• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik interpolasi sediaan tegakan berbasis IHMB pada hutan lahan kering PT Inhutani I Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik interpolasi sediaan tegakan berbasis IHMB pada hutan lahan kering PT Inhutani I Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam merupakan kekayaan Negara yang harus dikelola secara bijaksana guna kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan hutan harus dilaksanakan secara baik melalui perencanaan yang cermat, rasional dan terarah. Pengelolaan hutan yang baik membutuhkan adanya data dan informasi yang memadai (handal, akurat, dibutuhkan, standar, tidak berbias dan dapat diakses). Untuk keperluaan data informasi tersebut maka diperlukan suatu kegiatan inventarisasi hutan.

Inventariasasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik-karakteristik areal tempat tumbuhnya. Suatu inventarisasi yang lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan serta kepemilikannya, penaksiran volume pohon-pohon yang masih berdiri, penaksiran riap dan pengeluaran hasil (Husch 1987).

Secara umum inventarisasi hutan didefinisikan sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan serbaguna. Inventarisasi hutan dilakukan untuk mengetahui kondisi biofisik sumberdaya hutan baik yang berupa flora, fauna maupun keadaan fisik lapangan, serta kondisi social ekonomi dari areal atau kawasan hutan yang diinventarisasi.

(2)

Jenis informasi yang akan dikumpulkan dalam suatu inventore hutan tergantung pada tujuan. Tingkat kecermatan masing-masing informasi juga bervariasi sesuai dengan peranan informasi tersebut dalam tujuan pengelolaan hutan ini.

Tujuan utama inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan datan tentang areal berhutan dan komposisi tegakannya. Kegiatan inventarisasi hutan dapat dilaksanakan dengan penginderaan jauh, pengamatan langsung di lapangan atau gabungan keduanya (Simon 1993).

Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) merupakan kegiatan inventarisasi hutan berkala sepuluh tahunan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi pengelolaan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang mempunyai maksud sebagai panduan dasar bagi pengelola unit manajemen tingkat tapak (KPH dan IUPHHK) dalam melaksanakan kegiatan inventarisasi hutan menyeluruh berkala pada areal unit pengelolaan dan areal IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) sepuluh tahunan. Sedangkan tujuan kegiatan IHMB ini adalah:

1. untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock) secara berkala,

2. sebagai bahan penyusunan RKUPHHK-HA dan atau RKUPHHK-HT,

3. sebagai bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian tegakan tinggal di areal KPH dan atau IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT,

4. sebagai dasar penyusunan proposal teknis permohonan IUPHHK (Peraturan Menteri Kehutanan No. 34 tahun 2007)

(3)

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/Menhut-II/2009 Tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi, sediaan tegakan pada lokasi-lokasi yang tidak terwakili oleh plot contoh diprediksi menggunakan metode interpolasi.

Menurut Webster dan Oliver (2007) dalam Primatika (2011), interpolasi spasial adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia dan metode ini mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang dan atribut ini saling berhubungan secara spasial. Teknik interpolasi yang digunakan, antara lain metode interpolasi IDW (Inverse Distance Weight), Spline dan Kriging. Pendugaan sediaan tegakan pada wilayah-wilayah yang tidak diwakili plot dilakukan dengan pendekatan interpolasi spasial. Pengujian teknik interpolasi pada IHMB belum banyak dilakukan terutama untuk beberapa jenis tegakan hutan. Beberapa peneliti sudah melakukan pengujian metode interpolasi ini, namun dalam kasus yang berbeda seperti Pramono (2008) yang pernah melakukan pengujian akurasi metode IDW dan Kriging untuk interpolasi sebaran sedimen tersuspensi di Sulawesi Selatan. Primatika (2011) melakukan pendugaan dengan metode Kriging (Circular Kriging) dalam pengaruh arah sirkular terhadap laju deformasi. Selain itu, Naoum

and Tsanis (2002) melakukan kajian Dasar SIG (Sistem Informasi Geografis) dalam membangun Decision Support System (DSS) dengan menguji beberapa teknik interpolasi. Metode yang direkomendasikan pada pelaksanaan IHMB adalah metode IDW. Namun demikian, beberapa IHMB ada yang menggunakan metode interpolasi Spline dan Kriging. Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian teknik interpolasi sediaan tegakan hutan berbasis IHMB di Kalimatan Timur.

(4)

(regularly spaced). Dalam IHMB ini, titik tersebut adalah realisasi lokasi dari titik-titik pusat plot pengamatan.

Salah satu teknik interpolasi yang digunakan adalah metode IDW (Inverse Distance Weight) atau Invers Jarak Tertimbang dengan nilai pangkat 2. Metode

IDW belum banyak diuji sampai bobot (power) yang tinggi. Oleh karena itu, kajian terhadap beberapa metode interpolasi ini perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat keakuratannya untuk menghasilkan dugaan sediaan yang menghasilkan kesalahan yang relatif rendah.

Metode interpolasi yang digunakan umumnya membuat suatu asumsi tentang bagaimana menentukan estimasi terbaik. Apapun metode yang digunakan, hasil yang lebih reliable (handal) selalu akan diperoleh dari input titik-titik yang lebih rapat dengan distribusi yang lebih menyebar. Setiap metode ini akan memberikan hasil interpolasi yang berbeda. Akan menjadi mudah dan bermanfaat bagi pengguna berikutnya apabila ada kajian tentang perbandingan hasil interpolasi dengan metode yang berbeda sehingga metode yang tepat dapat dipilih.

1.2 Permasalahan

Secara umum, teknik interpolasi yang digunakan adalah metode IDW (Inverse Distance Weight) atau Invers Jarak Tertimbang dengan nilai pangkat 2. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dikaji dalam rangka aplikasi metode ini, antara lain:

1. Benarkah metode IDW ini paling sesuai untuk interpolasi IHMB dibandingkan dengan metode lain (Spline dan Kriging)?

2. Berapakah nilai bobot yang paling optimal?

3. Seberapa besar keakuratan masing-masing metode tersebut?

(5)

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi metode interpolasi yang terbaik digunakan untuk menduga sediaan tegakan berbasis IHMB pada hutan lahan kering di PT Inhutani I Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Bagi penulis sebagai panduan dalam melaksanakan penelitian untuk bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(6)

BAB II

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2011 sampai dengan Januari 2012 di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Data, Software, dan Hardware

a). Data IHMB

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data hasil IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala) di PT Inhutani I UMH Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Jumlah plot yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Data hasil IHMB di PT. Inhutani I UMH Labanan

No Jenis Jumlah plot Total

Plot model Plot validasi

1 Kayu Lindung 126 125 251

2 Kayu Meranti 544 543 1087

3 Kayu Rimba 500 494 994

4 Kayu Indah 376 353 729 Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

(7)

Gambar 1 Peta sebaran plot model dan plot validasi kayu indah.

(8)

Gambar 3 Peta sebaran plot model dan plot validasi kayu meranti.

(9)

b). Software

Software yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah

seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcView 3.3 (Extension berbasis IHMB dan Kriging Interpolator 3.2), dan MS Excel.

c). Hardware

Hardware yang digunakan adalah seperangkat komputer ( 2 buah) dan PC

(Portable Computer), dan printer.

2.3 Metode Interpolasi

Interpolasi spasial adalah suatu teknik untuk menghitung nilai antara di antar dua titik atau lebih titik yang secara spasial berdekatan. Metode interpolasi permukaan umumnya dilakukan dengan 2 metode: Inverse Distance Weight (IDW), Spline, dan Kriging.

Dalam interpolasi dengan menggunakan metode IDW, terdapat dua parameter yang bisa dipelajari yaitu power dan jumlah sampel. Pada penelitian ini hanya dipelajari parameter power. Metode Spline memiliki dua parameter juga, yaitu regularized dan tension. Namun dalam penelitian ini hanya akan dikaji parameter regularized . Sedangkan pada metode Kriging hanya akan dipelajari parameter dari Ordinary Kriging saja. Hasil interpolasi dari ketiga metode tersebut ditransformasi menjadi isoline yang selanjutnya ditransformasi menjadi polygon .

Selain itu pada metode Kriging ditunjukkan beberapa bentuk semivariogram berdasarkan bobot yang terbaik pada masing-masing jenis kayu. Semivariogram ini merupakan proses awal ketika melakukan interpolasi menggunakan metode Kriging. Semivariogram akan menampilkan nilai aktual dan nilai prediksi dari

bobot (method) yang dipilih.

