• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Borax Content and Microbe Contamination on Beef Meatballs in The Regency of Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Borax Content and Microbe Contamination on Beef Meatballs in The Regency of Tangerang"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA

BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG

KUSTRI WINDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(3)

ABSTRACT

KUSTRI WINDAYANI. The Borax Content and Microbe Contamination on Beef Meatballs in The Regency of Tangerang. Under direction of IDWAN SUDIRMAN and IETJE WIENTARSIH.

Meatballs is a good media for the growth of microorganism , so it is easy to trough a damage if it is kept on a room temperature. To increase the storage time and improve the meatballs physical characteristic, the producer usually adds some food additional material into the the meatballs dough. The examination on meatballs samples which is from Tangerang Regency is to find out the borax and microbial contamination and also the implementation of sanitation and processing hygiene and the handling of meatballs in level of traders. As many as 196 samples of the meatballs examined base on microbial and borax contamination quantitatively and done by filling in questionaries about sanitation and hygiene implementation. Total Plate Count (TPC): >1 x 105 cfu/g (133 samples or 67,5%), Coliform : >10 MPN/g (80 samples or 40,8%), Staphylococcus aureus : >1 x 102 cfu/g (49 samples or 25,0%). and the amount of positive sample contains of borax are 25 out of 100 samples (25,0%); the lowest borax content was 5,56 mg/kg and the highest was 4660,40 mg/kg and with an average of 806,86 mg/kg. Result test with Chi Square that was not significant relation between borax content toward total microbial contamination. The implementation of sanitation-hygiene such as washing raw material, storage on low temperature, separated storeage with other commodity and storage in a package are significant to microbial contamination on level of confidence 95%.

(4)

RINGKASAN

KUSTRI WINDAYANI. Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh IDWAN SUDIRMAN DAN IETJE WIENTARSIH.

Bakso daging sapi (bakso sapi) merupakan makanan jajanan yang sangat populer dan digemari banyak orang di Indonesia. Bakso biasanya disajikan sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya yaitu sayuran dan tahu., sehingga pada semangkok mie bakso sudah terkandung sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Disamping itu mie bakso juga dapat mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan seperti pengawet makanan yang dilarang seperti formalin dan boraks.

Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso sapi merupakan media yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya membubuhkan bahan tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat fisik dari produk yang dihasilkan. . Penelitian ini bertujuan untuk menguji syarat mutu bakso sapi yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba apakah telah sesuai dengan SNI 01-3818-1995, menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso sapi terhadap jumlah cemaran mikroba dan menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan sanitasi dan hygiene terhadap jumlah cemaran mikroba

Populasi target sampling adalah pedagang bakso rumahan, pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional. Kabupaten Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan (4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3 kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan sampel. Pedagang bakso rumahan dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan. Banyaknya bakso yang diambil sebagai sampel adalah 197 sampel (ditentukan dengan menggunakan rumus n = 1,962 pq/L2), terdiri dari 166 sampel bakso buatan rumahan (C), 19 sampel bakso buatan pabrik yang dijual di pasar tradisional (B1) dan 12 sampel bakso buatan pabrik di swalayan (B2

(5)

negatif mengandung boraks (75,0%). Sampel positif terdiri dari 3 sampel (12,0%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (88,0%) bakso buatan rumahan. Kandungan boraks tertinggi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah 5,56 mg/kg terdapat pada bakso buatan rumahan. Rata-rata kandungan boraks adalah 806,86 mg/kg.

Total cemaran mikroba (TPC) di atas nilai SNI 01-3818-1995 yaitu 133 sampel (67,5%) terdiri dari 114 sampel C, 11 sampel B1 dan 8 sampel (B2). Bakteri Coliform di atas nilai SNI yaitu 80 sampel (40,8%) terdiri dari 75 sampel C, 2 sampel B1 dan 3 sampel B2. Bakteri Staphylococcus aureus di atas nilai SNI yaitu 49 sampel (25,0%) terdiri dari 40 sampel C, 6 sampel B1 dan 3 sampel B2. Persentase bakso berukuran kecil dan sedang dengan nilai TPC di atas nilai SNI lebih besar daripada bakso berukuran besar. Pada semua sampel bakteri E. coli di bawah nilai SNI dan negatif Salmonella ssp. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05 ; α = 95%). Pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap TPC dan bakteri Coliform (P > 0,05 ; α = 95%).

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindumgi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA

BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG

KUSTRI WINDAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang

Nama : Kustri Windayani NRP : B551034134

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Idwan Sudirman

Diketahui

Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc. Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan . Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan April sampai Desember 2006 ini adalah syarat mutu bakso sapi , dengan judul tesis Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di kabupaten Tangerang.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. H. Idwan Sudirman dan Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, MSc. Apt. atas bimbingannya dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi., Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS., Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, Ibu Ir. Etih Sudarnika, MSi., rekan-rekan S2 KMV Kelas Khusus Angkatan I, para Teknisi di Laboratorium Kesmavet DKI Jakarta, rekan-rekan di Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta Raka, Iman dan Rayi serta seluruh keluarga atas segala dukungan, kasih sayang dan do’anya.

