• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman Untuk Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman Untuk Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI INOVASI PADI TOLERAN RENDAMAN

UNTUK ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI

RITA NUR SUHAETI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani” adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Febuari 2016

Rita Nur Suhaeti

(4)
(5)

RINGKASAN

RITA NUR SUHAETI. Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI, MA’MUN SARMA dan AMIRUDDIN SALEH.

Tantangan peningkatan produksi padi antara lain: (1) alih fungsi lahan; (2) kehilangan hasil saat panen dan pascapanen; dan (3) dampak negatif perubahan iklim. Hasil Litbang tentang padi diadopsi dalam waktu yang lama, misalnya Varietas Ciherang dilepas tahun 2001 baru diadopsi secara massal sejak tahun 2007. Penurunan sifat-sifat unggul Varietas Ciherang dikhawatirkan akan menurunkan produksi padi nasional. Salah satu varietas yang menjanjikan dan dapat ditanam di lahan rawan banjir atau tergenang adalah Varietas Padi Toleran Rendaman (PTR).

Tujuan penelitian: (1) mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (2) menganalisis tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (3) menganalisis faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat difusi inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (4) menganalisis pengaruh tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat; dan (5) merumuskan strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat.

Kebaruan penelitian: (1) Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi dengan mekanisme pasar dan distribusi benih, memerlukan adanya “affirmative action”; (β) Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan

ketersediaan benih dan daya serap pasar; (3) Perempuan petani berperan lebih aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan implementasinya; dan (4) Status sosial ekonomi petani berperan signifikan sebagai penghela difusi inovasi PTR, adaptasi petani pada perubahan iklim dan ketahanan pangan.

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan survei yang bersifat deskriptif eksplanatori, terutama untuk menganalisis peubah komunikasi dalam proses difusi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Lokasi penelitian adalah di tiga kabupaten sentra-produksi padi yang rawan banjir/genangan yaitu Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu Mei-Juni 2015. Populasi penelitian adalah keluarga petani yang lahan sawahnya berada di wilayah rawan banjir di Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang Provinsi Jawa Barat, dan pada periode 2007-2009 mendapat bagian benih PTR. Dari 119 orang populasi penelitian, diambil sampel secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 58 orang, yaitu keluarga petani yang dapat ditemui dan bersedia menjadi responden penelitian, selebihnya keluarga penerima pembagian benih PTR tersebut dalam kondisi sakit parah, meninggal dan pindah.

(6)

komunikasi satu arah; (b) kualitas hasil PTR menjadi pendorong adopsi inovasi di tingkat petani, walaupun ketersediaan dan penggunaannya menjadi faktor penghambat; (c) media komunikasi dominan diakses oleh petani adalah media elektronik seperti TV dan HP, namun belum dimanfaatkan dengan baik untuk menyampaikan informasi tentang PTR kepada petani; (d) profil keluarga petani PTR umumnya ukuran keluarga berukuran kecil, berpenghasilan rendah, luas penguasaan lahannya sempit, memiliki dua macam media, berstatus sosial rendah dan keterlibatan dalam organisasi petani tinggi; (e) Perempuan petani lebih aktif dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan melakukan pertukaran benih; (2) difusi inovasi PTR petani dicirikan dengan tingkat pengetahuan rendah, sedangkan tingkat persuasi dan keputusan menanam PTR ada pada kategori sedang; (3) faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap difusi inovasi adalah daya serap produksi PTR di pasaran dan kebijakan pemerintah tentang PTR; (4) Difusi inovasi PTR pada tingkat persuasi dan keputusan petani berpengaruh sangat nyata terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan, namun pada tingkat pengetahuan petani berpengaruh nyata negatif terhadap adaptasi perubahan iklim dan tidak nyata terhadap ketahanan pangan; (5) perempuan petani lebih aktif menyampaikan informasi PTR secara informal; (6) strategi komunikasi inovasi untuk meningkatkan difusi inovasi PTR dalam konteks adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan adalah dengan memperbaiki semua jenis komunikator di semua tingkat, baik dalam hal kompetensi maupun kepercayaan dari petani; membentuk pesan/inovasi sesuai kebutuhan nyata petani; menyelenggarakan media komunikasi yang cocok (Demplot) sehingga dapat produksi tinggi dan laku di pasaran dan tentunya dengan membenahi sistem perbenihan yang merupakan “affirmative action

dalam produksi dan distribusi benih PTR; (7) sebaik apa pun unsur-unsur komunikasi inovasi PTR, jika tidak didukung dengan kebijakan pemerintah dan daya serap pasar, maka tidak akan terjadi adopsi dan difusi inovasi PTR seperti yang diharapkan.

(7)

SUMMARY

RITA NUR SUHAETI. Communication Innovation of Submergence Tolerant Rice on Adaptation to Climate Change and Family Farmer’s Food Security. Under supervision of AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI, MA'MUN SARMA and AMIRUDDIN SALEH.

The challenges to increase rice production were among others: (1) fertile land conversion; (2) losses during harvest and post-harvest; and (3) negative impact of climate change. The Indonesian Agency for Agricultural R&D’s research results on rice development was usually adopted in a long period of time. Ciherang Variety was released in 2001 but adopted massively since 2007, for instnaceThe decline in superior traits of Ciherang Variety would threaten national rice production. One of the promising varieties and can be cultivated on prone-flood land Submergence-tolerant rice varieties (STRV).

The objectives of the research were to (a) identify communication elements (SMCR) of STRV innovation in rice farmer’s family of West Java Province; (2) analyze the level of STRV innovation diffusion in rice farmer’s family of West Java Province; (3) analyze influencing external factors on the rate of diffusion of STRV innovation in rice farmer’s family rice farmers of West Java Province; (4) analyze effect of diffusion of STRV innovation rate on rice farmer’s family adaptation to climate change and rice farmer’s family food security in West Java Province; and (5) formulate a strategy to improve the diffusion of STRV innovation to strengthen the adaption to family farmer’s adaptation on climate change and food security in West Java Province.

Novelty of the research: (1) diffusion of STRV innovation, which was not integrated with market mechanism and seeds distribution needed badly an “affirmative action”; (β) STRV innovation communication would not get succeed without any seeds availability dan market absorption; (3) Farmer ladies were more active in delivering information on STRV and the seeds exchange; and (4) Farmer’s socio-economic status significantly played roles as a diffusion of STRV innovation, adaptation to climate change dan farmer family’s food security.

A quantitative approach was designed on the research by using descriptive explanatory survey method, especially to analyze the communication variables in the process of STRV innovations diffusion of rice farmer’s family adaptation to climate change and its food security. The research location was three flood-prone rice production centers districts, namely Indramayu, Subang and Karawang Distritcs. The research was conducted during May and June 2015. The population in this study were family farmers who cultivated rice in flood-prone lowland of Indramayu, Subang and Karawang Districts, West Java, and during the period of 2007-2009 got STRV seeds allotment. Only 58 persons taken as the research population out of 193 persons.

(8)

most accessible to farmers was electronic media such as TV and cell-phones, the thing was that those media were just not sufficient to convey information on STRV; (d) profile STRV farming family in general was small family size, low income, very small size land holding, consisted of two kinds of media, low social status and high participation in farmer’s organization and (e) woman farmers were more active to deliver STRV innovation information in an informal way as compared to the man farmers; the second was that the STRV innovation diffusion rate was characterized by low level of knowledge, with medium level persuasion and planting the STRV decision making; thirdly, the most influencing external factors on the diffusion of STRV innovation wesre market absorption and government policy on STRV innovation; the fourth was that diffusion of STRV innovation at persuasion level significantly affected on farmers’ adaptation to climate change and food security, however the farmers’ knowledge level gave a negative significant effect on adaptation to climate change and food security; the fifth was that woman farmers are more active exchange information on STRV in an informal way; the sixth was that innovation communication strategy to icrease diffusion of STRV innovation in the context of adaptation to climate change and food security was to improve all types of communicators, both in their competences and trust of the farmer’s; creating innovations as really needed as possible by farmers; held suitable demonstration plots/displays so that the yield could be absorbed by existing market and also improved seeds availabity system by applying an affirmative action on STRV seeds production and distribution; and finally, the seventh was that although there were the best communication elements of STRV innovation, there will no adoption and diffusion of STRV innovations as expected if it is not supported by government policy and market absorption.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMUNIKASI INOVASI PADITOLERAN RENDAMAN

UNTUK ADAPTASI TERHADAPPERUBAHAN IKLIM

DANKETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM

(Dosen Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB) 2. Dr Ir Sumaryanto, MS

(Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia) Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (Ris) Dr Ir Djoko Said Damardjati, MS

(Peneliti Senior pada Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia) 2. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur yang tiada terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi penelitian ini. Judul penelitian ini adalah: Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani.

Ungkapan rasa terima kasih yang dalam penulis haturkan kepada Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis, Bapak Dr Ir Tri Pranadji, MS., APU, Bapak Dr Ir Ma’mun Sarma, MEc., dan Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS selaku Komisi Pembimbing yang selalu dengan sabar dan tiada lelah memberikan bimbingan dan berbagai saran perbaikan. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan staf administrasi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan serta kepada keluarga dan teman-teman yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mendukung dan membantu sampai disertasi ini dapat diselesaikan.

Bogor, Februari 2016

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 8

Kebaruan 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Proses Komunikasi 9

Pengertian Kesadaran 11

Pengertian Preferensi 12

Difusi Inovasi 12

Profil Keluarga Petani 19

Inovasi Padi Toleran Rendaman 20

Adopsi Inovasi 21

Adaptasi Petani 22

Faktor Eksternal 24

Kerangka Pikir 25

Hipotesis Penelitian 25

3 METODE PENELITIAN 27

Desain Penelitian 27

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Populasi dan Sampel Penelitian 27

Definisi Operasional 29

Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi 29

Pengumpulan Data 31

Analisis Data 31

Structural Equation Modeling dengan SMARTPLS 32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 35

Karakteristik Responden 38

Komunikasi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi 46

Difusi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi 51

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Difusi Inovasi PTR Keluarga Petani

(18)

Hubungan Profil Keluarga dengan Adaptasi pada Perubahan Iklim dan

Ketahanan Pangan Keluarga Petani 62

Pengaruh Difusi Inovasi PTR terhadap Adaptasi pada Perubahan Iklim

dan Penguatan Ketahanan Pangan 65

Strategi Komunikasi dalam Meningkatkan Difusi Inovasi PTR 77

untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan 77

Penguatan Ketahanan Pangan 77

5 SIMPULAN DAN SARAN 92

Simpulan 92

Saran 92

DAFTAR PUSTAKA 93

LAMPIRAN 101

(19)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015 3

2 Kerangka populasi penelitian komunikasi inovasi benih PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan

keluarga petani di Jawa Barat, 2015 28

3 Hasil perhitungan uji reliabilitas (reliability statistics) 31

4 Profil karakteristik petani PTR dan non-PTR, 2015 38

5 Kondisi sawah petani PTR yang terendam pada musim hujan

2014/2015 38

6 Kepemilikan dan pemanfaatan media komunikasi petani PTR dan

non-PTR 41

7 Rata-rata penguasaan lahan petani, 2015 42

8 Pendapatan petani PTR, 2015 42

9 Analisis gender pelaku pekerjaan dalam usahatani 43

10 Pola pengambilan keputusan dalam usahatani padi, 2015 44

11 Sumber informasi utama tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 44

12 Sumber informasi tentang pertukaran informasi tentang PTR, 2015 45

13 Penerima informasi tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 46

14 Persepsi petani tentang komunikator PTR pada keluarga petani padi,

2015 47

15 Persepsi petani tentang inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 49

16 Persepsi petani tentang media komunikasi PTR pada keluarga petani

padi, 2015 50

17 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 52

18 Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR

keluarga petani padi, 2015 54

19 Pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi

PTR keluarga petani padi, 2015 56

20 Kecocokan model struktural pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 59

21 Kecocokan model struktural pengaruh profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan 62

22 Adaptasi petani pada perubahan iklim, 2015 65

23 Deskripsi ketahanan pangan, 2015 66

24 Pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan

penguatan ketahanan pangan, 2015 68

25 Loading faktor indikator 70

26 Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 70

27 Uji validitas indikator pada model SEM 1 76

(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam

14 hari (Nugraha et al. 2015) 5

2 Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011) 10

3 Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi 15

4 Kerangka pikir penelitian mekanisme komunikasi inovasi PTR 22 5 Lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap

perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani 37 6 Pendidikan formal kepala keluarga petani PTR, 2015 40 7 Histogram sumber informasi petani tentang PTR, 2015 48

8 Standardized loading factor model 57

9 Nilai t-hitung 58

10 Standardized loading factor model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan 63 11 Nilai t-hitung model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada

perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan 64 12 Standardized loading factor dari model keseluruhan (full model) 69 13 Nilai t-hitung dari model keseluruhan (full model) 71 14 Standardized loading factor setelah sebagian indikator dibuang 72

15 Nilai t-hitung model 1 73

16 Standardized loading factor model pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan

pangan 74

17 Nilai t-hitung pada uji pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan 75 18 Alur produksi dan distribusi benih tanaman pangan padi 81 19 Alur produksi benih padi Inbrida untuk kelas benih penjenis sampai

dengan benih sebar 82

20 Diagram jalur pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan

penguatan ketahanan pangan 91

DAFTAR LAMPIRAN

1 Definisi operasional pada penelitian komunikasi Inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan

iklim 101

2 Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR

keluarga petani padi 2015 106

3 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi 2015 108

4 Penguasaaan lahan responden 111

5 Pendapatan responden PTR 112

(21)

8 Deskripsi variabel inovasi PTR 116

9 Deskripsi variabel media komunikasi 117

10 Deskripsi kebijakan pemerintah 118

11 Deskripsi ketersediaan input produksi 119

12 Deskripsi daya serap pasar hasil produksi 120

13 Deskripsi budaya dalam kaitannya dengan PTR 121

14 Deskripsi persepsi inovasi 122

15 Deskripsi diskusi 122

16 Deskripsi evaluasi input 123

17 Deskripsi evaluasi output 124

18 Deskripsi pengambilan keputusan 124

19 Deskripsi perubahan iklim 124

20 Deskripsi variabel ketahanan pangan 125

21 Manuskrip catatan lapang sebagai data penunjang penelitian

(wawancara dengan non-petani) 126

(22)
(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemenuhan kebutuhan beras, sebagai bahan pangan pokok sebagian besar rakyat Indonesia masih menjadi permasalahan besar bagi pemerintah Indonesia. Indonesia memiliki angka paling tinggi dalam konsumsi beras dibanding negara lain yang juga mengkonsumsi beras (Suswono 2013). Menurut Wiryawan (2012), kebutuhan beras per kapita Indonesia adalah 139 kg/tahun, jauh lebih tinggi dari negara-negara yang rakyatnya mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok,misalnya Jepang: 60 kg/tahun, China: 70 kg/tahun, Thailand: 79 kg/tahun. Selain merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95 persen rakyat Indonesia, usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Puslitbang TP 2013).

Produksi padi dapat berasal dari lahan sawah irigasi (irrigated lowland), lahan kering (upland, rainfed), dan lahan basah (wetland). Lahan basah terdiri dari rawa pasang surut (tidal swamp), rawa lebak (lowland swamp) dan lahan tergenang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut di atas, produksi beras dalam negeri dituntut untuk terus-menerus meningkat. Namun untuk dapat meningkatkan produksi banyak menghadapi tantangan, antara lain: (1) alih fungsi lahan subur yang memiliki produktivitas tinggi, (2) kehilangan saat panen dan pascapanen yang belum dapat diatasi secara baik dan benar, dan (3) dampak negatif perubahan iklim.

Alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) menjadi lahan non-pertanian (bangunan, jalan, dan keperluan industri) tidak dapat dihindari karena land rent ratio dari sektor pertanian lebih kecil dari pada sektor industri dan jasa. Padahal sebagian besar alih fungsi lahan terjadi di lahan subur yaitu di Pulau Jawa, sehingga memperburuk pertumbuhan produksi beras. Luas baku sawah di Pulau Jawa masih sekitar 3,448 juta hektar (ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau pengurangan 250 000 ha (0,67 persen). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi 3,33 juta ha atau penurunan 950 00 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992. Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga 1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha pertahun. Penurunan areal panen terbesar terjadi tahun 1997 yakni untuk Jawa 689 000 ha dan luar Jawa 1,535 juta ha. Tampak dari uraian di atas bahwa antara tahun 1987 hingga 1997, total penciutan baku sawah (umumnya sawah irigasi teknis dan

andalan produksi) di Pulau Jawa saja mencapai 118 000 ha atau rata-rata 11 800 ha per tahun. Ini berarti, bahwa kehilangan sumber produksi permanen

dalam skala besar di Pulau Jawa yang selama ini masih andalan nasional dengan dua kontribusi sekitar 60 persen (Hafsah 2002). Selain itu, kehilangan atau susut selama pengolahan padi menjadi beras juga memberikan kontribusi dalam menghambat laju pertumbuhan produksi beras.

(24)

2

mengakibatkan perubahan suhu hangat dan pola curah hujan akibat perubahan iklim (Matthews et al. 2013). Perubahan iklim yang sudah terjadi sampai saat ini (GHF 2009), selain dapat mengubah kondisi lingkungan untuk pertumbuhan tanaman dan membutuhkan penyesuaian dalam praktik manajemen dalam skala lapangan (Lehmann et al. 2013) juga lebih sering menimbulkan dampak negatif (Mishra & Prakash 2013), seperti bencana banjir terutama pada wilayah-wilayah pesisir dan rawan tergenang, misalnya rawa lebak atau rawa pasang surut, atau lahan yang terkena banjir.

Perubahan iklim banyak memicu curah hujan tinggi dan badai, sehingga kemungkinan terjadi banjir atau genangan semakin tinggi dan mengancam keamanan pangan (Sari et al. 2007). Wang (2010) menyatakan bahwa untuk konteks China akhir-akhir ini, perubahan iklim juga berpengaruh sangat nyata pada ketahanan pangan. Penelitian Chen et al. (2010) juga di China menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap adaptasi petani pada perubahan iklim adalah siklus kehidupan rumahtangga, tekanan yang dihadapi, kelembagaan, serta ketersediaan sumberdaya dan teknologi. Adaptasi petani dalam jangka pendek adalah melakukan perubahan on farm dan off farm, sedangkan dalam jangka panjang tampaknya harus memerlukan dukungan eksternal dan peningkatan investasi termasuk sistem asuransi pertanian informasi di tingkat desa dan mekanisme diseminasi teknologi. O’Brien et al. (2004), menyatakan bahwa sudah terjadi peningkatan kesadaran bahwa faktor dimensi manusia harus dipertimbangkan dalam riset dan kajian tentang perubahan iklim, walaupun demikian belum ada metodologi yang sistematis dalam meneliti kerawanan perubahan iklim dalam konteks multi-tekanan.

Kejadian banjir membuat petani mengalami kerugian bahkan terancam puso karena tidak mampu menyediakan modal pengganti biaya usahatani. Makarim et al. (2011) menjelaskan daerah rawan banjir di Indonesia semakin meluas dengan frekuensi kejadian yang lebih sering menyebabkan kerusakan pertanaman (puso) atau penurunan hasil. Daerah-daerah tersebut umumnya memiliki pertanaman padi yang cukup luas, karena sejak lama daerah ini cukup air dan datar sehingga digolongkan ke sangat sesuai dalam sistem klasifikasi kesesuaian lahan untuk padi sawah. Di Delta Sungai Tana, Kenya, Afrika, petani beradaptasi sesuai dengan dinamika pola banjir yang terjadi (Leauthaud et al. 2011).

Data tahun 2009 menunjukkan lebih 300 000 ha lahan sawah terkena banjir dan 80 000 ha di antaranya mengalami puso. Luas baku sawah di Pulau Jawa adalah 3 448 juta ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau pengurangan 250 000 ha (0,67%). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi 3,33 juta ha atau penurunan 95 000 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992. Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga 1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha per tahun (Hafsah 2002).

(25)

3 Tabel 1 Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015

Jenis Varietas Padi Jumlah Setara Luasan (Ha) Persentase (%)

IR64 46 212 6,19

Way Apo Buru 15 312 2,05

Ciherang 344 676 46,15

Sarinah 12 818 1,72

Lokal 7 183 0,96

Situ Bagendit 2 549 0,34

Mekongga 117 921 15,79

Hibrida 3 697 0,49

Lain-lain (termasuk PTR) 198 552 26,32

Jumlah 746 921 100,00

Sumber: BPTPH 2015

Kerugian petani padi dapat dikurangi dengan mengganti varietas padi yang ditanam dengan varietas toleranrendaman/genangan (submergence tolerant), biasa disebut benih Sub-1. Varietas padi ini dapat bertahan terendam air (banjir) sampai 14 hari (Adnyana et al. 2009). Kenyataan ini didukung oleh Peñalba dan Elazegui (2013) yang menyimpulkan bahwa petani di Laos yang lahannya rentan terhadap banjir dan tanah longsor memerlukan varietas padi toleran rendaman (PTR).

Rata-rata kehilangan hasil akibat bencana banjir di Jawa Barat adalah 1 005 kg/ha, sedangkan kehilangan hasil akibat kekeringan adalah 273 kg/ha (Adnyana et al. 2009). Di Sumatera Selatan, kerugian tersebut mencapai 570 kg/ha jika terendam kurang dari tujuh hari, sedangkan jika terendam lebih

dari tujuh hari maka kehilangan hasil dapat mencapai 1 606 kg/ha. Penggunaan varietas toleran rendaman diharapkan dapat mengurangi kerugian petani. Namun ketersediaan benih PTR dan kemauan serta kesadaran petani untuk menggunakannya masih banyak dipertanyakan. Misalnya, di Sulawesi Tengah petani di lahan rawa masih tetap menggunakan varietas padi lahan sawah irigasi yang produktivitasnya rendah (1,27 ton/ha). Padahal jika menggunakan benih PTR, potensi produktivitasnya lebih tinggi yaitu 7,5-10,17 ton/ha (Basrum et al.

2012). Menurut Pannel (1999) dalam penelitiannya, terdapat empat kondisi yang diperlukan seorang petani untuk mengadopsi inovasi sistem usahatani, yaitu: (1) kesadaran tentang inovasi, (2) persepsi bahwa inovasi tersebut layak dicoba, (3) persepsi bahwa inovasi tersebut bernilai dan (4) persepsi bahwa inovasi tersebut dapat meningkatkan pencapaian tujuan petani.

(26)

4

(Puslitbang TP 2013), maka potensi produksi ini dapat mendukung pemenuhan kebutuhan beras Indonesia. Perlu diingat bahwa angka tersebut baru dalam jangka waktu satu musim. Jika Indeks Pertanaman (IP) dapat ditingkatkan, potensi produksi bisa lebih tinggi. Penggunaan asumsi pola tanam padi dua kali setahun dan produktivitas 4,7 ton/ha dan luas tanam hanya lima persen lahan tergenang, maka dalam setahun akan tersedia 2 x 1,69 juta ton beras = 3,38 juta ton beras atau sekitar 10 persen dari kebutuhan beras Indonesia. Andai kata beras tersebut tidak laku di pasaran sebagai beras konsumsi, maka beras tersebut dapat dijadikan bahan baku untuk industri berbasis beras, misalnya bihun dan kerupuk. Produksi tersebut diharapkan dapat memicu perkembangan industri pangan kreatif di kalangan masyarakat pedesaan.

Menurut Ingemarson dan Thunander (2012), keperluan peningkatan produksi pangan, pakan, serat dan energi (food, feed, fibre and fuel/4F) merupakan tantangan kita di abad ke-21. Dalam memproduksi 4F tersebut tentunya akan terjadi persaingan untuk sumber daya lahan dan air yang terbatas, sehingga diperlukan: (a) perbaikan pengelolaan lahan dan air, (b) adaptasi kebijakan lintas sektoral dan lembaga, (c) penggunaan sumber daya yang ada harus lebih efisien, dan (d) peningkatan pengetahuan dan peningkatan kapasitas. Hasil penelitian di Brazil oleh Simoes et al. (2015) menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas petani kecil dan keluarganya merupakan langkah pertama dalam pengembangan metodologi yang komprehensif untuk membantu petani miskin beradaptasi terhadap perubahan iklim. Penelitian Simoes juga menekankan bahwa ada integrasi antara pembangunan, kemampuan beradaptasi dan strategi beradaptasi. Penelitian Biagini et al. (2014) mendukungnya dengan kesimpulan bahwa keberhasilan adaptasi global di masa depan tergantung kepada opsi campuran teknis dengan manajemen dan melaksanakan evaluasi keberhasilan tindakan yang sudah dilaksanakan. Kepentingan berbagai kajian kerawanan dan pengalaman nyata penduduk lokal harus ditekankan agar pengembangan strategi beradaptasi dapat mengurangi kemiskinan dan meminimalkan dampak perubahan iklim untuk petani kecil. Osbahr et al. (2008) dengan penelitiannya menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dapat melindungi kondisi petani jika terjadi keadaan darurat akibat perubahan iklim. Analisis Asesmen Masyarakat (AAM) dapat membantu mengatasi dampak negatif perubahan iklim secara

bottom up karena dapat melibatkan masyarakat dalam mengurangi dampak tersebut. Perubahan iklim juga dapat diinkorporasikan secara eksplisit pada AAM untuk melakukan asesmen tentang berbagai kecenderungan sikap terhadap risiko yang berubah (van Aalst 2007).

(27)

5 mengalami puso. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada eksperimen di BB Padi Sukamandi, tanaman PTR tidak mati setelah direndam selama 14 hari, sedangkan tanaman padi non-PTR mati (Nugraha et al. 2015), seperti disajikan pada Gambar 1.

Periode tahun 2007 sampai dengan 2009, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang TP 2013) bekerja sama dengan

International Rice Research Institute (IRRI) dan dukungan Pemerintah Jepang telah menyebarkan varietas PTR kepada para petani di berbagai wilayah rawan banjir dan daerah rawa/pasang surut di Indonesia, seperti Pantai Utara Jawa, rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan rawa lebak di Sumatera Bagian Selatan. Varietas PTR tersebut adalah Inpari 29 dan Inpari 30, Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 5. Penyebaran varietas toleran rendaman ini sudah mencapai seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya sangat rendah (Basrum et al. 2012). Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan Ikhwani (Desember 2013), preferensi petani terhadap varietas baru toleran rendaman memang rendah karena petani lebih menyukai varietas yang lama (Ciherang), selain itu beras dari PTR kurang laku dijual di pasaran, atau dibeli dengan harganya lebih rendah dari beras jenis lain, dan digunakan untuk dicampur dengan beras dari varietas padi lainnya.

Gambar 1 Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam 14 hari (Nugraha et al. 2015)

Pemulihan 1 minggu PTR

PTR Non-PTR PTR

Non-PTR PTR

Sebelum rendaman Selama rendaman

PTR

PTR

Non-PTR

Setelah rendaman PTR

(28)

6

Sayaka et al. (2006) menyatakan bahwa sistem penyediaan benih tradisional (tidak melalui sistem formal) masih banyak dilakukan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Tatlonghari et al. (2012) bahwa keputusan adopsi varietas padi baru sangat dipengaruhi oleh keluarga/kerabat dan teman sesama petani. Selain itu, Tatlonghari et al. (2012) juga menyimpulkan bahwa meneliti jaringan sosial berbasis gender untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan gender mempengaruhi keefektifan modal sosial melalui jaringan sosial. Selanjutnya, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa informasi peluang pria dan wanita bervariasi dalam hal paparan dan kontrol informasi. Perbedaan ini terutama dipengaruhi oleh setting

sosial dan budaya dalam sistem pertanian padi dan masyarakat. Perbedaan gender harus diperhitungkan saat menyelidiki faktor-faktor penentu jaringan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan sosial berbeda berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, laki-laki yang telah berusia lanjut cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar, sedangkan perempuan dari keluarga petani kaya cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar.

Unsur komunikasi terdiri dari sumber, pesan, saluran dan penerima (Berlo 1960). Sumber komunikasi dapat dibedakan dari jenisnya misalnya penyuluh, pedagang saprotan, peneliti dan petani maju yang telah menggunakan varietas PTR. Selain itu dapat dilihat dari sifatnya, tingkatannya (level), kompetensinya dan apakah dapat dipercaya. Pesan di dalam penelitian ini merupakan inovasi teknologi benih PTR, yang adopsinya merupakan cerminan dari kesadaran tentang perubahan iklim dan hasilnya teridentifikasi pada adanya ketahanan pangan keluarga tani atau lebih jauh lagi adanya supply untuk industri berbasis beras. Saluran komunikasi ada dua yaitu langsung (interpersonal) dan bermedia (cetak dan/atau elektronik). Penerima pada penelitian ini adalah tentunya tidak dapat diabaikan, karena berbagai karakteristik atau profil keluarga yang bervariasi menentukan proses difusi inovasi yang terjadi. Profil keluarga petani antara lain: (1) ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga; (2) ekonomi keluarga; (3) penguasaan lahan; (4) pemilikan media komunikasi, (5) status sosial, dan (6) keterlibatan dalam organisasi petani. Selain itu, terdapat berbagai faktor eksternal yang harus dipertimbangkan karena mempengaruhi proses difusi inovasi yaitu antara lain: (1) kebijakan pemerintah; (2) ketersediaan input produksi; (3) daya serap pasar hasil produksi; dan (4) aspek sosial budaya. Menurut Doss (2006), kajian-kajian pada tingkat mikro jarang dapat memasukkan peubah kebijakan seperti peran kebijakan, kelembagaan, dan infrastruktur dalam adopsi teknologi introduksi dan dampaknya terhadap produktivitas dan kesejahteraan. Saran perbaikan dalam kajian mikro mengambil contoh yg representatif untuk mewakili populasi agar dapat menggeneralisasi pada tingkat agregasi yang lebih tinggi, sesuai dengan kaidah-kaidah standar kajian mikro yang sudah ditetapkan, dan menerapkan berbagai asumsi yang menjadi dasar kajian-kajian tersebut.

(29)

7 terus diperlukan berbagai inovasi baru untuk mempertahakan kesejahteraan petani tersebut. Untuk itu, diperlukan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Sampai saat ini varietas Ciherang masih menjadi varietas yang disukai petani Jawa Barat dan menduduki peringkat pertama dari segi jumlah yang diusahakan petani di Jawa Barat. Varietas Ciherang ini dilepas tahun 2001 dan baru diadopsi besar-besaran mulai tahun 2007. Namun sekarang sifat-sifat unggul genetik Varietas Ciherang telah menurun, baik dari aspek produktivitas maupun dari ketahanannya terhadap OPT. Terdapat varietas yang sudah diciptakan para pemulia padi yang dapat menggantikan varietas Ciherang ini yaitu PTR (Inpari 29 dan 30 untuk lahan irigasi dan Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5 untuk lahan rawa). Pelepasan PTR baru seperti Inpari 30 telah dilakukan pada tahun 2012, namun baru pada awal 2015 varietas ini mulai dikenal petani. Diduga kerja diseminasi masih belum optimal, terutama dalam mengajak petani sebagai sasaran pembangunan menjadi paham dan mau menerapkan hasil-hasil penelitian, termasuk berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan varietas PTR.

Perumusan Masalah

Mencermati dan terkait dengan situasi dan kondisi di atas, perumusan masalah yang ada dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Bagaimana komunikasi (komunikator, inovasi PTR, media komunikasi dan profil keluarga petani PTR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat?

2. Bagaimana tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat?

3. Faktor eksternal apa saja yang berpengaruh terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat?

4. Bagaimana pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan petani padi di Provinsi Jawa Barat? 5. Bagaimana strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada

perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan penelitian komunikasi inovasi padi toleran rendaman untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani, adalah untuk:

1. Mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat.

2. Menganalisis tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat.

(30)

8

4. Menganalisis pengaruh tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat.

5. Merumuskan strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menjelaskan komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani yang relatif masih sedikit. Beberapa kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian antara lain adalah:

1. Bagi para peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat memberikan inspirasi pengembangan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani.

2. Bagi perancang dan perumus kebijakan tentang peningkatan produksi padi, hasil penelitian ini bisa menjadi masukan berharga bahwa komunikasi inovasi PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen penting rancangan kebijakan tersebut di atas.

3. Bagi pemerintah daerah, terutama di wilayah rawan rendaman, penelitian ini memberikan semacam pemahaman dalam memenuhi kebutuhan padi dapat memanfaatkan varietas PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani.

4. Bagi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kegiatan utamanya melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, terutama di wilayah rawan rendaman, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bahan masukan, terutama dalam memanfaatkan varietas PTR.

Kebaruan

Kebaruan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi dengan mekanisme pasar dan distribusi benih, memerlukan adanya affirmative action.

2. Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan ketersediaan benih dan daya serap pasar.

3. Perempuan petani berperan lebih aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan implementasinya.

(31)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Komunikasi

Berlo (1960) memusatkan perhatian pada proses komunikasi. Berlo menyatakan bahwa pemaknaan ada pada manusia bukan kata-kata. Dengan kata lain pemaknaan dari sebuah pesan ada pada gerak tubuh para komunikan bukan pada pesan itu sendiri. Konsep sumber dan penerima diperluas. Berlo adalah yang pertama yang menempatkan pancaindera sebagai bagian dari komunikasi. Dalam model komunikasi Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri dari empat Proses Utama yaitu Source, Message, Channel, dan Receiver (SMCR) lalu ditambah tiga Proses Sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan.

Source (sumber): sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau dalam komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya melibatkan individu, namun dalam hal ini sumber juga melibatkan banyak individu. Misalnya, dalam organisasi, partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga sering dikatakan sebagai source, sender, atau encoder. Menurut Berlo (1960),

source dan receiver dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: keterampilan berkomunikasi, tindakan yang diambil, luasnya pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan lingkungan sekitar.

Message (pesan): pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan disampaikan oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif, edukatif, persuasif, dan juga bisa bersifat propaganda. Pesan disampaikan melalui dua cara, yaitu verbal dan nonverbal yang bisa disampaikan melalui tatap muka atau melalui sebuah media komunikasi. Pesan bisa dikatakan sebagai Message, Content, atau Information. Pesan yang diutarakan dikembangkan sesuai dengan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Kemudian channel yang akan digunakan berhubungan langsung dengan panca indera, yaitu dengan melihat, mendengar, menyentuh, mencium bau-bauan, dan mencicipi.

Channel (saluran komunikasi): sebuah saluran komunikasi terdiri atas tiga bagian yaitu lisan, tertulis, dan elektronik. Media di sini adalah sebuah alat untuk mengirimkan pesan tersebut. Misal secara personal (komunikasi interpersonal), maka media komunikasi yang digunakan adalah panca indra atau bisa memakai media telepon, telegram, handphone, yang bersifat pribadi. Adapun komunikasi yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan media cetak (koran, suratkabar, dan majalah), dan media elektornik (televisi, radio). Untuk Internet, termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat massa karena internet mencakup segalanya, sehingga dikelompokkan sebagai media hibrid.

Receiver (penerima pesan): penerima adalah orang yang mendapatkan pesan dari komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting dalam menjalankan sebuah proses komunikasi, karena, penerima menjadi sasaran dari komunikasi tersebut. Penerima dapat juga disebut sebagai komunikan,

audiens, publik, khalayak, dan masyarakat. Receiver meliputi aspek keterampilan dalam berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, kebudayaan.

(32)

10

kepada penerima sasaran (khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu sendiri; (2) Effect: Sebuah komunikasi dapat menyebabkan efek tertentu. Efek komunikasi adalah sebuah respons pada diri sendiri yang bisa dirasakan ketika kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah menerima pesan. Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan, perasaan, dan tindakan (kognitif, afektif, dan konatif); dan (3) Lingkungan: adalah sebuah situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi.

DeVito (2011) menjelaskan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial-psikologis, dan dimensi temporal. Lingkungan merupakan tempat terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata; Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat di dalam komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka berkomunikasi. Termasuk didalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau; Dimensi temporal (waktu) merupakan waktu pada saat komunikasi berlangsung. Secara grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011)

Selanjutnya DeVito (2011) mengatakan bahwa tujuan manusia berkomunikasi adalah untuk penemuan diri, berhubungan, baik dengan keluarga, tetangga maupun teman kantor, untuk meyakinkan, dan untuk bermain. Komunikasi tersebut dilakukan secara langsung maupun melalui media. Littlejohn (2009) mengemukakan bahwa dalam komunikasi dikenal adanya berbagai komunikasi yaitu komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Komunikasi intrapribadi menekankan bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan

Sumber

Penerima

Sumber

(33)

11 inderanya; komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antarperorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (face to face) maupun melalui media (misalnya telepon atau surat); komunikasi kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok kecil; komunikasi organisasi (organization communication) mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi; komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang besar.

Lasswell dalam Saleh (2006) menyatakan tentang fungsi komunikasi, yaitu untuk pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut; dan pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep pengamatan terhadap lingkungan merupakan pengumpulan dan pendistribusian informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat. Komunikasi sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Adapun fungsi komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pengertian Kesadaran

(34)

12

bagian komponen dari persepsi tidak langsung, yang diperoleh manusia jauh kemudian, merupakan penemuan ilmiah, penemuan konseptual. Menurut Adesina dan Forson (1995) persepsi petani tentang karakteristik teknologi inovasi secara nyata berpengaruh terhadap keputusan adopsi serta Adesina dan Zinnah (1991), persepsi petani tentang atribut suatu varietas padi merupakan faktor utama yang menentukan adopsi dan intensitasnya. Indikator tradisonal penentu adopsi yang biasa digunakan pada kajian adopsi – difusi, tidak penting dalam mendorong keputusan adopsi. Oleh karena itu diperlukan adanya kajian tentang adopsi yang mempertimbangkan persepsi petani tentang atribut teknologi khusus dalam penilaian keputusan adopsi teknologi.

Berdasarkan uraian di atas, maka kesadaran petani dalam memahami perubahan iklim dan ketersediaan PTR penting untuk memperbaiki pola usahatani yang dilakukannya. Indikator dalam peubah kesadaran petani adalah kesadaran petani yang dibagi kepada dua hal yaitu (a) kesadaran diferensiasi dan (b) kesadaran integrasi.

Tidak seperti para petani dan nelayan di Indonesia, perubahan iklim telah dipahami dengan baik oleh para produsen seafood (nelayan) di Australia (Fleming

et al. 2014). Hal ini tentunya tidak terlepas dari tingkat pendidikan petani dan nelayan di Australia yang lebih maju, dan pemerintahnya lebih peka serta menyadari pentingnya mensosialisasikan perubahan iklim.

Pengertian Preferensi

Preferensi atau selera adalah sebuah konsep, yang digunakan pada ilmu sosial, khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat sebagai sumber dari motivasi.

Dalam ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan pemilihan tujuan/goal. Banyak faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang yang dapat berasal dari lingkungan (stimulus) dan yang berasal dari individunya sendiri. Di antara faktor tersebut adalah adanya ketersediaan informasi yang dimiliki dan motivasi seseorang untuk pencapaian suatu keinginan. Berdasarkan uraian di atas, maka preferensi petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah preferensi petani (sebagai sumber motivasi yang meliputi) dalam menentukan jenis benih yang digunakan dalam usahatani padi: (1) ketersediaan informasi, (2) keinginan berhasil, (3) pencapaian tujuan.

Difusi Inovasi

(35)

13 dengan segmennya, didapatkan lima kategori keinovatifan seseorang yang diurutkan berdasarkan kecepatan pengadopsian suatu inovasi, yaitu:

1. Inovator: adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Jika kita kaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR untuk mengatasi kondisi pertanian yang mengalami gangguan iklim, maka dapat dikatakan bahwa Inovator adalah seorang atau sekelompok orang yang berani untuk mencoba menanam padi dengan PTR. Kemudian inovator akan memberikan informasi lebih baik dan mudah menjelaskan kepada pengguna PTR lainnya. Dalam hal ini ada berbagi pengalaman dalam bertani;

2. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi. Jika dikaitkan dengan pengaruh iklim dan penggunaan PTR maka dapat dikatakan bahwa Pengguna awal dalam PTR ini merupakan kelompok yang selalu mencari informasi tentang pola tanam ataupun informasi lain yang berhubungan dengan iklim dan PTR;

3. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas awal merupakan kelompok yang selalu membuat kompromi dengan kelompok lainnya untuk memutuskan dalam mengadopsi pola penggunaan PTR atau pola menghadapi perubahan iklim;

4. Mayoritas akhir: Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas akhir ini adalah kelompok yang akan melakukan adopsi dalam pola penggunaan PTR, jika secara ekonomi mereka diuntungkan maka mereka akan melakukan penggunaan PTR sebagai sebuah solusi untuk penggunaan varietas padi yang dapat mengatasi usaha tani tidak gagal, dan

(36)

14

yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok

laggard mengadopsi inovasi, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman. Dapat dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang sangat tradisional dan terlalu hati-hati.

(37)
[image:37.595.20.810.100.423.2]

15 Sumber: Rogers (2003)

Gambar 3 Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi

Pengetahuan

Persuasi

Pengambilan

keputusan

Penerapan

Konfirmasi

Saluran Komunikasi

Adopsi

Menolak

Lanjut Adopsi

Terus menolak

Adopsi

Kondisi Awal:

1.

Situasi awal

2.

Masalah dan

kebutuhan

3.

Inovasi

4.

Sistem Sosial

Karakateristik

Pengambil

Keputusan:

1.

Sosial Ekonomi

2.

Peubah Individu

3.

Perilaku

Komunikasi

Karakteristik Inovasi:

1.

Keuntungan

Relatif

2.

Kecocokan

3.

Tingkat kesulitan

4.

Bisa dicoba-coba

5.

Dapat

(38)

16

Sesuai dengan pemikiran Rogers (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu:

1. Inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.

2. Saluran komunikasi: ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Apabila komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.

3. Jangka waktu: proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

4. Sistem sosial: kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Proses difusi inovasi mengarahkan petani untuk melakukan adopsi yang benar dan tepat. Rogers (2003) dan Littlejohn (2009) menjelaskan fungsi komunikasi dalam proses pengambilan keputusan inovasi mencakup lima tahapan seperti disajikan pada Gambar 3.

1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit sementara pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahamieksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi;

2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik;

3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi;

4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi; dan 5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit

(39)

17 Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Usahatani Padi

Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata, contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrim yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim terbatas hingga regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh bagian wilayah bumi. Dalam penggunaannya saat ini, khususnya pada kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada perubahan iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan global atau pemanasan global antropogenik. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Penjelasan IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta berbagai ekosistem pantai.

Perubahan iklim global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim sehingga daerah sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran rendah sangat rentan terhadap semakin besarnya peluang terjadinya banjir. Bencana banjir tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem budidaya tanaman padi. Smith et al. (2003) menyatakan bahwa negara berkembang lebih rawan terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh, di negara berkembang banyak penduduk yang tinggal sepanjang garis pantai yang tentunya rawan terhadap kenaikan permukaan air laut. Hal ini sangat cocok dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Amerika Serikat.

Telah diakui bahwa revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produksi padi nasional meskipun disadari berbagai kekurangannya, antara lain: (1) terfokusnya pada pengembangan lahan sawah irigasi, (2) input produksi tinggi dengan tingkat efisiensi rendah, (3) aspek lingkungan dan kestabilan produktivitas jangka panjang kurang terperhatikan. Oleh karena itu perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada pengembangan varietas untuk lingkungan sub-optimal, seperti lahan kering, sawah tadah hujan, dan lahan rawa/pasang surut (Claassen & Shaw 1970; Suprihatno & Darajat 2008).

Perubahan iklim global seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan kebanjiran secara ekstrim (Mirza 2003). Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi agroklimatologi untuk produksi pangan termasuk padi (Wassman & Doberman 2007).

(40)

18

mengalami kekeringan mencapai 183 582 ha dan sekitar 16 475 ha tanaman padi gagal panen atau puso. Sebagai pembanding cekaman kekeringan di Jawa dan Bali dalam 20 tahun terakhir menurunkan produksi padi sebesar 6,5-11 persen (Naylor et al. 2007).

Toleransi padi terhadap rendaman bervariasi antar varietas dan sifat tersebut diwariskan secara genetik (Mackill et al. 1993). Sejumlah varietas padi menunjukkan toleransi yang baik terhadap rendaman penuh sampai dengan 14 hari. Xu dan Mackill (1996) telah berhasil memetakan Quantitative Trait Loci

(QTL) mayor penyandi toleransi terhadap rendaman, disebut sebagai Sub1, pada chromosome 9 yang berasal dari varietas toleran FR 13A. Lokus tersebut mampu menjelaskan 70 persen variasi fenotipik toleransi terhadap rendaman. Terdapat tiga gen yang mengandung ethylene response factor (ERF) pada lokus Sub1

tersebut yaitu Sub 1A, B dan C (Xu et al. 2006). Dari ketiga gen tersebut, gen Sub

1A merupakan penentu utama toleransi yang mampu terinduksi dengan kuat sebagai respons terhadap rendaman pada varietas-varietas yang toleran. Varietas-varietas yang membawa gen toleran Sub1 mampu bertahan hidup pada kondisi terendam penuh sampai dengan 14 hari.

Jika perubahan iklim tidak diantisipasi atau dilakukan persiapan khusus untuk menghadapinya, diperkirakan hal ini bukan saja akan berakibat buruk bagi sistem pertanian melainkan juga bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bahkan bukan tidak mungkin perubahan iklim ini akan membawa akibat lebih luas, antara lain melemahkan kinerja sektor pertanian dan penurunan daya saing produk pertanian. Jika hal ini terjadi, akan dapat menjadi hambatan besar bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan (Sejati et al. 2011).

Sumaryanto et al. (2012) menyatakan bahwa dari seluruh petani produsen pangan (padi, jagung, kedele, dan tebu) Indonesia, 76 persen di antaranya hanya menguasai lahan garapan usahatani kurang dari satu hektar. Dengan kondisi seperti itu, diduga kuat bahwa sebagian besar petani rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam. Oleh karena itu jika tidak ada kebijakan dan strategi yang tepat untuk memperkuat kapasitas adaptasi petani pangan maka bukan hanya nasib petani yang dipertaruhkan, tetapi ketahanan pangan nasional juga terancam keberlanjutannya karena aktor utama penghasil pangan adalah petani. Hal ini didukung oleh Holzkamper et al. (2011), bahwa iklim dengan variabilitas ruang dan waktunya merupakan salah satu faktor penentu produktivitas pertanian di suatu wilayah. Bryan et al. (2009) menyatakan bahwa pengertian dan persepsi petani yang lebih baik tentang perubahan iklim, tindakan-tindakan adaptasi saat ini, dan pengambilan keputusan sangat penting untuk menginformasikan berbagai kebijakan yang bertujuan agar petani berhasil dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks kepentingan sektor pertnian. Adaptasi ini dapat berupa mengganti tanaman atau varietas tanaman, menanam tanaman keras, konservasi tanah, mengubah waktu tanam dan menerapkan irigasi.

(41)

19 keseharian beragam petani yang jumlahnya sangat besar maka kebijakan, program, dan strateginya harus bersifat komprehensif dan secara cermat memperhitungkan simpul-simpul kritis yang sifatnya spesifik lokal. Data dan informasi seperti itu hanya dapat diperoleh melalui penelitian empiris.

Profil Keluarga Petani

Berbagai definisi keluarga disampaikan para ahli, antara lain, keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Selain itu keluarga juga berarti kaum yaitu sanak saudara serta kaum kerabat. Definisi lain keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

Para ahli sosiologi berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dari berbagai segi. Pertama, dari segi orang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak namun tidak pernah menikah. Ketiga dari segi hubungan jauh antar anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak dari orang lain.

Beberapa pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat, bahkan hubungan tersebut bisa disebut dengan hubungan lahir batin. Adanya hubungan ikatan darah menunjukkan kuatnya hubungan yang dimaksud. Hubungan antara keluarga tidak saja berlangsung selama mereka masih hidup tetapi setelah mereka meninggal dunia pun masing-masing individu. Individu masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.

Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi ekonomis, keluarga berusaha untuk memenuhi segala keperluan anggota keluarganya. Keluarga petani ialah keluarga yang penghasilannya dominan berasal dari sektor pertanian. Perilaku ekonomi komunitas petani, secara implisit dan eksplisit mengidentifikasi hubungan antara dimensi ekonomi dan konteks sosial budaya suatu sistem berada. Becker dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku rumahtangga dan merupakan dasar dari Ekonomi Rumahtangga Baru (New Household Economics). Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Formulasi ini menyatakan bahwa terdapat dua proses dalam perilaku rumahtangga, yakni proses produksi yang digambarkan oleh fungsi produksi dan proses konsumsi untuk memilih barang dan waktu santai yang dikonsumsi. Formulasi Becker tersebut tidak memasukkan peubah waktu santai, sehingga Gronau dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan model ekonomi rumahtangga dengan membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga.

(42)

20

kesulitan dalam membedakan antara pekerjaan rumahtangga dan waktu santai. Singh dan Janakrim dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan formulasi tersebut dengan model bahwa rumahtangga adalah pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi dalam hubungannya dengan alokasi waktu.

Dari uraian di atas, maka sistem ekonomi rumahtangga petani yaitu yang terkait dengan: (1) produksi, (2) alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, (3) penggunaan input dan biaya produksi, (4) penerimaan dan pendapatan, serta(5) pengeluaran. Produksi sistem integrasi produksi padi dalam satu tahun. Penggunaan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk usahatani milik sendiri, untuk usahatani milik orang lain, dan usaha di luar pertanian. Biaya sarana produksi terdiri atas biaya sarana penggunaan input produksi dan tenaga kerja. Penerimaan usaha merupakan jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dari masing-masing volume usahatani yang dihasilkan dengan harga output. Selisih antara masing-masing penerimaan usaha dan biaya sarana produksi merupakan pendapatan petani dari usahataninya. Penerimaan dari usaha buruh tani maupun buruh non-pertanian, di samping penerimaan petani dari usaha luar pertanian dan usaha tetap lainnya juga merupakan pendapatan total rumahtangga petani. Struktur pengeluaran rumahtangga petani terdiri atas alokasi pengeluaran rutin yang harus dibayar untuk konsumsi pangan dan non-pangan, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebagai investasi sumber daya, investasi produksi, tabungan dan cicilan kredit untuk usahatani.

Bertrand dalam Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa proses-proses dalam sistem sosial mencakup: (a) komunikasi (communication); dalam sistem sosial komunikasi berfungsi sebagai suatu yang penting untuk menyampaikan informasi, mengutarakan sikap, perasaan atau kebutuhan, (b) memelihara tapal batas (boundary maintenance); semua sistem sosial mempunyai cara-cara tertentu untuk melindungi atau mempertahankan identitasnya, (c) penjalinan sistem (systemic linkage); suatu proses menjalin ikatan antara suatu sistem dengan sistem lainnya, (d) sosialisasi (socialization); suatu proses penyebaran warisan-warisan sosial dan budaya oleh seseorang dari masyarakatnya, (e) pengawasan sosial (social control), sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku, (f) pelembagaan (institutionalization); merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai

Gambar

Gambar 3  Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi
Gambar 4  Kerangka pikir penelitian mekanisme komunikasi inovasi PTR
Gambar 5  Lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani
Tabel 5  Kondisi sawah petani PTR yang terendam pada musim hujan  2014/2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perekonomian, perekonomian periode sebelumnya, jumlah uang berdar dan jumlah uang beredar periode sebelumnya secara parsial berpengaruh tidak signifikan

Penelitian korelasi atau korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk mempengaruhi

Talang lateks berfungsi untuk mengalirkan cairan lateks atau getah karet dari irisan sadap ke dalam mangkok. Talang lateks terbuat dari seng dengan lebar 2,5 cm dan panjangnya antara

hal penutupan luka pada tanaman sehingga persentase keberhasilan pada okulasi bibit ubi kayu mukibat lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh,

Perkembangan diameter tunas jenis mata sisik umur 31 – 97 hari setelah tanam pada beberapa klon.. Perkembangan diameter tunas jenis mata rapat umur 31 – 97 hari setelah tanam

Ini berarti bahwa dari sejumlah kurang lebih 42 jenis gulma dan forage yang ditemukan di wilayah penelitian, gulma berdaun lebar hanya 3 jenis dari kelompok suku Salviniaceae

Dari hasil analisis kejadian longsoran pada lokasi longsor 2, lokasi 3, lokasi 10 dan lokasi 15 diperoleh bahwa tipe longsoran translasi ini terjadi pada lokasi dengan

Pohon yang terserang kering alur sadap (KAS) di TGE bukan diindikasikan karena tanaman tersebut telah berumur lebih tua, tetapi lebih disebabkan karena adanya intensitas