1. Metode IDW

(10)

pengaruh lokalnya akan berkurang dengan bertambahnya jarak. Bobot dari titik-titik yang lebih dekat dari titik-titik yang diproses lebih besar dari yang jaraknya lebih jauh. Oleh karena itu, sejumlah piksel (titik) tertentu atau semua titik dalam radius tertentu dapat digunakan untuk menentukan nilai outputnya.

(a) (b) Gambar 5 Ilustrasi metode interpolasi IDW.

Metode interpolasi dengan Jarak Terbalik Tertimbang adalah metode interpolasi dimana nilai sel yang dihitung berdasarkan kombinasi linear tertimbang dari suatu set titik. Besarnya bobot merupakan fungsi dari besarnya nilai kebalikan jarak. Permukaan yang akan diinterpolasi sebaiknya merupakan suatu variabel yang sangat bergantung pada lokasi. Pilihan dari besarnya nilai ”pangkat” dari IDW menyebabkan kita bisa mengendalikan signifikansi dari titik yang akan diinterpolasi. Hal itu mampu mengendalikan signifikansi dari titik-titik yang diketahui pada nilai interpolasi, berdasarkan jarak dari output.

Dengan mendefinisikan nilai pangkat yang lebih tinggi, penekanan lebih diberikan pada titik-titik yang lebih dekat, sehingga nilai yang lebih dekat memberikan pengaruh yang lebih besar, serta bentuk permukaan menjadi lebih detail (mendekati halus). Jika nilai pangkat semakin besar, maka nilai hasil interpolasi mulai mendekati nilai-nilai dengan jarak yang terdekat. Dengan kata lain, jika nilai pangkatnya semakin rendah maka akan menghasilkan pengaruh sedikit dibandingkan pengaruh yang lebih tinggi terhadap titik-titik yang lokasinya lebih jauh. Oleh karena rumus IDW tidak terkait dengan proses fisik yang riil, maka tidak ada untuk menentukan nilai pangkat yang terlalu besar.

(11)

Secara umum, pangkat dengan nilai 30 merupakan nilai yang sangat besar dan sering menjadi pertanyaan besar (Jaya 2010).

Pangkat (power) yang digunakan dalam IDW akan mengatur signifikasi pengaruh dari titik-titik yang ada di sekitar. Dengan pangkat yang lebih tinggi maka akan menghasilkan pengaruh jarak ke titik di sekitarnya lebih rendah. Masing-masing titik pada barrier thema garis input digunakan sebagai batas yang membatasi pencarian titik-titik input contoh. Dengan metode IDW, beberapa pilihan yang harus dilakukan adalah menggunakan:

a. Interpolasi Tetangga Terdekat (Nearest Neighbors/NN), dimana harus memilih sejumlah input titik di sekitarnya (number of neighbours/input points); dan

b. Radius Tetap (Fixed Radius/FR), yaitu radius pencarian point. Tetapkan berapa pangkatnya (power) dan barriernya.

Secara matematis rumus IDW disajikan pada persamaan (1):

                   n i i n i i i D D Z Z 1 2 1 2 1 1 Keterangan:

Z = nilai sediaan pada lokasi tertentu Zi = nilai sediaan tegakan ke-i

Di = jarak ke-i 2. Metode Spline

Metode atau Interpolator spline adalah metode dengan tujuan umum untuk meminimumkan lekukan-lekukan (patahan) permukaan yang melewati titik-titik input. Konsepsinya dari metode Spline ini adalah seperti menekuk-nekuk karet untuk melewati suatu titik sekaligus meminimalkan jumlah patahan dari permukaan. Metode ini cocok dengan fungsi matematis terhadap sejumlah input titik ketika melewati seluruh titik-titik contoh. Untuk interpolasi data IHMB, metode Spline ini tidak diajurkan mengingat hasil interpolasinya bisa berada di luar nilai-nilai sediaan tegakannya. Hal yang paling mencolok, metode ini dapat menghasilkan nilai sediaan yang negatif. Metode ini sangat cocok untuk

(12)

permukaan yang topografinya bergelombang seperti permukaan air tanah, ketinggian dan atau konsentrasi polusi yang perubahan spasialnya sangat halus. Ini sangat tidak cocok untuk ada perubahan yang besar dalam suatu permukaan untuk jarak yang pendek, karena hasilnya akan dapat melampaui nilai estimasi. Metode Spline ini dapat menggunakan pendekatan yaitu:

a) Metode tertatur (Regularized method) akan menghasilkan permukaan yang halus (smooth surface). Dengan pendekatan ini harus menetapkan bobot parameter yang mendefinisikan bobot dari turunan ketiga dari suatu permukaan dalam expresi untuk minimasi lekukan.

b) Metode tensi (Tension method), yang akan mengatur tingkat kekasaran/kekakuan permukaan sesuai dengan karakter dari fenomena yang dimodelkan. Jika memilih pendekatan ini, maka parameter weight menyatakan bobot tensi. Jumlah dari parameter titik mengidentifikasi jumlah titik per region yang digunakan untuk aproksimasi lokal. Metode tension ini akan mengatasi kekakuan interpolasi permukaan sesuai dengan

karakter dari fenomena yang dimodelkan (Jaya et al. 2010). Secara umum metode Spline disajikan pada persamaan (2):

) ( ) , ( ) , ( rj N i j y x y

x

T

j

R

S

Keterangan: j = 1,2,…..,N N = jumlah titik

j

 = koefisien yang ditemukan dari suatu sistem pada persamaan linier rj = jarak dari titik (x,y) ke j

T(x,y) dan R (r) didefinisikan secara terpisah, tergantung pada opsi pilihan: Untuk pilihan REGULARIZED:

y

a

x

a

a

T

(x,y)

1

2

3

Untuk TENSION:

1

) ,

( a

Tx y

13 ………..(2)

……….(3)

(13)

3. Metode Kriging

Menurut Primatika (2011), metode Kriging merupakan interpolasi suatu nilai peubah pada suatu titik (lokasi) tertentu yang dilakukan dengan mengamati data yang sejenis di lokasi lainnya. Metode ini menghasilkan dugaan yang bersifat tak bias linier terbaik (Best Linier Unbiased Estimator). Metode interpolasi untuk pendugaaan dalam geostatistika yang disebut sebagai Kriging , didasarkan atas struktur spasial dari data yang dimodelkan oleh variogram (Wackernagel 1998 dalam Tiryana 2005). Pada dasarnya, suatu metode Kriging akan menentukan pembobot (weights) untuk nilai-nilai pengamatan yang kemudian digunakan untuk memprediksi nilai dugaan pada lokasi-lokasi yang tidak diambil sampelnya, serta meminimumkan sisaan dan menghasilkan nilai-nilai dugaan yang tidak berbias (Watson et al. 2001).

Salah satu metode Kriging yang umum digunakan adalah Ordinary Kriging, dimana nilai dugaan pada lokasi x (dinotasikan sebagai Z(x)) diduga dari nilai pengamatan (xi) disekitarnya dengan pembobot (αi) melalui persamaan (5). Pada penelitian ini metode Ordinary Kriging digunakan karena dapat menghasilkan beberapa bentuk semivariogram yang berbeda dibandingkan dengan metode Kriging lainnya. Semivariogram ini nantinya berguna dalam menentukan dan

memilih dialog yang terbaik berdasarkan informasi dari masing-masing semivariogram. Selain itu tidak ada trend dalam data dan tidak ada pengaruh lokal, seperti tinggi. Artinya metode ini hanya dipengaruhi oleh faktor jarak.

(

)

)

(

Z

xi

Z

x

i

Keterangan: ∑αi =1

Z(x) = nilai dugaan pada lokasi x

Xi = nilai pengamatan

αi = pembobot

Ordinary Kriging yaitu metode Kriging yang digunakan jika data memenuhi

(14)

(Cressie 1993 dalam Primatika 2011). Pertimbangan terpenting dalam Kriging adalah metode ini memberikan bobot yang lebih besar pada titik contoh dengan jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan titik contoh dengan jarak lebih jauh (Khoerudin 2010 dalam Primatika 2011).

Ukuran keragaman spasial antar titik contoh dapat ditunjukkan oleh semivarian yang besarnya bergantung pada jarak antar titik (Khoerudin 2010 dalam Primatika 2011). Jarak antar titik contoh yang kecil akan menghasilkan semivarian yang kecil dan semakin besar jarak antar titik contoh akan menghasilkan semivarian yang semakin besar. Konsep jarak yang digunakan adalah jarak euclide. Plot semivarian sebagai fungsi jarak disebut variogram. Semivariogram berfungsi untuk menggambarkan dan memodelkan korelasi spasial antar data.

Adapun metode-metode Kriging lainnya, seperti Universal Kriging dan Kriging with External Drift, merupakan perluasan dari Kriging (Tiryana 2005).

2.4 Metode Penelitian 2.4.1 Pengumpulan Data

Pada tahap ini, dilakukan studi pustaka tentang penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara tidak langsung (sekunder). Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengambil data sekunder yaitu berupa data kondisi umum lokasi penelitian antara lain :

a. Letak dan luas areal b. Fungsi hutan

c. Iklim

d. Topologi dan Kelerengan e. Geologi

f. Tanah g. Hidrologi

h. Kondisi Vegetasi i. Aksesbilitas

(15)

Selain data kondisi umum lokasi penelitian juga dilakukan pengumpulan atribut data hasil IHMB {urut, blok, idplot, easting, northing, N (jumlah), No RG, tinggi, slope (U;T;S;B), fisiografi, tapak, tekstur, bekas tebang, tutupan lahan, idpohon, no pohon, jumlah jenis, kelompok jenis, diameter pohon, kualitas tajuk, cacat batang, kerusakan batang, x pohon, y pohon, jarak x, jarak y, tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter tajuk, volume dan kondisi}.

2.4.2 Pengolahan Data

2.4.2.1Perhitungan Volume per Hektar

Volume per hektar dihitung berdasarkan volume per plot dalam atribut data hasil IHMB yang dibagi dengan luasan plot masing-masing. Untuk kelas dbh 10-19 memiliki luas plot sebesar 0,01 ha, kelas dbh 20-29 sebesar 0,04 ha, kelas dbh 30-39; 40-49; 50-59; dan kelas dbh 60 ke atas sebesar 0,25 ha. Berdasarkan volume per hektar dari masing-masing kelas, dibagi lagi menjadi 2 kelas dbh utama yaitu kelas dbh >10 cm dan kelas dbh >40 cm. Perhitungan Volume per hektar dilakukan dengan bantuan ekstension IHMB pada software ArcView 3.3.

2.4.2.2Pemilihan Data Contoh

Kajian interpolasi ini dilakukan menggunakan data sampel IHMB sebanyak 4 jenis pohon, yaitu kayu indah, kayu lindung, kayu meranti, dan kayu rimba. Data yang diolah untuk jenis kayu indah sebanyak 729 plot, kayu lindung sebanyak 251 plot, kayu meranti sebanyak 1087 plot, dan kayu rimba sebanyak 994 plot. Untuk kajian ini data tersebut kemudian dibagi menjadi 2 kelompok secara berselang-seling, yaitu setengah plot digunakan untuk membangun model dan setengahnya lagi untuk validasi model. Data yang dikaji adalah volume sediaan tegakan keempat jenis pohon dengan dbh 10 cm atau lebih dan 40 cm atau lebih.

2.4.2.3Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)

(16)

Interpolator 3.2) guna menghasilkan estimasi penyebaran potensi volume per

petak.

a. Pembuatan Isoline Sediaan Tegakan

Secara umum, isoline dapat dibangun dengan beberapa macam teknik interpolasi, yaitu metode Inverse Distance Weight (IDW), metode Spline dan metode Kriging. Untuk penelitian ini, metode IDW yang dikaji menggunakan metode “nearest neighbors” dengan berbagai tingkat power (power 1 sampai 30), jumlah titik 12 dan ukuran sel 30 m. Metode Spline yang dikaji menggunakan metode “regularized” dengan berbagai tingkat weight (0,1; 0,3; 0,5; 1; 2; 3; 4 dan 5), jumlah titik 12 dan ukuran sel 30 m (Tabel 2). Sedangkan metode Kriging dikaji menggunakan metode “Ordinary Kriging” dengan berbagai tingkat method (Circular, Exponential, Gaussian, Linier with Sill dan Spherical), lag interval 30 m, search distance 50 m dan ukuran sel 30 m (Tabel 3).

Tabel 2 Variasi bobot pada metode interpolasi IDW dan Spline yang digunakan

No Tehnik

Interpolasi

Metode Bobot Jumlah

Titik

Ukuran Sel (m) 1 IDW Nearest

Neigbors

1,2,3…, 30 12 30

2 Spline Regularized 0,1 0,3 0,5 1 2 3 4 5

12 30

Tabel 3 Variasi bobot pada metode interpolasi Kriging yang digunakan No Tehnik

Interpolasi Type Kriging Lag Interval (m)

Method Radius Type

Search Distance

(m) 1 Kriging Ordinary

Kriging

30 Circular Exponential Gaussian Linier with sill Spherical

(17)

b. Pembangunan TIN Sediaan Tegakan

Untuk mendapatkan sediaan tegakan yang mencakup semua lokasi termasuk yang tidak terwakili oleh sampel titik IHMB, maka perlu dilakukan proses pengolahan untuk mengubah fitur garis hasil interpolasi menjadi fitur polygon. Proses ini dapat dilakukan menggunakan metode Triangulated Irreguler Network yang dikenal dengan TIN. Hasil TIN yang terbentuk selanjutkan dapat dikonversi ke grid (convert to grid) dan kemudian ditransformasikan ke vector (convert grid to vector). Hasil dari konversi vektor ini dapat digunakan sebagai data per petak.

TIN perlu dipelajari atau setidak-tidaknya perlu dipahami oleh teknisi pelaksana IHMB karena TIN mempunyai kemampuan menurunkan data kemiringan lereng yang diperlukan dalam melengkapi daftar isian IHMB, mampu membuat isoline atau kontur dari potensi hutan sehingga hasil interpolasi dapat digunakan untuk menduga perkiraan potensi hutan per petak, dan mampu menurunkan data arah lereng yang diperlukan untuk perspektif landscape yang terkait dengan pengelolaan hutan.

Gambar 6 Ilustrasi pembangunan TIN.

2.4.2.4 Analisis Uji Validasi

Untuk mendapatkan informasi tentang keakuratan dan peringkat dari setiap metode, maka dilakukan uji validasi menggunakan setengah data plot yang secara sengaja dipisahkan untuk melakukan pengujian. Ukuran yang digunakan untuk validasi ini adalah RMSPE (Root Mean Squared Prediction Error), SR (Simpangan rata-rata) dan SA (Simpangan Agregat).

Plot

(18)

a. RMSPE (Root Mean Squared Prediction Error), merupakan akar dari rata-rata jumlah kuadrat nisbah antara selisih volume dugaan dari model (Tim) dengan volume aktualnya (Tia) terhadap volume aktual. Nilai RMSPE yang lebih kecil menunjukkan model penduga volume yang lebih baik. RMSPE memiliki rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Ti(m) = nilai dugaan ke-i berdasarkan interpolasi Ti(a) = nilai aktual hasil IHMB

b. SR (Simpangan Rata-rata), merupakan rata-rata jumlah dari nilai mutlak selisih antara jumlah volume dugaan dari model (Tim) dan volume aktual (Tia), proporsional terhadap jumlah volume dugaan (Tim). Nilai simpangan rata-rata yang baik adalah tidak lebih dari 10% (Spurr 1952). SR memiliki rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Ti(m) = nilai dugaan ke-i berdasarkan interpolasi Ti(a) = nilai aktual hasil IHMB

c. SA (Simpangan Agregat), merupakan selisih antara jumlah volume aktual (Tia) dan volume dugaan (Tim) yang diperoleh berdasarkan dari tabel volume pohon, sebagai persentase terhadap volume dugaan (Tim). Persamaan yang baik memiliki nilai simpangan agregat (SA)

5 . 0 % 100 1 2 ) ( ) ( ) (                               n n

i Ti a

a i T m i T RMSPE       100%

i m i a

(19)

yang berkisar dari -1 sampai 1 (Spurr 1952). SA memiliki rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Ti(m) = nilai dugaan ke-i berdasarkan interpolasi Ti(a) = nilai aktual hasil IHMB

2.4.2.5 Pembuatan rangking (Skoring)

Hasil dari validasi (RMSPE, SR dan SA) akan dihitung nilai skornya dengan rumus sebagai berikut:

1 4 ) min( ) max( ) min(                 ai ai ai ai skor Keterangan:

ai = nilai peubah uji validasi min = nilai terendah

max = nilai tertinggi

(20)

Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan secara umum dapat dilihat pada Gambar 7. .

Gambar 7 Diagram alur penelitian. Mulai Persiapan dan

Pengumpulan Data

Perhitungan

Volume per Hektar

Pemilihan Data

Contoh

Data Model Data Validasi

Analisis SIG

Pembuatan

Isoline

Pembangunan

TIN

Convert to

grid

Convert grid to vector

Uji

Validasi

Skoring Selesai Nilai Tengah

(21)

BAB III

LOKASI DAN KEADAAN UMUM

3.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

Kegiatan pemanfaatan hutan oleh PT. INHUTANI 1 telah dimulai sejak tahun 1976 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 352/Kpts/Um/6/1976 tanggal 8 Juni 1976 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 39/Kpts-IV/1987 tanggal 6 Pebruari 1987 dengan luas areal kerja adalah ± 2.422.000 ha yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur. Jangka waktu IUPHHK PT. INHUTANI I tersebut tealh berakhir pada tanggal 8 Desember 1993. Selanjutnya, berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 656/Menhut-IV/1995 tanggal 24 April 1995, PT. INHUTANI I memperoleh persetujuan prinsip perpanjangan IUPHHK untuk jangka waktu sampai dengan tanggal 7 Desember 2013, dengan luas ± 2.207.700 ha.

Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan guna mewujudkan pengelolaan hutan alam produksi lestari, selanjutnya areal PT. INHUTANI I tersebut dibagi menjadi beberapa Unit Manajemen Hutan. Terhadap masing-masing areal UMH telah dilakukan pembuatan Working Area oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan yang selanjutnya dijadikan dasar diterbitkannya SK. Perpanjangan IUPHHK.

Unit Manajemen Hutan (UMH) Labanan merupakan salah satu UMH yang berada di wilayah kerja Unit Balikpapan dan telah diterbitkan SK. Perpanjangan IUPHHK-nya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 484/MENHUT-II/2006 tanggal 19 Oktober 2006 tentang Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam PT. Inhutani I (UMH Labanan) atas Areal Hutan Produksi seluas ± 138.210 ha di Provinsi Kalimantan Timur.

(22)

a. Akte Notaris Soelaiman Ardjasasmita, SH No. 5 tanggal 8 Desember 1973 tentang Pendiriran Perseroan Terbatas (PT) Inhutani I.

b. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 352/Kpts/UM/1976 tanggal 8 Juni 1976 (berdasarkan surat 8 Desember 1973) tentang pemberian HPH kepada PT. Inhutani I.

c. Surat Menteri Kehutanan No. 656/Menhut-IV/1995 tanggal 24 April 1995 tentang Persetujuan Prinsip Perpanjangan HPH/IUPHHK pada hutan alam an. PT. Inhutani I

(23)
(24)
(25)

3.2 Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi 3.2.1 Kondisi Biofisik

a. Letak dan Luas

Secara geografis, areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan terletak antara 01048’30”-02014’20” Lintang Utara dan 116051’30”-117021’00” Bujur Timur. Berdasarkan pembagian kelompok hutan termasuk dalam kelompok hutan Sungai Segah dan Sungai Kelai. Sedangkan menurut administrasi pemerintah termasuk Kecamatan Sambaliung, Kecamatan Segah dan Teluk Bayur, Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.

Berdasarkan administrasi pemangkuan hutan, areal IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan termasuk ke dalam wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Tabur dan BKPH Sambaliung Dinas Kehutanan Kabupaten Berau, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur.

Adapun luas areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 484/MENHUT-II/2006 tanggal 19 Oktober 2006 adalah seluas ± 138.210 ha.

Mengingat luasnya areal tersebut, maka dalam upaya efisiensi kegiatan operasional serta menjaga areal dari perambahan hutan, maka areal tersebut dibagi menjadi 2 Unit, yaitu Unit I seluas ± 78.436 ha dan Unit II seluas ± 59.774 ha dengan batas berupa jalan utama angkutan kayu.

(26)

Tabel 4 Letak dan luas areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No Uraian Keterangan

1. Luas Areal IUPHHK 138.210 ha

2. Batas Geografis 01048’30” - 02014’20” Lintang Utara dan 116051’30” - 117021’00” Bujur Timur.

3. Kelompok Hutan Sungai Segah dan Sungai Kelai 4. Batas areal kerja:

a. Sebelah Utara

b. Sebelah Timur

c. Sebelah Selatan

d. Sebelah Barat

1) Perk. PT. Palma Kharisma Sekawan

2) Lahan Transmigrasi & Lahan Masyarakat

1) Sungai Kelai

2) Lahan Masyarakat & Lahan KHDTK

1) PT. Mardhika Insan Mulia 2) PT. Aditya Kirana Mandiri 3) Hutan Lindung

1) PT. Sumalindo L.J.IV

5. Administrasi Pemerintah Kecamatan Sambaliung, Kecamatan Segah dan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur

6. Administrasi Pemangkuan Hutan

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Tabur, dan BKPH Sambaliung Dinas Kehutanan Kabupaten Berau, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

b. Fungsi Hutan

(27)

Tabel 5 Fungsi kawasan hutan areal kerja IUPHHK PT Inhutani I UMH Labanan

No Fungsi Hutan Luas

(ha) (%)

1 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 84.306 39,00

2 Hutan Produksi (HP) 53.904 61,00

Jumlah 138.210 100,00

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

c. Iklim

Informasi tentang iklim sangat diperlukan dalam perencanaan kegiatan IUPHHK. Kegiatan pemanenan, khususnya dalam pengangkutan kayu dilakukan pada saat musim kemarau (curah hujan rendah). Hal ini terkait dengan kondisi jalan dan laju erosi yang akan ditimbulkan, sebaliknya kegiatan penanaman dan pengayaan dilakukan menjelang musim hujan.

Informasi tentang karakteristik iklim di areal disajikan melalui karakterisasi curah hujan dan unsur-unsur iklim lainnya, seperti suhu udara, kelembaban udara, penyinaran matahari dan kecepatan angin. Untuk tujuan tersebut telah dikumpulkan data iklim dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Kalimarau Tanjung Redeb.

Letak geografis Kabupaten Berau yang dekat dengan garis Khatulistiwa menjadikan daerah ini memiliki iklim tropis yang akan memiliki curah hujan dengan hari hujan merata sepanjang tahun. Intensitas penyinaran matahari yang tinggi menjadikan suhu udara relatif tinggi sepanjang tahun dengan kelembaban yang tinggi pula.

(28)

d. Topografi dan Kelerengan

Areal IUPHHK PT. Inhutani UMH Labanan pada daerah hulu Sungai Segah sampai Sungai Siduung memiliki topografi curam, sedangkan darah bagian timur memiliki topografi sedang sampai curam dengan ketinggian antara 100 sampai dengan 300 meter di atas permukaan laut. Secara umum pengelompokan kelas lereng areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kondisi topografi/kelerengan areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No Konfigurasi Lahan Kelas Lereng Ha % 1. Datar A (0 – 8%) 37.635 27,23 2. Landai B (8 – 15%) 2.303 1,67 3. Agak Curam C (15 – 25%) 53.350 38,60 4. Curam D (25 – 40%) 44.922 32,50 5. Sangat Curam E (> 40%) - -

Jumlah 138.210 100,00

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa kondisi fisiografi areal kerja ini didominasi oleh kelas lereng D (curam). Dengan kondisi lereng yang umumnya curam, akan berdampak terhadap kemampuan kerja alat berat serta kemungkinan munculnya bahaya erosi. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dan penerapan RIL (Reduce Impact Logging).

e. Geologi

(29)

dibagian atas dan perselingan nafal, rijang, konglomerat, batu pasir kuarsa dan batu gamping dibagian bawah. Formasi Birang (13,10%) merupakan perselingan tuf, aglomerat, lapili, lava andesit piroksen, tuf terkesikkan, batu lempung dan kaolin, mengandung lignit, kuarsa, feldspar dan mineral hitam.

Untuk lebih jelasnya, sebaran formasi geologi yang berada di areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran formasi geologi di areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No Formation Luas

ha %

1 Birang Formation 18.099 13,10

2 Intrusive Rock 222 0,16 3 Jelai Volcanic Rock 25.815 18,68 4 Karamuan Formation 2.525 1,83 5 Labanan Formation 16.212 11,73

6 Langap Formation 16.469 11,92

7 Lebak Formation 2.141 1,55 8 Mentarang Formation 36.415 26,35 9 Sembakung Formation 17.012 12,31 10 Sinjin Formation 3.300 2,39

jumlah 138.210 100,00

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

f. Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Areal Kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan skala 1 : 500.000 yang bersumber dari Peta Tanah Provinsi Kalimanta Timur skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 1993, jenis tanah areal IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan didominasi oleh jenis tanah Podsolik Merah Kuning (Tropudults, Dystropepts). Di beberapa tempat dijumpai kandungan tanah yang berpasir halus. Sifat-sifat tanah, tekstur tanah berupa lempung berdebu dan lempung berat berdebu.

(30)

Tabel 8 Sebaran jenis tanah di areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No Klasifikasi Luas

ha %

1 Tropaquepts, Fluvaquents, Tr 17.842 12,91 2 Tropudults, Dystropepts 82.238 59,50 3 Tropudults, Tropaquepts 38.130 27,59

Jumlah 138.210 100,00

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

g. Hidrologi

Areal IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan termasuk dalam DAS Segah dan DAS Kelai. Sungai-sungai yang ada di wilayah UMH Labanan antara lain: Sungai Kelai, Sungai Siduung, Sungai Merasak, Sungai Siagung, Sungai-sungai tersebut sebagai besar digunakan untuk sarana transportasi dalam kehidupan sehari-hari termasuk untuk mengangkut hasil sumber daya alam yang berupa kayu, rotan dan lain-lain.

h. Kondisi Vegetasi 1. Penutupan Lahan

Hasil perhitungan digitasi terhadap Peta Penafsiran Citra Satelit 7 ETM Band 542 Path 117 Row 58 liputan tanggal 28 Mei 2008 dan tanggal 1 Oktober 2007, Path 117 Row 59 liputan tanggal 1 Oktober 2007 skala 1 : 100.000 yang telah dinilai Departemen Kehutanan melalui Surat Kepala Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Nomor: S.787/VII/Pusin-1/2008 tanggal 31 Desember 2008, kondisi penutupan lahan areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan, terdiri atas hutan primer seluas 20.403 ha, hutan bekas tebangan 86.582 ha, areal non hutan seluas 22.429 ha dan tertutup awan seluas 8.796 ha. Berdasakan hasil survey lapangan dan data citra Landsat tahun sebelumnya, kondisi penutupan

lahan areal tertutup awan berupa hutan primer, hutan bekas tebangan dan areal non hutan. Pada areal tersebut terdapat Buffer Zone Hutan Lindung seluas 952 ha dengan kondisi penutupan lahan berupa hutan bekas tebangan.

(31)

Tabel 9 Kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No Penutupan Lahan Luas (ha) Daerah

Penyangga

Jumlah (ha)

HPT HP

1 Hutan Primer 20.403 20.403

2 Hutan Bekas Tebangan 51.636 33.994 952 86.582 (LOA)

3 Non Hutan (NH) 8.479 13.950 22.429

4 Tertutup Awan (TA) 2.836 5.960 8.796

Jumlah 83.354 53.904 138.21

Sumber: RKUPHHK-HA PT Inhutani I Labanan (2010)

2. Vegetasi

Hutan di areal IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan termasuk tipe hutan tropika basah dataran tinggi yang dicirikan oleh dominasinya family Dipterocarpaceae (kelompok meranti). Jenis-jenis dari family Dipterocarpaceae yang mendominasi areal antara lain adalah keruing, meranti merah, dan bangkirai. Jenis vegetasi dikelompokan menjadi (1) Kelompok kayu meranti, (2) Kelompok Kayu rimba campuran, (3) Kelompok kayu indah, dan (4) Kelompok kayu dilindungi. Berdasarkan data hasil survey lapangan dengan intensitas 1 %, potensi tegakan untuk jenis boleh ditebang dengan diameter 40 cm up adalah sebesar 102,78 m3/ha dengan kerapatan 33,06 pohon/ha sedangkan untuk diameter 50 cm up adalah sebesar 83,22 m3/ha dengan kerapatan 20,86 pohon/ha.

i. Aksesibilitas

(32)

3.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi a. Administrasi Pemerintahan

Berdasarkan administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan masuk dalam 3 (tiga) wilayah kerja kecamatan, yaitu Kecamatan Sambaliung, Kecamatan Segah dan Teluk Bayur yang seluruhnya masuk dalam administrasi Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan timur.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan sangat bervariatif, hal ini terkait dengan letak IUPHHK yang relatif dekat dengan kota kabupaten bahkan ada dua kota kecamatan berdampingan dengan areal IUPHHK Labanan. Di sekitar areal kerja Labanan memiliki lebih dari 10 (sepuluh) desa yaitu: Labanan Jaya, Labanan makmur, Labanan Makarti, Tumbit Melayu, Long Lanuk, Nyapa Indah, Merasak, Siduung, Bukit Makmur dan Gunung Sari. Atas kondisi tersebut diatas PT. Inhutani I UMH Labanan memiliki tantangan yang komplek terhadap pengusahaan hutan, terutama dalam hal perlindungan dan pengamanan hutan. Kondisi masyarakat yang relatif modern memiliki faktor resiko yang besar terhadap kegiatan pengamanan dan perlindungan terutama pencurian kayu, perambahan hutan dan konflik sosial.

b. Kependudukan

Penduduk Kabupaten Berau dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 146.451 jiwa dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 157.453 jiwa.

Karakteristik penduduk Kabupaten Berau dapat dilihat dari angka sex ratio, yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Sex ratio pada tahun 2004 sebesar 122,41 dan pada tahun 2005 sex rasionya

sebesar 122,08. Angka menunjukkan bahwa pada 100 orang penduduk perempuan akan terdapat 122 penduduk laki-laki.

(33)

Berdasarkan data statistik kepadatan per rumah tangga penduduk Kabupaten Berau masih sangat rendah, dengan rata-rata hampir sama antar kecamatannya. Sedangkan kepadatan per kilometer persegi terdapat angka yang sangat mencolok yaitu kepadatan penduduk Kecamatan Tanjung Redeb sebanyak 2.105,30 jiwa/km2. Hal ini wajar karena Kecamatan Tanjung Redeb merupakan Ibu kota Kabupaten Berau.

Laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2005 sebesar 7.51% meningkat dari 6,85% pada tahun 2004. Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan total yang meliputi pertumbuhan alami karena kelahiran dan kematian serta migrasi netto yang diperoleh dari pengurangan migrasi ke luar dengan migrasi masuk ke Kabupaten Berau selama kurun waktu satu tahun.

Penduduk berusia 10 tahun keatas dibagi dalam dua kelompok yaitu penduduk yang termasuk angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan keja terbagi menjadi penduduk yang bekerja dan yang mencari kerja. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk yang mengurus rumah tangga, bersekolah dan melakukan aktivitas lainnya.

c. Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Areal kerja

Tipologi areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan tergolong berat dalam aspek sosial. Hal ini dikarenakan lokasi areal kerja yang berbatsan langsung dengan pemukiman masyarakat bahkan dengan lokasi transmigrasi. Disamping itu tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi. Bahkan di dalam areal kerja terdapat jalan kabupaten yang menghubungkan Tanjung Redeb ke Samarinda dan jalan kecamatan yang menghubungkan Kecamatan Tepian Buah ke Tanjung Redeb. Kondisi ini menyebabkan areal kerja IUPHHK ini sangat rentan terhadap konflik kepemilikan lahan dan perambahan.

(34)
[image:34.595.92.519.104.794.2]

Tabel 10 Jumlah peduduk desa sekitar areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan

No. Desa Jumlah Penduduk

(jiwa)

Jumlah KK (jiwa)

1. Gunung Sari 1,233 143

2. SP2 Transmigrasi Malinau-Segah 600 200 3. SP6 Transmigrasi Siduung 900 300 4. SP3 Transmigrasi Siduung 900 300 5. Labanan Makarti 654 147 6. Labanan Makmur 1,193 262 7. Labanan Jaya 1,087 252

8. Inaran 832 153

9. Tumbit Melayu 1,209 256 10. Tumbit Dayak 584 130 11. Long Lanuk 501 81

12. Merasak 564 126

(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan bobot yang digunakan, hasil kontur yang dihasilkan akan berbeda untuk masing-masing metode interpolasi. Bentuk konturnya ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 12.

[image:35.595.112.519.414.725.2]

Bentuk kontur metode interpolasi Spline (Gambar 10) lebih rapat dibandingkan bentuk kontur metode IDW (Gambar 9). Metode Spline menghasilkan kontur yang sangat rapat di luar batas PT Inhutani I Labanan. Hal itu menunjukkan bahwa nilai dugaan yang dihasilkan bisa melebihi dan berada dibawah nilai yang diduga (underestimate dan overestimate). Kontur yang ditampilkan oleh metode interpolasi Kriging sangat bervariasi tergantung bobot yang akan digunakan (Gambar 11 sampai dengan Gambar 15). Pada umumnya metode Kriging dengan bobot Gaussian menhasilkan nilai dugaan yang overestime dan underestimate seperti halnya pada kontur metode Spline.

(36)
[image:36.595.105.522.75.787.2]

Gambar 10 Kontur metode interpolasi Spline.

