• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coliform atau bakteri bentuk koli adalah bakteri berbentuk batang, tidak berspora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob, gram negatif memfermentasi laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 35oC dalam 48 jam. Pada media Endo Agar membentuk koloni gelap dengan kilau logam. Bakteri Coliform

termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).

Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan

hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform

sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan. Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliformfecal dan non-fecal. Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).

Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan membentuk asam dan gas, mereduk si nitrat dan nitrit, oksidase positif dan katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).

Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).

Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah dan sari0 buah. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan optimum pada pH 7,0-7,5 dan Aw minimum 0,96. Untuk mencegah

pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10oC (Fardiaz 1987).

Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7. Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada suhu 100C – 420C pH > 5 dan Aw 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen penyebab food-borne disease ini (Gonzales 2005). Berdasarkan gejala dan sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu

enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) (Jay et al. 2005).

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan resiko infeksi E. coli

yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual sebagai menu siap saji dan kontak dengan orang atau hewan sakit (Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli

diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).

2. Salmonella ssp

Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil, aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada 25-43o

Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella

C, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan (Cramer 2006). Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust 2001).

ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses (Wray et al. 2003).

Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan yang potensial dan menyebabkan foodborne illness. Pangan dapat bertindak sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran (Patterson dan Isaacson 2003).

Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia, yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh

S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan

oleh paling tidak 5 seritipe, yaitu S. enterica serotipe Typhimurium,

S. enterica serotipe Enteritidis, S. enterica serotipe Hiedelberg,

S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al. 2003).

Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es (4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan. Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es.

Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan aw

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau

coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase 0,93 (D’aoust. 2001).

positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan Aw 0,86. Koloni pada media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam 2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada Aw < 0,8 menjadi problem penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).

Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan intoksikasi (Jay et al. 2005).

Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin

yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning). Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh

Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia. Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C1, C2, C3

Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan, pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37

, D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).

o

tumbuh pada 10-45o

Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek C dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan menghasilkan toksin (Doyle 1989).

Higiene dan Sanitasi Pangan

Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997).

Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budidaya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan

Good Manufacturing Practices (GMP) atau Good Hygienic Practices (GHP) sangat diperlukan, sedangkan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pangan sampai ke konsumen dalam keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007).

higiene sanitasi merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut. Untuk menciptakan pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap, terencana dan berkesinambungan.

Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya (Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998). Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu :

1. Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control measure).

2. Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi. 3. Penetapan batas kritis, yaitu batasan yang digunakan untuk menjamin

4. Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP. Pemantauan harus bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan CCP.

5. Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas kritis.

6. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.

7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit. dan inspeksi.

Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .

Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan. Kebijakan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).

Dokumen terkait