TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM
KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L
DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
D
D
R
R
I
I
H
H
A
A
R
R
I
I
A
A
D
D
I
I
NIM. 090200368DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM
KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L
DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
D
D
R
R
I
I
H
H
A
A
R
R
I
I
A
A
D
D
I
I
NIM. 090200368DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NI P. 196603031985081001
Pembimbing I
O. K. Saidin, SH, M.Hum NI P. 196202131990031002
Pembimbing I I
Zulfi Chairi, SH, M.Hum NI P. 197108012001122006
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat
beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program
Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero)
Tbk Medan”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan
di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran
yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen
pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan
memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu
SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak O. K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini
5. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini
6. Kepada Papa Agus Heriadi dan Mama Sudarsih, atas segala perhatian,
dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada
penulis.
7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama
9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, September 2013
DAFTAR I SI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penelitian ... 5
F. Keaslian Penulisan ... 7
G. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 9
A. Pengertian Perjanjian ... 9
B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian... 16
C. Perjanjian Pinjam Meminjam... 26
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA ... 31
A. Pengertian Kemitraan ... 31
B. Pengertian Bantuan Usaha ... 33
C. Pengertian Jaminan ... 35
D. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ... 44
BAB IV PERJANJIAN PROGRAM KEMITRAAN BANTUAN USAHA
(PERSERO) TBK MEDAN ... 55
A. Pelaksanaan Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan ... 55
B. Bentuk-Bentuk Jaminan Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program Kemitraan Bantuan Usaha . 67 C. Akibat Hukum Terhadap Jaminan Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil ... 75
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
ABSTRAK
Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.
ABSTRAK
Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat
kebutuhan yang besar akan jasa keuangan di kalangan masyarakat yang
berpenghasilan rendah/rumah tangga. Dalam peta tentang keuangan yang beredar
di pedesaan Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal
dari 5 (lima) sumber, yaitu:
1. Arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif
2. Kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif
3. Lembaga keuangan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif
4. Rentenir dan pedagang.
5. Teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.1
Antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat pedesaan, yang
diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Keuangan Non Formal.
Lembaga keuangan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda
dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan, karena organisasinya
sederhana dan biasanya pemberian pinjaman tanpa adanya jaminan formal seperti
hak atas tanah. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi,
bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling
menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya.
1
Suki-KTM, “Memberdayakan Masyarakat Dengan Mikrokredit”,
Salah satu kebijakan terhadap pemberian pinjaman modal di Indonesia
yang dilahirkan pemerintah adalah kebijakan melalui lembaga keuangan mikro.
Lembaga keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan pemberdayaan
berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin/pengusaha kecil. Jadi
keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat
yang berpenghasilan rendah. Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki
tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor
informal.
Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan
jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah,
pelayanan kesehatan dan masalah gender. Cakupan dari keuangan mikro jelas
terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal.
Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Pengusaha kecil umumnya adalah
penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian,
perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga. 2
Perkembangan lembaga keuangan mikro ini dalam perwujudannya
menunjukkan eksistensi yang positif. Mencontoh apa yang diterapkan oleh
Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Muhammad Yunus adalah seorang
bankir Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu
pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu
meminjam dari bank umum.3
2
PT Indosiar Visual Mandiri, “Muhammad Yunus: Bankir Rakyat Miskin”,
www.indosiar.com, Copyright 2005, diakses tanggal 3 September 2013.
Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro yang
memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit
mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang
yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan
kebijakan pinjaman yang dikembangkan oleh beberapa Badan Usaha Milik Negara
dewasa ini. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital
formation) tergantung pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana
pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu
mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si
peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia
miliki.
Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk
kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan
Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian
pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.
Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal
kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil.
Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi
kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari
pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha
Kondisi ketiadaan jaminan inilah yang menjadi kendala bagi pengusaha
ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit. Sebaliknya di satu sisi
ketiadaan jaminan tentunya akan memberikan kondisi sulitnya bagi pengusaha
ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit.
