• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Skripsi

(3)

!%0!%#&"#

Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi ekspor andalan Indonesia menunjukkan tren meningkat dan diduga mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan lahan di berbagai daerah. Kebun kelapa sawit selanjutnya menjadi kompetitor utama bagi pola pola pertanian tradisional seperti hutan rakyat berbasis karet di Sumatera. Desa Sipaho secara administratif berada di Kabupaten Padang Lawas Utara yang merupakan daerah agraris sentra produksi karet di Sumatera Utara. Kebun karet di wilayah ini dimiliki oleh rakyat dan dikembangkan secara ekstensif, sebagian besar dalam pola agroforestri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan persepsi masyarakat Desa Sipaho terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit, serta mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhinya. Selain itu penelitian ini juga mengkaji kontribusi kedua jenis kebun terhadap pendapatan masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan wawancara dengan 62 responden yang mewakili kelompok petani karet, petani karet sekaligus kelapa sawit, dan bukan petani. Pengambilan responden menggunakan metode

purposive sampling.

Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Desa Sipaho cenderung sedang terhadap aspek sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit. Persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet dipengaruhi oleh lama bersekolah, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan, sedangkan persepsi terhadap kebun kelapa sawit berkorelasi dengan usia. Dipandang dari segi ekonomi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit masing masing berkontribusi sekitar 47% dan 43% terhadap pendapatan hasil pertanian rumahtangga.

(4)

Palm oil as one of Indonesian main export commodities shows rising trend and presumed affecting the societies of various regions in using land. Oil palm plantation furthermore became the main competitor for traditional farming systems, such as rubber community forest in Sumatera. Sipaho administratively located in Padang Lawas Utara District, which is an agricultural area of rubber production centers in North Sumatra. Rubber plantations in this region owned by community and developed extensively, mostly in agroforestry system.

This research aims to analyse and compare Sipaho society perception to rubber community forest and oil palm plantation, and identify its influencing factors. Moreover, it also assessed the contributions of both plantation types to household income. Data were obtained through literature studies and interviews with 62 respondents that represent rubber farmers, rubber and palm oil farmers, and non farmers. Intake of respondents used purposive sampling method.

Study result shows that respondents have medium perception on medium to socioeconomic, ecology, and socioculture aspects of rubber community forest as well as oil palm. Perception to rubber community forest were influenced by schooling period, land ownership, and income, while the perception to oil palm plantation correlated with age. Regarding to economic aspect rubber community forest and oil palm plantation contributed 47% and 43% on household income from agricultural sector.

(5)

Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa

Sawit adalah benar benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen

pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan

tinggi dan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Afwan Afwandi

(6)

Nama : Afwan Afwandi

NRP : E14051597

Menyetujui:

Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc

NIP. 19640830 199003 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

NIP. 19630401 199403 1 001

(7)

Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allah SWT penulis berterimakasih

kepada seluruh pihak yang memberikan dukungan dalam penulisan tugas akhir

ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc selaku dosen pembimbing

yang selalu mengarahkan selama proses penelitian dan penulisan. Penghargaan

penulis untuk Bapak Efendi Harahap beserta masyarakat Desa Sipaho Kec.

Halongonan Kab. Padang Lawas Utara Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat

Statistik Provinsi Sumatera Utara, dan Badan Pemantapan Kawasan Hutan

Wilayah I atas bantuan dan kemudahan selama kegiatan penelitian. Penulis juga

berterimakasih kepada Dra. Waysima, M.Sc, Ir. Ahmad Hadjib, M.Sc, Dr.

Supriyanto, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr, dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi, M.Agr.

Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada Langlang Tatabuana,

Nayu Nuringdati W., Febi Damiko, Hilaria Primapuspita, dan Sebastian Koch

sebagai teman berdiskusi yang memberikan banyak masukan bagi penelitian ini.

Keluarga besar International Forestry Students’ Association Local Committee

Institut Pertanian Bogor, International Forestry Students’ Association, Paduan

Suara Mahasiswa IPB Agria Swara, Forest Management Students Club, dan The

37th International Forestry Students’ Symposium Indonesia 2009 Organizing

Committee untuk semua kesempatan berharga yang memperluas pengetahuan dan

pengalaman penulis. Tak lupa kepada rekan rekan mayor Manajemen Hutan,

Hasil Hutan, Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, serta Silvikultur ‘42

atas kebersamaan selama empat tahun terakhir. Semoga kita semua sukses.

Akhirnya sebagai ungkapan rasa terima kasih karya ini didedikasikan

untuk keluarga tercinta, Bapak R. Suryanto, Ibu Sukiati, dan Zulie Amaimy atas

kasih sayang, doa dan dukungan yang selalu membesarkan hati penulis. Serta

keluarga Bapak (Alm.) Nurdin dan Ibu Mahyardiana yang telah menjadi rumah

kedua bagi penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2011

(8)

Penulis

dari dua

Selepas

meneru

memilih

2006. Selanjutnya pen

Indramayu Linggarjati

Gunung Walat, Sukabu

Sakti, Jambi (2010).

Semasa menun

organisasi kemahasiswa

Agria Swara (2005 200

Management Student

Forestry Students’ Ass

LC IPB) (2008/2009

salah satu delegasi un

2007 di Afrika Selatan

kemudian berganti

Forestry Students’ Ass

juga bergabung seba

International Forestry

(2009).

Guna mempero

skripsi berjudul Perb

Berbasis Karet dan

Sundawati, M.Sc. Pen

Halongonan, Kabupate

enulis lahir di Tanjungbalai, 27 Agustus 1987 s

ari dua bersaudara pasangan Bapak R. Suryanto da

elepas dari SMA Negeri 1 Tanjungbalai di tahun

eneruskan pendidikan di Institut Pertanian Bog

emilih Manajemen Hutan sebagai keahlian mayorn

a penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosiste

arjati (2007), Praktek Pengelolaan Hutan di Hut

ukabumi (2008), serta Praktek Kerja Lapang di

menuntut ilmu di IPB penulis terlibat aktif da

hasiswaan yakni sebagai anggota Paduan Suara M

2008), Kepala Departemen Informasi dan Kom

dents Club (FMSC) (2007/2008), serta Direktur

s’ Association Local Committee Institut Pertanian

2009). Melalui IFSA LC IPB penulis berkesem

untuk The 35th International Forestry Student

Selatan dan menjadi staf komisi Village Concep

nama menjadi Development Programme

s’ Association (IFSA) selama dua periode berturut

sebagai Wakil Ketua Komite Nasional unt

stry Students’ Symposium yang diselenggarakan

mperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis m

erbandingan Persepsi Masyarakat terhadap

an Kebun Kelapa Sawit dibawah bimbingan

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Sipah

upaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

987 sebagai bungsu

nto dan Ibu Sukiati.

