• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga telaah pengaruh detrimental pola keayahbundaan orangtua yang tidak sehat terhadap deficit karakter pada anak anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga telaah pengaruh detrimental pola keayahbundaan orangtua yang tidak sehat terhadap deficit karakter pada anak anak"

Copied!
305
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap orangtua sekarang semestinya bertanya, apakah kita masih

mempunyai hak untuk berharap potensi tumbuhkembang an&-an& kita berkembmg dengan optimal? Yakinkah kita bahwa ungkapan cinta kasih kita bisa d h a k a n oleh anak-anak kita? Apakah kita masih boleh berharap anak-

anak kita mampu mencapai prestasi akadernik spektakuler atau menjadi insan-

insan berkarakter? Kalau jawabnya YA, maka mampukah kita menunjukkan bukti bahwa kita sudah "berinvestasi" Mam bentuk materi, perhatian, kasih sayang t u b , rneluangkan waktu untuk membina akhlak dan karakter mereka, serta tauladan unhk t m j u d n y a harapan-harapan itu? Atau juteru sebaliknya, lataran kita sudah memberinya makan dm perlindungan, ldu dengan sadar atau tidak sadar kita biarkan mereka tumbuhkembang sendiri

atau kita serahkm pengembangan karakter dan wataknya kepada "orangtua-

oran*

hin" seperti televisi, teman sebaya, atau guru sekali pun?
(2)

kurang mendapat apresiasi dan penghargaan oleh masyarakat dan bahkan oleh orangtua sendiri.

Selain itu, globalisasi yang menjadi penggerak dan sekdigus anak kandung transformasi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi, dengan perangkat ideologi (kapitaIisme) dan budayanya (postmodernisme), me n i m b u 1 k an konsekuensi-konsekuensi logis yang tak terhindarkan; satu di antaranya a&Iah apa yang oleh Fukuyama (2000) disebut

the peat disruption. Ada bekrapa indikator mengenai ha1 ini. Dua di antaranya adalah terjadinya defisit modal sosid dan rapuhnya keluarga (Piliang, 2004). Dua indi kator ini sangat penting dalam pembentukan civil

society. Fukuyama rnengemukakan bahwa keluarga menrpakan pilar utarna civil sociew, karena nilai-nilai pembentuknya seperti trust, kejujuran, kerjasama, dan resiprositas dikembangkan untuk pertama kalinya dalam institusi keluarga. Dari perspektif ini kita &pat beragumen bahwa pemberdayaan keluarga merupakan ha1 yang h i a l

.

B ah k a n Giddens (200 1 )

mengemukakan bahwa berhasilnya implementasi kebijakan ekonomi politik jalan tengah (third way) juga tergantung pada terbentululya keluarga yang demokratis.

Strategisnya penguatan institusi keluarga juga bisa dipahami dari wacana masyarakat madani versi Madjid, yang mengemukakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah tatanan masyarakat yang warganya menjunj ung tinggi nilai-nilai egalitarian dan supremasi hukum, jujur, adil, dan

(3)

Wacana pengembangan surnberdaya manusia di Indonesia beberapa tahun terakhix mendapat tempat tersendiri baik pada aras (level) reterorika politik maupun teoretik. Perbincangan isu ini seakan-akan mengingatkan kita kembdi pada tulisan pujangga Jerman yang sering dikutip oleh Hatta

--

von Schiller - yang mengatakan bahwa sekarang abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar. Namun rnomen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil (Oetama, 2000), yakni mmusia picik, berwawasan sempit, dm egosentrik. Ada bukti empirik menguatkan pandangan ini untuk kasus Indonesia sekarang ini

.

Data tahun 2003 mengungkapkan, negara Indonesia menempati peringkat ke-6 sebagai negara terkorup di dunia. Pada tahun 2004, negara Indonesia menempati peringkat ke-1 sebagai negara terkorup di Asia. Secara konseptual, korupsi bukan han ya menj elaskan tentang penyalahgunaan milik publik untuk kepentingan pribadi atau keIompok melalui penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga rnenggambarkan satu hal, yakni maknya karakter atau moralitas yang sakit baik secara individual maupun kolektif.

Pangkahila (2004) mengamati bahwa moralitas bangsa Indonesia kini sedang sakit.

'

Ada sepuluh indikator dia kemukakan, yakni bangsa Indonesia mudah melakukan kecurangan, menganggap diri paling benar dm hebat, bersikap dan bertindak tidak rasiond, emosional dan mudah menggunakan kekerasan, cenderung bertindak seenaknya dm melanggar aturan, cenderung hidup dalam kelompok dengan wawasan sempi t, berpendirian tidak konsisten, mengalami konflik identitas, bersikap dm bertindak munafk, serta ingin
(4)

mendapatkan hasil tanpa kerja keras. Karakter anak-anak dan remaj a Indonesia umumnya juga mengkhawatirkan, terutarna bila dilihat dari sembilan indikator tentang defssit karakter sebagai berikut:

1

.

Meningkatnya tindak kekerasan, seperti t a w a n antarpelajar. 2. Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur wicara. 3. Meningkatnya pengaruh negatifpeer group.

4. Meningkatnya perilaku mervsak di, seperti merokok dm penggunaan narkoba

5. Makin kabumya acuan moralitas ymg tergantikan oleh moralitas "gad."

6. Menurunya etos kerja, seperti malas mengerjakan pekerj aan rumah.

7. Merosotnya sikap respek kepada orang tua. 8. Meningkatnya sikap menghindar tanggung jawab.

9. Meningkatnya perilaku tak jujur, seperti "nyontek" dan berbohong kepada orangtua (Lickona dalam Megawangi, 2003).

Merosotn y a peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2003 ke urutan 1 22 (tahun 2004 nai k setingkat ke urutan 1 1 1) melengkapi kerumitan masalah mutu sum berdaya manusia 1ndonesia2

Ini

menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia selama ini mengalarni kemunduran. Masalah gizi buruk pada anak balita, yang merupakan salah satu determinan penting sumberdaya manusia berkuali tas, j uga tidak mampu ditanggulangi dengan baik. Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia mengemukakan bahwa selama 10 tahun terakhir penanganan masalah gizi buruk pada balita mengalarni stagna~i.~ Pada tahun 1989, dari jumlah penduduk sebanyak 177.6 14.965 jiwa, sebanyak 1 -342.796 anak balita mengalami gizi bunk. Pada

-

2 ~ & tahm 1999, IPM ernpat kabupaten di Madura bemt-turut adalah sebagai b M :

Kabupaten Bmgkalan peringkat ke-283, Kabupaten Sampang peringkat ke-292, Kabupaten Parnekasan peringkat ke-274, dan Kabupaten Sumenep peringkat ke-278. IPM betmapa kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Selatan krturut-hlrut sebagai berikut: Kabupaten Banjar peringkat ke-161, Kabupaten Hulu Sungai Selatan peringkat ke-215, Kabupaten Hulu Sungai Tengah peringkat ke-224, Kabupaten Hulu Sungai Utara peringkat ke-247, dan Kota Banjarmasin

t ke-72 (UNDP dan BPS, 2001).

(5)

tahun 2002, angka ini berubah menjadi 1.469.596 dari jumlah penduduk sebanyak 208.749.460 jiwa. Woodhouse (1999) pada tahun 1999 mengemukakan bahwa setiap dua menit anak di bawah usia lima tahun meninggal di Indonesia. Sebagian besar (60%) disebabkan oleh h a n g gizi. Selain itu, tiap 40 detik lahir bayi dengan berat lahir h a n g

dari

normal (BBLR) dm setiap 20 menit Ibu yang meldirkan meninggal dunia selarna persalinan. Dia juga mengemukakan bahwa setiap tahun di Indonesia lahir sebanyak 700.000 bayi dengan berat badan lahir rendah, atau setiap

hari

ada 2.000 bayi bergizi h a n g atau buruk lahir, atau sekitar 100 bayi per jamnya.

