• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Bunuh Diri Di Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Budaya Bunuh Diri Di Jepang"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ari Ginanjar. 2010. Spiritual Samurai. Jakarta: ArgaTilanta.

Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai danBungaSeruni (The Chrysantheum and The Sword), AlihBahasa, Pramudji.Jakarta :SinarHarapan

Edizal, Takayuki Inohana. 2002.MengertiBahasa Dan BudayaJepang. Padang :Kayupasak.

Fukutake, Tadashi. 1988. “MasyarakatJepangdewasaIni( Japanese Society Today)”, AlihBahasa, Haryono. Jakarta : PT. Gramedia.

Ginting.Paham.2006.FilsafatIlmudanMetodePenelitian.Medan : USU Press

Meleong. 2005. MetodologiPenelitianKualitatifEdisiRevisi. Bandung : PT. RemajaRosdaKarya.

Nazir, Moh. 1988. MetodePenelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Surajaya, I Ketut. 1984. PergerakanDemokrasiJepang. Jakarta: PT. KaryaUnipress.

Situmorang, Hamzon. 2006. IlmuKejepangan. Medan: USU Press.

---. 2013. MinzokuGaku (Ethnologi) Jepang. Medan: USU Press

(2)

http://carapedia.com/pengertian_defenisi_metode_menurut_para_ahli-_info497.html

http://www.ianfuindonesia.webs.com

http://wilson-therik.blogspot.cmp/2008/03/m3ng3nal-sosiologi-emille.durkheim.html

100-8916 東京都千代田区霞が関1-2-2 電話:03-5253-1111(代表) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.

(3)

BAB III

PERGESERAN MOTIF DAN BENTUK BUNUH DIRI DARI ZAMAN FEODAL HINGGA DEWASA INI

3.1 MOTIF BUNUH DIRI

Ada beberapa pendapat mengenai mengapa orang memilih untuk melakukan bunuh diri/jisatsu ( 自 殺 ). Seorang psikolog Sartono Mukadis, mengatakan ada beberapa motif seseorang melakukan bunuh diri/jisatsu (自 殺). Sartono Mukadis mengelompokkan 4 pandangan tentang motif seseorang melakukan tindakan bunuh diri/jisatsu ( 自 殺 ) yaitu berdasarkan romantisme atau heroitisme,eksistensial, dan patologis serta absurditas. Motif jisatsu ( 自殺) eksistensial adalah seseorang melakukan bunuh diri agar eksistensinya dihargai

(4)

Pada fenomena jisatsu (自殺) yang muncul di Jepang pada masa feodal dapat dikatakan sebagai jisatsu (自殺) alturistik (hal. 22). Jisatsu (自殺) alturistik merupakan –bentuk bunuh diri yang dilakukan sabagai pengorbanan diri yang dianggap sebagai makna penyatuan diri terhadap kelompok sosialnya, sedangkan jisatsu (自 殺) pada saat sekarang ini cenderung dikatakan sebagai jisatsu (自 殺) egoistic.

Selain dari motif dan tipe jisatsu (自 殺) di atas, pandangan orang terhadap jisatsu (自殺) juga dapat menjadi alasan orang untuk melakukan bunuh diri. Di Jepang banyak motif yang mendasari seseorang dapat melakukan jisatsu (自殺), diantaranya :

3.1.1 Penyakit yang Tak Kunjung Sembuh di Kalangan Lansia

(5)

yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri. Dengan usia yang tidak produktif lagi serta adanya penyakit yang tak kunjung sembuh lebih cenderung membuat kaum lansia di Jepang stress dan cenderung lebih sensitif, hal ini merupakan salah satu hal yang menjadi penyebab kaum lansia banyak melakukan bunuh diri/ jisatsu (自殺). Bunuh diri/jisatsu (自殺) yang dilakukan oleh kaum lansia ini didasari oleh rasa malu karena telah menjadi beban buat keluarga intinya dan rasa bersalah karena sudah menjadi beban buat keluarga dan masyarakat.

Motif bunuh diri karena penyakit tak kunjung sembuh ini pada zaman feodal juga telah ada akan tetapi jumlah persentase bunuh diri karena hal ini tidak sebanyak jumlah persentase zaman sekarang ini. Pada tahun 2014 jumlah bunuh diri di kalangan lansia karena motif ini sebesar 23,6 % dari jumlah 30,6% kalangan lansia yang melakukan bunuh diri.

3.1.2 Depresi

(6)

terjadi karena peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti trauma, kehilangan seseorang yang berarti, hubungan yang buruk, tanggung jawab pekerjaan, mengasuh anak dan lansia, penyalahgunaan, kemiskinan mungkin memicu gangguan depresi pada beberapa orang.

(7)

3.1.3 Krisis Dalam Hubungan Personal

Krisis dalam hubungan personal adalah adanya konflik-konflik antar hubungan masyarakat, seperti konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang yang terkasih akibat kematian. Faktor ini menyebabkan hubungan emosianal antara sesama menjadi tidak ada. Sikap kepedulian terhadap sesama, lingkungan, dan keluarga mengakibatkan seseorang di Jepang merasa sendiri. Hal ini terjadi disemua kalangan tidak hanya dikalangan dewasa tapi juga dikalangan remaja. Krisis hubungan personal ini sering dialami oleh remaja di Jepang saat ini. Remaja di Jepang saat ini sering mengalami masalah dengan orang tua dan lingkungan dalam masyrakatnya misalnya adanya bullying/ijime yang dilakukan di sekolah oleh orang-orang terdekat seperti kakak kelas, guru dan teman-teman sekelas, hal inilah yang menjadi dasar yang mengakibatkan remaja di Jepang saat ini melakukan tindakan bunuh diri/ jisatsu (自殺).

3.1.4 Kegagalan dan Devaluasi Diri

(8)

3.1.5 Konflik Batin

Stress timbul akibat adanya pertentangan dalam diri yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Adanya konflik batin yang ditimbulkan oleh perasaan yang tidak sesuai dengan keadaan yang diluar kendali seseorang tersebut. Konflik batin ini mengakibatkan kecemasan, bingung, ragu-ragu. Dewasa ini banyak keluarga di Jepang mengalami kecemasan, bbingung dan ragu-ragu antara hidup dan mati. Banyak orang tua di Jepang mengalami depresi karena kehidupan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi dan kebutuhan hidup yang semakin banyak memberikan beban yang berat kepada orang tua. Tidak dapat memenuhi kehidupan dan cemas dengan kebahagian anak inilah yang menjadi pertentangan yang terjadi di dalam batin orang tua di Jepang. Dengan keragu-raguan yang seperti hal di atas sehingga mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri bahkan bunuh diri bersama dengan anak-anak mereka.

3.1.6 Kehilangan Makna dan Harapan Hidup

(9)

Kehilangan makna dan harapan hidup banyak dirasakan oleh para kaum samurai pada zaman feodal dulu. Ketika gagal dalam perang dan tidak dapat membalaskan budi baik tuannya, saat itu juga para kaum samurai telah kehilangan makna untuk hidup dan pada saat tuannya meninggal dalam peperangan maka kaum samurai melakukan tindakan bunuh diri mengikut tuannya karena kehilangan harapan untuk hidup.

