• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU NYERI PASIEN POSTOPERASI

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

OLEH

DWI SISKA WARDANI 071101102

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Dwi Siska Wardani Jurusan : Sarjana Keperawatan Tahun : 20011

ABSTRAK

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptive, sampel diambil dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel 23 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner demografi dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain Behavior

Observation Protocol).

Dari hasil penelitian didapatkan hampir dua pertiga responden (69,6%) mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang, diikuti oleh perilaku nyeri rendah (17,4%) dan hanya (13%) responden yang mengekspresikan perilaku nyeri di tingkat tinggi, sedangkan dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur

sighing (menghela napas) adalah perilaku yang paling berkontribusi terhadap

perilaku nyeri yang diekspresikan oleh responden (M = .73, SD = .44), sedangkan perilaku braching (pergerakkan tubuh yang kaku) merupakan perilaku nyeri yang kontribusinya paling rendah terhadap perilaku nyeri yang diekspresikan oleh responden (M= .34, SD= .48).

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih baik untuk perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan fenomena nyeri, perawat tidak hanya fokus kepada nyerinya saja, tetapi harus fokus juga terhadap perilaku nyeri pasien sehingga perawat dapat memanajemen nyeri pasien menjadi lebih baik

(4)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena

berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik Medan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis

untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan dan

dukungan dan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M. Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai

Pembantu Dekan I Fakultas Sumatera Utara.

2. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS sebagai dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran

serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan

juga memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama

proses penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M. Kes selaku dosen pembimbing skripsi II

yang telah banyak memberi masukan-masukan yang bermanfaat bagi

skripsi ini.

4. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku penguji yang telah banyak memberikan

(5)

5. Seluruh dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara yang telah banyak memberikan pendidikan kepada saya selama

proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi

saya secara administrasi.

6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah

memberikan izin penelitian, dan kepada seluruh perawat di Ruang Rindu B

yang telah membantu saya selama proses penelitian.

7. Teristimewa kepada kedua Orang Tuaku Papa Bambang Sugiarto, Ibunda

Sumini dan kepada adindaku, Astria Wida Yulika, S.Pd. dan Novita Ratna

Sari yang telah memberikan doa, cinta dan dorongan kepada saya.

8. Tersayang buat suamiku M. Ridwan dan ananda tercinta Fatthura Raffasya

Alfarezel yang selalu berdoa dan menyayangiku, memberi dukungan dan

semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa/i S1 Jalur B Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara, Stambuk 2009 yang telah memberikan semangat dan

masukan dalam penyusunan skripsi ini kepada sahabatku (ellis, jojor, evi,

kak erna) serta seluruh orang-orang yang kusayangi yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, yang tak pernah henti menasehatiku dan memberi

motivasi untuk belajar dan segera menyelesaikan kuliah dengan baik.

10. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan partisipasinya

dalam penelitian saya.

11. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya

(6)

dalam penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan

di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Semoga Allah SWT melimpahkan berkah, rahmat dan karunia-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu saya. Harapan saya semoga skripsi ini

bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama

keperawatan

Medan, Januari 2011

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Skema ... ix

Daftar Tabel ... x

BAB 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Pertanyaan Penelitian 3. Tujuan Penelitian 4. Manfaat Penelitian BAB 2. LANDASAN TEORITIS 1. Konsep Nyeri 1.1. Defenisi Nyeri ... 7

1.2. Klasifikasi Nyeri ... 8

1.3. Fisiologi Nyeri ... 11

1.4. Stimulasi Nyeri... 14

1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 14

2. Teori Nyeri 2.1. Teori Pemisahan (Svecivicity Theory) ... 17

2.2. Teori Pola (Pattern Theory) ... 18

2.3. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory) ... 18

(8)

3. Nyeri Post Operasi

3.1. Defenisi ... 21

3.2. Pengkajian Nyeri Post Operasi ... 22

3.3. Manajemen Nyeri Post Operasi ... 27

4. Perilaku Nyeri 4.1. Defenisi Perilaku Nyeri ... 31

4.2. Tipe-tipe Perilaku Nyeri ... 32

4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 34

4.4. Instrumen Perilaku Nyeri ... 37

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual... 41

2. Kerangka Penelitian ... 42

3. Defenisi Operasional ... 42

BAB 4. METODELOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 44

2. Populasi dan Sampel ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4. Pertimbangan Etik ... 45

5. Instrumen Penelitian ... 46

6. Tehknik Pengumpulan Data ... 49

7. Analisa Data ... 50

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian... 52

(9)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan ... 62

2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 63

2. Instrumen Penelitian ... 64

(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Pnelitian Pasien Post Operasi di Rumah

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis... 10

Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Karakteristik Responden... 53

Tabel 3. Distri busu Frekuensi dan Persentase Perilaku NyeriPasien

Post Operasi di RSUP H. Adam Malik Medan... 55

Tabel 4. Mean dan Standar Deviasi Parameter Perilaku Nyeri

(12)

Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Dwi Siska Wardani Jurusan : Sarjana Keperawatan Tahun : 20011

ABSTRAK

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptive, sampel diambil dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel 23 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner demografi dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain Behavior

Observation Protocol).

Dari hasil penelitian didapatkan hampir dua pertiga responden (69,6%) mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang, diikuti oleh perilaku nyeri rendah (17,4%) dan hanya (13%) responden yang mengekspresikan perilaku nyeri di tingkat tinggi, sedangkan dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur

sighing (menghela napas) adalah perilaku yang paling berkontribusi terhadap

perilaku nyeri yang diekspresikan oleh responden (M = .73, SD = .44), sedangkan perilaku braching (pergerakkan tubuh yang kaku) merupakan perilaku nyeri yang kontribusinya paling rendah terhadap perilaku nyeri yang diekspresikan oleh responden (M= .34, SD= .48).

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih baik untuk perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan fenomena nyeri, perawat tidak hanya fokus kepada nyerinya saja, tetapi harus fokus juga terhadap perilaku nyeri pasien sehingga perawat dapat memanajemen nyeri pasien menjadi lebih baik

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Nyeri adalah konsep yang kompleks untuk dipahami. Di dalam area praktek

keperawatan, nyeri mungkin salah satu fenomena klinik yang sering dihadapi

(Montes-Sandoval, 1999 diambil dari Harahap, 2007). Nyeri bukan hanya

pengalaman sensori tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan emosi pasien

(Melzack and Casey, 1968 diambil dari Harahap, 2007). International Association

for the Study of Pain, (IASP) mendefenisikan nyeri sebagai “suatu sensori

subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam

kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan” (IASP, 1979 dikutip dari Potter &

perry, 2006). Nyeri didefenisikan sebagai persepsi-sensori pada sebuah jaringan

yang rusak dan berhubungan dengan emosional dan respon perilaku (Rudolph et

al, 1995).

Nyeri merupakan masalah utama yang dirasakan oleh sebagian besar pasien

yang mengalami hospitalisasi, termasuk didalamnya pasien postoperasi (Erniyati,

2002). Nyeri postoperasi biasanya berlokasi pada area pembedahan. Intensitas

nyeri yang dirasakan tergantung pada lokasi, jenis pembedahan, persepsi pasien

tentang nyeri dan lain-lain. Menurut Wulandari (2005), dikutip dari (Good &

Roykulcharoen, 2004) nyeri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian,

bukan hanya pada pasien post operasi saja, karena nyeri dapat berdampak negatif

terhadap derajat kesehatan pasien. Nyeri dapat mengganggu fungsi-fungsi tubuh

(14)

Nyeri postoperasi merupakan nyeri akut yang terjadi setelah intervensi

bedah yang memiliki awitan yang cepat. Ketika suatu jaringan mengalami cedera

atau kerusakan mengakibatkan dilepaskanya bahan-bahan yang dapat

menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium, bradikinin,

prostaglandin, dan substansi P yang mengakibatkan adanya respon nyeri (Kozier,

Dkk, 1995). Nyeri juga dapat disebabkan oleh stimulus mekanik seperti

pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri (Taylor, dkk, 1997).

Pada umumnya pasien postoperasi merasakan nyeri yang sangat hebat akibat dari

tindakan operasi yang merusak jaringan dan syaraf sekitar, oleh karena kerusakan

syaraf-syaraf itu, maka ujung-ujung syaraf menyampaikan stimulusnya ke sistem

syaraf pusat, dan timbulah persepsi nyeri (Sjamsuhidajat & Jong, 1998).

Reaksi manusia terhadap nyeri khususnya nyeri kronik berbeda-beda (Turk,

1990). Reaksi ini dibedakan atas beratnya perasaan sedih dan keadaan sosial

seseorang (McCracken, 1998). Banyak faktor seperti pengalaman masa lalu

dengan nyeri, tehnik koping, motivasi untuk menahan rasa sakit dan seluruh

tingkat energi semua menambah variasi dalam mentoleransi rasa nyeri dan

pengalaman nyeri secara subjektive (McCaffery & Pasero, 1999), diambil dari

Harahap (2007). Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri sudah pasti

perilaku berhubungan dengan nyeri yang terjadi (Fordyce, 1976). Pasien dengan

laporan nyeri yang tinggi juga akan mengekspresikan perilaku nyeri yang tinggi

pula (Harahap, Petpichetchian, Kritpraccha 2007). Fordyce, Fowler dan Lehmann

dan kolega (1973) menyatakan bahwa pasien yang mengalami nyeri pasti akan

memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat dilihat dan diobservasi. Perilaku ini

(15)

mengalami nyeri (Fordyce, 1976). Perilaku nyeri merupakan suatu aspek yang

menyangkut tentang pengalaman nyeri. Ini adalah keadaan yang tampak jelas

kelihatan seperti gerakan anggota badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976)

dikutip dari Harahap ( 2007).

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal, perilaku

vocal, ekspresi wajah gerakkan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau

perubahan respons terhadap lingkungan (Smeltzer & Bare, 2001). Klien yang

menunjukkan tanda-tanda nyeri akut seperti berkeringat, tensi otot meningkat,

atau mengaduh merupakan pernyatan terhadap nyeri. Perawat harus mampu

mengobservasi ekspresi nyeri klien pada satu atau lebih kategori respon perilaku

antara lain : fisiologis, respon verbal, fokal gerakan tubuh, kontak fisik dengan

yang lain dan respon secara umum terhadap lingkungan. Kemunculan dan

kekuatan sensasi nyeri merupakan indikasi dari ekspresi nyeri dan harus

dibedakan dengan toleransi nyeri klien terhadap nyeri. Toleransi nyeri merupakan

kemauan klien untuk menahan lamanya atau kuatnya nyeri tanpa bantuan nyeri

(Reeder, Koniak-Griffin & Martin, 19997).

Nyeri adalah frekuensi yang sering menunjukkan rasa yang tidak nyaman

pada anak-anak dan orang dewasa setelah operasi pembedahan. Defenisi menurut

Mccaffery (1979) menyatakan bahwa nyeri adalah apa-apa saja yang

diekspresikan seseorang untuk melaporkan adanya nyeri yang dirasakan dan

apa-apa saja perilaku yang ditunjukan oleh pasien postoperasi (diambil dari Matziou &

(16)

Menurut Harahap (2007) pada prakteknya, perilaku nyeri tidak umum

digunakan dalam mengkaji nyeri pasien. Akan tetapi bagi pasien yang tidak dapat

melaporkan atau mengeluhkan nyerinya dengan mengobservasi perilaku yang

diperlihatkan oleh pasien pada saat pasien mengalami nyeri dapat memberikan

pemahaman tentang nyeri yang dialaminya.

Perilaku nyeri ini meliputi berbagai perilaku yang dapat diobservasi ketika

seseorang mengalami nyeri. Perilaku nyeri yang dapat dinilai ketika seseorang

mengalami nyeri meliputi 5 parameter yaitu, (1) guarding yaitu menjaga area yang

sakit, (2) braching yaitu pergerakan anggota tubuh yang kaku, (3) rubbing yaitu

meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit, (4) grimacing yaitu berkaitan

dengan ekspresi wajah, (5) sighing yaitu menghela napas (Harahap, 2007)

Data yang dikumpulkan dari 100 orang anak-anak yang mengalami nyeri

postoperasi selama tiga hari setelah pembedahan. Menurut PPBL (Pediatric Pain

Behavior List) yang diambil dari Matzio & Kyritsi, (2004) ditemukan sebanyak

90% anak mempertahankan posisi tubuh tertentu ketika nyeri, 84%

membungkukkan badan, 78% diam atau tenang, 61% menutup kedua mata

mereka dan 58% menunjukkan pergerakkan perlindungan dengan tungkai mereka.

Perilaku tersebit sedikitnya menunjukkan paling sedikit : (1%) susah tidur, (2%)

pusing, (2%) histeris, (2%) menendang, (3%) berteriak/menjerit,

89 indikator perilaku nyeri postiperasi pada orang dewasa menurut penelitian

yang dilakukan oleh Sheila A. Decker (2009) mencapai 80% setuju pada 22

(17)

sampai empat kategori perilaku nyeri yaitu, isyarat perilaku nonverbal, vokalisasi

suara, ekspresi wajah, dan perubahan perilaku biasanya (http://cnr.sagepub.com).

Dewasa ini perilaku nyeri menjadi issue yang hangat didalam dunia

kedokteran termasuk juga dalam profesi keperawatan maka untuk itu berdasarkan

penjelasan diatas maka penulis ingin mengetahui bagaimana perilaku nyeri yang

diekspresikan oleh pasien postoperasi. Penulis juga merasa bahwa perilaku nyeri

sangat penting untuk diteliti untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien yang

mengalami nyeri khususnya nyeri setelah tindakan operasi.

2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien postoperasi?

3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien

postoperasi.

4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat terhadap berbagai aspek, yaitu :

4.1 Bagi praktek keperawatan.

Dalam praktek keperawatan hasil penelitian ini barmanfaat untuk

meningkatkan pengetahuan perawat yang adequat dalam

mengidentifikasi nyeri pasien melalui perilaku pasien dan dapat dijadikan

sebagai salah satu pedoman bagi perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien postoperasi dalam rangka memepercepat proses

penyembuhan sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan

(18)

4.2 Bagi pendidikan keperawatan.

Dalam bidang pendidikan keperawatan hasil penelitian ini dapat

digunakan oleh perawat pendidik untuk mengembangkan metode

pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa

dalam memahami perilaku nyeri khususnya perilaku nyeri pada pasien

postoperasi dan mempersiapkan mahasiswa untuk menerapkanya dalam

pemberian asuhan keperawatan.

4.3 Bagi penelitian keperawatan.

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi

peneliti, sehingga dapat menerapkan pengetahuan ilmiah yang diperoleh

untuk penelitian yang akan datang mengenai keefektipan protokol

perilaku nyeri terhadap peningkatan kesehatan pasien yang mengalami

(19)

BAB 2

LANDASAN TEORITIS

Dalam bab ini dibahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang

akan dilakukan, yaitu :

1. Konsep Nyeri 1.1 Defenisi Nyeri.

Menurut Tarcy (2005) Dikut ip dari International Association for the Study

of Pain (IASP, 1994), mendefenisikan nyeri sebagai perasaan dan pengalaman

sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, nyeri selalu bersifat subjektif

karena perasaan nyeri berbeda-beda pada setiap orang dalam hal skala atau

tingkatannya. Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul

ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk

menghilangkan rangsangan nyeri (Curton, 1983).

Menurut Feurst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu

perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan

ketegangan. Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif,

berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh

seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin, 1984).

Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang

dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang

nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman

(20)

namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk

mengatasi nyeri.

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 1997). Nyeri juga dapat

disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada

reseptor nyeri. (Taylor & Priccila, 1997 ). Menurut Shweder & Sullivan, 1993

nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh

faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi dalam

tubuh seperti, emosi, motivasi (dukun gan) dan kesadaran, dan semuanya itu

dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa (diambil dari suza, 2007).

1. 2 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan

nyeri kronis (Long, 1989).

Nyeri Akut, nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak

dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya

peningkatan tegangan otot (Long, 1989). Nyeri akut merupakan mekanisme

pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan, secara fisiologis terjadi

perubahan denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah perifer,

tegangan otot, keringat pada telapak tangan,. Pasien dengan nyeri akut sering

mengalami kecemasan (Berger, 1992). Nyeri akut biasanya berlangsung secara

singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang

mengalami nyeri akut biasanya menunjukan gelala-gejala antara lain : respirasi

(21)

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan

cidera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah

tarjadi. Hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi

dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara

potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada

penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya

penyembuhan, nyeri ini pada umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan

biasanya kurang dari satu bulan. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang

berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Cidera atau penyakit yang

meenyababkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan

pengobatan (Smeltzer & Bare, 2001). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan

akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang

dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada araea yang rusak

( Potter & Perry, 2005).

Nyeri Kronis, nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara

perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam

bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom

nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Long, 1989). Nyeri kronis dibedakan dalam

dua kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik nonmaligna.

Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi

meskipun penyebabnya mudah ditentukan , nyri kronis dapat menyebabkan klien

merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin

menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan

(22)

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

suatu periode waktu, nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan

dengan tepat dan sering sulit untuk di obati karena biasanya nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang di arahkan pada penyebabnya.

Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam

bulan atau lebih nyei kronis tidak mempinyai tujuan yang berguna dan jika hal ini

menetap, ini menjadi gangguan utama (Smeltzer & Bare, 2001).

Tabel : Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis

Karakterstik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Tujuan/keuntungan meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastro intestinal menurun, aliran saliva menurun (mulut luar, menarik diri dari persahabatan

Tidur terganggu, libido menurun, nafsu makan menurun.

(23)

Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori,

diantaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar. Selain klasifikasi nyeri di atas,

terdapat jenis-jenis nyeri berdasarkan lokasi nyeri, yaitu : nyeri somatik, nyeri

visceral, nyeri menjalar (referent nyeri), nyeri psikogenik, nyeri phantom dari

ekstrimitas, nyeri neurologist, dan lain-lain. Nyeri somatik dan nyeri viskeral ini

umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (supervisial) pada otot

dan tulang. Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain,

umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera organ visceral. Nyeri psikogenik

adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis. Nyeri

phantom adalah nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstrimitas di amputasi.

Nyeri neurologist adalah bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di

sepanjang atau dibeberapa jalur syaraf (Long, 1989).

1.3 Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus

penghasil-nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri

memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan

akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat

pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus

nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks

serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak

menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan

pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan

(24)

Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat

kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi

saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke

otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di

sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima

sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat

sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama

kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi

nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak

kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin

dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor & Le mone,

1997).

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.

Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf

sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang

tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri,

hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat

adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi

seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang

dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi.

Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis (Long, 1989).

Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan

berupa impuls-impuls nyeri ke sum-sum tulang belakang oleh dua jenis seabut

(25)

impuls-impus yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor

yang ditransmisikan ke serabut C. serabut-serabut afferent masuk ke spinal

melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri

atas beberapa lapisa laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga

terbentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian,

impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan

bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic

trac (STT) atau jalur spino thalamus dan spinoreticular trac (SRT) yang membawa

informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi terdapat dua jalur

mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalu nonopiate. Jalur opiate

ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens

dari thalamus yang melalui otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari

sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nonciceptor impuls supresif.

System supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang ditransmisikan oleh

serabut A (Long, 1989).

Rasa sakit ditransmisikan dari saraf melalui tulang belakang menuju otak,

ketika ada kerusakan jaringan akibat luka, benturan, patah tulang, atau bengkak

sinyal-sinyal tertentu dikirim melalui urat syaraf, tergantung dari jenis urat

syarafya, rasa sakit yang dirasakan akan memiliki karakteristik yang spesifik rasa

sakit tersebut dapat berupa rasa perih atau denyut, rasa sakit terasa tajam atau

tumpul.

Urat-urat syaraf bertujuan untuk meneruskan sinyal ke otak, sinyal-sinyal

tersebut berbeda-beda tergantung pada situasi dan lokasi dari syaraf tersebut.

(26)

menuju otak. Pada tulang belakang, rasa sakit dimodulasikan secara alamiah. Rasa

sakit dapat dilemahkan atau dikuatkan di dalam tulang belakang, jika kita tidak

memiliki mekanisme tersebut, kita akan selalu mengalami rasa sakit, bahkan

termasuk orang-orang yang tidak menderita rasa sakit kronis, apapun yang terjadi

pada diri kita pasti akan terasa menyakitkan (Tarcy, 2005).

1.4 Stimulasi Nyeri

Seseorang dapat mentoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat

mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).

Ada beberapa jenis stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya

adalah : (1)Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat

terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2)

Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya

penekananpada reseptor nyeri, (3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor

nyeri, (4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria

yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme

otot, dapat menstimulasi mekanik.

1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri.

Menurut Alimul (2006). Pengalaman nyeri pada seseorang dipengaruhi

oleh beberapa hal, diantaranya adalah :

Arti Nyeri, arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan

(27)

merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia,

jenis kelamin, latar belakang social budaya, lingkungan, dan pengalaman.

Persepsi Nyeri, persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif

tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitf). Persepsi ini dipengaruhi

oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.

Toleransi Nyeri, toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri

yang dapat mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol,

obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang

kuat, dan sebagainya, sedangkan faktor yang menurunkan toleransi antara lain

kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan

lain-lain.

Reaksi Terhadap Nyeri, reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons

seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah cemas, menangis, dan

menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperi arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu,

nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas dan

usia.

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi

pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri hal ini

sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang

efektif. Menurut Berger, (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri

tersebut antara lain : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) pengalaman masa lalu dengan

(28)

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya

pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara

kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi

terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005). Usia juga berpengaruh terhadap persepsi

seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan

nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat

mengkomunikasikan apa yang dirasakannya. Sehingga kemungkinan perawat

tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adequate

(Berger, 1992).

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam berespons terhadap nyeri (Gil, 1990 dikutip dari Potter & Perry,

2005).diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor

dalam pengekspresian nyeri.beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis

kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan

tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi

yang sama (Potter & Perry, 2005).

Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang

nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap

menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari

pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).

Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin

medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan

(29)

untuk menghilangkan nyeri adalh dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri

ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001).

Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri,

bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat

tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin

merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa

nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1992).

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi

nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo

& Flaskerud, 1991, dikutip dari Potter & Perry, 2005).

Adanya orang-orang yang memberi dukungan amat berpengaruh terhadap

nyeri yang dirasakan. Misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang

dirasakannya jika ia berada di dekat kedua orang tuanya (taylor, 1997).

Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau

perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai

dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2005).

2. Teori Nyeri

2.1Teori Pemisahan (Specivicity Theory)

Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke-17. teori ini

didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus

(30)

mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus,

yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul

respons nyeri (Tamsuri, 2006).

Menurut teori ini, rangsangan nyeri masuk ke medulla spinalis (spinal

cord) melalui dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke

tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di

korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Long, 1989).

2.2Teori Pola (Pattern theory).

Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri,yaitu serabut yang

mampu menghantarkan rangsangan dengan cepat ; dan mampu menghantarkan

rangsangan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medulla

spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe

input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri

(Tamsuri, 2006).

Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis

dan merangsang aktivitas sel T. hal ini mengakibatkan suatu respons yang

merangsang ke bagian yang lebuh tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi

menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga minimbulkan nyeri.

Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respo dari reaksi sel T (Long, 1989)

2.3Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)

Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulknan teori mekanisme

nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjelaskan teori gerbang kendali nyeri,

yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi

(31)

nyeri tergantung dari kerja serat syaraf besar dan kecil yang keduanya berada

dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat syaraf besar akan

meningkatkan aktivitas substansi gelatinosa yang mengakibatakan tertutupnya

pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran

rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang

korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis

melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. rangsangan pada

serat kecil akan menghambat aktivitas substansi gelatinosa dan membuka pintu

mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan

menghantarkan rangsangan nyeri (Long, 1989).

Teori gate control menggambarkan bahwa ada mekanisme pintu gerbang

pada ujung syaraf ruas tulang belakang (spinal cord) yang dapat meningkatkan

atau menurunkan aliran impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat.

Mekanisme pintu gerbang ini dipengaruhi oleh aktifitas A-Beta berdiameter besar,

A-Delta berdiameter kecil dan serabut c serta pengaruh dari otak. Bila pintu

tertutup berakibat tidak ada nyeri; pintu terbuka, nyeri ; sebagian pintu terbuka,

nyeri kurang. Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di spinal

cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari (Reeder-Martin, 1984 ;

Flynn & Heffron, 1984). Sereblum dan thalamus disebut sebagai pusat control

nyeri oleh melzak & Wall (1965). Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung

ke serebrum. Pusat control memproses informasi dari 3 sumber, yakni informasi

sensori-diskriminatif, informasi motivasi-afektif dan informasi kognitif-evaluatif.

Karena rangsangan nyeri diproses dalam konteks yang individual, variasi yang

(32)

Endorphin juga mempengaruhi transmisi impuls yang diartikan sebagai nyeri.

Endorphin dapat berupa neourotransmitter atau neuro modulator yang

menghambat transmisi pesan nyeri. Tingkat endorphin berbeda setiap orang yang

menjelaskan mengapa seseorang merasakan nyeri yang lebih dari pada orang lain.

Orang dengan tingkat endorphin tinggi tidak akan merasakan nyeri (Reeder,

Koniak-Griffin & Martin, 1997)

2.4Teori Transmisi dan Inhibisi

Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls syaraf,

sehingga transmisi impuls menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik.

Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut

besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate

system supresif (Long, 1989).

3. Nyeri Post Operasi 3.1 Defenisi

Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan.

Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri postoperasi berbeda-beda dari pasien ke

pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain.

Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat

dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri postoperasi. Nyeri postoperasi

biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri postoperasi merupakan topik

yang menarik untuk dibahas dalam lingkup keperawatan. Dengan menggali nyeri

postoperasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan

(33)

postoperasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup

persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).

Toxonomi Comitte of the international Association untuk pembelajaran

tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak

menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan terminology suatu kerusakan

(Alexander, 1987 ). Pada post operasi nyeri biasanya adalah hasil dari tindakan

operasi tapi dapat disebabkan oleh hal lain penyebab-penyebab yang berhubungan

atai tidak berhubungan, yaitu ; kandung kemih yang penuh, iskemia, pemasangan

infuse dan lain-lain. Dan diagnosa terhadap penyebab nyeri harus dapat diobati

jika memungkinkan. Sisa nyeri dapat dibebaskan dengan pembatasan keamanan

pasien terhadap lingkungan postoperasi (Alexander, 1987).

Nyeri postoperasi adalah suatu reaksi yang kompleks pada jaringan yang

terluka pada proses pembedahan yang dapat menstimulasi hypersensitivitas pada

system syaraf pusat, nyeri ini hanya dapat dirasakan setelah adanya prosedur

operasi

penting yang mempengaruhi persepsi pasien tentang perkembangan dan

kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri yang dirasakan pasien, maka makin rendah

harapan sembuh menurut pasien berdasarkan sifat subjektif nyeri, sulit

mendapatkan hubungan langsung antara intensitas nyeri dengan tingkat komlikasi

postoperasi secara fisik dan psikologis. Walaupun intensitas nyeri berhubungan

dengan peningkatan kolaps beberapa alveoli di paru-paru (atelektasis) pada pasien

bedah jantung (Puntillo & Weiss, 1994, diambil dari Torrance & surginson,

(34)

3.2 Pengkajian Nyeri Postoperasi

Pengkajian nyeri yang tepat adalah awal dari penanganan nyeri dan

merupakan proses lanjut yang meliputi faktor-faktor multidimensional perumusan

manajemen nyeri terhadap rencana keperawatan. Pengkajian ini sangat penting

dalam mengidentufikasi sindrom nyeri atau penyebab nyeri dan memasukkan

pengkajian pada intensitas dan karakteristi nyeri, pengkajian fisik yang

berhubungan dengan pemeriksaan sitem saraf akan dicurigai adanya gangguan

pada sistem saraf. Psikososial dan pengkajian kebudayaan menggunakan diaknosa

yang tepat dalam menentukan penyebab nyeri (Suza, 2007).

Dalam mengkaji nyeri perawat perlu memastikan lokasi nyeri secara jelas

misalnya, nyeri pada post appendiktomi yaitu pada daerah operasi abdomen kanan

bawah, intensitas nyeri dinyatakan dengan nyeri ringan, sedang dan berat atau

sangat nyeri. Waktu dan durasi dinyatakan sejak kapan nyeri dorasakan, berapa

lama terasanya apakah nyeri berulang. Bila nyeri berulang maka akan mengalami

selang waktu berapa lama, dan kapan nyeri berakhir. Kwalitas nyeri dikatakan

seperti apa yang dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-pukul

dan lain-lain. Perilaku non verbal pada pasien yang mengalami nyeri dapat

diamati oleh perawat misalnya ekspresi wajah kesakitan, gigi mencengkram,

memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibir bawah dan lain-lain (Priharjo,

1996).

Pengkajian nyeri postoperasi akan menunjukkan tingkat nyeri secara teratur,

setelah administrasi penghilang rasa nyeri dan setelah banyaknya pengobatan

dalam perencanaan manajemen nyeri, terutama pengkajian nyeri tentang individu

(35)

multidisiplin akan mengerti tentang masalah nyeri. Informasi-informasi tentang

nyeri pasien dapat diperoleh dari informasi : observasi, interview dengan pasien

dan dengan anggota keluarga pasien lainya sangat penting. Untuk kembali melihat

pada data medis dan kilas baliknya dengan tim kesehatan yang lain (Suza, 2007).

Pengkajian nyeri postoperasi meliputi berbagai aspek yaitu,

1. Lokasi

Anatomi diagnosa adalah sebuah ilustrasi yang tepat untuk menentukan

lokasi nyeri, banyak pasien tidak dapat menentukan letak nyeri secara tepat,

banyak yang mengindikasikan letak dengan dengan huruf seperti ABC. Pasien

boleh menggambarkan lokasi nyeri dalam bentuk atau bekas lokasi pada tubuhnya

dan anggota keuarga dapat memberi tanda bilangan atau angka pada bentuk

pengkajianya (Suza, 2007).

2. Intensitas

Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai

suatu intensitas nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang

digunakan adalah skala verbal dan skala numerical.

a. Face Rating Scale

Skala ini diatur secara visual dengan ekspresi guratan wajah untuk

meunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Skala penilaian wajah pada dasarnya

digunakan pada anak-anak tetapi juga bias bermanfaat ketika orang dewasa yang

mempinyai kesulitan dalam menggunakan angka-angka dari skala visual analog

(VAS) yang merupakan alat penilaian pengkajian nyeri secara umum (Suza, 2007)

Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri

(36)

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri”

kemidian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang

sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan “nyeri yang sangat” (Potter &

Perry, 2005)

b. Flowsheets (Kartu Pencatatan)

Kartu ini digunakan untuk mendokumentasikan perkembangan yang

bertujuan mempertahankan keberhasilan dalam manajemen nyeri. Dokter

menggunakan flowsheets untuk mencatat waktu, menilai nyeri dan mengontrol

penggunaan obat penghilang rasa nyeri dan efek sampingnya. Informasi yang ada

dalam manajemen Flowsheet dapat disatukan dalam bentuk bentuk format yang

lain untuk menghindari terjadinya kesalahan pada waktu pencatatan.

c. Graphic Rating Scale

Graphic rating sacale dikembangkan oleh VAS untuk menambah kata-kata

atau angka diantara awal dan akhir skala. Penambahan kata-kata seperti tidak

nyeri, nyeri sedang dan nyeri berat disebut verbal graphic rating scale sedangkan

jika huruf seperti 0 sampai 10 menjadi numerical graphic rating scale (Suza, 2007)

d. Numerical Rating Scale

Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10 (Potter & Perry, 2005). Skala ini digunakan

secara verbal atau visual dari 0 sampai 10 dan menambahkan kata-kata dan huruf

sepanjang garis vertical dan horizontal, 0 menunjukkan hasil dari tidak ada nyeri

(37)

e. Simple Descriptor Scale (Verbal Descriptor Scale, VDS)

Skala ini menggunakan daftar kata-kata untuk mendeskripsikan perbedaan

tingkat intensitas nyeri, mudah dan sangat sederhana dalam menggunakannya

sebagai contoh tidak ada nyeri, nyeri ringan , nyeri sedang dan nyeri barat (Suza,

2007).

Skala deskriptif merupaka alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal merupakan sebuah garis yang terdiri

dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di

sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri

yang tidak tertahankan” (Potter & Perry, 2005).;

f. Visual Analog Scale (VAS)

Visual analog scale tidak melabel subsidi. VAS merupakan suatu garis lurus,

yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi

verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan

nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada

rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire, 1984).

Visual Analog Scale digunakan dengan garis horizontal 10 cm dengan

menambahkan kata-kata pada garisnya seperti tidak ada nyeri, dan nyeri sangat

berat. Pasien membuat sebuah tanda sepanjang garis untuk mengungkapkan

intensitas nyeri, angka diperoleh dengan mengukur millimeter dari awal sampai

(38)

Skala Pengukuran intensitas Nyeri 1. Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana.

Tidak ada Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri nyeri ringan sedang hebat sangat hebat paling hebat

2. Visual Analouge Scale (VAS).

Tidak ada nyeri Nyeri paling hebat

3. Verbal Numerical Rating Scale (VNRS).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak ada Nyeri Nyeri nyeri sedang paling hebat

(Dikutip dari Brunner & Suddarth, 2001)

4. Skala wajah Wong-Bakers

(39)

3. Kualitas (mutu)

Pengkajian dalam bentuk ini pasien mendeskripsikan jenis dari nyeri atau

nyeri seperti apakah yang dirasakan oleh mereka, mereka mungkin akan

menggunakan kata-kata sebagai berikut : denyut, seperti terbakar, tajam, tumpul

seperti ditikam.

4. serangan, Durasi, jenis and Ritme

Banyak pasien yang mengalami nyeri mempunyai sensasi untuk

mengekspresikan rasa nyeri yang mereka rasakan dalam periode 24 jam. Dalam

rencana keperawatan yang penting untuk mengkaji perubahan atau untuk

mengantisipasi prosedur nyeri dan memodifikasi aktivitas (jika mungkin) untuk

menambah rasa nyaman, jika nyeri dirasakan 12 jam atau lebih dari waktu 24 jam

maka yang harus dilakukan adalah pemberian obat penghilang rasa nyeri jika

diperlukan (Suza, 2007).

3.3 Manajemen Nyeri Postoperasi

Menurut Mc. Caffery (Diambil dari Tamsuri, 2006). Tehknik yang

diterapkan dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama,

yaitu tindakan pengobatan (farmalogis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa

pengobatan).

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid

(narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan,

serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari

opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri

(40)

dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate sepertu mu, delta, dan alppa)

dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat. Narkotik

tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan

batuk di medulla batang otak. dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan

peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat.

Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga

Nonsteroid Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan

ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan

anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri

yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera,

dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel

yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007).

Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan

menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR, 1992 dikutip dar Potter

& Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui,

NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan

Salerno, 1995) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan

NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan

resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs tidak menyebabkan sedasi

atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi

(41)

Penatalaksanan nyeri secara nonfarmkologis untuk mengurangi nyeri terdiri

dari beberapa tehknik diantaranya adalah :

Distraksi, distraksi adalah metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara

mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien lupa terhadap

nyeri yang dialami pasien, misalnya pada pasien postappendiktomi mungkin tidak

merasakan nyeri saat perawat mengajaknya bercerita tentang hobbinya (Priharjo,

1996).

Tehknik Relaksasi, Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan

nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak

bukti yang menunjukkna bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri

punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian

telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri postoperasi

(Lorenti, 1991 ; Miller & Perry, 1990). Tehknik relaksasi yang sederhana terdiri

atas napas abdomen dengan frekuansi lambat, berirama. Pasien dapat

memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang

konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama

setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus). Relaksasi yaitu pengaturan posisi

yang tepat, pikiran, beristirahat dan lingkungan yang tenang.relaksasi otot skeletal

dapat menurunkan nyeri dengan merilakskan ketegangan otot yang menunjang

nyeri. Tekhnik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai

hasil yang optimal. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya

pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien

(42)

Imajinasi Terbimbing, imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek

positf tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan

meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat

denfgan suatu bayangan mental relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata

terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang

diekhalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan,

menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup napas, pasien

harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman.

Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan

bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan.

Jika imajinasi terpadu diharapkan agar efektif, dibutuhkan waktu yang banyak

untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya.

Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama

sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Bebarapa hari praktik mungkin diperlukan

sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks

dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda

dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus

diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa

orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk

pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan

(43)

4. Perilaku Nyeri 4.1 Defenisi

Perilaku nyeri adalah satu aspek yang menyangkut tentang pengalaman

nyeri. Ini adalah suatu keadaan yang tampak dan jelas seperti gerakan anggota

badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976 diambil dari Harahap, 2007). Pilowski,

(1994) berpendapat bahwa Keberadaan nyeri sering ditandai oleh beberapa

macam perilaku yang tampak ataupun perilaku yang didengar hal ini dapat

dinyatakan sebagai perilaku nyeri (dikutip dari Harahap, 2007)).

Perilaku nyeri adalah apa-apa saja dan semua yang dikeluarkan oleh

masing-masing individu. Sebagai suatu karakteristik yang dapat diamati sebagai

kesan tehadap nyeri seperti, gerakan tubuh, ekspresi wajah, ucapan verbal,

berbaring, mencari pengobatan, mencari penasehat medis dan menerima bayaran.

Perilaku neyri adalah tindakan untuk mengkomunikasikan kemampuan dan

ketidaknyamanan (seperti, meringis, berjalan dan berkurangnya aktivitas) dan

telah menunjukkan sebuah peran yang sangat penting dalam menurunkan tingkat

fungsi masing-masing individu dan memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976

(44)

4.2 Tipe-tipe perilaku nyeri

Menurut Harahap (2007) tipe perilaku nyeri kronik dilandasi pada sebuah

pemikiran bahwa paling sedikit terdapat dua tipe perilaku nyeri yaitu : responden

dan operant perilaku.

4.2.1Perilaku Responden

Perilaku respondent adalah jenis perilaku yang reflex sebagai respon

terhadap rangsangan yang datang (Kats, 1998) apakah individu itu menyadarinya

atau tidak (Fordyce, 1976). Rangsangan yang datang itu biasanya spesifik dan

dapat diprediksi (Fordyce, 1976). Perilaku respondent merupakan perilaku yang

terjadi secara spontan, ketika rangsangan yang datang terjadi secara adekuat

seperti rangsangan pada saraf nociceptive, reaksi perilaku tersebut akan tampak

kelihatan. Dibandingkan ketika rangsangan yang datang tidak adekuat maka

perilaku tersebut tidak akan terjadi. Oleh karena itu perilaku respondent berkaitan

erat dengan adanya rangsangan yang keras (Harahap, 2007).

Pada nyeri kronik, ketika nyeri terjadi, pasien mungkin akan merespon

nyeri dengan berbagai cara seperti, menjaga area tubuh yang sakit (guarding),

meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit (rubbing), ekspresi wajah

(grimacing), pergerakkan tubuh yang kaku (braching), dan perilaku nyeri yang

terdengar atau frekwensi sentuhan pada anggota tubuh yang terpavorit (Harahap,

2007).

4.2.2 Perilaku Operant

Perilaku operant biasanya tidak dihubungkan dengan rangsangan yang

datang secara spesifik (Kats, 1998 diambil dari harahap, 2007). Itu terjadi secara

(45)

dengan perilaku respondent. Tetapi perilaku operant mungkin terjadi karena

perilaku yang mengikutinya yang bersifat positip atau karena adanya konsekuensi

yang tepat (Fordyce, 1976). Perilau operant pada umumnya tidak dikendalikan

oleh adanya rangsangan yang datang secara spesifik (Kats, 1998). Menurut Turk

& Flor (1999). Jenis perilaku nyeri ini tidak dikendalikan oleh rangsangan yang

datang dan rangsangan yang terjadi tidak akan kuat lagi, tetapi ketika pasien

mendapatkan dukungan yang efektive dari lingkunganya seperti (dukungan dari

pasangan mereka baik istri maupun suami, pertolongan kesehatan dan

kejadian-kejadian lain disekitar mereka), kemudian perilaku nyeri seperti guarding,

rubbing, grimacing, braching dan perilaku nyeri yang didengar atau frekuensi

sentuhan pada anggota tubuh disukai kemungkinan akan kelihatan bertahan dalam

waktu yang lama setelah penyebab tanda-tanda nyeri diketahui atau nyeri tersebut

sangat berkurang (Harahap, 2007).

Perilaku operant pada mulanya berhubungan dengan jaringan yang rusak

dan adanya rangsangan pada saraf nociceptive atau antisipasi pada sebuah

keadaan. Tetapi perilaku operant talah berkembang melalui proses pembelajaran

lingkungan. Oleh karena itu, model perilaku operant adalah tidak terkait dengan

penyebab nyeri yang terjadi dari dalam, tetapi lebih terpusat pada manifestasi

nyeri itu sendiri serta bagaimana nyeri dapat diekspresikan sebagai perilaku neyri

(Turk & Flor, 1999). Fordyce (1978) mengatakan bahwa dalam rangka

mempertahankan perilaku, menguatkan konsekuensi (dukungan) atau mengakhiri

perilaku oleh hukuman adalah sebuah kebutuhan. Syarat-syarat “dukungan” dan

“hukuman”menunjukkan kepada hubungan antara perilaku dan perubahan

(46)

menjadi lebih baik sedangkan hukuman mengakibatkan kondisi individu menjadi

lebih buruk. Fordyce (1976) memutuskan dukungan kedalam dua tipe yaitu :

langsung dan dukungan perilaku nyeri tidak lansung.

4.2.2.1 Dukungan langsung pada perilaku nyeri.

Faktor pendukung seperti kondisi lingkungan atau kejadian-kajadian

yang mungkin merupakan suatu tindakan sebagai ungkapan rasa nyeri. Sebagai

contoh, ketika nyeri terjadi dan pasien menunjukkan perilaku nyeri teryentu,

pasangan mereka mungkin akan memberikan perhatian lebih kepada pasien.

Perilaku nyeri ini mungkin akan berkurang karena pasien merasakan manfaat dari

perhatian tersebut ketika pasien merasakan nyeri. Biasanya sebuah dukungan

tidak terjadi kecuali didahului oleh perilaku nyeri atau pada cara yang lain yang

mana dukungan terjadi sebagai suatu respon pada perilaku nyeri (Harahap, 2007).

4.2.2.2 Dukungan tidak langsung pada perilaku nyeri

Dukungan tidak langsung pada perilaku nyeri mungkin terjadi ketika

perilaku nyeri menunjukkan kepada keadaan menghindari sesuatu secara efektive

pada beberapa penolakan atau akibat yang tidak nyaman (Fordyce, 1978). Jika

pasien berfikir bahwa beberapa aktivitas mungkin dapat menyebabkan nyeri atau

jika pasien menekspresikan nyeri ketika melakukan aktivitas seperti, duduk,

berjalan dan sebagainya. Aktivitas ini akan menghindari untuk mengurangi

terjadinya suatu kerugian. Melalui dukungan yang tidak langsung, pasien belajar

untuk merasakan perilaku tertentu yang mana menghindari atau mengurangi

(47)

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri

Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi

beberapa faktor yaitu :

4.3.1Jenis Kelamin

Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku

nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai

hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002:

Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih

sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku daripada laki-laki (Philips &

Jahanshahi, 1986).

4.3.2 Intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien.

4.3.3 Suku/budaya

Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda

(Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka

yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002) kepercayaan

budaya barat sungguh perbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana

budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan

kelemahan sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas dan pluralistik. Bates,

Edwards, & Anderson (1993) mengatakan bahwa negara dan suku dapat

mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional dan psikologi negara (Harahap,

(48)

Beberapa penelitian telah menunjukkan suku dan budaya

mempengaruhi perilaku nyeri. Brena Sanders, and Motoyama (1990)

menyelenggarakan sebuah studi untuk membandingkan psikologi, social dan

perilaku umum jumlah pasien nyeri tulang punggung di Jepang dan Amerika.

Mereka menemukan bahwa pasien berkebangsaan Jepang lebih sedikit lemah

secara psikologi, sosial kejujuran dan ketidak jujuran dalam fungsi mereka

dibanding dengan pasien berkebangsaan Amerika (Harahap, 2007).

4.3.4Percaya diri

Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat

mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 diambil dari Harahap, 2007).

Pasien dengan percaya diri yang tinggi dapat menunjukkan pergaulan yang positip

dengan latihan dan negatipnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores,

Murphy, dan Rosenthal dkk, 1990 diambil dari Harahap, 2007). Percaya diri

berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti, duduk,

berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa

memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya

tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak

penelitian yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri

dengan perilaku nyeri ( Harahap, 2007).

4.3.5Pasangan/anggota keluarga

Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan

kehidupan social pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda

dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce,

(49)

lain sering termasuk dalam pengobatan dan megajarkan kepada pasien untuk

berespon positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang

lainya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi

peningkatan nyeri pasien (Harahap, 2007).

4.4 Instrumen perilaku nyeri

Telah diakui secara luas bahwa pasien yang berada dalam tingkat nyeri

terentu akan menunjukkan perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari

pengobatan, menjaga area rubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah.

Perilaku ini merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang

merasakan nyeri (Harahap, 2007).

Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan bahwa

perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Fordyce (1976)

mengembangkan metode pengawasan diri melalui catatan harian untuk mengukur

perilaku nyeri. Di dalam catatan harian nyeri tersebut, pasien diminta untuk

mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga

kategori perilaku seperti : duduk, berdiri atau berjalan. Pasien juga diminta untuk

melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah dosis obat yang

diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan sederhana, dan lebih dari

itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien tentang perilaku nyeri mereka sendiri

(Keefe at al, 2000 diambil dari Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan

metode pengawasan diri pada peilaku nyeri kelihatanya akan berat sebelah atau

tidak akurat karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam

melaporkan perilaku mereka sendiri ( Turk & Flor, 1978 diambil dari Harahap,

(50)

Moores & Watson (2004 diambil dari Harahap, 2007) menggunakan

Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada pertanyaan atau

wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan

dengan perilaku nyeri. Metode ini juga telah dikritik sebab pasien akan cinderung

untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasa yang

paln utama pada metode pertanyaan atau wawancara adalah bahwa tidak

mengamati perilaku itu sendiri secra langsung.

Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode pengamatan

secara langsung atau tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pada

dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri itu adalah tampak dan jelas. Dalam

pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan

berdasarkan pada sebuah pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada

pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan

mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara tidak langsung

kelihatanya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari ituu kapan pasien

mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka mungkin akan memanipulasi

peilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond

(1999 diambil dari Harahap, 2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur

perilaku nyeri haruslah mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh

pasien, hemat biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan

langsung kelihatanya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih mudah digunakan

(Harahap, 2007). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode pengamata

Gambar

Tabel 1.  Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik   demografi responden (N=23)
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase perilaku nyeri Pasien Post   Operasi Di RSUP H

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Peraturan Daerah Kota Solok Nomor 2 tahun 2015 tentang bantuan hukum bagi masyarakat miskin pasal 6 ayat (3) yang menyatakan bahwa

Elektronik organizer berbasis web ini merupakan salah satu media dalam internet yang menyediakan informasi dan fasilitas interface untuk mengkomunikasikan data dari personal

Pupuk Bersubsidi adalah barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan kelompok tani dan / atau petani di

Penulis berharap dengan menggunakan aplikasi ini dapat mengurangi kemacetan lalu lintas di daerah Cikunir dengan pengaturan lampu lalu lintas dan memperbaiki jalur yang dapat dilalui

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 201 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka Kepala Daerah perlu mengatur batas

[r]

Selain itu dengan adanya cache server squid ini para praktikan yang ada tidak bisa sembarangan mengakses halam-halaman situs yang negatif, karena dengan program squid yang telah

(1) Rumah negara dan perlengkapannya serta kendaraan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf b disediakan bagi Pimpinan DPRD