Wangan yang peka terhadap dampak detrimental jangka panjang fenomena tersebut akan sepakat bahwa masalah di atas sangat strategis dan menentukan masa depan bangsa ini. Kalau sebelumnya istilah lost generation

("generasi punah")

-

sebuah konsep yang dikembangkan untuk meramallcan lahirnya generasi yang hidupnya hanya akan menjadi beban orangtua, keluarga, masy&t, dm negara, karena potensi kapasitasnya (pertumbuhan dan perkembangan) tidak dapat dioptimalkan - diaitkan dengan masalah gizi buruk, rnaka sekarang konsep tersebut juga diaitkan dengan masdah defisit karakter atau moralitas yang sakit, terutama di kalangan an&-anak dm remaja. Tanggapan para ahli terhadap masdah tersebut beragam. Tidak seperti Illich (I 977) yang menggagas masyarakat tanpa sekolah (deschooling society),

karena dia anggap sekolah telah mati, Freire (1972), Goleman (1996), Semiawan (1 999), Tilaar ( 1999), dan Lickona (Megawangi, 2003) berharap banyak bahwa reformasi sistem pendidikan, terutama pendidikan formal,

(6)

mampu memanusiakan manusia Tetapi kine j a pendidikan formal akhir-akhir ini dim- oleh banyak kalangan. Rachman (2003) misalnya mengemukakan bahwa sekolah atau pendidikan formal belurn mampu menanamkan perilaku terpuj i sederhana sekaIi pun kepada peserta didik, seperti membuang sampah pada ternpatnya.'

Kemguan terhadap beberapa pendekatan tersebut memuncdkan kembali wacana pengembangan sumberdaya rnanusia berbasi keluarga. Kdau dalil-ddiI naq2i digmakan, maka wacana ini sudah krkembang 14 abad yang ldu. Beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia, wacana ini mengarus- tengah kembali, khususnya ketika ramalan "generasi punah " akan menj adi kenyataan, ketika makin banyak bukti tentang merosotnya kualitas sumberdaya manusia baik karena masdah gizi b u d mapun defisit karakter, dan ketika pende katan re formasi si stem pendidikan (formal) beIum menunj ukkan kinerj a menggembiian. Dalil-dalil saintifik yang menguatkan pengarus-tengahan wacana tersebut sudah lama dikemukakan. Aristotle mengemukakan bahwa

"..

. kasih sayang, cinta kasih, dan rasa hormat anak kepada orangtuanya yang dibina dalam keluarga akan membuat anak juga hormat dm rnenghargai orang lain ketika mereka besar" (Berger dan Berger, 1984). Lasch (1977) dari perspektif damp& perubahan sejagad mengemukakan bahwa institusi keluarga &an menjadi satu-satunya lembaga yang bisa menjadi surga di tengah kehidupan yang makin tak bemurani; a heaven in the heartless world.

Bennett mengemukakan bahwa,

"Family is the original and most efective Department of Health,

(7)

excellence, and a host of basic skills, if is exceedingly dzflculb for any other agency to make up for its failures" (Megawangi, 2000).

Menurut Rich (1997) dan Popov et al. (1997), keluarga merupakan wahana pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (mega skills) dan kebaj ikan-kabaj ikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembmgkan keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain, tamasuk oleh sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pemah merancang program yang menjadikan keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1992).

Penelitian ini menelaah peran keluarga dalarn pengembangan sumberdaya manusia, yang menernpatkan omgtua pada posisi s e n d . Salah

satu fungsi orangtua yang disorot adalah fungsi "keayahbundaan," yang didefinisikan sebagai keterampilan orangtua memenuhi hak tumbuhkembang anak-anaknya Asumsinya adalah bahwa tumbuhkembang anak dipengamhi oleh tingkat keterampilan orangtua menj alankan fungsi "keayahbundaan," clan fungsi "keayahbundaan" yang sehat dipengaruhi oleh faktor- faktor yang menj adi det erminannya.

Pilihan fokus penelitian pada masalah "keayahbundaan"

dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan. Para ahli sepakat bahwa tantangan global membutuhkan individu-individu yang bukan hanya berotak cerdas, memiliki &ya saing dm daya sanding, tetapi juga individu-individu berkarakter atau memiliki daya saring.

(8)

"In the corporate world, IQ gets you hired, but EQ gets you promoted"

(Martin 2003). Bahkan Goleman (1996) memastikan bahwa IQ hanya menyumbang sebagian kecil (20%) pada keberhasilan sosial seseorang

.

Sayangnya, sejak pertarna kali metode peningkatan IQ diterapkan, angka IQ meningkat lebih dari 20 poin. Tetapi ironisnya, sementara dari generasi ke generasi anak semakin cerdas, keterarnpilan emosional d m sosialnya merosot tajam (Flynn Mam Shapiro, 1999). Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan itu semua?

Goleman (1 996) mengaitkan madah di atas dengan peristi wa-peristiwa yang dialami oIeh anak-an& dalam keluarga seperti kesepian karena sering ditinggal sendiri, asuhannya diserahkan kepada orang lain, overdosis nonton TV, anak mengalami deprivasi dan perlakuan kejarn orangtuanya, serta masalah-masalah lain dalarn hubungan pernikahan. Segagasan dengan Goleman, Zeltner mengemukakan bahwa orangtua sekarang tidak memberikan

sesuatu yang paling dibutuhan oleh anak, yakni waktu untuk berkasih sayang, karena pekerjaan, kesibukan pribadi di rumah, dan tuntutan karier bagi orang kota (S indhunata, 2003)~. Tuntutan agar anak berprestasi telah menj adikan mereka stress seperti yang diamali oleh orang dewasa. Modernisasi di Indonesia selarna ini telah memperhadapkan anak-anak pada tekanan yang

sangat berat. Fadjar (2001) mengemukakan bahwa anak-anak kini cenderung stress di tiga tempat: di rumah, sekolah, dm di lingk~n~ann~a.~ Jadi, rendahnya EQ, ESQ atau defisit karakter pada anak-anak dan remaja dikaitkan dengan salah satu fungsi strategis orangtua, yakni "keayahbundaan," yang

%dm Kompas, "Republik Anak-An&," 23 Juli 2003.

(9)

didefinisikan sebagai pemaharnan, kesadaran, dan keterarnpilan orangtua memenuhi hak tumbuhkembang an&.

Etzioni (1 993) dengan tesis an& sej agadnya menyempurnakan pendekatan alternatif di atas, dengan mengemukakan bahwa meskipun keluarga merupakan lingkungan utama dan orangtua sebagai deterrninan b i a I tumbuhkembang

anak,

tetapi dukungan komunitas, terutama kepada orangtua dan anak-anak, juga penting artinya. Penelitian ini mengkaj i masalah tersebut dengan menerapkan tesis yang dikembangkan oleh Etzioni.

Masalah Penelitian

(10)

diIahirkan oleh orangtua yang marnpu menerapkan pola "keayahbundaan" yang sehat. Konsep pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga dalam penelitian ini mengandung pengertian bahwa penguatan institusi keluarga dan peningkatan keterarnpilan "keayahbundaan" orangtua menj adi determinan utarna optimasi potensi tumbuhkembang anak. Masdahnya addah, apakah keluarga-keiuarg a atau orangtua kaj ian memi 1 iki sumberday a y ang dibutuhkan untuk menj dankan fungsi "keayahbundaan" dengan sehat.

Ksj ian empirik dan teoretik menunjukkan, pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" yang sehat sebagai determinan utama tumbuhkembang anak ditenhrkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor hi dikelompokkan ke dalam ( 1 )

sumberdaya komunitas, (2) sumberdaya keluarga, dan (3) sumberdaya individu dalarn keluarga. Penelitian hi menganalisis hubungan antara sumberdaya-sumberdaya tersebut (peubah input) dm keterarnpilan "keayahbundaan" serta hubungan antara keterarnpilan "keayahbundaan'' (peubah proses) dan tumbuhkembang anak (peubah output) di dua etnik kaj ian, yakni etnik Banjar dan Madura. Output yang baik ditentukan oleh proses yang sehat, sedangkan proses yang sehat dipengaruhi oleh input yang baik. Dari perspekti f faktor-faktor tersebut, penelitian ini mengajukan beberapa masdah penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas mendukung pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kaj ian?

(11)

3. Seberapa tinggi tumbuhkembang anak di dua etnik kajian?

4. Apakah dukungan surnberdaya individu ddam keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas pada peIaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kaj ian berbeda nyata?

5. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian berbeda nyata?

6. Apakah ada perbedaan tingkat tumbuhkembang anak yang nyata di dua etnik kajian?

7. Apakah faktor sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas berpengaruh secara nyata terhadap pelaksanaan fbngsi "keayahbundaan" omgtua?

8. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua mempengaruhi secara nyata tumbuhkembang anak?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pa& rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1

.

Mendeskripsikan tingkat dukungan sumberdaya individu dalarn

keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas pada pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kaj ian.

2. Mendeskripsikan tingkat keterampilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian.

(12)

4. Menganalisis perbedaan dukungan sumberdaya individu dalam keluarga, sumberdaya keluarga, dm sumberdaya komunitas pada pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian.

5 . Menganalisis perbedaan keterampilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian.

6. Menganalisis perbedaan tumbuhkembang anak di dua etmik kaj ian8 7. Menganalisis hubungan antam faktor surnberdaya individu dalam

keluarga, surnberdaya keluarga, sumberdaya komunitas, dan fungsi "keayahbundaan" orangtua.

8. Menganalisis hubungan antara keterampilan "keayshbundaan"

orangtua dan tumbuhkembang anak.

Selain tujuan-tujuan di atas, penelitian ini juga ingin mengembangkan model teoretik penyuluhan "keayahbundaan" (parenting education) untuk

pelembagaan gagasan poIa "keayahbundaan" yang sehat.

Manfaat Penelitian

Hasil penef itian ini diharapkan dapat memberi banyak manfaat sebagai berikut:

1. Dari aspek penerapan ilrnu, penelitian ini menunj ukkan betapa strategisnya penerapan theoretical endowment ilmu penyuluhan pembangunan pada upaya pemecahan masalah sosial, antara lain pada masalah pengembangan

SDM.

' ~ e s k i ~ u n bukan merupakan fokus utama, deskripsi perbedaan ini juga dilakukan

(13)

2. Dari aspek pengembangan teori, hasil kajian ini memberikan basis konseptual altematif dalarn pengembangan SDM, khususnya dalarn meningkatkan kompetensi orangtua "mengasuh" anaknya melalui

learning processes yang sehat, sehingga potensi turnbuhkembangnya dapat diiembangkan dengan optimal.

3. Dari aspek praksis, hasil kajian ini memberikan basis ilmiah dan empirik penyusunan kebij akan publik atau intervensi sosial penyuluhan "keayahbundaan."

4. Bagi orangtua dan calon orangtua hasil penelitian ini bisa memberi inspirasi yang menurnbuhkan kesadaran tentang betapa pentingnya mereka bagi masa depan anaknya. Menurut Vannoy (2000a; 2000b),

(14)

T I N J A M PUSTAKA

Landasan Filosofik dan Paradigmatik

Dalam agama-agama samawi seperti agama Islam misalnya, an& dianggap sebagai amanat. Orangtua diingatkan bahwa mereka memiliki kewaj iban moral untuk menunaikan amanat tersebut, sehingga anak-anak ti& menjadi generasi yang lemah, yakni generasi yang khawatir akan masa depannya. Tuhan menegaskan bahwa salah ciri dari rnanusia yang bertanggungiawab atau takwa kepaddya adalah rnereka yang tiduk

rneninggalkan generasi yang lemah (QS : 4 : 9).

Pada tataran p d i k , peringatan tersebut seharusnya menjadi dasar pernikiran tentang bagaimana program pengembangan SDM sejak dini seperti digagas oleh Evans ef al. (2000) dan pengembangan SDM umurnnya &pat diiancang. Pada tataran konseptual-teoreti k, peringatan ini bisa menjadi dasar pengembangan landasan paradigmatik dm teoretik untuk penelitian.

Paling tidak, secara konseptual konsep anak yang tidak lemah, yakni anak yang berhasil mengoptimalkan tumbuhkembangn ya bisa didekati dari empat paradigma, yakni paradigma anak sejagad atau children of the universe

(Etzioni, 1 993), keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1 992), keseimbangan antara tanggung j awab dan kebebasan anak (Elkind, 1 98 1 ;

1 9871, dm paradigma anak yang utuh (Myers, 1 992).

Paradigma anak sej agad mengemukakan beberapa ha1 penting yaitu (1 )

orangtua memi li ki tanggung jawab moral kepada masyarakat dan sej agad,

(15)

sehat; ( 2 ) komunitas juga memiliki tanggung jawab mernberi dukungan kepada orangtua atau keluarga agar mereka mampu menunaikan tanggung jawab moralnya; dan (3) komunitas secara keseluruhan menanggung risiko akibat "keayahbundaan" yang tidak sehat (Etzioni, 1 993). Paradigma ini secara eksplisit menunjdckan bahwa "keayahbundaan" yang sehat bukan saja menrpakan tanggung jawab omgtua atau keluarga, tetapi juga merupakan

tanggung j awab bersama. Etzioni (1 993) mengemukakan bahwa "keayahbundaan" yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi juga bagi masyarakat. Myers (1 992) menambahkan kini semakin banyak bukti menunjukkan bahwa pengembangan SDM sejak dini yang difokuskan pa& terbenthya anak yang utuh bukan hanya menguntungkan anak, tetapi juga masyatakat. Sebaliknya, pernerintah harus membangun lingkungan kebij akan

yang memungkinkan keluarga dan komunitas untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam "keayahbundaan" dan perlindungan anak-anak.

Salah satu aspek yang ditekankan oIeh paradigma ini adalah peran omgtua atau keluarga. h o l d mengemukakan bahwa,

"WorZdwide there is an emphasis on ensuring that early childhood development programmes are firmly family-and community-based. ?%e

stress on the importance of the family is hardly surprising if we

consider a few simple questions -for example, Who knows the child best? mere is the young child most of the time? For whom is it most important that the child develops wells? Children learn who they are and what lfe is all abod from the people they are with. For the vast majority of children it is the family, in its many and varied forms, which

is the most important influence on the child's perception of self and others" (Evans, Myers, and Ilfeld, 2000)

(16)

wahana pengembangan SDM, yang mengemukakan bahwa keluarga yang

tangguh dm kokoh esensial bagi masa depan dunia; mereka merupakan wahana bagi generasi mendatang. Resolusinya tahun 1 987 j uga menyebutkan bahwa kelwrga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosidisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan hgsinya di masymakat dengan baik, serta memberi kepuasan dm lhgkungan sosial yang sehat guna tercapainya kesejahteraan keluarga

(Megawangi, 1993). Menurut Rich (1997), kelwga merupakan wadah utama pendidikan clan pengembangan ketmampilan-keterampilan unggul (mega

skills), sedangkan sistem pendidikan lain seperti sekolah menunjang proses pendidikan di rumah. Penguatan institusi keluarga menj adi kaharusan, karena orangtua mempunyai tanggung j awab primer membesarkan, mengembangkan, dan mendidik anak-anaknya (Evans et al., 2000).

Paradigma ketiga menekankan keseimbangan antara tanggung jawab d m kebebasan. Orangtua yang membebankan tanggung jawab melebihi kebebasan mak adalah orangtua yang tidak mampu mengembangkan

"keayahbundaan" yang sehat. Anak yang diasuh dengan cara seperti ini adalah anak yang terlalu cepat dan terlalu dini berkembang. Elkind (1981) menyebut anak ini sebagai anak yang mengalami aduItjCed, hurried child atau superkids.

(17)

Paradigma keempat menekankan pentingnya perkembangan anak secara total atau utuh (whole child). Investasi atau program tumbuhkembang anak dalam konteks pernbangunan sosial bukan hanya difokuskan pada peningkatan

status gizi dan kesehatan, serta perkembangan mental-kognitihya (IQ), tetapi juga pada perkembangan emosional dan sosialnya. Anak yang menikmati hak seluruh dirnensi turnbuhkembangnya memiGki peluang dm potensi untuk menjadi rnanusia bermutu. Landasan filosofik dan paradigmatik penelitian ini disajikan pada Gambar 1

.

i

Anak ShaIeh

P

Tanggungjwab k l u a r g r 'Cmgguh Keayahbundaan

Btrmmr: &n Produktir Tumbuhlcembg S u m W p Ycluvp* Yang S o I u t

D u kh m i - ~ ( A u M u d r o -ring) Armk Y u t g Utuh pcPsr(n- -lea r o r q ohnatch. lssl) (My-. 1992) D-4- (Eagles d., 1997)

Komunitas Yang Keluarga Yang Tanggu h S e b t

(Ue, 1995: GddmIdt. 1996) (h+wmgi*d. I W S )

Tesiw ~ e l u a r g a Tcris

Teais Anak =bPgai Wahana K e i m h a n g a n T e s i s Anak Yang

Sejagad Pengembangan Tanggungjawab- Utuh

(E~oni, 1993) S D M Kcbebasan (Mycn. 1992)

(PBB drlva Mym. IW2) (Elkind, 1911. 1917)

[image:17.586.83.483.299.698.2]

t

v

r

(18)

Hak Anak untuk Mewujudkan Potensi Tumbuhkembangnya

Landasan filosofik di atas menunjukkan bahwa anak bukan hanya memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah atau innate capacities dm g$s within-nya, tetapi kebutuhan itu sekaligus merupakan hak mereka. Evans et al. (2000) memandang perlu untuk membedakan cara pandang terhadap tumbuhkembang anak sebagai hak asasi anak (rights perspective) dari cara pandang sebagai kebutuhan anak (needs

perspective). Sejumlah implikasi potensid dikemukakan oleh mereka dari perbedaan perspehif ini. Misainya, pendekatan kebutuhan tidak memahami pemenuhan kebutuhan tumbuhkembang anak sebagai kewaj iban, tetapi perspektif hak asasi justeru secara pasti memahaminya sebagai sebuah kewajiban baik orangtua dan komunitas maupun pemerintah. Orangtua, keluarga, pemerhtah, clan komunitas memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak tersebut. Ada beberapa alasan mengenai ha1 ini.

Pertuma adalah alasan berbasis hak asasi manusia. An& mempunyai hak untuk hidup dan rnengembangkan seluruh potensinya (innate capacities).

(19)

Pelaksanaan konvensi-konvensi ini akan menj adi dukungan komunitas bagi keluarga atau orangtua d a m pelaksanaan h g s i "keayahbundaannya."

Kedua adalah alasan nilai-nilai sosid. Masa depan dunia bergantung pada keberhasilan penanaman nilai-nilai kebaj i kan kepada anak, yang bukan s4a dianggap seb& our f i t w e , tetapi juga sebagai pengawal nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga addah dasan pembangunan ekonomi. Konig (Jalal dan Atmodj o, 1 998) menunjukkan, keberhasilan mewuj udkan tumbuhkembang anak menjadi modal strategis bagi peningkatan produktivitas a n a t a n kerja, penurunan angka kerniskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi pada tumbuhkembang anak menghasilkan economic rate of return yang menguntungkan negara (Todaro, 1985; Bmo, 1991; Hartoyo, 1998).

Keempat adalah dasan keadilan sosial. Keadilan lintas generasi yang muncul ddam isu pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks tumbuhkembang anak dipahami dari sudut pandang penyediaan a fair start

untuk bisa menghadapi tantangan dan peluang kehidupan dalam mas yarakat. Jadi, intervensi berencana terhadap hunbuhkembang anak, baik melalui intervensi stimulasi psikososiai langsung kepada anak maupun pendidiian "keayahbundam," rnernbantu mengatasi ketidakadilan, yang disebabkan oleh perbedam start hidup anak. Myers (1 992) rnengemukakan bahwa Investment in early childhood development can help to modtfi inequalities rooted in

povew and discrimination (social, religious, gender) by giving children from

so-called disadvantaged backgrounds a fair start. Preskripsi the children $rst

(20)

Kelima adalah alasan dinamika sosial dan kependudukan, terutarna yang menyangkut tingkat partisipasi perempuan (Ibu) dalam aktivitas publik. Dengan alasan persamaan gender, hak asasi manusia dm pengembangan diri, kaum perempuan, termasuk Ibu, mulai memanfaatkan potensi dan waktunya untuk berperan di sektor publik. Tingkat partisipasi angkatan ke j a perempuan setiap tahun semakin meningkat. Salah satu dampak fenomena ini adalah berkumngnya curahan waktu orangtua untuk dm bersarna dengan anak (togetherness). Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kajian tentang perubahan curahan waktu orangtua untuk dan dengan anak serta dampaknya terhadap mutu interaksi orangiua-anak, belum banyak dilakukan. Ini menjadi salah satu indikator tentang kurangn ya kesadaran terhadap masalah tersebut.

Unhrk kasus Ameri ka S erikat, Etzioni ( 1 993) melaporkan, selama 20

tahun, yakni dari 1965 hingga 1985, curahan waktu orangtua untuk anaknya berkurang sebanyak harnpir 50%, yakni dari rata-rata 30 jam menjadi 17 jam per minggu. Asuhan anak diserahkan kepada pusat-pusat asuhan (child-care

centres). Ymg merisaukan ahli sosiologi dan psikologi perkembangan di

(21)

children. Children are dying in the system, never mind achieving optimum

development (Etzioni, 1993).

Schickedanz (1995) mengaitkan pergeseran pola asuh ini dengan rendahnya prestasi akademik anak Amerika dibandingkan dengan sebayanya dari Jepang dan C h i . Dia mengajurkan agar kita berhenti rnenyalahkan sekolah, karena prestasi akademik anak rendah:

"...

even though school and teacher eforts are extremely important, conditions outside of schools hold the

key to increasing academic achievement substantially." Stevenson menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan bahwa rendahnya prestasi akademik anak h a m ditelusuri dari sumber lain di luar sekolah. Surnber lain itu adalah parental factors, yakni pola muh orangtua dalarn keluarga (Schickedanz, 1 995).

Tumbuhkembang Anak

Konsep hunbuhkembang merupakan perpadurn antara konsep pertumbuhan dan perkembangan. Secara ilmiah, dua konsep ini mempunyai pengertian yang sangat berbeda, tetapi karena saling krkaitan, penye butannya kerap disatukan. Sebagai panduan awal untuk elaborasi teoretik kajian ini, perbedaan konseptual yang dikembangkan oleh Myers ( 1 992) dikemukakan dalam bagian ini. Dia mengemukakan bahwa

"...

to grow is to increase in
(22)

berat badan menurut umur atau BBm, panjang badan menurut umur atau PBAJ, dan berat badan menurut tinggi badan atau BB/TB.

Konsep perkembangan lebih rumit lagi. Ia merujuk pada pembahan kompleksitas dan fungsi. Myers (1 992) mengemukakan bahwa

".. .

child

akvelopment is process of change in which the child learns ro handle ever

more complex levels of moving, thinking, feeling, and relating to others." Ia mencakup empat aspek, yakni aspek motorik: kemampuan bergerak dan mengkoordinasi gerakan; aspek mental atau kognitif: kemampuan berfdcir dan h a l a r ; aspek emosional : kemampuan merasakan; aspek sosial : kemampuan berhubungan dengan orang lain.

Kajian tentang gizi sendiri sebagai salah satu indikator perhmbuhan anak mengalami pergeseran perspektif. Awalnya, pandangan secara klinis sangat dorninan. Tetapi sekarang sudah bergeser ke aspek pengetahuan, sosial budaya, dan keperilakuan (Sanjur, 1982). Bahkan dari ternuan penelitian, masalah gizi mulai dikaitkan dengan perm penting "keayahbundaan" orangtua dalam keluarga (UNICEF dalam Engle ef al., 1 997).

(23)

anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif "keayahbundaan" yang tidak sehat terhadap perkembangan anak.

Baik pergeseran teoretik yang terjadi ddam kajian gizi (pertumbuhan) maupun perkembangan memberi tekanan yang amat penting pada peranan institusi keluarga dan salah satu fungsi strategisnya, yakni "keayahbundaad' atau parenting. Dengan kata lain, keluarga diposisikan sebagai wadah utama tumbuhkembang anak.

Pikunas (1976) mengemukakan bahwa ada banyak meliu, lingkungan

atau setting yang mempengaruhi perkernbangan manusia. Semua setting ini

memberi pengaruh dan tekanan pada anak melalui lingkungan clan orang-orang lain terdekat, yakni orangtua. Kemudian, berdasarkan keterampilan, motivasi, nilai-nilai kultural dan sosial yang dianut, dinamika dan sumberdaya keluarga, orangtua mengeIola pengamh itu menjadi sebuah respon yang disebut "keayahbundaan." Respon yang sehat terjadi bila ia lebih baik daripada pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana orangtua mengelola semua potensi dan pengaruh internal dan eksternal menj adi respon "keayahbundaan" yang sehat dan menjadikan keluarga sebagai institmi yang kondusif &an sangat menentukan optimasi tumbuhkembang anak. Tentang strategisnya keluarga sebagai insti tusi utarna dan pertama bagi an&-anak, Hogg (2004) mengemukakan bahwa,

(24)

Konsep "bisa diandalkan" pada kutipan di atas mengandung banyak arti

yang berkaitm dengan keterarnpilan "keayahbundaan. " Salah satu di antaranya &ah keterampilan melaksanakan tugas perkembangan sesuai dengan usia atau fase turnbuhkembang anak. Sebagai contoh, ketika anak berusia 0 - 18 bulan tugas perkembangan yang hams dilewati adalah apakah saya dapat

mempercayai dunia atau segala sesuatu di luar saya? Psychosocial crisis yang diadapi pada fase ini adalah antara frust and mistrust (Erikson, 1984). Orang

lain terdekat pada fase ini adalah Ibu, atau orang lain yang menjadi representasi Ibu (alternative caregiver).

Dalam teori bonding atau attachment, respon orangtua dalam menghadapi krisis tersebut adalah satu di antara dua aiternatif di bawah ini.

1. Marnpu dan terampil memberikan kelekatan yang aman (warm and responsive care), sehingga anak berhasil melewati krisis itu;

2. Atau, orangtua j usteru mefakukan avoidant dm unsecured attachment, sehingga anak kurang atau bahkan tidak berhasil melewati krisis tersebut.

Kalau yang pertama yang mampu diberikan oleh orangtua (Ibu), maka anak akan berhasil rnelewati krisis itu. Orrtpuhya adalah anak rnerasa aman, percaya terhadap segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan memiliki perspesi (perasaan) bahwa dunia merupakan tempat yang positif.

Dalam teori bonding dan atrachrnent, pemaan percaya (trust)

merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya persepsi pada anak bahwa dunia dan lingkungan selain dirinya merupakan tempat yang aman,

(25)

sekeliling dan berhubungan dengan orang lain; sebuah perkembangan yang sangat penting bagi perkembangan berikutnya seperti otonomi dan rasa percaya diri. Bowbl y mengemukakan bahwa bonding atau attachment antma

an& dan orangtua juga merupakan satu jenis sistem keperilakuan yang

diiembangksn untuk kelestarian perkembangan organisme (Salkind, 1 985; Karen, 1990; Hoffman et al., 1994). Yang dimaksud dengan attachment di sini adalah ikatan sosial yang primer (the primary social bonding) yang terjalin

antam anak dm orangtua (caregiver) dm yang memberikan keamanan emosional kepada anak.

Temuan ini memperluas basis teoretik awalnya, yakni teori survival for

the $nest Darwin. Tetapi temuan hi sekaligus menjadi awal gugurnya keyakinan Gessel terhadap peran utama faktor biolog ik sebagai determinan utama perkembangan manusia Menurut Skeels dan Dye, keyakinm ini tidak realistik karena didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan tempat anak berkembang bersi fat normal (Karen, 1 990). Padahal proses perkembangan an& tidak berlangsung Mam suasana vakum (Bigner, 1979). Dengan kata lain, organisme (manusia) bisa survive bukan hanya karena kemarnpuan biologiknya untuk berkompetisi dengan sesamanya, tetapi juga dengan membina kedekatan dan ikatan dengan orang lain. Untuk kasus anak, orang lain itu adalah orangtuanya.

(26)

mereka mampu mengeksplorasi lingkungan, membina hubungan sehat dengan

orang lain dan rnampu menangani keragamm. Ainsworth melalui metode

Strange Situation membagi attachment ke dalam tiga kelompok, yakni secure attached, insecurely attached dan avoidant attached (Karen, 1 990; Schickedanz, 1 995). Secure infant menggunakan orangha, terutama Ibunya, sebagai agent atau basis rasa ingin tahu atau untuk mengeksplorasi Iingkungan. Kedekatan, kehangatan, dan kepekaan orangtua terhadap anak me numb^

persepsi positif pada diri anak bahwa dunia atau lingkungan merupakan tempat arnan, sehingga mereka bebas mengeksplorasi lingkungan dan berhubungan dengan orang lain ("

. . .

responsive mother provides a secure base"). Ainsworth menambahkan, rasa arnan memungkinkan mak untuk bergerak memahami lingkungan, belaj ar darinya dm mendapatkan keterampilan untuk mengatasi apa saja yang dia hadapi di luar (Karen, 1990). Dia juga mengemukakan bahwa,

"...

young children securely attached to their parents are the ones most likely to comply with farnib rules. n e s e children actively seek and

accept the adult's guidance. In this sense, secure chil&en obey voluntarily #om within the relationship, rather than out of coercion fear. "

Temuan Ainsworth menggugurkan pandangan sebelumnya, yang menyatakan kedekatan menciptakan ketergantungan (Karen, 1990). Dia mengemukakan bahwa kedekatan, kehangatan, dm ''keayahbundaan" yang peka tidak menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian

(".

. .

it liberates

and enable autonomy"). Ainsworth menganggap secure attachment dianggap

(27)

mensernai kan mentalitas kepekaan dan kerj asarna (Karen, 1 990). Justeru anak yang berada dalarn kondisi anxiously attachment tidak marnpu mengeksplorasi lingkungan dan berhubungan dengan orang lain. Dia sangat Iengket (cling) dengan orangtua, terutarna Ibunya.

Dalarn eksperimen yang dilakukan oleh Ainsworth, anriozcs& attached

child menangis ketika dipisafikan dari Ibunya dan tetap menangis ketika Ibunya ada kembali. Sebaliknya, avoihnt attached child memperlihatkan kemandiian yang ekstrem. Ia tidak menangis ketika dipisahkan dari Ibunya clan ucuh ketika Ibunya dihadirkan kembali. "Keayahbundaan" seperti ini

menekankan individual autonomy, yang merupakan paradigma "keayahbundaan" di negara Barat (Megawangi, 1993). Paradigma ini sangat meyakini otonomi individual merupakan karakter utama manusia modern. Tetapi Damon menyanggah pendapat itu, dengan mengemukakan bahwa tidak banyak bukti ilmiah mendukung pandang an itu (Megawangi, 1 993). Justeru sinergi dan kesalingbergantungan oleh Naisbitt ( I 996) dan Covey ( 1 994) dianggap sebagai karakter kepribadian tertinggi dalam perkembangan kepribadian manusia, sedangkan kemandirian merupakan tahrtpan menengah.

Pye rnenarnbahkan, kebudayaan y ang mementingkan keding-

(28)

berandil besar pada pembangunan sosial ekonomi dan SDM (Megawangi, 1993).

Megawangi (1 993) menegaskan, sikap kebersamaan dm saling ketergantungan antarindividu akan membawa indiv idu merasa aman. Rasa m a n ini

akan

membuat manusia merasa bebas dari tekanan-tekanan, sehingga dapat mendorong individu untuk bertindak kreatif. Pembentukan sikap-sikap seperti ini h a m dimulai di dalam kelwga.

Kaidah seperti ini juga berlaku untuk Mapan perkembangan berikutnya. Sebagai contoh, fase kedua (early childhood) dan ketiga (play age), menurut teori Freud, merupakan periode yang sangat kritis, karena anak dapat memahami dm menyerap stimulus dari lingkungan, terutama orangtua (Salkind, 1985). Orangtua lebih dorninan pada fase ini daripada hanya Ibu

(mothering). Ruben (1988) mengemukakan bahwa pada periode kritis ini sosialisasi dan cara berkomunikasi orangtua dengan anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku dm kepribadian anak. Masalahn ya adalah, mampu clan terarnpilkah orangtua berinteraksi dan berkomudasi secara sehat dengan anaknya? Atau, mampukah orangtua menunaikan tugas perkembangannya untuk mendukung tugas perkembangan anak?

Teori kedekatan positif di atas memiliki implikasi praksis yang strategis. Pertama berkaitan dengan persoalan berapa jam yang hams dicurahkan oleh orangtua dan Ibu Wlususnya untuk dan bersama anak. Dengan kata lain, berapa jam orangtua hams rnenyisihkan waktu untuk "keayahbundaan"? Di Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Etzioni

(29)

sehingga Wexler mengemukakan bahwa ". . . the great test for American

Society will be this: Whether we are capable of caring and sacrificing for the

future of children" (Etzioni, 1 993).

Kedun, teori kedekatan positif sedang mengalami benturan dengan feminisme, yang menganggap teori ini secara tidak langsung menyarankan a

stay-at-home role bagi perempuan atau Ibu (Etzioni, 1993). Untuk kasus negm Jepang, hasiI kajian Imamura (199 1) rnenggugurkan anggapan bahwa keterlibatan perempuan, Ibu khususnya, da1a.m s e b r publik bertentangan atau bahkan mengalahican "keayahbundaan": It is likely that women will continue to

sustain traditional Japanese values while preparing their children and

adjmting themselves to new economic realities. Jadi, partisipasi perempuan di sektor publik ti& ditafsirkan dalarn konteks pembebasan perempuan dari peran keibu-rumahtanggaan, seperti yang menjadi pilar gerakan feminisme di Barat. Menurut Dizard dan Gddin motivasi untuk semata pemenuhan pengembangan diri sendiri dari partisipasi perempuan dalam sektor publik akan membentuk lingkungan atau ekologi tumbuhkembang anak dalam keluarga yang tidak kondusi f (Myers, 1 992).

Keterarnpilan "Keayahbundaan" dan Perkembangan Anak

Beberapa istilah memiliki arti harnpir sama dengan konsep "keayahbundaan," seperti caring, rearing, socializabion, mothering dan

fathering. Penelitian ini berfokus pada asuhan (caring) yang dilakukan oleh

Ibu dan Ayah dalam institusi keluarga. Asuhan yang dilakukan oleh Ibu

(30)

disebut "keayahbundaan," yakni seluruh aktivitas yang berorientasi pada

pemenuhan hak tumbuhkembang anak. la menyangkut, kesadaran, perilaku, dan keterarnpilan orangtua dalarn rnelakukan aktivitas-aktivitas itu.

Klasi fikasi parenting menj adi mothering dm fathering ada kaitannya dengan pergeseran "keayahbunbn" dalarn keluarga dm munculnya ideologi fatherhood, yakni sebuah ideologi yang menyadari pentingnya kehadiran ayah secara fisik, psikologis, dan emosional dalarn proses tumbuhkembang anak.

Shapiro (2003) mengemukakan bahwa kini semakin sulit ditemukan pembagian Ayah dm 1bu seketat yang pernah dulu kita yakini. Ayah dapat berperan pada aktivitas apa saj a sesuai kesepakatan bersarna. 13anyak mitos peran Ayah dalarn keluarga sekarang mulai didekonstruksi seperti mitos pendisiplinan anak hanya tugas ayah, mengganti popok monopoli urusan Ibu,

tugas Ayah mendidik anak laki-laki, dan sikap I bu mempengaruhi j anin.

Dalam banyak bahan pustaka diperkenalkan ragarn model "keayahbundaan." Becker mengaj ukan model tiga dimensi "keayahbundaan" (Schikendanz, 1995). Dimensi perkma disebut serba tak boleh

(restrictiveness) dm serba boleh (permissiveness). Dimensi ini membentuk sebuah kontinum pada sumbu aksis horisontal. Dia mengemukakan bahwa perilaku serba tidak boleh menunjukkan penggunaan kekuasaan orangtua d m penekanan pada kepatuhan dengan sejumlah aturan-aturan main - sebagai alat kontrol

--

yang sudah ditetapkan untuk dipatuhi oleh anak.
(31)

membatasi aktivitas anak. Omgtua dalarn perilaku ini juga sangat kurang menggunakan hukuman fisik.

Dimensi ketiga adalah anxiom emotional involvement-calm detachment.

Perilah yang anxious e m o t i o d involvement ditandai oleh "keayahbundaan" yang cuek dm kurang memkrikan perhatian yang memadai terhadap kebutuhan anak. Sebaliknya, perilaku yang calm detachment cenderung melindungi secara agak berlebihan dengan tingkat keserbabolehan yang tinggi.

Selain tiga dimensi tersebut, model ini juga mengajukan beberapa model "keayahbundaan," seperti perilaku demokratik, yakni perilaku yang tinggi tingkat keserbabolehan, kehangatan, dan calm defacfment-nya. Perilaku autoritarian addah perilaku yang tinggi aspek permusuhan (hostiIity), keserbatakbolehan, dan kecuekannya, sedangkan perilaku melindungi adalah perilaku yang tinggi kehangatannya, tetapi sangat rendah aspek kecuekan dan

keserbatakbolehannya.

Baumrind mengemukakan tiga perilaku "keayahbundaan," yalcni authoritative, authoritarian, dan permissive parenting (Munn, 1 974; Schikendanz, 1995). Tiga perilaku ini dikaitkan dengan aspek kehangatan

(32)

autoritatif, orangtua selalu memberi alasan mengapa mereka melarang atau menuntut sesuatu, dan menunjukkan dampak akibat perilaku an&. Orangtua juga memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pandangannya.

Perilaku permisif terlalu memanjakan dan melindungi anak, sehingga anak terlambat perkembangan kemandiriannya dan selalu bergantung kepada

orangtua. Menurut Shafer, pola "keayahbundaan" seperti ini &an membuat anak cepat menyerah, taklik dan selalu minta izin sebelurn metakukan sesuatu

@a&man, 2000). Apabita palindungan diberikan berlebihan, maka anak tidak kreatif, tidak agresif dalarn mematuhi aturan, dm bahkan tidak mudah bemhabat atau mengembangkan hubungan dengan orang lain.

Menurut Baumrind, "keayahbundaan" yang sehat adalah perilaku yang autoritatif. Megawangi (1993; 2000) mengemukakan bahwa orangtua yang

mampu menerapkan perilaku hi akan dapat mengarahkan anaknya dengan efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong maknya berbuat baik, bisa menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol tindakannya dm menghargai peraturan, sedangkan orangtua yang menerapkan perilaku yang autoritarian lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak menj adi takut

.

Ini kemudian akan rnengharnbat kreativitasnya.
(33)

mengendalikan diri, dan aktif mengeksplorasi lingkungan, sedangkan anak yang dididik dengan perilaku autoritarian secara kognitif lebih bagus perkembangannya daripada anak yang dididik dengan perilaku permisif, dan lebih sungguh-sungguh dalam belajar, tetapi lebih rentan terhadap tekanan (stress).

Steinberg mengajukan empat model "keayahbundaan," yakni

authoritative, authoritarian, tak acuh (neglecmr) dan serba-oke (Schikendanz,, 1 995). Meskipun mirip dengan model Baurnrind, tetapi Steinberg

mengemukakan bahwa pola "keayahbundaan" ini cowk untuk menj elaskan ragam "keayahbundaan" pada anak usia dewasa. Dia mengemukakan bahwa orangtua yang autoritarian han ya tinggi pada aspek kontrol dan kekebtan, tetapi rendah pada aspek penerimaan d m keterlibatan. S ebaliknya, orangtua yang penyabar tinggi pada aspek penerirnaan dan keterlibatan, tetapi rendah pada aspek keketatan dan kontrolnya. Orangtua yang penyabar cenderung permisif. Di sisi lain, orangtua yang autoritatif tinggi tingkat penerimaan, keterlibatan, keketatan (strictness) dan kontrolnya, sedangkan orangtua yang tak acuh rendah pada keempat asp& itu. Hasil penelitian yang menerapkan model Steinberg ini menunjukkan hal-ha1 berikut : "keayahbundaan" yang autoritati f selalu dikaitkan dengan tingginya prestasi akademik anak clan ketekunannya menge j akan tugas (work orientation). An& yang dididi k dengan cara hi juga memiliki aspirasi untuk bersekolah lebih tinggi (school

(34)

dihubungankan dengan prestasi akademik yang baik dan rendahnya penyalahgunaan alkohol oleh anak. Tetapi biasanya rnereka kurang percaya diri, sedmgkm "keayahbundaan" yang tak acuh dan penyabar selalu dikaitkan dengan anak yang memiliki pandangan positif mengenai dirinya, tetapi school

orientation-nya relatif lebih rendah daripada anak yang dididik dengan perilaku autoritatif.

Elkind (1 98 1 ) mengembangkan tiga jenis gaya "keayahbundaan," yakni

demokratik, bebas (laissez-faire), dan autoritarian. Pola-pola ini diiembangkan

dari teori kuntrak orangtua-anak, yang berturnpu pada keseimbangan antma tanggung jawab dan kebebasan (respnsibili@-freedom contract) kedua belah pihak (orangtua-anak). Menurut teori ini, orangtua hams dengan peka memantau taraf perkembangan kognitif, emosional dan sosial anak agar

orangtua mampu dengan tepat membebankan tanggung jawab tertenhr tanpa mendeprivasi kebebasan anaknya. Gaya "keayahbundaan" dernokratik adalah perilaku orangtua yang mampu mengkombinasikan dengan irnbang antara

tanggung jawab dan kebebasan itu.

Gagasan Elkind (1 98 1 ) tentang keseimbangan antara tanggung j awab dan kebebasan sebangun dengan pandangan Shapiro (2003) tentang keseimbangan antara kemandirian d m ketergantungan. "Keayahbundaan"

(35)

menumbuhkan kemampuan membedakan antara self dan others. Anak yang tumbuh dab berkembang dengan sehat adalah anak yang mampu berkreasi dm mengeksplorasi rasa ingin tahunya (dimensi kemandirian), tetapi tetap d a r n kerangka kedekatan (keterikatan) pada orang-orang lain. Atau, dalam kedekatan dengan orangtua dan orang lain (dimensi ketergantungan), anak mampu bereksperimen dan berkreasi dalam rnemanfaatkan potensi kemmdiriannya Kombinasi kemandirian dan ketergantungan menciptakan perkembangan kepribadian yang purna, yang oleh Covey (1994; 2000) dan Naisbitt (1996) disebut kesalingtergantungan atau sinergi.

Dikaitkan dengan tiga jenis perkembangan anak, orangtua yang demobatik adalah orangtua yang mampu membebankan tanggung jawab

sesuai dengan taraf perkembangan kognitif, emosional dan sosial anak. Sebaliknya, orangtua yang membebankan tanggung jawab dan memberikan kebebasan anak tidak sesuai dengan taraf perkembangannya adalah orangtua yang autoritarian atau laissez-faire. Menjadi autoritarian bila tanggung j awab

yang dibebankan jauh melebihi kebebasan dan Iebih tinggi daripada taraf perkembangan anak; menjadi laissez-faire jika tanggung jaw& itu lebih rendah daripada taraf perkembangannya. An& yang dibesarkan dengan perilaku autoritarian akan hunbuh dan berkembang terlalu cepat dan terlalu dini. Anak seperti hi oleh Elkind disebut anak yang mengalami pendewasaan atau hurried child, sedangkan anak yang di besarkan dengan perilaku laissez- faire &an tumbuh dan berkembang dengan lamban.

(36)

Teori ini memiliki tiga dimensi; saIah satu di antaranya adalah dimensi kehangatan "keayahbundaan" (warmth dimension ofparenting), yang berfokus pada analisis dampak psikososid variasi model "keayahbundaan" (penolakan

atau penerimaan) yang diterapkan oleh orangtua terhadap perkembangan kognitif, sosial dan emosional anak. Dia mengemukakan bahwa anak di mana pun mengalami pola "keayahbundaan" yang bersifat penolakan, penerimaan atau kombinasi keduanya. Baik yang bersi fat penerimaan maupun penolakan, keduanya menimbukan dampak perkembangan yang berbeda. Pola penerimaan

dan

penolakan membentuk sebuah sebuah garis konthum. Penerimaan merupakan "keayahbundaan" yang paling ideal (sehat), sedangkan penolakan rnmpakan praktik yang paling tidak ideal (tidak sehat). Secara empirik, orangtua jarang bisa mencapai tingkatan ideal itu. Akan tetapi, pola "keayahbmdaan" ideal, menurut dia, dapat dipelajari, disosialisasikan dan dipasarsosialkan.
(37)

kontinum lain terdapat perilaku penolakan, yang terdiri atas tiga subset perilaku, yakni permusuhan atau agresi (hostiIi~/aggresssion), sikap indyeren

atau sikap tak acuh (indrfferencdneglect) d m penolakm yang tak terdi fferensiasi (undl fferentiated rejection).

Menurut Rohner, memusuhi anak yang mencakup perasaan marah, membenci anak, sedangkan sikap indzfleren menggambarkan kurangnya kepedulian orangtua terhadap

anak.

Agresi dan sikap tak acuh merupakan menifestasi perasaan internal tersebut. Agresi dibagi rnenjadi agresi fisik (seperti menggigit, menendang, memukul) dan verbal (seperti menyumpahi, mengejek, meremehkan). Agresi &pat berupa sikap memusuhi, sedangkan sikap indzferen bisa menjadi penyebab munculnya sikap talc acuh kepada

an&. Indikator sikap tak acuh adalah tiadanya kehadiran fisik dan nonfisik omngtua. Ketidakhadiran fisik Iebih mmgkin rnenyebabkan ketidakhadiran

psikologis, tetapi kehadiran fisik tidak selalu berimplikasi kehadim psikologis. Anak dapat merasakan kehadiran fisik orangtua, misalnya ketika orangtua berada di rumah, tetapi bisa saja tidak merasakan oranghmnya hadir secara psikologis (Gambar 2).

Aspek ketiga perilaku penolakan adalah penolakan yang tidak terdifferensiasi. Perilaku ini bersi fat perseptual, yalcni sej auh mana kasih sayang, perhatian dan kehangatan itu secara riil dirasakan oleh anak.

(38)

DIMENSX KEHANGATAN & PERMUSUHAN PARENlTNG

PENERIMAAN ORANGTUA PENOLAKAN ORANGTUA

mSIK VERBAL

Hendum Mcmbcrlpdlan

Mendekap Henghargal

Mernbslal Hengahhn hal-hal p n g brhk Hemduk tarmasuk tentang dlrl anak

Dsb. Dsb.

L

VERBAL

Menyumpahi Mwspefek dan

mengitakan sapuatu

.

yang tidak balk

.

Menyindirpsdas

.

Mermehlcan

Membentak rn

k b .

Katidakhmdlrsn nslk Ketldakhsdtmn psikologlk

K e t l d a ~ l t a n amadonal Acuh brhadap kabuhrhan anak Amh brhadap -man anak

[image:38.812.58.749.82.504.2]

m a k tarhadap emod anak Dsb.

Gambar 2. Model Keayahbundaan Penerimaan dan Penolakan

E N O W N TAK TERDIFFERENSUSI

*

Anak ma- b k dld-1

Anak mema b k diamtasi Anak merara tak dlasuh

Anak mar- tak dihamai

Anak merepa tak d l m m l

Dsb.

(39)

Meskipun demikian, mak itu sendiri kerap tidak merasa bahwa orangtuanya menyayangi, mencintai dan memiliki perhatian kepadanya. Untuk kmus penoldcan jenis ini, Rohner menyarankan agar digunakan pendekatan fenornenologis dalam penelitian untuk melengkapi metode home-based observation.

Lalu, bagaimma hasil penelitian mengenai hubungan antara dua pola "keayahbundaan" itu dengan perkembangan anak. Menurut R o b (1 9861, dampak "keayahbundaan" ini sebenamya bisa dialami sejak bayi, tetapi dampak ini akan terlihat lebih jelas paling tidak ketika anak sudah berusia mam tahun. Pada usia ini, perkembangan kognitif, emosional dm sosial an& sebagai dampak perilaku tersebut bisa diamati dengan lebih jelas. Selain itu, an& pada usia ini juga bisa merasakan cinta clan kasih sayang orangtuanya.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerimaan berkoreIasi posit if dengan perkembangan kognitif, emosional, clan sosial anak, sedangkan peno1aka.n berkorelasi negatif dengan perkembangan

&.

Anak secara

emosional menjadi tidak stabil dm secara sosial tidak peka. Bahkm Horney (Rohner, 1 986), Gelles (1 9801, dm Woititz (1 992) mengemukakan bahwa perilaku penolakan akan memhtuk siklus antargenerasi, dalam pengertian bahwa anak yang dulu dididik dengan pola "keayahbundaan" penolakan juga

&an menerapkan cara yang sama ketika mereka menj adi omgtua.

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa penolakan menjadi penyebab evaluasidiri negatif pada anak. Anak menjadi kurrtng rnantap (lack of serf-adequacy) dan kurang percaya diri (Cooley dm Mead dalarn Rohner,

(40)

penolakan, kemarnpuannya untuk mengembangkan hubungan dengan kelompok bemain terharnbat. Mereka juga menj adi kurang toleran (Englsh and English, 1958).

Hasil penelitian Richardson rnenemukan bahwa mahasiswi yang mencapai nilai uji berfrkir kreatif tinggi berasal dari kelwga yang menerapkan perilaku penerimaan. Sebalilmya, yang berasal dari keluarga dengan perilah penolakan nilainya lebih rendah (Rohner, 1986). Esty mengemukakan bahwa pemimpin organisasi kemahasiswaan addah anak omgtua dengan "keayahbundaan" yang sehat (Rohner, 1 986). Prestasi akademik mereka juga jauh lebih baik daripada anak orangtua dengan

"keayahbundaan" penoIakan (Hahn, 1 980; Starkey, 1 980).

Banyak hasil penelitian lain mendukung temuan-temuan di atas. Intinya adalah, perilaku penerimaan besar sekali dampaknya terhadap perkembangan a d c , baik perkembangan kognitif, emosional maupun sosial. Karena itu, perilaku ini menjadi sangat penting untuk disosialisasikan atau disuluhkan. Paling tidak, sosialisasi atau penyuluhan pola "keayahbundaan" sehat ini akan dapat memotong j alur dampak siklis lintas generasi pola "keayahbundaan" penolakan seperti dikemukakan oleh Horney dan Gelles di atas.

Perkembangan terakhir rnenunjukkan adanya minat yang semakin kuat terhadap upaya perbaikan "keayahbundm." Kernajuan ekonomi dan

(41)

saat-saat yang sangat sulit menjadi orangtua dan anak, karena pengaruh ekstemal yang hams dihadapi oleh orangtua dm anak semakin besar.

Sehubungan dengan dam@ perkembangan teknologi informasi, Comer mengernukakan bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, baru sekarang ini terdapat masa yang dipenuhi oleh begitu banyak infomasi yang menerpa anak tanpa disaring oleh orang dewasa @lias et al., 2000). Karena itu, orangtua sekarang perlu diperlengkapi dengan pardigma "keayahbundaan" bam, yang diibut

"

keayahbundaan" berbasis

EQ

(emotionally intelligent parenting), yang di dalamnya terdapat lima prinsip "keayahbundaann yang sehat, yaitu (1) menyadari perasam sendiri dan perasaan anak; (2) menunjukkan empati dan memahami cam pandang anak; (3) mengatur dan mengatasi dengan positif gej olak emosional dm peril& anak; (4) berorientasi pada tujuan dan rencana yang positif; ( 5 ) menggunakan kecakapan sosial positif

Gambar

Gambar 1. Landasan Filosofik dan Paradigmntik Penelitian
Gambar 2. Model Keayahbundaan Penerimaan dan Penolakan
Gambar 3. Produk Sosial, Kelompok W a n .  dan Perubahan Perilaku
Gambar 4. Kerangka Pemikixan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jumat tanggal lima belas bulan April tahun dua ribu enam belas, dimulai pada pukul 10.00 s/d 12.00 Wib melalui aplikasi SPSE pada LPSE Kabupaten

mempunyai SOP kegiatan identifikasi flora dan fauna yang mencakup untuk seluruh jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi, langka, jarang, terancam punah dan

Sistem pembelajaran adalah mekanisme pelaksanaan pembelajaran pada program studi untuk memperoleh capaian pembelajaran lulusan yang mencakup: 1) metode dan bentuk

Gambar 4.11 Daya pompa yang dihasilkan dari beberapa variasi jumlah tabung tekan, menggunakan variasi head 3,25m, volume eter 717ml, dan volume udara tekan pada tabung tekan

Pada ketika itu, Kandungan Kurikulum Standard Sekolah Rendah (KSSR) telah dijajarkan bagi tujuan kegunaan pengajaran dan pembelajaran bagi memenuhi keperluan pembelajaran

Aktív kritikus volt ellenben Schöpflin Aladár, aki minden különbség ellenére Horváthoz hasonlóan úgy látta, hogy „(…) az irodalom organikus valami, a

After Knowing the students‟ score in test ( Pre -test and Post-test ) and also know the average in each group or class ( experimental and control class ), it can be seen in

Meskipun pada hakekatnya Komisi Pemberantas Korupsi yang merupakan lembaga superbody yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan