• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012- 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012- 2013)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK PENATAAN DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMENGARUHI OMSET PEDAGANG KAKILIMA

DI KOTA BOGOR

(PERIODE TAHUN 2012-2013)

KARLINA PRATIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Penataan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

KARLINA PRATIWI. Analisis Dampak Penataan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.

Pedagang kakilima sebagai sektor informal sering menjadi permasalahan perkotaan yang tidak ada habisnya karena kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Keberadaan Pedagang kakilima seringkali memberikan dampak yang negatif seperti mengurangi keindahan, kebesihan dan estetika suatu lokasi, mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan arus pejalan kaki serta mengganggu fungsi prasarana kawasan perkotaan. Disamping sebagai pembawa masalah, sebenarnya ada sisi lain Pedagang kakilima yaitu sebagai penyelamat ekonomi rakyat, menyerap tenaga kerja, mendorong bergeraknya perekonomian daerah dan sumber retribusi. Penataan Pedagang kakilima dilakukan sebagai solusi untuk menekan dampak negatif dan mendorong dampak positif. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak penataan pedagang kakilima dan faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang. Uji-t berpasangan menunjukkan bahwa rata-rata omset sebelum penataan pedagang kakilima dengan setelahnya tidak jauh berbeda. Berdasarkan uji regresi linear berganda, faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap omset adalah usia, lama usaha, jam operasional dan jumlah pembeli. Kata kunci: pedagang kakilima, penataan, omset

ABSTRACT

KARLINA PRATIWI. The Analysis of The Street Trader’s Arrangement Effect and The Factors That Influence The Trader’s Earning in Bogor (Years Periode 2012-2013). Supervised by MUHAMMAD FINDI A.

The street treaders as informal sector often become the city’s problem that never end because of the advantages and disadvantages. The existence of the street treaders often gives the negative effects, such as lack of beauty, the cleanliness and the estique of the location, distrubing the traffic and pedestrians and also distrubing the function of the city’s facilities. Besides, the street treaders also save of the public economy, give the people jobs, support the economy of the country and as the source of retribution. The right arrangement of the street treaders can be a solution to decrease the negative effects and support the positive effects. This reseach was done to know the effect of the arrangement of street treaders and the factors that influence the treader’s earning. The paired t-tes showed that the average of their earning before and after arrangement is not so different. Based on multiple linear regression analysis test, the factors which influence the earning significantly are age, the working period, the operational hour and the number of buyers.

(5)

RINGKASAN

KARLINA PRATIWI. Analisis Dampak Penataan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.

Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional, maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting pula. Peranan sektor perdagangan antara lain telah berhasil memperlancar arus barang dan jasa, mengusahakan dan menjaga tingkat harga menjadi relatif lebih stabil, dan peningkatan nilai tambah yang dihasilkan serta kemampuannya menyerap tenagakerja yang cukup besar. (LEMHANNAS, 1995).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor tahun 2012, proporsi tertinggi kedua penduduk bekerja di Kota Bogor adalah dibidang perdagangan, rumah makan dan hotel dengan jumlah total tenagakerja yang dapat diserap oleh sektor ini sekitar 112.774 orang. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor pada tahun 2011 pun tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 36,65 persen dari total PDRB Kota Bogor dengan laju pertumbuhan sebesar 5,28 persen.

Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 banyak sekali kegiatan ekonomi yang cenderung beralih pada sektor informal. Kegiatan ekonomi sektor informal salah satunya adalah pedagang kakilima (Yunus, 2011). Di sejumlah daerah di Indonesia sampai saat ini keberadaan pedagang kakilima masih menjadi permasalahan yang banyak menimbulkan pro dan kontra khususnya di daerah perkotaan. Mereka seringkali dianggap melanggar aturan yang berakibat terhadap kekumuhan, kebersihan, ketertiban, kesehatan, keindahan dan yang lainnya yang tentunya berpengaruh terhadap wajah kota sehingga keberadaan pedagang kakilima dianggap memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat. Disamping sebagai pembawa masalah, sebenarnya terdapat sisi positif dari adanya pedagang kakilima yaitu sebagai penyelamat ekonomi rakyat, pangsa pasar home industry dan pertanian, alternatif pekerjaan, benteng krisis moneter, penyerapan tenagakerja dan sumber retribusi yang signifikan.

Di Kota Bogor, salah satu lokasi yang banyak dipilih oleh pedagang kakilima adalah di Jalan Nyi Raja Permas karena letaknya yang berada di kawasan Stasiun Kereta Api Bogor. Adanya pedagang kakilima mengganggu arus transportasi sehingga sering terjadi kemacetan dan juga mengganggu arus pejalan kaki disamping lokasi tersebut menjadi terlihat kumuh dan kotor. Penertiban pedagang kakilima di lokasi ini mengacu pada Peraturan Daerah Pemerintah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kakilima.

(6)

areal bagi pejalan kaki menjadi semakin sempit. Penataan pedagang kakilima dilakukan sebagai solusi menekan kontribusi negatif dan mendorong kontribusi positif. Dengan adanya penataan, ruang dagang menjadi lebih bersih, rapih dan nyaman yang tentunya ikut mendukung estetika dari suatu lokasi dan pedagang pun tidak kehilangan pekerjaannya untuk mencari nafkah. Disamping itu adanya penataan dapat menekan terganggunya kenyamanan para pejalan kaki.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak penataan dan faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang Stasiun Kereta Api Bogor setelah dilakukan penataan pedagang kakilima. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dari hasil wawancara dan data sekunder mengenai tenaga kerja dan PDRB dari BPS Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalag uji-t berpasangan dan regresi linear berganda dengan menggunakan lima variabel, yaitu usia, tingkat pendidikan, lama usaha, jam operasi dan jumlah pembeli .

Hasil Penelitian menggunakan uji-t berpasangan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara omset pedagang kakilima sebelum dan sesudah dilakukan penataan pedagang kakilima. Rata-rata omset sebelum penataan pedagang kakilima dengan setelahnya tidak jauh berbeda. Dari lima variabel yang digunakan, dengan menggunakan regresi linear berganda diperoleh bahwa faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang kakilima secara signifikan ada empat yaitu, usia, lama usaha, jam operasi dan jumlah pembeli. Responden yang usianya lebih tua cenderung memperoleh omset lebih kecil dari pedagang yang usianya lebih muda. Semakin lama responden berjualan sebagai pedagang kakilima maka omset yang dapat diperoleh semakin besar. Semakin lama waktu kerja responden dalam sehari maka omset yang diperoleh semakin besar. Semakin tinggi peningkatan jumlah pembeli maka omset yang diperoleh semakin besar. faktor lainnya yaitu pendidikan pedagang, berdasarkan uji statistik tidak memengaruhi omset pedagang.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebenarnya penataan pedagang kakilima tidak selalu meningkatkan omset pedagang meskipun kondisi tempat berjualan menjadi lebih baik. Pedagang kakilima dengan usia yang sudah tua disarankan untuk dapat mempekerjakan pegawai baru yang tingkat usianya lebih muda untuk meningkatkan produktifitas serta daya saing. Peningkatkan jam kerja pun disarankan dengan buka lebih pagi dan tutup lebih lama. Penataan barang dagangan yang menarik dengan tempat yang terbatas sangat direkomendasikan serta peningkatan pelayanan kepada pengunjung dengan bersikap lebih ramah serta menetapkan harga yang relatif murah. Pedagang kakilima yang ingin memperoleh peningkatan omset diusahakan tetap konsisten dalam berdagang. Dengan lamanya pengalaman yang diperoleh sebagai pedagang kakilima, maka strategi yang diperoleh dalam melakukan usaha dagang akan semakin baik.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS DAMPAK PENATAAN DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMENGARUHI OMSET PEDAGANG KAKILIMA

DI KOTA BOGOR

(PERIODE TAHUN 2012-2013)

KARLINA PRATIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013)

Nama : Karlina Pratiwi NIM : H14090048

Disetujui oleh

Dr. Muhammad Findi A, M.E. Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

(10)

PRAKATA

Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala masukannya yang membangun serta kepercayaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.

2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Salahuddin El Ayyubi, Lc. M.A. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang memberikan banyak masukan mengenai penyusunan penulisan yang baik.

4. Bapak Undang di BPS Kota Bogor dan Pedagang kakilima Stasiun Kereta Api Bogor Jalan Nyi Raja Permas, khususnya anggota paguyuban awning selatan dan paguyuban padasuka atas segala bantuannya dalam pengumpulan data. 5. Kedua orang tua yang luar biasa, Ibu Maemunah dan Bapak Kamsa atas segala

do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak terhinggga. Adik Yenni dan Siti

serta keluarga besar tercinta atas segala do’a dan dukungannya kepada penulis.

6. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat berharga dan segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuannya selama ini. 7. Sahabat seperjuangan Tamiyah, Ovilla, Desy, Malla, Wida, Stannia, Assrianti,

Vita, Lira dan shin yuu Mutia Anggraeni atas kebersamaan, perhatian, motivasi dan dukungannya kepada penulis.

8. Teman-teman satu bimbingan Meutia, Syafira, Ari, Ovilla, Tamiyah atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

9. Kepada Syifa, Mayda dan Alfi atas motivasi dan bantuannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaannya selama ini dan juga atas do’a serta dukungannya kepada penulis. IE, uhuy!

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8

Sektor Informal di Perkotaan 8

Pedagang Kakilima Sebagai Sektor Informal 10

Teori Eksternalitas 12

Penelitian Terdahulu 14

Kerangka Pemikiran Operasional 15

METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Metode Pengambilan Sampel 16

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Analisis Dampak Penataan Terhadap Perubahan Omset 17

Definisi Operasional Variabel 18

Pengujian Statistik Analisis Regresi 19

Pengujian Asumsi Klasik 20

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Gambaran Umum Kota Bogor 22

Gambaran Umum Stasiun Kereta Api Bogor 23

Kondisi Usaha Pedagang Kakilima di Stasiun Kereta Api Bogor 23 Karakteristik Responden Pedagang Kakilima Stasiun Kereta Api Bogor 24

Analisis Uji-t Berpasangan 29

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset 30

SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 37

(12)

DAFTAR TABEL

1 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut

lapangan usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2011 2

2 Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2007-2011 2

3 PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan (juta rupiah) tahun 2007-2011 3

4 Hubungan antara usia dengan omset responden 25

5 Hubungan antara tingkat pendidikan dengan omset responden 26

6 Hubungan antara lama usaha dengan omset responden 27

7 Hubungan antara jam operasional dengan omset responden 28

8 Hubungan antara jumlah pembeli dan omset responden 29

9 Faktor-faktor yang memengaruhi omset setelah dilakukan penataan pedagang kakilima 31

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi Subsektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Terhadap PDRB Kota Bogor Atas Dasar harga Konstan (Juta Rupiah) Tahun 2007-2011 3

2 Presentase kelompok usia responden 25

3 Presentase tingkat pendidikan responden 26

4 Presentase lama usaha responden bekerja sebagai pedagang kakilima 27

5 Presentase jam operasional responden 28

6 Presentase jumlah pembeli setelah dilakukan penataan 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil output uji-t berpasangan 38

2 Hasil output analisis regresi linear berganda 38

3 Hasil output uji normalitas 39

4 Hasil output uji heteroskedastisitas 40

5 Hasil output uji autokolerasi 40

6 Data primer responden pedagang kakilima 40

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa titik berat pembangunan jangka panjang adalah pembangunan bidang ekonomi. Sedangkan pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi bidang ekonomi tersebut. Pembangunan di luar bidang ekonomi dilaksanakan seirama dan serasi dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi. Dengan peningkatan hasil-hasil yang diperoleh dari sumber ekonomi itu, maka tersedialah sumber-sumber pembangunan yang lebih luas lagi bagi kepentingan pembangunan di bidang-bidang sosial-budaya, politik dan pertahanan keamanan nasional (Kamaluddin, 1995).

Masalah yang dihadapi negara berkembang dalam usaha untuk mewujudkan pembangunan yang lebih pesat dan terutama untuk meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat merupakan masalah yang kompleks. Di satu pihak usaha seperti itu harus menghadapi kenyataan bahwa hambatan-hambatan yang perlu dihadapi dalam usaha untuk mempercepat lajunya tingkat pembangunan cukup pelik. Dilain pihak, sumber daya yang tersedia untuk menghadapi masalah tersebut relatif terbatas (Sukirno, 2006)

Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional, maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting pula. Peranan sektor perdagangan antara lain telah berhasil memperlancar arus barang dan jasa, mengusahakan dan menjaga tingkat harga menjadi relatif lebih stabil, dan peningkatan nilai tambah yang dihasilkan serta kemampuannya menyerap tenagakerja yang cukup besar. Perkembangan kegiatan di sektor perdagangan juga telah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi seluruh anggota masyarakat dengan imbalan penghasilan yang cukup memadai serta memberikan nilai tambah (LEMHANNAS, 1995).

Pertumbuhan penduduk mengalami laju yang sangat pesat. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumah penduduk baik dikawasan pedesaan maupun di kawasan perkotaan. Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan akan barang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagimana caranya masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sementara jumlah penawaran tenagakerja sedikit.

(14)

2

Tabel 1.1 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2011

Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan Jumlah Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan

Perikanan 4. 703 - 4. 703

Industri Pengolahan 38. 706 22. 151 60.857

Perdagangan, Rumah Makan, Hotel 62. 729 50. 045 112. 774

Jasa Kemasyarakatan 67. 117 46.580 113.697

Lainnya (Pertambangan dan penggalian, Listrik, Gas dan Air, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan/Tanah dan Jasa Perusahaan)

86. 491 12. 669 99.190

Jumlah 259. 746 131. 473 391. 221

a

Sumber : BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).

Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan. Laju pertumbuhan ekonomi 2011 Kota Bogor mencapai 6,19 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor pada tahun 2011 tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 36,65 persen dari total PDRB Kota Bogor dengan laju pertumbuhan sebesar 5,28 persen.

Tabel 1.2 Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2011 (persen)

Sumber : BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).

b

(15)

3 Tabel 1.3 PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan

(juta rupiah) tahun 2007-2011

No. Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010* 2011**

1. Pertanian 12.717,26 13.121,58 13.539,61 13.975,80 14.372,40

2. Pertambangan dan

Penggalian 118,31 120,53 121,98 123,85 112,12

3. Industri

Pengolahan 1.126.541,95 1.197.768,02 1.273.762,00 1.35.090,75 1.439.103,05

4. Listrik, Gas dan

Air Bersih 128.090,57 136.829,56 146.236,51 156.395,94 167.329.85

5. Bangunan 288.023,99 299.804,17 312.096,14 324.954,50 338.436,87

6.

Perdagangan, Hotel dan Restoran

1.205.111,94 1.267.518,19 1.331.874,52 1.398.254,93 1.472.079,83

7. Pengangkutan dan

Komunikasi 394.451,07 422.723,25 453.533,15 487.253,72 522.364,70

8.

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

560.780,48 602.517,87 648.625,82 699.701,41 762.347,03

9. Jas-jasa 296.970,60 312.418,61 328.811,32 346.556,29 365.336,85 a

Sumber: BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).

b

Keterangan: * Angka sementara. ** Angka sangat sementara.

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran cenderung memiliki kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bogor bila dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya pada periode 2007-2011. Sektor perdagangan, hotel dan restoran itu sendiri dibagi menjadi tiga subsektor yaitu subsektor pedagang besar dan eceran, subsektor hotel dan subsektor restoran. Dari ketiga subsektor tersebut yang memberikan kontribusi terbesar adalah pedagang besar dan eceran seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.2.

Gambar 1.1 Kontribusi subsektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Kota Bogor atas dasar harga konstan (juta rupiah) tahun 2007-2011

a

Sumber: BPS Kota Bogor, 2013 (diolah).

(16)

4

Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 banyak sekali kegiatan ekonomi yang cenderung beralih pada sektor informal. Kegiatan ekonomi sektor informal salah satunya adalah pedagang kakilima. Dapat dilihat hampir semua kota-kota besar di Indonesia berkembang sangat pesat. Terlebih selama krisis moneter menyebabkan industri gulung tikar, sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Hal ini pada gilirannya menambah pengangguran baru, yang nantinya muncul fenomena-fenomena baru pedagang kakilima sebagai jalan keluarnya dari pengangguran (Yunus, 2011). Menurut Chandrakirana dan Sadoko (1995), syarat-syarat untuk memasuki kegiatan-kegiatan sektor informal relatif minimal dintaranya:

1) Beberapa kegiatan informal tidak membutuhkan modal apapun karena pemilik usaha menyediakan alat-alat usaha, makanan dan tempat tinggal (seperti taoke dan lapak).

2) Dalam kegiatan-kegiatan informal yang sifatnya adalah wirausaha mandiri, dibutuhkan sejumlah modal, walaupun tidak terlalu besar.

3) Tidak adanya keharusan untuk mendapatkan izin resmi bagi pendirian suatu unit usaha.

4) Kelancaran mobilitas antar pekerjaan dimana dalam pergantian dari satu pekerjaan ke yang lain sehingga masa pengangguran yang harus dilalui relatif singkat.

5) Kemudahan untuk memasuki pekerjaan baru dalam sektor informal, termasuk dalam proses perolehan akses ke pekerjaan informal tertentu adalah masa pelatihan dan magang.

Sektor informal telah membuktikan kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi angkatan kerja di daerah-daerah perkotaan. Paling tidak sektor informal telah menyerap sekitar 50 persen angkatan kerja di daerah-daerah perkotaan. Beberapa studi mengungkapkan bahwa sesungguhnya sektor informal selama ini telah berjasa membuahkan hampir sepertiga dari total nilai pendapatan daerah perkotaan secara keseluruhan. Akan tetapi, sektor ini pun mengandung beberapa macam masalah atau kelemahan. Pertama, berkaitan dengan hubungan yang begitu erat antara migrasi desa-kota dan penyerapan tenagakerja oleh sektor tersebut. Para pendatang dari pedesaan akan lebih mudah dan lebih cepat memperoleh pekerjaan, oleh karena itu dorongan bagi tenagakerja yang masih berada di pedesaan untuk berurbanisasi semakin besar. Hal ini bisa mengakibatkan masalah ketenagakerjaan yang lebih pelik diperkotaan dengan menarik tenagakerja yang lebih banyak daripada yang dapat diserap oleh sektor formal maupun sektor informal. Kedua, bila sektor informal berkembang terlampau besar, maka kondisi lingkungan di perkotaan semakin buruk, seperti polusi dan kemacetan lalu lintas yang akan menggangu kenyamanan warga kota lain. Ketiga, mendorong semakin menjamurnya pemukiman kumuh dan lingkungan berpendapatan rendah, yang jika dipadukan dengan kualitas pelayanan umum yang buruk akan dapat mengakibatkan berbagai permasalahan baru di perkotaan (Todaro dan Smith, 2006).

(17)

5 perencanaan dan tata kota. Penanganan kegiatan-kegiatan informal, seperti kegiatan pemulung dan lapak, jasa angkutan becak, dan usaha kakilima, akan berjalan optimal bila pemerintahan kota secara seksama mengalokasikan tempat yang layak dan rasional baginya dalam penataan kota. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan mengadakan peruntukkan bagi usaha-usaha kakilima pada gedung-gedung perkantoran, pemberian izin bagi usaha-usaha kecil di daerah pemukiman, atau pengukuhan daerah opsi becak. Keprihatinan pemerintah kota tentang kepatuhan usaha informal pada aturan-aturan kota tentang kebersihan lokasi, kelancaran lalu lintas dan higiene makan yang dijual, misalnya, dapat diperpanjang jika syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi dengan baik (Chandrakirana dan Sadoko, 1995).

Perumusan Masalah

Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional, maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting. Dari sembilan sektor perekonomian, sektor perdagangan di Kota Bogor tetap memberikan kontribusi yang paling besar meskipun laju pertumbuhannya menempati urutan keenam. Subsektor yang menjadi penyumbang terbesar sektor ini adalah perdagangan besar dan eceran yang termasuk di dalamnya sektor formal dan informal. Pedagang kakilima merupakan salah satu jenis perdagangan sektor informal yang memiliki peran penting bagi kehidupan ekonomi rakyat dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Dalam kegiatan ekonomi sering kali timbul akibat-akibat sampingan yang dirasakan oleh masyarakat. Akibat sampingan (side effects) yang dimaksud bisa bersifat positif, sehingga turut dinikmati oleh masyarakat yang tidak terlibat dalam pengadaannya atau bersifat negatif, sehingga secara tak sengaja terpaksa harus ditanggung oleh masyarakat. Akibat-akibat sampingan atau dampak positif dan dampak negatif dikenal sebagai dampak eksternalitas. Untuk dampak yang positif, biasanya tidak masalah. Akan tetapi tidak begitu halnya dengan dampak negatif. Masyarakat, walaupun tidak mau berkorban secara pribadi untuk menanggulangi, cenderung akan mengeluhkannya. Dalam kasus seperti itu, kembali pemerintah harus turun tangan mengatasi (Dumairy, 1996). Ada dua syarat terjadinya eksternalitas, yaitu adanya pengaruh dari suatu tindakan dan tidak adanya kompensasi yang dibayarkan atau diterima (Mangkoesubroto, 1991).

(18)

6

Berdasarkan pertimbangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 14 tahun 2012, peningkatan jumlah pedagang kakilima berdampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan serta fungsi prasarana kawasan perkotaan maka diperlukan penataan pedagang kakilima. Banyaknya pedagang kakilima ditempat-tempat yang bukan peruntukkannya membuktikan bahwa penataan kakilima masih belum berjalan efektif.

Pedagang kakilima merupakan salah satu bentuk sektor ekonomi informal yang aktifitasnya banyak dijumpai di pusat-pusat perkotaan. Salah satu lokasi yang banyak dipilih oleh pedagang kakilima di Kota Bogor adalah di Jalan Nyi Raja Permas karena letaknya yang berada di kawasan Stasiun Kereta Api Bogor. Adanya pedagang kakilima mengganggu arus transportasi sehingga sering terjadi kemacetan dan juga mengganggu arus pejalan kaki disamping lokasi tersebut menjadi terlihat kumuh dan kotor. Penertiban pedagang kakilima di lokasi ini mengacu pada Peraturan Daerah Pemerintah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kakilima. Setelah dilakukannya penataan oleh Pemerintah Kota Bogor, kini di kawasan Jalan Nyi Raja Permas berubah menjadi ruang terbuka hijau yang bebas dari aktifitas kendaraan maupun pedagang kakilima. Ruang terbuka hijau adalah areal memanjang atau jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Program pembenahan pedagang kakilima tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor, namun juga dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI) yang berlokasi di Jalan Nyi Raja Permas yang lokasinya terdapat di lahan milik Stasiun Kereta Api Bogor. Banyaknya pedagang kakilima yang berjualan di lokasi ini disebabkan karena letaknya yang strategis terutama karena banyaknya penumpang kereta api yang berjalan kaki melewati areal ini. Dampak dari menjamurnya pedagang kakilima di areal ini yaitu selasar stasiun kereta api menjadi terlihat kumuh dan kotor disamping itu juga mengganggu aktifitas pejalan kaki khususnya penumpang pengguna kereta api karena luasnya menjadi semakin sempit. Berbeda halnya setelah dilakukan penataan pedagang kakilima, lokasi ini terlihat lebih bersih, lebih rapih dan lebih nyaman.

Berdasarkan pembahasan diatas, seharusnya penataan pedagang kakilima dapat menekan dampak negatif yang ditibulkan dan mendorong perubahan tingkat ekonomi pedagang kakilima yang salah satunya dapat dilihat dari omset yang diterima pedagang.

Permasalahan yang akan dibahas dalan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dampak penataan pedagang kakilima Stasiun Kereta Api Bogor terhadap omset pedagang?

(19)

7 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis dampak penataan pedagang kakilima Stasiun Kereta Api Bogor terhadap omset pedagang.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang Stasiun Kereta Api Bogor setelah dilakukan penataan pedagang kakilima.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada mahasiswa peneliti atau penulis dan semua kalangan akademisi di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor khususnya, Pemerintah Kota Bogor, P.T. Kerata Api, pedagang kakilima, serta di lingkungan masyarakat luas pada umumnya. Manfaat yang diperoleh diantaranya adalah:

1. Menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian.

2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi penelitian lebih lanjut.

3. Bagi pemerintah maupun P.T. Kereta Api diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai referensi dalam membuat kebijakan mengenai penataan pedagang kakilima yang lebih baik lagi.

4. Bagi pedagang kakilima diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai referensi dalam rangka meningkatkan omset dan meningkatkan kemandirian menjadi seorang pedagang kakilima.

5. Bagi penulis sendiri, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk menerapkan ilmu ekonomi yang dimiliki.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Sektor Informal di Perkotaan

Menurut Todaro dan Smith (2006), keberadaan sektor informal (informal sector) yang umumnya tidak terorganisir dan tertata secara khusus melalui peraturan, resminya baru dikenal pada tahun 1970-an sesudah diadakannya serangkaian observasi di beberapa negara-negara berkembang yang sejumlah besar tenagakerja perkotaannya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal. Di kota-kota besar tersebut, para tenagakerja pendatang baru yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga. Bidang-bidang kerja kecil-kecilan seperti itu sangat banyak jenisnya, mulai dari pedagang keliling, pedagang asongan di jalan dan trotoar, penulis papan nama, pemulung, dan sebagainya.

Tenagakerja yang memiliki keterampilan khusus akan mencari nafkah sebagai mekanik, tukang kayu, seniman kecil-kecilan, tukang cukur dan pembantu pribadi keluarga kaya. Beberapa penduduk perkotaan lainnya berhasil menjadi pengusaha kecil yang memiliki beberapa pegawai (sebagian besar masih berhubungan keluarga) dan memperoleh penghasilan cukup tinggi. Beberapa dari mereka bahkan dapat beralih menjadi sektor formal yang terdaftar secara hukum serta diikat oleh peraturan tenagakerja dari pemerintah.

Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan di negara-negara berkembang dan sehubungan dengan semakin terbatasnya daya serap sektor formal terhadap total angkatan kerja yang ada, maka diperlukan langkah-langkah yang lebih serius dalam menangani peran sektor informal dan meningkatkan fungsinya sebagai suatu katup darurat terhadap masalah ledakan angkatan kerja.

Dalam mendefinisikan sektor informal itu sendiri, berdasarkan Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia tahun 2010 dituliskan bahwa tidak ada definisi baku untuk sektor informal. Definisi yang umum merujuk pada kegiatan ekonomi yang berada di luar aturan dan lembaga legal sebuah negara. Di negara maju hal ini sering kali merujuk pada bisnis tak terdaftar yang tidak membayar pajak atau memberikan tunjangan bagi pekerjanya.

Masih menurut Todaro dan Smith, sektor informal ditandai oleh beberapa karakteristik seperti berikut:

1) Sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa. 2) Kegiatannya berskala kecil.

3) Unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga. 4) Banyak menggunakan tenagakerja (padat karya).

5) Teknologi yang dipakai relatif sederhana.

6) Para pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal.

(21)

9 8) Produktifitas dan pendapatannya cenderung lebih rendah daripada

kegiatan-kegiatan bisnis yang ada disektor formal.

9) Tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitas kesejahteraan seperti yang dinikmati rekan-rekan mereka disektor formal misalnya tunjangan keselamatan kerja dan pensiun.

10)Umumnya yang berada disektor informal adalah pendatang baru dari daerah pedesaan atau kota kecil yang gagal memperoleh tempat disektor informal.

11)Motivasi kerja terbatas pada upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup, agar bisa makan pada hari ini atau esok, dan bukan untuk menumpuk keuntungan apalagi kekayaan.

12)Satu-satunya yang dapat dan bisa diandalkan adalah diri sendiri.

13)Bila pendatang terdiri dari sebuah keluarga, maka hampir semua anggotanya termasuk wanita dan anak-anak harus turut mencari nafkah. 14)Sebagian tinggal di pusat pemukiman sangat sederhana dan kumuh yang

fasilitas kesejahteraannya sangat minim seperti listrik, air bersih, fasilitas pembuangan limbah, transportasi, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kebijakan untuk sektor informal perkotaan dijelaskan oleh Todaro dan Smith (2006) sebagai berikut. Sektor informal terkait dengan sektor pedesaan dalam pengertian kawasan atau sektor pedesaan merupakan sumber tenagakerja miskin yang berlebih, yang kemudian mengisi sektor informal di daerah perkotaan guna menghindari kemiskinan dan pengangguran di desa, walaupun sebenarnya kondisi kerja dan kualitas hidup di kota belum tentu lebih baik. Selain itu, sektor informal juga terikat erat dengan sektor formal perkotaan; yaitu sektor formal bergantung pada sektor informal dalam penyediaan input-input produksi dan tenagakerja murah, sedangkan sektor informal sangat bergantung pada sektor formal dalam kedudukannya sebagai pasar utama dari sebagian besar pendapatan yang mereka terima.

Secara presisten, pendapatan sektor informal selalu melampaui pendapatan di kawasan pedesaan yang paling miskin walaupun migrasi dari desa ke kota terus mengalir. Keprihatinan mengenai bias perkotaan berawal dari tulisan yang cukup berpengaruh dari seorang pemenang Nobel, Sir Arthur Lewis pada tahun 1950-an. Lewis memandang bahwa para pekerja sektor tradisional, pedagang kakilima seperti para penjual koran, adalah orang-orang yang tidak produktif dan mengalihkan perhatian dari pekerjaan kota yang utama, yaitu industrilisasi. Namun jika upahnya ternyata selalu lebih tinggi dalam berbagai aktifitas yang sangat kompetitif seperti pekerjaan sektor informal, tentunya pekerjaan di sektor ini mencerminkan produktifitas yang tinggi juga.

(22)

10

1) Sektor informal mampu menciptakan surplus ditengah-tengah lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun, yang menghalangi akses untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang biasa ditawarkan kepada sektor formal seperti tersedianya fasilitas keredit, valuta asing dan konsesi pajak. Jadi, surplus yang dihasilkannya terbukti menjadi pendorong yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi perkotaan.

2) Sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal hanya memerlukan atau menyerap sebagian kecil modal dari jumlah modal yang diperlukan oleh sektor formal untuk mempekerjakan sejumlah tenagakerja yang sama. Ini merupakan suatu cara penghematan yang cukup besar bagi negara-negara berkembang yang sering menghadapi kesulitan atau kekurangan modal.

3) Sektor informal mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila dibandingkan dengan biaya yang dituntut oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor formal dapat memainkan peranan yang penting dalam rangka formasi atau pembentukan dan pembinaan sumberdaya manusia.

4) Sektor informal menciptakan tenagakerja semi terlatih dan kurang ahli yang jumlahnya secara absolut maupun relatif (presentase terhadap total angkatan kerja) terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya mampu menerima tenagakerja terampil.

5) Sektor informal lebih banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat guna serta memanfaatkan segenap sumberdaya lokal, sehingga memungkinkan alokasi sumberdya yang lebih afisien.

6) Sektor informal memainkan peranan yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau sampah. Disektor ini segala macam barang yang sudah dibuang dapat dimanfaatkan kembali, mulai dari kaleng-kaleng bekas, kertas sisa, plastik gelas atau botol minum dan sebagainya. Barang-barang yang sudah masuk kedalam tempat sampah tersebut kemudian terbukti masih bisa masuk ke sektor industri dan dijadikan komoditi pokok bagi kalangan berpenghasilan rendah.

7) Promosi sektor informal akan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan kepada penduduk miskin, yang kebanyakan terpusat di sektor informal.

Pedagang Kakilima Sebagai Sektor Informal

(23)

11 Berdasarkan ketentuan umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 14 tahun 2012, yang dimaksud dengan pedagang kakilima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan bangunan milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara. Sedangkan penataan pedagang kakilima adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi pedagang kakilima dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Chandrakirana dan sadoko (1995), menjelaskan bahwa pedagang kakilima berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan gelar.

1) Pedagang gelar menghamparkan barang-barangnya di atas trotoar atau lantai dengan satu alas, atau menjajakannya diatas peti-peti yang ditumpuk sehingga berfungsi sebagai meja. Pedagang gelar mudah memindahkan barang dagangannya ke lokasi lain meskipun terkadang sering menetap pada suatu lokasi. Pedagang gelar dapat menyesuaikan lokasi dan waktu berjualannya dengan kondisi keramaian suatu tempat, tetapi sering pula harus menghadapi penggusuran oleh aparat ketertiban atau petugas pasar karena menempati lokasi yang tidak semestinya (misalnya trotoar).

2) Pedagang yang berjualan dengan tenda, menggunakan meja ataupun rak dengan waktu berjualan yang dibatasi oleh petugas lokal, seperti aparat pemerintah kota, pengelola pasar, pengelola terminal bis, dan sebagainya. Diluar waktu berjualan yang dijanjikan, tenda digulung dan lokasi mereka dipakai untuk kegiatan lain (seperti parkir mobil) ataupun dibebaskan untuk lalu-lintas pejalan kaki.

3) Pedagang kios menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding semi permanen. Dinding kios umumnya terbuat dari papan kayu, tripleks, atau setengah tembok. Pedagang-pedagang ini relatif lebih bebas menentukan waktu berjualannya karena tidak menduduki tempat-tempat dengan peruntukkan lain, sehingga tidak mengenal pembatasan waktu usaha.

(24)

12

Teori Eksternalitas

Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan apa yang disebut sebagai eksternalitas atau dampak eksternal. Secara umum eksternalitas didefinisikan sebagai dampak (posiitif atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan suatu pihak terhadap pihak lain. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak memengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan konpensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Eksternalitas merupakan fenomena yang hadapi sehari-hari, yang tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya alam. Pidato yang terlalu lama, jalan yang macet, musik yang terlalu keras, asap rokok yang kita hirup dari orang lain yang merokok, adalah beberapa contoh dari eksternalitas yang kita alami sehari-hari. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, eksternalitas sangat penting untuk diketahui karena eksternalitas akan menyebabkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien (Fauzi, 2004).

Suparmoko et al. (2000) mengemukakan bahwa ksternalitas muncul apabila seseorag melakukan suatu kegiatan dan menimbulkan dampak pada orang lain. Dapat dalam bentuk manfaat eksternal atau biaya eksternal yang semuanya tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayaran. Sedangkan menurut Coparaso dan Levine (2008) istilah eksternalitas merujuk pada beberapa dampak dari transaksi yang menimpa orang-orang yang bukan dari bagian transaksi tersebut.

Selanjutnya menurut Yakin (1997), secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan ekonomi (pihak tertentu) terhadap agen ekonomi lain baik dampak yang menguntungkan maupun dampak yang merugikan. Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economies) maupun negatif (negative external effects, external diseconomies). Secara praktis, dampak lingkungan atau eksternalitas terjadi ketika suatu variabel yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas (fungsi kegunaan) agen ekonomi lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu atau perusahaan lain. Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktifitas dan tindakan pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain.

(25)

13

Marginal Social Cost

Marginal Private Cost

Ps Pp

qs qp Jumlah output

Gambar 2.1 Tingkat output yang efisien secara sosial

Sebagai gambaran, tingkat output yang optimal yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC. Namun jika perusahaan itu, misalnya mancemarkan air sungai, maka biaya marginal perorangan (marginal private cost) bagi perusahaan adalah lebih kecil daripada biaya marginal masyarakat (marginal social cost) karena perusahaan tidak mengeluarkan biaya untuk memurnikan air sungai tersebut. Dari sudut pandang masyarakat, eksternalitas mengakibatkan terlalu banyak barang yang diproduksi dengan harga lebih rendah. Dengan contoh ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidakefisienan dalam produksi. Jenis-jenis eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak yang dimunculkannya:

1. Pecuniary externality (eksternalitas yang berkaitan dengan uang): disebabkan oleh naiknya harga. Contoh: di lokasi kompleks perumahan yang baru dibangun maka harga tanah di sekitarnya akan melonjak tinggi. 2. Multidirectional externality (eksternalitas banyak arah): dampak yang

disebabkan oleh suatu atau sejumlah pihak terhadap pihak lain.

3. Reciprocal externality (eksternalitas reproksikal): terjadi pada situasi penggunaan common property resources dimana setiap agen memberikan dampak terhadap semua lainnya yang terlibat dalam penggunaan sumber daya alam tersebut.

Eksternalitas berdasarkan interaksi agen ekonomi:

1. Producer to producer externality: terjadi jika suatu kegiatan produksi mengakibatkan perubahan atau pergeseran fungsi produksi dan produsen lain.

2. Producer to consumer externality: terjadi jika aktifitas suatu produsen mengakibatkan perubahan atau pergeseran fungsi utilitas rumah tangga (konsumen).

3. Consumer to consumer externality: terjadi jika aktifitas seseorang atau sekelompok konsumen memengaruhi fungsi utilitas konsumen lain.

4. Consumer to producer externality: terjadi jika aktifitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu atau sekelompok produsen.

(26)

14

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini tidak merujuk spesifik pada penelitian terdahulu yang membahas mengenai analisis pedagang kakilima. Penelitian mengenai pedagang kakilima di Kota Bogor itu sendiri masih terbatas. Dalam jurnal penyuluhan oleh Sapar, Lumintang RW dan Susanto D yang

berjudul “Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Kakilima (Kasus pedagang Kakilima Pemakai Gerobak Usaha Makanan Di Kota

Bogor)” dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional. Dalam jurnal tersebut diketahui bahwa perilaku kewirausahaan pedagang kakilima di kota Bogor cukup tinggi dalam aspek sikap dan keterampilan, namun dalam aspek pengetahuan berkategori sedang.

Dalam Media Trend oleh Zakik yang berjudul “Analisa Strategi Kebijakan Penanganan Pedagang Kakilima di Kota Surabaya” dengan menggunakan desain penelitian analisis deskriptif. Dalam Jurnal tersebut diketahui bahwa tingkat pertumbuhan pedagang kakilima di Surabaya cukup tinggi dibarengi dengan peningkatan penyerapan tenagakerja, sektor ini memberikan penghidupan yang cukup memadai, kontribusi sektor informal cukup berarti walaupun masih relatif kecil. Beberapa alternatif solusi yang ditawarkan dalam penenganan pedagang kakilima meliputi:

1. Memberikan legitimasi keberadaan pedagang kakilima melalui perijinan dengan mekanisme yang lebih selektif dan diperketat.

2. Penataan pedagang kakilima dan relokasi jika suatu titik lokasi dianggap sudah sangat padat. Penertiban dan penerapan sanksi secara tegas bagi pedagang kakilima yang melanggar peraturan.

3. Pengurangan hambatan-hambatan pedagang kakilima dalam mengakses keredit dan permodalan dengan mencari sumber pembiayaan alternatif. 4. Pengalokasian lahan pemerintah yang menganggur sebagai lokasi usaha

pedagang kakilima serta dapat melibatkan peran pihak swasta dalam mengatasi persoalan penyediaan lahan bagi pedagang kakilima. Evaluasi terhadap peraturan-peraturan tentang penggunaan lahan.

5. Melakukan pembinaan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan tentang tatacara atau prosedur pengajuan kredit, kebersihan lingkungan dan kemampuan manajemen bisnis.

6. Pemberdayaan asosiasi atau paguyuban pedagang kakilima agar lebih berperan secara nyata.

Penelitian selanjutnya merupakan penelitian oleh Kusyuniarti M, yang

berjudul “Dampak Pendirian Mini Market Terhadap Perubahan Omset Pedagang

Eceran tradisional dan Tingkat Pengeluaran Masyarakat” dengan menggunakan

(27)

15 Kerangka Pemikiran Operasional

Besarnya peranan dan sumbangan sektor perdagangan di Kota Bogor: Kontribusi terbesar bagi PDRB

Banyak menyerap tenagakerja

Pedagang kakilima sebagai sektor informal

Kontribusi positif: 1. Menyerap tenagakerja 2. Mendorong bergeraknya

perekonomian derah 3. Pemasukan bagi PDRB

daerah

Kontribusi negatif: 1. Mengurangi keindahan,

kebersihan dan estetika suatu lokasi

2. Mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan arus pejalan kaki 3. Mengganggu fungsi prasarana

kawasan perkotaan

Penataan pedagang kakilima sebagai solusi untuk menekan kontribusi negatif dan mendorong

kontribusi positif pedagang kakilima

Dampak

terhadap perubahan omset pedagang

Faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang

Analisis uji-t berpasangan

Analisis regresi berganda

Kesimpulan/rekomendasi

Formal

(28)

16

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Kereta Api Bogor Jalan Nyi Raja Permas. Pemilihan tersebut dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut berada di kawasan strategis ekonomi dan pedagang kakilima di lokasi tersebut telah mengalami penataan. Setelah dilakukan penataan pedagang kakilima, tempat pejalan kaki menjadi lebih lebar sedangkan tempat pedagang kakilima berjualan menjadi berkurang luasnya. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yang dimulai dari bulan Januari hingga April 2013. Dalam kurun waktu tersebut dilakukan pengumpulan data dan analisis dalam rangka menjawab tujuan penelitian.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel menggunakan teknik non probability dengan metode purposive sampling. Purposive sampling merupakan prosedur yang digunakan peneliti dalam memilih responden dengan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan-tujuan tertentu karena karakteristik populasi yang tidak diketahui dengan pasti. Di lokasi sendiri, tidak tersedia data mengenai jumlah pasti pedagang kakilima yang masih aktif beroperasi menjajakan barang dagangannya sejak belum dilakukannya penataan pedagang kakilima. Kriteria sampel pedagang yang dipilih adalah pedagang yang telah berdagang dilokasi yang sama sebelum dilakukan penataan pedagang kakilima dengan kurun waktu minimal satu tahun. Sampel yang digunakan sebanyak 38 responden pedagang kakilima dengan berbagai jenis barang dagangan yang secara langsung merasakan dampak dari penataan pedagang kakilima di lokasi tersebut.

Jenis dan Sumber Data

(29)

17

Metode Analisis Dampak Penataan Terhadap Perubahan Omset

Uji t-berpasangan (paired t-test)

Uji t-berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Uji-t ini membandingkan satu kumpulan pengukuran yang kedua dari contoh yang sama. Uji ini sering digunakan untuk membandingkan nilai sebelum dan sesudah percobaan untuk menentukan apakah perubahan nyata telah terjadi.

Rumus untuk uji-t berpasangan adalah: thitung =

Keterangan: d = rata-rata selisih omset sebelum dan sesudah penataan pedagang kakilima

s = simpangan baku n = ukuran sampel

Metode Analisis Faktor-faktor yang memengaruhi Omset

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) menggunakan program software SPSS version 16.0 for Windows.

Dalam bukunya, Juanda (2009), Model regresi berganda (multiple regression model) memiliki asumsi bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1,X2, ..., Xk, dan komponen

sisaan ɛ (error). Model ini sebenarnya merupakan pengembangan model regresi sederhana (1 peubah bebas). Persamaan model regresi linear berganda secara umum (model populasi) adalah sebagai berikut:

Yi = β1 X1i+ β2 X2i+ β3 X3i+ ... + βk Xki + εi. ...(3.1)

Subskrip i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan

ke-i untuk peubah bebas Xk.. Koefisien β merupakan intersep model regresi. Jika

semua pengamatan X1i bernilai 1 sehingga model (3.1) menjadi:

Yi = β1+ β2 X2i+ β3 X3i+ ... + βk Xki + εi. ...(3.2)

(30)

18

Yi = β1+ β2 UPi+ β3 TFi+β4 PBi + β5 JOi + β6 JPi + εi.

Keterangan: Yi = omset usaha responden setelah penataan (rupiah) UPi = usia pedagang (tahun)

TPi = tingkat pendidikan formal pedagang (“1” untuk SD, “2” untuk SMP, “3” untuk SMA, dan “4” untuk perguruan

tinggi )

LUi = lama usaha (tahun)

JOi = jam operasi (jam/hari)

JPi = jumlah pembeli (“0” untuk jumlah pembeli berkurang, “1” tetap, dan “2” bertambah)

Variabel terikat (Y) adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai variabel lain yang merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perubahan omset pedagang kakilima. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya berpengaruh terhadap variabel lain sedangkan variabel kontrol dimasukkan dalam penelitian untuk mengendalikan atau menghilangkan pengaruh tertentu pada model penelitian agar kesimpulan yang ditarik tidak bias atau salah presepsi. Definisi operasional untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi omset setelah dilakukan penataan pedagang kakilima antara lain:

a) Omset pedagang setelah dilakukan penataan pedagang kakilima (Y) adalah rata-rata omset penjualan per hari yang dilihat dari jumlah total hasil penjualan barang dagangan tertentu oleh pedagang kakilima dalam waktu satu hari akibat adanya penataan ruang dagang kakilima.

b) Usia Pedagang (UP) adalah usia responden dari sejak lahir hingga terakhir berulang tahun. Diasumsikan bahwa usia memiliki kolerasiyang negatif. Pedagang dengan usia yang lebih tua cenderung memperoleh omset lebih kecil dibandingkan dengan pedagang yang usianya lebih muda.

c) Tingkat pendidikan Formal (TP) adalah lama pendidikan formal responden yang dikelompokan menjadi empat kategori pendidikan formal. Variabel

ini merupakan variabel kategorik ordinal, nilai “1” untuk SD, “2” untuk SMP, “3” untuk SMA dan “4” untuk jenjang perguruan tinggi. Variabel

tingkat pendidikan diduga akan memengaruhi omset pedagang kakilima. Pedagang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi cenderung lebih berani membuka usaha dengan resiko yang lebih tinggi.

(31)

19 Variabel lama usaha diduga akan memengaruhi omset pedagang kakilima. Semakin lama usaha pedagang kakilima beroperasi, maka omset akan semakin meningkat.

e) Jam operasi (JO) adalah lama waktu pedagang kakilima berjualan setiap harinya.Variabel ini diukur dengan satuan jam/hari. Variabel jam operasi diduga akan memengaruhi omset usaha pedagang kakilima. Semakin lama berjualan sebagai pedagang kakilima, maka omset akan semakin meningkat.

f) Jumlah Pembeli (JP) adalah banyaknya pembeli yang membeli barang dagangan setelah dilakukan penataan pedagang kakilima. Variabel ini merupakan variabel kategorik ordinal, nilai “0” untuk jumlah pembeli

yang berkurang, nilai “1” tetap dan nilai “2” untuk jumlah pembeli yang

bertambah. Variabel jumlah pembeli diduga akan memengaruhi omset usaha pedagang kakilima. Jika jumlah pembeli berkurang maka omset akan turun sedangkan jika jumlah pembeli bertambah maka omset akan meningkat.

Pengujian Statistik Analisis Regresi

Koefisiensi Determinasi (R2)

Koefisien determinasi adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau presentase variasi variabel terkait yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan. Besarnya R2 berada diantara 0 dan 1 (0<R2<1). Semakin nilai R2 mendekati 1 maka keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor yang ada di dalam model menjadi semakin besar.

Uji F-statistic

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian memengaruhi variabel dependen secara signifikan. Jika nilai hitung F lebih besar daripada nilai F kritis, maka tolak hipotesis nol bahwa pengaruh semua variabel penjelas sama dengan nol. Jika nilai F hitung tidak lebih daripada nilai F kritis, maka tidak menolak hipotesis nol bahwa variabel-variabel penjelas tidak berpengaruh apapun terhadap variabel tak bebas.

Uji t-statistic

(32)

20

Dalam pendekatan uji signifikasi untuk pengujian hipotesis kita mengembangkan suatu statistik uji, mencari tahu distribusi sampling atau penarikan sampelnya,

memilih tingkat signifikasi α dan menentukan nilai kritis dari statistik uji pada

tingkat signifikasi yang dipilih. Bandingkan nilai statistil uji yang diperoleh dari sample yang ada dengan nilai kristisnya dan menolak hipotesis nol apabila nilai hitung dari statistik uji lebih besar dari nilai kritisnya.

Pengujian Asumsi Klasik

Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah heterkodastsitas, multikolinearitas dan autokolerasi. Dikatakan baik apabila jika suatu penaksir berbentuk linear, tak bias, dan mempunyai varians terendah dalam kelompok penaksir tak bias linear dari sebuah parameter (Gujarati, 2006).

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah model memiliki distribusi normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik, apabila memiliki distribusi normal ataupun mendekati normal. Pada penggunaan software SPSS, dapat dilihat berdasarkan nilai Asymp. Sig. tailed) pada N-par test, jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha, maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi.

Uji Heteroskedastisitas

Suatu model mengalami heteroskedastisitas jika ragam error tidak konstan, sedangkan salahsatu asumsi dasar metode regresi linear adalah asumsi bahwa semua sisaan menyebar identik dengan ragam sama atau homogen yang dikenal sebagai homoskedastitas. Penyebab adanya heteroskedastisitas ini adalah adanya data pencilan, pada data crossaction, variasi dapat ditimbulkan dari kolerasi yang tinggi antara x dan y. Sedangkan pada data time series, variasi data seringkali disebabkan oleh proses error learning model dan terakhir adalah kesalan dalam memilih model. Akibat adanya heteroskedastisitas yaitu dugaan koefisien regresi menjadi tidak bias tapi tetap konsisten dan penduganya tidak efisien. Berdasarkan hasil uji analisis statistik, probabilitas yang diperoleh dari uji breuch pagan sebesar harus lebih besar dari alpha yang artinya homoskedastisitas.

Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah terjadinya kolerasi yang tinggi antara peubah bebas Xi yang berarti terdapat hubungan linear antarvariabel penjelas X.

(33)

21 multicolinear sempurna (perfect multicolinear). Multikolinear tidak sempurna terjadi jika kolerasi antara variabel Xi tidak sempurna [|r|<1], hal ini akan

berakibat sebagai berikut:

1. Interpretasi dari koefisien dugaan menjadi sulit.

2. Nilai variance dari dugaan koefisien regresi menjadi lebih besar. 3. Banyak variabel Xi tidak signifikan.

4. Koefisien dugaan regresi menjadi lebih sensitif jika terjadi perubahan. Multikolinear tidak semurna terjadi jika kolerasi antara variabel Xi

sempurna (r±1) atau dengan kata lain, variabel Xi yang satu merupakan kelipatan

dari variabel Xi yang lainnya. Cara untuk mengatasi multikolinear antara lain yang

pertama dengan uji kolerasi pearson dimana dikatan terdapat multikolinear jika t hitung lebih besar dari t tabel atau nilai p-value kurang dari alpha. Kedua dengan melihat nilai VIF dan ketiga dengan melihat nilai R2 dan signifikasi dari variabel dimana dikatakan terjadi multikolinear jika nilai Rnya tinggi tetapi banyak variabel Xi yang tidak signifikan. Beberapa cara untuk mengatasi masalah

multikolinear:

1. Menghilangkan variabel Xi yang menjadi penyebab multikol.

2. Menggunakan komponen regresi utama (PCA). 3. Menggunakan model distribusi langsung. 4. Memilih spesifikasi model yang sesuai. 5. Menambah data baru.

Uji Autokolerasi

Autokolerasi adalah terjadinya kolerasi yang tinggi antarnilai error dari periode waktu (time series). Konsekuensi dari adanya autokolerasi:

1. Estimator kuadrat terkecil masil linear dan tak bias.

2. Tapi estimator tersebut tidak efisien yang artinya tidak memiliki variasi minimum bila dibandingkan dengan prosedur yang mempertimbangkan kolerasi.

3. Varians taksiran dari estimator OLS bersifat bias. 4. Tes t dan F yang biasa tidak andal.

5. Varians dan kesalahan standar peramalan yang dihitung secara konvensional mungkin tidak efisien.

(34)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kota Bogor

Kota Bogor terletak antara 106 derajat 43’30”BT 106 derajat 51’00”BT dan 30’30”LS-6 derajat 41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 m, maksimal 350 m diatas permukaan laut. Jarak dari Ibu Kota Jakarta kurang lebih 60 km. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118.50 km2. Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah:

1. Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

2. Sebelah timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

3. Sebelah utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.

4. Sebelah barat : berbatasan dengan kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

Kota Bogor mempunyai ketinggian dari permukaan laut minimal 190 m dan maksimal 330 m. Suhu di Kota Bogor relatif sejuk, didukung frekuensi curah hujan cukup tinggi. Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. Kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan Puncak atau Cianjur juga merupakan potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi.

(35)

23 Gambaran Umum Stasiun Kereta Api Bogor

Stasiun Kereta Api Bogor dibangun oleh Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Belanda tahun 1872 sebagai stasiun terakhir untuk jalur Jakarta-Bogor dan mulai dibuka pada tahun 1873. Pembukaan jalur ini ditunjukkan untuk mempersingkat perjalanan Jakarta-Bogor yang pada saat itu masih menggunakan kereta kuda untuk melayani penumpang. Luas bangunan stasiun kurang lebih 5.955m2 yang dibangun di areal lahan seluas 43.267m2 dengan lokasi yang bertempat di Jalan Nyi Raja Permas Kelurahan Cibogor Kecamatan Bogor Tengah. Status kepemilikan Stasiun Kereta Api Bogor dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Batas-batas wilayah Stasiun Kereta Api Bogor adalah:

1. Sebelah selatan : pertokoan, Jalan Kapten Muslihat. 2. Sebelah timur : Jalan Nyi Raja Permas, pertokoan.

3. Sebelah utara : Jalan M.A. Salmun, pertokoan, pemukiman. 4. Sebelah barat : pemukiman

Berdasarkan Peraturan daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2013 Pasal 45, disebutkan bahwa Stasiun Kereta Api Bogor di Jalan Nyi Raja Permas Nomor 1 termasuk kedalam kawasan cagar budaya. Kawasan cagar budaya direncanakan untuk mempertahankan karakteristik bangunan dan lingkungan sekitarnya serta merevitalisasi kawasan cagar budaya. Selanjutnya, masih dalam peraturan derah yang sama pada pasal 68 disebutkan bahwa Jalan Nyi Raja Permas termasuk dalam kawasan strategi ekonomi. Kawasan strategi ekonomi yang dimaksud karena dekat dengan pusat pemerintahan Kota Bogor, dekat dengan pasar dan areal pemukiman serta dekat dengan berbagai sarana publik lainnya.

Kondisi Usaha Pedagang Kakilima di Stasiun Kereta Api Bogor

Keberadaan pedagang kakilima di Kota Bogor didukung oleh adanya Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kakilima. Dalam ketentuan umum Bab 1 Pasal 1 Peraturan daerah Kota Bogor No 13 Tahun 2005, pedagang kakilima didefinisikan sebagai penjual barang atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum bersifat sementara atau tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.

(36)

24

menarik minat para pedagang untuk menjual barang dagangannya di sekitar stasiun karena banyak penumpang kereta yang berlalulalang disamping tempatnya yang memang strategis. Banyak pedagang yang kemudian membuka lapaknya di selasar Stasiun Kereta Api Bogor. Sebelum dilakukan penataan pedagang kakilima, sepanjang kanan dan kiri jalan dipadati oleh para pedagang kakilima yang membuat kondisi selasar stasiun terkesan kumuh dan kotor. Adanya aktifitas para pedagang kakilima pun kemudian mengganggu arus pejalan kaki khususnya masyarakat pengguna sarana transportasi kereta karena areal bagi pejalan kaki menjadi sempit.

Program pembenahan pedagang kakilima tak hanya dilakukan Pemerintah Kota Bogor, tapi juga oleh PT. KAI seperti yang ada di Stasiun Kereta Api Bogor Jalan Nyi Raja Permas. Menurut Undang-Undang Perkeretaapian, di Stasiun Kereta Api dapat dilakukan usaha penunjang angkutan kereta dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun (Pasal 55 Undang-undang nomor 23 Tahun 2007). Adapun fungsi stasiun tetap sebagai tempat kereta api atau berhenti untuk melayani naik turun penumpang, bongkar muat barang dan keperluan operasi kereta.

Pedagang kakilima di Stasiun Kereta Api Bogor ini tercatat ada dua kelompok paguyuban, yaitu paguyuban awning selatan dengan 112 pedagang dan paguyuban padasuka dengan 34 pedagang. Total luas penataan pedagang kakilima di areal ini adalah 96x6 m2 untuk paguyuban awning selatan dan 45x9 m2 untuk paguyuban padasuka. Biaya penataan itu sendiri ditanggung oleh masing-masing pedagang yang bekerjasama dengan PT. Bank mandiri Syariah KCP Sudirman-Bogor dan dibayarkan kepada pemborong (bagian teknis yang akan melakukan renovasi). Untuk pedagang di paguyuban awning selatan, biaya pembangunan masing-masing pedagang kepada pemborong sebesar 5,6 juta dengan luas perkios 1,2x1,5 m2. Sedangkan untuk pedagang di paguyuban padasuka, biaya pembangunan masing-masing pedagang kepada pemborong sebesar 4,5 juta untuk kios seluas 1x2 m2 dan 6,75 juta untuk kios seluas 2x1,7 m2. Setelah dilakukan penataan sesuai dengan arahan dari PT. KAI, sekarang kondisi ruang dagang menjadi lebih bersih, rapih dan nyaman. Para pedagang pun resmi mengontrak dengan PT. KAI sehingga mereka memiliki kepastian usaha dagang karena sudah memiliki hak guna lahan sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama selama kontrak berlangsung.

Karakteristik Responden Pedagang Kakilima Stasiun Kereta Api Bogor

(37)

25 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Pedagang kakilima terdiri dari berbagai usia. Dari hasil pengamatan terhadap 38 pedagang kakilima Stasiun Kereta Api Bogor menunjukkan bahwa hampir seluruh reponden termasuk dalam kelompok usia produktif. Pedagang paling banyak berada dalam rentang usia 31-45 tahun dan 15-30 tahun. Sebaran kelompok usia responden dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Presentase kelompok usia responden

Hubungan antara usia dengan perubahan omset pedagang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat kecenderungan responden dengan tingkat usia yang lebih muda mengalami peningkatan omset. Hal ini disebabkan oleh kemampuan responden dalam menjajakan barang dagangannya. Tingkat produktifitas dan kreatifitas yang lebih tinggi membuat responden dengan usia yang lebih muda cenderung lebih baik dalam mengelola barang dagangannya untuk memperoleh profit yang lebih tinggi.

Tabel 4.1 Hubungan antara usia dengan omset responden

Kelompok umur Omset

Berkurang Tetap Bertambah

15-30 4 1 9

31-45 2 5 8

46-60 3 2 3

61-75 1 0 0

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan pedagang kakilima di selasar Stasiun Kereta Api Bogor, hampir setengah responden merupakan tamatan SMA, dilanjutkan tamatan SMP dan SD dan hanya sebagian kecil lainnya merupakan tamatan perguruan tinggi. Sama seperti penelitian yang dilakukan Sapar et al. (2006)

37%

39% 21%

3%

Gambar

Tabel 1.1  Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan     usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2011
Tabel 1.3  PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan (juta rupiah) tahun 2007-2011
Gambar 2.1  Tingkat output yang efisien secara sosial
Gambar 4.3  Presentase lama usaha responden bekerja sebagai pedagang kakilima
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kelebihan penelitian ini yaitu kriteria eksklusi yang lebih ketat yaitu mengeluarkan sampel dengan inflamasi akut seperti luka bakar, pankreatitis, hepatitis akut,

Setiap kelompok hewan coba diberikan perlakuan sebagai berikut: Kelompok SO: Hewan coba dengan Sham Operation ; Kelompok IR: Hewan coba dengan IRI; Kelompok IR7:

Penelitian tindakan kelas ini difokuskan pada peningkatan kemampuan mahasiswa calon guru kimia dalam melakukan Praktikum Kimia Dasar dengan strategi learning cycle

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McCullough, dkk (1998), Hall, dkk (2006), Allemand, dkk (2007), Gunderson, dkk (2008), dan Sari, (2012)

pengarahan, masukan, dan kesabarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya

Diingatkan kepada para siswa yang telah melakukan verifikasi di PDSS untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh jadwal pendaftaran yang akan dimulai pada tanggal 21 Februari

Tahapan desain terdiri dari perancangann kemasan, elemen grafis kemasan pada panel display utama (PDU). Kemudian dilanjutkan ke tahap 3). Feasibility Phase yang merupakan

Dalam penanganan kasus ini Bapepam bekerjasama dengan pihak kepolisian melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 2 (dua) orang direksi PT UBS. Kewajiban UBS itu