3.2 Bentuk Bunuh Diri

Dalam teori psikologi, perilaku bunuh diri/ jisatsu (自 殺) merupakan suatu tindakan yang merupakan hasil dari suatu kepanikan atau letupan sesaat, dorongan yang tiba-tiba antara terpicu dan bertindak dan berlangsung antara sekejap dalam hitungan waktu. Maka dariitu banyak bentuk bunuh diri/ jisatsu (自殺) yang dilakukan oleh orang yang bunuh diri dengan berbagai cara untuk membunuh dirinya sendir tergantung pada kesempatan yang ada dalam waktu yang singkat.contohnya jika seseorang berada di dalam suatu tempat yang tinggi dan dalam keadaan emosi yang memuncak maka jalan yang dipilih untuk mengakhiri hidupnya yaitu melompat dari tempat yang tinggi tersebut. Selain itu ada beberapa bentuk bunuh diri/ jisatsu (自殺) yang akan dijabarkan sebagai berikut :

3.2.1 Harakiri (腹切) dan Seppuku (切腹)

(10)

menggunakan istilah seppuku untuk kalangan samurai yang melakukan bunuh diri dengan jalan memotong perutnya, sedangkan hara-kiri memiliki pengertian potong perut dalam arti umum yang tidak digunakan dikalangan kaum samurai. Namun pada dasarnya hara-kiri dan seppuku merupakan bentuk bunuh diri yang sangat perih, orang-orang yang mempunyai nilai keagungan tertentu dan mau mengalami siksaan seperti itu. Cara bunuh diri yang unik dari bangsa Jepang ini dikenal sejak zaman feodal. Sejak itulah seppuku menjadi berkembang dan menjadi bagian dalam kehidupan para samurai. Seppuku merupakan cara bunuh diri yang dilakukan oleh para kaum samurai. Seppuku telah menjadi kode etik bagi kaum samurai, apabila melakukan kesalahan, gagal dalam perang, tidak dapat membalas budi baik tuannya, dan ingin mengikuti kematian tuannya maka bunuh diri dengan cara seppuku inilah yang dipakai oleh para kaum samurai.

Pada bagian awal dari periode Tokugawa, upacara seppuku dilakukan di kuil. Pada tahun 1644, dimasa Shuso, seoranbg samurai yang diperintahkan untuk melakukan seppuku atas tindak kejahatan. Tempat yang dipakai adalah kuil Shimpukuji, di daerah Kojimachi daerah Edo. Seppuku biasanya dilakukan di dalam kuil, akan tetapi kuil Shinto tidak pernah dipergunakan. Hal ini berasal dari kepercayaan agama Shinto bahwa mayat adalah terkutuk buat hal suci dan buat pendeta.

(11)

pelaku seppuku dipasang dua layar pemisah, terbuat dari kertas putih untuk menutupi pedang katana yang akan dipergunakan untuk merobek perut, yang ditempatkan disebuah nampan; dan sebuah ember tempat menaruh kepala terhukum setelah dipancung. Selain itu disediakan sebuah anglo pembakar dupa, seember air dan sebuah baskom.

(12)

3.2.2 Melompat dari Ketinggi

Cara ini juga banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk bunuh diri. Bunuh diri ini menjadi salah satu cara yang disukai yang banyak dilakukan dikalangan remaja saat ini di Jepang. Di Jepang ada suatu kuil yang dijadikan tempat “favorit” untuk melakukan tindakan bunuh diri yaitu kuil Kiyomizu dera. Kuil ini merupakan kuil Budha kuno yang dibangun pada tahun 798. Kuil Kiyomizu dera di Kyoto, Jepang ini terkenal dengan 4 hal yaitu ; kuil yang cantik, dapat melihat sunset, air mancur jodoh dan sejarah tempat yang sering digunakan sebagai tempat bunuh diri. Zaman dahulu banayak tentara Jepang yang melakukan bunuh diri di kuil ini karena gagal dalam peperangan. Selain lokasi yang cukup menawan, striktur bangunan yang tinggi menjadi salah satu hal yang mengakibatkan banyak para tentara Jepang melompat dri kuil ini.

(13)

“Seorang murid yang berusia 13 tahun di Osaka setelah menulis pesan kematiannya di papan tulis yang berbunyi “saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya dengan akhir yang begini….. Terima kasih kepada kedua orangtuaku selama ini yang telah mengasuh. Maaf ..” lalu remaja tersebut melompat dari atap gedung sekolahnya”. (Takayuki Inohara dalam mengerti bahasa dan budaya Jepang, 2002:58)

Diketahui penyebab murid tersebut melakukan bunuh diri karena tindakan ijime/bullying yang terjadi di sekolahnya.

3.2.3 Gantung Diri

Awalnya gantung diri adalah bentuk hukuman yang sudah ada sejak zaman romawi. Seutas tali diikatkan pada suatu tiang gantungan, dan ujung tali yang satunya disimpulkan dan diikatkan pada pelaku yang melakukan bunuh diri dengan cara ini. Kematian pelaku bunuh diri ini terjadi dua sebab; pertama pelaku yang lehernya terikat tali akan melepaskan pijakan sehingga akan mematahkan leher karena berat badan tubuh yang tertarik oleh gravitasi. Kedua meskipun leher sipelaku tidak patah akan tetapi tercekiknya leher akan menyebabkan sesak nafas dan pada akhirnya menyebabkan kematian.

(14)

suasana yang tenang. Sekurang-kurangnya 100 peristiwa bunuh diri yang terjadi di hutan ini karena bunuh diri. Hutan ini banyak dikunjungi orang dewasa Jepang sekarang ini yang putus asa karena tidak dapat mengatasi masalah-masalah hidup yang ada.

3.2.4 Meracuni Diri Sendiri

Bentuk bunuh diri ini beranekaragam media, racun dapat dicampurkan dengan makanan, minuman, atau melalui udara. Racun yang biasanya digunakan dalam meracuni diri sendiri melalui udara adalah karbondioksida. Karbondioksida merupakan gas hasil pembakaran, misalnya pada pembakaran arang, pemanas ruangan atau pada mobil. Karbondioksida tidak berbau dan tidak berwarna sehingga tidak dapat dideteksi dengan indra penciuman dan penglihatan. Gas karbodioksida dapat menyebabkan kematian karena karbondioksida mengikat diri pada hemoglobin darah dan mengganti oksigen. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya oksigen di dalam tubuh dan mengakibatkan kematian.