(9)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi ... 3

2.2 Hutan Rakyat ... 4

2.3 Agroforestri ... 5

2.4 Perkembangan Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Indonesia .………... 7

2.5 Agroforest Karet sebagai Bentuk Hutan Rakyat …...……...…... 8

2.6 Perkembangan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia ... 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ... 15

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.3 Alat dan Bahan ... 16

3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 17

3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 17

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 18

3.7 Definisi Operasional ... 23

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ... 25

4.2 Topografi ... 25

(10)

4.4 Sosial Ekonomi dan Budaya... 26

4.5 Pemerintahan dan Kependudukan ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kebun Karet Rakyat di Desa Sipaho ... 27

5.2 Kebun Kelapa Sawit di Desa Sipaho ... 33

5.3 Pengukuran Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis karet dan Kebun Kelapa Sawit ... 34

5.4 Kontribusi Sumber Pendapatan ... 47

5.5 Korelasi Karakteristik Responden dengan Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit ... 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(11)

No. Halaman

1. Kategori respon skala Likert ... 18

2. Data dan pengolahan ... 19

3. Nilai tingkat persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ... 20

4. Tingkat reliabilitas metode Alpha Cronbach ... 21

5. Cara analisis data ... 21

6. Tingkat keeratan hubungan antara variabel dengan uji Rank Spearman 23

7. Tata guna lahan Desa Sipaho ... 25

8. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran persepsi

terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ... 38

9. Tingkat reliabilitas instrumen pengukuran berdasarkan metode Alpha Cronbach ... 38

10. Distribusi persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ... 40

11. Perbandingan persentase penilaian manfaat hutan, kebun karet

campuran, dan kebun kelapa sawit menurut pendapat responden ... 46

12. Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber pertanian ... 47

13. Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber non pertanian ... 47

14. Rata rata pendapatan total rumahtangga responden dari sumber

pertanian berdasarkan luas kepemilikan lahan ... 50

15. Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial ekonomi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ... 51

16. Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek

ekologi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ... 52

17. Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial

(12)

No. Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 16

2. Hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho ... 28

3. Tanaman palawija diantara tegakan karet muda di Desa Sipaho ... 29

4. Tanaman aren dan pohon cempedak pada hutan rakyat berbasis karet

pola agroforestri di Desa Sipaho ... 30

5. Kebun karet monokultur di Desa Sipaho ... 32

(13)

No. Halaman

1. Karakteristik responden penelitian ... 60

2. Kuesioner wawancara ... 61

(14)

"+" ."*"#&

Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia

dan berkontribusi besar bagi ekspor non migas. Ekspor CPO (Crude Palm Oil)

Indonesia setiap tahunnya menunjukkan tren meningkat dengan rata rata

peningkatan adalah 12,97% (Tryfino 2008), yang diduga secara tak langsung

mempengaruhi persepsi masyarakat dalam penggunaan lahannya.

Sebagai usaha meningkatkan hasil kelapa sawit dilakukan ekstensifikasi

yang berorientasi pada perluasan areal panen dengan membuka kebun kebun baru,

sehingga dalam beberapa dekade terakhir alih guna lahan sebagai kebun kelapa

sawit terus berkembang di berbagai daerah. Kondisi ini ditandai oleh peningkatan

luas total kebun kelapa sawit Indonesia dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 saja

luas kebun kelapa sawit Indonesia mencapai 2.922.296 ha. Angka ini meningkat

lebih dari dua kali lipatnya pada tahun 2008 menjadi 7.363.847 ha (Direktorat

Jenderal Perkebunan 2010).

Kebun kelapa sawit selanjutnya menjadi salah satu kompetitor utama bagi

pola pertanian tradisional di sejumlah daerah, seperti hutan rakyat berbasis karet

di Sumatera. Padahal komoditi dari pohon karet sendiri tidak kalah bersaing

dengan komoditi pasar lainnya. Selain menghasilkan getah sebagai bahan baku

industri lateks, kayu pohon karet juga dapat dimanfaatkan untuk industri furnitur.

Walaupun harga jual karet di tingkat masyarakat lebih tinggi daripada harga

tandan buah segar (TBS), kebun sawit masih terlihat menawarkan prospek

ekonomi potensial karena dipanen dalam waktu cepat dan didukung oleh pasar

yang luas.

Terkait dengan penjelasan di atas, manusia memegang peranan penting

bagi pemanfaatan lahan. Interpretasi dan pengetahuan masyarakat, desakan

ekonomi, tradisi, serta informasi dari luar akan mempengaruhi persepsi bagaimana

dan untuk apa lahan diolah, dalam hal ini hutan rakyat berbasis karet atau kebun

(15)

-6-"# # .%+%"#

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan membandingkan persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat

berbasis karet dan kebun kelapa sawit.

2. Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat

terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit.

3. Mengkaji pendapatan masyarakat dari hutan rakyat berbasis karet dan

kebun kelapa sawit.

7 "#3""+ # .%+%"#

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap

penggunaan lahan sebagai hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa

sawit di lokasi penelitian.

2. Memberikan informasi dan pertimbangan kebijakan bagi pemerintah

daerah dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan di daerah.

(16)

' ('%

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi

untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan

(penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya alat untuk

memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono 2002).

Sementara menurut Surata (1993) dalam Widawari (1994), persepsi sangat

mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang

mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang

tersebut berperilaku positif terhadap upaya upaya pelestarian lingkungan.

Persepsi sebagai pandangan individu terhadap suatu objek atau stimulus.

Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan

atau penolakan terhadap stimulus tersebut. Persepsi berhubungan dengan pendapat

dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap

kemauan dan perasaan terhadap stimulus tersebut, serta motivasi tertentu.

Stimulus bisa berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu

(Langevelt 1966, dalam Harihanto 2001).

Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi

dari variabel variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu: (1)

pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktrinasi budaya,

bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang

diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut, persepsi dipengaruhi oleh

faktor faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan,

perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian,

kebiasaan, dan lain lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang

termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya

dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal, suku bangsa

dan lainnya.

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa persepsi yang kita kenal

(17)

1. Pengetahuan: apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi

lain wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif dan sebagainya.

2. Pengharapan: gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau

melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya

dia menjadi apa dan melakukan apa.

3. Evaluasi: kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana

seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi

pengharapan kita tentang dia.

-+"# "*)"+

Menurut SK Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts II/1997 tentang

Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh

rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu

kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun

pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar (Awang 2002, dalam

Koswara 2006).

Hutan rakyat sebagai salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang

dimiliki oleh masyarakat atau rakyat, baik secara perorangan, kelompok, maupun

swasta ataupun badan usaha masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan serta

pelestarian lingkungan hidup (Departemen Kehutanan 1995, dalam Suryono

2004).

Toha (1987) dalam Suryono (2004) membagi bentuk hutan rakyat menjadi

tiga, yaitu:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok

berkayu.

2. Hutan rakyat campuran, terdiri dari lebih dari satu jenis tanaman pokok

berkayu.

3. Hutan rakyat agroforestri, hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha

kombinasi dari tanaman kehutanan dengan usaha pertanian terpadu.

(18)

1. Hutan rakyat murni adalah areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami

kayu kayuan.

2. Hutan rakyat campuran adalah areal hutan rakyat yang ditanami kayu

kayuan yang dicampur dengan tanaman jenis multi purpose tree species

(MPTS).

3. Hutan rakyat pola kebun (kebun rakyat) adalah hutan yang pengaturan

pola jarak tanamnya mengikuti pola kebun (5 m x 5 m) dengan maksud

agar dapat dikerjakan dengan sistem tumpang sari.

Menurut Djajapertjunda (1995) dalam Dede (1998), hutan rakyat

mempunyai peran penting dan mempunyai manfaat manfaat yang cukup

meyakinkan, diantaranya:

1. Hutan rakyat dapat merupakan sumber pendapatan yang

berkesinambungan dan berbentuk tabungan.

2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup

berarti.

3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong

dibangunnya industri hutan rakyat yang akan mempunyai peran penting

dalam ekonomi nasional.

4. Hutan rakyat dibangun di lahan lahan kritis dapat berperan dalam

melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memiliki jenis

tanaman tertentu dapat meningkatkan kesuburan tanah.

5. Hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan

pendapatan negara dari berbagai pajak dan pungutan.

6. Meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal termasuk lahan lahan

marginal.

