KERAGAAN EKOSISTEM KEBUN HUTAN (FOREST
GARDEN) DI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI:
Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah
W A R D A H
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi ini yang berjudul:
Keragaan Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar
Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional
Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Adalah karya saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Februari 2008
ABSTRACT
WARDAH, Performance of Forest Garden at the Margin of Forest Conservation: Case study at Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Under Supervision of CECEP KUSMANA, SUDARSONO, ENDANG SUHENDANG and IIN P. HANDAYANI.
Forest garden is a traditional agroforestry system which has a closely similar stand structure with natural forest. It plays an important role for livelihood of rural people. This research generally aimed to study the possibility of disturbed forest recovery toward natural forest conditions through secondary succession. The research particularly aimed to find out the stand structure and species composition of plants, biomass estimation (above, below and on the ground), and the physical, chemical and biological soil quality indicators of forest garden compared with the adjacent primary natural forest.
The study was carried out in the vicinity of Rompo village where is located at the eastern part of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. The study area is located at altitude between 1000-1100 m above sea level. There were five land uses, i.e. natural forest (pondulu), cultivated field (hinoe), forest garden (holu), younger secondary forest (lopo’lehe) and older secondary forest (lopo’tua). The plots (50 m x 50 m) divided into 25 sub plots for vegetation analysis (trees, poles, sapling, seedlings and herbs) Tree biomass (dbh ≥ 5 cm) were estimated by using local allometric biomass equation, whiles the tree biomass of sapling (dbh < 5 cm), seedlings and herbs were estimated with destructive method. Litter biomass (coarse) was estimated by collecting litter on forest floor of 50 cm x 50 cm and fine litters in 0-5 cm depth of soil. Root biomass (coarse and fine) was estimated by collecting roots and soil samples in two soil depths, namely 0-10 cm (top soil) and 20-30 cm (sub soil) for physical, chemical and biological soil quality indicators analysis.
The results generally showed that natural forest conversion into forest garden directly decreased density of trees (74%), basal area (76%-80%) and tree species diversity (30%-50%), changed the species and distribution patterns of dominant trees, decreased tree biomass (80%-90%) and root biomass (80%), but did not drastically decrease the physical, chemical and biological soil quality. In addition, the secondary succession up to 30 years might increase the tree density and basal area (67%), tree species diversity (75%) and tree biomass (50%) compared to the adjacent natural forest. Finally, the performance of disturbed natural forest consists of two characteristics, firstly, stand structure, tree composition and plant biomass of the older secondary forests had a closely similar condition with the adjacent natural forests; secondly, if there were further allowed undisturbed, forest garden might have capacity to recover into the older secondary forests, which were closely similar with former natural forest condition.
Keywords: biomass, forest garden, litter, soil quality, species composition,
RINGKASAN
WARDAH. Keragaan Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar
Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, SUDARSONO, ENDANG SUHENDANG dan IIN P. HANDAYANI.
Kebun hutan merupakan sistem agroforestri tradisional yang memiliki struktur tegakan mirip dengan hutan alam. Kebun hutan di Indonesia memiliki peran penting bagi masyarakat pedesaan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kemungkinan keterpulihan ekosistem hutan alam yang terganggu kepada keadaan yang mendekati kondisi hutan alam semula melalui proses suksesi alami. Untuk mendapatkan tujuan umum tersebut, diperlukan tiga tujuan khusus penelitian, yaitu: pertama, mendapatkan gambaran mengenai struktur tegakan dan komposisi jenis tumbuhan di hutan alam dan di berbagai tingkat perkembangan kebun hutan; Kedua, mendapatkan gambaran mengenai dugaan biomassa tumbuhan yang ada di atas, di bawah, dan di permukaan tanah di hutan alam dan kebun hutan; Ketiga, mendapatkan gambaran mengenai indikator kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi) di kebun hutan dan di hutan alam sekitarnya.
Penelitian dilakukan di sekitar kawasan hutan konservasi yaitu di bagian timur Taman Nasional Lore Lindu, Desa Rompo, Sulawesi Tengah, yang berada pada ketinggian antara 1000-1100 m dpl. Petak contoh dibuat di 2 lokasi, pada masing-masing lokasi dibuat 5 petak contoh yang masing-masing diletakkan di hutan alam primer (pondulu), ladang (hinoe), kebun hutan (holu), hutan sekunder muda (lopo’lehe) dan hutan sekunder tua (lopo’tua). Petak contoh berukuran 50 m x 50 m dibagi dalam 25 anak petak untuk analisis vegetasi pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah. Biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm) diduga dengan menggunakan rumus alometrik, sementra biomassa pohon (dbh < 5 cm), semai dan tumbuhan bawah dilakukan secara destruktif. Biomassa serasah (kasar) diduga dengan mengumpulkan serasah di permukaan tanah dan serasah halus pada kedalaman 0-5 cm pada 10 anak petak (50 cm x 50 cm). Biomassa akar kasar dan halus diduga dengan mengumpulkan akar bersamaan dengan pengambilan contoh tanah pada dua kedalaman yaitu 0-10 cm (tanah lapisan atas) dan 20-30 cm (tanah lapisan bawah) untuk dianalisis indikator kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi).
kerapatan dan LBD pohon, tiang, pancang dan semai beruturut-turut 8, 176, 24.100 individu/ha dan 10.2 m2/ha dengan keanekaragaman jenis pohon/tiang agak rendah tapi pancang dan semai agak tinggi (H’ = 3.1) dan 108, 456, 9.056 individu/ha dan 15.5 m2/ha dengan keanekaragaman jenis pohon/tiang termasuk sedang (H’ = 2.3-2.6). Sementara di lokasi 2, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua beruturut-turut memiliki kerapatan dan LBD pohon, tiang, pancang dan semai 76, 332, 3.260 individu/ha dan 18.1 m2/ha dengan keanekaragaman jenis pohon agak rendah (H’ = 1.8-2.3) dan 228, 316, 9.148 individu/ha dan 28.4 m2/ha dengan keanekaragaman jenis pohon agak tinggi (H’ = 2.9-03.2).
Hutan alam di lokasi 1 dan lokasi 2 juga memiliki biomassa total di atas, di bawah dan dipermukaan tanah (pohon dbh ≥ 5 cm, pancang dbh < 5 cm, semai dan tumbuhan bawah, serasah kasar dan halus, dan akar) paling tinggi (665.4 dan 550.6 ton/ha) yang 90% terakumulasi pada pohon dan paling rendah di ladang (23.7 dan 10.7 ton/ha) yang sekitar 50 % dan 35% terakumulasi di serasah, sekitar 32 % dan 55% di semai dan tumbuhan bawah, dan sisanya di akar. Sementara biomassa total di kebun hutan adalah 56.7 ton/ha (76.5% di pohon) dan 99.8 ton/ha (80% di pohon), hutan sekunder muda adalah 32.4 ton/ha (57% di pohon) dan 187.0 ton/ha (85% di pohon), dan hutan sekunder tua adalah 206.9 ton/ha (85% di pohon) dan 306 ton/ha (90% di pohon).
Selanjutnya, indikator kualitas tanah pada kedalaman 0-10 cm di hutan alam ada kecenderungan memiliki bobot isi berkisar agak tinggi, agregat tanah tidak stabil, tapi mengandung C-organik dan N-total tinggi (nisbah C/N < 10), biomassa mikroba agak rendah di lapisan atas, tapi tinggi di lapisan bawah. Sementara di ladang cenderung memiliki bobot isi tanah agar rendah diduga karena ada pengolahan tanah dan lahan baru dibuka sehingga kandungan C-organik dan N-total juga masih agak tinggi sehingga mikroba tanah sangat aktif di tanah lapisan atas, tapi tidak demikian di lapisan bawah. Tanah di hutan sekunder cenderung memiliki biomassa mikroba dan ketersediaan substrak segar hingga tanah lapisan bawah sangat tinggi terutama di hutan sekunder tua.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi hutan alam menjadi kebun hutan secara langsung menurunkan kerapatan tumbuhan (pohon 74% dan permudaan 25%), luas bidang dasar pohon (76%-80%) dan keanekaragaman jenis pohon (30%-50%), mengubah jenis dan pola penyebaran pohon dominan, dan menurunkan jumlah biomassa pohon (80%-90%) dan biomassa akar (80%), tapi tidak secara drastis menurunkan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi). Selanjutnya, suksesi sekunder hingga 30-an tahun dapat meningkatkan kerapatan pohon dengan luas bidang dasar (67%), keanekaragaman jenis pohon (75%) dan biomassa pohon (50%) mendekati hutan alam. Selanjutnya, keragaan ekosistem yang terbentuk setelah hutan alam mendapat gangguan memiliki dua karakteristik, yaitu: pertama, bentuk struktur tegakan, komposisi jenis pohon dan biomassa tumbuhan di hutan sekunder tua memiliki keadaan yang mendekati keadaan hutan alam di sekitarnya. Kedua, jika tidak mengalami gangguan, maka kebun hutan memiliki kemampuan untuk pulih ke hutan sekunder tua yang keadaannya mendekati keadaan hutan alam semula.
Kata kunci: biomassa, kebun hutan, komposisi jenis, kualitas tanah, serasah,
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KERAGAAN EKOSISTEM KEBUN HUTAN (FOREST
GARDEN) DI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI:
Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah
W A R D A H
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
Penguji Luar pada Ujian Terbuka:
Judul Disertasi : Keragaan Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Nama : Wardah
NRP : P.14600004
Disetujui:
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc.
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. Dr. Ir. Iin P. Handayani, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan,
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi yang berjudul ”Keragaan Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah” dapat diselesaikan. Berbagai pengalaman yang sangat berharga selama penulis melalui proses persiapan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Tim Komisi Pembimbing yang terdiri dari: Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Iin P. Handayani, M.Sc., yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan, koreksian, dan saran yang sangat berarti mulai dari penulisan rencana penelitian hingga penulisan disertasi.
2. Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S., yang telah berkenan menjadi penguji luar pada ujian tertutup dan Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. serta Bapak Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.Si., yang telah meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka dan memberikan masukan yang amat berharga sehingga memberi bobot tersendiri dalam disertasi ini. 3. Kepala Desa Rompo, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah yang telah memberikan izin kepada penulis untuk masuk dan tinggal di wilayahnya untuk melakukan penelitian.
4. Bapak W. Tolie dan keluarga, yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan dan memberikan fasilitas tempat tinggal dengan suasana yang aman dan kekeluargaan, sehingga penulis dapat dengan tenang melakukan pengumpulan data di lokasi penelitian.
5. Saudara Niswan Dg. Parani, S,Hut., Fahrudin Lasadam, S.Hut, Hermanto, S.Hut., Hardiyanto, S.Hut., Sunaryanto, S.Hut., Yuli Rahmawati, S.Hut., Sony, Made, Ufiani, dan mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, UNTAD, yang telah terlibat langsung membantu dalam pengumpulan sampel tanaman untuk diidentifikasi dan sampel tanah untuk dianalisis di Laboratorium.
6. Bapak Ir. Salapu, M.S. dan staf Laboratorium Ilmu Tanah, UNTAD, Bapak Ir. Isrun, M.P. dan staf Laboratorium Biosfer dan Lingkungan di Palu, Bapak Ir. Sulaeman, M.S. dan staf Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor, Bapak Dr. Ir. Gunawan Djayakirana, MSc. dan staf Laboratorium Biologi Tanah IPB Bogor, Dr. Ramadhanil P, MS. dan Bapak Ismail yang telah banyak membantu dalam analisis sampel tanah dan tanaman serta identifikasi contoh tanaman.
8. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan SPs-IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan serta staf atas kesempatan, fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan Program Doktor di IPB.
9. Rektor Universitas Tadulako, Dekan Fakultas Pertanian UNTAD dan Ketua Jurusan Kehutanan atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3 di IPB.
10.Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional R.I. atas pemberian beasiswa (BPPS) untuk mengikuti pendidikan S3 di IPB. 11.Sahabat penulis anggota/alumni Himpunan Mahasiswa Pascasarjana IPB Asal
Sulawesi Tengah (HIMPAST) tanpa kecuali, yang telah dengan ikhlas membantu dan memberi semangat serta motivasi selama dalam proses pendidikan di IPB.
12.Saudari Lilis, Zainab dan Dena, yang dengan sabar membantu menyiapkan segala kebutuhan penulis selama masa penyelesaian studi penulis di Bogor. 13.Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah atas bantuan dan penyediaan
fasilitas tempat tinggal selama penulis dalam tahap penyelesaian pendidikan di IPB.
14.Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orangtua Ayahanda H. Pali Sinring dan Ibunda Hj. Sapanang, dan ayah mertua Abdurrahman (Alm) dan ibu mertua A. Cammingpuleng (Almh) atas kasih sayang dan doa yang tidak henti-hentinya dipanjatkan untuk keselamatan dan kesuksesan penulis. Rasa terima kasih yang sama juga disampaikan kepada paman Drs. H. Moh. Aras (Alm.) dan Hj. Nuryati R. Aras serta adik Alimin, SH. dan Dra. A. Murniati, MAg, Adik Muh. Arafah, SH., Adik Ir. Rahmat Samad dan drg. Dwisari Aras, adik dr. Irwin Aras, M.Si., Dra. Dinarti Aras, Irman Aras, Ssos, Irsan Aras, ST., dr. Daraugi Aras, Ufiani S.Hut., Arfiah Arivai, Daswati, SPd dan Fatirah Amar, atas dukungan, pengorbanan dan doanya.
15.Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada yang tercinta suami Fabiansyah Rahman, SH. dan ananda Nurul Muthi’ah dan Muh. Nurhidayat atas kesabaran, pengertian dan pengorbanan serta semangat yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3 di IPB.
16.Terima kasih pula kepada rekan-rekan yang tidak disebutkan satu per satu dan kepada semua pihak, atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini, semoga Allah SWT membalasnya lebih baik.
Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya kalau tulisan ini masih ada kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan, Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Juni 1960 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Pali Sinring dan Hj. Sapanang A. Makkaraka. Penulis menikah dengan Fabiansyah Rahman, SH. pada tanggal 27 Desember 1987 dan telah dikaruniai satu orang putri Nurul Muthi’ah (12 tahun) dan satu orang putra Muh. Nurhidayat (10 tahun).
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 147 Kalempang, Soppeng tahun 1972, Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN Panakukkang Makassar tahun 1975, dan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Kartika Chandra Kirana Makassar tahun 1979. Pendidikan sarjana kehutanan ditempuh di Jurusan Kehutanan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian UNHAS dan lulus tahun 1984. Pada tahun 1989 penulis memperoleh beasiswa IDP-Australia untuk mengikuti pendidikan Master of Forest Science di School of Agriculture and Forestry, The University of Melbourne, Australia dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Program Doktor di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SPs-IPB dengan BPPS-DIKTI.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 4
Tujuan Penelitian... 4
Hipotesis ... 5
Manfaat Penelitian ... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Kebun Hutan ... 6
Keanekaragaman Hayati ... 9
Struktur Ekosistem ... 10
Fungsi Ekosistem ... 11
Kualitas Tanah ... 18
Gangguan dan Pemulihan Ekosistem... 21
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25
Letak dan Luas ... 25
Keadaan Fisik ... 26
Flora dan Fauna ... 28
Kependudukan ... 30
METODOLOGI PENELITIAN ... 31
Kerangka Pemikiran ... 31
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
Metode Penelitian... 34
Teknik penarikan contoh ... 34
Teknik pengambilan data ... 35
Struktur hutan dan komposis jenis tumbuhan... 35
Pendugaan biomassa tumbuhan... 37
Kualitas tanah ... 39
Analisis data ... 40
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
Struktur Tegakan dan Komposisi Jenis Tumbuhan... 44
Kerapatan dan keanekaragaman jenis... 44
Jenis pohon dominan dan pola penyebarannya... 50
Kesamaan jenis... 54
Distribusi kelas diameter pohon ... 57
Distribusi kelas tinggi pohon ... 59
Pendugaan Biomassa Tumbuhan... 63
Halaman
Biomassa di permukaan tanah ... 67
Biomassa di bawah permukaan tanah ... 72
Distribusi biomassa tumbuhan... 75
Kualitas Tanah ... 77
Sifat fisik tanah ... 77
Sifat kimia tanah ... 79
Sifat biologi tanah ... 82
SINTESIS... 86
KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 96
LAMPIRAN ... 107
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Sifat fisik, kimia dan biologi yang diusulkan sebagai indikator dasar
kualitas tanah ... 20
2 Indikator kualitas tanah berdasarkan tingkat perubahannya (Islam dan Weil 2000)... 21 3 Persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon (dbh ≥ 5cm).... 37 4 Ringkasan teknik analisis indikator kualitas tanah (fisik, kimia dan
biologi)... 41 5 Keragaan sifat ekosistem hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan
sekunder muda dan hutan sekunder tua berdasarkan tingkat pertumbuhan di lokasi 1 dan 2... 45 6 Tiga jenis tumbuhan dominan dan pola penyebarannya di hutan alam,
ladang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua di lokasi 1 dan lokasi 2... 51 7 Indeks kesamaan jenis antar tipe penggunaan lahan di lokasi 1
berdasarkan tingkat pertumbuhan... 55 8 Indeks kesamaan jenis antar tipe penggunaan lahan di lokasi 2
berdasarkan tingkat pertumbuhan... 56 9 Karakteristik 21 pohon contoh yang digunakan untuk penyusunan
persamaan alometrik biomassa pohon berdiameter (dbh ≥ 5cm) di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah ... 64 10 Kandungan karbon, nitrogen dan nisbah C/N serasah di hutan alam,
Madang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua
lokasi 1 dan lokasi 2.……… 69
11 Rata-rata biomassa akar kasar (≥ 2 mm) hidup dan mati, akar halus (< 2 mm) hidup dan mati, dan total akar (ton/ha) pada kedalaman 0-10 cm di masing-masing tipe lahan... 73 12 Rata-rata biomassa akar kasar (≥ 2 mm) hidup dan mati, akar halus (< 2
mm) hidup dan mati, dan total akar (ton/ha) pada kedalaman 20-30 cm di masing-masing tipe lahan... 74 13 Rata-rata bobot isi, kadar air pada kapasitas lapang, porositas dan
indeks stabilitas agregat tanah pada kedalaman 0-10 cm di berbagai tipe penggunaan lahan di lokasi 1 dan 2... 78 14 Rata-rata bobot isi, kadar air pada kapasitas lapang, porositas dan
Halaman 15 Rata-rata pH (H2O), C-organik, N-total dan nisbah C/N tanah
kedalaman 0-10 cm di berbagai tipe penggunaan lahan di lokasi 1 dan 2... 80 16 Rata-rata pH (H2O), C-organik, N-total dan nisbah C/N tanah pada
kedalaman 20-30 cm di berbagai tipe penggunaan lahan di lokasi 1 dan 2... 81 17 Rata-rata biomassa mikroba (C-mic), respirasi dan nisbah
C-mic/C-organik tanah pada kedalaman 0-10 cm di berbagai tipe penggunaan lahan di lokasi 1 dan 2... 82 18 Rata-rata biomassa mikroba (C-mic), respirasi dan nisbah
C-mic/C-organik tanah pada kedalaman 20-30 cm di berbagai tipe penggunaan lahan di lokasi 1 dan 2... 83
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Siklus Pembangunan Kebun Hutan di Desa Rompo, Kecamatan Lore
Tengah, Sulawesi Tengah (Brodbeck et al.,2003) ... 7 2 Lokasi Penelitian, Desa Rompo Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso,
Provinsi Sulawesi Tengah ... 25 3 Suhu udara dan kelembaban relatif rata-rata bulanan di Desa Rompo dari
tahun 2002-2005 ... 26 4 Curah hujan rata-rata tahunan dan radiasi global rata-rata bulanan di Desa
Rompo dari tahun 2002-2005 ... 27 5 Alur pikir penelitian ... 33 6 Petak-petak contoh pengamatan ... 36 7 Bentuk anak petak contoh untuk analisis vegetasi tingkat pohon/tiang,
pancang, semai dan tumbuhan bawah pada setiap petak contoh... 36 8 Kurva species area pada hutan alam di Desa Rompo sekitar Taman
Nasional Lore Lindu... 44 9 Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H’) pohon, tiang, pancang
dan semai di hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua………... 48 10 Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H’) tumbuhan bawah di
hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan
sekunder tua………... 50
11 Kerapatan dan bentuk sebaran kelas diameter pohon di hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua di lokasi 1 (a) dan lokasi 2 (b)... 58 12 Kerapatan pohon dan bentuk sebaran kelas tinggi pohon di hutan alam,
ladang, kebun hutan, hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua di lokasi 1 (a) dan lokasi 2 (b)...……….. 60 13 Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon (dbh ≥ 5cm)
dan jaringan pohon lainnya………... 64 14 Perbandingan persamaan alometrik biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm) antara
yang diperoleh dalam studi ini dengan yang diusulkan oleh Brown (1997). 65 15 Biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm) di hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan
sekunder mudadanhutan sekunder tua di lokasi 1 dan lokasi 2... 66 16 Biomassa pancang (dbh < 5 cm), semai dan tumbuhan bawah di hutan
Halaman 17 Biomassa serasah kasar dan halus di hutan alam, ladang, kebun hutan,
hutan sekunder mudadanhutan sekunder tuadi lokasi 1 dan lokasi 2…… 68 18 Kandungan karbon (a), Nitrogen (b) dan Nisbah C/N (c) dalam serasah
daun dan berkayu pada hutan alam, ladang, kebun hutan, hutan sekunder mudadanhutan sekunder tuadi lokasi 1 (A) dan lokasi 2 (B).………....… 70 19 Total biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm), pancang (dbh < 5 cm), semai dan
tumbuhan bawah, serasah kasar, serasah halus, total akar pada berbagai tipe penggunaan lahan... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 GLOSSARY... 108
2 Daftar jenis tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan pada hutan alam primer di lokasi 1... 109
3 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di ladang di lokasi 1……….... 114
4 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di kebun hutan di lokasi 1... 117
5 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan sekunder muda di lokasi 1….… 120 6 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan sekunder tua di lokasi 1...…….. 124
7 Daftar jenis tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan pada hutan alam primer di lokasi 2.…… 128
8 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di ladang di lokasi 2……… 134
9 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di kebun hutan di lokasi 2... 136
10 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan sekunder muda di lokasi 2.…… 139
11 Daftar jenis tumbuhan pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan sekunder tua di lokasi 2………. 142
12 Daftar hasil estimasi biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm), semai (dbh < 5 cm) dan tumbuhan bawah, dan serasah di permukaan tanah di lokasi 1 dan 2…. 147 13 Daftar hasil estimasi biomassa pohon (dbh ≥ 5 cm), semai (dbh < 5 cm) dan tumbuhan bawah, dan serasah di permukaan tanah di lokasi 1 dan 2…. 150 14 Hasil analisis kandungan karbon dan nitrogen contoh serasah ………. 155
15 Hasil analisis sifat fisik tanah……….……… 156
16 Hasil analisis sifat kimia tanah………... 158
Halaman 20 Hasil analisis sidik ragam biomassa di permukaan tanah (serasah) di
lokasi 1………... 164
21 Hasil analisis sidik ragam biomassa di permukaan tanah (serasah) di
lokasi 2………... 165
22 Hasil analisis sidik ragam kandungan C (%), N (%) dan nisbah C/N berdasarkan tipe penggunaan lahan dan jenis serasah di lokasi 1………….. 166 23 Hasil analisis sidik ragam kandungan C (%), N (%) dan nisbah C/N
berdasarkan tipe penggunaan lahan dan jenis serasah di lokasi 2………... 168 24 Hasil analisis sidik ragam biomassa akar kasar (hidup dan mati), akar
halus (hidup dan mati) dan total akar (ton/ha) di lokasi 1 ………... 170 25 Hasil analisis sidik ragam biomassa akar kasar (hidup dan mati), akar
halus (hidup dan mati) dan total akar (ton/ha) di lokasi 2 ………... 175
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan hujan tropika akhir-akhir ini semakin mendapat perhatian bukan hanya
karena merupakan habitat yang luasnya hanya ± 7% dari permukaan bumi tapi
mengandung lebih dari setengah kekayaan jenis hayati, tapi juga karena
kerusakannya yang semakin meningkat dan menyebabkan ratusan ribu jenis akan
punah (Wilson, 1999). Penebangan hutan dan konversi menjadi sistem penggunaan
lahan lain misalnya lahan pertanian telah diklaim sebagai penyebab utama kerusakan
hutan yang menyebabkan tingginya kehilangan keanekaragaman hayati (Watt et al.,
1997; Beck et al., 2002; Schiffler, 2005). Di Indonesia, sekitar 20 juta ha hutan telah
dikonversi sejak tahun 1989 dan rata-rata laju penebangan hutan meningkat dari 1.7
juta ha sebelum tahun 2000 (Holmes, 2000) menjadi 1.87 juta ha per tahun pada
tahun 2000-2005 dan memposisikan Indonesia pada peringkat kedua sesudah Brazil
dalam hal kehilangan hutan (FAO, 2005).
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah, merupakan salah satu
kawasan konservasi penting di Indonesia dan telah dideklarasikan sebagai “
Biosphere Reserve” pada tahun 1977, sebagai tempat perlindungan keanekaragaman
hayati di Sulawesi. Sebagai biosphere reserve, maka TNLL merupakan kawasan yang
berfungsi sebagai tempat penelitian, penyelidikan ekosistem dan konservasi
keanekaragaman hayati (UNESCO, 1995). Selain itu, TNLL juga memiliki nilai
konservasi yang cukup tinggi dan melindungi daerah aliran sungai untuk sejumlah
sungai utama di Sulawesi Tengah. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan
TNLL sebagai “World Heritage Site” karena nilai budaya, arkeologis dan ekologis
yang dimilikinya (TNC/BTNLL, 2002). Karena pentingnya manfaat dan fungsi
ekosistem TNLL yang tidak hanya dalam ruang lingkup regional, tapi juga nasional
(STORMA)” antara Indonesia (UNTAD dan IPB) dan Jerman (Universitas Gottingen dan Kassel) yang difokuskan pada kawasan pinggiran TNLL, Sulawesi Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan struktur dan komposisi jenis pohon,
palm, rotan, burung, serangga, dan mikroba tanah beberapa tipe penggunaan lahan di
antaranya: hutan alam, hutan sekunder, kebun hutan traditional kakao/kopi, dan
agroforestri kakao (Brodbeck, Hapla dan Mitlöhner, 2003; Brodbeck, Weidelt dan
Mitlöhner, 2004; Bos, Dewenter dan Tscharntke, 2005; Lozada et al., 2005; Mogea,
2005; Pitopang et al., 2004; Pitopang, 2006; Sahari, Buchori dan Schulze, 2005;
Anas, Gultom dan Migge, 2005; Dietz et al., 2006; Shahabuddin et al., 2005;
Steinggrebe et al,, 2005), meskipun perbedaan tersebut tidak selalu nyata antar tipe
penggunaan lahan. Sementara itu, beberapa studi telah menunjukkan bahwa konversi
hutan menjadi lahan pertanian (ladang) akan menurunkan kualitas tanah, meskipun
selanjutnya akan meningkat dengan pemberaan (alang-alang) atau dengan sistem
agroforestry kakao (Handayani, 2001; Negassa dan Gebrekidan, 2004; Anas et al.,
2005; Murtilaksono, Hidayat dan Gerold, 2005).
Sementara itu, di sekitar kawasan TNLL terdapat sistem pengelolaan lahan
yang disebut sistem kebun hutan (forest garden), yang merupakan sistem
agroforestry (wanatani) tradisional. Sistem semacam ini tersebar pada hampir seluruh wilayah Indonesia, meskipun teknik dan jenis tanaman yang dikelola bervariasi. Di
Jawa, kebun hutan dikenal dengan nama kebun talun (Jawa Barat), di Kalimantan
Barat dengan nama tembawang, dan di Sumatera dengan nama parak (di Maninjau)
dan repong (di Pesisir Krui) serta di Sulawesi Tengah dengan nama holu (di Lore Tengah). Hingga saat ini pengetahuan tentang sistem tersebut masih secara spesifik
dan terbatas pada studi struktur dan komposisi jenis serta manfaat ekonomi, sosial
dan ekologi (Michon et al., 1983; Sundawati, 1993; Gouyon, de Foresta dan Levang,
1993; Michon dan Mary, 1994; Aumeeruddy dan Samsonnens, 1994; Salafsky, 1996;
Brodbeck et al., 2003).
Secara umum, kebun hutan sangatlah bervariasi dan pembentukannya melalui
beberapa tahapan proses. Pembangunan kebun hutan banyak dipengaruhi oleh
struktur sosial budaya masyarakat lokal dan jarak dari pasar. Kebun hutan di
Sulawesi Tengah khususnya di lokasi penelitian terbentuk melalui empat tahapan,
yaitu: pertama, konversi langsung hutan alam menjadi kebun hutan tetap (holu).
Kedua, hutan alam terlebih dahulu dibersihkan dengan sistem tebas-bakar dan diolah
sebagai ladang (hinoe) dengan menanam jenis-jenis tanaman semusim (padi atau
jagung), pada saat hasilnya menurun, ladang tersebut diberakan dan secara alami
terbentuk hutan sekunder muda (lopo’lehe) dan hutan sekunder tua (lopo’tua). Hutan
sekunder ini dapat kemudian digunakan sebagai penutup tanah selama periode
pemberaan sebelum kembali diolah menjadi ladang, atau setelah beberapa tahun
dapat dikonversi menjadi kebun hutan tetap. Ketiga, beberapa kasus langsung
menanam tanaman tahunan produktif (buah-buahan dan perkebunan) setelah
pembersihan lahan hutan, serta secara bersama-sama menanam padi atau jagung
selama beberapa tahun, ketika produksinya menurun, selanjutnya tanaman produktif
tadi juga sudah mulai menghasilkan. Keempat, kebun hutan tidak produktif diberakan
beberapa tahun tanpa pemeliharaan, tanaman-tanaman budidaya perlahan-lahan
berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis pohon hutan melalui suksesi alami
membentuk hutan sekunder muda. Hutan sekunder muda ini kemudian dapat
dikonversi menjadi kebun hutan tetap, yang untuk sementara dibersihkan untuk
ladang atau jika suksesi alami terus berlangsung tanpa usikan maka selanjutnya akan
menjadi hutan sekunder tua atau mungkin dapat kembali menjadi hutan alam
(Sangaji, 2002; Brodbeck et al., 2003).
Hasil-hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan secara spesifik
penampilan berbagai tipe penggunaan lahan. Namun masih terbatas informasi tentang
kemampuan ekosistem hutan alam terganggu dalam hal ini kebun hutan untuk pulih
kondisinya melalui beberapa tahapan suksesi mendekati kondisi hutan alam
sekitarnya berdasarkan struktur tegakan dan komposisi jenis, biomassa tumbuhan (di
atas, di bawah dan dipermukaan tanah) dan kualitas tanahnya (fisik, kimia dan
Perumusan Masalah
Hingga kini hutan sekitar dan di dalam Taman Nasional Lore Lindu terus
menghadapi ancaman terutama berupa konversi lahan hutan menjadi ladang atau
kebun kakao/kopi. Meskipun ada indikasi bahwa masyarakat lokal, masyarakat Toro
misalnya, mampu mengelola lahan hutan termasuk taman nasional secara lestari,
yang ditandai dengan keanekaragaman hayati TNLL secara umum relatif belum
terganggu. Namun kenyataannya di beberapa bagian kawasan TNLL masih terus
terjadi pencurian kayu dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
beberapa lokasi perkebunan kopi dan kakao telah melewati batas taman nasional dan
saat ini telah meluas hingga beberapa kilometer ke dalam taman nasional.
Seiring dengan masih terjadinya kerusakan hutan akibat dari konversi hutan
menjadi lahan pertanian dapat menyebabkan perubahan struktur tegakan dan
komposisi jenis di daerah tersebut, yang dalam jangka waktu panjang berpotensi
untuk mengubah struktur dan fungsi ekosistem. Oleh karena itu permasalahan
mengenai keragaan ekosistem setelah hutan alam mengalami gangguan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan keadaan ekosistem yang nyata dilihat dari struktur tegakan,
komposisi jenis tumbuhan, terutama jenis yang menyebabkan hilangnya peluang
untuk pulihnya suatu ekosistem terganggu seperti ladang, kebun hutan, hutan
sekunder muda dan hutan sekunder tua ?
2. Adakah kemampuan ekosistem hutan alam yang terganggu untuk kembali ke
keadaan semula?
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kemungkinan
keterpulihan ekosistem hutan alam yang terganggu kepada keadaan yang mendekati
kondisi hutan alam semula melalui proses suksesi alami. Untuk mendapatkan
gambaran umum tersebut, diperlukan tiga tujuan khusus penelitian, yaitu:
1. Mendapatkan gambaran mengenai struktur tegakan dan komposisi jenis tumbuhan
di hutan alam dan di berbagai tingkat perkembangan kebun hutan.
2. Mendapatkan gambaran mengenai dugaan biomassa tumbuhan yang ada di atas,
di bawah, dan di permukaan tanah di hutan alam dan kebun hutan.
3. Mendapatkan gambaran mengenai indikator kualitas tanah (fisik, kimia dan
biologi) di hutan alam dan kebun hutan.
Hipotesis
Proses suksesi sekunder mulai dari ladang/kebun hutan menjadi hutan
sekunder muda hingga hutan sekunder tua dapat memulihkan keadaan ekosistemnya
menjadi suatu ekosistem hutan yang mendekati keadaan ekosistem hutan alam
semula, dilihat dari bentuk struktur tegakan dan komposisi jenis tumbuhan, biomassa
tumbuhan, dan kualitas tanah.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat menjadi masukan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di sekitar kawasan hutan konservasi
berbasis masyarakat dan kelestarian ekosistem. Secara khusus, hasil penelitian ini
dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kebun hutan
TINJAUAN PUSTAKA
Kebun Hutan
Kebun hutan (forest garden) merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan
tradisional di daerah sekitar hutan. Jenis-jenis vegetasi yang ada di kebun hutan ini
relatif sama dengan vegetasi di dalam hutan alam sekitarnya, meskipun telah ditanami
dengan beberapa jenis tumbuhan bermanfaat lainnya. Kebun hutan di Indonesia telah
terbukti memberikan arti penting terhadap ekonomi masyarakat, terutama di sekitar
hutan (Michon et al., 1983; Sundawati, 1993; Salafsky, 1994; Lawrence, 2004;
Brodbeck et al., 2003)
Kebun hutan di Indonesia dibangun melalui proses penebangan dan diikuti
dengan pembakaran. Pembukaan lahan tersebut menyebabkan tumbuhnya permudaan
secara alami sehingga terbentuk akumulasi berbagai jenis pada suatu petak tertentu.
Michon et al. (1983) menyatakan bahwa di Indonesia kebun hutan telah mengalami
taraf elaborasi yang sangat tinggi sehingga kondisinya menyerupai ekosistem hutan
alam, sistem pemeliharaan dan reproduksinya tergantung pada pengaturan tanaman
budidaya yang menggantikan tumbuhan jangka panjang, sehingga memiliki
kombinasi dengan siklus biologi yang berbeda. Para petani harus mengkombinasikan
aspek jangka panjang dan jangka pendek dalam rangka kelestarian hasil dan
ketahanan kebun.
Struktur tegakan dan komposisi jenis tumbuhan yang kompleks (horizontal
dan vertikal) dapat diasumsikan memiliki siklus hara lebih efisien dibandingkan kalau
hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan (monokultur). Menurut Langi, Lamb dan
Keenan (2004), siklus hara cenderung lebih cepat pada hutan alam daripada hutan
tanaman, meskipun ada kecenderungan siklus hara di hutan tanaman jenis berdaun
lebar lebih cepat daripada berdaun jarum.
Selanjutnya, Brodbeck et al. (2003) menyimpulkan bahwa pembangunan
kebun hutan tetap khususnya di Sulawesi Tengah agak bervariasi tergantung pada
kelompok suku dan jarak dari pasar. Di Desa Rompo (suku Besoa), kebun hutan tetap
hutan sekunder, sementara di Kulawi (suku Kulawi Moma), dibangun selain dari hutan alam, ladang, dan hutan sekunder juga dapat dibangun dari kebun pekarangan.
Sedangkan di Kamarora (campuran suku dari luar Sulawesi Tengah), kebun hutan
tetap dibangun melalui kebun hutan sementara.
Siklus pembangunan kebun hutan
Pembangunan kebun hutan di Desa Rompo tergolong paling sederhana
dibandingkan dengan di Desa Kulawi dan Desa Kamarora, Sulawesi Tengah. Kebun
hutan dapat dibangun melalui siklus seperti disajikan pada Gambar 1.
?
Hutan Primer Kebun Hutan
Ladang Hutan Sekunder
Gambar 1. Siklus Pembangunan Kebun Hutan di Desa Rompo, Kecamatan Lore
Tengah, Sulawesi Tengah (Brodbeck et al., 2003)
Gambar 1 menunjukkan siklus kemungkinan pembangunan kebun hutan
dengan cara:
a. Hutan primer langsung dikonversi menjadi kebun hutan tetap, yaitu dengan
menebang sebagian besar pohon kecil dan tetap meninggalkan pohon besar
sebagai pohon pelindung.
b. Hutan primer pertama dikonversi menjadi lahan pertanian (ladang). Ketika hasil
ladang mulai menurun, maka ladang ditinggalkan dan terbentuk hutan sekunder
melalui suksesi. Hutan sekunder ini dapat berfungsi sebagai penutup tanah selama
periode pemberaan, sebelum dibersihkan kembali untuk ladang, atau juga dapat
sekunder dibiarkan mengalami suksesi sekunder lebih lama tanpa ada gangguan,
secara teoritis dapat pulih menjadi hutan primer.
c. Beberapa kasus, kebun hutan dibangun dengan langsung menanam tanaman
tahunan seperti kopi (Coffea canephora dan C. arabica), kakao (Theobroma
cocoa), atau pohon buah-buahan setelah pembersihan lahan. Pada kondisi ini, dapat diinterkrop dengan tanaman semusim seperti padi gogo atau jagung selama
beberapa tahun. Selanjutnya, hasil padi atau jagung perlahan-lahan menurun,
tanaman tahunan juga mulai berkembang dan mungkin sudah dapat dipungut
hasilnya.
d. Jika kebun hutan dibiarkan tidak dipelihara selama beberapa tahun, jenis tanaman
budidaya perlahan-lahan akan hilang dan akan digantikan oleh jenis pohon hutan
selama masa suksesi alami.hingga terbentuk hutan sekunder. Hutan sekunder
selanjutnya dapat dikonversi kembali menjadi kebun hutan, atau sementara
dibersihkan untuk ladang, atau jika dibiarkan suksesi berlangsung lebih lama akan
menjadi hutan sekunder tua dan selanjutnya dapat menjadi hutan primer.
Fungsi sosial-ekonomi kebun hutan
Hasil kebun hutan sangat tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan,
namun secara umum terdiri dari hasil tanaman untuk diperdagangkan (cash crop) dan
untuk kebutuhan hidup keluarga (subsistence). Jumlah jenis tanaman dari kebun
hutan yang hasilnya dapat dijual sangat terbatas yaitu hanya kakao dan vanili (cash
crops) dan kopi (cash dan subsistence). Budidaya kopi di Desa Rompo merupakan tradisi karena merupakan minuman yang sangat populer di masyarakat lokal, dimana
sebagian hasil kopi digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sisanya
dijual (Brodbeck et al., 2003).
Rendahnya jumlah jenis tanaman (cash dan subsistence) di Desa Rompo
diduga ada kaitannya dengan faktor sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Fasilitas
jalan menuju pasar di luar agak sulit karena lemahnya infrastruktur jalan. Sementara
pasar di desa untuk hasil pertanian tidak ada karena kemampuan beli warga rendah
dan hampir semua masyarakat adalah petani yang mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri. Selain itu, ikatan sosial dan kekeluargaan cukup kuat sehingga
kelebihan panen biasanya diberikan kepada keluarga atau tetangga dibanding dijual.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebun hutan di Desa Rompo memiliki
fungsi sosial ekonomi yang bukan hanya untuk pemilik tapi juga untuk seluruh
masyarakat desa (Brodbeck et al., 2003).
Pendapatan petani di Desa Rompo hanya sebagian diperoleh dari kebun hutan
dan sebagiannya lagi diperoleh dari ladang, sawah dan mungkin menjadi buruh.
Brodbeck et al. (2003) telah melaporkan bahwa kebun hutan di Desa Rompo hanya
memberikan sekitar 57% pendapatan petani dan sisanya diperoleh dari kebun hutan
tua yang ditanami kopi dan ladang yang ditanami jagung. Hasil ini termasuk terendah
jika dibandingkan kebun hutan di Kulawi (77%) dan Desa Kamarora (61%).
Kebun hutan di Sulawesi Tengah juga memiliki fungsi sebagai ”safety net”
(Brodbeck et al., 2003), karena dapat menyediakan makanan darurat, memberikan
sumber pendapatan darurat dan ekstra, obat-obatan dan untuk hari tua. Beras
merupakan makanan pokok di Desa Rompo, sehingga umumnya petani menanam
padi di sawah dan sebagian kecil di ladang. Di kebun hutan biasanya ditanam ubi
kayu (Manihot esculenta), talas (Colocasia esculenta) dan ubi jalar (Ipomoea
batatas), tapi sangat jarang dikomsumsi oleh manusia, dan bahkan biasanya dipanen hanya untuk pakan hewan. Namun di saat tertentu, misalnya gagal panen atau stok
beras sudah habis sebelum panen berikutnya, masyarakat lokal biasanya
menggunakan ubi kayu, ubi jalar, talas dari kebun hutan sebagai makanan darurat.
Kebun hutan yang letaknya jauh dari pemukiman cenderung kurang
terpelihara dan biasanya hanya ditanam kopi dan dibiarkan dibawah tajuk pohon
hutan, sehingga hasilnya pun sangat rendah. Namun jika sumber pendapatan lain
tidak dapat mencukupi kebutuhannya atau ada kebutuhan kayu untuk perumahan,
maka kopi dan kayu dapat memberikan pendapatan ekstra.
Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah dasar kehidupan tumbuhan,
pada tahap menghawatirkan, sementara sangat dibutuhkan untuk kelestarian
kehidupan manusia (Kim dan Weaver, 1994). Sedangkan menurut Perry (1994),
keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan dan prosesnya.
Sehingga Wilson (1999) menyimpulkan bahwa keanekaragaman hayati bukan hanya
sebagai kumpulan species yang sederhana, tapi juga merupakan rujukan dalam
keanekaragaman kehidupan. Sebelumnya, Alikodra (1990) telah memberikan
gambaran bahwa keanekaragaman hayati merupakan ungkapan pernyataan berbagai
macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai
tingkat persekutuan mahluk, yaitu tingkatan ekosistem, jenis dan genetika.
Keanekaragaman hayati, baik secara langsung atau tidak, sangat berperan
dalam kehidupan manusia berupa sandang, pangan, papan, obat-obatan, wisata,
pengembangan ilmu pengetahuan dll. Peran lain dari keanekaragaman hayati yang
tidak kalah pentingnya adalah dapat mengatur proses ekologis sistem penyangga
kehidupan termasuk menghasilkan oksigen, mencegah pencemaran udara dan air,
mencegah banjir, erosi dan longsor, dan menunjang keseimbangan hubungan
pemangsa dan yang dimangsa dalam bentuk pengendalian hama alami. Sumarwoto
(2001) mengemukakan bahwa banyak jenis tumbuhan, hewan dan jazad renik
memproduksi zat-zat yang sangat berguna bagi manusia. Olehnya itu dibutuhkan
sumberdaya gen dengan keanekaragaman yang tinggi untuk dapat mendukung
kebutuhan manusia yang makin lama makin meningkat.
Keanekaragaman hayati memiliki komposisi, struktur dan fungsi, yang
kesemuanya tersusun dalam suatu hirarki (Franklin, 1999). Komposisi suatu
ekosistem terdiri dari organisme, species, kelompok species yang saling berinteraksi,
keragaman genetik dalam species, peninggalan organisme (kayu mati dan bahan
organik tanah), berbagai macam komponen inorganik (mineral dan gas).
Struktur Ekosistem
Struktur ekosistem adalah jumlah energi dan bahan kimia yang diekspresikan
sebagai jumlah individu dan jenis serta biomassa. Struktur ekosistem hutan hujan
tropika sangat kompleks baik itu ditinjau dari aspek bentuk arsitektur pohon, aspek
spasial (vertikal dan horizontal), struktur vegetasi dan pertumbuhan, keragaman jenis
binatang, kelimpahan dan biomassa binatang maupun kelimpahan energi dan bahan
kimia (Golley, 1983). Sementara Perry (1994) menyimpulkan bahwa struktur
ekosistem dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu: arsitektur dan sosial. Aspek
arsitektur terdiri dari aspek fisik struktur dan biasanya diterapkan pada model spasial
komunitas tumbuhan seperti jumlah lapisan tajuk, bagian-bagian dalam sebaran
species atau kelas umur. Aspek struktur sosial mengarah pada pola hubungan
individu, species, atau kelompok suatu species dengan yang lainnya dan dalam sistem
secara menyeluruh. Studi ekologi pada tingkat ekosistem melibatkan pengamatan
struktur dan fungsi ekosistem secara keseluruhan, seperti: diversitas jenis dan
faktor-faktor yang mempengaruhi, pola penyebaran, habitat, produktivitas, jaring-jaring
makanan, peredaran materi, stabilitas dan interaksi antara tanah, air dan udara.
Hutan hujan tropika secara vertikal tersusun dari pohon penyusun tajuk
(termasuk strangler), pohon di bawah tajuk, semak, liana dan pemanjat berkayu,
herba, dan epifit, parasit dan saprofit vaskuler (Golley, 1983). Sementara, stratifikasi
tajuk hutan bervariasi sesuai dengan tipe hutan dan kualitas tempat tumbuhnya.
Berdasarkan pengamatan stratifikasi tajuk hutan hujan pegunungan terganggu dan
yang relatif utuh di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango oleh Utomo (2005),
profil vegetasi hutan pegunungan yang relatif utuh dan terganggu tanpak masih terdiri
dari tiga strata tajuk, yaitu stratum A (tinggi total pohon 30 m ke atas), stratum B
(tinggi total pohon 20-30 m) dan stratum C (tinggi total pohon 4-20 m). Sama halnya
dengan di hutan alam tidak terganggu hingga sedikit terganggu di Taman Nasional
Lore Lindu, masih ditemukan pohon pada stratum A, B dan C, meskipun jumlah
pohon pada stratum A cenderung menurun seiring dengan meningkatnya intensitas
penggunaan (Pitopang, 2006).
Fungsi Ekosistem
Dalam suatu ekosistem, setiap komponen memiliki fungsi (internal)
masing-masing, misalnya: pohon dalam hutan berfungsi sebagai makanan dasar dan habitat
bagi binatang dan mikroba. Sementara binatang dan mikroba berfungsi untuk
dua aspek fungsi struktur, yaitu: aspek yang berpengaruh pada proses seperti
fotosintesis, siklus hara dan pertumbuhan populasi, dan aspek yang berpengaruh pada
fungsi struktur, yaitu keseimbangan antar populasi yang berbeda. Sedangkan fungsi
yang bersifat eksternal yaitu yang berpengaruh pada komunitas dan lingkungan
sekitarnya secara keseluruhan, misalnya pengaturan pengaliran air dan unsur hara,
stabilisasi tanah dan penyerapan dan pemantulan energi matahari (Perry, 1994).
Sementara itu, ekosistern kebun hutan traditional cenderung memiliki fungsi
langsung yang lebih bervariasi bagi masyarakat, jika dibandingkan dengan hutan
alam, antara lain: fungsi ekologi (konservasi sumberdaya genetik, konservasi tanah
dan air, pengurangan fluktuasi iklim mikro), fungsi ekonomi (sumber pendapatan
petani dan keamanan pangan rumah tangga), dan fungsi sosial budaya (Sundawati,
1993).
Fungsi ekosistem hutan hujan tropika sangat dipengaruhi oleh strukturnya yang
kompleks. Fungsi ekosistem hutan meliputi produktivitas, siklus dan konservasi
hara, perbaikan iklim mikro, dekomposisi, jaring-jaring makanan, biologi reproduksi
tumbuhan, suksesi dan stabilitas ekosistem (Golley, 1983; Perry, 1994).
1) Produktivitas
Produktivitas adalah pertambahan materi dan energi dalam biomassa.
Produktivitas terdiri dari produktivitas primer yang ditunjukkan oleh tumbuhan hijau
dan produktivitas sekunder yang ketika organisme heterotropik mengkomsumsi jaringan tumbuhan dan mengkonversinya menjadi materi dan energi ke dalam
biomassanya. Produktivitas primer terdiri dari produktivitas primer bersih (Net
Primary Productivity, NPP) dan produktivitas primer kotor (Gross Primary Productivity, GPP). Produktivitas primer bersih sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi respirasi. NPP dalam hutan terdiri dari: 1) Pertambahan dalam
jaringan pohon termasuk batang, cabang, daun, akar, mikoriza dan simbiosis lainnya.
2) Jaringan yang jatuh dari pohon seperti serasah. 3) Jaringan yang dikomsumsi oleh
organisme heterotropik. 4) Pohon yang mati (Perry, 1994).
Produktivitas primer bersih di atas perrnukaan tanah suatu ekosistem sangat
bervariasi tergantung pada tipe vegetasi, lanskap dan komposisi jenis. Variasi ini
dapat dipengaruhi oleh tanah, elevasi, dan umur tegakan (Perry, 1994). Perbedaan
produktivitas antar tipe hutan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: a) jumlah
energi terserap oleh permukaan tajuk yang merupakan fungsi dari ketersediaan air
dan unsur hara. b) lama musim pertumbuhan.
Produktivitas primer bersih pada suatu hutan juga bervariasi menurut lanskap
yang dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan air dan unsur hara tersedia, CO2 di
atmosfir dan variasi suhu. Perubahan ketinggian mempengaruhi konsentrasi CO2,
suhu dan presipitasi yang semuanya ini secara langsung mempengaruhi NPP. Suhu
dan kelembaban juga secara tidak langsung mempengaruhi NPP dengan mengontrol
laju dekomposisi bahan organik, yang merupakan faktor kunci dalam ketersediaan
unsur hara. Vitousek, Martson, dan Turner (1988) melaporkan bahwa kandungan hara
daun menurun dengan penurunan elevasi di hutan Hawai ini menunjukkan bahwa
NPP kemungkinan juga menurun.
Produktivitas primer bersih juga dipengaruhi oleh komposisi jenis. Beberapa
hasil studi yang dihimpun oleh Perry (1994) diperoleh informasi bahwa produktivitas
akan lebih tinggi pada tegakan campuran dari pada tegakan sejenis. Hal ini
disebabkan oleh pertama, karena lebih banyak sumberdaya tersedia untuk tegakan
campuran yang dapat dihasilkan dari jenis berbeda yang menggunakan faktor
lingkungan lebih banyak dibandingkan tegakan sejenis atau terdapat jenis yang dapat
meningkatkan ketersediaan beberapa sumberdaya pembatas, misalnya tumbuhan
penfiksasi nitrogen. Kedua, tegakan campuran lebih stabil daripada tegakan sejenis
terutama yang berhubungan dengan fluktuasi iklim, hama dan penyakit dan
produktivitas.
2) Siklus dan konservasi hara
Siklus hara adalah peredaran hara esensial yang dibutuhkan dalam kehidupan
seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan kalsium dalam skala ekosistem dan jangka waktu
(1987), siklus hara dalam suatu ekosistern hutan merupakan peredaran hara mulai
dari penyerapan hara oleh tumbuhan dari larutan tanah dan melalui mikotropi,
distribusi hara dalam tumbuhan, kehilangan hara dari turnbuhan (karena pencucian air
hujan, defoliasi, berassosiasi dengan bagian reproduksi, dan serasah), dekomposisi
serasah, peran tumbuhan bawah, dan siklus hara langsung. Siklus hara langsung
memegang peranan penting dalarn ekosistem hutan terutama pada tanah miskin hara
sepertl di hutan hujan tropika tetapi memiliki biomassa pohon yang besar, sebagian
besar hara yang terkdanung dalam tumbuhan dan hara beredar sangat besar dan cepat
(Kimmins, 1987).
Kandungan hara dalam ekosistem hutan secara lambat diakumulasikan dari
atmosfir dan pelapukan mineral batuan yang relatif rendah. Hara tersebar pada
beberapa cadangan yang masing-masing memiliki perbedaan peranan dan laju daur
balik. Ketersediaan hara bagi tumbuhan ditentukan oleh laju pelepasan hara dari
cadangan-cadangan tersebut. Ketersediaan hara untuk pohon merupakan hasil dari
suatu kesatuan yang rumit dari proses kesalingtergantungan yang berpengaruh pada
laju daur balik. Proses-proses tersebut termasuk ikim mikro, kualitas bahan organik,
status kimia tanah dan aktivitas organisme dalam suatu ekosistem (Binkley, 1986).
Menurut Jordan (1985), kandungan hara merupakan hal yang kritis di hutan
tropis. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya temperatur, interaksi
antara kelembaban dan temperatur, dan faktor biotik yang berpengaruh pada proses
pencucian dan pelapukan mineral. Adapun peredaran unsur hara dalam suatu
ekosistem sebagai berikut:
a) Pelepasan hara dari serasah
Unsur hara masuk ke dalam siklus sebagian besar melalui larutan tanah sebagai
hasil dari penguraian bahan organik oleh mikroba untuk memperoleh energi. Namun
laju pelepasan hara oleh mikroba sangat tergantung pada kualitas kimia bahan
organik, aktivitas fauna mikro tanah dan kondisi lingkungan terutama suhu dan kadar
air tanah (Binkley, 1986; Fisk dan Schmidt, 1995; Mugendi dan Nair, 2004).
Mikroba akan memperoleh kebutuhan nutrisinya secara melimpah dan
melepaskan hara dengan cepat pada bahan organik yang memiliki kandungan hara
tinggi. Sebaliknya mikroba akan menggunakan sebagian besar nutrisinya untuk
membangun sel-sel baru pada bahan organik yang miskin hara, konsekuensinya
pelepasan hara untuk tumbuhan akan rendah (Binkley, 1986). Selain itu, laju
dekomposisi dan pelepasan nitrogen juga ditentukan oleh molekul organik (lignin dan
polifenol) dan kandungan hara serasah seperti konsentrasi N (Palm dan Sanchez,
1990). Sebagai contoh lignin memiliki struktur molekul yang sangat kompleks,
lambat terdegradasi, sehingga dengan tingginya kandungan lignin akan menghambat
dekomposisi. Berbeda dengan kandungan nitrogen serasah yang akan mempercepat
proses dekomposisi. Kandungan hara serasah segar, terutama kayu, biasanya lambat
terdekomposisi sehingga pada awalnya perlu ditambahkan hara dari tanah. Pelepasan
hara terjadi setelah setengah atau lebih serasah telah terdekomposisi (Binkley, 1986).
Palm dan Sanchez (1990) melaporkan bahwa daun atau serasah yang mengandung
polifenol rendah akan melepaskan N lebih cepat dibandingkan dengan yang lebih
tinggi. Serasah Inga edulis Mart, Cajanus cajan (L) Millsp dan Erythrina sp.
mengandung N yang sama tetapi berbeda kandungan lignin dan polifenoInya
lklim mikro juga mengatur dekomposisi serasah dan pelepasan hara. Sebagai
contoh penghancuran daun aspen meningkat dengan peningkatan temperatur hingga
30oC dan kandungan air hingga tiga kali bobot daun (Binkley, 1986). Jadi sudah
tentu dekomposisi akan terganggu jika kondisi lingkungan terlalu panas atau terlalu
basah terutama pada tempat dimana organisme tanah berperan penting untuk
dekomposisi, misalnya di tempat terbuka.
Fauna makro tanah seperti cacing tanah, rayap dan semut berpengaruh terhadap
sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Di hutan hujan tropika, cacing tanah merupakan
elemen penting fauna makro. Mereka mencerna tanah dan bahan organik dan
membentuk jaringan pori makro di lapisan tanah atas. Di permukaan tanah yang
tertutup dengan serasah biasanya tertutup dengan kotoran cacing, yang diperoleh dari
aktivitas pembentukan liang-liang dalam tanah. (Lal, 1988). Namun kapasitas cerna
kelembaban) dan kualitas bahan organik. Ganihar (2003) misalnya melaporkan
bahwa cacing Pontoscolex corethrurus (Muller) cenderung lebih menyukai bahan
organik dari Phylanthus reticulatus, Tamarindus indica dan Anacardium occidentale,
yang kaya dengan C-organik, Cl, P, dan N, daripada Acacia auriculiformis dan
Eucalyptus camadulensis, yang tinggi kandungan lignin dan polifenolnya meskipun kaya N dan P.
b) Penyerapan hara oleh tumbuhan
Pada saat hara terlepas ke dalam tanah, maka ion dapat mengalami berbagai
kemungkinan, diantaranya: bergerak ke akar untuk diserap, terjerap oleh permukaan
koloid, pengendapan seperti senyawa tidak terlarut atau tercuci dari tanah. Tiga faktor
yang menyebabkan jumlah hara yang diserap oleh tumbuhan berbeda, yaitu: jumlah
yang dibutuhkan, konsentrasi hara dalam tanah dan mobilitas hara melalui tanah.
Fosfor merupakan hara makro paling tidak mobil, sehingga konsentrasinya dalam
larutan tanah sangat rendah dan penyerapannya terutama melalui difusi. Sedangkan
konsentrasi nitrat dapat rendah dan tinggi tetapi mobilitasnya tinggi sehingga
penyerapannya sangat cepat baik dengan aliran massa maupun difusi. Selanjutnya
pergerakan amonium melalui tanah sering dihambat oleh reaksi kation dapat ditukar,
sehingga konsentrasi dan penyerapannya oleh tumbuhan kemungkinan lebih rendah
daripada nitrat (Binkley, 1986).
c) Peredaran hara dalam tubuh tumbuhan (siklus internal)
Setiap unsur hara memiliki fungsi yang unik dalan tubuh tumbuhan yang
mempengaruhi mobilitasnya. Misalnya, kalium merupakan enzim pengaktif dan
pengatur tekanan osmotik yang menyebabkan kalium tetap sebagai kation yang
mudah berpindah. Oleh karena itu kalium dapat diedarkan kembali dari daun tua
sebelum gugur ke daun yang lebih muda. Sedangkan kalsium biasanya mengikat dua
molekul organik, sehingga relatif sulit berpindah dan sangat sedikit yang diedarkan
kembali sebelum daun jatuh, sedangkan nitrogen memiliki fungsi yang sangat
bervariasi sehingga sifat mobilitasnyapun bervariasi. Jika nitrogen diserap dalam
bentuk amonium maka segera diikat menjadi asam amino yang berfungsi dalam
pembentukan protein untuk melindungi keracunan amoniak. Nitrogen organik
sederhana kemudian dapat diangkut ke seluruh bagian tumbuhan. Sedangkan jika
nitrogen yang diserap dalam bentuk nitrat maka akan direduksi dan dikonversi
menjadi asam amino dalam akar, atau secara langsung dimuat ke dalam xylem dan
diangkut ke bagian lain tumbuhan (Binkley, 1986).
Selain sifat unsur hara, jenis tumbuhan juga turut menentukan dalam
mengakumulasi unsur hara. Bambu (genus Dendrocalamus, Bambusa dan
Gigantochlea) merupakan jenis tumbuhan yang dapat menyimpan kalium lebih banyak jika dibandingkan dengan unsur hara lainnya (Chandrashekara, 1996; Mailly
et al., 1997). Selanjutnya, Mailly et al. (1997) melaporkan hasil studinya di suatu
kebun talun di Jawa Barat bahwa kandungan N, P dan Ca dalam jatuhan daun tidak signifikan penurunannya jika dibandingkan dengan kandungan N, P dan Ca dalam
daun segar, tetapi terdapat 12 % dan 40 % penurunan kandungan K dan Mg. Hal ini
menunjukkan adanya siklus internal dan pencucian daun terhadap kedua unsur hara
tersebut.
d) Pengembalian hara ke tanah
Unsur hara yang diserap oleh tumbuhan akan mengalami nasib yang berbeda-beda, diantaranya berakumulasi ke dalam biomassa, kembali ke tanah melalui jatuhan serasah dan kematian akar-akar, pencucian dari daun dan akar, peredaran kembali dari daun ke akar untuk digunakan pada tahun berikutnya. Pola distribusi unsur hara yang kembali ke tanah bervariasi menurut tahap perkembangan tegakan dan komposisi jenis tegakan (Binkley, 1986).
bertambahnya umur, dimana pengembalian hara (N dan K) meningkat sebelum daun jatuh.
Selanjutnya, Mailly et al. (1997) melaporkan bahwa kandungan lima unsur hara makro dari jatuhan daun ditentukan oleh tahap perkembangan kebun talun, dimana pada tahun pertama dan kedua tahap pertanaman (tanaman pangan) kandungan haranya secara berurutan adalah N>Ca>K>Mg>P, sementara pada tahap dengan bambu (awal bera dan kebun talun tua) urutan kandungan haranya adalah N>K>Mg>Ca>P.
3) Iklim mikro
lklim dalam hutan hujan tropika berbeda dengan lingkungan di luarnya. Meskipun suhu rata-rata tahunan variasinya rendah, tetapi fluktuasi hariannya cukup besar pada bagian atas tajuk pohon, suhu meningkat pada siang hari dan menurun pada malarn hari. Sedangkan di bawah tajuk pohon, variasi suhunya sedang sehingga pada lapisan tumbuhan herba suhunya hampir konstan (Kimmins, 1987).
Kelembaban relatif dalam hutan konstan pada sekitar 80%, tetapi di bagian
atas tajuk pohon dapat bervariasi dari 100% pada malam hari hingga 60% pada siang
hari. Pohon dominan (stratum A) menerima cahaya matahari penuh sekitar lima jam
per hari, sementara pohon ko-dominan (stratum B), sub-dominan, tertekan menerima
cahaya semakin menurun, hingga tumbuhan bawah hanya menerima sekitar 1% dari
cahaya matahari. Beberapa pohon hanya menggunakan sisa-sisa cahaya yang
melewati tajuk hutan untuk memenuhi kebutuhan cahayanya. Dengan demikian
pohon di bawah tajuk harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan spektral
sehingga dapat mengatasi kekurangan cahaya (Kimmins,1987).
Kualitas Tanah
Kualitas tanah suatu. ekosistem didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk
berfungsi agar diperoleh produktivitas tanaman dan hewan yang berkesinambungan,
maka kualitas tanah suatu ekosistem harus dievaluasi berdasarkan fungsinya (Doran
dan Parkin, 1994). Produktivitas suatu ekosistem dapat dipertahankan jika tanah
dapat melakukan fungsinya secara optimal yang menurut Burger dan Kelting(1999),
tanah harus mampu:
1) Menunjang pertumbuhan akar;
2) Menyerap, menyimpan dan menyediakan air;
3) Menyimpan, menyediakan dan mengedarkan hara mineral;
4) Medorong pertukaran gas secara optimum;
5) Mendorong aktivitas biologi;
6) Menerima, menyimpan dan melepaskan karbon.
Kualitas tanah suatu ekosistem perlu dievaluasi untuk mengetahui pengaruh
teknik pengelolaan sumberdaya alam yang dipraktekkan pada suatu ekosistem
tertentu dalam rangka kelestarian produktivitas dan stabilitas ekosistem. Beberapa
indikator kualitas tanah telah disarankan untuk mengevaluasi kualitas tanah, meliputi
sifat fisik, kimia dan biologi tanah telah diusulkan oleh Doran dan Parkin (1994)
seperti Tabel 1.
Indikator dasar kualitas tanah (Doran dan Parkin, 1994) dan beberapa indikator
biologi lainnya seperti intensitas mineralisasi, indeks ketersediaan N (NAI),
Particulate Organic Matter C-N (POM-C dan N), dan mikroorganisme tanah (bakteri, fungi, denitrifier, nitrifier dan amonifier) telah diamati oleh Handayani (2001) dalam studi perbandingan kualitas tanah di lahan pertanian dan alang-alang. Dari studi
tersebut diperoleh informasi bahwa jumlah lumbung C-N aktif pada lahan
alang-alang lebih tinggi daripada lahan pertanian, meskipun ketersediaannya relatif
sama. Ini mengindikasikan kalau lumbung bahan organik stabil pada alang-alang
lebih tinggi. Meskipun C-organik total tidak berbeda, tetapi lebih banyak C-labil
dipendam pada alang-alang dibandingkan lahan pertanian. Studi ini juga
memperlihatkan adanya peningkatan particulate organic matter (POM) setelah lahan
diberakan dengan alang-alang, yang mengindikasikan adanya perbaikan kualitas
tanah yang disebabkan oleh peningkatan jumlah C yang disemat oleh agregat makro.
Studi ini juga menyarankan bahwa lahan pertanian memiliki lumbung N lebih
Tabel 1 Sifat fisik, kimia dan biologi yang diusulkan sebagai indikator dasar kualitas tanah.
Sifat Tanah Metodologi
Fisik
Tekstur Hydrometer Kedalaman tanah dan perakaran Bor tanah
Bobot isi dan infiltrasi Ring sampel Kemampuan menyimpan air Ring sampel
Sifat menahan air Kadar air pada tensi33 dan 1500 kPa Kadar air Gravimetric; weight loss, 24 h at 105oC Temperatur tanah Hand temperature probe
Kimia
C-organik dan N total Wet or dry combustion, volumetric basis
pH pH meter
Konduktivitas elektrik Conductivity meter
Mineral N, P, dan K Lab. Analysis, volumetric basis
Biologi
Biomassa mikroba C dan N Chloroform fumigation/incubation, volumetric basis N termineralisasi potensial Anaerobic incubation, volumetric basis
Respirasi tanah Covered infiltration rings or biomass assay Ratio Biomassa C/C-orgarilk Dihitung dari pengukuran lain
Ratio Respirasi/biomassa Dihitung dari pengukuran lain Sumber: Doran dan Parkin (1994)
Beberapa studi lainnya di daerah beriklim sedang telah mengevaluasi kualitas tanah di berbagai tipe lahan (lahan pertanian, padang penggembalaan, hutan dan penggunaan lahan pedesaan) dan praktek pengelolaan tanah (olah tanah, tanpa olah tanah dan perlakuan bahan organik) (Karlen et al., 1997). Berdasarkan hasil-hasil studi tersebut disimpulkan bahwa terdapat saling ketergantungan antar indikator kualitas tanah yang diamati.
Sementara, menurut Islam dan Weil (2000), pemilihan indikator kualitas tanah tergantung pada konteks penelitian yang ingin dilihat. Beberapa sifat-sifat tanah seperti tekstur dan kemiringan sedikit mencirikan dampak pengelolaan lahan terhadap kualitas tanah. Sedangkan sifat-sifat tanah yang bersifat sementara (ephemeral) seperti kadar air, suhu, pH tanah, unsur hara dapat larut dan laju respirasi di lapang, adalah dengan mudah berubah dengan irigasi, cuaca, olah tanah, pengapuran dan pemupukan yang biasanya sedikit membantu untuk memahami pengaruh pengelolaan jangka panjang terhadap kualitas tanah. Selain itu ada beberapa sifat-sifat tanah yang berada di antara kedua sifat
tersebut terpengaruh oleh praktek pengelolaan dan mungkin memiliki pengaruh penting pada bagaimana tanah menampilkan fungsi ekosistemnya, misaInya stabilitas agregasi, biomassa mikroba, respirasi dasar, respirasi spesifik, C-aktif (labil) dan bahan organik tanah. Sifat-sifat tanah yang bersifat sementara, sedang dan tetap disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Indikator kualitas tanah berdasarkan tingkat perubahannya (Islam dan Weil, 2000)
Sementara (ephemeral)
Berubah dalam harian
Sedang (intermediet)
Pengelolaan beberapa tahun
•Respirasi (CO2 evolution) •Respirasi spesifik
•C-labil
•Bahan organik tanah
•Bobot volume
Selanjutnya, menurut Karlen et al. (1997) perubahan bahan organik tanah
yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran
biomassa mikroba tanah (C-mic). Bahan organik yang diukur perubahannya adalah
bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya
diukur juga dari total karbon organik. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi
perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi
perubahan jangka pendek (Woomer dan Swift, 1994).
Gangguan dan Pemulihan Ekosistem
Pada dasarnya semua bentuk gangguan akan mempengaruhi stabilitas
ekosistem baik yang sifatnya alami seperti kebakaran dan serangan hama, banjir dan
sedimentasi, maupun gangguan oleh manusia, misalnya penebangan untuk
perkebunan dan pertanian. Gangguan tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi
suksesi, siklus hara dan komposisi jenis (McCullough, Wearner dan Neumann, 1998;
SchnitzIer, 1997; Rahayu, Lusiana dan van Noordwijk, 2005). Pembentukan gap