Kenyataan di atas menjadi suatu alasan ketertarikan penulis untuk
mengetengahkan pembahasan tentang “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program
Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga
(Persero) Tbk Medan”.
B. Permasalahan
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi
kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan?
b. Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi
kecil dalam program kemitraan bantuan usaha?
c. Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam
perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil?
B. Tujuan Penulisan
Adapun yang jadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada
ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.
ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha.
c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi
dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.
D. ManfaatPenulisan
a. Secara Teoritis :
Hasil penelitian ini berfaedah bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya tentang perkembangan pemberian jaminan kredit usaha kecil
dan menengah melalui program kemitraan.
b. Secara praktis :
Hasil penelitian ini berfaedah bagi usaha pencegahan dan penanggulangan
masalah perjanjian kemitraan antara ekonomi kecil dan menengah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis empiris atau
penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain serta penelitian
lapangan.
2. Sumber data
sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian lapangan pada PT. Jasa
Marga (Persero) Tbk. Medan, sedangkan data sekunder terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Nasional, serta
KUH Perdata.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun
kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta penelitian
lapangan melalui wawancara di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
studi dokumen dan penelitian lapangan pada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk.
Medan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis
kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang
dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian
Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga
(Persero) Tbk. Medan” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri.
Dari analisis kepustakaan di Fakultas Hukum USU tidak ditemukan, sehingga
dengan demikian kajian dan penelitian ini adalah yang pertama sekali. Sehingga
penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian
Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian dan Jenis Perjanjian,
Bab III. Tinjauan Umum Tentang Kemitraan dan Bantuan Usaha
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang
secara umum dibahas mengenai: Pengertian Kemitraan, Pengertian
Bantuan Usaha, Jaminan dan Bentuk-Bentuknya, serta Pengertian
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).
Bab IV. Perjanjian program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada ekonomi Kecil
di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Pelaksanaan
Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil
di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan, Bentuk-Bentuk Jaminan
Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program
Kemitraan Bantuan Usaha serta Akibat Hukum Terhadap Jaminan
Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan
Usaha Kepada Ekonomi Kecil.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak
yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang
dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang
terdiri dari dua pihak. Hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
adalah hukum pelengkap yang merupakan peraturan umum artinya orang bebas
mengadakan perjanjian apapun isinya dan hukum perikatan hanya bersifat
melengkapi saja4 Perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst
dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggeris.5
Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada Pasal
1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi perjanjian. Menurut ketentuan
Pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga
terlalu luas. Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti
diuraikan berikut ini:
4
Purwahid Patrik. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang). Mandar Maju. Bandung, 1994. hal. 1.
5
Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 2.
Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.6
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal”.7 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
tertulis.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan perjanjian adalah sebagai berikut: “Perjanjian adalah salah satu sumber
perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah
satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur
dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk
menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian
tersebut”.8
M. Yahya Harahap berpendapat perjanjian atau verbintenis mengandung
pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
6
Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.
7
R. Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung, 2008. hal. 4.
8
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi” 9
Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum
(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban di pihak lain tentang
suatu prestasi. 10
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan
yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda
kekeluargaan. Dalam lapangan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya
timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang
diatur dalam hukum waris.
Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari
perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab
dalam mengemukakan defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut
memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Dalam setiap defenisi
yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas
bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari
perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak
yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang
menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan.
Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh
9
M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, 2002, hal. 6.
10
hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu
perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah
hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan
yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda
kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya
timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang
diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara
pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan
hukum yang terjadi karena adanya kontrak (perjanjian tertulis) tersebut dikatakan
perikatan, karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya,
yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. Dimana apabila hak
tersebut tidak terpenuhi dan kewajiban tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut
tidak akan terjadi.11 Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu
pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak
yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan
prestasi.
Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul
kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau
voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang berdasarkan
tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.
11
Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser
atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai
schuldenaar atau debitur.
Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam
hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan
mempunyai karakter yang paling mutlak.12
Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum
kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata
karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat
pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan
hukum/rechthandeling.
Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun
hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan
benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde
persoon).
Perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum perjanjian.
a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi
mempunyai droit de suite.
b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati
hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.
c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas
12
benda tersebut.13
Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.14
Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang
pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap
hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak
mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II BW tidak
dinyatakan berlaku lagi.15
Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi
ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan
fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari
perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada
persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas
perbuatan hukum.
Akan tetapi ada beberapa pengecualian bahwa perbuatan itu tidak lahir dari
suatu perjanjian yaitu:
13
Ibid., hal. 3.
14
Ibid., hal. 4.
a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu
(bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan
tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.
b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat
dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan
hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan
Arrest (H.R. 10 Juni 1910).16
Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam
perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan
prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi
kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan
kewajiban/prestasi yang diperjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela
memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk
melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan
tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.
Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini
perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah
perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian
dapat dibedakan antara:
a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).
Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi
hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya
16
perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke
verbintenis.
Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu
atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi
kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak
dapat dipaksakan.
c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat
dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan
kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan
sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta
uang paksa.
Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain:
adalah orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum.17
B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
17
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan
dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian
sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .18
Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri
dari :
a. Syarat itikad baik,
b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,
c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,
d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Abdul R. Saliman
dkk terdiri dari:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilangar maka kontrak dapat dibatalkan
meliputi:
1) Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan).
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum
18
meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu.
2) Sesuatu sebab yang halal (kausa). 19 Menurut Mariam Darus Badrulzaman:
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan sebagai syarat objektif, karena mengenai subyek dari perjanjian. Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut20
Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya
perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut
batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian,
dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu,
sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa
benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat
disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian,
antara lain:
a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan,
b. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya tidak menjadi halangan
bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat
ditentukan atau dihitung.
c. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari.
19
Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus), Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 12-13.
20
Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah:
a. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai
negara,
b. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika,
c. Warisan yang belum terbuka.
Objek perjanjian ditentukan bahwa :
a. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk
menetapkan kewajiban masing-masing.
b. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah
perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan
dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari
pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila
kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.21
21
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak
mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana
orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan
orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari
orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah
perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu
suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara
tidak benar.
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud
dengan kekeliruan. Untuk itu harus dilihat pendapat doktrin yang mana telah
memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang
terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu
terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila
diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian
itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah
merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk
mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna
barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai
pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang
cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus
diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus
mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.22
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas
adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang
itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut
adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada
perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang
sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan,
gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan
inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau
sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yurisprudensi dalam hal
penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan
atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan
kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian
22
kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran
yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu
perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata,
dimana kecakapan itu dapat dibedakan:
a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.
b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang
menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara
suami isteri.
Perihal ketidak cakapan pada umumnya disebutkan bahwa orang-orang
yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada
tiga, yaitu :
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan
curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal
1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap
untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.
Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari
suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah
melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya
yang dikenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah
Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963
telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang
seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan
pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tergolong tidak
cakap, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang
dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa
perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu
sendiri, apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu
berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian
yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak
berkuasa bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat
suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata, kiranya
dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu
mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam
masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum
yang pertama ialah mengejar rasa keadilan wajarlah apabila orang yang membuat
suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai
dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang
yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah
umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan
sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab
itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari
sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam
masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti
mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang
dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat
bebas terhadap harta kekayaannya. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah
terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan
atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun
pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu
yang diperjanjikan, maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup
jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling
sedikit harus ditentukan jenisnya dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak
menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang
menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka
maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini,
perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah
adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada
isi perjanjian itu sendiri. Pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan
hal sesuatu keadaan belaka. Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan
suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”. Jenis-jenis perjanjian
tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (public policy)
tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum. Misalnya pengadilan tidak akan
memperkenankan seorang pembunuh bayaran memperoleh ganti rugi jika orang
yang menyuruh membunuh itu menolak pembayaran yang telah disetujui.23
Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,
dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.
“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang,
adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh
orang”
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
telah di kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif,
maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan
batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi,
maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk
menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
23
C. Perjanjian Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam dapat diambil pengertiannya dari pengertian
perjanjian pinjam mengganti. Pengertian perjanjian pinjam mengganti dirumuskan
dalam Pasal 1754 KUH Perdata Indonesia sebagai berikut: Pinjam mengganti
adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan pada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan sifat yang sama pula.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan: “Bahwa barang-barang yang
menghabis, seyogianya diganti dengan kalimat barang-barang yang dapat
diganti”.24 Demikian juga rumusan menurut Asser dalam Wirjono Prodjodikoro, rumusan yang diberikan undang-undang itu tidak tepat, yang menghabis tidak
dapat diganti, sedangkan di dalam perjanjian pinjam mengganti barang yang
dipinjam wajib dikembalikan.25
Adanya kewajiban mengembalikan barang yang dipinjam tersebut dalam
waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan, maka sudah jelas bahwa perjanjian
kredit termasuk dalam kategori persetujuan pinjam meminjam, yaitu : pinjam
meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1765 jo 1754 KUH Perdata. Sebagai
mana diketahui bahwa perjanjian kredit bank, adalah perjanjian pinjam meminjam
uang yang diperbuat antara Bank selaku pihak yang meminjamkan dan nasabah
24
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Soeroengan, Jakarta, 1980, hal. 132.
selaku si peminjam.
Perjanjian pinjam meminjam uang dapat diperbuat antara Bank selaku
pihak yang meminjamkan dan nasabah selaku si peminjam. Di dalam perjanjian
pinjam meminjam uang dapat diperjanjikan bunga, dan janji tersebut harus dibuat
secara tertulis dan tegas diperjanjikan. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 1765 KUH
Perdata yang berbunyi: “Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas
peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian”.
Subekti mengatakan: “bahwa lagi pula disini boleh diperjanjikan suatu
pembayaran dari pihak si peminjam, pembayaran mana dinamakan bunga atau
rate”. 26
Biasanya suatu perjanjian pinjam uang memakai bunga. Jika tidak
diperjanjikan suatu pembayaran bunga tetapi si peminjam membayar bunga, maka
menurut undang-undang pembayaran rente itu tidak boleh diminta kembali, artinya
pembayaran itu dianggap sah. Inilah salah satu contoh dari apa yang dinamakan
suatu Naturlijk Verbintenis.
Hanya bila apa yang dibayar melebihi bunga menurut undang-undang
(6%) pembayaran yang melebihi ketentuan ini dapat diminta kembali.27
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa : “kedua belah pihak leluasa
untuk berjanji, bahwa jumlah uang atau barang-barang yang harus dikembalikan
akan lebih banyak dari pada jumlah yang semula diberikan”.28
Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan jumlah yang sama adalah bukan peraturan
26
Ibid., hal. 137.
27
Ibid., hal. 138
28
mutlak (geen dwingend recht) dan Pasal 1765 KUH Perdata malahan
memperkenankan secara tegas, untuk dalam peminjaman uang memperjanjikan
pembayaran bunga.
Terpenting dalam perjanjian pinjam mengganti dan pinjam meminjam
uang, adalah dilaksanakannya kewajiban si peminjam. Mengenai kewajiban
pinjam meminjam yang sama dengan kewajiban peminjaman barang yang diatur
dalam bagian ke XIII Buku III.
Pada prinsipnya kewajiban si peminjam uang adalah memenuhi isi
perjanjian pinjam meminjam uang yang telah diikat antara ia dan pihak yang
meminjamkan.
Pasal 1764 KUH perdata menetapkan bahwa siapa yang menerima
pinjaman sesuatu diwajibkan untuk mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan
yang sama pada waktu yang ditetapkan.
Orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya
dalam jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang ditentukan. Bila tidak
ditetapkan suatu waktu maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran menurut
ketentuan Pasal 1760 KUH Perdata. Dengan demikian kewajiban utama dari si
peminjam adalah mengembalikan uang pinjaman sebesar jumlah yang
diperjanjikan pada waktu tertentu.
Membayar bunga uang pinjaman bukan suatu kewajiban kecuali hal itu
tegas diperjanjikan.
Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh R. Subekti mengatakan:
alasan dari penentuan ini sekiranya adalah : bahwa seorang berhutang yang menjanjikan pembayaran bunga yang amat tinggi, akan malu menyatakan secara hitam di atas putih. Maka dari itu sekiranya ketentuan ini adalah untuk mencegah penarikan bunga yang terlalu tinggi.29
Sebagai sanksi dari ketentuan ini harus dianggap bahwa apabila bunga
dijanjikan, tetapi secara lisan saja dan tidak tertulis, hakim harus menganggap tidak
ada perjanjian pembayaran bunga, atau menurut Pasal 1768 KUH Perdata dianggap
dijanjikan pembayaran bunga sebesar yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu
stbl. 1848 No. 22 yang menyebutkan bunga 6 % setahun.
Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut
dapat lebih besar dari bunga menurut undang-undang.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan :
Bahwa penetapan bunga ini diperbatasi oleh Woeker Ordonantie 1938 (Undang-Undang untuk pemberantasan lintah darat stbl. 1938 No. 524 mulai berlaku pada tanggal 17 – 9 – 1938) yang menetapkan hakim leluasa untuk menurunkan jumlah bunga itu dari pada yang diperjanjikan. Apabila bunga itu adalah terlalu tinggi, kecuali apabila dapat dianggap bahwa si berhutang tahu betul beratnya pembayaran bunga itu dan dia tidak bertindak secara semberono atau sebagai akibat dari kurang pengalamannya, dalam hal hutang piutang, atau dalam keadaan memaksa (lincht zinnigheid, onervarenheid atau
noodtoestend).30
Pasal 1769 KUH Perdata, menentukan suatu tanda bukti, bahwa uang
pinjaman pokok dibayar kembali, adalah membebaskan si berhutang dari
pembayaran bunga, jadi dengan bukti tanda terima uang pokok telah dibayar,
berarti bunganya juga telah dibayar.
Sebaliknya kewajiban pihak berpiutang juga diatur dalam Pasal 1759 s/d
1762 KUH perdata, yang merupakan kewajiban yang sebenarnya dari si berpiutang
29
Ibid, hal. 141.
30
hanya diatur dalam Pasal 1762 KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 1753 KUH Perdata adalah berlaku terhadap perjanjian
pinjam pengganti. Sedangkan ketentuan Pasal 1759 KUH Perdata hanya secara
negatif menentukan si berpiutang tidak boleh meminta pembayaran kembali
sebelum tiba waktunya yang ditentukan dalam perjanjian.
Ketentuan-ketentuan pinjam meminjam mengganti/perjanjian pinjam
mengganti dan pinjam uang dalam buku III KUH Perdata berlaku juga untuk
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA
A. Pengertian Kemitraan
Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Pasal 8
ayat 1 yang berbunyi “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan usaha oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan ”.
Upaya peningkatan mutu penyelenggaraan industri akan terus didorong
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara optimal terutama masyarakat
dunia usaha melalui peran sertanya dalam melakukan invetasi untuk mencapai
sinergi yang optimal. Partisipasi dunia usaha diharapkan akan memberikan
penyertaan modal, teknologi, manajemen dan pemasaran untuk dipadukan dengan
aset lahan, tenaga kerja serta fasilitas dan sarana umum. Dalam hal ini diharapkan
dunia usaha, melakukan kerjasama usaha sehingga akan terwujud pertumbuhan
ekonomi wilayah yang mandiri dan handal. Sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan melalui kerjasama kemitraan.