7 & 232 '+ %

Agroforestri adalah nama bagi sistem sistem dan teknologi penggunaan

lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu,

dan lain lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek serta

(19)

sistem sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur

unsurnya (Foresta et al. 2000).

Sedangkan menurut Nair (1989), agroforestri diartikan sebagai suatu nama

kolektif untuk sistem sistem dan teknologi penggunaan lahan, dimana tanaman

keras berkayu (pohon pohonan, perdu, jenis jenis palem, bambu, dan sebagainya)

ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian dan atau hewan dengan

suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal

dan di dalamnya terdapat interaksi interaksi ekologi diantara berbagai komponen

yang bersangkutan. Agroforestri bertujuan untuk menimbulkan kesadaran dan

harapan akan peningkatan pendapatan rumahtangga dengan meningkatnya

produktivitas hutan dan pertanian secara masing masing.

Foresta et al. (2000) mengelompokkan agroforestri di Indonesia menjadi

dua kategori utama, yaitu:

1. Sistem agroforestri sederhana, berupa perpaduan perpaduan konvensional

yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini

dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Bentuk paling sederhana dari

sistem ini adalah tumpangsari yang bisa dijumpai dalam pertanian

tradisional.

2. Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistem

sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman

musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya

mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder.

Menurut Lahjie (2004) dalam Hutapea (2005), sistem agroforestri

memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi sistem

agroforestri membantu dalam: (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih

bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu,

bahan bakar, pupuk hijau, dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan

panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat

ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya

pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang

berkelanjutan. Secara sosial agroforestri mendukung: (a) terpeliharanya standar

(20)

(b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena

peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi, dan papan; serta (c)

terjaminnya stabilitas komunikasi petani dan pertanian lahan kering sehingga

dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Sementara secara ekologi menurut Young (1997) dan Moore (1997) dalam

Hutapea (2005), agroforestri memberikan manfaat berupa: (a) pengurangan

tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) efisiensi

dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke

lapisan permukaan tanah oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam;

(c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi

tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah

lapisan atas, pengurangan evapotranspirasi dan terpeliharanya kelembaban tanah

oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara lebih

baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas

mikroorganisme tanah; (f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan

organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat

siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.

* 0!"#&"# " + 8 - .. & $% #$2# '%"

Tanaman karet mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864 di masa

pemerintahan kolonial Belanda. Tanaman tersebut ditanam pertama kali di daerah

Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Karet jenis Hevea brasiliensis Muell. Arg.

yang banyak ditanam akhir akhir ini dan merupakan sumber utama bahan karet

alam dunia. Karet mulai diperkenalkan pada tahun 1902 di perkebunan Sumatera.

Pada awalnya, jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica

(Herlina 2002).

Kegunaan utamanya adalah lateks (karet) yang diolah secara langsung

ataupun tidak langsung menjadi sekitar 50.000 produk berbeda. Penggunaannya

berkurang sejak munculnya karet sintetis. Kayunya telah digunakan dalam

pembuatan furnitur. Secara tradisional bijinya dimakan setelah direbus untuk

(21)

suplemen atau komponen produk makanan, seperti makanan bayi dan aneka

makanan ringan (Herlina 2002).

Berdasarkan Data Statistik Hasil Perkebunan Indonesia pada tahun 2000,

total tanaman karet di Indonesia berdasarkan kepemilikan didominasi oleh usaha

kecil seluas 2.882.795 ha atau sekitar 86%, pemerintah seluas 212.617 ha (6%),

dan swasta seluas 276.887 ha (8%). Tanaman karet didominasi oleh pulau

Sumatera dan Kalimantan bila dibandingkan dengan pulau lainnya (Nainggolan et

al. 2005).

Perkebunan karet rakyat merupakan sumber kayu karet yang sangat

potensial. Potensi kayu karet diperkirakan lebih dari 2,7 juta m3 per tahun dihitung

dari luas areal perkebunan karet yang ada, dengan asumsi bahwa perkebunan

besar setiap tahun meremajakan 3% dari areal karetnya, perkebunan karet rakyat

tradisional yang diremajakan hanya 2% (Nancy et al. 2001, dalam Pangihutan

2003).

Umumnya kebun karet rakyat dibangun dengan sistem tebas tebang bakar

hutan sekunder atau hutan karet tua, yang diikuti oleh penanaman tanaman pangan

(padi, jagung dan sayur sayuran) diantara tanaman karet muda selama 1 2 tahun.

Penanaman karet dilakukan bersamaan dengan tanaman pangan atau setelah

tanaman pangan dipanen. Dengan pola yang sama, petani kemudian meninggalkan

lahan dan membiarkan tanaman karetnya tumbuh, sambil mencari lahan baru

untuk dibuka kembali. Penyiangan atau penebasan vegetasi hutan yang tumbuh di

sekitar tanaman karet dilakukan satu sampai dua kali setahun pada awal

pertumbuhan, dan maksimal sekali setahun sampai karet siap disadap. Selama

masa pertumbuhan karet, kebun berkembang menjadi seperti hutan dengan karet

sebagai komoditas utama yang tumbuh bersama dengan jenis pohon kayu, buah

buahan, rotan atau tanaman obat lainnya. Sistem ekstensif dengan pengelolaan

minimal ini berkembang ke arah wanatani kompleks berbasis karet (Budi et al.

2008).

& 232 '+ " + ' !"&"% #+-* -+"# "*)"+

Sebagai sebuah ‘sistem penggunaan lahan dimana tanaman keras dengan

(22)

ruang atau urutan waktu’, dengan ‘interaksi ekonomi dan ekologi antar komponen

yang berbeda’ (Lundrgren dan Raintree 2000, dalam Foresta et al. 2000), kebun

karet campuran dipastikan termasuk sistem agroforestri (Foresta et al. 2000).

Gouyon (1995) dan SFDP/GTZ (1991) dalam Penot (2007) menyatakan

bahwa menurut sejarah, perluasan karet telah meliputi tiga tahap. Tahap pertama

dicirikan oleh pengayaan lahan kosong dengan karet tanpa dipilih. Pada awal

tahap 'perbaikan bera' ini, meskipun karet diakui sebagai sumber pendapatan,

penekanan masih ditempatkan pada produksi padi di perladangan berpindah.

Namun, petani dengan cepat berupaya untuk membangun sistem agroforestri karet

dimana karet lateks yang menjadi sumber utama pendapatan. Tahap kedua

ditandai dengan pergeseran dari karet bera yang ditingkatkan menjadi karet murni,

agroforest kompleks. Tahap ketiga melibatkan integrasi inovasi eksternal kedalam

sistem untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet (Penot 2007).

Agroforest karet adalah salah satu bentuk wanatani kompleks yang umum

dijumpai di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Luas agroforest karet di Indonesia

diperkirakan lebih dari 2,5 juta ha dan mensuplai kira kira 80% dari total produksi

karet di Indonesia (Gouyon et al. 1993; Penot et al. 1997, dalam Rasnovi 2006).

Agroforest karet merupakan sistem pertanian yang seimbang yang berisi

beranekaragam jenis tumbuhan, dibangun petani diluar arahan penyuluh dan

instansi perkebunan. Dengan membangun kebun yang mirip hutan yang dapat

disebut sebagai agroforest, petani dapat menganekaragamkan penghasilan dengan

biaya pembuatan dan perawatan yang rendah (Foresta et al. 2000).

Vegetasi sistem ini cukup kompleks dan biasanya disusun oleh tegakan

pohon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) sebagai komponen utama dan

berbagai jenis liana, herba dan pohon, baik yang tidak disengaja dipelihara

maupun yang sengaja dipelihara untuk maksud tertentu sebagai penghasil buah,

kayu bakar maupun papan. Manajemen wanatani karet umumnya tidak intensif

dan memiliki struktur serta formasi tegakan yang mirip dengan hutan alam.

Agroekosistem yang mampu memadukan fungsi ekonomi dengan konservasi

secara harmonis seperti wanatani karet, bagi negara berkembang seperti

Indonesia, dimana upaya konservasi sering berhadapan dengan masalah sosial dan

(23)

efek negatif hilangnya habitat akibat deforestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor

dan aktor (Rasnovi et al. 2008).

Menurut Gouyon et al. (1993) diacu dalam Pangihutan (2003) kebun karet

campuran atau hutan karet atau agroforest karet merupakan sistem pertanian yang

seimbang yang berisi beranekaragam jenis tumbuhan dimana petani dapat

menganekaragamkan penghasilan dengan biaya dan pembuatan dan perawatan

yang rendah. Kebun karet campuran secara ekologi bisa dianggap sebagai hutan

sekunder berbasis karet. Kebun tersebut umumnya bertahan hingga 40 tahun atau

lebih, sebelum dibuka dan ditanami kembali. Sedang pertumbuhan kembali hutan

sekunder dalam siklus perladangan berputar jarang melebihi 20 tahun. Jangka

waktu ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada spesies non pionir asal

hutan primer untuk berkembang. Di lahan lahan agroforest karet tua yang

ditinggalkan dan tidak ditanami kembali terjadi perkembangan struktur ke arah

hutan tua, jumlah pohon karet semakin lama semakin berkurang.

Pada agroforest karet, pohon karet sering disadap dengan cara

serampangan oleh tenaga yang kurang ahli seperti anak anak, untuk menghemat

biaya tenaga kerja. Akibatnya pohon karet hampir tidak dapat disadap lagi setelah

lebih dari 20 tahun. Sementara pohon karet yang dikelola dengan hati hati di

perkebunan besar bisa disadap selama sekitar 28 tahun. Namun agroforest karet

dapat tetap disadap selama lebih dari 30 tahun ketika pohon yang mula mula

ditanam mati dan membusuk, petani bisa segera mulai menyadap pohon muda

yang tumbuh spontan di sela selanya. Petani merangsang tumbuhnya semaian

karet spontan dengan menyiangi sekelilingnya atau dengan memindahkan anakan

pohon ke tempat bekas pohon mati. Karena karet tidak tumbuh baik di bawah

naungan maka regenerasi ini tidak dapat mencegah menurunnya populasi karet.

Setelah 40 tahun kerapatan karet yang semula 500 pohon per hektar menurun

menjadi 200 pohon per hektar. Akibatnya penyadapan tak lagi menguntungkan,

sehingga petani melakukan penanaman kembali secara menyeluruh (Foresta et al.

2000).

Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman pangan dan tanaman

komersil yang tumbuh bersama karet muda seperti padi, pisang, nanas, sayuran

(24)

pengikisan tanah, gulma rumputan, dan naungan karet menghalangi pengolahan

lebih lanjut. Meski hanya sementara, tanaman tanaman komersil tersebut

merupakan sumber penghasilan satu satunya selama tahun tahun awal. Tanaman

tanaman itu menutupi tanah, mencegah gulma, serta cepat memberikan

penghasilan untuk biaya penyiangan gulma untuk melindungi pohon karet muda.

Tanaman komersil memberikan penghasilan beragam bagi petani, memenuhi

sebagian kebutuhan makanan pokok serta menjadi penyangga bila harga karet

merosot. Dengan memproduksi sendiri padi yang dibutuhkannya, secara sosial

petani juga akan lebih dihargai oleh masyarakat setempat. Sementara itu

komponen non karet di kebun karet yang lebih tua memasok berbagai produk

bernilai ekonomi. Berbagai jenis pohon buah yang tumbuh spontan dimungkinkan

berkat penyebaran biji oleh binatang liar yang dimungkinkan karena

keanekaragaman tumbuhan di agroforest karet. Produk yang dihasilkan

bermanfaat bagi konsumsi buah keluarga, terutama untuk pemenuhan gizi anak

anak.

Agroforest dapat menjadi contoh sistem pertanian dimana

keanekaragaman hayati memberikan manfaat ekonomi langsung. Dalam kasus

agroforest karet, sejak lama keanekaragaman hayati memberikan dua fungsi

ekonomi yaitu (1) menambah penghasilan petani dalam bentuk uang tunai atau

pangan untuk konsumsi sendiri, sehingga petani mampu mengurangi

ketergantungan terhadap karet, (2) memungkinkan petani memperluas lahan yang

ditanami dengan modal dan tenaga kerja minimal (Foresta et al. 2000).

Menurut Foresta et al. (2000) dalam kondisi ekonomi dan alam daerah

lahan kering, sulit untuk merekomendasikan jenis tanaman lain diluar yang sudah

ada. Pemeliharaan tanaman semusim yang dapat berkelanjutan hampir tidak

mungkin bisa menguntungkan. Tanaman keras yang cocok untuk lahan tersebut

terbatas pada karet, pohon buah buahan dan kelapa sawit, tetapi kelapa sawit

membutuhkan investasi besar. Maka pilihan untuk meningkatkan penghasilan

petani lebih mungkin bertumpu pada karet dengan menggunakan spesies

pepohonan yang bisa dipadukan dengan karet.

Sekarang sistem agroforest karet tradisional menghadapi persaingan ketat

(25)

membaiknya perekonomian sehingga modal bukan merupakan suatu kendala bagi

petani. Mereka lebih tertarik untuk mengganti agroforest karet menjadi kebun

karet monokultur ataupun kebun kelapa sawit yang menurut mereka lebih

menguntungkan (Rasnovi 2006).

Selanjutnya Rasnovi (2006) mengemukakan beberapa faktor yang

menyebabkan perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan agroforest

karet. Pertama, berdasarkan kenyataan bahwa produktivitas getah agroforest karet

per hektar rata rata lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet monokultur.

Kedua, hadirnya pilihan pilihan baru penggunaan lahan yang lebih

menguntungkan dari sisi ekonomi jangka pendek. Bentuk perkebunan kelapa

sawit adalah kompetitor yang paling kuat terhadap sistem agroforest karet yang

diikuti oleh bentuk perkebunan karet monokultur. Ketiga, umumnya petani yang

mempraktekkan sistem agroforest karet adalah petani petani miskin yang

kekurangan modal. Akses mereka terhadap informasi yang sangat kurang dan

posisi tawar yang rendah menyebabkan turunnya popularitas sistem multikultur

karet di masyarakat. Keempat, belum adanya pengakuan dari pemerintah sebagai

pengambil kebijakan untuk mengakui bahwa agroforest karet atau perkebunan

karet monokultur adalah salah satu pilihan bentuk penggunaan lahan sama halnya

dengan perkebunan karet monokultur ataupun perkebunan kelapa sawit yang

terlihat jelas dalam laporan laporan statistika daerah yang tidak mencantumkan

data mengenai agroforest karet di daerahnya.