(37)
[image:37.595.106.525.105.753.2]

Gambar 12 Kontur metode interpolasi Kriging (exponential).

(38)
[image:38.595.106.525.98.760.2]

Gambar 14 Kontur metode interpolasi Kriging (linier with sill).

(39)

Pada Gambar 11 sampai Gambar 15 disajikan bentuk kontur dan sebaran variasi warna yang berbeda dengan metode Kriging. Hal itu disebabkan oleh model semivariogram yang berbeda saat sebelum melakukan interpolasi. Ketepatan hasil dugaan dari Kriging bergantung pada model semivariogram yang dilakukan. Tampilan bobot (method) Gaussian hampir sama dengan metode Spline yang memiliki nilai dugaan bernilai negatif, sehingga menghasilkan nilai

sebaran volume/ha di luar selang yang ada (overestimate dan underestimate). Berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG), hasil interpolasi serta sebarannya untuk masing-masing metode pada semua jenis kayu dapat berdasarkan bobot terbaik dapat dilihat pada Gambar 16 sampai Gambar 39. Hasil yang ditampilkan berupa perbandingan interpolasi pada ketiga metode interpolasi dengan bobot terbaiknya. Perbandingan yang dijabarkan adalah berupa gradasi warna dan perubahan spasialnya. Setiap metode interpolasi memiliki perubahan spasial yang berbeda dan sebaran gradasi warna yang berbeda pula. Masing-masing cakupan warna mewakili sebuah nilai yang tidak sama. Nilai itu merupakan sebaran volume per hektarnya.

(40)
[image:40.595.106.510.69.786.2]

Gambar 16 Hasil interpolasi metode IDW bobot terbaik pada kayu indah dbh >10 cm.

(41)

Gambar 18 Hasil interpolasi metode Kriging bobot terbaik pada kayu indah dbh >10 cm.

[image:41.595.114.505.88.370.2]
(42)

Gambar 20 Hasil interpolasi metode Spline bobot terbaik pada kayu indah dbh >40 cm.

[image:42.595.100.506.60.795.2] [image:42.595.112.504.89.375.2]
(43)

Gambar 22 Hasil interpolasi metode IDW bobot terbaik pada kayu lindung dbh >10 cm.

(44)

Gambar 24 Hasil interpolasi metode Kriging bobot terbaik pada kayu lindung dbh >10 cm.

(45)

Gambar 26 Hasil interpolasi metode Spline bobot terbaik pada kayu lindung dbh >40 cm.

(46)
[image:46.595.98.509.68.800.2] [image:46.595.114.504.89.376.2]

Gambar 28 Hasil interpolasi metode IDW bobot terbaik pada kayu meranti dbh >10 cm.

(47)
[image:47.595.114.504.89.374.2]

Gambar 30 Hasil interpolasi metode Kriging bobot terbaik pada kayu meranti dbh >10 cm.

(48)
[image:48.595.100.506.61.797.2]

Gambar 32 Hasil interpolasi metode Spline bobot terbaik pada kayu meranti dbh >40 cm.

[image:48.595.112.504.89.374.2]
(49)

Gambar 34 Hasil interpolasi metode IDW bobot terbaik pada kayu rimba dbh >10 cm.

[image:49.595.107.507.81.752.2]
(50)
[image:50.595.114.505.90.374.2]

Gambar 36 Hasil interpolasi metode Kriging bobot terbaik pada kayu rimba dbh >10 cm.

(51)
[image:51.595.99.511.52.806.2]

Gambar 38 Hasil interpolasi metode Spline bobot terbaik pada kayu rimba dbh >40 cm.

[image:51.595.114.504.89.376.2]
(52)

4.2 Pembahasan 4.2.1 Analisis Data

Data yang sudah divalidasi selanjutnya dianalisis kelogisannya terhadap data dilapangan. Maksud dari kelogisan disini adalah mengetahui seberapa besar data model bisa mendekati atau menggambarkan nilai aktual di lapangan. Berdasarkan nilai minimal, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi data dapat dibandingkan sebarapa jauh data model dari masing-masing metode terbaik dapat mendekati nilai sebenarnya di lapangan (data validasi). Pada Tabel 11 disajikan nilai minimum, maksimum, dan rata-rata untuk metode terbaik pada jenis kayu komersial (Kayu Meranti) dbh >40 cm.

Tabel 11 Nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan SD data model

Metode Volume

Min Max Rata-rata SD

IDW

24,930 262,990 102,280522 59,515

Spline -533,200 951,500 102,146185 742,350

Kriging 37,400 234,600 100,784739 49,300 Nilai aktual 6,060 519,124 100,420273 128,266

-800 -600 -400 -200 0 200 400 600 800 1000 1200

IDW Spline Kriging Nilai aktual

min max rata - rata SD

Gambar 40 Diagram perbandingan sebaran volume model dengan volume aktual. Volume

(m3/ha)

(53)

Pada Tabel 11 diketahui bahwa seberapa besar data model dapat mengestimasi dugaan volume di lapangan dengan data aktual (validasi) di lapangan. Berdasarkan nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan SD volume/ha dibandingkan hasil dugaan volume/ha antara ketiga metode interpolasi dengan volume/ha aktual (lapangan). Sedangkan pada Gambar 40 menunjukkan perbandingan volume/ha yang ditampilkan dalam bentuk diagram.

Berdasarkan nilai minimal, interpolasi dengan metode IDW paling mendekati nilai aktualnya. Begitu juga dengan metode Kriging yang juga mendekati nilai aktual. Berbeda halnya dengan kedua metode tersebut, metode Spline menghasilkan nilai minimal yang sangat jauh dari nilai aktualnya. Nilai

yang dihasilkan sampai bernilai negatif (underestimate). Nilai maksimal yang dihasilkan metode Spline jauh melebihi (overestimate) dari nilai aktulnya dibandingkan metode IDW dan metode Kriging yang lebih mendekati nilai aktual. Metode Kriging paling mendekati nilai aktualnya dilihat dari nilai rata-rata. Sedangkan dari nilai SD (Standar Deviasi), metode IDW yang paling mendekati dibandingkan dengan metode lainnya dan metode Spline menghasilkan nilai SD yang sangat jauh dari nilai SD aktual.

Pada diagram perbandingan sebaran volume dapat dilihat volume dugaan yang dihasilkan dengan metode Spline sangat mencolok. Besarnya volume dugaan maksimum yang diperoleh melebihi nilai volume aktual (overestimate) dan volume dugaan minimum berada jauh dibawah nilai volume aktual (underestimate). Selain itu yang paling mencolok adalah nilai negatif yang dihasilkan oleh metode Spline dalam menduga volume per hektar. Hal itu menyebabkan ketidaklogisan data volume dan mempunyai error yang cukup besar dibandingkan kedua metode lainnya. Oleh karena itu, interpolasi dengan metode Spline tidak disarankan untuk digunakan dalam mengestimasi sediaan tegakan

berbasis IHMB.

Berbeda halnya dengan metode Spline, metode IDW lebih dapat mendekati nilai volume aktualnya. Begitu juga dengan hasil volume dugaan menggunakan metode Kriging. Dilihat dari volume rata-rata ketiga metode interpolasi, metode Kriging paling mendekati nilai volume aktualnya dengan selisih volume sebesar

(54)

4.2.2 Analisis Spasial

Pada Lampiran 1 disajikan sebaran volume per ha dbh >10 cm dengan dan dbh >40 cm metode interpolasi IDW pada berbagai bobot. Bobot (power) 1 memiliki nilai kesalahan paling kecil diantara bobot yang diuji untuk jenis kayu indah dbh >10 cm (Gambar 16). Pada jenis kayu indah diameter >40 cm, bobot (power) 21 merupakan bobot terbaik (Gambar 19). Hal itu disebabkan karena pada bobot ini total kesalahan (error) yang dimilikinya paling kecil diantara bobot 1 sampai dengan bobot 30.

Kontur yang dihasilkan juga semakin merapat seiring bertambahnya bobot. Jumlah volume pada dbh >40 cm tentunya akan lebih kecil jumlahnya dibandingkan jumlah volume pada dbh >10 cm. Hal itu akan mempengaruhi jarak terhadap jumlah titik terdekat yang telah ditentukan. Sehingga ketika jumlah volume pada dbh >40 cm lebih kecil dibandingkan dbh >10 cm, maka jarak untuk mencari titik-titik terdekat yang telah ditentukan akan semakin lebar.

