TEROKSIDASI KMnO4 (
POTASSIUM PERMANGANATE)
TISNA PRASETYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Penilaian Kualitas
Tanah pada Produksi Tanaman Sayuran dengan Metode Karbon Teroksidasi
KMnO4 (Potassium Permanganate) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Tisna Prasetyo
TISNA PRASETYO. Soil Quality Assessment for Vegetable Management Practice with KMnO4 Oxidizable Method. Under direction of ANAS
DINURROHMAN SUSILA, and SYAIFUL ANWAR.
A simple method of estimating biologically active soil organic carbon (SOC) can accelerate determination of soil quality related to soil organic matter (SOM) content. Changes in biologically active SOC can be used in evaluating the impact of vegetable management and other agricultural practices on soil quality. Regional estimates of SOC changes can only be obtained by analyzing very large number of samples over large areas due to the strong spatial variability in SOC contents. Visible and Near Infrared Spectroscopy (VNIRS) provides an alternative to chemical analyses. The benefits of this technique include a reduction of the sampling processing time, an increase of the number of samples that can be analyzed within time and budget constraints, hence an improvement of the detection of small changes in SOC stocks for a given area. This study report on a highly simplified method in which neutral dilute solutions of potassium permanganate (KMnO4) reacts with most of the active fractions of SOM,
changing the deep purple color of the solution to a light pink color. Pearson correlation was used to compare laboratory and field-kit protocol with other soil quality indicators. Results from the laboratory and field-kit protocols were nearly identical (r=0.99, R2=0.98), not significant t test, not different CV (range 10-14%), and not different coefficient of correlation.
TISNA PRASETYO. Penilaian Kualitas Tanah pada Produksi Tanaman Sayuran dengan Metode Karbon Teroksidasi KMnO4 (Potassium Permanganate).
Dibimbing oleh ANAS D SUSILA dan SYAIFUL ANWAR.
Teknologi produksi tanaman berkembang sangat pesat sehingga hasil produksi meningkat tajam, akan tetapi tidak semua manajemen produksi yang telah diterapkan akan berkorelasi positif dengan daya dukung lingkungan. Pada tanaman sayuran, selain permasalahan pupuk, pengolahan lahan pertanian yang intensif menyebabkan penurunan produktivitas lahan, pencucian hara, erosi yang tinggi juga menyebabkan penurunan produktivitas, pemadatan tanah, dan berkurangnya bahan organik tanah. Beberapa permasalahan tersebut apabila berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama, diprediksikan kondisi lahan sayuran tersebut akan mengalami degradasi lahan atau tidak berkelanjutan.
Bahan organik tanah (BOT) merupakan salah satu indikator penting kualitas tanah. Karbon organik tanah (C) merupakan bagian yang dominan dalam BOT yaitu ± 58% berat, sehingga dapat digunakan sebagai interpretasi dalam penilaian kualitas tanah. Perubahan kecil pada C akibat perubahan pengolahan tanah dapat dinyatakan secara tepat dampaknya pada tanah dan mempengaruhi beberapa proses mikroba, degradasi lahan, dan erosi, sehingga berpengaruh terhadap kualitas tanah.
Metode terbaru yang dilakukan peneliti dalam penilaian kualitas tanah secara mudah dan cepat adalah dengan memperkirakan kandungan C aktif dengan metode C teroksidasi KMnO4 (potassium permanganate). Prinsip dasar metode ini
adalah dengan melihat peluruhan warna hasil konversi dari Mn7+ ke bentuk Mn2+ pada saat direaksikan dengan tanah. Kandungan C aktif dilihat dengan cara mengukur absorban larutan tersebut.
Penilaian kualitas tanah secara cepat dan mudah di lapang perlu dilakukan untuk meneliti pengaruh sistem budidaya sayuran yang dikembangkan oleh petani terhadap kandungan C, kualitas tanah, dan keberlanjutan sistem pertanian tersebut. Metode sederhana dan mudah dilakukan di lapang yang digunakan untuk memperkirakan kandungan C adalah metode karbon teroksidasi KMnO4.
Studi ini dilakukan dengan tujuan menerapkan metode karbon teroksidasi KMnO4 sebagai metode penilaian kualitas tanah pada berbagai manajemen
produksi sayuran dan mengevaluasi hubungan manajemen produksi dengan kandungan karbon organik tanah sebagai indikator kualitas tanah.
dalam tanah tersebut. Ketersedian bahan organik dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis komoditi tanaman sayuran, manajemen pengelolaan lahan, kelembaban, oksigen, pH tanah, hara, vegetasi, bahan induk tanah, dan topografi.
Hasil analisis kandungan C aktif di beberapa desa di Kecamatan Nanggung mempunyai sebaran yang luas antara 250 - 750 C mg kg-1. Sebaran yang luas ini digunakan untuk analisis korelasi dan regresi metode pengukuran C aktif. Hasil analisis korelasi Pearson pada menunjukkan kedua metode mempunyai hubungan yang signifikan pada taraf 5% (r = 0.99). Hasil analisis regresi didapat model Lab = 40.12 + 0.94 x field, dimana sebanyak 98% keragaman hasil pengukuran C aktif yang dikerjakan di laboratorium (C aktif-LAB) dapat dijelaskan dengan cara pengukuran C aktif yang dikerjakan di lapang (C aktif-FIELD). Tingkat hubungan yang erat (r=0.99) dan koefisien determinasi yang tinggi (R2=0.98) pada model tersebut merupakan salah satu indikator bahwa kedua metode tersebut mempunyai hasil pengukuran yang tidak berbeda.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang mendasar IPB
TEROKSIDASI KMnO4 (
POTASSIUM PERMANGANATE)
TISNA PRASETYO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Tisna Prasetyo, SP
NRP : A252074011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Anas D. Susila, MSi Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga
atas karunia-Nya karya ilmiah dengan judul PPeenniillaaiiaann KKuuaalliittaass TTaannaahh ppaaddaa
P
Prroodduukkssii TTaannaammaann SSaayyuurraann ddeennggaann MMeettooddee KKaarrbboonn TTeerrookkssiiddaassii KKMMnnOO44
(
(PPoottaassssiiuumm PPeerrmmaannggaannaattee)) ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini
dilakukan pada bulan April - Juni 2009 di Kecamatan Nanggung, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Anas D. Susila, MSi dan Dr
Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
sumbang saran dan bimbingannya sehingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada United State Agency for
International Development (USAID) dan Sustainable Agriculture and Natural
Resources Management Collaborative Research Support Program
(SANREM-CRSP) atas pendanaan penelitian ini melalui program Agroforestry and
Sustainable Vegetable Production in Southeast Asia Watershed. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Dr Peter Motavali selaku soil quality cross-
cutting project advisor dan Ms. Bunjirtluk Jintaridth selaku mahasiswa Ph.D
Universitas Missouri atas partnership dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, adik, serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011
Penulis dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 25 September 1984
sebagai anak sulung dari pasangan Suratno dan Suwanti. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun
2006. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Mayor Agronomi dan
Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari USAID melalui kerjasama SANREM-CRSP dengan IPB.
Penulis bekerja sebagai asisten lapang kegiatan kerjasama
SANREM-CRSP dengan IPB sejak tahun 2007 – 2009 di Kecamatan Nanggung, Bogor.
Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf di University Farm IPB dan sebagai
i
Siklus Hara dan Siklus Karbon ... 6
Konsep Kualitas Tanah ... 7
Interview dengan petani ... 14
Penilaian Kualitas Tanah... 14
Pembuatan larutan stok ... 14
Pembuatan dan penentuan kurva standar ... 15
Pengambilan sampel tanah ... 15
Perbandingan warna larutan ... 16
Pencatatan absorban ... 16
Perbandingan Metode Pengukuran ... 20
Pengujian Metode Pengukuran ... 22
ii
Halaman 1 Perbedaan metode pengukuran C aktif di lapang
dan di laboratorium ... 20
2 Uji t pada dua metode pengukuran C aktif ... 22
3 Perbandingan koefisien keragaman pada dua metode pengukuran
C aktif ... 22
4 Perbandingan koefisien korelasi dua metode pengukuran C aktif
berdasarkan variabel analisis tanah ... 23
5 Kelompok manajemen produksi sayur yang dilakukan petani
di Kecamatan Nanggung ... 24
6 Kelas kualitas tanah berdasarkan warna larutan KMnO4 ... 25
7 Interpretasi kelas kualitas tanah berdasarkan desa, ketinggian,
dan jenis tanaman ... 24
iii
Halaman 1 Diagram alir kegiatan penelitian ... 14
2 Peta sebaran lokasi pengambilan sampel tanah
di Kecamatan Nanggung ... 19
4 Hubungan ketinggian lokasi dengan peningkatan C aktif ... 28
3 Sebaran nilai C aktif menggunakan metode C aktif-FIELD
iv
Halaman 1 Jenis komoditi dan kelas kualitas tanah berdasarkan lokasi ... 41
2 Data iklim di Kecamatan Nanggung tahun 2008 ... 43
3 Hubungan antara kandungan C aktif tanah
dengan karakteristik sifat tanah yang lain ... 44
4 Hasil analisis tanah dan pengukuran C aktif di laboratorium tanah Universitas Missouri, analisis kerapatan jenis
di laboratorium IPB, dan pengukuran C aktif di lapang ... 45
5 Kurva standar KMnO4 ... 48
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budidaya tanaman sayuran merupakan salah satu sistem pertanian yang
diusahakan secara intensif untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk.
Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen produksi
yaitu dengan penambahan input produksi, pemupukan, pengolahan tanah,
pengairan, dan pengapuran. Sebagian besar pengelolaan lahan yang diterapkan
petani saat ini sangat intensif seperti penambahan pupuk sintetis, pengolahan
tanah intensif, dan pemanfaatan lahan untuk sayuran secara terus menerus.
Pengelolaan ini dapat berdampak buruk terhadap kesuburan lahan, disisi lain
petani kurang memperhatikan perbaikan lahan budidaya sayuran baik dengan
penambahan bahan amelioran maupun bahan organik.
Teknologi produksi tanaman berkembang sangat pesat sehingga hasil
produksi meningkat tajam, akan tetapi tidak semua manajemen produksi yang
telah diterapkan akan berkorelasi positif dengan daya dukung lingkungan. Pada
tanaman sayuran, pengolahan lahan pertanian yang intensif menyebabkan
penurunan produktivitas lahan, pencucian hara, erosi yang tinggi, dan
berkurangnya bahan organik tanah (Russel et al. 2006; Nissen & Wander 2003).
Beberapa permasalahan tersebut apabila berlangsung dalam jangka waktu yang
sangat lama, diprediksikan kondisi lahan sayuran tersebut akan mengalami
degradasi lahan atau tidak berkelanjutan (Addiscot 2000).
Sistem pertanian berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan kualitas tanah
sebagai tempat tumbuh tanaman. Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa
kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai
batas ekosistem dalam mendukung produktivitas biologi, mempertahankan
kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan makhluk hidup. Secara umum,
terdapat tiga makna pokok dari definisi kualitas tanah yaitu produksi
berkelanjutan, artinya seberapa tinggi kemampuan tanah dalam meningkatkan
produksi dan tahan terhadap bahaya erosi. Makna ke dua yaitu peningkatan mutu
tanah, udara, penyakit dan kerusakan lingkungan sekitarnya. Makna ke tiga adalah
untuk kesehatan makhluk hidup.
Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis
indikator-indikator kualitas tanah. Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau
proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah
tersebut (NRCS USDA 2001). Menurut Sikora et al. (1996) bahan organik tanah
(BOT) merupakan salah satu indikator penting kualitas tanah. Karbon organik
tanah (C) merupakan bagian yang dominan dalam BOT yaitu ± 58% berat tanah,
sehingga dapat digunakan sebagai alat interpretasi dalam penilaian kualitas tanah.
Perubahan kecil pada C akibat perubahan pengolahan tanah dapat dinyatakan
secara tepat dampaknya pada tanah dan mempengaruhi beberapa proses mikroba,
degradasi lahan, dan erosi, sehingga berpengaruh terhadap kualitas tanah.
Siklus C menunjukkan bahwa hasil mineralisasi bahan organik dapat
terlepas kembali ke atmosfir dalam bentuk CO2 (Stevenson 1994). Karbon
organik tanah merupakan penyusun penting BOT sehingga terlepasnya C
mengakibatkan rendahnya kandungan BOT yang selanjutnya berdampak pada
rendahnya kesuburan tanah. Degradasi lahan pertanian akibat pengelolaan lahan
pertanian yang kurang baik merupakan salah satu penyebab tingginya laju
pelepasan C ke atmosfir. Untuk itu C digunakan sebagai indikator utama dalam
penentuan kualitas tanah karena peranan C yang sangat besar di bidang pertanian.
Perlengkapan penilaian kualitas tanah di lapang secara kualitatif telah
dikembangkan oleh USDA NRCS yaitu Soil Health Assessment Card dan secara
kuantitatif yaitu Soil Quality Test Kit (NRCS USDA 1998). Menurut Liebig et
al. (1996) dan Steven et al. (2008) beberapa perlengkapan di lapang tersebut tidak
dapat mengukur beberapa fraksi C aktif. Kandungan C total dapat ditentukan di
laboratorium dengan metode wet acid dicrhomate oxidation (Walkley & Black
1974), CO2 yang dilepas diukur dengan cara dry combustion (seperti LECO Corp.
CHN Analyzer). Beberapa studi menggunakan spectrometer dengan metode
oksidasi telah dilakukan di laboratorium untuk mengukur C aktif tanah dan
menunjukkan hasil yang relevan dalam pengukuran C aktif tanah (McCarty &
Metode terbaru yang dilakukan peneliti dalam penilaian kualitas tanah
secara mudah dan cepat adalah dengan memperkirakan kandungan C aktif dengan
metode C teroksidasi KMnO4 (potassium permanganate) (Weil et al. 2003).
Prinsip dasar metode ini adalah dengan melihat peluruhan warna hasil konversi
dari Mn7+ ke bentuk Mn2+ pada saat direaksikan dengan tanah. Kandungan C aktif dilihat dengan cara mengukur absorban larutan tersebut.
Perumusan Masalah
Permasalahan pertanian di kecamatan Nanggung yaitu tingginya erosi
lahan pertanian di Daerah Aliran Sungai (DAS), pengolahan lahan yang intensif
tanpa adanya perbaikan tanah oleh petani, dan pemanfaatan lahan hutan sebagai
sistem agroforestri yang tidak terkelola dengan baik. Beberapa permasalahan
tersebut diduga menyebabkan terjadi penurunan kesuburan lahan pertanian dan
kualitas tanah, akan tetapi indikator kesuburan yang menurun tersebut perlu
dibuktikan lebih jauh dengan diadakannya penelitian. Penilaian kualitas tanah
dengan menggunakan metode cepat belum pernah dilakukan di Kecamatan
Nanggung. Penilaian kualitas tanah secara cepat dan mudah di lapang perlu
dilakukan untuk melihat pengaruh sistem budidaya sayuran terhadap kandungan
C, kualitas tanah, dan keberlanjutan sistem pertanian tersebut. Metode sederhana
dan mudah dilakukan di lapang yang digunakan untuk memperkirakan kandungan
C adalah metode karbon teroksidasi KMnO4.