9 * 0!"#&"# ."(" "/%+ 8 "4: ; $% #$2# '%"

Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2003) dalam Pasaribu (2005),

upaya pengembangan kelapa sawit di Indonesia dirintis oleh Adrian Hall

berkebangsaan Belgia yang mempunyai pengalaman pembudidayaan kelapa sawit

di Afrika. Namun kelapa sawit yang ditanam di perkebunan Indonesia bukan

berasal dari Afrika. Indonesia menerima bibit kelapa sawit sejumlah empat batang

dari Bourbon dan Amsterdam, yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor

pada tahun 1848. Anakan dari empat batang sawit ini kemudian dipindahkan ke

(26)

Adrian Hall membangun perkebunan kelapa sawit pertama dalam skala

besar di Sungai Liput (Nangroe Aceh Darussalam) dan Pulu Raja (Asahan,

Sumatera Utara) dengan menggunakan benih dari Deli pada tahun 1911. Upaya

pengembangan kelapa sawit selanjutnya di Indonesia berkembang cukup pesat

dimana pada tahun 1925 telah ditanam kelapa sawit seluas 39.000 ha di Sumatera

dan pada tahun 1938 seluas 114.000 ha (Mangoensoekarjo dan Semangun 2003,

dalam Pasaribu 2005).

Setyamidjaja (2006) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit sering

ditanam pada berbagai kondisi areal sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan

dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Cara membuka lahan untuk tanaman

kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia.

1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak

belukar atau areal yang ditumbuhi lalang.

2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami dengan

tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, atau komoditas tanaman

perkebunan lainnya.

3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga ditanami

kelapa sawit.

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia

setelah Malaysia. Sebanyak 85% lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh

Indonesia dan Malaysia (Pahan 2006).

Menurut Setyamidjaja (2006), setelah Indonesia melaksanakan

Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang dimulai tahun 1969, perkembangan

perluasan perkebunan kelapa sawit berjalan dengan pesat. Perluasan tanaman

kelapa sawit yang dilaksanakan meliputi:

1. Penguasaan kembali areal yang diokupasi oleh petani/ penduduk yang

berdomisili di sekitar perkebunan.

2. Konversi kebun kebun swasta yang tidak terurus, konversi dari komoditas

non kelapa sawit (misalnya karet) menjadi kelapa sawit.

3. Mengimplementasikan berbagai proyek pengembangan perkebunan kelapa

(27)

Pengembangan (UUP), Pola Swadaya, dan Pola Pembinaan Perkebunan

Besar.

4. Membuka hutan hutan perawan dan hutan sekunder menjadi perkebunan

kelapa sawit yang sebelumnya merupakan konsesi perkebunan maupun

kehutanan melalui PMDN/PMA.

Peta penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencakup 19

provinsi dengan luas areal tanaman pada tahun 2004 sebesar 5,45 juta ha. Provinsi

yang mempunyai luas areal terbesar yaitu Riau dengan luas 1,37 juta ha atau

merupakan 25,15% dari total area kelapa sawit nasional. Peringkat kedua dan

ketiga yaitu provinsi Sumatera Utara (17,53%) dan Sumatera Selatan (9,46%),

dengan komposisi kepemilikan usaha yang paling dominan yaitu perkebunan

besar swasta nasional (PBSN), disusul kemudian oleh perkebunan rakyat dan

perkebunan negara (Pahan 2006).

Menurut Setyamidjaja (2006), dari produk hulu kelapa sawit dapat

dihasilkan jenis jenis produk sebagai berikut.

1. Minyak sawit (CPO) yang menghasilkan carotene, tocopherol, olein,

stearin, soap stock, dan free fatty acid.

2. Inti sawit menghasilkan minyak inti dan bungkil.

3. Tempurung menghasilkan arang, tepung tempurung, dan bahan bakar.

4. Serat menghasilkan bahan bakar dan sumber selulosa.

5. Tandan kosong digunakan sebagai sumber selulosa.

(28)

7 "#&*" 0%*% "#

Pada umumnya ekonomi pedesaan berhubungan erat dengan pemilikan

lahan yang meliputi pekarangan, tegalan, kebun, talun, sawah, dan sebagainya

(Hardjanto 2003). Pedesaan sering diidentikkan dengan tingkat ekonomi yang

rendah. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat pedesaan semakin kritis dan

peka terhadap informasi pasar dan hal hal yang dapat memberikan pengaruh

positif terhadap kondisi ekonomi.

Penggunaan lahan menjadi bentuk bentuk tertentu diharapkan mampu

memberikan pendapatan dan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pada daerah dengan mayoritas lahan kering peningkatan pendapatan masyarakat

salah satunya dilakukan dengan intensifikasi pemanfaatan lahan dengan cara

menanam berbagai komoditas (Hardjanto 2003).

Beberapa dekade terakhir kebun kelapa sawit telah menjadi salah satu

sektor unggulan Indonesia. Pertumbuhan kebun kelapa sawit Indonesia kian pesat,

meliputi perkebunan milik negara, swasta, dan rakyat. Kebun kelapa sawit

menggeser penggunaan lahan lain, termasuk hutan hutan primer dan sekunder,

khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Disisi lain kedua pulau ini juga

merupakan sumber komoditi karet alam terbesar di Indonesia yang dihasilkan oleh

perkebunan karet dan hutan tanaman rakyat atau wanatani karet. Namun

belakangan ini perdagangan karet alam mengalami penurunan akibat adanya karet

sintetis. Sehingga dengan demikian bila ditinjau dari segi ekonomi dan

profitabilitas pemanfaatan lahan untuk menghasilkan sawit lebih menguntungkan

bagi masyarakat mengingat kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia yang terus

meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk.

Melalui penelitian ini penulis ingin mengkaji bagaimana persepsi

masyarakat pedesaan terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit

serta karakteristik yang diduga mempengaruhinya. Karakteristik tersebut adalah

jenis kelamin, usia, lama bersekolah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama,

(29)

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

7 2*"'% $"# "*+- # .%+%"#

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sipaho, Kecamatan Halongonan,

Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung sejak bulan

Juni sampai Juli 2010.

7 7 ."+ $"# ","#

Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Kuesioner

2. Peta wilayah penelitian

3. Data statistik lokasi penelitian

4. Alat tulis

5. Unit komputer dengan program Microsoft Office Word 2007, Microsoft

Office Excel 2007, dan SPSS (Statistical Product and Service Solution)

13.0 for Windows Masyarakat

Persepsi

Jenis kelamin Usia

Lama bersekolah

Jumlah anggota keluarga Pekerjaan utama

Lama bekerja

Luas kepemilikan lahan Pendapatan

Pendapatan

Hutan Rakyat Berbasis Karet

Kebun Kelapa Sawit

(30)

7 #%' $"# *#%* #&-0(-."# "+"

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari masyarakat

melalui wawancara, kuesioner, dan observasi di lapangan. Sementara data

sekunder berupa data kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya

masyarakat, serta data terkait lokasi penelitian yang diperoleh di tingkat desa,

kecamatan, dan instansi lainnya.

7 2' $- ."*'"#""# # .%+%"#

3.5.1 Penentuan daerah contoh

Penentuan daerah contoh menggunakan purposive sampling dengan

memilih desa yang dapat mewakili ruang lingkup penelitian. Sehingga daerah

contoh pengambilan responden adalah daerah yang memiliki hutan rakyat

berbasis karet dan kebun kelapa sawit.

3.5.2 Pemilihan dan jumlah responden

Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling. Jumlah dan

jenis responden dikondisikan agar dapat mewakili kelompok pekerjaan yang akan

diperbandingkan, yaitu petani karet sebanyak 36 responden, petani karet sekaligus

kelapa sawit dan bukan petani masing masing sebanyak 18 dan 6 responden.

Purposive sampling mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan

sengaja. Cara pengambilan sampel dilakukan diantara populasi sehingga sampel

tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya

(Mardalis 2004).

