• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN DIRI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERIMAAN DIRI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN

DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI

SKRIPSI

Oleh : Mutia Nadia 201210230311028

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

PENERIMAAN DIRI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN

DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh : Mutia Nadia 201210230311028

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Penerimaan Diri Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Sosial Ekonomi

2. Nama Peneliti : Mutia Nadia 3. NIM : 201210230311028 4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 3 Desember – 29 Desember 2015

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 2 Februari 2016 Dewan Penguji

Ketua Penguji : Dr. Iswinarti, M.Si. ( )

Anggota Penguji : 1. Siti Maimunah, S.Psi, MM, MA. ( ) 2. Ni’Matuzahroh, S.Psi, M.Si. ( )

3. M. Shohib, S.Psi, M.Si. ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Iswinarti, M.Si. Siti Maimunah, S.Psi, MM, MA.

Malang, Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Mutia Nadia

NIM : 201210230311028

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul :

Penerimaan Diri Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Sosial Ekonomi 1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam

bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya. 2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak

bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 28 Januari 2016 Mengetahui,

Ketua Program Studi Yang Menyatakan,

Yuni Nurhamidah, S.Psi, M.Si. Mutia Nadia

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, rezeki, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, kepada para keluarga, sahabat, dan kepada umatnya sampai akhir zaman. Penulisan skripsi ini dengan judul “Penerimaan Diri Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Sosial Ekonomi” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, arahan yang bermanfaat, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si selaku ketua program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Dr. Iswinarti, M.Si selaku pembimbing I dan Siti Maimunah S.Psi., MM., MA selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan, bimbingan yang sangat berguna sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Diana Savitri Hidayati, S.Psi, M.Psi selaku dosen wali yang telah membimbing, memberikan nasihat, dan begitu banyak mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang begitu berarti bagi penulis.

5. Kepada seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman serta memberikan pengarahan yang bermanfaat bagi penulis.

6. Kepada Ayah dan Ibu tersayang, M. Munawar dan Dian Yuliatmianti yang tidak hentinya memanjatkan doa dalam setiap sujudnya, memberikan semangat, dukungan, serta menjadi motivasi bagi penulis baik secara moril dan materil demi kelancaran skripsi ini. Dukungan dari kalian menjadi kekuatan besar bagi penulis agar mampu dan yakin dalam proses perkuliahan sampai dengan proses skripsi ini. Serta adik-adik terkasih, M. Faishal Aldian, Aqilah Fadhiyah yang menjadi motivasi dan semangat bagi penulis. Teruslah berprestasi dan melakukan hal positif untuk membanggakan kedua orang tua.

7. Kepada Zani Patria Akbar yang selalu mendukung, mendoakan, memberikan nasihat dan memberikan semangat tiada henti untuk kelancaran perkuliahan dan proses skripsi, serta Fritta Esya Putri yang juga tidak luput selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis agar mampu menjalani hari-hari dalam penyelesaian skripsi ini.

(6)

untuk ilmu yang bermanfaat yang telah diberikan. Serta sahabatku Amalia Asfarina, yang selalu memberikan dukungan luar biasa, Syauqi Dzulfikar dan Ical Nesar yang juga selalu memberikan semangat.

10.Kepada seluruh keluarga besar psikologi 2012, khususnya psikologi B dan psikologi A angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang memberikan banyak pengalaman, dukungan, dan telah menjadikan penulis sebagai keluarga baru. 11.Teman-teman bimbingan seperjuangan Dewi, Astri, Ayu, Syifa, Andin, Mirza, Kiki

Yunida, Kiki, Shella, Alfi, Resti, Lovi, Defi, Manda yang selalu memberikan informasi dan menjadi motivasi bagi penulis untuk terus menyelesaikan skripsi dengan baik.

12.Kepada seluruh kerabat, teman, sahabat, dan sanak keluarga di Malang maupun Mataram yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga tidak lupa selalu mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah mendukung dan menjadi motivasi bagi penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat menjadikan penulis lebih baik lagi dan dapat menciptakan karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga karya ini memberikan manfaat bagi semua pihak.

Malang, 28 Januari 2016 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Surat Pernyataan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Lampiran ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

Masa Pensiun ... 5

Penerimaan Diri ... 6

Status Sosial Ekonomi ... 8

Penerimaan Diri Pensiun Berdasarkan Status Sosial Ekonomi ... 10

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 11

Prosedur dan Analisa Data ... 13

HASIL PENELITIAN ... 14

DISKUSI ... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 18

REFERENSI ... 19

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Indeks validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ... 12

Tabel 2.1. Deskripsi subjek penelitian ... 14

Tabel 2.2. Hasil analisa uji beda penerimaan diri ditinjau dari status sosial ekonomi ... 14

Tabel 2.3. Penerimaan diri dengan mean status sosial ekonomi... 14

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

Hasil Uji One Way Anova ... 22

Uji normalitas ... 23

Uji linieritas ... 23

Uji homogenitas ... 23

Uji Hipotesis ... 23

Multiple comparisons ... 24

Analisa mean penerimaan diri ... 25

Lampiran II Blue Print Skala ... 26

Blue print skala penerimaan diri ... 27

Blue print skala status sosial ekonomi ... 27

Lampiran III Validitas dan Reliabilitas ... 28

Item valid skala penerimaan diri ... 29

Item valid skala status sosial ekonomi ... 29

Hasil uji coba skala ... 29

LampiranIV Norma dan Tabel ... 30

Norma kategori status sosial ekonomi ... 31

Tabel penilaian skala status sosial ekonomi ... 31

Lampiran V Skala Penelitian ... 32

Skala 1. Skala status sosial ekonomi ... 33

Skala 2. Skala penerimaan diri ... 34

(10)
(11)

PENERIMAAN DIRI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN

DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI

Mutia Nadia

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

mutia.nadia@ymail.com

Bagi para pekerja, terutama para pegawai negeri perlu adanya kesiapan diri untuk menjalani kehidupan pensiun baik secara psikologis maupun secara finansial. Butuh penerimaan diri yang positif bagi para pekerja untuk melewati fase pensiun yang positif. Penerimaan diri berhubungan dengan status sosial ekonomi. Semakin tinggi status sosial ekonomi individu, semakin tinggi pula dirinya menerima pensiun. Sebaliknya semakin rendah status sosial ekonomi, semakin sulit untuk menghadapi pensiun karena tidak adanya kesiapan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerimaan diri dalam menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi. Subjek penelitian yaitu pensiunan pegawai negeri sipil usia 55 sampai 70 tahun. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala penerimaan diri dan skala status sosial ekonomi terhadap 100 subjek pensiunan PNS. Analisa data yang digunakan adalah analisa statistik One Way Anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penerimaan diri dalam menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi yang signifikan (F = 3,667; Sig = 0,029<0,05).

Kata Kunci : Penerimaan diri, status sosial ekonomi, pensiun

(12)

Setiap individu akan mengalami fase dimana dirinya akan menjadi tua dan kehilangan pekerjaan seperti pensiun. Masa individu memulai bekerja dinamakan “saat bekerja” dan setelah mengabdikan dirinya pada perusahaan selama berpuluh-puluh tahun tiba pada masa akhirnya disebut “pensiun” (Hasibuan 2000, dalam Adhiwardani, 2002). Idealnya masa pensiun dirasakan oleh individu sebagai suatu kebahagiaan, suatu masa yang ditunggu-tunggu karena dirinya merasa sudah cukup bekerja, merasa puas, dan sudah merasa saatnya berhenti bekerja sehingga dapat meluangkan waktu untuk melakukan hobi yang selama ini mereka tinggalkan (Hadjam 2001, dalam Adhiwardani, 2002). Perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, perubahan secara keseluruhan terhadap pola individu yang akan pensiun (Hurlock 1999, dalam Adhiwardani, 2002) dapat menimbulkan perbedaan sikap penerimaan atau penolakan (Walgito 1998, dalam Adhiwardani, 2002).

Menurut Hardy dan Heyes (1998, dalam Adhiwardani, 2002) individu yang menerima masa pensiun dapat merasa bahagia dan gembira karena memiliki waktu luang untuk mengerjakan segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan konsentrasi penuh, sebaliknya ada yang tidak dapat menerima keadaan pensiun dengan merasa cemas, takut karena diasingkan dan tidak berguna lagi oleh lingkungannya. Ada juga individu yang merasa biasa saja karena memiliki keyakinan bahwa masa pensiun tidak benar-benar membawa perubahan pada dirinya.

