• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM

KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L

DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

D

D

R

R

I

I

H

H

A

A

R

R

I

I

A

A

D

D

I

I

NIM. 090200368

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM

KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L

DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

D

D

R

R

I

I

H

H

A

A

R

R

I

I

A

A

D

D

I

I

NIM. 090200368

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NI P. 196603031985081001

Pembimbing I

O. K. Saidin, SH, M.Hum NI P. 196202131990031002

Pembimbing I I

Zulfi Chairi, SH, M.Hum NI P. 197108012001122006

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat

beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program

Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero)

Tbk Medan”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan

di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran

yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan

hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen

pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan

memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu

(4)

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu

Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O. K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,

serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,

serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

6. Kepada Papa Agus Heriadi dan Mama Sudarsih, atas segala perhatian,

dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada

penulis.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama

(5)

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, September 2013

(6)

DAFTAR I SI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 9

A. Pengertian Perjanjian ... 9

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian... 16

C. Perjanjian Pinjam Meminjam... 26

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA ... 31

A. Pengertian Kemitraan ... 31

B. Pengertian Bantuan Usaha ... 33

C. Pengertian Jaminan ... 35

D. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ... 44

BAB IV PERJANJIAN PROGRAM KEMITRAAN BANTUAN USAHA

(7)

(PERSERO) TBK MEDAN ... 55

A. Pelaksanaan Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan ... 55

B. Bentuk-Bentuk Jaminan Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program Kemitraan Bantuan Usaha . 67 C. Akibat Hukum Terhadap Jaminan Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

(8)

ABSTRAK

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

(9)

ABSTRAK

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat

kebutuhan yang besar akan jasa keuangan di kalangan masyarakat yang

berpenghasilan rendah/rumah tangga. Dalam peta tentang keuangan yang beredar

di pedesaan Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal

dari 5 (lima) sumber, yaitu:

1. Arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif

2. Kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif

3. Lembaga keuangan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif

4. Rentenir dan pedagang.

5. Teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.1

Antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat pedesaan, yang

diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Keuangan Non Formal.

Lembaga keuangan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda

dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan, karena organisasinya

sederhana dan biasanya pemberian pinjaman tanpa adanya jaminan formal seperti

hak atas tanah. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi,

bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling

menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya.

1

Suki-KTM, “Memberdayakan Masyarakat Dengan Mikrokredit”,

(11)

Salah satu kebijakan terhadap pemberian pinjaman modal di Indonesia

yang dilahirkan pemerintah adalah kebijakan melalui lembaga keuangan mikro.

Lembaga keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan pemberdayaan

berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin/pengusaha kecil. Jadi

keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat

yang berpenghasilan rendah. Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki

tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor

informal.

Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan

jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah,

pelayanan kesehatan dan masalah gender. Cakupan dari keuangan mikro jelas

terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal.

Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Pengusaha kecil umumnya adalah

penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian,

perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga. 2

Perkembangan lembaga keuangan mikro ini dalam perwujudannya

menunjukkan eksistensi yang positif. Mencontoh apa yang diterapkan oleh

Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Muhammad Yunus adalah seorang

bankir Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu

pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu

meminjam dari bank umum.3

2

PT Indosiar Visual Mandiri, “Muhammad Yunus: Bankir Rakyat Miskin”,

www.indosiar.com, Copyright 2005, diakses tanggal 3 September 2013.

(12)

Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro yang

memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit

mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang

yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan

kebijakan pinjaman yang dikembangkan oleh beberapa Badan Usaha Milik Negara

dewasa ini. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital

formation) tergantung pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana

pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu

mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si

peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia

miliki.

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk

kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak.

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan

Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian

pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal

kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil.

Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi

kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari

pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha

(13)

Kondisi ketiadaan jaminan inilah yang menjadi kendala bagi pengusaha

ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit. Sebaliknya di satu sisi

ketiadaan jaminan tentunya akan memberikan kondisi sulitnya bagi pengusaha

ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit.

Kenyataan di atas menjadi suatu alasan ketertarikan penulis untuk

mengetengahkan pembahasan tentang “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program

Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga

(Persero) Tbk Medan”.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi

kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan?

b. Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi

kecil dalam program kemitraan bantuan usaha?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam

perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil?

B. Tujuan Penulisan

Adapun yang jadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada

ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

(14)

ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha.

c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi

dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

D. ManfaatPenulisan

a. Secara Teoritis :

Hasil penelitian ini berfaedah bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya tentang perkembangan pemberian jaminan kredit usaha kecil

dan menengah melalui program kemitraan.

b. Secara praktis :

Hasil penelitian ini berfaedah bagi usaha pencegahan dan penanggulangan

masalah perjanjian kemitraan antara ekonomi kecil dan menengah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis empiris atau

penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain serta penelitian

lapangan.

2. Sumber data

(15)

sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian lapangan pada PT. Jasa

Marga (Persero) Tbk. Medan, sedangkan data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Nasional, serta

KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun

kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta penelitian

lapangan melalui wawancara di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,

studi dokumen dan penelitian lapangan pada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk.

Medan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis

kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang

dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang

(16)

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian

Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga

(Persero) Tbk. Medan” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri.

Dari analisis kepustakaan di Fakultas Hukum USU tidak ditemukan, sehingga

dengan demikian kajian dan penelitian ini adalah yang pertama sekali. Sehingga

penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral

dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian

Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang

berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian dan Jenis Perjanjian,

(17)

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Kemitraan dan Bantuan Usaha

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang

secara umum dibahas mengenai: Pengertian Kemitraan, Pengertian

Bantuan Usaha, Jaminan dan Bentuk-Bentuknya, serta Pengertian

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).

Bab IV. Perjanjian program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada ekonomi Kecil

di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Pelaksanaan

Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil

di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan, Bentuk-Bentuk Jaminan

Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program

Kemitraan Bantuan Usaha serta Akibat Hukum Terhadap Jaminan

Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan

Usaha Kepada Ekonomi Kecil.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak

yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang

dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang

terdiri dari dua pihak. Hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata

adalah hukum pelengkap yang merupakan peraturan umum artinya orang bebas

mengadakan perjanjian apapun isinya dan hukum perikatan hanya bersifat

melengkapi saja4 Perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst

dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggeris.5

Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada Pasal

1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi perjanjian. Menurut ketentuan

Pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga

terlalu luas. Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti

diuraikan berikut ini:

4

Purwahid Patrik. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang). Mandar Maju. Bandung, 1994. hal. 1.

5

Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 2.

(19)

Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.6

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan

kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

melakukan sesuatu hal”.7 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

tertulis.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan perjanjian adalah sebagai berikut: “Perjanjian adalah salah satu sumber

perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah

satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur

dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk

menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian

tersebut”.8

M. Yahya Harahap berpendapat perjanjian atau verbintenis mengandung

pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

6

Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

7

R. Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung, 2008. hal. 4.

8

(20)

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi” 9

Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum

(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban di pihak lain tentang

suatu prestasi. 10

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan

yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda

kekeluargaan. Dalam lapangan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya

timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang

diatur dalam hukum waris.

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari

perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab

dalam mengemukakan defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut

memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Dalam setiap defenisi

yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas

bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari

perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak

yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang

menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan.

Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh

9

M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, 2002, hal. 6.

10

(21)

hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu

perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah

hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan

yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda

kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya

timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang

diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara

pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan

hukum yang terjadi karena adanya kontrak (perjanjian tertulis) tersebut dikatakan

perikatan, karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya,

yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. Dimana apabila hak

tersebut tidak terpenuhi dan kewajiban tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut

tidak akan terjadi.11 Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu

pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak

yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan

prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul

kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang berdasarkan

tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.

11

(22)

Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser

atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai

schuldenaar atau debitur.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam

hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan

mempunyai karakter yang paling mutlak.12

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum

kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata

karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat

pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan

hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun

hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan

benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi

mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati

hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas

12

(23)

benda tersebut.13

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.14

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang

pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap

hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak

mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II BW tidak

dinyatakan berlaku lagi.15

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi

ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan

fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari

perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian bahwa perbuatan itu tidak lahir dari

suatu perjanjian yaitu:

13

Ibid., hal. 3.

14

Ibid., hal. 4.

(24)

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu

(bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan

tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat

dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan

hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan

Arrest (H.R. 10 Juni 1910).16

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan

prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi

kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan

kewajiban/prestasi yang diperjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela

memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk

melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan

tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini

perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah

perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian

dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi

hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya

16

(25)

perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke

verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu

atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi

kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak

dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat

dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan

kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan

sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta

uang paksa.

Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain:

adalah orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya

adalah cakap menurut hukum.17

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

17

(26)

c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan

dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian

sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .18

Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri

dari :

a. Syarat itikad baik,

b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,

c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,

d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Abdul R. Saliman

dkk terdiri dari:

a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilangar maka kontrak dapat dibatalkan

meliputi:

1) Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan).

2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum

18

(27)

meliputi:

1) Suatu hal (objek) tertentu.

2) Sesuatu sebab yang halal (kausa). 19 Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan sebagai syarat objektif, karena mengenai subyek dari perjanjian. Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut20

Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya

perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut

batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian,

dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu,

sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa

benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat

disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian,

antara lain:

a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan,

b. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya tidak menjadi halangan

bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat

ditentukan atau dihitung.

c. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari.

19

Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus), Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 12-13.

20

(28)

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah:

a. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai

negara,

b. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika,

c. Warisan yang belum terbuka.

Objek perjanjian ditentukan bahwa :

a. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk

menetapkan kewajiban masing-masing.

b. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah

perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak

pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan

dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari

pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila

kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat

mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.21

21

(29)

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak

mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana

orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan

orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari

orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah

perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat

dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu

suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara

tidak benar.

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak

memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud

dengan kekeliruan. Untuk itu harus dilihat pendapat doktrin yang mana telah

memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang

terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu

terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila

diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian

itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah

merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk

mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna

(30)

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai

pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang

cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus

diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus

mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.22

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas

adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang

itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut

adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada

perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang

sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan,

gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan

inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau

sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yurisprudensi dalam hal

penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan

atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan

kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian

22

(31)

kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran

yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu

perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata,

dimana kecakapan itu dapat dibedakan:

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang

menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara

suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya disebutkan bahwa orang-orang

yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada

tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan

curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal

1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap

untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.

Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari

suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah

(32)

melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya

yang dikenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah

Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963

telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang

seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan

pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tergolong tidak

cakap, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang

dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa

perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu

sendiri, apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu

berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian

yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak

berkuasa bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang

merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat

suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata, kiranya

dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu

mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam

masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum

yang pertama ialah mengejar rasa keadilan wajarlah apabila orang yang membuat

suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai

(33)

dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang

yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah

umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan

sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab

itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari

sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam

masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti

mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang

dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat

bebas terhadap harta kekayaannya. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah

terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan

atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun

pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu

yang diperjanjikan, maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup

jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling

sedikit harus ditentukan jenisnya dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak

menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang

menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka

(34)

maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini,

perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah

adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada

isi perjanjian itu sendiri. Pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan

hal sesuatu keadaan belaka. Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan

suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”. Jenis-jenis perjanjian

tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (public policy)

tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum. Misalnya pengadilan tidak akan

memperkenankan seorang pembunuh bayaran memperoleh ganti rugi jika orang

yang menyuruh membunuh itu menolak pembayaran yang telah disetujui.23

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,

dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang,

adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh

orang”

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian

telah di kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif,

maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan

batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi,

maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk

menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

23

(35)

C. Perjanjian Pinjam Meminjam

Perjanjian pinjam meminjam dapat diambil pengertiannya dari pengertian

perjanjian pinjam mengganti. Pengertian perjanjian pinjam mengganti dirumuskan

dalam Pasal 1754 KUH Perdata Indonesia sebagai berikut: Pinjam mengganti

adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan pada pihak yang lain

suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian dengan

syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama

dari macam dan sifat yang sama pula.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan: “Bahwa barang-barang yang

menghabis, seyogianya diganti dengan kalimat barang-barang yang dapat

diganti”.24 Demikian juga rumusan menurut Asser dalam Wirjono Prodjodikoro, rumusan yang diberikan undang-undang itu tidak tepat, yang menghabis tidak

dapat diganti, sedangkan di dalam perjanjian pinjam mengganti barang yang

dipinjam wajib dikembalikan.25

Adanya kewajiban mengembalikan barang yang dipinjam tersebut dalam

waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan, maka sudah jelas bahwa perjanjian

kredit termasuk dalam kategori persetujuan pinjam meminjam, yaitu : pinjam

meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1765 jo 1754 KUH Perdata. Sebagai

mana diketahui bahwa perjanjian kredit bank, adalah perjanjian pinjam meminjam

uang yang diperbuat antara Bank selaku pihak yang meminjamkan dan nasabah

24

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Soeroengan, Jakarta, 1980, hal. 132.

(36)

selaku si peminjam.

Perjanjian pinjam meminjam uang dapat diperbuat antara Bank selaku

pihak yang meminjamkan dan nasabah selaku si peminjam. Di dalam perjanjian

pinjam meminjam uang dapat diperjanjikan bunga, dan janji tersebut harus dibuat

secara tertulis dan tegas diperjanjikan. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 1765 KUH

Perdata yang berbunyi: “Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas

peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian”.

Subekti mengatakan: “bahwa lagi pula disini boleh diperjanjikan suatu

pembayaran dari pihak si peminjam, pembayaran mana dinamakan bunga atau

rate”. 26

Biasanya suatu perjanjian pinjam uang memakai bunga. Jika tidak

diperjanjikan suatu pembayaran bunga tetapi si peminjam membayar bunga, maka

menurut undang-undang pembayaran rente itu tidak boleh diminta kembali, artinya

pembayaran itu dianggap sah. Inilah salah satu contoh dari apa yang dinamakan

suatu Naturlijk Verbintenis.

Hanya bila apa yang dibayar melebihi bunga menurut undang-undang

(6%) pembayaran yang melebihi ketentuan ini dapat diminta kembali.27

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa : “kedua belah pihak leluasa

untuk berjanji, bahwa jumlah uang atau barang-barang yang harus dikembalikan

akan lebih banyak dari pada jumlah yang semula diberikan”.28

Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan jumlah yang sama adalah bukan peraturan

26

Ibid., hal. 137.

27

Ibid., hal. 138

28

(37)

mutlak (geen dwingend recht) dan Pasal 1765 KUH Perdata malahan

memperkenankan secara tegas, untuk dalam peminjaman uang memperjanjikan

pembayaran bunga.

Terpenting dalam perjanjian pinjam mengganti dan pinjam meminjam

uang, adalah dilaksanakannya kewajiban si peminjam. Mengenai kewajiban

pinjam meminjam yang sama dengan kewajiban peminjaman barang yang diatur

dalam bagian ke XIII Buku III.

Pada prinsipnya kewajiban si peminjam uang adalah memenuhi isi

perjanjian pinjam meminjam uang yang telah diikat antara ia dan pihak yang

meminjamkan.

Pasal 1764 KUH perdata menetapkan bahwa siapa yang menerima

pinjaman sesuatu diwajibkan untuk mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan

yang sama pada waktu yang ditetapkan.

Orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya

dalam jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang ditentukan. Bila tidak

ditetapkan suatu waktu maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran menurut

ketentuan Pasal 1760 KUH Perdata. Dengan demikian kewajiban utama dari si

peminjam adalah mengembalikan uang pinjaman sebesar jumlah yang

diperjanjikan pada waktu tertentu.

Membayar bunga uang pinjaman bukan suatu kewajiban kecuali hal itu

tegas diperjanjikan.

Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh R. Subekti mengatakan:

(38)

alasan dari penentuan ini sekiranya adalah : bahwa seorang berhutang yang menjanjikan pembayaran bunga yang amat tinggi, akan malu menyatakan secara hitam di atas putih. Maka dari itu sekiranya ketentuan ini adalah untuk mencegah penarikan bunga yang terlalu tinggi.29

Sebagai sanksi dari ketentuan ini harus dianggap bahwa apabila bunga

dijanjikan, tetapi secara lisan saja dan tidak tertulis, hakim harus menganggap tidak

ada perjanjian pembayaran bunga, atau menurut Pasal 1768 KUH Perdata dianggap

dijanjikan pembayaran bunga sebesar yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu

stbl. 1848 No. 22 yang menyebutkan bunga 6 % setahun.

Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut

dapat lebih besar dari bunga menurut undang-undang.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan :

Bahwa penetapan bunga ini diperbatasi oleh Woeker Ordonantie 1938 (Undang-Undang untuk pemberantasan lintah darat stbl. 1938 No. 524 mulai berlaku pada tanggal 17 – 9 – 1938) yang menetapkan hakim leluasa untuk menurunkan jumlah bunga itu dari pada yang diperjanjikan. Apabila bunga itu adalah terlalu tinggi, kecuali apabila dapat dianggap bahwa si berhutang tahu betul beratnya pembayaran bunga itu dan dia tidak bertindak secara semberono atau sebagai akibat dari kurang pengalamannya, dalam hal hutang piutang, atau dalam keadaan memaksa (lincht zinnigheid, onervarenheid atau

noodtoestend).30

Pasal 1769 KUH Perdata, menentukan suatu tanda bukti, bahwa uang

pinjaman pokok dibayar kembali, adalah membebaskan si berhutang dari

pembayaran bunga, jadi dengan bukti tanda terima uang pokok telah dibayar,

berarti bunganya juga telah dibayar.

Sebaliknya kewajiban pihak berpiutang juga diatur dalam Pasal 1759 s/d

1762 KUH perdata, yang merupakan kewajiban yang sebenarnya dari si berpiutang

29

Ibid, hal. 141.

30

(39)

hanya diatur dalam Pasal 1762 KUH Perdata.

Ketentuan Pasal 1753 KUH Perdata adalah berlaku terhadap perjanjian

pinjam pengganti. Sedangkan ketentuan Pasal 1759 KUH Perdata hanya secara

negatif menentukan si berpiutang tidak boleh meminta pembayaran kembali

sebelum tiba waktunya yang ditentukan dalam perjanjian.

Ketentuan-ketentuan pinjam meminjam mengganti/perjanjian pinjam

mengganti dan pinjam uang dalam buku III KUH Perdata berlaku juga untuk

(40)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA

A. Pengertian Kemitraan

Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Pasal 8

ayat 1 yang berbunyi “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil

dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan

pengembangan usaha oleh usaha menengah atau usaha besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan ”.

Upaya peningkatan mutu penyelenggaraan industri akan terus didorong

dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara optimal terutama masyarakat

dunia usaha melalui peran sertanya dalam melakukan invetasi untuk mencapai

sinergi yang optimal. Partisipasi dunia usaha diharapkan akan memberikan

penyertaan modal, teknologi, manajemen dan pemasaran untuk dipadukan dengan

aset lahan, tenaga kerja serta fasilitas dan sarana umum. Dalam hal ini diharapkan

dunia usaha, melakukan kerjasama usaha sehingga akan terwujud pertumbuhan

ekonomi wilayah yang mandiri dan handal. Sebagai usaha bersama atas asas

kekeluargaan melalui kerjasama kemitraan.

Kemitraan sekarang ini sudah menjadi perhatian semuah pihak, karena

kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk

pengembangan usaha kecil dan menengah melalui “permberdayaan” dalam rangka

memperoleh peningkatan pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan

(41)

tersebut disertai perbaikan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha

besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan

saling menguntungkan. Dengan demikian kemitraan merupakan suatu tindakan dan

hubungan bisnis untuk membesarkan usaha kecil secara rasional.

Tujuan kemitraan adalah untuk mengangkat usaha kecil menjadi pilar

pembangunan ekonomi karena kelemahan mendasar usaha kecil adalah dari segi

ekonomi dan akses ke sumber permodalan dan pasar. Kelompok usaha kecil

memerlukan dorongan pemerintah dalam peningkatan kualitas sumberdaya

manusia, teknologi, permodalan/kredit dan pemasaran.31

Melalui kemitraan akan tercipta Transfer of Knowledge dalam hal

pengalaman pengelolaan usaha yang lebih efisien dan prospektif bagi usaha kecil,

sedangkan bagi usaha besar dan usaha menengah akan memperolah kontinuitas

produksi atau meningkatkan kapasitas yang lebih besar.

Apabila diamati, usaha yang dikembangkan akan menghasilkan efisiensi

dan sinergi sumberdaya yang dimiliki masing-masing pihak yang bermitra

sehingga kemitraan dapat menjawab masalah Diseconomies of scale yang sering

dihadapi oleh usaha besar atau usaha menengah. Disamping itu kemitraan juga

dapat memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan

produktif, sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni

atau aligopoli. Bagi usaha kecil seperti transmigran, kemitraan jelas sangat

menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat pasar, modal, teknologi,

manajemen dan kewirausahaan yang dikuasi oleh usaha besar atau usaha

31

(42)

menengah.

Mewujudkan kerjasama kemitraan diperlukan upaya-upaya nyata dalam

menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya usaha yang kokoh

berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan.

Kerjasama kemitraan dalam upaya keterkaitan usaha dilaksanakan melalui

pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan

memberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada transmigran baik oleh

pemerintah maupun dunia usaha.

B. Pengertian Bantuan Usaha

Bantuan usaha yang dimaksudkan disini adalah adalah pemberian bantuan

permodalan agar suatu usaha dapat melakukan aktivitasnya. Berdasarkan

pengertian tersebut maka maksud dari pengertian bantuan usaha dalam kapasitas

penelitian ini dapat disamakan dengan kredit.

Kredit ialah penyediaan uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak

dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.32

Kredit menurut etimologi berasal dari bahasa latin “credere” berarti

“kepercayaan, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak

32

(43)

yang memperoleh kepercayaan”.33

Perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman. Memang

diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur

dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut

dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.

Pemberian kredit harus dilakukan secara terang dan nyata serta dengan

prinsip kehati-hatian. Dengan demikian dibutuhkan analisis kredit yang mencakup

latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan

serta faktor-faktor lainnya.34

Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan

antara lain:

1. Kredit pada hakekatnya dapat meningkatkan daya guna uang.

a. Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau untuk meningkatkan usahanya.

b. Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.

2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.

Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet, dan wesel maka akan dapat meningkatkan peredaran uang giral.

3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang. Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat.

Di samping itu kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari suatu tempat dan menjualnya ke tempat lain.

4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi.

Arus kredit diarahkan pada sektor-sektor yang produktif dengan

33

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 236.

34

(44)

pembatasan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri agar bisa diekspor. Kebijakan tersebut telah berhasil dengan baik.

5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.

Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usaha, namun ada kalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurang mampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya.

6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.

Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan pendirian proyek baru akan membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proyek tersebut.35

C. Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan adalah terjemahan dari kata Zekerheid atau Cautie yaitu

kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada

kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai

ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur

terhadap krediturnya.36

Menurut Undang No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan arti jaminan menurut Pasal 1

angka 23 jaminan diartikan sebagai agunan yaitu jaminan tambahan yang

diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit

atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Dapat dijelaskan dari uraian di atas bahwa jaminan itu suatu tanggungan

35

Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 16.

36

(45)

yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan

debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang

piutang atau perjanjian lain.

Macam-macam jaminan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Menurut terjadinya yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perjanjian yaitu jaminan khusus.

2. Menurut sifatnya yaitu jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tersebut dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.

3. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur semuanya.

4. Menurut Obyeknya. Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang dijadikan jaminan atas utang debitur (Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata). Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.

5. Menurut Penguasaannya. Jaminan dengan penguasaan bendanya dan jaminan yang tanpa penguasan bendanya.37

Adapun jenis-jenis jaminan kredit dalam hal ini adalah jaminan kebendaan

yaitu berupa :

1. Gadai

Praktek gadai telah dikenal sejak zaman dahulu sampai sekarang. Oleh

sebab itu banyak yang membahas mengenai gadai dan mengemukakan definisinya.

Secara umum pengertian gadai dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Kredit yang diperoleh dengan memakai jaminan barang-barang berharga seperti :

37

Kuliahade's Blog, “Hukum jaminan : Pengertian dan macam-macam jaminan”,

(46)

emas, permata, berlian dan lain sebagainya”.38

Sedangkan pengertian lain gadai dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Suatu hak yang diperoleh seseorang, yang berpiutang atau suatu barang bergerak,

yang diserahkan kepadanya oleh si berhutang atau orang lain atau namanya

untuk menjamin pembayaran hutang”.39

Pemerintah membuat gadai ini, terutama ditujukan untuk kepentingan

masyarakat golongan ekonomi kecil dengan persyaratan yang mudah dan praktis.

Selain itu juga berusaha untuk menghindarkan masyarakat dari praktek rentenir,

ijon dan pelepas uang lainnya.

Dalam hubungannya dengan syarat sahnya gadai, yaitu barang gadai harus

dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai, maka barang gadai harus dialihkan

dalam penguasaan bank atau pihak ketiga yang disetujui para pihak.40 Untuk itu jika Bank memiliki gudang, maka barang gadai itu disimpan di dalam gudang

Bank. Akan tetapu dalam hal gudang Bank tidak ada, untuk menampung barang

gadai, khususnya barang perniagaan yang jumlahnya banyak, maka dapat

dipergunakan gudang nasabah atau pihak ketiga.

Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka jadilah gadai dan prakteknya

dapat bermacam-macam. Barang jaminan yang telah diterima tidak boleh

digadaikan lagi kepada orang lain. Dan penerima gadai memiliki hak untuk

melarangnya, misalnya si A menggadaikan sebuah sepeda motor kepada pegadaian

38

M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 213.

39

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung, 1979, hal. 62.

40

(47)

kemudian ia menggadaikannya kepada orang lain, maka gadai yang kedua

batal dan pegadaian berhak melarangnya karena ia mempunyai hak sampai

dilunasinya piutang.

Gadai berkaitan dengan hak barang yang digadaikan, maka apabila terjadi

gadai barang jaminan harus diserahkan sepenuhnya kepada orang yang menerima

gadai, dengan demikian jika penggadai melunasi hutangnya, maka keseluruhan

barang gadai akan diserahkan kepada pemberi gadai.

Apabila benda yang dapat digadaikan itu telah dipegang maka telah

sempurnalah gadai. Jadi penerima gadai lebih berhak dengan barang daripada

orang lain. Penggadaian tidak boleh melepaskan hak gadainya jika jangka waktu

yang ditentukan belum sampai.

2. Hak Tanggungan

Pada tanggal 9 April 1996 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

(UUHT) diundangkan sebagai realisasi dari Pasal 51 Undang-undang Pokok

Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Undang-undang ini mencabut

ketentuan-ketentuan Hypotheek sepanjang mengenai tanah (KUH Perdata Buku II) dan

ketentuan Credietverband S. 1908 –542. Jo. S. 1909-584 sebagai yang telah diubah

dengan S. 1937-190 jo. S 1937-191.

Menurut Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan merupakan

satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dan dengan lahirnya, UUHT, unifikasi

hukum tanah nasional menjadi tuntas, yang merupakan salah satu tujuan utama

(48)

Pengertian hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah atau hak tanggungan menurut Undang-undang Hak Tanggungan ini

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, berikut

atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Hak tanggungan di dalam Undang-undang Hak T

Referensi

Dokumen terkait

[r]

But, then, accord- ing to Madjid (1992:25), the value of meaning and purpose are not automatically positive, because whatever ideologies or ways of life have possibil- ity to

The impact of higher ignition voltage of the aftermarket ignition coil was proven to be more prevalent than the influence of advanced ignition timing of the

Padahal data-data yang tidak terpakai tersebut dapat digunakan untuk menggali informasi lebih dalam, salah satunya untuk memprediksi performansi mahasiswa menggunakan teknik

[r]

Apabila dalam penelitian lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) terdapat tunggakan/piutang retribusi atau piutang BLUD, dengan tanggal ketetapan

Green IT refers to environmentally sound information technologies and systems, applications and practices and encompasses three complementary IT-enabled approaches to

Dalam peraturan tersebut mewajibkan semua bank umum agar melakukan penilaian sendiri ( self assesment ) Tingkat Kesehatan Bank menggunakan pendekatan risiko ( Risk-bassed