Dalam menentukan jumlah sampel Roscoe (1975) menyatakan bahwa

untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat,

ukuran sampel bisa antara 10 20 elemen. Sebagian besar uji statistik selalu

menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji uji statistik yang

ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 60 atau

dari 120 250. Namun jika sampelnya diatas 500, tidak direkomendasikan untuk

(31)

7 9 #&2.","# $"# #".%'%' "+"

3.6.1 Pengukuran persepsi responden

Persepsi responden terpilih terhadap perkebunan kelapa sawit dan hutan

rakyat berbasis karet diukur melalui kuesioner semi terbuka dengan mengajukan

sejumlah pernyataan mengenai hal hal berikut:

a. Penilaian subjektif tentang hutan rakyat berbasis karet dan perkebunan

kelapa sawit

b. Pandangan terhadap masalah yang memiliki hubungan dengan

keberadaan hutan rakyat berbasis karet dan perkebunan kelapa sawit

c. Pandangan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan hutan

rakyat berbasis karet dan perkebunan kelapa sawit

Persepsi diukur menggunakan skala Likert. Persepsi selanjutnya

dikategorikan menjadi tiga kelompok besar, yaitu baik, sedang, dan buruk

berdasarkan standar deviasi.

Tabel 1 Kategori repon skala Likert (Allen dan Seaman 2007)

*"." 7

sering selalu kadang kadang Jarang tidak pernah

sangat setuju setuju netral tidak setuju sangat tidak

setuju paling

penting

penting netral tidak penting sangat tidak

penting

Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur

sikap, pendapat, atau persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu

variabel, konsep, gejala, atau fenomena. Skala Likert terdiri dari pernyataan

positif yang menjadi indikasi positif dan sebaliknya bentuk pernyataan negatif

menjadi indikasi negatif. Setiap pernyataan disediakan lima alternatif pilihan

dengan skor berurutan, yaitu sangat setuju (5) sampai sangat tidak setuju (1) untuk

pernyataan positif dan sangat setuju (1) sampai sangat tidak setuju (5) untuk

pernyataan negatif (Djaali dan Muljono 2004).

Tabel 2 menyajikan karakteristik responden yang dianalisis korelasinya

dengan tingkat persepsi. Data karakteristik dianalisis berdasarkan selang yang

dihitung menurut sebaran contoh, sedangkan tingkat persepsi dianalisis dengan

(32)

Tabel 2 Variabel penelitian

2 <" %"! . "+ &2 % *"." "'"

#&-*- "#

1 Jenis kelamin 1. Laki laki 2. Perempuan

nominal sebaran contoh

2 Umur (tahun) 1. Remaja (< 20) 2. Dewasa (20 50) 3. Tua (> 50)

Ordinal sebaran contoh

3 Lama bersekolah (tahun)

Ordinal sebaran contoh

4 Jumlah anggota keluarga (orang)

1. Kecil (< 4) 2. Sedang (4 7) 3. Besar (> 7)

Ordinal sebaran contoh

5 Pekerjaan atau matapencaharian

1. Petani karet

2. Petani karet dan kelapa sawit 3. Lain lain

nominal sebaran contoh

6 Lama bekerja (tahun)

Berdasarkan sebaran data yang diperoleh di lapangan

Ordinal sebaran contoh

7 Luas kepemilikan lahan (ha)

1. < 2 2. 2 5 3. > 5

Ordinal sebaran contoh

8 Pendapatan (Rp) Berdasarkan sebaran data yang diperoleh di lapangan

Ordinal sebaran contoh

9 Persepsi 1. Buruk

2. Sedang 3. Baik

Ordinal standar deviasi

Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh

responden untuk setiap aspek yang diajukan pada kuesioner. Skor dari setiap

aspek dikategorikan berdasarkan perhitungan standar deviasi menggunakan rumus

(33)

Dimana s = standar deviasi

n = banyaknya responden

xi = nilai dari responden ke i

x = nilai rata rata

Tabel 3 Nilai tingkat persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit

%#&*"+ ( ' ('%

'( *

"%* $"#& - -*

-+"# "*)"+ ! !"'%' *" +

Sosial ekonomi > 45 34 < x < 45 < 34

Ekologi > 31 24 < x < 31 < 24

Sosial budaya > 12 8 < x < 12 < 8

!-# * ."(" '"/%+

Sosial ekonomi > 41 32 < x < 41 < 32

Ekologi > 25 17 < x < 25 < 17

Sosial budaya > 12 5 < x < 12 < 5

3.6.2 Uji validitas dan reliabilitas

Uji validitas dilakukan guna mengetahui apakah pernyataan yang diajukan

pada kuesioner sah atau tidak. Dengan kata lain uji validitas dilakukan terkait

keakuratan instrumen penelitian. Pengujian dilakukan melalui pengukuran

korelasi antara item pernyataan dengan skor total variabel. Instrumen dikatakan

valid apabila nilai korelasi (pearson correlation) adalah positif dan nilai

probabilitas korelasi [sig. (2 tailed)] < taraf signifikan (α) sebesar 0,05 (selang

kepercayaan 95%). Uji reliabilitas sendiri dilakukan untuk mengetahui

sejauhmana suatu instrumen pengukuran memberikan hasil yang dapat dipercaya/

diandalkan. Uji reliabilitas menggunakan metode koefisien Alpha Cronbach pada

software SPSS 13.0.

Menurut Uyanto (2009) suatu instrumen pengukuran (misal kuesioner)

dikatakan reliabel (reliable) bila memberikan hasil skor yang konsisten pada

setiap pengukuran. Perlu diperhatikan bahwa suatu pengukuran mungkin reliabel

tapi tidak valid, tetapi suatu pengukuran tidak bisa dikatakan valid bila tidak

reliabel. Ini berarti reliabilitas (reliability) merupakan syarat perlu tapi tidak

(34)

Mengingat perbandingan persepsi responden terhadap kedua objek dilakukan

menurut aspek aspek yang sama, maka satu pernyataan yang tidak valid atau

memiliki tingkat reliabilitas rendah pada instrumen pengukuran persepsi terhadap

objek A akan mengakibatkan pernyataan yang sifatnya sama pada instrumen

pengukuran persepsi terhadap objek B harus dihilangkan.

Tabel 4 Tingkat reliabilitas metode Alpha Cronbach

.(," %#&*"+ .%"!%.%+"'

0.00 – 0.20 kurang reliabel

> 0.20 – 0.40 agak reliabel

> 0.40 – 0.60 cukup reliabel

> 0.60 – 0.80 Reliabel

> 0.80 – 1.00 sangat reliabel

Sumber: Sari (2007)

3.6.3 Pengolahan dan analisis data

Untuk menjawab tujuan yang bersifat deskriptif terbatas pada teknik

pengolahan statistika dasar, meliputi frekuensi distribusi, ukuran sebaran (rata

rata, standar deviasi, serta nilai minimum dan maksimum), grafik, dan tabulasi,

kemudian dilakukan penafsiran. Sementara untuk menjawab tujuan yang sifatnya

menganalisis hubungan antarpeubah digunakan uji korelasi (Tabel 5).

Tabel 5 Cara analisis data

2 <" %"! . )"#& %"#".%'%' 1" " #".%'%' "+"

1 Hubungan jenis dan pekerjaan dengan

persepsi responden

Uji Chi Kuadrat

2 Hubungan umur, lama bersekolah, tingkat

pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama bekerja, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan dengan persepsi responden

Uji Rank Spearman

Uji Chi Kuadrat digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel

berskala nominal (jenis kelamin dan pekerjaan utama) dengan tingkat persepsi

responden. Penghitungan dalam uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan

SPSS 13.0 atau rumus sebagai berikut:

(35)

Dimana x2 = nilai Chi Kuadrat k = banyaknya kategori/ sel

oi = frekuensi observasi untuk kategori ke i

ei = frekuensi ekspektasi untuk kategori k

Pada metode Chi Kuadrat hubungan diuji dalam baris dan kolom sebuah

tabel kontingensi dalam software SPSS 13.0. Hipotesis yang umum digunakan

dalam pengujian ini adalah Ho = Tidak ada hubungan antara baris dan kolom dan

H1 = Ada hubungan antara baris dan kolom. Pengambilan keputusan dilakukan

berdasarkan perbandingan nilai Chi Squarehitung dan Chi Squaretabel. Jika Chi

Squarehitung < Chi Squaretabel maka Ho diterima dan sebaliknya, jika Chi

Squarehitung > Chi Squaretabel, maka Ho ditolak.