Bogor, Agustus 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 19 Nopember 1964 sebagai anak ke empat dari delapan bersaudara dari bapak H. Ehman Soehardja dan ibu Hj. Siti Mariyah.

Selepas SMA pada tahun 1983 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SIPENMARU dan memilih jurusan Fakultas Kedokteran Hewan Pada tahun 1987 lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan tahun 1988 berhasil meraih gelar profesi Dokter Hewan di tempat yang sama. Sejak tahun 1992 penulis bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.

(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ………... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Perumusan Masalah... 3

Hipotesis ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Bakso Daging ... 5

Bahan Tambahan Makanan ... 9

Boraks (Na2B4O7,10H2O) ………... 11 Cemaran Mikroba ... 17

Higiene Sanitasi ... 22

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

Metoda Sampling ... 25

Pemeriksaan Boraks ... 26

Pemeriksaan Cemaran Mikroba ... 27

Pengisian Kuisioner ... 28

Pengolahan Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso ... 29

Pemeriksaan Boraks ... 31

Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba ... 33

Cemaran Mikroba ... 35

Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba ... 38

Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) ... 41

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 45

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria mutu sensoris bakso daging ... 6

2. Peraturan perijinan penunjukan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Number)dan Codex Alimentarius (INS Number) ... 10

3. Sifat fisik dan kimia dan beberapa senyawanya ... 12

4. Toksisitas akut boraks dan asam borat... 15

5. LAOELs dan NAOELs boraon (asam borat) pada perkembangan dan reproduksi ...16

6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso per kecamatan terpilih ...29

7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso ... 30

8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus ...32

9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap total mikroba (TPC) ...34

10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform ...34

11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan S. Aureus...34

12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan...36

13. Nilai Total Plate Count (TPC) sampel bakso berdasarkan ukurannya …….. 38

14. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap total cemaran mikroba (TPC) pada pembuatan bakso rumahan. ...39

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Syarat Mutu Bakso Daging (SIN-01-3818-1995) ...54

2. Homogenisasi Contoh Bakso…………... 55

3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) ...56

4. Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform ………...……… 57

5. Cara Pemeriksaan Escherichia coli...58

6. Cara Uji Salmonella... 60

7. Cara Uji Staphylococcus aureus ... 62

8. Kuisioner untuk Pedagang Bakso di Pasar Tradisional dan Swalayan ... 63

9. Kuisioner untuk Pedagang Mie Bakso yang Membuat Bakso Sendiri... 64

10. Rekapitulasi hasil pemeriksaan sampel bakso ... 67

(15)
(16)

Latar Belakang

Bakso daging sapi (selanjutnya disebut bakso) merupakan makanan jajanan yang sangat populer di Indonesia. Penggemar makanan ini merata mulai dari anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun wanita, dari desa sampai ke kota, dari kalangan bawah, menengah sampai kalangan atas. Maka tidak mengherankan jika pedagang bakso dapat dijumpai di mana-mana, mulai dari tukang bakso keliling di kampung-kampung sampai ke restoran besar dan mewah di kota-kota. Bakso biasanya disajikan sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya seperti sayuran, tahu serta kuah kaldu yang diberi bumbu, sehingga untuk semangkok mie bakso sudah terdapat kandungan sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Tetapi disamping itu mie bakso juga dapat berbahaya bagi kesehatan karena mie bakso dapat mengandung bahan seperti pengawet makanan yang dilarang, serta penyedap makanan dalam jumlah berlebihan.

Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3818-1995). Bakso yang dijual di pasaran Kabupaten Tangerang dapat dibedakan menjadi bakso buatan pabrik dan bakso buatan rumahan. Bakso buatan pabrik terdiri dari bakso kemasan bermerek, bakso kemasan tidak bermerek dan bakso curah, sedangkan bakso buatan rumahan adalah bakso yang diproduksi oleh usaha rumah tangga untuk keperluan sendiri.

(17)

No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanaan (BSN 1995a) pasal 3 dan 4 dikatakan bahwa salah satu bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan adalah asam borat dan senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Boraks merupakan garam natrium dari boron (Na2B4O7,10H2

Aspek keamanan pangan dari bakso harus dijaga agar masyarakat terlindungi dari mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan. Menurut SNI 01-3818-1995 tentang Bakso Daging, bahwa syarat mutu bakso daging antara lain tidak boleh mengandung boraks dan Angka Lempeng Total (Total Plate Count, TPC) maksimum 1 x 10

O) yang banyak digunakan pada industri non pangan , seperti pada industri gelas, enamel dan keramik. Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian (EGVM 2003, Ellenhorn 1997).

Bakso merupakan bahan pangan sumber protein hewani alternatif yang relatif murah, bila dibandingkan dengan daging sapinya sendiri sehingga harganya dapat terjangkau oleh masyarakat umum. Kualitas bakso ditentukan oleh daging yang digunakan sebagai bahan baku dan kandungan daging tersebut dibandingkan dengan patinya. Pada umumnya bakso yang bermutu tinggi, kadar patinya rendah yaitu sekitar 15% dari total adonan. Semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah mutu bakso yang dihasilkan, sehingga harganya akan semakin murah (Winarno 1997).

5

(18)

pemutih dan tawas. Pada pemeriksaan cemaran mikroba, TPC terendah adalah 7 x 104 CFU/gram dan tertunggi 7 x 105

1. Masih adanya pemakaian bahan pengawet yang dilarang pada bakso yang dijual di Kabupaten Tangerang.

CFU/gram, dan tidak ada pencemaran oleh bakteri E. coli.

Isu penggunaan bahan pengawet berbahaya boraks di dalam bakso serta kondisi tempat berjualan bakso di pasar tradisional atau di pedagang mie bakso yang belum memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, seperti tempat penjualan, tempat penyimpanan, suhu penyimpanan dan kebersihan pegawai serta kebersihan peralatan yang digunakan yang dapat menyebabkan bakso yang dijual rawan terhadap kontaminasi oleh mikroorganisme. Hal tersebut menjadikan keamanan produk bakso menjadi sangat rendah. Dampak dari kondisi ini adalah terancamnya kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut. Di sisi lain akan timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk pangan asal ternak sehingga akan merugikan para pelaku usaha di sektor ini. Dari kondisi tersebut maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang keberadaan boraks dan cemaran mikroba pada bakso buatan rumahan dan bakso buatan pabrik yang beredar di Kabupaten Tangerang.

Perumusan Masalah

2. Masih kurangnya sanitasi dan higiene penanganan bakso pada pedagang bakso di pasar tradisional dan pedagang mie bakso di Kabupaten Tangerang.

3. Masih terbatasnya sarana tempat berjualan bakso di pasar tradisional yang dapat menjamin mutu.

Hipotesis

Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :

(19)

2. H0 : Penerapan praktek higiene dan sanitasi berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba bakso.

H1 : Penerapan praktek higiene dan sanitasi tidak berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba bakso.

3. H0 : Keberadaan boraks pada bakso berpengaruh terhadap jumlah cemaran mikroba.

H1 : Keberadaan boraks pada bakso tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menguji syarat mutu bakso yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba dibandingkan dengan SNI 01-3818-1995 tentang bakso daging.

2. Menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso terhadap jumlah cemaran mikroba.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso Daging.

Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992).

Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati) nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging. Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno 1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan lemaknya seluruhnya di atas SNI.

(21)

(Andayani 1999). Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti yang tercantum pada Tabel 1 .

Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging.

Parameter Kriteria

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur atau berlendir.

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.

Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik, masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam. Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu

cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh.

Sumber : Wibowo (1999).

Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepung-tepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap.

(22)

bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992).

Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992).

Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981).

Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap yaitu (1) tahap penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).

Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur kesat dan tidak lengket (Anindita 2003).

(23)

bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003). Diagram alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.

1. DAGING SAPI

2. STANDARISASI

3. PENGHANCURAN KASAR

4. PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN (Es, bahan pengisi, bumbu-bumbu, garam, BTM)

5. PEMBENTUKAN BULATAN BAKSO

6. PEREBUSAN 70O

7. PEREBUSAN 100

C, 10 MENIT (hingga naik ke permukaan)

O

8. PENDINGINAN DAN PENYIMPANAN

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso (Surjana 2001).

C, 10-15 MENIT (hingga bakso matang)

Proses 1-4 dilaksanakan di tempat penggilingan daging di pasar

(24)

Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan adalah bahan yang tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada saat pengolahan, penyiapan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa , tekstur atau sifat penyimpanannya (BSN 1995a). Bahan tambahan makanan yang diizinkan yang dapat digunakan pada makanan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa dan sekuestran. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan kimia maupun biologis makanan. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan makanan tambahan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN 1995a).

Bahan tambahan makanan (Food Additives) diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pengawet (preservatives), memperbaiki atau menjaga nilai nutrisi makanan, menambah atau memberi warna makanan, menambah atau memberi aroma makanan, memperbaiki tekstur makanan dan membantu pada prosesing makanan (Branen dan Haggerty 2002).

(25)

aktivitas antimikroba, sifat fisika-kimia dan komposisi makanan yang diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang digunakan (Davidson dan Branen 2005).

Pemakaian pengawet pada bakso pada umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Bahan pengawet yang diperkenankan dipakai pada bakso adalah asam sorbat, kalium sorbat, asam propionat, kalsium dan natrium propionat, asam benzoat, natriumbenzoat, kalium sulfit, natrium dan kalium bisulfit, silikon dioksida, asam sitrat dan nitrium karbonat, dan bahan pengemulsi yang dianjurkan adalah Sodium Tripolyphosphate (Surjana 2001).

Beberapa senyawa kimia yang diizinkan sebagai bahan antimikroba pada makanan di negara-negara Uni Eropa dan tercantum dalam Codex Alimentarius

(Tabel 2).

Tabel 2. Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Numbers) dan dalam Codex Alimentarius (INS Numbers)

(26)

Boraks (Na2B4O7.10H2O)

Boraks (Natrium tertaborat, Na2B4O7.10H2O) merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna, tidak berbau dan mudah larut dalam air. Bila terekspos di udara kering dan hangat sering dilapisi serbuk warna putih seperti kapur. Natrium tetraborat mengandung sejumlah Na2B4O7 yang setara dengan tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 105,0 % Na2B4O7.10H2O. Larutan boraks bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut dalan air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol (Ditjen POM 1995).

Boron adalah unsur mineral alam yang terdapat pada kulit bumi dalam jumlah relatif kecil, yaitu kurang dari 10 ppm (Woods, 1994). Konsentrasi pada air laut berkisar antara 0,5 – 9,6 ppm dengan rata-rata 4,6 ppm, sedangkan pada air tawar berkisar antara <0,01 – 1,5 ppm. Di alam boron tidak ditemukan bebas tetapi selalu berikatan dengan oksigen, biasanya sebagai asam (boric acid,

H3BO3) atau garamnya yang disebut borates misalnya Natrium tetraborat (Na2B4O7.10H2

O O O O O

O) atau yang dikenal dengan boraks.

Asam borat dan garamnya (utamanya boraks atau sodium tetraborat) secara luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik glasur dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk, bahan laundry, herbisida dan insektisida (USEPA-IRIS 2004)

B B B B

O O

Na Na

(27)

Tabel 3. Sifat fisik dan kimia Boron dan beberapa senyawanya

Boron Asam borat Boraks Boraks

anhidrat Boron oksida

Nomor

registrasi CAS 7440-42-8 10043-35-3 1303-96-4 1330-43-4 1303-86-2 Rumus

(28)

kontrol 32 minggu setelah pemberian dihentikan (Chapin et al. 1997). Akumulasi boron pada tulang mungkin ada hubungannya dengan manfaat asam borat dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium (Devirian dan Volpe 2003).

Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satu-satunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi (WHO 1998). Asam borat diekskresi dari tubuh bersama urin dengan recovery rate antara 84% (Samman

et al. 1998) dan 92% dalam 96 jam (Schou et al. 1984). Waktu paruh untuk eliminasi asam borat adalah sekitar 21 jam pada pemberian intra vena (Jansen

et al. 1984a) maupun oral (Jansen et al. 1984b).

Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pKa = 9,2 dan terutama berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H3BO3 dalam larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat (Woods 1994). Nilai pKa suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang. Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam kuat memiliki nilai pKa rendah ( ≤ 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi (Brown dan Booth 1991).

Asam lemah yang berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan. Aktifitas antimikrobialnya tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler lebih tinggi (bersifat basa) dari pada pH ekstraseluler, dan akan terjadi peningkatan H+ yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson

et al. 2005; Brown dan Booth 1991). Untuk mencegah penurunan pH

(29)

Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara

dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis 5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti,

sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare, sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003). Keracunan akut boron menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al 2005) Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan. Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10 mg boron/kg/hari (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).

(30)

Tabel 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat

Iritasi konjuktiva, sembuh dlm

4 hari III

mata/kelinci Korosif I

Iritasi akut kulit/

kelinci Non-iritasi IV

Sumber : US EPA (2008)

(31)

Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAELs) adalah level terendah boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang dapat diamati, dan

Observed Adverse Effect Levels (NOAELs) adalah level boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang tidak dapat diamati. Nilai LOAELs dan NOAELs pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 5.

(mg/kgbb/hr) Efek Negatif Referensi

Tikus 79 43 Gangguan

Sumber : Health Canada (2007)

Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak. Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan kecap Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian

(32)

Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal (Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh industri bakso kecil dan menengah (Anindita 2003). Penelitian yang dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm

Cemaran Mikroba

Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan kualitas pangan. Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu, jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004).

Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor-faktor yang ada pada bahan pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi, antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).

1. Coliform dan Escherichia coli

(33)

termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).

Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan

hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform

sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan. Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliformfecal dan non-fecal. Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).

Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan membentuk asam dan gas, mereduk si nitrat dan nitrit, oksidase positif dan katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).

Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).

(34)

pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10oC (Fardiaz 1987).

Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7. Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada suhu 100C – 420C pH > 5 dan Aw 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen penyebab food-borne disease ini (Gonzales 2005). Berdasarkan gejala dan sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu

enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) (Jay et al. 2005).

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan resiko infeksi E. coli

yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual sebagai menu siap saji dan kontak dengan orang atau hewan sakit (Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli

diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).

2. Salmonella ssp

Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil, aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada 25-43o

Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella

(35)

ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses (Wray et al. 2003).

Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan yang potensial dan menyebabkan foodborne illness. Pangan dapat bertindak sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran (Patterson dan Isaacson 2003).

Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia, yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh

S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan

oleh paling tidak 5 seritipe, yaitu S. enterica serotipe Typhimurium,

S. enterica serotipe Enteritidis, S. enterica serotipe Hiedelberg,

S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al. 2003).

Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es (4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan. Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es.

Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan aw

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau

coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase 0,93 (D’aoust. 2001).

(36)

positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan Aw 0,86. Koloni pada media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam 2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada Aw < 0,8 menjadi problem penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).

Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan intoksikasi (Jay et al. 2005).

Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin

yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning). Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh

Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia. Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C1, C2, C3

Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan, pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37

, D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).

o

(37)

tumbuh pada 10-45o

Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek C dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan menghasilkan toksin (Doyle 1989).

Higiene dan Sanitasi Pangan

Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997).

Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budidaya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan

(38)

higiene sanitasi merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut. Untuk menciptakan pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap, terencana dan berkesinambungan.

Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya (Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998). Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu :

1. Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control measure).

2. Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi. 3. Penetapan batas kritis, yaitu batasan yang digunakan untuk menjamin

(39)

4. Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP. Pemantauan harus bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan CCP.

5. Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas kritis.

6. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.

7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit. dan inspeksi.

Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .

(40)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tangerang pada bulan April 2006 sampai dengan bulan Desember 2006. Pemeriksaan sampel terhadap cemaran mikroba dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta dan pemeriksaan boraks secara kuantitatif dilakukan di Pusat Pengjian Obat dan Makanan (PPOM) Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI di Jakarta.

Metoda Sampling

Populasi target sampling adalah pedagang mie bakso, pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional, di mana Kabupaten Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan (4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3 kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan sampel. Pedagang mie bakso dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan terpilih. Besarnya sampel bakso ditentukan dengan menggunakan rumus dari Martin (Thrusfield, 1995)

n = 1,96

2

pq/L

2

dimana n : besar sampel,

p : prevalensi dugaan pemakaian boraks (15%), q : (1 – p)

L : tingkat kesalahan (5%).

Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel adalah 196.

(41)

Pemeriksaan Boraks

Pemeriksaan kandungan boraks secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri (Mujamil, 1997). Jumlah sampel yang diperiksa adalah 100 sampel. Perlakuan terhadap sampel sebagai berikut:

Ke dalam ± 100 gram sampel ditambahkan 300 ml aquadest panas, kemudian dihaluskan, ditambahkan 20 ml asam klorida 4 N dan dipanaskan di atas penangas air selama 10 menit sambil diaduk, kemudian disaring, sisa penyaringan dibilas dengan 100 ml aquadest panas. Filtrat yang diperoleh dicukupkan volumenya sampai 250 ml dalam labu ukur. Dipipet sebanyak 50 ml ditambah 75 m1 metanol kemudian didestilasi pada suhu 85°C – 90°C selama 110 menit dan destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%. Destilat yang diperoleh dipanaskan pada pelat pemanas sampai kering. Panaskan pada tungku listrik 600°C, kemudian dinginkan. Ditambahkan 10 ml larutan kurkumin dan panaskan pada suhu 55°C – 57°C sampai kering, kemudian tambahkan etanol sampai 25 ml (dalam labu ukur 25 ml). Secara kuantitatif larutan yang terbentuk diukur serapannya menggunakan spektrofotometer pada λ-maksimum. Kadar boraks dalam sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dari larutan standar boraks. Berdasarkan regresi linier kurva kalibrasi dan faktor pengenceran, maka kadar boraks dalam sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut

Kadar Boraks (ppm) = K.ABS + B+FP.1000 Gram sampel

K = slope

ABS = Absorban

B = Intercept

(42)

Pemeriksaan Cemaran Mikroba

Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI 19-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba. Cemaran mikroba yang diperiksa adalah

Total Plate Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus,

Escherichia coli dan Salmonella ssp. Jumlah bakso yang diperiksa adalah 196 sampel..

1. Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)

Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC. Sebelum dilakukan pemeriksaan sampel dihomogenisasi dahulu pada larutan pengencer Buffered Peptone Water (BPW). Bahan dan alat yang digunakan antara lain sampel bakso, media Plate Count Agar (PCA), cawan petri steril, pipet steril berbagai ukuran, inkubator.

2. Pemeriksaan Bakteri Coliform

Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 36 ± 1o

Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung Durham setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44

C selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel Angka Paling Mungkin (APM). Pemeriksaan menggunakan metoda Most Probable Number (MPN) dengan 3 tabung.. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth, Brilliant Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB 2%). blender, penangas air, inkubator, pipet, ose, Erlenmeyer dan tabung reaksi..

3. Pemeriksaan Escherichia coli

o C selama 24 -48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Escherichia coli Broth

(43)

media INVIC (Indol, Merah Red, Voges-Proskauer dan citrate), blender, penangas air, inkubator, pipet, Ose, erlenmeyer, dan tabung reaksi.

4. Pemeriksaan Salmonella

Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan uji biokimia dan uji serologi. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Lactose Broth, Selenite Cystine Broth,. Tetrathionat Brilliant Green Broth, Brilliant Green Agar (BGA), Bismuth Sulfit Agar (BSA), Nutrient Agar, Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar, Lysine Decarboxylation Medium, VP Medium, Indol Medium, dan antisera, botol pengencer, tabung reaksi, gelas ukur, pipet , cawan Petri, gelas sediaan, inkubator, pengering cabinet, penangas air, pengaduk gelas, Ose, dan sterilisator filter.

5. Pemeriksaan Staphylococcus aureus

Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan khusus setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan uji koagulase. Metoda Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan mengandung lebih dari 100 Staphylococcus aureus. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Baird Parker Agar, Brain Heart Infusion Broth (BHIB), spreader gelas, tabung reaksi, cawan petri, pipet inkubator, penangas air, laminar flow cabinet .

Pengisian Kuisioner

Kuisioner tentang penerapan praktek higiene - sanitasi yang dilakukan oleh para pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pengambilan sampel bakso.

Pengolahan Data

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso

Target penelitian dan pengambilan sampel adalah pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional, swalayan yang menjual bakso buatan pabrik dan pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya. Pengumpulan sampel dilakukan di 7 kecamatan terpilih di Kabupaten Tangerang dengan total sampel sebanyak 197 sampel . Sebaran jumlah pedagang dan banyaknya sampel bakso yang dikumpulkan dari setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso per kecamatan terpilih.

No Wilayah/ Kecamatan

Jumlah Pedagang bakso Banyaknya Sampel Total Sampel

B1* : Pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional B2* : Swalayan

C* : Pedagang bakso rumahan (pedagang mie bakso)

(45)

155 pedagang. Hal tersebut karena beberapa pedagang yang memiliki beberapa kios bakso di tempat yang berbeda. Umur bakso buatan rumahan yang disampling adalah antara 0 – 1 hari (bakso buatan hari itu dan kemarin). Pedagang bakso di Kabupaten Tangerang yang membuat bakso sendiri rata-rata perhari mengghabiskan daging sapi antara 2 kg – 50 kg /pedagang. Jumlah butiran bakso yang dihasilkan per kilo daging tergantung kepada ukuran bakso yang dibuat dan jumlah bahan tambahan yang digunakan.

Hasil pemerian terhadap sampel bakso yang meliputi sifat fisik dan organoleptik yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan ukuran bakso ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso

No Pemerian Jumlah

Ukuran bakso yang disampling dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu bakso ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar. Bakso kecil berukuran sebesar kelereng atau lebih besar, bakso sedang berukuran sebesar bola pingpong dan bakso besar berukuran sebesar bola tenis. Besar kecilnya bakso akan berpengaruh terhadap luasnya permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil ukuran bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba lebih besar .

(46)

asam atau busuk. Hal tersebut disebabkan sampel bakso yang diambil rata-rata berumur 1 hari. Bau asam dan bau busuk disebabkan oleh kerja bakteri pembentuk asam dan bakteri proteolitik. Hasil penelitian Surjana (2001) menunjukan bahwa mikroba yang tumbuh pada bakso sebagian besar merupakan bakteri asam laktat dan mulai terlihat pada hari ke-0 penyimpanan. Pada bakso kontrol bau asam muncul pada hari ke-2 penyimpanan dan bau busuk muncul pada hari ke-3 penyimpanan, sedangkan pada bakso yang diberi pangawet bau asam baru muncul pada hari ke-5 penyimpanan.

Konsistensi dan tekstur bakso sampel adalah kenyal, kesat, tidak lengket dan tidak berlendir. Tekstur bakso yang kenyal, kesat dan kering bisa diperoleh bila ke dalam adonan bakso ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Sodium Tripolyphosphate (STTP). Beberapa pembuat bakso masih menggunakan boraks untuk mendapatkan hasil yang sama. Bakso yang lembek dan berlendir menunjukkan adanya aktivitas bakteri pembusuk. Lendir pada bakso tanpa pengawet muncul pada hari pertama penympanan, sedangkan tekstur lembek dan mengelupas terjadi pada hari ke-2 (Surjana 2001).

Pemeriksaan Boraks

(47)

lebih rendah dari dosis letal, dari sisi keamanan pangan bakso yang mengandung boraks dalam jumlah banyak maupun sedikit merupakan bahan pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Tabel 8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus

(48)

Kandungan asam borat dalam air minum untuk masyarakat di Kanada adalah 0,1 mg/L atau lebih rendah (Health Canada, 1991).

Alasan yang menyebabkan para pembuat bakso menggunakan boraks pada produknya, yaitu untuk mendapatkan produk bakso yang kenyal, tidak lembek, kesat dan lebih tahan lama. Pengetahuan yang terbatas tentang jenis bahan tambahan makanan yang diijinkan dan yang dilarang digunakan membuat mereka menggunakan boraks dalam produknya. Pembuat bakso rumahan biasanya mendapatkan boraks di tempat penggilingan daging yang juga menyediakan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk membuat bakso seperti bumbu-bumbu, pati, es batu, bahan tambahan makanan, serta mie dan sayuran. Beberapa jenis bahan tambahan yang biasanya disediakan di tempat penggilingan daging dinamakan sesuai dengan kegunaannya, seperti pemutih, pengembang, pengeras, pengenyal, dan sebagainya. Dengan demikian mereka tidak mengetahui bahwa bahan yang mereka gunakan sebagai pengenyal kemungkinan adalah boraks. Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan terhadap peredaran bahan-bahan kimia yang dilarang tersebut mulai dari tingkat distributor, pedagang pengecer sampai ke pengguna akhir. Ketentuan tentang distribusi dan pengawasan bahan berbahaya ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006. Disamping itu perlu sosialisasi yang lebih baik lagi kepada para pedagang dan pelaku usaha penggilingan daging tentang pemakaian bahan tambahan makanan pengganti boraks seperti STTP dan pengawet makanan seperti Na-karbonat, K-karbonat dan Ca-propionat (Winarno 1997)..

Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba

Salah satu tujuan pemakaian boraks adalah untuk mencegah perkembangan mikroorganisme sehingga bakso yang mengandung borak akan lebih tahan lama disimpan. Pada tabel 8 terlihat bahwa bakso yang mengandung boraks ternyata masih mengandung cemaran mikroba yang tinggi seperti TPC, Coliform dan

(49)

Tabel 9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap TPC _________________________________________________________ Faktor Total Plate Count (TPC) .

≤105 % >105 % χ2 P . Boraks :

- Positif 8 25,0 18 26,9 0,039 0,844

- Negatif 24 75,0 49 73,1

_______________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)

Tabel 10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform

_________________________________________________________ Faktor Coliform

≤10 % >10 % χ2 P . Boraks :

- Positif 18 29,5 8 21,1 0,864 0,352

- Negatif 43 70,5 30 78,9

_____________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)

Tabel 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan Staphylococcus aureus

_________________________________________________________

Faktor Staphylococcus aureus

≤102 % >102 % χ2

Hasil uji Chi Square pada tabel 9, 10 dan 11 menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan

Staphylococcus aureus (P > 0,05). Tujuan penambahan boraks ke dalam adonan bakso antara lain sebagai antimikroba sehingga diharapkan akan menekan perkembangbiakannya dan dapat memperpanjang masa simpan bakso pada suhu kamar. Dari tabel di atas, sampel yang mengandung boraks dan cemaran mikrobanya di bawah SNI 01-3818-1995 hanya 25% untuk TPC, 29,5% untuk

Coliform dan 30% untuk Staphylococcus aureus, sedangkan yang cemaran

P . Boraks :

- Positif 24 30,0 2 0,5 3,007 0,083

- Negatif 56 70,0 17 89,5

(50)

mikroba di atas SNI adalah 26,6% untuk TPC, 21,1% untuk Coliform dan 10,5% untuk Staphylococcus aureus. Hal tersebut mungkin disebabkan jumlah boraks yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak mampu menghambat perkembangan mikroorganisme. Boraks bila dilarutkan dalam air akan menjadi asam borat, suatu senyawa asam lemah yang mempunyai kemampuan sebagai antiseptika. Boraks dan asam borat bukan merupakan bahan tambahan makanan yang diizinkan sehingga dosis pemakaiannya sebagai pengawet pada makanan tidak diketahui. Asam borat sebagai antiseptika yang sering digunakan sebagai obat pencuci mata (boorwater) adalah larutan asam borat 3%, sedangkan talcum powder mengandung 5% boron.

Mekanisme kerja boraks atau asam borat sebagai pengawet adalah karena asam akan menurunkan pH sel bakteri, sehingga untuk tetap mempertahan pH konstan dalam sel, bakteri diperlukan energi yang banyak, akibatnya energi yang tersedia untuk sintesa komponen-komponen sel berkurang, oleh karena itu pertumbuhan sel menjadi sangat lambat, bahkan berhenti sama sekali pada pH yang sangat rendah. Pada kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat maka persediaan energi untuk mempertahankan hidup sangat terbatas, akibatnya sel-sel menjadi mati karena reaksi-reaksi pengasaman di dalam sel (Fardiaz 1992).

Cemaran Mikroba

Cemaran mikroba pada makanan dapat berasal dari kontaminasi primer,

yaitu bahan baku pangan tersebut sebelum dipanen atau disembelih, dan pencemaran dari luar (kontaminasi sekunder). Sumber pencemaran antara

(51)

Bogor berlangsung 2 tahap, yaitu tahap pertama direbus dalam air panas dan tahap kedua direbus dalam air tawas. Lama perebusan selama 15 – 25 (Anindita 2003).

Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada sampel bakso yang meliputi TPC, cemaran Coliform, cemaran E. coli, cemaran Samonella sp dan cemaran

Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 12. Total Plate Count sampel bakso 67,5% diatas SNI, bakteri Coliform 40,8% di atas SNI dan Staphylococcus aureus 25% di atas SNI, sedangkan E. coli dan Salmonella sp 0% di atas SNI.

Tabel 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.

(52)

kontaminasi dan perkembangan mikoorganisme pada bakso setelah perebusan adalah dengan menerapkan sanitasi dan higiene pada proses pengemasan, penyimpanan , distribusi dan penjualan dan penerapan sistem rantai dingin selama distribusi dan penyimpanan.

TPC pada bakso di swalayan lebih tinggi dibandingkan dengan bakso dari pasar tradisional antara lain karena di swalayan bakso disimpan dalam waktu yang cukup lama pada temperatur tempat penyimpanan yang dingin tetapi tidak beku (± 10 0C). Pada temperatur dingin mikroorganisme mesofilik menjadi tidak aktif atau dihambat pertumbuhannya. Disamping itu show case yang terbuka dimana pembeli mengambil sendiri baksonya dapat menambah kontaminasi dari tangan pemberi dan lingkungan sekitarnya. Bakso di pasar tradisional pada umumnya habis terjual dalam waktu satu hari, sehingga walaupun tingkat kontaminasinya lebih tinggi tetapi mikroorganisme belum berkembang terlalu banyak Pertumbuhan mikroorganisme berbanding lurus dengan pertambahan waktu. Pada kondisi ideal satu sel bakteri akan tumbuh menjadi 2 sel setiap 15 -30 menit.

(53)

Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bakso berdasarkan ukurannya

Bakteri Coliform pada bakso buatan rumahan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kontaminasi dapat berasal dari manusia dan dari lingkungan. Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Selain itu ditemukan juga di tanah, air dan tumbuhan yang terkontaminasi oleh feses. Bakso buatan rumahan terkontaminasi Coliform dari debu atau bahan mentah seperti sayuran karena pada umumnya disimpan pada tempat terbuka dan bercampur dengan bahan lain. Persentase Staphylococcus aureus terbesar terdapat pada bakso pabrik yang dijual di pasar tradisional. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas kontak bakso dengan kulit atau tangan penjual dan pembeli yang tidak bersih, karena di pasar tradisional bakso diambil langsung menggunakan tangan telanjang. S. aureus hidup secara komensal pada kulit, rambut, rongga hidung dan tenggorokan pada lebih dari 50% orang sehat (Whitt et al. 2002). Penyebab lainnya adalah lingkungan pasar yang tidak bersih dan tempat berjualan yang terbuka dan bersatu dengan komoditi lainnya. S. aureus berpotensi menghasilkan toksin pada makanan yang dapat menyebabkan keracunan (food poisoning). Pengolah makanan dapat menjadi sumber kontaminasi pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus (Carmo et al. 2003).

Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba

(54)

adalah penerapan faktor-faktor sanitasi dan higiene untuk menjamin bahan pangan tersebut aman sejak dari pra produksi sampai dikonsumsi oleh manusia (safe from farm to table).

Penerapan faktor sanitasi dan higiene pada pedagang bakso rumahan sejak dari proses produksi sampai pasca produksi diuji asosiasinya terhadap cemaran mikroba yaitu terhadap TPC dan Coliform (Tabel 14).

Tabel 14. Uji Chi Square hubungan penanganan higiene dan sanitasi terhadap TPC pada pembuatan bakso rumahan.

__________________________________________________________________ Faktor TPC .

≤105 % >105 % χ2 P . 1. Pencucian bahan baku

a. Ya 23 22,3 80 77,7 6,921* 0.021 b. Tidak 18 40,9 26 59,1

2. Baso didinginkan

a. Ya 39 28,5 98 71,5 0,332 0,564 b. Tidak 2 20,0 8 80,0

3. Disimpan pada wadah tertutup

a. Ya 14 25,0 42 75,0 0,376 0,540 b. Tidak 27 29,7 64 70,3

4. Disimpan pd lemari es

a. Ya 15 19,2 63 80,8 5,615* 0,018 b. Tidak 25 36,8 43 63,2

5. Penyimpanan terpisah

a. Ya 25 61,0 16 39,0 30,945* 0,000

Pada tabel 14 terlihat bahwa pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap total cemaran mikroba (TPC). Jumlah mikroorganisme pada produk akhir ditentukan oleh jumlah mikrooorganisme awal (bahan baku). Proses pencucian bahan baku daging bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal. Daging hewan setelah proses pemotongan mengandung bakteri mesofilik aerobik 10

b. Tidak 16 15,1 90 84,9___________________

* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.

3

Gambar

Gambar 1.  Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso
Tabel 2.  Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa
Tabel 3.  Sifat fisik  dan kimia   Boron dan beberapa senyawanya
Tabel 5.  LOAELs  dan  NOAELs  boron (asam borat)  pada   perkembangan dan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dapat ditarik ringkasan bahwa sikap responden mengenai video dalam iklan Bebelac 4 ‘ you are my everything ’ positif, hal ini terlihat dari 80%

Kegiatan Usaha Bergerak dalam bidang industri spare parts kendaraan bermotor khususnya pegas Jumlah Saham yang ditawarkan 210.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai Nominal

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Operator Kran Putar Tetap

2. Upaya kongkret dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas

saya kemudahan dalam proses penulisan skripsi ini, serta saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak bahwa pada akhirnya penulis berhasil menuntaskan

Kajian ini juga mendapati tidak terdapat perbezaan yang signifikan berdasarkan umur pentadbir dengan tahap burnout pada subskala depersonalisasi tetapi terdapat perbezaan yang

Näitä lähtökohtia olivat asetelman keskenään erilaiset maailmat ja hahmot, esityksen upottava muoto ja kokijan vapaus toimia esityksen sisällä haluamallaan tavalla.. Milloin

Nilai F hitung 66,471 &gt; F tabel 2,68 yang artinya semua variabel independen (keputusan investasi, kebijakan deviden, kebjikan hutang dan profitabilitas) dalam