Tujuan Penelitian Studi ini dilakukan dengan tujuan:
1. Menerapkan metode karbon teroksidasi KMnO4 sebagai metode penilaian
kualitas tanah pada berbagai manajemen produksi sayuran
2. Mengevaluasi hubungan manajemen produksi dengan kandungan karbon
Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Petugas pertanian mampu menggunakan metode penilaian kualitas tanah
yang cepat, mudah, dan sederhana di lapang
2. Peneliti mendapatkan data dan menyimpulkan dampak pengelolaan lahan
yang tidak tepat terhadap kualitas tanah pada lahan pertanian sayuran
3. Petani mengetahui dan mampu menerapkan perbaikan pengelolaan lahan
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Produksi Tanaman
Kajian penting dalam ilmu agronomi untuk meningkatkan produksi
tanaman melalui beberapa strategi, yaitu perbaikan kualitas benih, rekayasa
genetika, aplikasi zat pengatur tumbuh, dan teknologi pemupukan. Selain
beberapa bidang ilmu tersebut, kegiatan agronomi lain yang masih diterapkan
untuk meningkatkan produksi seperti kegiatan pengolahan tanah, dan penambahan
bahan organik. Kemajuan teknologi untuk meningkatkan produksi tanaman harus
disinergikan dengan konservasi lingkungan tumbuh tanaman tersebut. Daya
dukung lingkungan sebagai penunjang tanaman harus tetap terjaga dengan baik
dan sistem pertanian berkelanjutan dapat terwujud (Andrews et al. 2004).
Teknologi pertanian tanpa olah tanah merupakan hal yang jarang dilakukan
di daerah pertanian di Indonesia, biasanya hanya pada perkebunan skala besar.
Pada produk pertanian tanaman pangan dan sayuran, justru kegiatan pengolahan
tanah ini mendapat porsi yang besar. Pengolahan tanah yang terlalu intensif
menyebabkan erosi dan dampak negatif terhadap keseimbangan biologi lainnya.
Hasil penelitian Nissen dan Wander (2003) menunjukkan bahwa tanpa olah tanah
mengurangi kehilangan N lewat pencucian, meningkatkan kapasitas pengambilan
hara N. Hasil penelitian itu juga menambahkan bahwa aplikasi bahan organik
dapat meningkatkan kualitas tanah.
Rotasi tanaman mempunyai efek positif terhadap indikator kualitas tanah.
Total C organik merupakan indikator yang sangat sensitif, juga menunjukkan
perbedaan pengukuran dan penilaian yang signifikan pada lokasi dengan tingkat
rotasi tanaman yang berbeda (Karlen et al. 2006)
Ancaman degradasi fungsi tanah bisa terjadi seiring dengan kegiatan
pemupukan sintetis yang tidak terkendali. Hasil penelitian Russel et al. (2006)
menunjukkan bahwa penambahan pupuk N yang bersumber dari bahan sintetis
secara signifikan berpengaruh terhadap rendahnya pH tanah (0- 15cm kedalaman)
dan rendahnya pertukaran Ca, Mg, dan K serta kapasitas tukar kation pada sistem
Siklus Hara dan Siklus Karbon
Hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling
dinamis dalam ekosistem. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk
dipergunakan dalamproses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya
tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di
permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar
tanaman memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar dan tudung akar
yang mati serta dari eksudasi akar. Bahan organik yang ada di permukaan tanah
ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami
dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah.
Penyediaan hara secara terus menerus melibatkan juga masukan dari hasil
pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir,
lithosfir dan hidrosfir (Hairiah 2002).
Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan
dari pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia
selanjutnya dapat diserap oleh tanaman, atau mengalami imobilisasi karena
adanya khelat oleh bahan organik tanah atau mineral tanah. Hara tersedia yang
berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar
dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Dengan kata lain hara tersebut telah mengalami pencucian (leaching). Beberapa
hara terutama dalam bentuk anion sangat lemah diikat oleh partikel liat dan
memiliki tingkat mobilitas tinggi (misalnya nitrat), sehingga hara ini mudah
mengalami pencucian. Beberapa hara dalam bentuk kation (misalnya kalium),
gerakannya sangat ditentukan oleh kapasitas pertukaran tanah (Hairiah 2002).
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini, ada 3 proses
utama yang terlibat dalam siklus hara : 1) Fiksasi N dari udara: peningkatan
jumlahN hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam, 2)
Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi
serasah dan dari pohon yang telah mati, 3) Penyerapan ulang hara: peningkatan
jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan yang menyebar
erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan meningkatkan air
infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah (Hairiah 2002).
Sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama
fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan
akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap
dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk
ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Terdapat 3 pool utama pemasok C ke
dalam tanah yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk
sebagai serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati,
ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; 3) biota. Serasah dan akar akar
mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan
selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari
dalam tanah dapat melalui a) respirasi tanah, b) respirasi tanaman, c) terangkut
panen, d) dipergunakan oleh biota, e) erosi (Hairiah 2002).
Konsep Kualitas Tanah
The Soil Science Society of America (1984) mendefinisikan kualitas tanah
sebagai sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau
observasi langsung (seperti kepadatan, dan kesuburan). Kualitas tanah secara
sederhana difokuskan atau disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat
fisik, kimia, dan biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan
kemampuan potensial tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor
faktor pemacu pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan
sebagai “kualitas tanah”. Tanah bertindak sebagai filter lingkungan akibat
kehilangan yang tidak diinginkan dari unsur unsur padat maupun gas dari udara
dan air. Walaupun tidak diketahui dengan baik, kualitas tanah juga merupakan
aturan penting untuk tanaman yang sehat dan kualitas gizi dari pangan yang
dihasilkan.
The Rodale Institute Research Center mensponsori workshop pada Juli
1991 untuk mendiskusikan sifat dari kualitas tanah dan apakah sifat tersebut akan
dikuantitatifkan dalam sebuah arti yang dapat diprediksikan efeknya dari proses
mengusulkan bahwa konsep kualitas tanah seharusnya diperluas dengan
memasukkan sifat kualitas lingkungan, kesehatan manusia dan hewan, keamanan
dan kualitas pangan. Kemudian pada akhirnya workshop menyimpulkan bahwa
kualitas tanah didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk berproduksi secara
aman dan hara yang dibutuhkan tanaman pada kondisi berkelanjutan dalam jangka
waktu yang lama, mampu meningkatkan kesehatan manusia dan hewan, tanpa
mengganggu sumberdaya alam atau merugikan lingkungan.
Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu
tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung
produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan
kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna
pokok dari definisi tersebut yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah
untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu
tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara,
penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan makhluk hidup. Doran
dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari ketidakmampuan
tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas tanah. Kondisi
tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya produktivitas
tanah, dan pencemaran lingkungan.
Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk
menentukan kualitas tanah (Sitompul & Setijono 1990; Karama et al. 1990).
Doran dan Parkin (1994) juga menambahkan bahwa secara umum indikator
kualitas tanah harus: 1) mengintegrasikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, 2)
mudah diperoleh oleh para pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi
lapangan, 3) peka terhadap perubahan pengolahan tanah dan iklim, 4) dapat
diukur atau diprediksi di lapangan dan di laboratorium, dan 5) sedapat mungkin
tersedia dalam basis data tanah.
Penilaian Kualitas Tanah
Teknik penilaian kualitas tanah adalah metode untuk menilai kondisi fisik,
kimia, dan biologi tanah apakah sesuai dan mempunyai daya dukung terhadap
kualitas tanah yaitu Soil Health Card, NRCS Soil Health Card Template, Soil
Quality Test Kit Guide, dan Lab Analysis. Keempat teknik penilaian kualitas
tanah tersebut mempunyai perbedaan penggunaan maupun hasilnya sehingga
perlu di integrasikan dengan Soil Quality Index (Olson et al.1996).
Penerapan studi kualitas tanah telah dilakukan di Selandia Baru dan
Amerika. Penerapan teknologi produksi pertanian konvensional berdampak
negatif terhadap fungsi tanah. Perbedaan aplikasi dosis pemupukan berpengaruh
besar terhadap kondisi tanah, sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh
pemupukan ini terhadap kualitas tanah. Pemupukan yang berlebih dapat
menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan tanah sekitar. Pengolahan tanah
yang intensif dapat menyebabkan erosi lahan terutama pada tanah pertanian di
perbukitan (Wandera 1999; Lia & Lindstrom 2001; Sparling & Schipper 2002).
Bahan Organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang
sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat
(sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat
diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan
sifat-sifat kimianya. Aktivitas mikroorganisme dan fauna tanah dapat membantu
terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan
mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas. Telah banyak hasil penelitian yang
membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat /mengkhelat Al dan Mn oleh
asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan
perakaran tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO
dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah
(KTK), sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi
(Hairiah 2002).
Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki
kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang
masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di
lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian
oleh beberapa alasan: 1) Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung
sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan
yang tinggi; 2) Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara
besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan
pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik
(Hairiah 2002).
Indikasi penurunan BOT diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga
diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai
untuk menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun
penelitian terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok
ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh berbagai
macam BOT yang dibagi dalam beberapa kelompok menurut umur paruh dan
komposisinya. BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak
puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi
asam-asam organik dan bahan organik yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia
bagi tanaman dan biota. Penetapan kandungan C-total berdasarkan oksidasi basah
dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur semua kelompok BOT baik
yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil penetapan itu tidak dapat
dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai sistem pengelolaan lahan
karena hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk itu
diperlukan penetapan kandungan fraksi-fraksi BOT sebagai tolok ukur (Hairiah
2002).
Berdasarkan fungsinya, bahan organik tersusun dari komponen labil dan
stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada
awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang
tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang
terdahulu. Umur paruh atau turnover adalah waktu yang dibutuhkan untuk
mendekomposisi bahan organik sampai habis. Umur paruh dari fraksi labil dan
stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan
isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai
lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur
berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri
dari 3 kelompok: 1) Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti
karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida; 2) Bahan yang agak
lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan
hemiselulosa; 3) Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass)
dan bahan residu recalcitrant lainnya. Fraksi labil berperanan sangat penting
dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman
karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat.
Biomasa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan status BOT yang
berperanan sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya
relatif singkat (Hairiah 2002).
Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah
temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomasa mikrobia. Di
daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau
isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan
perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga berpengaruh besar tehadap
kecepatan dekomposisi komponen labil BO (Hairiah 2002).
Salah satu indikator kualitas tanah adakah kandungan bahan organik tanah,
selain indikator lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik
sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan, karena sifatnya yang sangat
labil dan kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan
tanah (Six et al. 1998; Cerri et al. 1998; Blair et al. 1998). Kandungan bahan
organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun
pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat
bahan organik sudah teruji dalam memperbaiki kualitas tanah (Stevenson 1994).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci
utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun
biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan
berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah,
memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meningkatkan
mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan
erosi tanah (Oades 1989; Elliott 1986; Puget et al. 1995; Jastrow et al. 1996;
Heinonen 1985). Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti
menurunkan pH tanah, dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat
komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi
tanaman (Stevenson 1994; Tisdall & Oades 1982). Bahan organik juga mampu
memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel membentuk
agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil eskresi
BAHAN DAN METODE
Metode Penelitian
Kecamatan Nanggung kabupaten Bogor merupakan area penelitian dalam program “Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asia Watershed” atas kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Sustainable
Agriculture and Natural Resources Management (SANREM), North Carolina and
Agricultural Technical (NCAT) University, dan World Agroforestry Centre –
ICRAF. Area ini dipilih karena mempunyai karakter ekologi, sosial, dan ekonomi
yang mencerminkan kondisi lingkungan pertanian tropika basah di Indonesia.
Selain itu sistem pertanian agroforestri dan sayuran juga banyak dikembangkan
oleh petani di daerah Nanggung, sehingga menarik untuk dijadikan area
penelitian.
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui kandungan C aktif
pada lahan budidaya tanaman sayuran di Kecamatan Nanggung, sehingga
rancangan penelitian dan pengumpulan data dilakukan dengan metode survei.
Kemudian berbagai variabel data dianalisis untuk dilihat keterkaitan antar
variabel.
Pengambilan sampel dilakukan pada lahan tanaman sayuran. Pengambilan
sampel dilakukan mengikuti kaidah random sampling, yaitu semua unsur atau unit
dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Jumlah
sampel yang diperoleh didasarkan pada populasi yang tidak terbatas (infinit),
sehingga semakin banyak sampel yang didapat akan semakin baik dalam analisis
data.
Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap pengumpulan data yaitu;
interview dengan petani, penilaian kualitas tanah, dan pencatatan data kondisi
lahan maupun iklim secara umum. Kegiatan penelitian ini dapat dilihat lebih jelas
Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.
Interview dengan petani
Tujuan kegiatan interview ini adalah untuk mengetahui sejarah lahan,
pengelolaan lahan sayuran yang diterapkan, komoditi yang pernah diusahakan
oleh petani. Form interview disajikan pada Lampiran.
Penilaian kualitas tanah
Pembuatan larutan stok
Metode yang digunakan ini merupakan metode yang dikembangkan oleh
dibuat dengan mencampurkan 1 M CaCl2 (pH 7.2) dengan 0.2 M KMnO4
kemudian larutan tersebut disesuaikan lagi hingga mencapai pH 7.2. Larutan
dengan pH yang disesuaikan ini penting untuk mempertahankan kestabilan larutan
stok selama 3-6 bulan. Larutan stok yang sudah disesuaikan pHnya disimpan pada
botol berwarna gelap.
Pembuatan dan penentuan kurva standar
Sebuah tabung gelas yang bersih diisi dengan air destilata, diseka bagian
luar tabung dengan tisu, ditempatkan pada colorimeter (generic 550 nm Hach® Company, Boulder, CO) dengan baik, ditutup rapat, kemudian ditekan tombol ‘zero’. Setelah beberapa detik, LED seharusnya terbaca „0.00‟. Tabung gelas tersebut dilepas dari colorimeter.
Pada tabung sentrifuge ditambahkan 45 ml air destilata. Kemudian dengan
menggunakan pipet khusus, ditambahkan 0.50 ml 0.005 M KMnO4 larutan standar
(stok) pada tabung sentrifuge tersebut. Pipet dibersihkan dengan larutan yang
diencerkan selama beberapa waktu untuk memastikan bahwa semua larutan tidak
membekas. Kemudian ditambahkan air destilata sampai tanda tera 50 ml, ditutup
rapat dan dikocok sehingga tercampur.