(15)

“Satu keluarga di Tokyo melakukan tindakan bunuh diri dengan memutuskan saluran gas pipa rumah lalu menghirup gas tersebut secara bersamaan. Mereka melakukan tindakan ini karena ketidakmampuan menjalankan hidup yang sangat berat. Kepala keluarga kehilangan pekerjaan sehingga tidak mampu membahagiakan keluarga dan anggota keluarga lain melakukan tindakan yang memalukan keluarga”. (Takayuki Inohara dalam mengerti bahasa dan budaya Jepang, 2002:70)

3.2.5 Memotong Urat Nadi

Bunuh diri dengann cara memotong urat nadi adalah bentuk bunuh diri yang paling umum dilakukan. Pemotongan nadi yang menyebabkan kematian adalah pemotongan nadi yang berada di pergelangan tangan dan di leher. Pemotongan nadi yang ada dipergelangan tangan bertujuan untuk memutuskan pembuluh darah radial yang dapat merusak saraf tendon,ulnar dan median. Pemotongan nadi dipergelangan tangan sebenarnya tidaklah terlalu fatal, namun kematian akibat bunuh diri dengan cara seperti ini adlah kehabisan dara.

Pada zaman feodal di Jepang dahulu banyak masyarakat Jepang melakukan bunuh diri dengan cara ini, meskipun lebih menyiksa tetapi cara ini merupakan pilihan yang kedua selain melakukan seppuku.

3.3 Upaya Mengatasi Bunuh Diri Di Jepang

(16)

meningkatnya biaya perawatan atas depresi yang dialami. Menurut studi pemerintah, masyarakat yang bunuh diri umumnya berusia antara 15 tahun hingga 69 tahun. Mereka sebenarnya masih dalam kelompok usia produktif dan bisa mendatangkan pendapatan sekitar 1,9 triliun yen hingga mereka mencapai usia pensiun. Selain itu, Pemerintah Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara Jepang menghabiskan hampir US$32 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun sepanjang tahun 2007 hingga saat ini untuk membuat solusi-solusi guna menekan angka bunuh diri di Jepang.

(17)

Pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para pekerja. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti Bunuh Diri, sebagai upaya untuk menekan tingginya jumlah kasus bunuh diri di Jepang. Kampanye yang dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya. Selain itu, pemerintah juga menanyangkan video klip dari seorang pemain sepakbola Liga Jepang untuk mengangkat kesadaran akan masalah bunuh diri dan depresi dalam situs internet.

(18)
(19)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, terdapat tiga hal yang dapat penulis simpulkan pada bab ini yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi yang berjudul “Budaya Bunuh Diri Di Jepang”.

(20)

tuannya. Hal yang mendasari seppuku ini adalah karena adanya “semangat kesatria” yakni bushido dalam masyrakat Jepang. Bushido bermakna sebagai Jalan Hidup Samurai, yang artinya jalan yang harus dipatuhi oleh kaum samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuannya. Demi tuannya samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka.

(21)

Ketiga, pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para pekerja. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

(22)

4.2 Saran

Melalui analisa yang telah ada tentang budaya bunuh diri di Jepang, maka ada bebrapa sisi positif yang dapat kita ambil manfaatnya, yaitu ;

1. Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca paham akan budaya bunuh diri yang ada di Jepang yang menjadi tolak ukur mereka dalam bertindak. Hal ini disebabkan karena adanya budaya malu yang sedari dulu telah ditanam kepada masyarakat Jepang. 2. Melalui tulisan ini pembaca diajak untuk berpikir lebih luas dan lebih

terbuka dalam menyikapi perkembangan globalisasi yang sangat cepat agar tidak berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri apabila mengalami masalah kehidupan.

(23)

BAB II

FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG

2.1 Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang A. Pandangan Hidup Bagi Masyarakat Jepang

(24)

Ruth Benedict (1989:223) juga menambahkan bahwa rasa malu adalah suatu reaksi terhadap kritk orang lain. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain dan penilaian dari orang lain. Bagi masyarakat Jepang rasa malu tertinggi adalah ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain yang telah diterima. Bagi seorang Jepang jasa baik orang lain merupakan hutang yang harus wajib dibayar. Ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain merupakan pandangan negative yang akan diterima dari lingkungan masyarakatnya. Banyak ekspresi yang dilakukan seorang Jepang dalam mengungkapkan rasa ketidakmampuan tersebut salah satunya adalah melakukan tindakan bunuh diri. Ruth Benedict juga menambahkan bahwa konsep dosa tidak dikenal di dalam masyarakat Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, bahwa melanggar akan 10 firman Tuhan merupakan dosa akan mendapat hukuman suatu hari nanti.

Dalam Nagano (2009:87) menguraikan bahwa budi yang harus dibalas tersebut adalah On. On merupakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan secara pasif artinya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sipenerima yang pasif. On diuraikan sebagai berikut :

Kou on(厚恩 ) : on yang diterima dari Tenno atau dari Negara

Oya on(親恩) : on yang diterima dari orang tua.

(25)

Shi no on(市の恩 ) : on yang diterima dari guru.

Kemudian kewajiban membalaskan budi baik yang diterima (on) disebut gimu. Gimu diuraikan sebagai berikut :

Chu(忠) : kewajiban balas budi terhadap kaisar dan Negara

Ko(考) :kewajiban balas budi terhadap orang tua dan leluhur.

Ninmu(任務) : kewajiban bertanggung jawab terhadap pekerjaan.

Dari pemikiran budaya tersebut orang Jepang memiliki dua sifat yang kontradiksi atau yang berlainan. Menurut Ruth Benendict, orang Jepang adalah orang yang sangat sopan sekaligus orang yang sangat kasar, orang yang sangat pemberani tetapi sekalian orang yang sangat penakut. Bagi masyarakat Jepang juga sangat penting untuk menjaga nama baik. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin perlu seseorang menjaga nama baik dan akan berusaha untuk membersihkan nama baik yang tercela.

(26)

diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal atau kualitas yang tidak layak di dalam masyarakat.

Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal dalam menjalankan peranannya sebagaimana yang dituntut oleh masyarakatnya (Situmorang, 2013:80).

(27)

sesuai perannnya dalam menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

B. Pandangan Mati Bagi Masyarakat Jepang

(28)

Maksudnya adalah Negara tidak mencantumkan agama dalam tanda pengenal penduduk atau surat resmi lainnya bahkan dalam dunia pendidikanpun agama tidak dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Agama bagi orang Jepang adalah sebagai kebudayan orang Jepang.

Orang Jepang tidak mempercayai adanya Tuhan, melainkan kepada dewa-dewa. Orang Jepang juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang menghuni alam ini dan leluhur akan menjadi kamisama serta mengunjungi kuil-kuil untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi agama bagi orang Jepang berbeda maka makna kematian bagi orang Jepangpun berbeda. Makna kematian bagi orang Jepang dilihat berdasarkan 2 agama terbesar di Jepang yaitu Shinto (神道) dan Buddha .

a. Makna Mati Menurut Agama Shinto (神道)