Penerimaan diri berarti menerima keadaan diri sendiri tanpa suatu syarat terlepas dari apakah perilaku tersebut kompeten atau benar dan apakah orang lain cenderung untuk mengungkapkan rasa persetujuan atau perhatian (Matthews, 1993). Matthews (1993) juga menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Individu dengan penerimaan diri akan mampu menghadapi kenyataan dirinya yang dimiliki serta mengetahui kelemahan dan kelebihan akan dirinya. Hjelle dan Ziegler (1985, dalam Adhiwardani, 2002) menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri akan memiliki toleransi terhadap hal-hal frustasi atau kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Komponen penerimaan diri (Cronbach 1963, dalam Adhiwardani, 2002) yaitu memiliki keyakinan akan kemampuan diri sendiri dalam menjalani hidup dan menganggap diri sebagai pribadi yang berharga bagi orang lain, menyadari keadaan diri sendiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan serta tidak merasa bersalah akan keadaan diri.

(13)

Pemilihan dan penentuan diri juga merupakan faktor yang penting dalam kesuksesan pekerja dan fase pensiun (Herzog, House, & Morgan, 1991; Reis & Gould, 1993, dalam Santrock, 2002). Semakin sedikit pilihan orang-orang dewasa lanjut yang berhubungan dengan fase pensiunnya, maka semakin kurang puas mereka dengan kehidupannya. Pilihan-pilihan untuk mengontrol dan menentukan diri merupakan aspek-aspek penting dari kesehatan mental orang dewasa lanjut (Fry, Slivinske & Fitch, 1989, dalam Santrock, 2002).

Satu dari tiga pekerja usia 55 mengatakan bahwa mereka ingin tinggal dalam pekerjaan mereka lebih lama jika mereka dapat mengurangi jam kerja (Wyatt 2004, dalam Calvo, Haverstick, Sass, 2007). Dua dari tiga usia 50 sampai 70 tahun mengatakan bahwa mereka berencana untuk bekerja di masa pensiun (Brown 2003, dalam Calvo, Haverstick, Sass, 2007). Memperluas kesempatan pekerja untuk melakukan pensiun secara bertahap telah menjadi perhatian pembuat kebijakan hal ini dikarenakan untuk melihat akomodasi keinginan pekerja, memfasilitasi masa transisi pekerja yang memasuki pensiun agar sukses dan untuk meningkatkan keamanan pendapatan pensiun (Hutchens & Papps, 2007, dalam Calvo, Haverstick, Sass, 2007).

Di Inggris, pemerintah menyediakan hak sederhana tarif tetap yang memberikan manfaat pada pensiunan agar mereka menjaga pendapatan pensiunnya dan Negara berada diatas garis kemiskinan. Dengan demikian, melihat hal tersebut diharapkan pemberi kerja atau pelaku pensiun ataupun pensiunan pemegang jabatan dapat membuat perbedaan antara Negara pensiun dan aspirasi pendapatan masyarakat pensiun (Hills 2006, dalam Clark & Knox, 2010). Konsekuensinya, pemerintah Inggris, seperti kebanyakan pemerintah barat lainnya, berupaya untuk mendorong pekerja pria dan wanita untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk perencanaan pensiun. Tabungan pensiun mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mencapai standar hidup yang wajar di masa pensiun yang akan datang (Pensions Commission 2005, dalam Clark & Knox, 2010).

Seperti Negara lain, Indonesia percaya Negara wajib melindungi rakyatnya agar terhindar dari ketiadaan penghasilan pada usia lanjut. Untuk itu, pemerintah mengadakan program Jaminan Pensiun (JP) sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang akan diselenggarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang mana untuk merencanakan rancangan program pensiun yang optimal agar memperoleh manfaat yang memadai, dapat bertahan untuk jangka waktu lama, tidak memberatkan dan terjangkau, serta bersifat adil dan sama rata (Kompas, April 2015).

Pertanyaan dasar di setiap Negara adalah apakah perbedaan dalam hal kesehatan terkait status sosial ekonomi dengan indikator pendidikan, pendapatan, dan kekayaan sebagian besar mencerminkan dampak dari status sosial ekonomi untuk kesehatan. Ilmuwan medis banyak menyimpulkan bahwa jalur yang dominan adalah status sosial ekonomi yang bervariasi dalam menghasilkan besar kesenjangan kesehatan. Indikator pada status sosial ekonomi tersebut menjadikan para pekerja yang akan memasuki masa pensiun menjadi ragu dan tidak sedikit yang tidak menerima dirinya akan pensiun dan merasa masih mampu untuk bekerja (Strauss & Lei, 2010). Debat utama mereka adalah mengenai mengapa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan kesehatan yang buruk karena kekhawatiran para pensiunan dengan keadaan kehidupan mereka setelah pensiun (Marmot, 1999, dalam Strauss & Lei 2010).

(14)

Seseorang dengan pendapatan lebih tinggi akan mampu membeli sesuatu yang jauh lebih baik, misalnya rumah untuk tempat tinggal dengan lingkungan dan akses yang lebih baik dan makanan yang diinginkan jauh lebih baik dan mahal. Kedua yaitu menekankan perilaku atau gaya hidup seperti merokok, diet, mengkonsumsi alkohol dan lebih memperhatikan pola kesehatan yang tepat. Ketiga yang mana seseorang lebih menekankan pada faktor-faktor psikososial seperti pemberdayaan, tingkatan berhubungan sosial, hubungan status sosial dengan relasi, seperti halnya dalam pekerjaan.

Status sosial ekonomi adalah salah satu hal yang menunjukkan pemahaman mendalam tentang bagaimana masyarakat bekerja atau mungkin bagaimana seharusnya masyarakat bekerja untuk mencapai posisi diri dalam hirarki sosial yang berkonotasi pada posisi seseorang dalam hirarki terstruktur dan sangat mempengaruhi konsekuensi hidup seseorang. Dengan kata lain, status sosial ekonomi menunjukkan akses seseorang menuju sumber daya yang diinginkan, melalui barang-barang, uang, kekuasaan, hubungan pertemanan, kesehatan, waktu luang, atau kesempatan pendidikan dan akses sumber daya tersebut memungkinkan individu atau kelompok untuk mencapai kesejahteraan sosial (Strauss & Lei, 2010). Hirarki sosial atau stratifikasi tampaknya secara intuitif diakui oleh kebanyakan orang dimana-mana. Interaksi sosial biasanya menampilkan dari berbagai indikator atau mengungkapkan status sosial ekonomi kepada orang lain dari kelompok sosial (Smith, dkk, 2011, dalam Oakes, 2010).

Status sosial berpengaruh terhadap kemampuan seseorang menghadapi masa pensiunnya. Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tertentu sebagai hasil dari prestasi kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dari masyarakat dan organisasi), ia pun cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan social network yang baik). Namun, jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasinya (misalnya lebih karena politis dan uang atau harta ) orang itu justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun karena begitu pensiun, kebanggaan dirinya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya selama ia bekerja (Oakes, 2010).

Dalam ABS survei (Australian Bureau of Statistics), keamanan finansial dan kesehatan menjadi dua alasan yang paling penting untuk memasuki masa pensiun. Survei ABS juga meminta responden yang belum memasuki masa pensiun untuk menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pensiun yang akan terjadi pada mereka dan dapat diketahui bahwa faktor utama yang menjadi perhatian mereka adalah kesehatan dan sosial ekonomi (Strauss & Lei, 2010). Dengan kata lain, sosial ekonomi dan kesehatan menjadi perhatian utama individu yang akan memasuki atau yang telah memasuki masa pensiun karena dua hal tersebut mempengaruhi kehidupan keseharian mereka setelah menjalani pensiun.

