangka pengelolaan MMA secara efektif (Sumber : Hockings                 et al
Tabel 3 Tahapan, kegiatan, hasil dan indikator pengembangan DPL
Tabel 4 Dampak terukur dari perikanan di kawasan konservasi laut
Gambar 6  Peta lokasi penelitian (Sumber : basemap COREMAP II
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jembatan ini direncanakan dengan bentang utama 1200 meter yang terdiri dari bentang tengah 800 meter dan bentang samping 200 m di setiap sisinya, serta lebar lantai kendaraan

Di bulan Maret 2011, deflasi dialami oleh tiga kelompok pengeluaran, tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 0,81 persen, kelompok pendidikan,

Diketahui bahwa t tabel dalam penelitian ini untuk derajat kebebasan df = 57–3 dengan signifikasi 5% adalah 2,004. Sedangkan penghitungan t hitung sebagaimana terlihat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya perikanan demersal di Kabupaten Rembang, mengaplikasikan metode Copes sehingga didapatkan upaya

Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan dan tugas pembantuan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan biourine dengan pupuk urea bobot kering tanaman umur 39 HST pada tanam ke 1

Dari hasil yang ditunjukan dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan daya netto yang terbaik pada desain sistem pembangkit yang optimal, rasio antara laju aliran

Berdasarkan simulasi yang telah dilaksanakan, dapat diketahui bahwa, sel bahan bakar tipe PEMFC memiliki respon dinamik yang sangat lambat pada saat start-up