Sedangkan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara variabel berskala

ordinal (usia, lama bersekolah, jumlah anggota keluarga, lama bekerja, luas

kepemilikan lahan, dan pendapatan) yang mempengaruhi tingkat persepsi

responden digunakan uji Rank Spearman menggunakan SPSS 13.0 atau rumus

sebagai berikut:

− ( − )

Dimana rs = koefisien korelasi Spearman

n = banyaknya pasangan data

di = selisih peringkat antara dua rangking pengamatan

Pada software SPSS 13.0 output akan menampilkan koefisien korelasi dan

signifikasi. Uji signifikansi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan

signifikan antar variabel yang diuji. Hipotesisnya adalah Ho = Tidak ada

hubungan antara variabel dan H1 = Ada hubungan antara variabel. Apabila

signifikansi > 0,05 maka Ho diterima serta sebaliknya, jika signifikansi < 0,05

maka H1 diterima. Sementara koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui

(36)

Tabel 6 Tingkat keeratan hubungan antara variabel dengan uji Rank Spearman

#+ 5". %#&*"+ -!-#&"#

0,00 – 0.25 sangat lemah

> 0.25 – 0.50 Cukup

> 0.50 – 0.75 Kuat

> 0.75 – 1,00 sangat kuat

Sumber: Sarwono (2006)

Untuk kontribusi pendapatan diperoleh dari besarnya pendapatan rata rata

dari tiap jenis sumber pendapatan yang dibandingkan dan dipersentasekan

terhadap nilai rata rata pendapatan total dalam satu tahun dan luas lahan.

Penghitungan pendapatan kotor responden dari kebun dan sawah dilakukan

dengan cara mengalikan berbagai komoditas yang dihasilkan dengan harga jual

yang berlaku saat penelitian berlangsung.

7 3%#%'% ( "'%2#"..

1. Karakteristik individu adalah ciri ciri fisik dan kondisi sosial ekonomi

responden pada daerah contoh baik pria maupun wanita yang selanjutnya

dibagi menjadi:

a. #%' * ."0%#, terdiri dari laki laki dan perempuan.

b. 0- , yakni usia responden pada saat dilakukan penelitian yang diukur

dalam satuan tahun. Umur reponden digolongkan menjadi kelompok

remaja (< 20 tahun), dewasa (20 50 tahun), dan tua (> 50 tahun).

c. "0" ! ' *2.",adalah lamanya responden bersekolah atau mengenyam

pendidikan formal yang dihitung dalam satuan tahun.

d. -0.", "#&&2+" * .-" &" adalah jumlah anggota keluarga responden

yang masih hidup saat dilakukan penelitian dan hanya meliputi istri/ suami

dan anak. Jumlah anggota keluarga responden dibedakan menjadi kecil (<

4 orang), sedang (4 7 orang), dan besar (> 7 orang).

e. * 6""# "+"- 0"+"( #4"," %"# adalah kegiatan utama yang dilakukan

responden untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan dibagi kedalam

tiga kategori, yakni petani karet, petani karet sekaligus kelapa sawit, dan

bukan petani.

f. "0" ! * 6" adalah lamanya responden berkerja sebagai petani karet,

(37)

g. -"' * ( 0%.%*"# .","# adalah luas lahan garapan yang dimiliki

responden pada saat penelitian. Luas kepemilikan lahan dibedakan

menjadi tiga kelompok berikut, < 2 ha, 2 5 ha, dan > 5 ha.

h. #$"("+"# adalah akumulasi pendapatan kotor responden per bulan dan

per tahun.

2. ' ('%adalah penilaian dan pendapat responden terhadap keberadaan hutan

rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit di lingkungannya.

3. -+"# "*)"+ ! !"'%' *" + yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

hutan rakyat karet pola agroforestri yang dimiliki secara perorangan dan

dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan

keluarga.

4. !-# * ."(" '"/%+ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebun

(38)

<

+"* $"# -"'

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Sipaho, Kecamatan Halongonan,

Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Posisi geografis

Kecamatan Halongonan berada pada 01o31’29” 01o44’48” LU dan 99o35’36”

99o58’46” BT. Penggunaan lahan di Desa Sipaho didominasi oleh kebun karet dan

kebun kelapa sawit. Data luas lahan berdasarkan peruntukannya disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7 Tata guna lahan Desa Sipaho

-#&'% ","# -"' 8,";

Persawahan 660

Kebun karet 5150

Kebun kelapa sawit 3320

Kebun palawija 5

Pemukiman 150

Perikanan 25

Padang penggembalaan 250

Sungai 437

Tanah wakaf 3

2+". 10000

Sumber: Potensi Desa Sipaho (2009)

2(2& "3%

Kabupaten Padang Lawas Utara terdiri dari areal datar dan landai

(16,25%), curam (44,59%), berbukit bukit (4,03%), dan bergunung (35,13%)

dengan ketinggian 0 1.915 m dpl (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli

Selatan 2008). Desa Sipaho sendiri terdiri dari areal dengan topografi datar

(Potensi Desa Sipaho 2009, Koordinator Statistik Kecamatan Halongonan 2008).

7 %$ 2.2&%

Berdasarkan data Potensi Desa Sipaho (2009) dan pengamatan di lapangan

(39)

tersebut adalah Sungai Batang Galoga, Sungai Aek Sipaho, dan Sungai Aek

Hararongga.

2'%". *2#20% $"# -$")"

Mayoritas penduduk Desa Sipaho merupakan suku Batak (Mandailing)

dan memeluk agama Islam. Perekonomian desa sangat bergantung pada kegiatan

pertanian yang dijadikan sebagai pekerjaan utama oleh sebagian besar

penduduknya meliputi sawah, kebun karet dan kebun kelapa sawit.

0 %#+","# $"# ( #$-$-*"#

Sebelum dikeluarkan dan disahkannya Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan

bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan yang selanjutnya mengalami pemekaran

menjadi 3 (tiga) kabupaten baru, yaitu Kabupaten Padang Lawas Utara,

Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Secara administratif,

Desa Sipaho berada di Kecamatan Halongonan, Kabupaten Padang Lawas Utara.

Desa ini terdiri dari 12 (dua belas) lingkungan yaitu Sipaho Lama, Sipaho Darat,

Sipaho Baru, Janji Matogu, Sipaho Jae, Sukarame, Batu Pulut, Sungai Ampolu,

Palangas, Pardomuan, Simpang Barumun, dan Padang Bulan. Jumlah total

penduduk Desa Sipaho pada tahun 2009 adalah 2.881 jiwa yang terdiri dari 1.525

(40)

<

!-# " + "*)"+ $% '" %(",2

5.1.1 Sejarah kebun karet rakyat di Desa Sipaho

Kabupaten Padang Lawas Utara sebagai salah satu daerah agraris

unggulan sentra produksi karet di Sumatera Utara memiliki kebun karet seluas

35.156 ha. Seluruhnya merupakan kebun karet rakyat dengan produksi sebanyak

18.439,35 ton (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan 2008). Jumlah

ini menyumbang sekitar 8,24% dari total produksi perkebunan karet rakyat

provinsi pada tahun yang sama.

Kebun karet telah menjadi sumber matapencaharian sebagian besar

penduduk di Kabupaten Padang Lawas Utara, termasuk Desa Sipaho. Pada tahun

2009 Desa Sipaho memiliki kebun karet rakyat seluas 5.150 ha (Potensi Desa

Sipaho 2009) yang diusahakan pada tanah adat atau hak milik dan dikembangkan

dengan teknik sederhana.

Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa pohon karet

sudah ada di kawasan Desa Sipaho dan sekitarnya sejak zaman pendudukan

kolonial Belanda, jauh sebelum tren kebun sawit rakyat muncul. Pohon karet

dijumpai pada lahan lahan subur di sekitar daerah aliran Sungai Batang Galoga,

sumber air utama beberapa desa. Pohon karet tumbuh bersama semak belukar,

bambu, pandan, serta jenis pohon lain yang memasok kebutuhan rumahtangga

seperti kayu bakar, kayu pertukangan, buah buahan, serta makanan ternak. Pada

masa itu perekonomian masyarakat masih sangat bergantung dari usaha pertanian

sawah, kebun kebun palawija, dan ternak.

Pengusahaan pohon karet dirintis petani dengan membangun kebun karet

campuran yang selanjutnya dalam tulisan ini juga disebut ‘hutan rakyat berbasis

karet’. Melalui sistem tebas bakar hutan rakyat berbasis karet dibangun di atas

lahan lahan yang dianggap tidak produktif lagi khususnya hutan atau disebut

masyarakat lokal sebagai ‘harangan’, tegakan karet tua di sekitar sungai, atau

memanfaatkan sebagian lahan persawahan (Gambar 2). Bibit karet ditanam dan

(41)

dengan sengaja maupu

atau proses alam. Kem

rakyat berbasis karet

Desa Sipaho dan sekita

Gambar 2 Hutan

5.1.2 Pembangunan d

Pembangunan

pengetahuan dan kete

dibuka dengan cara

bahan baku pembuatan

Lahan yang te

memudahkan pembak

dianggap dapat mena

selama kurang lebih 3

dinilai akan lebih baik j

Seiring berkura

petani mulai mengalih

maupun tumbuh spontan akibat adanya aktivitas

Kemudian secara berangsur angsur dan turun

aret menjadi bagian penting bagi kegiatan ekonom

sekitarnya.

Hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Des

unan dan pengelolaan hutan rakyat berbasis karet

unan hutan rakyat berbasis karet di Desa Sip

keterampilan sederhana. Hutan dan kebun ke

ara menebang pepohonan dan kayunya diperunt

uatan rumah atau kayu bakar.

ang telah dibuka dibiarkan mengering selama

mbakaran. Selain praktis dan murah, abu sisa

menambah kesuburan tanah. Lahan selanjutnya

bih 3 bulan sampai waktu penanaman tiba. Kondi

baik jika dalam kurun waktu tersebut terjadi hujan

erkurangnya hutan dan kebun kebun tua di sekitar

engalihfungsikan padang padang ilalang menjadi

makhluk hidup

turun temurun hutan

(42)

hutan rakyat berbasis

dilakukan secara mek

herbisida.

Penanaman bib

jarak tanam yang berva

di Desa Sipaho adalah

okulasi yang banyak di

asis karet. Persiapan padang ilalang sebagai

a mekanis dengan tebas bakar atau khemis me

an bibit karet diawali pembuatan lobang tanam

bervariasi. Jarak tanam yang banyak digunakan ol

dalah 3 m x 4 m. Bibit karet diperoleh dari biji ata

yak dijual.

anaman palawija diantara tegakan karet muda di De

enanam berbagai jenis tanaman palawija di sela

bar 3). Tanaman palawija memenuhi kebutuhan

2 tahun pertama. Jenis tanaman palawija yang u

ah ubi kayu (Manihot utilisima), labu (Cucurbit

ratus), timun (Cucumis sativus), oyong (Luffa

a aquatica), bayam (Amaranthus sp.), pisang (

atata), nenas (Ananas comosus), terong (Solanu

llifolius), tomat (Lycopersicon esculentum), teb

Capsicum annum). Disamping itu tanaman p

nya rumput dan semak belukar sehingga meringan

ebagai lahan tanam

is melalui aplikasi

anam menggunakan

kan oleh petani karet

biji atau cabutan dan

di Desa Sipaho.

sela sela tanaman

utuhan rumahtangga

ang umum ditanam

urbita pepo), serai

Luffa acutangula),

ang (Musa sp.), ubi

lanum sp.), pandan

), tebu (Saccharum

an palawija dapat

(43)

Formasi hutan

buah (Gambar 4). Bib

pinggiran kebun. Sela

konsumsi rumahtangg

sekaligus memiliki ma

pohon karet berakhir.

berbasis karet diantara

odorata), durian (Du

dikelola secara eksten

n rakyat berbasis karet juga didukung berbag

). Bibit pohon buah ditempatkan diantara tanam

. Selain nantinya menghasilkan varian buah unt

tangga, penanaman bibit pohon buah di pingg

gai tanda/ batas lahan.

anaman aren (kiri) dan pohon cempedak (kanan) pa berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho

erapa kasus pohon buah tumbuh tanpa disengaja k

pohon yang dinilai tidak mengganggu pertu

iki manfaat akan terus dibiarkan tumbuh hingga

khir. Adapun pohon buah yang umum ditemukan d

iantaranya langsat (Lansium domesticum), kuwe

Durio zibethinus), mangga (Mangifera indic

mpeden), sukun (Artocarpus altilis), nangka

manggis (Garcinia mangostama), jengkol

n rambutan (Nephelium lappaceum), serta tanaman

perti perkebunan karet plasma, hutan rakyat

ekstensif. Aplikasi pupuk dilakukan 2 3 kali d

ukan di hutan rakyat

weni (Mangifera

indica), cempedak

angka (Artocarpus

kol (Archidendron

naman aren (Arenga

kyat berbasis karet

Gambar

Tabel 2  Variabel penelitian
Tabel 3  Nilai tingkat persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan
Tabel 4  Tingkat reliabilitas metode Alpha Cronbach
Tabel 6  Tingkat keeratan hubungan antara variabel dengan uji Rank Spearman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini menjadi penting untuk melakukan survei sikap masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di Pantai Loang Baloq

Data primer merupakan data utama yang mencakup identitas responden, keadaan umum usaha peternakan, pendapatan usaha, kebutuhan tenaga kerja, upah tenaga kerja,

larutan alkali natrium hidroksida.. 21) Gas klorin dilarutkan dalam air. Apakah yang anda boleh perhatikan jika sehelai kertas litmus biru direndam ke dalam larutan yang terbentuk

b) Lagu kedua, berjudul Wo ai Wo de jia yang artinya saya cinta keluargaku. Lagu ini menceritakan tentang anggota keluarga. c) Lagu ketiga, yang berjudul zhu Ni Shengri Kuai Le

Tulisan ini disusun bersumber dari hasil temuan di lapangan tempat peneliti magang profesi psikologi, yaitu di departemen distribusi general book area Jawa Tengah Perusahaan

Namun setelah dilakukan tindakan pada siklus I dapat dilihat hasil belajar siswa pada pelajaran matematika cukup memuaskan, dimana standar ketuntasan untuk

Berdasarkan Pasal 86 ayat (3) PP No. Definisi Jembatan secara umum adalah suatu konstruksi yang dibangun untuk melewatkan suatu massa atau traffic lewat atas

[r]