(15)

Masa Pensiun

Pensiun adalah masa dimana seseorang istirahat atau berhenti dari pekerjaannya (Calvo, Haverstick, Sass, 2007) dan dianggap tidak mampu lagi bekerja pada sebuah perusahaan tempat mereka bekerja karena usia mereka yang tidak mampu lagi dan akan digantikan dengan pekerja yang lebih muda. Seseorang yang pensiun rata-rata usia 55 sampai dengan 65 tahun. Pensiun juga dapat diartikan sebagai masa dimana seorang pekerja telah selesai menyelesaikan tugas disuatu perusahaan dan dapat menikmati sisa hidup hari tuanya bersama pasangan. Seseorang yang pensiun juga akan diberikan uang gaji sebagi haknya tiap bulannya walaupun telah pensiun sebagai bentuk menghargai kerja keras serta pengabdiannya di perusahaan tersebut (Charles, 2002)

Biren dan Butler (dalam Malette & Oliver, 2006) menekankan pentingnya makna pribadi dan pertumbuhan pribadi dalam proses penuaan dan hal tersebut menjadi hubungan yang kuat dan erat di seluruh jangka kehidupan. Terutama dalam dekade terakhir ini, merupakan tugas utama bagi pensiun dan para lansia lainnya untuk menemukan makna pribadi dalam hidupnya. Pensiun dapat menjadikan individu menemukan makna hidupnya. Namun, hal tersebut merupakan sesuatu yang kurang efektif dan menjadi bagian dari proses yang spontan, tetapi dapat membantu individu lebih efektif dan efisien dalam menghadapi tantangan kehidupan (dalam Malette & Oliver, 2006). Namun kemungkinan terjadi guncangan, kehilangan, dan penyesuaian saat memasuki masa penisun diperkuat dengan temuan bahwa sepertiga dari pensiunan memiliki gaya penyesuaian yang buruk (Osborne, 2012)

Usia 65 tahun adalah usia sewajarnya dipilih sebagai usia pensiun dalam usia harapan hidup yaitu 37 tahun (Friedan, 1995, dalam Mallete & Oliver, 2006). Sejak saat itu individu berumur panjang meningkat secara signifikan, tetapi kebanyakan orang tetap memilih untuk pensiun pada usia 65 tahun atau bahkan lebih awal (Blanchard de Ravinel & de Ravinel, 2003; Friedan, 1995, dalam Mallete & Oliver, 2006). Sebuah awal baru menanti di “usia tua muda” para pensiun dan definisi mengenai pensiun saat ini lebih mungkin sebagai : surutnya kehidupan kerja dan membuat transisi pada fase kehidupan baru dimana peluang untuk meraih kebahagiaan dan lebih mengisyaratkan pengembangan pribadi. Definisi tersebut menjadi lebih optimistis dan membuat tantangan menjadi peluang untuk membuat hidup lebih sukses (Milne, 2013).

Pensiun lebih berkaitan dengan proses pengertian terhadap diri sendiri dari titik waktu tertentu (Greer, 2004, hal.10, dalam Mallete & Oliver, 2006). Dengan demikian, pensiun melibatkan definisi ulang dari diri berdasarkan sesuatu yang lain dari pekerjaan seseorang dan kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan. Selanjutnya, menjadi perubahan utama dalam rutinitas sehari-hari yang berhubungan dengan relasi, peran kerja, dan identitas (Blanchard de Ravinel & de Ravinel, 2003; Hogue-Charlebois & Pare, 1998; Houde, 2003; Jonsson, Borell & Sadlo, 2000; Price, 2000; Schlossberg, 2004, dalam Mallete & Oliver, 2006). Pensiun merupakan masa transisi untuk meninggalkan kebiasaan yang biasa dilakukan, biasanya memasuki situasi atau keadaan yang tidak dikenal sebelumnya, dan mungkin mengalami perasaan yang signifikan (sedih atau kurang terbiasa) dengan keadaan yang baru (Mallete & Oliver, 2006).

(16)

mereka lakukan ketika menghadapi pensiun, seperti olahraga, membaca, menjadi relawan dan melakukan aktivitas berkomitmen yang telah dipilihnya. Berbagai kegiatan yang dipilih oleh kebanyakan para pensiun melibatkan kegiatan saling menghargai satu sama lain dengan maksud untuk kesejahteraan diri sendiri dan orang lain (Schlossberg, 2004, dalam Mallete & Oliver, 2006).

Vicktor (1994, dalam Osborne, 2012) mengidentifikasi lima (5) tahap yang muncul dalam transisi untuk pensiun : meningkatnya minat sebagai pensiunan, euphoria awal, beberapa stress, penyesuaian dengan gaya hidup baru, dan kemudian menetap. Setiap pensiunan memiliki kekhawatiran terhadap penyesuaian perubahan gaya hidup yang terjadi, saat usia produktif untuk bekerja mulai akan berakhir. Transisi masa pensiun menimbulkan beberapa guncangan dan kejutan bagi berakhirnya kehidupan pekerjaan. Persiapan menghadapi pensiun juga dapat menjadi perencanaan keuangan karena mereka yang telah memasuki masa pensiun harus memperhatikan perencanaan keuangan mereka dikarenakan tidak akan lagi menjalani pekerjaan sebagaimana biasanya dan pemasukan yang semakin berkurang (Osborne, 2012).

Pensiun, seperti halnya masa transisi lainnya mendorong banyak orang paling tidak untuk menjadi introspektif. Mereka akan mempertanyakan manfaat yang telah mereka ciptakan, masa lalu profesional, dan prestasi pribadi yang mereka jalani disisa hidup mereka. Peningkatan perasaan merasa terdesak lebih kuat dibandingkan dengan masa transisi lainnya dan dapat mengingatkan akan kesadaran tentang kematian (Nadeau, 2003, dalam Mallete & Oliver, 2006). Kesadaran akan kematian menyebabkan seseorang mencoba untuk hidup lebih lengkap dan berarti serta lebih sadar akan bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka (Mallete & Oliver, 2006). Pensiunan lebih cenderung memiliki setidaknya beberapa masalah psikologis karena tidak semua para pensiun dapat menikmati hidup mereka hanya berada di rumah saja, tetapi ada pula yang setelah pensiun masih mampu melanjutkan kegiatan bekerja yang produktif. Masalah psikologis tersebut dapat diatasi jika para pensiunan tersebut dapat mengoptimalkan kepuasan hidup mereka (Osborne, 2012).

Penerimaan Diri

Menurut Szentagotai & David (2013) penerimaan diri adalah kesadaran diri sendiri melalui proses memahami kehidupan individu itu sendiri dengan dihadapkan pada kenyataan yang wajar serta memahami pro dan kontra dan menerima keterbatasan dan kesalahan penilaian yang dilakukan, termasuk juga memahami konteks lingkungan dan situasi yang terlibat. Seseorang dengan penerimaan diri akan bertanggung jawab pada keputusan yang dipilih dan menjalani hidup dengan kemampuan yang dimiliki sendiri. Selain itu peneriman diri juga mengarah pada perasaan bahwa mereka berharga dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain secara efektif dan kreatif. Chamberlain dan Haaga (2001, dalam Szentagotai & David, 2013) menemukan bahwa ukuran seseorang mampu menerima dirinya berkaitan positif dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan, terlepas dari kecemasan, depresi dan hal-hal negatif lainnya. untuk mencapai hal tersebut harus berkorelasi dengan harga diri.

(17)

Penerimaan diri merupakan variabel yang penting dan telah teruji dalam berbagai terapi Gestalt dan Rogerian. Pengembangan kesadaran diri dan penerimaan diri individu merupakan objek utama terapi Gestalt (Dryde & Neenan, 2004; Ellis, 1994, dalam Davies, 2008) yang mengarah pada aktualisasi diri (Chamberlain & Haaga, 2001, dalam Davies, 2008). Objek utama terapi Rogerian adalah memecahkan keadaan yang tidak harmoni (inconcruence) dengan membantu klien untuk dapat menerima dan menjadi diri sendiri (Davies, 2008). Penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dari diri dalam keadaan seimbang, di mana penerimaan diri individu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (real self) dan keadaan yang diinginkannya (ideal self).

Davies (2008) juga menuturkan bahwa penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu berbeda dengan dirinya, orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif dan dapat dengan mudah menjauhkan dirinya dari hal negatif. Seseorang yang memiliki konsep diri, dapat juga terhindar dari perilaku stress dan depresi karena adanya konsep untuk hidup secara positif. Penerimaan diri terkait pula dengan emosi positif dan terpuaskannya hubungan sosial, prestasi dan penyesuaian terhadap kejadian hidup negatif (Williams & Lynn, 2010, dalam Szentagotai & David, 2013). Penerimaan diri juga menjadi tujuan utama dalam situasi permusuhan atau situasi yang bertentangan dengan keinginan yang mana hal tersebut tidak dapat dihindari, melarikan diri atau dihilangkan oleh individu itu sendiri (Szentagotai & David, 2013). Pentingnya penerimaan diri untuk kesehatan jiwa dan kesejahteraan agar terhindar dari efek merugikan.