(29)

akan memberkati orang hidup. Dengan adanya keyakinan bahwa Kami (紙) dan roh orang yang telah meninggal akan melindungi dan memberkati kehidupan orang yang masih hidup atau keturunan dari roh orang meninggal tersebut selama keturunan mereka tersebut secara terus menerus melakukan ritual penyembahan terhadap roh orang meninggal tersebut.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa agama Shintou (神道) semua hal yang ada di dunia ini memiliki Kami (紙)-nya dan leluhur serta keluarga yang telah meninggal, bagaimanapun cara ia meninggal akan menjadi roh dan bersama-sama dengan Kami (紙) akan melanjutkan kehidupannya dan akan kembali ke dunia untuk menerima pemujaan dan memberikan perlindungan dan pemberkatan kepada keturunan dari roh orang yang telah meninggal. Karena kematian bukanlah sekedar hal berhenti hidup dan terpisahnya jiwa dari raga, tetapi kematian merupakan perubahan wujud dan hubungan antar orang yang hidup dan mati terus berlanjut. Dengan adanya pemahaman yang demikian maka orang Jepang tidak takut mati dan tidak takut melakukan jisatsu (自殺)karena roh mereka yang telah mati akan tetap bersama keluarga yang masih hidup dan memberikan pemberkatan agar keluarga yang masih hidup sejahtera.

b. Makna Mati Menurut Agama Buddha

(30)

diinterpretasikan dengan cara pola piker masyarakat Jepang. Tidak berbeda dengan agama Shintou (神道), agama Buddha juga memiliki keyakinan bahwa yang telah mati akan tetap dapat berhubungan dengan yang masih hidup. Dalam ajaran agama Buddha, orang yang telah mati tidak berarti hilang. Kematian tidak diartikan sebagai putusnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kematian dalam ajaran agama ini hanya dianggap sebagai perpindahan tempat saja. Arwah orang mati tidak akan jauh pergi dari dunianya dan akan dapat melakukan komunikasi dengan orang-orang yang masih hidup. Komunikasi antara roh yang telah meninggal dengan orang-orang yang masih hidup tersebut dimaksudkan ialah komunikasi yang dilakukan pada saat tertentu seperti dalam upacara pemujaan arwah orang meninggal. Dalam agama Buddha juga mempercayai adanya reinkarnasi atau kembalinya roh orang mati.

Dengan adanya penjelasan akan makna kematian dari agama Shintou (

(31)

2.2 Sejarah Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri merupakan salah satu cara mengakhiri hidup yang dilakukan manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapinya. Menurut Hidayat dalam Kiblat (1996:43-45), “Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti kehilangan jiwa dan pikiran.” Hal ini berarti individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat berfikir secara wajar dan dengan akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar lepas dari permasalahan yang dihadapinya.

Seorang sosiologi Perancis yang mula-mula melakukan studi sosial mengenai bunuh diri, Emile Durkheim dalam buku “Realitas Sosial” karangan K.J. Veeger (1985 : 150 – 157) , berpendapat bahwa bunuh diri merupakan salah satu gejala sosial. Perbuatan bunuh diri ada kaitannya dengan 3 faktor, yaitu : posisi psikologi tertentu, factor keturunan, dan kecenderungan manusia meniru orang lain. Dalam buku ini dijelaskan juga ada 3 tipe bunuh diri yaitu : bunuh diri egoistic, bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai bunuh diri tersebut :

1. Bunuh Diri Egoistik

Bunuh diri ini bersifat egois. Egoism berarti sikap seseorang tidak berintegrasi dengan kelompoknya, seperti kepada keluarga, kelompok rekan-rekan, kumpulan agama dan sebagainya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan orang lain.

(32)

Bunuh diri bersifat alturistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistis ini lebih kepada seseorang sangat menyatu kepada suatu golongan. Sangat berpegang teguh kepada kelompoknya, dengan mengikuti segenap nilai-nilai kelompoknya, berintegrasi kepada kelompoknya, hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas diri sendiri. Tanpa kelompok seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri alturistik ini tidak dapat melanjutkan kehidupan.

Seseorang mengintegritaskan seluruh hidupnya demi kelompoknya, memandang bahwa hidup di luar grup atau ada pertentangan dengan grup merupakan suatu hal yang tidak berharga. Maka jikalau etika grup menuntut agar merelakan nyawa demi keyakinan dan kepentingan kelompok, seseorang tersebut cenderung melakukan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.

3. Bunuh Diri Anomis

Anomi adalah tanpa norma. Bunuh diri anomis ini menyangkut dengan keadaan moral seseorang. Dimana keadaannya adalah orang tersebut kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma-norma dalam hidupnya.

(33)

Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan di Jepang. Di Jepang bunuh diri lebih dikenal dengan jisatsu (自殺). Kata jisatsu (自殺) terdiri dari dua kata yaitu ”ji” berasal dari kata jibun (自分) yang berarti diri sendiri, dan “satsu (殺) yang merupakan on-yomi dari kata korosu (殺 す) yang berarti membunuh. Maka dapat diartikan secara sederhana jisatsu (自 殺) adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh dirinya sendiri.

Fenomena jisatsu (自殺) di Jepang sudah ada pada masa Perang Dunia Kedua. Pada masa sebelum Perang Dunia Kedua jisatsu (自殺) dilakukan oleh kaum samurai (侍) dan para kaum bangsawan, pada masa dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh kaum militer atau kaum bushi ( 武士 ), sistem pemerintahan pemerintahan pada masa itu disebut dengan bakufu (幕府). Pada zaman ini jisatsu (

(34)

mengerikan, bahwa lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup dengan menanggung malu.

Istilah seppuku (切腹) biasanya diperuntukkan untuk kalangan samurai. Pada dasarnya tindakan seppuku ialah karena adanya semangat kesatriaan yakni bushido dalam masyarakat Jepang. Bushido bermakna sebagai jalan hidup Samurai, artinya jalan yang harus dipatuhi oleh para samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan. Demi tuannya, samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Negara Jepang merupakan masyarakat yang menganut budaya malu, dengan kata lain nilai yang paling tinggi bagi masyarakat Jepang. Rasa malu yang paling tinggi adalah tidak dapat membalas budi baik orang lain atau tuannya, oleh karena itu seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut. Apabila melakukan kesalahan atau tidak dapat membalas budi baik orang lain, mereka akan merasa malu. Rasa malu tersebut akan dapat tertebus apabila melakukan bunuh diri atau seppuku (切腹).

(35)

dengan membunuh musuh tuannya demi pengabdian diri terhadap tuannya. Para anak buah tersebut harus melaksanakan giri kepada tuannya. Setelah membalaskan dendam tuannya terhadap musuh mereka melakukan junshi (mati mengikuti kematian tuannya).

Akouroshi Chushingura terjadi di Nabeshima Hiroshima. Akouroshi merupakan bushi yang tidak bertuan di daerah Akou (Hiroshima). Kisah ini adalah kisah bunuh diri yang dilakukan oleh 47 orang bushi yang tidak bertuan di wilayah Akou tersebut. Ke-47 orang bushi tersebut melakukan bunuh diri setelah berhasil membunuh pangeran Kira dan mempersembahkan kepala Pangeran Kira ke makam tuannya, setelah tuannya melakukan bunuh diri (seppuku) karena perintah dari shogun sebagai hukuman karena tuan mereka dianggap telah membuat keonaran di dalam istana keshogunan Tokugawa.

(36)

Dari kisah bunuh diri para kaum samurai di atas dapat disimpulkan bahwa seppuku yang dilakukan oleh para kaum samurai sebagai bentuk loyalitas, penghormatan dan pengabdian diri kepada tuannya serta bentuk dari membalas budi baik tuannya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya bunuh diri bergeser menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari Negara Jepang. Pada masa zaman feodal, bunuh diri di Jepang yang semula sebagai bentuk pengabdian diri, loyalitas, penghormatan dan sebagai bentuk membalas budi baik tuannya kini bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi akibat beban hidup yang semakin kompleks. Dewasa ini kehidupan masyarakat Jepang cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang seakan tidak peduli dengan keadaan lingkungannya (tidak bersosialisasi dengan orang lain), memiliki gejala hubungan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan maksudnya ialah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pada saat memerlukan bantuan. Hal inilah yang mengakibatkan tekanan isolasi/kesendirian dan keterasingan dari lingkungan.

(37)

feodal jisatsu (自 殺) dilakukan dikalangan samurai sebagai bentuk pengabdian terhadap tuannya, loyaliatas terhadap tuannya dan penghormatan terhadap tuannya namun zaman sekarang jisatsu (自殺) menjadi sebagai bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

2.3 Angka Statistik Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri atau di Jepang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (自殺) merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup yang dilakukan oleh manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapi. Bunuh diri merupakan kasus kematian terbesar yang terjadi di Jepang.

Angka kematian di Jepang dari tahun ketahun mengalami peningkatan, semakin lama cara-cara dan alasan bunuh diripun semakin beragam. Dari tahun 2010 sampai 2011 angka kematian diakibatkan karena bunuh diri di Jepang sedeikit menurun, rata-rata angka kematiannya di Jepang pada tahun 2010 sampai 2011 mencapai selisih lebih dari 1.000 orang (hal. 4).

(38)

2.3.1 Menurut Usia

Di Jepang golongan usia dibagi diantaranya ialah orang yang berusia 14 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou, yang berusia 15 – 64 tahun disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou, berusia 65 tahun disebut dengan usia lanjut atau korei jinkou, yang berusia lebih dari 65 tahun disebut lansia atau koureisha, orang yang berusia 65-74 tahun disebut lansia periode awal atau zenki koureisha, yang berusia lebih dari 75 tahun disebut lansia periode tengah dan di atas 85 tahun disebut lansia periode akhir atau makki koureisha.

Persentase penduduk lansia di Jepang semakin meningkat. Tingginya persentase penduduk lansia di Jepang, menyebabkan munculnya masalah-masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah beban yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri.

(39)

a. Table Angka Kematian di Jepang Tahun 2010 - 2011

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

総数 1.253.463 1.197.012 56 .451 04歳 3.624 3.382 242

59 750 480 270

1014 725 553 172

1519 1.738 1.422 316

2024 2.965 2.753 212 2529 3.682 3.437 245 3034 4.921 4.837 84 3539 7.963 7.555 408

(40)

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

5559 37.455 39.326 △ 1.871

6064 72.100 66.096 6.004 6569 82.032 83.087 △ 1.055 7074 113.113 110.248 2.865 7579 167.686 163.088 4.598

80~84 220.103 211.257 8.846 85~89 222.785 207.287 15.498 90~94 162.027 151.959 10.068 95~99 79.764 75.386 4.378 100歳以上 19.573 17.513 2.060

USIA Angka Kematian (2011)

Angka Kematian (2010)

Selisih

0 – 4 3.624 3.382 242

(41)

10 – 14 725 553 172

15 – 19 1.738 1.422 316

20 – 24 2.965 2.753 212

25 – 29 3.682 3.437 245

30 – 34 4.921 4.837 84

35 – 39 7.963 7.555 408

40 – 44 11.186 10.162 1.024

45 – 49 14.983 14.532 451

50 – 54 22.443 22.014 429

55 – 59 37.455 39.326 △ 1.871

60 – 64 72.100 66.096 6.004

65 – 69 82.032 83.087 △ 1.055

70 – 74 113.113 110.248 2.865

75 – 79 167.686 163.088 4.598

80 – 84 220.103 211.275 8.846

85 – 89 222.785 207.287 15.498

90 – 94 162.027 151.959 10.068

95 – 99 79.764 75.386 4378

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

(42)

Keterangan tabel di atas adalah : • ∆ = menaik

• Dari tabel di atas, sejak dari tahun 2010 hingga 2011, angka kematian di Jepang menurut usia tidak stabil dan cenderung mengalami peningkatan. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa di Jepang tingkat kematian

tertinggi terjadi di masyarakat yang berusia lanjut (lansia).

b. Tabel Angka Kematian Bunuh Diri di Lihat dari Golongan Usia dan Gender Tahun 2010

年齢

19

2029

3039

4049

5059

6069

7079

80 歳 〜 不 詳 合計

合計 543 3,366 4,940 5,713 6,573 6,227 3,651 2,314 7 33,334

男 性

合計

329 2,356 3,377 4,279 5,024 4,377 2,251 1,171 7 23,171

女 性

合計

(43)

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

• Di Jepang bunuh diri dilakukan di segala umur tanpa memandang tua muda perempuan dan laki-laki

(44)

Pada usia 20 – 69 tahun yang disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan tekanan pekerjaan yang semakin berat. Tak jarang persaingan di lingkungan pekerjaan menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang berat di perusahaan tersebut, perusahan tempat bekerja juga menuntut karyawannya untuk bekerja secara giat sehingga memberikan keuntungan yang besar untuk perusahaan tersebut. Beberapa faktor inilah yang mengakinbatkan usia yang masih produktif ini tidak mampu menghadapi beban pekerjaan yang berat. Ketidakmampuan tersebut memberikan padangan yang rendah dari rekan kerja serta lingkungan tempat tinggalnya sehingga memilih jalan untuk mengakhiri hidup sebagai jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah di dunia pekerjaan (www.halojepang.com).

(45)

kunjung sembuh. Ditengah frustasi akibat penyakit yang dialami, masyarakat Jepang yang berusia lanjut memilih jalan keluar untuk mengakhiri hidupnya. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulakn bahwa bunuh diri menurut gender

banyak dilakukan di kalangan kaum laki, hal ini disebabkan karena laki-laki cenderung lebih cepat mengalami stres atau depresi dibandingakan kaum permpuan.

2.3.2 Menurut Keadaan Pekerja Di Jepang

Kasus bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu hingga sekarang. Seseorang yang bunuh diri tentunya memiliki masalah pribadi namun jika sudah banyak orang yang bunuh diri, tentu saja ini ada kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi dan politik setempat.

(46)

artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung dengan gaji. Akibat krisis ekonomi di Jepang, banyak perusahan Jepang terlilit hutang sehingga perusahaan menuntut para pekerjanya untuk bekerja lebih giat tanpa kenal lelah. Karena tuntutan dari perusahaan yang mengharuskan pekerja bekerja lebih giat, banyak para pekerja yang bekerja terlalu keras, pekerja ini sering disebut sebagai karoshi . Secara bahasa, karoshi dapat diartikan sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan. Kematian bisa dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di tempat kerja.

(47)

2.3.3 Menurut Gender

(48)

Cara Bunuh diri Gender

Laki-laki Perempuan

Gantung diri 55,3% = 12 813orang 58,9% = 5 986orang Menghirup gas 9,4% = 2 178orang 4,8% = 487orang Melompat dari gedung 7,1% = 1 645orang 12,8% = 1 300orang Obat-obatan 10,2% = 2 363orang 6,7% = 680orang Lain-lain 18% = 4 170orang 16,8% = 1 707orang JUMLAH 100% = 23 171orang 100% = 10 163orang

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

(49)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mengenai bunuh diri (jisatsu) di Jepang telah ditemukan sejak zaman feodalisme dimana kekuasaan ada pada kelompok militer atau bushido, yaitu antara tahun 1185 – 1867. Dalam kelompok bushi, bunuh diri dikenal dengan istilah seppuku. Istilah seppuku secara harafiah memiliki arti memotong perut. Berikut ini adalah kasus seppuku yang dilakukan oleh para samurai :

Shirai, seorang samurai kelas bawah pengikut Shimizu Munehara (1537 – 1582) memotong perutnya sendiri di depan tuannya. Pada saat itu Tomoyo Hideyoshi (1539-1593) mengalahkan pasukan Mori Motonari yang berada di bawah kekuasaan Shimizu. Sebagai tanda kemenangan Tomoyo meminta Shimizu melakukan tindakan seppuku. Shirai sebagai pengikut setia Shimizu melakukan tindakan seppuku di depan tuannya dan sambil berkata “melakukan seppuku tidaklah sulit “.

(50)

berkelompok. Mereka lebih memberatkan kehidupan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Peranan individu diakui dan dihargai, akan tetapi selalu berada di bawah penanan kelompok. Peranan kelompok yang lebih penting daripada peranan individu tidak hanya berlaku bagi anggota kelompok, tetapi juga kepada pimpinan kelompok. Pimpinan kelompok tidak akan menempatkan posisi dirinya diatas anggota kelompoknya melainkan tetap sebagai bagian dari anggota kelompok tersebut, karena orang Jepang hidup hanya akan lebih berarti apabila berada di dalam suatu kelompok. Hidup sendiri tanpa keberadaan dan pengakuan kelompoknya adalah suatu bentuk penderitaan besar. Oleh karena itu seseorang di Jepang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima dalam kelompoknya dengan cara menjunjung tinggi loyalitas. Pada masa itu, seppuku dipandang sebagai salah satu bentuk sifat loyalitas dan penghormatan kepada tuan dan kelompoknya.

(51)

saksi mata, samurai menusukkan sebuah pedang pendek, biasanya sebua arah perut, dan menggunakan pedang pendek tersebut untuk melakukan gerakan mengiris perut dari arah kiri ke kanan.. Harakiri juga terdiri dari dua huruf kanji yang sama dengan huruf kanji seppuku akan tetapi susunan huruf yang berbeda dan memiliki arti yang sama pula. Istilah harakiri mulai dikenal luas di dunia Barat sejak orang bangsa Eropa yang tinggal di Jepang menjadi saksi mata peristiwa seppuku yang menyertai diketahui oleh bangsa Eropa pada umumnya. Pada saat itu istilah “memotong perut” lebih diketahui dengan sebutan hara-kiri. Sehingga sampai sekarang di luar Jepang, bunuh diri disebut dengan istilah hara-kiri. Namun seiring berkembangnya zaman, di Jepang istilah untuk bunuh diri sekarang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (mengakhiri hidupnya sendiri).

Bunuh diri atau biasa disebut dengan jisatsu tetap menjadi fenomena di Jepang hingga sekarang ini. Dibuktikan dengan adanya catatan dari Badan Kepolisian Nasional Jepang yang mengatakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 30.000 orang meninggal akibat kasus bunuh diri.

Berikut tabel angka kematian bunuh diri dan selisih angka kematian bunuh diri di Jepang dari tahun 2011 hingga tahun 2010

(52)

Tahun

(年)

Angka Kematian

(死亡数)

Angka Bunuh Diri

(自殺数)

2011(平成23年) 1.253.463

31.690

2010(平成22年) 1.197.012

33.334

Selisih 56. 451

1.644

(〒100-8916 東京都千代田区霞が関 1-2-2 電話:03-5253-1111(代表)

Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

(53)

melakukan, apa motif dibalik bunuh diri tersebut, dan bagaimana bentuk bunuh diri yang dilakukan (http://viva.com).

Pada masyarakat Jepang di masa modern ini, bunuh diripun mengalami perubahan. Berikut beberapa kasus yang dikutip dari buku Edizal (Takayuki Inohana) (2002 : 58)

“Seorang murid yang berusia 13tahun di Osaka setelah menulis pesan kematiannya dengan kapur di papan tulis berbunyi “ Saya mohon maaf sedalam-dalamnya dengan akhir yang begini…….. Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selama ini mengasuh saya. Maaf……” lalu melompat dari atas gedung tertinggi sekolahnya.

“Satu keluarga di Tokyo melakukan tindakan bunuh diri dengan memutuskan saluran pipa gas rumah lalu menghirup gas tersebut secara bersamaan. Mereka melakukan tindakan ini karena ketidakmampuan menjalankan hidup yang saat berat. Kepala keluarga kehilangan pekerjaan dan anggota lainnya melakukan tindakan yang memalukan. Sang ayah dan ibu meninggalkan uang sebesar 400 yen yang digunakan untuk membakar mayat mereka dengan melampirkan surat yang bertuliskan “Maafkan kami”

(54)

tindakan bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi dan pada kasus kedua dijelaskan bahwa satu keluarga tersebut bunuh diri dengan cara menghirup gas beracun. Oleh karena itu, perbedaan bentuk bunuh diri dari zaman dahulu dengan zaman sekarang di masyarakat Jepang tampak dari cara pelaku melakukan tindakan bunuh diri.

Pada masa tradisional, bunuh diri yang dilakukan oleh kaum samurai hanya menggunakan sebilah benda tajam (pisau atau pedang panjang) untuk melakukan seppuku atau potong perut, namun pada saat sekarang ini bunuh diri di Jepang dilakukan dengan cara yang modern, yaitu dengan cara meracuni diri sendiri, memotong urat nadi, loncat dari gedung tinggi, gantung diri, dan yang lainnya.

Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

(55)

Pada masyarakat Jepang saat sekarang ini cenderung memiliki kehidupan yang bersifat “sendiri”. Seorang psikologi yang bernama Drajat S. Soemitro menambahkan munculnya sebuah gejala hubungan interpersonal yang semakin fungsional mengakibatkan tekanan isolasi (kesendirian) dan keterasingan yang semakin kuat, sehingga seorang akan mudah merasa kesepian dan memikul beban hidup yang semakin berat sendirian ditengah-tengah ketidakpedulian lingkungan. Pendapat psikolog ini sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Jepang saat ini.

Kegagalan dalam menjalankan tanggung jawab terhadap tugas juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri. Bagi masyarakat Jepang mengakhiri hidup sendiri ditunjukkan sebagai ekspresi ketidakmampuan untuk mempertahankan hidup ditengah modernisasi yang telah ada saat ini dan sebagai bentuk dari ketidakmampuan membalas jasa baik orang sebagai perwujudan dari rasa malu tertinggi yang ada.

Berdasarkan penjelasan yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini adalah fenomena bunuh diri di Jepang yang telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat Jepang. Hal inilah yang mendasarkan penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan skripsi ini dengan judul “ Budaya Bunuh Diri di Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

(56)

bunuh diri di masyarakat Jepang telah ada pada zaman feodalisme di Jepang. Tindakan bunuh diri yang dilakukukan pada zaman feodalisme di Jepang dilakukan oleh para samurai di Jepang sebagai perwujudan dari rasa ketidakmampuan samurai membalas jasa baik tuannya dan sebagai bentuk loyalitas dan penghormatan terhadap tuannya serta kelompoknya. Namun, seiring berjalannya waktu bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang berubah menjadi budaya yang melekat dalam diri masyarakat tersebut. Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

Adapun permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana fenomena bunuh diri di Jepang pada saat ini?

2. Bagaimana pergeseran bunuh diri dari zaman feodalisme sampai pada masa sekarang ini dilihat dari motif-motif dan bentuk buunuh diri pada masyarakat jepang dewasa ini?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

(57)

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada budaya bunuh diri di Jepang. Dimana di dalam skripsi ini ruang lingkup pembahasan tersebut meliputi pengertian bunuh diri, motif dan bentuk-bentuk bunuh diri serta pergeseran bunuh diri yang dilakukan pada masa feodalisme sampai pada masa sekarang ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semiawan (2010) tinjuan pustaka atau literature review adalah bahan yang tertulis berupa buku, jurnal yang membahas tentang topik yang hendak diteliti.

Sehingga dapat disimpulakn bahwa tinjauan pustaka adalah bahasan atau bahan-bahan bacaan yang terkait dengan suatu topik yang memuat uraian tentang data yang sebenarnya.

(58)

diri dalam masyarakat sekarang ini berkaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat pada zaman feodal dahulu, akan tetapi mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor perubahan zaman yang semakin maju dan kompleks.

Pada dasarnya kehidupan masyarakat Jepang merupakan kehidupan yang memiliki sifat individualisme, yang artinya kehidupan pribadi setiap individu tidak akan diketahui oleh individu lain dan masalah yang ada dalam setiap individu tidak ada hubungannya dengan individu lain. Hal ini menyebabkan terciptanya suatu sifat individualistis yang terlalu tinggi, sehingga mereka melakukan tindakan keputus asaannya melalui bunuh diri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bunuh diri merupakan suatu wujud budaya Jepang karena bunuh diri merupakan aktifitas dan tindakan yang dilakukan dengan pola atau bentuk yang sama oleh orang Jepang dalam masyarakatnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa ada fenomena masyarakat Jepang yang mempunyai kegilaan untuk mati dan tidak takut untuk mati. Karena kematian dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan baik.

1.4.2 Kerangka Teori

(59)

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berfikir deduktif yang bergerak dari abstrak ke alam konkret.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini adalah pendekatan yang menekankan rasionalitas dan realitas budaya serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam penelitian ini juga, penulis melakukan pendekatan teori bunuh diri. Seorang sosiologis klasik Emile Durkheim mengatakan penyebab bunuh diri merupakan pengaruh integrasi sosial. Peristiwa bunuh diri merupakan

kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang memiliki latar belakang alasan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

(60)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan dari peenlitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang melakukan tindakan bunuh diri.

2. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam konsep bunuh diri di Jepang dari zaman feudal pada masa sekarang ini.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang budaya Jepang khususnya tentang budaya bunuh diri di Jepang.

2. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan pembaca tentang budaya-budaya Jepang yang ada.

1.6 Metode Penelitian

(61)

dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang dikehendaki (http://carapedia.com).

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Menurut Koentjaraningrat dalam Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Penulis juga mengunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas individu yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian. Data yang diperoleh tersebut diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat ditarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

(62)
(63)

ABSTRAK

BUDAYA BUNUH DIRI DI JEPANG

Jepang merupakan salah satu Negara yang maju di dunia yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang kompleks. Jepang juga mempunyai salah satu fenomena yang ada sejak zaman feodal yang telah menjadi budaya di Jepang yakni budaya bunuh diri. Salah satu cara bunuh diri yang ada sejak zaman feodal adalah seppuku. Istilah seppuku ini biasanya diperuntukkan bagi para kaum samurai atau kesatria Jepang dimana mereka melakukan bunuh diri sebagai bentuk loyalitas, kesetiaan, pengabdian diri, penghormatan, kode etik dalam kesatria Jepang serta sebagai bentuk rasa malu karena gagal dalam menjalankan tugas. Rasa malu bagi orang Jepang merupakan nilai moral yang tinggi bagi masyarakat Jepang artinya seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha menjaga nama baik dan tingkah laku yang baik. Apabila melakukan kesalahan dan menyebabkan pandangan negatif dari masyarakat lain maka mereka akan merasa malu. Pada zaman dahulu dan sekarang rasa malu yang ada akan dapat ditebus dengan melakukan tindakan bunuh diri.

(64)

kesendirian dan keterasingan dari lingkungan. Dewasa ini semakin kompleksnya kehidupan maka semakin banyak pula masalah-masalah yang ada, hal tersebut mengakibatkan tingkat depresi yang besar pula. Ketidakmampuan bersosialisasi dengan lingkungan, gagal dalam menjalankan tanggung jawab, depresi merupakan beberapa faktor yang ada yang menyebabkan masyarakat Jepang dapat melakukan tindakan bunuh diri. Dewasa ini masyarakat melakukan bunuh diri dilakukan untuk terlepas dari beban hidup dan masalah-masalah yang ada, berbeda dengan tindakan bunuh diri pada zaman dahulu yang dilakukan oleh para kaum samurai yaitu sebagai bentuk pengabdian diri terhadap tuannya.

(65)

Dari paparan di atas bunuh diri dari masa feodal di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas dan pengabdian terhadap tuannya menjadi bentuk penyelesaian masalah dari perasaan depresi dan beban hidup.

Setiap tahun jumlah kematian akibat bunuh diri di Jepang semakin bertambah, dengan demikian pemerintah Jepang juga dituntut untuk melakukan tindakan pencegahan bunuh diri. Salah satu tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang untuk menangani bunuh diri diklangan pekerja Jepang yaitu seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

(66)
(67)

ABSTRAK

BUDAYA BUNUH DIRI DI JEPANG

Jepang merupakan salah satu Negara yang maju di dunia yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang kompleks. Jepang juga mempunyai salah satu fenomena yang ada sejak zaman feodal yang telah menjadi budaya di Jepang yakni budaya bunuh diri. Salah satu cara bunuh diri yang ada sejak zaman feodal adalah seppuku. Istilah seppuku ini biasanya diperuntukkan bagi para kaum samurai atau kesatria Jepang dimana mereka melakukan bunuh diri sebagai bentuk loyalitas, kesetiaan, pengabdian diri, penghormatan, kode etik dalam kesatria Jepang serta sebagai bentuk rasa malu karena gagal dalam menjalankan tugas. Rasa malu bagi orang Jepang merupakan nilai moral yang tinggi bagi masyarakat Jepang artinya seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha menjaga nama baik dan tingkah laku yang baik. Apabila melakukan kesalahan dan menyebabkan pandangan negatif dari masyarakat lain maka mereka akan merasa malu. Pada zaman dahulu dan sekarang rasa malu yang ada akan dapat ditebus dengan melakukan tindakan bunuh diri.

(68)

kesendirian dan keterasingan dari lingkungan. Dewasa ini semakin kompleksnya kehidupan maka semakin banyak pula masalah-masalah yang ada, hal tersebut mengakibatkan tingkat depresi yang besar pula. Ketidakmampuan bersosialisasi dengan lingkungan, gagal dalam menjalankan tanggung jawab, depresi merupakan beberapa faktor yang ada yang menyebabkan masyarakat Jepang dapat melakukan tindakan bunuh diri. Dewasa ini masyarakat melakukan bunuh diri dilakukan untuk terlepas dari beban hidup dan masalah-masalah yang ada, berbeda dengan tindakan bunuh diri pada zaman dahulu yang dilakukan oleh para kaum samurai yaitu sebagai bentuk pengabdian diri terhadap tuannya.

(69)

Dari paparan di atas bunuh diri dari masa feodal di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas dan pengabdian terhadap tuannya menjadi bentuk penyelesaian masalah dari perasaan depresi dan beban hidup.

Setiap tahun jumlah kematian akibat bunuh diri di Jepang semakin bertambah, dengan demikian pemerintah Jepang juga dituntut untuk melakukan tindakan pencegahan bunuh diri. Salah satu tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang untuk menangani bunuh diri diklangan pekerja Jepang yaitu seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

(70)
(71)

BUDAYA BUNUH DIRI DI JEPANG NIHON NO JISATSU NO BUNKA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:

STEFI RYZA MONIKA 130722001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(72)

BUDAYA BUNUH DIRI DI JEPANG NIHON NO JISATSU NO BUNKA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:

STEFI RYZA MONIKA NIM: 130722001

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Amin Sihombing Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. NIP: 19600403 1991 03 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(73)

Disetujuioleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua

Drs. EmanKusdiyana, M.Hum. NIP: 19600919 1988 03 1 001

(74)

PENGESAHAN

DiterimaOleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Sumatera Utara

Pada :

Tanggal :

Hari :

FakultasIlmuBudaya

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. SyahronLubis, M.A NIP: 19511013 197603 1 001

PanitiaUjian

No. Nama TandaTangan

1. Drs. Amin Sihombing ( )

2. Prof. HamzonSitumorang, Ph.D ( )

(75)

KATA PENGHANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “BUNUH DIRI DI JEPANG”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu penulis secara rendah hati dan terbuka menerima kritikan dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

(76)

4. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, ,e,eriksa dan memberikan saran-saran serta masukan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberi ilmu dan pendidikan kepada penulis selama duduk dibangku perkulihan.

6. Seluru staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal-hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda AP. Simanjuntak dan Ibunda R. br Siregar yang

telah memberikan dukungan moril dan meteril selama masa pendidikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terima kasih atas segenap cinta, kasih sayang, dan dukungan yang selalu diberikan sampai hari ini.

8. Saudara-saudara penulis, Herbeth Simanjuntak, Albert Simon Simanjuntak, Martha IL Simanjuntak, Wilbert E Simanjuntak, David Simanjuntak dan Kakak ipar Chatrine Sihombing, terima kasih buat dukungan yang tak henti-hentinya yang diberikan bagi penulis. Teristimewa buat abangda Albert S Simanjuntak dan kakanda Martha IL Simanjuntak yang memberikan perhatian lebih buat penulis selama penulisan skripsi ini.

(77)

10. Rekan-rekan seperjuangan, program Ekstensi 2013 Departemen Sastra Jepang, terima kasih atas motivasi dan saran bagi penulis. Terkhusus buat Ricardo Simanjuntak, terima kasih buat jerih payahnya menemani, membantu, dan meluangkan waktu untuk penulis dalam penulisan skripsi ini.

11. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari isi maupun uraiannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

(78)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI….………..iv

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 LatarBelakang………1

1.2 RumusanMasalah………...7

1.3 RuangLingkupMasalah………..8

1.4 TinjauanPustakadanKerangkaTeori………...9

1.4 TinjauanPustaka.………...9

1.4 KerangkaTeori………...10

1.5 TujuandanManfaatPenelitian………...11

1.6 MetodePenelitian……….12

BAB II FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG……….…14

2.1 PandanganHidupdanMatiBagiMasyarakatJepang………..14

2.2 SejarahBunuhDiri Di Jepang………..21

2.3 AngkaStatistikBunuhDiri Di Jepang………..27

(79)

2.3.2 MenurutKeadaanPekerja Di Jepang………...33

2.3.3 Menurut Gender………...34

BAB III PERGESERAN MOTIF DAN BENTUK BUNUH DIRI DARI ZAMAN FEODAL HINGGA DEWASA INI………..37

3.1 Motif BunuhDiri……….37

3.1.1 Penyakit Yang TakKunjungSembuh Di KalanganLansia………..38

3.1.2 Depresi………39

3.1.3Krisis dalamHubungan Personal………..41

3.1.4 KegagalandanDevaluasiDiri………...41

3.1.5 KonflikBatin………...…42

3.1.6 KehilanganMaknadanHarapanHidup………...42

3.2 BentukBunuhDiri………...43

3.2.1 HarakiridanSeppuku………...43

3.2.2 MelompatdariGedungTinggi………...45

3.2.3 GantungDiri………....47

(80)

3.2.5 MemotongUratNadi………49

3.3 UpayaMengatasiBunuhDiri Di Jepang………...49

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….52

4.1 Kesimpulan………52

4.2 Saran……….………..53

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Finally, the simulated multi-temporal SAR images from ERS are used to validate the PCA technique, and then ENVISAT dual-pol SAR data and ALOS PALSAR full-pol SAR data are applied

Hasil Persentase pelaksanaan fasilitasi penguatan dan pemberdayaan forum dialog penanganan konflik sosial

Based on abundant multi-source data, the paper applies data fusion into the production and updating of spatial data, which can gather the advantages of existing data to get

Capaian Program Persentase Pelaksanaan Fasilitasi Penguatan Kapasitas Masyarakat Terkait Mekanisme Dini Dan Pencegahan Dini Dalam Menangkal Ancaman Dari Dalam Dan Luar.

Our goal of the 3D Digital Model Database for wooden construction is to fully demonstrate the earlier wooden constructions information of all aspect that we have collected

79 Berdasarkan hasil persamaan regresi model fixed effect menunjukkan nilai koefisien

For future direction, in term of the development of the conceptual framework for Sustainable Strategic Management Assessment Tool (SSMAT), it will used model-based approach,

Gambar 16 memperlihatkan daerah difusi aluminium yang terlarut dengan baja, hal ini menunjukkan bahwa pada komposisi layer Fe 80%, Cu 20 % dapat terjadi fusi di antarmuka.