Kemitraan sekarang ini sudah menjadi perhatian semuah pihak, karena
kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk
pengembangan usaha kecil dan menengah melalui “permberdayaan” dalam rangka
memperoleh peningkatan pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan
tersebut disertai perbaikan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan
saling menguntungkan. Dengan demikian kemitraan merupakan suatu tindakan dan
hubungan bisnis untuk membesarkan usaha kecil secara rasional.
Tujuan kemitraan adalah untuk mengangkat usaha kecil menjadi pilar
pembangunan ekonomi karena kelemahan mendasar usaha kecil adalah dari segi
ekonomi dan akses ke sumber permodalan dan pasar. Kelompok usaha kecil
memerlukan dorongan pemerintah dalam peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, teknologi, permodalan/kredit dan pemasaran.31
Melalui kemitraan akan tercipta Transfer of Knowledge dalam hal
pengalaman pengelolaan usaha yang lebih efisien dan prospektif bagi usaha kecil,
sedangkan bagi usaha besar dan usaha menengah akan memperolah kontinuitas
produksi atau meningkatkan kapasitas yang lebih besar.
Apabila diamati, usaha yang dikembangkan akan menghasilkan efisiensi
dan sinergi sumberdaya yang dimiliki masing-masing pihak yang bermitra
sehingga kemitraan dapat menjawab masalah Diseconomies of scale yang sering
dihadapi oleh usaha besar atau usaha menengah. Disamping itu kemitraan juga
dapat memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan
produktif, sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni
atau aligopoli. Bagi usaha kecil seperti transmigran, kemitraan jelas sangat
menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat pasar, modal, teknologi,
manajemen dan kewirausahaan yang dikuasi oleh usaha besar atau usaha
31
menengah.
Mewujudkan kerjasama kemitraan diperlukan upaya-upaya nyata dalam
menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya usaha yang kokoh
berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan.
Kerjasama kemitraan dalam upaya keterkaitan usaha dilaksanakan melalui
pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan
memberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada transmigran baik oleh
pemerintah maupun dunia usaha.
B. Pengertian Bantuan Usaha
Bantuan usaha yang dimaksudkan disini adalah adalah pemberian bantuan
permodalan agar suatu usaha dapat melakukan aktivitasnya. Berdasarkan
pengertian tersebut maka maksud dari pengertian bantuan usaha dalam kapasitas
penelitian ini dapat disamakan dengan kredit.
Kredit ialah penyediaan uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak
dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.32
Kredit menurut etimologi berasal dari bahasa latin “credere” berarti
“kepercayaan, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak
32
yang memperoleh kepercayaan”.33
Perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman. Memang
diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur
dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut
dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.
Pemberian kredit harus dilakukan secara terang dan nyata serta dengan
prinsip kehati-hatian. Dengan demikian dibutuhkan analisis kredit yang mencakup
latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan
serta faktor-faktor lainnya.34
Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan
antara lain:
1. Kredit pada hakekatnya dapat meningkatkan daya guna uang.
a. Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau untuk meningkatkan usahanya.
b. Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.
2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet, dan wesel maka akan dapat meningkatkan peredaran uang giral.
3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang. Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat.
Di samping itu kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari suatu tempat dan menjualnya ke tempat lain.
4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi.
Arus kredit diarahkan pada sektor-sektor yang produktif dengan
33
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 236.
34
pembatasan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri agar bisa diekspor. Kebijakan tersebut telah berhasil dengan baik.
5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.
Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usaha, namun ada kalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurang mampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya.
6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.
Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan pendirian proyek baru akan membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proyek tersebut.35
C. Pengertian Jaminan
Istilah Jaminan adalah terjemahan dari kata Zekerheid atau Cautie yaitu
kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada
kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai
ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur
terhadap krediturnya.36
Menurut Undang No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan arti jaminan menurut Pasal 1
angka 23 jaminan diartikan sebagai agunan yaitu jaminan tambahan yang
diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
Dapat dijelaskan dari uraian di atas bahwa jaminan itu suatu tanggungan
35
Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 16.
36
yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan
debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang
piutang atau perjanjian lain.
Macam-macam jaminan dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Menurut terjadinya yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perjanjian yaitu jaminan khusus.
2. Menurut sifatnya yaitu jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tersebut dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.
3. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur semuanya.
4. Menurut Obyeknya. Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang dijadikan jaminan atas utang debitur (Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata). Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
5. Menurut Penguasaannya. Jaminan dengan penguasaan bendanya dan jaminan yang tanpa penguasan bendanya.37
Adapun jenis-jenis jaminan kredit dalam hal ini adalah jaminan kebendaan
yaitu berupa :
1. Gadai
Praktek gadai telah dikenal sejak zaman dahulu sampai sekarang. Oleh
sebab itu banyak yang membahas mengenai gadai dan mengemukakan definisinya.
Secara umum pengertian gadai dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Kredit yang diperoleh dengan memakai jaminan barang-barang berharga seperti :
37
Kuliahade's Blog, “Hukum jaminan : Pengertian dan macam-macam jaminan”,
emas, permata, berlian dan lain sebagainya”.38
Sedangkan pengertian lain gadai dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Suatu hak yang diperoleh seseorang, yang berpiutang atau suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh si berhutang atau orang lain atau namanya
untuk menjamin pembayaran hutang”.39
Pemerintah membuat gadai ini, terutama ditujukan untuk kepentingan
masyarakat golongan ekonomi kecil dengan persyaratan yang mudah dan praktis.
Selain itu juga berusaha untuk menghindarkan masyarakat dari praktek rentenir,
ijon dan pelepas uang lainnya.
Dalam hubungannya dengan syarat sahnya gadai, yaitu barang gadai harus
dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai, maka barang gadai harus dialihkan
dalam penguasaan bank atau pihak ketiga yang disetujui para pihak.40 Untuk itu jika Bank memiliki gudang, maka barang gadai itu disimpan di dalam gudang
Bank. Akan tetapu dalam hal gudang Bank tidak ada, untuk menampung barang
gadai, khususnya barang perniagaan yang jumlahnya banyak, maka dapat
dipergunakan gudang nasabah atau pihak ketiga.
Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka jadilah gadai dan prakteknya
dapat bermacam-macam. Barang jaminan yang telah diterima tidak boleh
digadaikan lagi kepada orang lain. Dan penerima gadai memiliki hak untuk
melarangnya, misalnya si A menggadaikan sebuah sepeda motor kepada pegadaian
38
M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 213.
39
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung, 1979, hal. 62.
40
kemudian ia menggadaikannya kepada orang lain, maka gadai yang kedua
batal dan pegadaian berhak melarangnya karena ia mempunyai hak sampai
dilunasinya piutang.
Gadai berkaitan dengan hak barang yang digadaikan, maka apabila terjadi
gadai barang jaminan harus diserahkan sepenuhnya kepada orang yang menerima
gadai, dengan demikian jika penggadai melunasi hutangnya, maka keseluruhan
barang gadai akan diserahkan kepada pemberi gadai.
Apabila benda yang dapat digadaikan itu telah dipegang maka telah
sempurnalah gadai. Jadi penerima gadai lebih berhak dengan barang daripada
orang lain. Penggadaian tidak boleh melepaskan hak gadainya jika jangka waktu
yang ditentukan belum sampai.
2. Hak Tanggungan
Pada tanggal 9 April 1996 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(UUHT) diundangkan sebagai realisasi dari Pasal 51 Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Undang-undang ini mencabut
ketentuan-ketentuan Hypotheek sepanjang mengenai tanah (KUH Perdata Buku II) dan
ketentuan Credietverband S. 1908 –542. Jo. S. 1909-584 sebagai yang telah diubah
dengan S. 1937-190 jo. S 1937-191.
Menurut Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan merupakan
satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dan dengan lahirnya, UUHT, unifikasi
hukum tanah nasional menjadi tuntas, yang merupakan salah satu tujuan utama
Pengertian hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah atau hak tanggungan menurut Undang-undang Hak Tanggungan ini
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Hak tanggungan di dalam Undang-undang Hak T