Pada tabung gelas dituang 15 ml larutan standar, bagian luar tabung diseka
dengan tisu, ditempatkan pada colorimeter dengan baik, ditutup rapat, kemudian
ditekan tombol ‘read’. Nilai absorban yang tercantum dicatat. Tahap ini diulangi
dengan menggunakan 0.50 ml 0.01 M dan 0.02 M larutan standar KMnO4.
Absorban dicatat pada setiap larutan standar. Sebuah kurva standar dibangun pada
diagram kartesius dengan nilai absorban pada x-axis dan konsentrasi larutan
standar KMnO4 pada y-axis.
Pengambilan sampel tanah
Waktu pengambilan sampel tanah yang paling baik adalah pada saat akhir
masa panen atau pergantian musim tanam, karena tanah masih dalam keadaan
stabil belum tekena gangguan olah tanah untuk musim tanam berikutnya. Akan
tetapi apabila selama masa perawatan tanaman tidak dilakukan olah tanah lagi,
diambil sebanyak 500 g sedalam 15 cm secara komposit pada tiap bedeng
tanaman sayuran. Titik pengambilan sampel tanah tiap bedeng dilakukan
mengikuti huruf M atau W. Setiap lokasi diambil tiga sampel dan dilakukan
pemetaan lokasi sampel menggunakan GPS (Magellan® TritonTM 2000).
Sampel tanah yang diambil dalam keadaan lembab atau basah perlu
dikeringkan. Sampel tanah diremahkan secara perlahan dan diratakan tipis pada
selembar kertas hitam untuk dikering anginkan selama 15 menit, lebih baik
dikeringkan di bawah sinar matahari langsung. Sampel tanah tersebut dibolak
balikkan sebanyak dua atau tiga kali sampai kering angin.
Perbandingan warna larutan
Pada tabung sentrifuge dituang 2.0 ml 0.2 M KMnO4 dengan pipet khusus,
dan ditambahkan air destilata sampai tanda tera 20 ml, kemudian ditambahkan
satu sendok sampel tanah kering (± 5 g) pada tabung tersebut dan ditutup rapat.
Tabung sentrifuge dikocok dengan cepat (±100 kocokan / menit) selama 2
menit, kemudian tabung diletakkan pada rak selama 5-10 menit untuk
membiarkan tanah mengendap pada dasar tabung. Tabung harus terhindar dari
sinar matahari langsung. Tanah dalam tabung akan menggumpal dan mengendap
karena bereaksi dengan CaCl2. Bagian luar tabung dibersihkan dengan tisu.
Penilaian kualitas tanah berdasarkan warna dapat dilakukan dengan
membandingkan warna larutan dalam tabung sentrifuge dengan warna pada color
chart. Warna larutan ungu menunjukkan kandungan C dalam tanah sedikit,
sedangkan warna ungu yang sudah berubah menjadi merah muda menunjukkan
kandungan C dalam tanah tersebut tinggi. Kandungan C yang tingi menunjukkan
kualitas tanah yang baik.
Pencatatan absorban
Larutan hasil reaksi tanah dengan KMnO4 diambil pada bagian atas
sedalam 1 cm sebanyak 0.50 ml dengan pipet khusus, dimasukkan ke dalam
tabung sentrifuge yang lain dan ditambahkan air destilata sampai tanda tera 50 ml,
kemudian ditutup dan dikocok. Sebanyak 15 ml larutan yang encer ini dituang
pada colorimeter dengan baik, dan ditutup rapat, kemudian ditekan ‘read’. Nilai
absorban yang tercantum dari larutan sampel tersebut dicatat.
Penghitungan absorban
Peluruhan dari warna ungu (gelap) KMnO4 ke warna kuning (terang)
adalah sebanding dengan jumlah C teroksidasi dalam tanah tersebut. Dengan kata
lain, perubahan warna KMnO4 yang baik menunjukkan tingginya jumlah C
teroksidasi, dan dibuktikan dengan nilai absorban yang rendah. Jumlah C
teroksidasi dapat dihitung dengan asumsi yang dilakukan Blair et al. (1995)
dimana 1 mol MnO4 digunakan (reduksi dari Mn7+ ke Mn2+) pada proses oksidasi
0.75 mol (9000 mg) C, yaitu dengan model:
C aktif (mg kg-1) = [0.02 mol/ℓ – (a+b x absorban)] x (9000 mg karbon/mol) x (0.02 ℓ larutan/0.005 kg tanah)
Dimana 0.02 mol/ ℓ adalah konsentrasi larutan awal, a adalah intersep dan b adalah gradien kurva standar, 9000 adalah mg (0.75 mol) C teroksidasi oleh 1 mol
MnO4- yang berubah dari Mn7+ ke Mn2+, 0.02 ℓ adalah volume larutan KMnO4
yang direaksikan, dan 0.005 adalah kg tanah yang digunakan.
Sampel tanah yang sama dikirim ke laboratorium tanah Universitas
Missouri, Columbia untuk dianalisis kandungan C aktifnya menggunakan metode
C teroksidasi KMnO4 dan diukur absorbannya dengan spectrophotometer (Bosch
and Lomb 2500) yang di set pada 550 nm. Data yang diperoleh juga merupakan
sebagai bagian dari disertasi mahasiswa Departemen Ilmu Tanah Universitas
Missouri.
Kondisi lahan dan iklim
Data kondisi lahan digunakan untuk mengetahui karakteristik lahan
penelitian. Data yang diperlukan meliputi tipe tanah, bahaya erosi, topografi dan
kemiringan lereng, serta ketinggian setiap lokasi sampel. Sifat fisik, kimia,
maupun biologi juga diukur dengan menggunakan metode Soil Quality Test Kit
(USDA 1998) meliputi, kerapatan jenis, electrical conductivity (EC), pH, dan
Potensi erosi dapat diketahui dengan melihat gejala erosi (erosi alur dan
erosi parit), perubahan warna tanah yang memucat sebagai tanda adanya erosi
lembar, serta pemunculan tanah bawah (tanah induk) atau muncul akar tanaman.
Potensi erosi juga dapat dilihat dengan membandingkan elevasi muka tanah
sebelum dan sesudah pengamatan, sehingga ketinggian erosi dapat ditentukan.
Pengukuran besarnya erosi dilakukan dengan menampung tanah dan air
pada wadah khusus. Petak lahan dengan ukuran 1 x 1 m sekelilingnya dibatasi
dengan seng selebar kurang lebih 30 cm, bagian seng yang ditanam dalam tanah
sedalam 20 cm, sehingga yang diatas permukaan muka tanah setinggi 10 cm.
Salah satu sisi dibiarkan tidak dipasang seng dan diberi pengarah pada wadah
penampung. Jumlah tanah yang masuk ke dalam wadah tersebut diukur sebagai
variabel penghitungan potensi erosi yang terjadi.
Data iklim diperlukan untuk mengetahui keadaan iklim secara umum di
daerah penelitian. Data iklim yang diamati di lapangan yaitu curah hujan,
presipitasi, dan rata rata temperatur.
Analisis Data
Data kandungan C aktif dalam tanah dikalibrasi untuk mengetahui
sebarannya. Program statistik SPSS 11.5 digunakan untuk analisis data statistika
deskriptif, korelasi, regresi, dan uji t.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi umum manajemen
produksi yang dilakukan petani sekaligus untuk mengetahui sebaran data. Analisis
korelasi digunakan untuk mengetahui kuatnya tingkat keeratan hubungan antara
dua atau lebih variabel pengamatan. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui
hubungan sebab akibat antar variabel pengamatan.
Perbandingan metode penilaian kualitas tanah antara di lapang dengan di
laboratorium digunakan analisis regresi, korelasi, dilanjutkan pengujian
menggunakan uji t, perbandingan koefisien keragaman, dan perbandingan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Lokasi studi tersebar luas di sembilan desa di Kecamatan Nanggung
(06033’ - 06043’ S dan 106029’ - 106044’ E), berada pada ketinggian 286 - 1578 m dpl, dengan topografi perbukitan, beriklim tropika basah, dengan suhu rata - rata
per bulan 25.7 oC, kelembaban rata - rata per bulan 83%, dan jumlah curah hujan per tahun 3600 mm. Sebagian besar tanah di lokasi studi termasuk Ultisol dengan
pH bervariasi 3.9 - 6.4 dan KTK 15.3 - 33.8 meq 100g-1.
Tipe penggunaan lahan yang digunakan untuk studi adalah lahan dengan
vegetasi tanaman sayuran. Jumlah sampel sebanyak 45 tersebar di sembilan desa
di Kecamatan Nanggung yaitu Desa Hambaro, Kalong Liud, Pangkaljaya,
Bantarkaret, Sukaluyu, Parakan Muncang, Nanggung, Malasari, dan Curugbitung.
Peta sebaran sampel dapat dilihat pada Gambar 2. Desa Malasari merupakan satu
satunya desa di Kecamatan Nanggung yang berada di ketinggian diatas 1000 m
dpl. Aktifitas petani sayur di Desa Malasari sangat tinggi, berbeda dengan
aktifitas penduduk desa lain yang rata-rata sebagai petani padi atau pekebun
tanaman tahunan.
Gambar 2 Peta sebaran lokasi pengambilan sampel tanah di Kecamatan
Perbandingan Metode Pengukuran
Tujuan penting studi ini adalah membandingkan efektifitas metode
pengukuran C aktif yang dilakukan di lapang (C aktif-FIELD) dengan metode
pengukuran C aktif yang dilakukan di laboratorium (C aktif-LAB). Perbedaan
langkah pengerjaan kedua metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan metode pengukuran C aktif di lapang dan di laboratorium
Variabel Laboratorium Lapang
1. Pipet gelas berkualitas 1. Pipet plastik
D. Pengocokan larutan
Pengukuran di laboratorium dilakukan di Universitas Missouri
menggunakan perlengkapan laboratorium lengkap, canggih, mahal, dan
menghasilkan data yang akurat. Pengukuran di lapang membutuhkan
perlengkapan yang sedikit, murah, lebih simpel, dan lebih cepat mendapatkan
hasil pengamatan. Apabila hasil pengukuran C aktif yang di lapang tidak berbeda
nyata dengan di laboratorium, maka dapat disimpulkan keakuratan metode yang
dikerjakan di lapang tidak berbeda dengan yang dikerjakan di laboratorium.
regresi, kemudian diuji dengan uji t, perbandingan koefisien korelasi, dan
perbandingan koefisien keragaman.
Hasil analisis kandungan C aktif di beberapa desa di Kecamatan Nanggung
mempunyai sebaran yang luas antara 250 - 750 C mg kg-1.Sebaran yang luas ini digunakan untuk analisis korelasi dan regresi metode pengukuran C aktif. Hasil
analisis korelasi Pearson pada Tabel Lampiran 3 menunjukkan kedua metode
mempunyai hubungan yang signifikan pada taraf 5% (r = 0.99). Hasil analisis
regresi pada Gambar 3, didapat model Lab = 40.12 + 0.94 x field, dimana
sebanyak 98% keragaman hasil pengukuran C aktif yang dikerjakan di
laboratorium (C aktif-LAB) dapat dijelaskan dengan cara pengukuran C aktif
yang dikerjakan di lapang (C aktif-FIELD). Tingkat hubungan yang erat (r=0.99)
dan koefisien determinasi yang tinggi (R2=0.98) pada model tersebut merupakan salah satu indikator bahwa kedua metode tersebut mempunyai hasil pengukuran
yang tidak berbeda.
Pengujian Metode Pengukuran
Pengujian kesesuaian model regresi dapat dilakukan dengan uji t.
Pengujian ini dapat dijadikan sebagai gambaran ada atau tidaknya perbedaan hasil
pengukuran C aktif oleh kedua metode. Hasil uji t pada Tabel 2 menunjukkan
kedua metode pengukuran C aktif mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari
0.05, artinya tidak ada perbedaan metode yang signifikan antara pengukuran di
lapang dan di laboratorium pada taraf 5%.
Tabel 2 Uji t pada dua metode pengukuran C aktif
Metode N Rata rata Std. D t Sig.
C aktif-FIELD 45 486.78 130.86 24.9 1.324
C aktif-LAB 45 493.87 125.88 26.9 5.900
Pengujian kesesuaian model regresi juga dilakukan dengan cara
membandingkan koefisien keragaman (KK) kedua metode. Nilai koefisien
keragaman menunjukkan seberapa jauh keragaman data yang terdapat dalam
populasi. Kedua metode mempunyai nilai KK yang tidak jauh berbeda pada
variabel penambahan pupuk kandang sampai 10 ton ha-1 (Tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan koefisien keragaman pada dua metode pengukuran C aktif
Penambahan pupuk
kandang (ton ha-1)
C aktif-FIELD C aktif-LAB
Rata - rata KK Rata - rata KK
(mg kg-1) (%) (mg kg-1) (%) < 5 (ton ha-1) 318.3 10.6 341.5 10.1 5 – 10 (ton ha-1) 457.9 14.8 465.7 14.8 > 10 (ton ha-1) 626.4 9.1 628.8 8.1
Analisis perbandingan koefisien korelasi (r) juga dilakukan untuk melihat
ada atau tidaknya perbedaan kedua metode pengukuran C aktif. Koefisien
korelasi merupakan nilai yang menunjukkan tingkat keeratan hubungan linier
independen. Apabila hasil perbandingan nilai koefisien korelasi kedua metode
pengukuran C aktif tidak berbeda, maka dapat diartikan kedua metode tersebut
mempunyai tingkat keeratan hubungan linier yang tinggi dengan variable
independen yang diujikan. Nilai koefisien korelasi pada Tabel 4 menunjukkan
hasil perbandingan yang relatif tidak berbeda pada variabel independen bahan
organik, kerapatan jenis, P tersedia, dan N total.
Tabel 4 Perbandingan koefisien korelasi dua metode pengukuran C aktif
berdasarkan variabel analisis tanah
Berdasarkan analisis korelasi, analisis regresi, uji t, perbandingan koefisien
keragaman, dan perbandingan koefisien korelasi dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan pada penggunaan kedua metode tersebut.
Manajemen Produksi Tanaman Sayuran
Hasil survei menunjukkan sebanyak 84% lahan yang digunakan untuk
produksi sayur merupakan lahan tadah hujan dengan sistem pola tanam tahunan.
Secara umum topografi lahan sayur di Kecamatan Nanggung merupakan
perbukitan dengan kemiringan kurang dari 450, kecuali di Desa Hambaro, Kalongliud, dan Nanggung yang merupakan dataran rendah.
Luas kepemilikan lahan setiap petani di Kecamatan Nanggung rata-rata
3500 m2 dengan luas tanah yang bisa diolah secara intensif rata-rata 2500 m2. Jenis sayur yang sering dibudidayakan oleh petani yaitu; sawi, bawang daun,
buncis, cabai, terong, tomat, katuk, jagung, kacang panjang, timun, dan kubis.
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar petani sayur di Kecamatan
Nanggung melakukan manajemen produksi olah tanah minimal dengan cangkul,
garpu, dan kored. Penggunaan mesin pertanian untuk olah tanah intensif di lahan
berupa lahan terbuka dengan tipe penanaman monokultur dan tumpangsari,
sedangkan lahan agroforestri hanya di beberapa lokasi. Tipe lahan agroforestri
yang sering dijumpai sebagai lahan tanaman sayur adalah lahan agroforestri
dengan tutupan ringan sampai sedang. Persentase kelompok manajemen produksi
yang dilakukan petani di Kecamatan Nanggung dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Kelompok manajemen produksi sayur yang dilakukan petani di
Kecamatan Nanggung
Manajemen Produksi Petani (%) (n=45)
1. Intensitas olah tanah a. Minimal 53.3
b. Intensif 46.7
2. Tipe lahan a. Agroforestri 22.2
b. Monokultur 77.8
3. Penambahan kompos a. Tanpa kompos 80
b. Kompos 20
4. Penambahan pupuk sintetis
a. Tanpa pupuk sintetis 15.6
b. Pupuk sintetis 84.4
Kecamatan Nanggung. Sebagian besar petani menyatakan pupuk kandang yang
ditambahkan rata-rata 1 karung untuk setiap 20 m2, sehingga apabila berat setiap karung ±20 kg, maka hasil konversi jumlah pupuk kandang yang ditambahkan
petani sebanyak 5-10 ton ha-1.
Manajemen produksi lain yang dilakukan petani adalah penambahan
pupuk kimia sintetis. Hampir semua petani menambahkan pupuk kimia sintetis,
akan tetapi teknik aplikasi pemupukan dan dosis yang digunakan kurang tepat.
Petani hanya menaburkan sejumlah pupuk di sekeliling tanaman tanpa dihitung
jumlahnya dan tanpa ditutup tanah, hal ini dapat berdampak tidak efisiennya
kegiatan pemupukan tersebut. Pupuk yang tidak ditutup tanah akan cepat sekali
Penambahan kompos ke lahan jarang dilakukan petani. Hasil wawancara
didapat informasi bahwa sebaian besar petani mengetahui mekanisme pembuatan
dan fungsi kompos, akan tetapi sedikit yang menerapkan teknologi pengomposan
tersebut.
Penilaian Kualitas Tanah
Penilaian kualitas tanah secara kualitatif dapat dilakukan dengan metode
perbandingan warna larutan. Perubahan warna larutan KMnO4 ketika direaksikan
dengan tanah menunjukkan telah terjadi reaksi oksidasi antara KMnO4 dengan
fraksi C aktif sebagai bahan penyusun bahan organik. Oksidasi yang tinggi
menyebabkan peluruhan warna larutan dari ungu gelap menjadi merah muda
terang. Islam (2008) mengklasifikasikan kelas kualitas tanah berdasarkan
perbedaan warna larutan. Setiap warna mempunyai skala pengukuran bahan
organik, apabila diasumsikan kandungan C aktif dalam bahan organik sebanyak
58% dan bobot tanah per hektar 2.106 kg, maka hasil konversi pengukuran C aktif diperoleh skala pengukuran sesuai Tabel 6.
Tabel 6 Kelas kualitas tanah berdasarkan warna larutan KMnO4
Indikator Kelas Kualitas Tanah
Sangat jelek Jelek Bagus Sangat bagus
Warna larutan Ungu tua Ungu muda Ungu merah Merah muda
C aktif (mg kg-1) < 130 130 - 260 260 - 520 > 520
Hasil studi ini dapat diketahui secara umum sebaran kelas kualitas tanah di
Kecamatan Nanggung. Setiap petani menerapkan manajemen produksi yang
berbeda, hal ini menyebabkan data yang diperoleh tidak secara tepat mewakili
kelompok manajemen produksi tersebut, sehingga penentuan kelas kualitas tanah
berdasarkan dampak manajemen produksi sangat sulit dilakukan. Kelas kualitas
tanah setiap lokasi disajikan di Tabel Lampiran 1.
Hasil reaksi sampel tanah yang diambil dari Desa Malasari secara umum
berwarna merah muda sampai berwarna keruh air, apabila diinterpretasikan pada
skala kelas kualitas tanah, maka sampel tanah Desa Malasari memiliki kelas
sampel secara kuantitatif bertujuan untuk mengukur kandungan C aktif dalam
tanah tersebut.
Tabel 7 Interpretasi kelas kualitas tanah berdasarkan desa, ketinggian, dan jenis
tanaman
Pangkaljaya 326 313 jagung, kc panjang bagus
P Muncang 337 385 cabai, jagung, kc panjang bagus
Nanggung 477 358 buncis, cabai, jagung,
terong, timun, tomat bagus
dalam tanah tersebut. Ketersedian bahan organik dalam tanah dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti jenis komoditi tanaman sayuran, manajemen pengelolaan
lahan, kelembaban, oksigen, pH tanah, hara, vegetasi, bahan induk tanah, dan
topografi.
Jenis komoditi tanaman sayuran berpengaruh terhadap manajemen
pengolahan lahan. Tanaman sayuran daun dan bawang memerlukan pengolahan
lahan lebih intensif dibanding tanaman sayuran buah atau polong. Produksi
sayuran yang intensif mempunyai kecenderungan input pupuk kandang yang
tinggi, hal ini menyebabkan hasil analisis kandungan bahan organik dalam tanah
tinggi, akan tetapi intensitas pengelolaan lahan yang tinggi dapat berdampak
Manajemen produksi tanaman yang tepat untuk mengurangi kehilangan
bahan organik adalah dengan mengatur pola dan rotasi tanam. Pola tumpangsari
maupun agroforestri mampu menahan laju kehilangan bahan organik tanah,
sedangkan rotasi tanam yang tepat mampu mengoptimalkan kembali sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Jenis komoditi tanaman sayuran yang sering ditanam
petani di setiap lokasi disajikan di Tabel Lampiran 1.
Manajemen pengelolaan lahan yang mampu menahan hilangnya bahan
organik tanah adalah dengan mengurangi potensi erosi (Liebig et al. 1996).
Langkah ini dapat dilakukan dengan membuat bedengan berlawanan arah dengan
aliran air, tidak melakukan aktifitas produksi sayuran di lahan dengan tingkat
topografi curam, pemakaian mulsa pada setiap bedeng, penanaman tanaman
penutup tanah, serta penanaman tanaman penahan bedeng di sisi kanan dan kiri
bedeng.
Tingginya kandungan bahan organik dalam tanah juga dipengaruhi oleh
meningkatnya laju dekomposisi bahan organik secara aerob oleh mikroba tanah.
Aktifitas mikroba tanah akan meningkat pada kondisi tanah lembab, tanah tidak
tergenang air (aerob), suhu tinggi, serta tersedianya hara N dalam tanah.
Tingginya kandungan bahan organik juga ditentukan oleh jenis tanahnya. Tanah
liat akan mampu mengikat bahan organik lebih stabil dibanding tanah berpasir.
Kondisi lingkungan daerah Nanggung yang beriklim tropika basah serta intensitas
petir yang tinggi sebagai sumber N udara sangat memungkinkan terjadinya
aktifitas dekomposisi bahan organik yang tinggi. Data pengamatan iklim disajikan
di Tabel Lampiran 2.
Penelitian ini juga mendapatkan hubungan antara kandungan bahan
organik dengan ketinggian lokasi (Gambar 4). Terdapat kecenderungan data
bahwa semakin tinggi lokasi, maka aktifitas pertanian tanaman sayuran semakin
meningkat. Kondisi ini kemudian diimbangi dengan penambahan pupuk kandang,
sehingga kandungan bahan organik meningkat, hal ini ditunjukkan oleh nilai C
aktif yang tinggi.