Untuk jenis kayu lindung, kayu meranti, dan kayu rimba dengan metode IDW diperoleh bobot terbaik seperti pada Tabel 12 (Gambar 22, Gambar 25, gambar 28, Gambar 31, Gambar 34, dan Gambar 37). Sebaran volume yang dihasilkan dengan bobot terbaik hampir mendekati volume yang sebenarnya di lapangan. Pada masing-masing gambar menampilkan berbagai variasi warna yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa warna yang sama memiliki sebaran volume yang sama pula. Semakin besar pangkat atau bobotnya (power) maka kontur yang dihasilkan semakin rapat. Menurut Jaya (2010), jika pangkatnya besar, maka hasilnya menjadi tidak benar. Dengan kata lain, tingkat kesalahan yang dihasilkan semakin besar seiring bertambahnya pangkat atau bobot (power).

(55)

Tabel 12 Bobot terbaik metode IDW Jenis

Bobot Terbaik

Dbh >10 cm Dbh >40 cm

Kayu indah 1 21

Kayu lindung 1 3

Kayu meranti 1 1

Kayu rimba 1 1

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilhat bahwa, bobot (power) 1 merupakan

power terbaik yang digunakan untuk interpolasi metode IDW (Inverse Distance Weight) dalam mengestimasi sediaan tegakan pada semua jenis kayu indah pada dbh >10 cm. Sedangkan pada dbh >40 cm, bobot terbaik pada kayu indah adalah

bobot 21, kayu lindung adalah bobot 3, kayu meranti adalah bobot 1 dan kayu

rimba adalah bobot 1.

Begitu juga dipilih bobot (weight) terbaik untuk metode interpolasi Spline (bobot 0,1; 0,3; 0,5; 1; 2; 3; 4; dan 5) pada Tabel 13. Hasil sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar 17, Gambar 20, Gambar 23, Gambar 26, Gambar 29, Gambar 32, dan Gambar 35 berdasarkan bobot terbaik. Hasil interpolasi metode Spline menunjukkan adanya nilai sebaran yang bernilai negatif terutama pada

variasi warna di luar batas area PT Inhutani I Labanan. Sebaran volume yang bernilai negatif tersebut menyatakan bahwa terjadinya underestimate dalam menduga sediaan tegakan. Dalam menduga sediaan, metode Spline meminimalkan jumlah patahan dari permukaan, seperti menekuk-nekuk karet untuk melewati seuatu titik. Pada volume di luar sebaran volume yang ada, interpolator Spline akan tetap melakukan proses interpolasi dengan meminimumkan patahan-patahan permukaan, sehingga daerah di luar area akan menghasilkan nilai negatif (underestimate) di bawah sebaran volume yang paling minimum.

Tabel 13 Bobot terbaik metode Spline

Jenis

Bobot Terbaik

Dbh >10 cm Dbh >40 cm

(56)

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilhat bahwa, bobot (weight) 0,3 merupakan

weight terbaik yang digunakan untuk proses interpolasi pada metode Spline jenis kayu indah pada dbh >10 cm. Berturut-turut untuk dbh >10 cm pada kayu lindung

adalah bobot 5, kayu meranti adalah bobot 5 dan kayu rimba adalah bobot 1.

Sedangkan pada dbh >40 cm, bobot terbaik pada kayu indah adalah bobot 0,1;

kayu lindung adalah bobot 1; kayu meranti adalah bobot 0,3 dan kayu rimba

adalah bobot 2.

Pada metode Kriging bobot yang digunakan adalah metode Circular, Exponential, Gaussian, Linier with Sill dan Spherical dengan bobot terbaik pada masing-masing jenis kayu ditampilkan di Tabel 14. Bobot terbaiknya ditampilkan pada Gambar 18, Gambar 21, Gambar 24, Gambar 27, Gambar 30, Gambar 33, Gambar 36, dan Gambar 39. Bentuk semivariogramnya disajikan pada Gambar 41 sampai dengan Gambar 48.

Tabel 14 Bobot terbaik metode Kriging

Jenis

Bobot Terbaik

Dbh >10 cm Dbh >40 cm

Kayu indah Circular Gaussian Kayu lindung Spherical Circular Kayu meranti Circular Circular Kayu rimba Exponential Spherical

Untuk Tabel 14 pada dbh >10 cm, bobot (method) yang terbaik berturut-turut pada jenis kayu indah, kayu lindung, kayu meranti dan kayu rimba adalah

Circular, Spherical, Circular, dan Exponential. Sedangkan dbh >40cm, bobot (method) yang terbaik berturut-turut pada jenis kayu indah, kayu lindung, kayu meranti, dan kayu rimba adalah Gaussian, Circular, Circular dan Spherical.

(57)
[image:57.595.102.531.92.722.2]

Gambar 41 Semivariogram metode Kriging (circular) pada kayu indah dbh >10 cm.

Gambar 42 Semivariogram metode Kriging (gaussian) pada kayu indah dbh >40 cm.

Nilai aktual

Nilai prediksi

Nilai aktual

(58)
[image:58.595.117.554.99.361.2]

Gambar 43 Semivariogram metode Kriging (spherical) pada kayu lindung dbh >10 cm.

Gambar 44 Semivariogram metode Kriging (circular) pada kayu lindung dbh >40 cm.

Nilai aktual

Nilai prediksi

Nilai aktual

(59)
[image:59.595.97.542.81.801.2]

Gambar 45 Semivariogram metode Kriging (circular) pada kayu meranti dbh >10 cm.

Gambar 46 Semivariogram metode Kriging (circular) pada kayu meranti dbh >40 cm.

Nilai aktual

Nilai prediksi Nilai aktual

(60)

Gambar 47 Semivariogram metode Kriging (exponential) pada kayu rimba dbh >10 cm.

Gambar 48 Semivariogram metode Kriging (spherical) pada kayu rimba dbh >40 cm.

Nilai aktual

Nilai prediksi

Nilai aktual

(61)

Gambar 41 dan Gambar 42 merupakan bentuk semivariogram pada kayu indah untuk bobot yang terbaik. Begitu juga untuk Gambar 43 sampai dengan Gambar 48 berturut-turut adalah semivariogram pada kayu lindung, kayu meranti dan kayu rimba. Semivariogram pada semua jenis kayu menunjukkan varian nilai aktual dan nilai prediksinya. Menurut Tiryana (2005), nilai RMSE pada semivariogram semakin kecil, maka nilai dugaan yang dihasilkan semakin mendekati nilai sebenarnya. Artinya semivariogram dengan nilai RMSE kecil dapat dipilih sebagai dialog atau skenario yang terbaik. Pada semivariogram di atas untuk semua jenis kayu menunjukkan nilai RMSE yang paling kecil.

Pada kasus hasil interpolasi metode Kriging kayu lindung dbh >40 cm, secara spasial hasil interpolasinya tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun hal itu dapat dibedakan dari semivariogram yang dihasilkan, dimana pada method Circular memiliki nilai RMSE yang paling kecil dibandingkan method

yang lain. Oleh karena itu method Circular merupakan method terbaik untuk jenis kayu lindung dbh >40 cm.

Pada Gambar 49 sampai dengan Gambar 54 dapat dilihat bobot

masing-masing metode interpolasi untuk dbh >10 cm dan dbh >40 cm berdasarkan nilai

dari total skornya. Gambar 49 dan Gambar 50 menunjukkan bahwa semakin besar

bobot (power), maka semakin besar juga nilai total skornya untuk semua jenis kayu. Dapat dikatakan bahwa, semakin besar bobot (power), maka semakin besar tingkat kesalahannya (error). Kurva bobot (weight) pada Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan terjadinya hubungan yang berbanding terbalik dan fluktuatif

antara bobot dengan total skor, terutama pada dbh >10 cm. Hal itu disebabkan

karena metode Spline dapat menghasilkan dugaan yang bernilai negatif (underestimate) dan overestimate diluar nilai yang diduga. Gambar 53 dan Gambar 54 menunjukkan bahwa bobot (method) Gaussian pada metode Kriging

(62)

Gambar 49 Kurva bobot (power) metode IDW pada dbh > 10 cm.

(63)

Gambar 51 Kurva bobot (weight) metode Spline pada dbh >10 cm.

[image:63.595.121.512.98.348.2]

(64)
[image:64.595.121.509.91.342.2]

Gambar 53 Kurva bobot (method) metode Kriging pada dbh >10 cm.

Gambar 54 Kurva bobot (method) metode Kriging pada dbh >40 cm. 4.2.2 Uji Validasi dan Peringkat

Di dalam melakukan interpolasi, sudah pasti dihasilkan error. Error yang dihasilkan sebelum melakukan interpolasi bisa dikarenakan kesalahan

(65)

dalam analisa di laboratorium (Pramono 2008). Pada Tabel 15 dan 16 disajikan hasil validasi interpolasi metode IDW, Spline dan Kriging untuk volume pada dbh >10cm. Berdasarkan nilai total skor yang merupakan penjumlahan dari ranking

pada nilai SR, RMSPE, dan SA diketahui bahwa kesalahan terkecil diperoleh dari

metode Kriging dengan total skor 3 untuk jenis kayu indah, total skor 6,18 untuk jenis kayu lindung dan total skor 3,23 untuk jenis kayu meranti. Sedangkan pada

jenis kayu rimba, metode IDW memiliki kesalahan terkecil dengan total skor 5,64.

Selain itu dapat dilihat bahwa nilai ukuran kesalahan antara metode IDW dan

Kriging tidak jauh berbeda dibandingkan dengan metode Spline. Metode Spline

memiliki tingkat kesalahan yang paling besar pada semua jenis kayu.

Menurut Jaya (2011), untuk data IHMB metode Spline ini tidak dianjurkan mengingat hasil interpolasinya bisa berada diluar nilai sediaan tegakannya dan

yang paling mencolok, metode ini dapat menghasilkan nilai sediaan yang negatif.

Namun, metode ini sangat cocok untuk permukaan yang topografinya

bergelombang (permukaan air tanah, ketinggian dan atau konsentrasi polusi yang

perubahan spasialnya sangat halus) seperti pada Tabel 17, dimana metode terbaik

yang digunakan untuk jenis kayu lindung dbh >40 cm adalah metode Spline.

Berdasarkan uji validasi kelas dbh >10 cm diatas, dapat dikatakan bahwa

metode yang paling baik digunakan untuk interpolasi spasial pada jenis kayu

(66)

Tabel 15 Hasil validasi interpolasi IDW, Spline dan Kriging kelas dbh >10 cm

Jenis Ukuran Kesalahan Metode Interpolasi

IDW Spline Kriging kayu

indah

SR 62,605 110,644 62,547

RMSE 2,148 3,504 2,072

SA 0,034 0,050 0,027

kayu lindung

SR 77,172 92,778 75,808

RMSE 2,835 6,160 2,768

SA 0,084 0,042 0,076

kayu meranti

SR 50,807 56,110 51,110

RMSE 7,548 7,654 7,343

SA 0,068 0,081 0,067

kayu rimba

SR 42,334 79,498 42,366

RMSE 2,380 2,228 2,486

SA 0,053 0,163 0,045

Tabel 16 Skor hasil validasi interpolasi IDW, Spline dan Kriging kelas dbh >10 cm

Jenis Ukuran Kesalahan Metode Interpolasi

IDW Spline Kriging kayu

indah

SR 1,004 5 1

RMSE 1,211 5 1

SA 2,282 5 1

Total skor 4,498 15 3* kayu

lindung

SR 1,321 5 1

RMSE 1,078 5 1

SA 5 1 4,181

Total skor 7,400 11 6,181* kayu

meranti

SR 1 5 1,228

RMSE 3,641 5 1

SA 1,044 5 1

Total skor 5,686 15 3,228*

kayu rimba

SR 1 5 1,003

RMSE 3,365 1 5

SA 1,277 5 1

Total skor 5,643* 11 7,003

(67)

Hasil validasi dan total skor interpolasi metode IDW, Spline dan Kriging

untuk dbh >40cm disajikan pada Tabel 17 dan 18. Berdasarkan nilai total skor

yang diketahui bahwa kesalahan terkecil diperoleh dari metode IDW dengan total

skor 6,15 untuk jenis kayu indah. Untuk jenis kayu lindung kesalahan terkecil terdapat pada metode Spline dengan total skor 7 . Jenis kayu meranti kesalahan terkecil pada metode Kriging dengan total skor 3,35 dan kesalahan terkecil pada jenis kayu rimba dengan total skor 3,62. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode yang paling baik digunakan untuk interpolasi spasial pada jenis kayu meranti dan

kayu rimba adalah metode Kriging, untuk jenis kayu lindung metode yang paling baik adalah metode Spline dan pada jenis kayu indah metode yang paling digunakan adalah metode IDW.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

kayu indah kayu lindung kayu meranti kayu rimba IDW Spline Kriging

Gambar 55 Diagram total skor beberapa metode interpolasi diameter >10 cm.

Berdasarkan Gambar 55 dapat dilihat, metode Spline berada di posisi puncak (tertinggi) pada semua jenis kayu. Hal itu berarti bahwa tingkat kesalahan

(error) yang dimilkinya paling besar dibandingkan dengan kedua metode lainnya. Metode Kriging merupakan metode dengan kesalahan paling kecil dan berada pada posisi terendah untuk jenis kayu indah, kayu lindung, kayu meranti.

Sedangkan pada jenis kayu rimba metode dengan kesalahan paling rendah adalah

metode IDW. Semakin besar total skor dari masing-masing metode, maka

semakin besar juga tingkat kesalahan yang dimilikinya.

Total skor

(68)

Tabel 17 Hasil validasi interpolasi IDW, Spline dan Kriging kelas dbh >40 cm

Jenis Ukuran Kesalahan Metode Interpolasi

IDW Spline Kriging

kayu indah

SR 78,678 72,182 90,572

RMSE 1,149 2,162 0,955

SA 0,092 0,015 0,299

kayu lindung

SR 139,035 81,763 103,135

RMSE 1,331 2,739 1,101

SA 0,131 0,004 0,309

kayu meranti

SR 58,294 79,881 59,771

RMSE 2,844 3,987 2,867

SA 0,018 0,017 0,003

kayu rimba

SR 59,209 57,954 58,011

RMSE 1,3459 2,030 1,348

SA 0,001 0,137 0,016

Tabel 18 Skor hasil validasi interpolasi IDW, Spline dan Kriging kelas dbh >40 cm

Jenis Ukuran Kesalahan Metode Interpolasi

IDW Spline Kriging

ki

SR 2,412 1 5

RMSE 1,644 5 1

SA 2,093 1 5

Total skor 6,150* 7 11

kl

SR 5 1 2,492

RMSE 1,562 5 1

SA 2,669 1 5

Total skor 9,231 7* 8,492

km

SR 1 5 1,273

RMSE 1 5 1,080

SA 5 4,673 1

Total skor 7 14,673 3,354*

kr

SR 5 1 1,182

RMSE 1 5 1,016

SA 1 5 1,418

Total skor 7 11 3,617*

(69)

0 2 4 6 8 10 12 14 16

kayu indah kayu lindung kayu meranti kayu rimba

IDW Spline Kriging

Gambar 56 Diagram total skor beberapa metode interpolasi diameter >40 cm.

Pada Gambar 56 total skor terendah pada jenis kayu meranti dan kayu

rimba adalah metode Kriging dengan kesalahan yang paling rendah. Begitu juga sebaliknya, metode Spline memiliki tingkat kesalahan paling besar dengan total skor yang paling tinggi. Metode IDW merupakan metode dengan total skor

terendah pada jenis kayu indah, sedangkan pada jenis kayu lindung, metode Spline

memilki total skor terendah dengan kesalahan yang paling kecil. Hal itu

menunjukkan bahwa model hasil interpolasi dengan metode Spline lebih dapat menjelaskan sediaan tegakan aktualnya.

Kayu meranti dan kayu rimba merupakan jenis kayu komersial. Oleh karena

itu, dengan mengetahui metode interpolasi yang terbaik dalam menduga sediaan

tegakan, secara tidak langsung juga dapat mengetahui sediaan tegakan kayu

komersial dengan baik. Hal itu akan memberikan dampak positif dari segi

ekonomi. Didandingkan dengan metode interpolasi lain , metode Kriging paling baik dalam menduga sediaan tegakan kayu komersial pada dbh >40 cm.

Total skor

(70)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Metode terbaik dengan kesalahan terkecil yang digunakan pada kelas dbh >10 cm untuk jenis kayu indah , kayu lindung , dan kayu meranti adalah metode Kriging. Sedangkan untuk jenis kayu rimba, metode IDW paling baik digunakan.

2. Pada kelas dbh >40 cm kayu komersial , metode yang paling baik digunakan adalah metode Kriging dengan kesala

Gambar

Tabel 10  Jumlah peduduk desa sekitar areal kerja IUPHHK PT. Inhutani I UMH Labanan
Gambar 9  Kontur metode interpolasi IDW.
Gambar 10  Kontur metode interpolasi Spline.
Gambar 12  Kontur metode interpolasi Kriging (exponential).
+7

Referensi

Dokumen terkait