Seseorang dengan penerimaan diri yang baik akan merasa memiliki harga diri yang tinggi seperti halnya dia membiarkan orang lain mengetahui bagaimana dia berpikir dan merasa. Sebaliknya seseorang dengan harga diri yang rendah akan takut dan menolak orang lain mengetahui keadaan dirinya dan akan mengambil langkah untuk menuju penerimaan diri. Syarat penerimaan diri akan mempengaruhi harga diri karena keduanya mempunyai hubungan yang erat. Tanpa penerimaan diri seseorang tidak akan memiliki kemajuan dalam hubungan yang efektif (Matthews, 1993).

Aspek-aspek Penerimaan Diri

Sheerer (dalam, Denmark, 1973) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri, yaitu a) kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya, b) menganggap dirinya sederajat dengan orang lain, c) tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya, d) tidak malu-malu atau sadar diri, e) mempertanggung jawabkan perbuatannya, f) mengikuti standard pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan, g) menerima pujian atau celaan secara objektif h) tidak menganiaya diri sendiri dengan kekangan-kekangan yang berlebihan atau tidak memanfaatkan sifat-sifat yang luar biasa, dan i) menyatakan perasaannya secara wajar.

Faktor-faktor Penerimaan Diri

(18)

biasanya mereka puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985, dalam Santrock, 2002). Orang-orang dewasa yang lanjut dengan penghasilan tidak layak, kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stress yang terjadi pada masa pensiun, seperti misalnya kematian pasangannya, memiliki kesulitan untuk menghadapi masa pensiun (Stull & Hatch, 1984, dalam Santrock, 2002).

Dua faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (Carson & Langer, 2006) yaitu : a) faktor internal (dalam). Individu akan menanggapi dunia luarnya secara selektif. Individu akan melakukan seleksi terhadap hal apa saja yang akan diterima dan akan ditolak. Penyeleksian yang dilakukan oleh individu tersebut berhubungan dengan cara-cara yang digunakan untuk menanggapi suatu objek. Oleh karena itu, individu menjadi penentu bagi dirinya. Faktor lainnya yaitu b) faktor eksternal (luar) yang mana faktor eksternal ini berupa keadaan atau hal-hal yang berasal dari luar yang menjadi rangsangan bagi individu untuk terbentuknya suatu sikap.

Carson dan Langer (2006) juga menemukan faktor lainnya yang mempengaruhi penerimaan diri adalah pendidikan dan dukungan sosial. Penerimaan diri semakin baik apabila ada dukungan dari orang sekitar. Individu yang mendapatkan dukungan yang baik akan berperilaku baik dan menyenangkan. Selain itu pendidikan juga dikatakan sebagai faktor penerimaan diri dimana individu yang memiliki pendidikan yang tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi pula dalam menghadapi pensiun dan segera mencari upaya untuk menghadapi masa pensiun.

Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai potensi serta kepribadian yang memungkinkan diterima dalam pergaulan dengan individu yang lain. Karena setiap individu akan menyalurkan potensi tersebut untuk kepentingan tertentu kemudian individu yang lain dapat menerima dan mengakuinya (Oakes, 2010). Oakes (2010) juga mendefinisikan status sosial merupakan kedudukan seseorang di masyarakat, di mana didasarkan pada pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat yang tinggi ke yang lebih rendah dengan mengacu pada pengelompokkan menurut kekayaan kelas sosial

Status sosial ekonomi dapat didefinisikan secara luas sebagai akses seseorang pada hal keuangan, sosial, budaya dan sumber daya modal manusia. Komponen status sosial ekonomi antara lain pendidikan, pekerjaan, rumah tangga, dan pendapatan. Status sosial ekonomi adalah cerminan budaya dan materi harta (furniture, aksesories), pendapatan, dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat. Oleh karena itu dapat diukur dengan harta dan keadaan lingkungan rumah (Oakes, 2010).

(19)

Status sosial ekonomi dikonsepkan sebagai identitas suatu kelompok, yaitu kelompok dengan status sosial ekonomi rendah dan kelompok status sosial ekonomi tinggi. Berikut klasifikasi status sosial ekonomi menurut Wright & Shin (1988, dalam Nichol, Brown, & Haynes, tanpa tahun) adalah: a) status sosial ekonomi atas adalah kelas sosial yang berada paling atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang sering menempati posisi teratas dari kekuasaan. Dengan kata lain, status sosial ekonomi atas adalah dimana harta yang dimiliki di atas rata-rata harta orang lain pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan baik. b) status sosial ekonomi bawah adalah kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat pada umumnya serta tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun ciri-ciri umum keluarga dengan status sosial ekonomi atas dan bawah yang dikemukakan oleh Adler, dkk (1994), yaitu : a) ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi atas yaitu, tinggal di rumah-rumah mewah dengan status sebagai rumah pribadi (hak milik), kesehatan terjamin dan masih produktif untuk mencari nafkah, kepala rumah tangga memiliki pendidikan dan pendapatan yang tinggi, biasanya dalam pekerjaan memegang suatu jabatan, serta memiliki modal usaha. b) ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi bawah yaitu, tinggal di sebuah rumah yang bukan merupakan hak milik atau rumah kontrakan, kurangnya perhatian akan kesehatan dan tidak produktif lagi untuk bekerja, kepala rumah tangga menganggur dan hidup dari bantuan sanak saudara dan bekerja sebagi buruh atau pekerja rendahan seperti pembantu rumah tangga, tukang sampah, dan lainnya, dan tidak memiliki modal usaha

Faktor-faktor Sosial Ekonomi

Dapat diketahui bahwa faktor penentu status sosial ekonomi dari karakteristik-karakteristik rumah tangga mengacu pada sifat yang mencirikan kemiskinan dan sifat yang mencirikan ketidakmiskinan (Badan Pusat Statistik, 2014). Hasil Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM 2012) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS pada tahun 2012, terdapat delapan (8) variabel yang dianggap layak sebagai penentuan rumah tangga miskin atau tidaknya di lapangan, yaitu : luas lantai perkapita, jenis lantai, air minum/air bersih, jenis jamban, kepemilikan asset, pendapatan (total perbulan), pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan, dan konsumsi lauk pauk.

(20)

Penerimaan Diri Pensiun Berdasarkan Status Sosial Ekonomi

Menurut Szentagotai & David (2013) penerimaan diri adalah kesadaran diri sendiri melalui proses memahami kehidupan individu itu sendiri dengan dihadapkan pada kenyataan yang wajar serta memahami pro dan kontra dan menerima keterbatasan dan kesalahan penilaian yang dilakukan, termasuk juga memahami konteks lingkungan dan situasi yang terlibat. Seseorang dengan penerimaan diri akan bertanggung jawab pada keputusan yang dipilih dan menjalani hidup dengan kemampuan yang dimiliki sendiri serta merasa dirinya berharga dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain secara efektif dan wajar.

Pada pensiun perlu adanya penerimaan diri dalam menerima keadaan dirinya yang dari masa transisi bekerja memasuki keadaan tidak bekerja lagi. Setiap pensiunan memiliki kekhawatiran terhadap penyesuaian perubahan gaya hidup yang terjadi, saat usia produktif untuk bekerja mulai akan berakhir. Transisi masa pensiun menimbulkan beberapa guncangan dan kejutan bagi berakhirnya kehidupan pekerjaan. Persiapan menghadapi pensiun juga dapat menjadi perencanaan keuangan karena mereka yang telah memasuki masa pensiun harus memperhatikan perencanaan keuangan mereka dikarenakan tidak akan lagi menjalani pekerjaan sebagaimana biasanya dan pemasukan yang semakin berkurang (Osborne, 2012). Seseorang dengan status sosial ekonomi tinggi biasanya lebih memiliki sikap penerimaan diri menghadapi pensiun dibandingkan dengan seseorang dengan status sosial ekonomi rendah karena mereka telah memiliki aset atau tabungan yang lebih dalam mempersiapkan masa pensiunnya. Orang-orang dewasa lanjut yang memiliki penyesuaian diri paling baik terhadap pensiun adalah yang sehat, yang memiliki pendapatan yang layak, aktif, pendidikan yang baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman-teman dan keluarga, dan biasanya mereka puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore dkk, 1985, dalam Santrock 2002).

Dengan kata lain, kemampuan untuk hidup dengan segala kekurangan dan kelebihan diri tidak berarti bahwa individu tersebut akan menerima begitu saja keadaannya, karena individu ingin tetap berusaha mengembangkan diri. Individu dengan penerimaan diri akan mengetahui segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dan mampu mengelolanya.

Kerangka Penelitian

Penerimaan diri seseorang dalam menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi, baik itu status sosial ekonomi tinggi, status sosial ekonomi menengah sampai dengan status sosial ekonomi rendah. Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang dalam menghadapi pensiun. Semakin tinggi status sosial ekonomi yang diperoleh, maka semakin baik pula penerimaan dirinya karena merasa puas dengan apa yang dimiliki.

(21)

Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini bahwa ada perbedaan penerimaan diri pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi pada fase perkembangan dewasa madya pada usia 55-70 tahun dalam menghadapi masa pensiun.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Pada umumnya penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif merupakan penelitian sampel besar, karena pada pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial yaitu dalam rangka pengujian hipotetsis dan menyandarkan kesimpulan pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka akan diperoleh signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti (Musianto, 2002). Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian metode yang didalam usulan penelitian, proses, hipotesis, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai dengan penulisannya mempergunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus dan kepastian data numerik (Musianto, 2002). Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif komparatif karena bertujuan untuk membandingkan dua gejala atau lebih.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pensiunan pegawai negeri sipil yang baru memasuki masa pensiun dan sampai dengan 10 tahun masa pensiun sebanyak 100 subjek, laki-laki maupun perempuan, berusia 55 sampai dengan 70 tahun. Pengambilan subjek dilakukan menggunakan teknik simple random sampling. Simple random sampling dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut. Cara demikian dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen (Sugiyono, 2014). Dengan kata lain, peneliti akan mencari subjek sejumlah 100 orang subjek pensiunan pegawai negeri sipil, baik guru, perawat, TNI maupun polisi yang mana 100 orang tersebut akan diberikan kuesioner yang sama dengan jumlah yang sama.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas (variabel independen) dan variabel terikat (variabel dependen). Variabel independen atau dapat dikatakan variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Sedangkan variabel dependen atau variabel bebas merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status sosial ekonomi, sedangkan variabel terikat adalah penerimaan diri.

(22)

ekonomi tinggi menunjukkan kedudukan yang tinggi, sebaliknya status ekonomi yang rendah dapat menunjukkan masyarakat tersebut berada di bawah kedudukan seseorang yang berada dalam status sosial ekonomi tinggi.

Penerimaan diri adalah keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dan selalu berpikiran positif tentang apa yang dimiliki dan apa yang akan dihadapi. Individu yang memiliki penerimaan diri akan selalu memiliki sikap positif dan menerima kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Selain itu individu tersebut juga lebih realistis dalam memandang kehidupan dan tidak putus asa dengan dirinya (Sheerer, dalam Denmark, 1973).

Adapun data penelitian ini diperoleh dari instrument penelitian menggunakan model skala. Skala yang digunakan yaitu model skala likert dan skala Guttman. Pada skala penerimaan diri menggunakan skala likert. Skala likert adalah suatu himpunan butir pertanyaan sikap yang dipandang kira-kira sama dengan nilai persepsi. Subjek menanggapi setiap butir pertanyaan dengan mengungkapkan intensitas dan taraf kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap pernyataan tersebut.

Variabel penerimaan diri yang digunakan dalam penyusunan skala ini berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri oleh Sheerer (dalam Denmark, 1973) yaitu memiliki gambaran yang positif tentang dirinya, dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya, dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain menyampaikan kritik, dan dapat mengatur keadaan emosi mereka.

Item-item dalam skala ini merupakan pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), STS (sangat tidak setuju).

Pada status sosial ekonomi menggunakan model skala Guttman karena hanya mengukur satu dimensi saja dari satu variabel pada item skala. Pada skala status sosial ekonomi terdapat dua pilihan jawaban, a dan b. Skala status sosial ekonomi menggunakan skor yang dapat dilihat dari skala yang berisi gambaran mengenai keadaan individu yang dilihat dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, pemilikan, dan kesehatan (Adler dkk, 1994). Pada skala status sosial ekonomi terdapat pilihan jawaban a dan b, yang mana pada pilihan a memiliki nilai 2 satu dan pada pilihan b memiliki nilai 1. Dari hasil nilai status sosial yang diperoleh akan dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah yang mana pengelompokkan nilai didapatkan dengan menggunakan t-score.

Table 1.1 Indeks Validitas dan Reliabilitas Instrument Penelitian

Skala Jumlah item yang diujikan Jumlah item yang valid Indeks validitas Indeks reliabilitas

Skala penerimaan

(23)

0,805. Sedangkan pada skala status sosial ekonomi, menunjukkan bahwa dari 10 item yang diujicobakan, terdapat 1 item yang gugur dan item yang dapat digunakan sebagai penelitian sebanyak 9 item dengan nilai validitas antara 0,533 sampai dengan 0,757.

Prosedur dan Analisa Data

Pada tahap persiapan, yang pertama dilakukan adalah menentukan judul proposal yang akan diteliti setelah itu membuat latar belakang penelitian. Pada latar belakang penelitian terdiri dari fenomena-fenomena yang ada dari variabel penelitian, seperti fenomena pensiun, penerimaan diri pensiun dan keadaan status sosial ekonomi pensiun, perumusan masalah, dan menentukan variabel penelitian.

Selanjutnya mencari skala yang akan digunakan dalam penelitian dan menentukan subjek penelitian. Dalam penelitian ini skala yang digunakan adalah skala penerimaan diri dan skala status sosial ekonomi. Sebelum melakukan pengambilan data, perlu dilaksanakan try out pada skala yang akan diujikan. Tujuan melakukan try out adalah untuk menguji apakah skala yang digunakan tersebut valid dan reliabel. Try out dilakukan selama kurang lebih satu minggu, pada tanggal 21 November 2015 sampai dengan 29 November 2015 di berbagai tempat terhadap 50 orang subjek pensiunan, salah satunya di perumahan Landungsari Asri, Malang. Dari 50 skala yang telah disebarkan, yang kembali berjumlah 30 skala dan 20 skala tanpa keterangan. Karena masih kekurangan subjek untuk try out akhirnya peneliti mencari subjek kembali sebanyak 30 subjek untuk menyebarkan skala yang belum terisi untuk melengkapi ketentuan subjek try out. Dari 30 subjek yang diberikan skala, didapatkan 10 subjek berasal dari daerah Arjosari dan 10 subjek berasal dari daerah Dinoyo sehingga total subjek yang telah didapatkan sebanyak 20 subjek, dan 10 subjek lainnya tanpa keterangan atau dapat dikatakan skala yang telah diberikan tidak kembali. Total subjek keseluruhan yang telah memenuhi ketentuan subjek try out sebanyak 50 subjek.

Setelah melakukan penyisihan item yang valid pada masing-masing variabel, didapatkan item yang digunakan sebagai item sebaran penelitian yaitu 29 item pada skala penerimaan diri dan 9 item pada skala status sosial ekonomi. Pemberian skala dilakukan dengan mendatangi langsung rumah subjek (door to door) yang dilaksanakan langsung oleh peneliti.

(24)

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi keseluruhan subjek penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.1. Deskripsi subjek penelitian

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa subjek berjenis kelamin laki-laki memiliki rata-rata penerimaan diri paling tinggi dibandingkan dengan perempuan dengan mean 95,038 (standar deviasi 6,029). Pada tabel kategori pekerjaan diketahui bahwa subjek dengan profesi sebagai perawat memiliki rata-rata penerimaan diri paling tinggi dengan mean 97,2 (standar deviasi 4,26), sedangkan pada kategori pekerjaan sebagai TNI-AD memiliki rata-rata penerimaan diri rendah dengan mean 90,6 (standar deviasi 10,39). Pada kategori golongan, diketahui bahwa subjek dengan golongan IV memiliki rata-rata penerimaan diri tinggi dengan nilai mean 96,14 (standar deviasi 6,28) sedangkan subjek dengan golongan II memiliki rata-rata penerimaan diri paling rendah dengan mean 92,81 (standar deviasi 6,01). Dapat disimpulkan bahwa subjek laki-laki dengan penerimaan diri tinggi, perawat dengan kategori pekerjaan yang memiliki penerimaan diri paling tinggi dan golongan IV merupakan golongan subjek dengan penerimaan diri paling tinggi.

Tabel 2.2. Hasil analisa uji beda penerimaan diri ditinjau dari status sosial ekonomi

Penerimaan diri Kategori Mean Square F Sig.

Between Groups 2 166.045 3.667 .029

Within Groups 97 45.284

Total 99 166.045

Hasil uji hipotesis berdasarkan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan one way anova, diperoleh hasil adanya perbedaan penerimaan diri pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi (F = 3,667, p = 0.029). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa hipotesis di terima, bahwa ada perbedaan penerimaan diri menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi.

Tabel 2.3. Penerimaan diri dengan mean status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi N Mean penerimaan diri Std deviation

Tinggi 43 96.581 5.7331

Sedang 48 93.771 6.8331

(25)

Berdasarkan hasil pengukuran pada 100 subjek diperoleh hasil bahwa status sosial ekonomi tinggi memiliki rata-rata penerimaan diri paling tinggi yaitu 96,581 (dengan standard deviasi 5,7331) dan status sosial ekonomi sedang memiliki rata-rata penerimaan diri yaitu 93,771 (dengan standard deviasi 6,8331), sedangkan pada status sosial ekonomi rendah memiliki penerimaan diri yang rendah pula dengan memperoleh rata-rata 90,778 (dengan standard deviasi 10,1091). Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui pula sejumlah 43 subjek memiliki penerimaan diri dengan status sosial ekonomi tinggi, 48 subjek memiliki penerimaan diri dengan status sosial ekonomi sedang, dan 9 subjek memiliki penerimaan diri dengan status sosial ekonomi rendah. Dengan demikian subjek dengan status sosial ekonomi sedang atau rata-rata yang lebih banyak memiliki penerimaan diri.

Tabel 2.4. Tabel perbandingan status sosial ekonomi.

Kategori Mean difference Sig.

Tinggi – sedang 2,810 0,120

Tinggi – rendah 5,803 0,033

Sedang – rendah 2.993 0,442

Berdasarkan tabel perbandingan status sosial ekonomi di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penerimaan diri pensiunan pegawai negeri antara status sosial ekonomi tinggi dan status sosial ekonomi rendah hal ini dapat dilihat pada nilai sig 0.033 < 0.05, namun tidak terdapat perbedaan penerimaan diri pensiunan pegawai negeri antara status sosial ekonomi tinggi dan status sosial ekonomi sedang hal ini dapat dilihat pada nilai sig 0.120 > 0.05. Begitu pula dengan penerimaan diri pensiunan pegawai negeri antara status sosial ekonomi sedang dan status sosial ekonomi rendah tidak terdapat perbedaan hal ini dapat dilihat pada nilai signifikan 0.442>0.05.

DISKUSI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai koefisien F sebesar 3,667 dengan nilai p sebesar 0,029<0.05 yang artinya adanya perbedaan penerimaan dalam menghadapi masa pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi. Perbedaan yang terlihat sangat signifikan.

Sirin (2005) mengatakan bahwa status sosial ekonomi menjadi penunjang bagi kehidupan individu sebab status sosial ekonomi menjadi identitas individu dalam masyarakat. Beberapa faktor yang menunjang status sosial ekonomi antara lain pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi akan lebih terpandang dan status sosial ekonomi rendah menjadi bawahan. Sama halnya ketika individu tersebut menghadapi pensiun. beberapa subjek dengan jabatan yang tinggi lebih menerima dirinya pensiun dari pekerjaan sebab telah terpenuhinya faktor yang menunjang status sosial ekonomi, seperti memiliki asset, penghasilan yang tidak hanya dari gaji pensiun dan memperhatikan kesehatan yang baik. Subjek dengan status sosial ekonomi rendah yang hanya mengandalkan gaji pensiun dan tidak memiliki asset menjadi lalai dalam memperhatikan kesehatannya.

(26)

diri yang rendah pula yaitu 90,778. Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi akan lebih menerima dirinya dalam menghadapi pensiun, sedangkan subjek yang berstatus sosial ekonomi rendah menjadi lebih merasa kehilangan pekerjaan dan cenderung tidak menerima dirinya untuk pensiun karena merasa kehilangan pekerjaan dan penghasilan kesehariannya yang semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Kanfer, Nguyen, Korff, tanpa tahun). Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi telah memiliki persiapan yang matang. Memiliki usaha lain atau berinvestasi menjadi salah satu pilihan mereka. Dari hasil penelitian terlihat bahwa beberapa subjek dengan status sosial ekonomi tinggi, mereka memiliki asset atau seperti halnya rumah dan tanah sebagai investasi. Hal itu mereka persiapkan sebelum memasuki pensiun. Sedangkan pada subjek dengan status sosial ekonomi rendah, mereka cenderung tidak memiliki usaha lain dan hanya mengharapkan gaji pensiun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut Palmore, dkk, 1985 (dalam Santrock, 2002), ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya dukungan sosial, memiliki kesehatan yang baik, dan berpendidikan tinggi. Orang yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai orang yang menerima diri adalah orang yang selalu terbuka terhadap setiap pengalaman serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain (Carson & Langer, 2006). Seseorang akan mampu menerima keadaan yang terjadi jika seseorang telah menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut, orang yang menerima diri berarti telah mengenali di mana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Proses penerimaan diri umumnya diterangkan melalui pengertian konsep diri. Melalui konsep diri akan membantu subjek melakukan penilaian terhadap diri sendiri dan akan membantu melakukan evaluasi diri. Evaluasi diri mengarah ke penerimaaan diri atau kemampuan untuk menghargai diri sendiri secara objektif (Grace, 2007).

Berdasarkan penelitian mengenai penerimaan diri terhadap pensiun, diketahui pula bahwa subjek laki-laki memiliki penerimaan diri lebih baik daripada subjek perempuan dengan mean 95,038, sedangkan pada kategori pekerjaan terlihat bahwa profesi perawat memiliki rata-rata penerimaan diri paling tinggi dengan mean 97,2 dibandingkan dengan pensiunan TNI-AD dengan mean 90,6 yang memiliki rata-rata penerimaan diri paling rendah. Dalam penelitian Oktavianus (2011), menyebutkan bahwa perawat di RSUD Kabupaten Sukoharjo, khususnya perawat wanita, telah mempersiapkan mekanisme coping yang baik dalam menghadapi pensiun seperti adanya dukungan dari pihak keluarga, memantapkan kesiapan diri, meningkatkan kebutuhan spiritual dan tingkat kepuasaan bekerja dan pengalaman bekerja sebagai perawat yang telah mereka jalani dari saat masih duduk di bangku sekolah perawat sampai dengan menjadi pegawai negeri sebagai perawat. Para perawat yang menghadapi pensiun merasa lebih bahagia dan terbebas dari tugas-tugas berat selama bekerja dan merasa menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya sebab selama masih aktif bekerja peran sebagai ibu rumah tangga terabaikan karena banyak menghabiskan waktu di kantor.

(27)

telah mempersiapkan kebutuhan dirinya untuk menghadapi pensiun dibandingkan dengan subjek golongan rendah seperti subjek golongan II.

Rohwedder dan Willis (2010) mengatakan, karyawan pensiunan di dalam sebuah perusahaan, masing-masing individu memiliki jabatan yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan tingkat pendidikan mereka. Hal tersebut juga menyebabkan penerimaan diri yang berbeda-beda pula. Mereka yang memegang suatu jabatan merasa lebih aman dan terjamin dibandingkan dengan bawahan. Berbeda pada individu dengan status sosial ekonomi rendah, gaji pensiun yang mereka dapatkan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa subjek pegawai negeri dengan golongan berbeda-beda. Dapat diketahui bahwa subjek golongan II atau tidak memegang jabatan, tidak dapat menerima dirinya untuk pensiun dibandingkan subjek dengan golongan III dan IV atau subjek yang memegang suatu jabatan. Salah satu alasannya karenakan jumlah penghasilan atau gaji yang mereka dapatkan setelah pensiun masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa diantaranya juga masih menanggung anak yang masih bersekolah namun telah pensiun. Terlihat dari perbandingan status sosial ekonomi tinggi dan status sosial ekonomi rendah yang memiliki nilai signifikan 0.033 < 0.05, yang berarti terdapat perbedaan penerimaan diri antara individu dengan status sosial ekonomi tinggi dan status sosial ekonomi rendah.

Adanya perbedaan masa waktu pensiun juga menjadi salah satu faktor bagi subjek untuk menerima dirinya pensiun. Subjek dengan masa pensiun yang masih terbilang dalam hitungan bulan akan berbeda penerimaan dirinya dengan mereka yang telah memasuki masa pensiun bertahun-tahun. Pada subjek yang baru saja memasuki masa pensiun dalam hitungan bulan masih merasakan suasana ruangan pekerjaan dan kesibukan yang biasanya dilakukan sehari-hari saat berada di kantor. Masih sulit untuk beradaptasi dengan keadaan pasif di rumah bagi subjek yang terbiasa untuk kerja aktif. Bagi subjek yang telah menikmati masa pensiunnya selama bertahun-tahun telah menerima keadaan dirinya pensiun dan menikmati masa istirahatnya berada di rumah dan memiliki waktu lebih untuk keluarga.

Mc Garry (2004, dalam Scholz dan Seshadri, 2012) melihat secara menyeluruh terdapat hubungan antara pensiun dengan status kesehatan. Scholz dan Seshadri (2012) juga menyebutkan bahwa efek kesehatan jauh lebih kuat daripada masalah keuangan. Bahkan perubahan individu yang pensiun juga dapat dilihat dari tingkatan kesehatannya. Semakin individu tersebut dapat melakukan penerimaan diri menghadapi pensiun, tidak akan mengalami efek kesehatan yang negatif pada masa-masa dirinya akan memasuki masa pensiun. Dari hasil penelitian terlihat bahwa subjek dengan status sosial ekonomi tinggi lebih memperhatikan kesehatan daripada subjek dengan status sosial ekonomi rendah. Cara yang dilakukan beberapa subjek berstatus sosial ekonomi tinggi dalam memperhatikan kesehatan seperti melakukan chek up rutin ke dokter dan menerapkan pola hidup sehat seperti memperhatikan makanan yang mereka konsumsi.

(28)

setelah memasuki pensiun, seperti mengikuti organisasi sosial, aktif di lembaga kesehatan desa, dan mulai memiliki pekerjaan baru untuk mengisi waktu dan mendapatkan penghasilan tambahan. Kegiatan tersebut biasa dilakukan oleh para subjek dengan status sosial ekonomi tinggi sedangkan subjek dengan status sosial ekonomi rendah cenderung tidak mengikuti kegiatan tersebut.

Masa pensiun lebih mudah membangun peningkatan kualitas hidup ke arah yang lebih baik dan menyenangkan bagi dirinya (Rodrigues, Ayabe, Lunardelli, & Caneo, 2005, dalam Alvarenga, Kiyan, Bitencourt, & Wanderley, 2009). Menikmati masa pensiun yang telah dihadapi dan selalu berpikiran positif dapat membantu individu untuk menjalani kehidupannya setelah tidak bekerja lagi. Pensiun adalah masa di mana seseorang diharapkan beristirahat dari pekerjaannya dan menikmati masa tua. Namun demikian, pensiun bukan berarti membiarkan hidup menjadi pasif. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seseorang ketika telah memasuki usia pensiun dan dapat berbagi ilmu dan pengalaman terdahulu. Cara tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup dan menyenangkan bila dijalani dengan positif. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dalam penerimaan diri menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi. Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi lebih menerima dirinya pensiun, sedangkan subjek dengan status sosial ekonomi sedang dan rendah kurang dapat melakukan penerimaan diri dalam menghadapi pensiun, karena subjek dengan status sosial ekonomi tinggi lebih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya ketika pensiun seperti memiliki asset, pendapatan yang tidak berasal hanya dari gaji, pendidikan yang layak serta lebih memperhatikan kesehatan dibandingkan subjek dengan status sosial ekonomi yang rendah.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa adanya perbedaan penerimaan diri dalam menghadapi pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi dengan nilai signifikansi 0,029<0,05. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan penerimaan diri pensiun ditinjau dari status sosial ekonomi. Subjek dengan status sosial tinggi lebih menerima dirinya pensiun dibandingkan dengan subjek yang memiliki status sosial ekonomi rendah.

(29)

REFERENSI

Adhiwardani, Magdalena H. (2002). Sikap penerimaan diri karyawan ditinjau dari persepsi tentang pensiun. Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Adler, Nancy E., dkk. (1994). Socioeconomic status and health (the challenge of the gradient). Journal of American Psychologist Association Vol. 49, No. 1, 15-24, January 1994.

Alvarenga, L, N., Kiyan, L., Bitencourt, B., & Wanderley,K. (2009). The impact of retirement on the quality of life the elderly. Article 2009;43(4):794-800. Diunduh dari http://www.scielo.br/pdf/reeusp/v43n4/en_a09v43n4.pdf , diunduh tanggal 9 Januari 2016.

Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik daerah Kota Mataram. Mataram: CV. Maharani. Bungin, Burhan H.M. (2009). Metodologi penelitian kuantitatif (Ed. 1).Jakarta: Kencana. Carson, Shelley H., & Langer, Ellen J. (2006). Mindfulness and self-acceptance. Journal of

rational-emotive & cognitive-behavior theraphy, Vol. 24, N0. 1, spring 2006, June 20, 2006

Calvo, Esteban., Haverstick, Kelly., & A, Steven. (2007). What makes retirees happier : A gradual or ‘cold turkey’ retirement?. Center for Retirement Research at

Boston College. Diunduh dari

http://crr.bc.edu/wp-content/uploads/2007/10/wp_2007-181.pdf diunduh tanggal 30 Agustus 2015. Charles, Kerwin K. (2002). Is retirement depressing?: Labor force inactivity and

psychological well-being in later life. Working paper 9003, diunduh dari

http://www.nber.org/papers/w9033 , diunduh tanggal 26 Agustus 2015.

Clark, Gordon L., Knox Hayes, Janelle., &. (2008). The significance of socio-economic status, financial sophistication, salience and the scale of deliberation in UK retirement planning. Oxford University, Pension Planning Version 12 University.

Davies, Martin F. (2008). Irrational beliefs and unconditional self-acceptance. II. Experimental evidence linking two key features of REBT. Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behaviour Therapy (2007).

Denmark, K. (1973). Self acceptance and leader effectiveness. Journal of extension 1973. Grace, Harry A. (2007). The self and self-acceptance. Journal of educational theory, Vol. 3,

Issue 3, Pages 220-271, April 2, 2007.

Grundy, E., Holt, G. (2001). The socioeconomic status of older adults: How should we measure it in studies of health inequalities?. Journal Epidemiol Community Health 2001;55:895–904.

(30)

Diunduh dari

http://www.shrm.org/about/foundation/research/documents/kanfer%20final%2 0report%2012-10.pdf , diunduh tanggal 11 Januari 2016.

Leonesio, Michael V. (1996). The economics of retirement: A nontechnical guide. Social security bulletin Vol. 59, No. 4, Winter 1996. Diunduh dari

https://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v59n4/v59n4p29.pdf , diunduh tanggal 11 Januari 2016

Malette, J., Oliver, L. (2006). Retirement and existential meaning in the older adult: A qualitative study using life review. Journal ofCounselling, Psychotherapy, and Health, 2(1), 30-49, April 2006.

Matthews, D Wayne. (1993, May). Acceptance of self and others. Diunduh dari

https://www.ces.ncsu.edu/depts/fcs/pdfs/fcs2762.pdf. Diunduh tanggal 21 November 2015.

McCarthy, Jean., & Heraty, Noreen. (2015). Unearthing psychological predictors of financial planning for retirement among late carees older workers: Do self-perceptions of aging matter? Working, aging, and retirement article. Diunduh dari http://workar.oxfordjournals.org/content/1/3/274 , diunduh tanggal 19 Januari 2016.

Milne, Derek. (2013). The psychology of retirement : Coping with the transition from work. Inggris: Wiley-Blackwell.

Musianto, Lukas S. (2002). Perbedaan pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif dalam metode penelitian. Jurnal manajemen & kewirausahaan Vol. 4 No. 2 Sept. 2002: 123-136.

Nichol, H, W., Brown, S., & Haynes, W. (tanpa tahun). Social class and socioeconomic status : Relevance and inclusion in MPA-MPP programs. Journal of public affairs education 17(2), 187-208.

Oakes, Michael. (2010).Behavioral & Social Sciences Research, Measuring socioeconomic

status. Diunduh dari

http://www.esourceresearch.org/Portals/0/Uploads/Documents/Public/OakesFu llChapter.pdf , diunduh tanggal 7 Agustus 2015.

Oktavianus. (2011). Koping Perawat Usia Madya (50-55 Tahun) Menghadapi Pensiun Di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Jurnal KesMaDaSKa, Vol. 2, No. 1, Januari 2011 (17-26).

Osborne, John W. (2012). Psychological effects of the transition to retirement. Canadian journal of counseling and psychotherapy Vol. 46 No.1 pages 45-58.

Priyatno, Duwi. (2014). SPSS 22, Pengolahan data terpraktis. Yogyakarta: ANDI.

Rohwedder, Susann., & Willis, Robert J. (2010). Mental Retirement. Journal of economic perspectives volume 24, No. 1, Winter-2010, Pages 119-138.

(31)

Scholz, John Karl., & Seshadri, Ananth. (2012). The interplay of wealth, retirement decisions, policy and economic shocks. Working paper 2012-271. Diunduh dari http://www.mrrc.isr.umich.edu/publications/papers/pdf/wp271.pdf , diunduh tanggal 17 Januari 2016.

Sirin, Selcuk R. (2005). Socioeconomic status and academic achievement: A metal-analytic review of research. Journal educational research, Vol. 75, No.3, pp.917- 453. Strauss, John., Lei, Xiaoyan., dkk. (2010). Health outcomes and socio-economic status

among the elderly in China : Evidence from the CHARLS pilot. RAND Labor

and Population working paper. Diunduh dari

http://www.rand.org/pubs/working_papers/WR774.html , diunduh tanggal 12 Agustus 2015.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Szentagotai, Aurora., & David, Daniel. (2013). Self-acceptance and happiness. Practice and

(32)

LAMPIRAN I

(33)

Uji Normalitas

(34)

ANOVA total pd

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 332.090 2 166.045 3.667 .029

Within Groups 4392.500 97 45.284

Total 4724.590 99

Multiple comparisons

Dependent Variable: total pd Tukey HSD

(I) k sse (J) k sse

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

tinggi sedang 2.8106 1.4130 .120 -.553 6.174

rendah 5.8036 2.4667 .033 -.068 11.675

sedang tinggi -2.8106 1.4130 .120 -6.174 .553

rendah 2.9931 2.4444 .442 -2.825 8.811

rendah tinggi -5.8036 2.4667 .033 -11.675 .068

(35)
(36)

LAMPIRAN

II

(37)

Blue print skala penerimaan diri

No. Aspek Item Jumlah

F UF

1. Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat

menghadapi hidupnya 1,3,5 2,4,6 6

2. Menganggap dirinya sederajat dengan orang

lain. 7,9,11 8,10,12 6

3. Tidak menganggap dirinya hebat atau

abnormal dan tidak berharap dikucilkan 13,15 14,16 4

4. Tidak malu-malu atau sadar diri 17,19,21 18,20,22 6

5. Mempertanggung jawabkan perbuatannya 23,25,27 24,26,28 6

6. Mengikuti standard pola hidupnya dan tidak

ikut-ikutan 29,31 30,32 4

7. Menerima pujian atau celaan secara objektif 33,36 34,35 4

8. Tidak menganiaya diri sendiri dengan

kekangan-kekangan yang berlebihan 37,38,40,41 39 5

9. Menyatakan perasaan secara wajar 42,43,44,45,47 46 6

Blue print skala status sosial ekonomi

No. Indikator Jumlah item Skor

1 Pekerjaan 2 4

2 Pendapatan 2 4

3 Pendidikan 1 2

4 Kesehatan 2 4

5 Kepemilikan 3 6

(38)

LAMPIRAN

III

(39)

Item valid skala penerimaan diri

No. Aspek F Item UF Jumlah

1. Kepercayaan atas kemampuan untuk

dapat menghadapi hidupnya 1, 5 2,4,6 5

2. Menganggap dirinya sederajat dengan

orang lain. 8,10,12 3

3. Tidak menganggap dirinya hebat atau

abnormal dan tidak berharap dikucilkan 13,15 14, 3

4. Tidak malu-malu atau sadar diri 17 20,22 3

5. Mempertanggung jawabkan

perbuatannya 25,27 26,28 4

6. Mengikuti standard pola hidupnya dan

tidak ikut-ikutan 29 30,32 3

7. Menerima pujian atau celaan secara

objektif 33,36 35 3

8. Tidak menganiaya diri sendiri dengan

kekangan-kekangan yang berlebihan 40,41 39 3

9. Menyatakan perasaan secara wajar 43, 45 2

Item valid skala status sosial ekonomi

No. Indikator Jumlah item Skor

1 Pekerjaan 2 4

2 Pendapatan 1 2

3 Pendidikan 1 2

4 Kesehatan 2 4

5 Kepemilikan 3 6

Total 9 18

Hasil uji coba skala

Skala Indeks Validitas Cronbach’s Alpha Jumlah item valid

Penerimaan diri 0,318 – 0,805 0,966 29

(40)

LAMPIRAN

IV

(41)

Norma dan Tabel

Norma kategori status sosial ekonomi

Kategori Nilai kategori status sosial ekonomi

tinggi 51.704 - 67.18

sedang 36.227- 51.703

rendah 20.75 - 36.22

Tabel penilaian skala status sosial ekonomi

Alternative pilihan jawaban Skor

a 2

(42)

LAMPIRAN

V

(43)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Perkenalkan nama saya Mutia Nadia. Saya mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2012 yang sedang menempuh skripsi. Oleh karena itu saya meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini sebagai bahan penelitian skripsi. Pada kuesioner ini tidak ada jawaban benar dan salah. Saya mengharapkan Bapak/Ibu bersedia menjawab pernyataan-pernyataan di bawah ini dengan sejujur-jujurnya dan diharapkan tidak ada jawaban yang terlewatkan. Karena jawaban yang Bapak/Ibu berikan sangat berpengaruh besar terhadap hasil penelitian ini. Atas perhatian dan kerjasama yang Bapak/Ibu lakukan, saya ucapkan terima kasih. Sebelum Bapak/Ibu memberikan pilihan pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, diharapkan untuk mengisi identitas sebagai berikut :

A. Identitas dengan diri Anda. Jawablah dengan sejujur-jujurnya. Periksa kembali jawaban Anda untuk memastikan tidak ada pernyataan yang terlewatkan.

Gambar

Tabel 2.4. Tabel perbandingan status sosial ekonomi .............................................................
Tabel penilaian skala status sosial ekonomi ........................................................................
Table 1.1 Indeks Validitas dan Reliabilitas Instrument Penelitian
Tabel 2.1. Deskripsi subjek penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

“maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih. rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tingkat literasi keuangan keluarga di Desa Condongcatur, Yogyakarta berada di kategori sedang; (2) status sosial ekonomi

8 Sebaran Nomor Item Baru Skala Persepsi Istri terhadap Status Sosial Ekonomi Keluarga

Distribusi frekuensi silang antara subjek yang mendapatkan tunjangan masa pensiun dengan -tingkat depresi, menunjukka11 bahwa 3,6% dari 38 sam pel yang

Sedangkan hasil penelitian yang menunjukkan ada perbedaan harga diri dan interaksi sosial antara siswa yang mengajukan bantuan uang sekolah dengan siswa yang tidak

Selain itu, menurut pendapat Hurlock (2006) tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya, Individu yang dapat menerima

Selain itu, menurut pendapat Hurlock (2006) tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya, Individu yang dapat menerima

Sedangkan hasil penelitian yang menunjukkan ada perbedaan harga diri dan interaksi sosial antara siswa yang mengajukan bantuan uang sekolah dengan siswa yang tidak