Hubungan antara kandungan C aktif tanah dengan karakteristik sifat tanah
yang lain disajikan pada Tabel Lampiran 3. Hasil analisis korelasi Pearson
total, N total, dan ketinggian, sedangkan hubungan negatif terjadi antara C aktif
dengan kerapatan jenis.
Gambar 4 Hubungan ketinggian lokasi dengan peningkatan C aktif.
Menurut Weil et al. (2003) fraksi C aktif atau C organik terdiri atas
biomasa mikrobia, karbohidrat mudah larut, respirasi basal, dan respirasi substrat.
Hubungan yang positif antara fraksi C aktif dengan C total menunjukkan
keterkaitan bahwa fraksi C aktif merupakan salah satu penyusun C total.
Komponen penyusun C total lain berasal dari C anorganik.
Hubungan negatif antara C aktif dengan kerapatan jenis menunjukkan
bahwa semakin halus partikel tanah maka kandungan bahan organik dalam tanah
meningkat, hal ini ditunjukkan oleh nilai C aktif yang tinggi. Manajemen
pengolahan lahan yang mampu mengupayakan partikel tanah menjadi lebih halus
mempunyai peran dalam peningkatan proses dekomposisi bahan organik.
Manajemen pengolahan lahan tersebut perlu diimbangi dengan mekanisme
pengendalian dalam mengurangi dampak erosi yang ditimbulkan.
Penelitian survei ini tidak mengumpulkan data hasil produksi sayuran,
sehingga indikator kesuburan berupa data C/N rasio tanah. Tidak ada korelasi
(1994) C/N rasio tanah berada dalam keadaan konstan pada kisaran nilai 10-12.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata rata C/N rasio 9.6, sedangkan
kandungan C aktif terus meningkat, artinya fraksi C aktif terus mengalami proses
dekomposisi dan mineralisasi sampai tahap keseimbangan. Oleh karena itu dalam
manajemen produksi sayur penambahan bahan organik harus diikuti penambahan
N, selain itu juga perlu memperhatikan kandungan C/N rasio bahan organik yang
ditambahkan.
Persepsi Petani terhadap Penilaian Kualitas Tanah
Hasil wawancara dapat diperoleh informasi tentang pengetahuan dan
tingkat pendidikan yang diraih petani. Sebanyak 82% petani berpendidikan di
level sekolah dasar, sehingga pengetahuan dasar tentang kualitas tanah masih
sangat minim. Persepsi petani terhadap metode dan penilaian kualitas tanah dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Persepsi petani terhadap penilaian kualitas tanah
Pertanyaan yang
2. Warna tanah hitam / gelap 3. Mempengaruhi produksi tanaman
4. Terjaga konservasi tanah, tingkat erosi rendah
Definisi kualitas tanah yang baik menurut petani adalah tanah yang subur
dan berwarna hitam atau gelap, selain itu tanah yang baik akan menghasilkan
hasil panen yang tinggi. Salah satu petani mengatakan bahwa kualitas tanah yang
baik juga disebabkan cara mengelola lahan dilakukan dengan baik, tidak
menyebabkan erosi dan selalu menjaga keseimbangan lingkungan sehingga
konservasi tetap terjaga. Karakteristik kualitas tanah dilihat dari warna tanah,
apabila warna tanah gelap maka tanah tersebut mempunyai kualitas tanah yang
bagus. Tekstur tanah yang gembur juga merupakan karakteristik tanah yang baik.
Sebanyak 51.1% petani tidak pernah melakukan perbaikan tanah selama
10 tahun terakhir. Sangat sedikit petani yang mengetahui teknik untuk
memperbaiki kualitas tanah di lahannya, sebagian besar hanya menambah pupuk
kandang sebelum penanaman. Perbaikan kualitas tanah dapat dilakukan dengan
cara meminimalkan olah tanah, penanaman tanaman penutup tanah, rotasi
tanaman yang baik, membuat lajur bedengan sesuai konservasi, mengurangi
dampak bahan kimia sintetis, menambahkan limbah tanaman pada lahan sebagai
kompos.
Harapan petani terhadap metode penilaian kualitas tanah adalah: 1)Tidak
hanya petugas PPL, tapi petani juga harus bisa menggunakan alat; 2) Harga
murah; 3) Bahan & alat mudah didapat; 4) Hasil mudah dimengerti; 5) Hasil
penilaian cepat diketahui; 6) Bertujuan untuk memberi rekomendasi; 7) Petani
perlu pelatihan untuk menggunakan alat; 8) Bahasa Indonesia / Sunda bisa
dimengerti petani; 9) Baik petani laki laki / perempuan berhak untuk belajar
penilaian kualitas tanah.
Pengetahuan tentang konsep kualitas tanah, cara memperbaiki kualitas
tanah, jenis manajemen produksi yang dapat menurunkan kualitas tanah, dan cara
menjaga perputaran rantai karbon belum sepenuhnya diketahui oleh petani,
sehingga penyampaian informasi terkait kualitas tanah dapat dilakukan oleh
KESIMPULAN
Indikator penilaian kualitas tanah yang paling mudah dilakukan dan
mewakili indikator kualitas tanah lain adalah dengan mengetahui kandungan C
aktif tanah. Keakuratan data metode analisis karbon teroksidasi KMnO4 yang
dilakukan di lapang tidak berbeda dengan metode yang dilakukan di lab yang
mempunyai alat lebih advance (r=0.99, R2=0.98). Metode tersebut juga mampu menginterpretasi peluruhan warna larutan sebagai indikator kelas kualitas tanah,
sehingga penilaian kualitas tanah dapat dilakukan secara cepat di lapang.
Manajemen produksi tanaman sayuran yang meningkatkan kualitas tanah
adalah manajemen pengelolaan lahan yang mampu mempertahankan dan
meningkatkan ketersediaan bahan organik dalam, dan berimplikasi pada
DAFTAR PUSTAKA
Addiscott TM. 2000. Tillage, mineralization and leaching. Soil Till Rec 53:163 -
165.
Alimi T, Ajewole OC, Olubode-Awosola OO, Idowu EO. 2006. Economic
rationale of commercial organic fertilizer technology in vegetable
production in Osun State of Nigeria. J App Hort 8(2): 159-164
Andrews SS et al. 2002. On-farm assessment of soil quality in California's central
valley. Agron J 94:12-23
Andrews SS, Karlen DL, Cambardella CA. 2004. The soil management
assessment framework: a quantitative soil quality evaluation method. Soil
Sci Soc Am J 68:1945-1962.
Blair GJ et al. 1998. Soil carbon change resulting from sugarcane trash
management at two locations in Queensland, Australia and in North-East
Brazil. Aus J Soil Re 36: 871 – 881.
Blair GJ et al. 2001. The development of the KMnO4 oxidation technique to
determine labile carbon in soil and its use in a carbon management index. Di
dalam: Assessment Methods for Soil Carbon. Lewis Publishers, Boca Raton,
FL. hlm 23-337.
Brejda J J, Karlen DL, Smith JL, Allan DL. 2000. Identification of regional soil
quality factors and indicators in Northern Mississippi loess hills and Palouse
prairie. Soil Sci Soc Am J 64:2125-2135.
Carter MR. 2002. Soil quality for sustainable land management organic matter
and aggregation interactions that maintain soil functions. Agron J 94:38-47.
Cerri CC, Volkoff B, Andreaux F. 1991. Nature and behavior of organic matter in
soils under natural forest, and after deforestation, burning and cultivation,
near Manaus. For Ecol Man 38:247 – 257.
Doran JW, Parkin TB. 1994. Defining and assessing soil quality. Di dalam: