• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Bayi Usia 0-1 Tahun Yang Menderita ISPA Dengan Riwayat Pemberian Asi Eksklusif Dan Status Imunisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Bayi Usia 0-1 Tahun Yang Menderita ISPA Dengan Riwayat Pemberian Asi Eksklusif Dan Status Imunisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN BAYI USIA 0-1 TAHUN YANG MENDERITA ISPA

DENGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

DAN STATUS IMUNISASI

DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010.

oleh :

HARMIT KAUR

070100249

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

GAMBARAN BAYI USIA 0-1 TAHUN YANG MENDERITA

ISPA DENGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

DAN STATUS IMUNISASI

DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010.

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran.

oleh :

HARMIT KAUR

070100249

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan berkat-nya, karya tulis ilmiah ini dapat saya selesaikan.

Dengan selesainya penulisan karya tulis ilmiah ini, perkenankanlah saya untuk ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara karena memberi kepada saya untuk menjalankan penelitian ini.

2. Dosen pembimbing saya, dr. Tetty Aman Nasution M.Med. Sc yang dengan sepenuh hati mendorong, membimbing dan mengarahkan saya mulai dari pembuatan proposal penelitian sampai akhir selesai penelitian ini.

3. Seluruh staf pengajar dan civitas akedemik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Karen banyak member bimbingan.

4. Teman-teman sekelompok saya, karena walaupun tugasan ini merupakan tugasan individu, tetapi mereka tetap banyak membantu saya dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugasan ini.

5. Orang tua saya yang memberi semangat kepada saya sepanjang pelaksanaan penelitian saya, saya ucapkan ribuan terima kasih.

Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, Namun demikian, besar harapan saya sekiranya tulisan ini dapat member manfaat kepada para pembaca. Sekian.

Medan, 23 Nopember 2010

(4)

Abstrak

Latar belakang: Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu

penyakit infeksi yang semakin menular dikalangan bayi. Dikatakan bahawa ISPA merupakan penyebab kematian tertinggi kematian bayi di negara-negara berkembang. Pemberian air susu ibu (ASI) dapat mengurang resiko bayi terpajan ISPA. Selain itu, pemberian imunisasi juga penting dalam menurunkan resiko paparan ISPA pada bayi.

Objektif: Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran riwayat pemberian

ASI eksklusif dan status imunisasi bayi 0-1 tahun yang menderita ISPA di RSUP HAM, Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional study. Kuesioner

berisi pertanyaan telah didistribusi kepada ibu bapa kepada bayi yang dirawat di RSUP HAM dengan keluhan ISPA. Data yang diperoleh telah dimasukkan dan dibuat tabel frekuensi menggunakan program komputer. Ethical clearance telah dilakukan dalam penelitian ini.

Hasil: Dari penelitian ini diperoleh hasil yaitu daripada 48 orang bayi yang

menderita ISPA, hanya 16 (33,3%) bayi yang diberi ASI eksklusif selama empat hingga enam bulan manakala sebanyak 32 (66,7%) lagi bayi hanya diberi ASI eksklusif selama satu hingga empat bulan. Seterusnya, sebanyak 27 (56,3%) bayi daripada 48 bayi yang menderita ISPA mendapat ASI eksklusif sebanyak atau lebih dari 5 kali sehari manakala hanya 21 (43,7%) bayi yang mendapat ASI eksklusif kurang dari lima kali sehari. Selain itu, sebanyak 43 (89,6%) bayi mendapat imunisasi dan hanya 5 (10,4%) bayi tidak mendapat imunisasi.

Kesimpulan: Dari hasil ini dapat dilihat bahwa durasi pemberian ASI eksklusif yang lebih lama dan pemberian makanan pendamping ASI sebelum umur 4 bulan dapat mempengaruhi bayi terpapar ISPA manakala tidak terlihat gambaran pengaruh status imunisasi pada bayi tepapar ISPA.

Saran: Pihak pelayanan kesehatan dapat menerapkan studi ini untuk

mengedukasi para ibu mengenai frekuensi, lama pemberian ASI eksklusif, pemberian kolostrum dan makanan pendamping ASI serta status imunisasi kepada bayi.

Kata kunci : Infeksi saluran pernapasan akut, ASI ekslusif, status imunisasi , bayi

(5)

Abstract

Background: Acute respiratory infection (ARI) is a common type of

infection that usually happens to young children. It is said that acute respiratory tract infection has became one of the main causes of baby deaths in developing countries. Exclusive breastfeeding is known to lower the risk of babies developing ARI. Immunization is also important in lowering the risk of babies developing ARI.

Objective: This study was done to get a general view on the history of giving

exclusive breast milk and the status of immunization of babies aged 0-1 years suffering from acute respiratory infection in the General Hospital of Haji Adam Malik, Medan.

Method: This study was done in a descriptive cross sectional manner.

Questionnaires were distributed to the parents of the children suffering from ARI at this hospital. Data’s collected from the questionnaires were entered into the computer programme and the results appear on a distributed form tables. Ethical clearance was done in this study.

Results: In this study, 48 babies suffering from ARI were included, where 16

(33.3%) babies were given exclusive breast milk for four to six months, whereas as many as 32 (66.7%) babies were given exclusive breast milk for only one to four months. It was also obtained that 27 (53.6%) babies out of a total 48 babies suffering from ARI were given exclusive breast milk 5 or more times a day, whereas only 21 (43.7%) babies were given exclusive breast milk lesser den 5 times a day. It was also obtained that 43( 89.6%) babies were given immunization and only 5 (10.4%) babies were not given immunization.

Conclusion: From the results, it is shown that the longer duration of giving

exclusive breast milk will lower the risk of babies infected by ARI.

Advice: Health services should educate mothers on the frequency, duration of

giving breast milk, giving colostrums and additional food and status of immunizations to the baby.

Keywords : Acute respiratory infection, exclusive breast milk, status of

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN...iii

KATA PENGANTAR ………... iv

ABSTRAK ………..v

ABSTRACT ………..……….vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ………viii

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)………. 5

2.1.1 Definisi ISPA... 5

2.1.2 Etiologi ISPA... 5

2.1.3 Klasifikasi ISPA ………... 6

2. 1.4 Faktor Resiko ISPA ……….………7

2.1.4.1 Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ….….. 7

2.1.4.2 Faktor Umur ……….……….. 7

2.1.4.3 Faktor Vitamin ……….…………...7

(7)

2.1.4.6 Status Sosioekonomi ………....…...8

2.1.4.7 Polusi Udara ………..…..8

2.1.4.8 Faktor Pemberian Air Susu Ibu ………..….9

2.1.5 Patofisiologi ………...………..…..9

2.2 Air Susu Ibu (ASI)...11

2.2.1 Definisi ASI………....……..11

2.2.2 Komposisi ASI ...12

2.2.2.1 Karbohidrat ……… ...12

2.2.2.2 Protein …………..……….12

2.2.2.3 Lemak ……...………....13

2.2.2.4 Karnitin ...13

2.2.2.5 Vitamin...13

2.2.2.6 Mineral……...………....14

2.2.3 ASI Eksklusif 6 Bulan…...………...15

2.2.4 Stadium Laktasi...15

2.2.5 Sifat Anti Infeksi dari ASI.……...……….………....16

2.2.6 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)...16

2.3 Sistem Imun... 17

2.3.1 Definisi Imun …...17

2.3.2 Tipe Sistem Imun…..……..……….….……..17

2.3.3 Reaksi Tubuh Terhadap Antigen….…..……..……...17

2.3.4 Bacille Calmette Guerin (BCG...………...18

2.3.5 Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT)…...18

2.3.5.1 Difteri... 19

2.3.5.2 Pertusis ………...……... 19

(8)

2.3.6 Polio ………...…... 20

2.3.7 Campak ………...…...20

2.3.7.1 Campak di Indonesia ………..……...21

2.3.8 Hepatitis B ………..………...21

2.3.9 Jadwal Imunisasi………...22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL...23

3.1 Kerangka Konsep ...…...23

3.2 Definisi Operasional ...24

3.2.1 Cara ukur ...24

3.2.2 Alat ukur ... 24

3.2.3 Skala ukur... 24

BAB 4 METODE PENELITIAN ...26

4.1 Rancangan Penelitian ...26

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...26

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...26

4.4 Metode Pengumpulan Data ...27

4.5 Metode Analisis Data ...27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..28

5.1 Hasil Penelitian ………..28

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ………....…28

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ………....28

5.2 Pembahasan ………..………..33

5.2.1 Pemberian ASI Eksklusif ………..33

(9)

6.1 Kesimpulan ………. 36 6.2 Saran

………...…..36

DAFTAR PUSTAKA ...38 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Jadwal imunisasi yang diwajibkan di Indonesia 28 3.1 Nombor pertanyaan dan skor untuk setiap 25

pilihan jawaban

(10)

5.6 Karakteristik pemberian makanan pendamping ASI

pada bayi 31

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 : Lembar penjelasan

Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 4 : Lembar Pertanyaan/ kuesioner

Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian Universitas Sumatera Utara Lampiran 6 : Surat Izin Penelitian RSUP HAM.

(12)

Abstrak

Latar belakang: Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu

penyakit infeksi yang semakin menular dikalangan bayi. Dikatakan bahawa ISPA merupakan penyebab kematian tertinggi kematian bayi di negara-negara berkembang. Pemberian air susu ibu (ASI) dapat mengurang resiko bayi terpajan ISPA. Selain itu, pemberian imunisasi juga penting dalam menurunkan resiko paparan ISPA pada bayi.

Objektif: Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran riwayat pemberian

ASI eksklusif dan status imunisasi bayi 0-1 tahun yang menderita ISPA di RSUP HAM, Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional study. Kuesioner

berisi pertanyaan telah didistribusi kepada ibu bapa kepada bayi yang dirawat di RSUP HAM dengan keluhan ISPA. Data yang diperoleh telah dimasukkan dan dibuat tabel frekuensi menggunakan program komputer. Ethical clearance telah dilakukan dalam penelitian ini.

Hasil: Dari penelitian ini diperoleh hasil yaitu daripada 48 orang bayi yang

menderita ISPA, hanya 16 (33,3%) bayi yang diberi ASI eksklusif selama empat hingga enam bulan manakala sebanyak 32 (66,7%) lagi bayi hanya diberi ASI eksklusif selama satu hingga empat bulan. Seterusnya, sebanyak 27 (56,3%) bayi daripada 48 bayi yang menderita ISPA mendapat ASI eksklusif sebanyak atau lebih dari 5 kali sehari manakala hanya 21 (43,7%) bayi yang mendapat ASI eksklusif kurang dari lima kali sehari. Selain itu, sebanyak 43 (89,6%) bayi mendapat imunisasi dan hanya 5 (10,4%) bayi tidak mendapat imunisasi.

Kesimpulan: Dari hasil ini dapat dilihat bahwa durasi pemberian ASI eksklusif yang lebih lama dan pemberian makanan pendamping ASI sebelum umur 4 bulan dapat mempengaruhi bayi terpapar ISPA manakala tidak terlihat gambaran pengaruh status imunisasi pada bayi tepapar ISPA.

Saran: Pihak pelayanan kesehatan dapat menerapkan studi ini untuk

mengedukasi para ibu mengenai frekuensi, lama pemberian ASI eksklusif, pemberian kolostrum dan makanan pendamping ASI serta status imunisasi kepada bayi.

Kata kunci : Infeksi saluran pernapasan akut, ASI ekslusif, status imunisasi , bayi

(13)

Abstract

Background: Acute respiratory infection (ARI) is a common type of

infection that usually happens to young children. It is said that acute respiratory tract infection has became one of the main causes of baby deaths in developing countries. Exclusive breastfeeding is known to lower the risk of babies developing ARI. Immunization is also important in lowering the risk of babies developing ARI.

Objective: This study was done to get a general view on the history of giving

exclusive breast milk and the status of immunization of babies aged 0-1 years suffering from acute respiratory infection in the General Hospital of Haji Adam Malik, Medan.

Method: This study was done in a descriptive cross sectional manner.

Questionnaires were distributed to the parents of the children suffering from ARI at this hospital. Data’s collected from the questionnaires were entered into the computer programme and the results appear on a distributed form tables. Ethical clearance was done in this study.

Results: In this study, 48 babies suffering from ARI were included, where 16

(33.3%) babies were given exclusive breast milk for four to six months, whereas as many as 32 (66.7%) babies were given exclusive breast milk for only one to four months. It was also obtained that 27 (53.6%) babies out of a total 48 babies suffering from ARI were given exclusive breast milk 5 or more times a day, whereas only 21 (43.7%) babies were given exclusive breast milk lesser den 5 times a day. It was also obtained that 43( 89.6%) babies were given immunization and only 5 (10.4%) babies were not given immunization.

Conclusion: From the results, it is shown that the longer duration of giving

exclusive breast milk will lower the risk of babies infected by ARI.

Advice: Health services should educate mothers on the frequency, duration of

giving breast milk, giving colostrums and additional food and status of immunizations to the baby.

Keywords : Acute respiratory infection, exclusive breast milk, status of

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau sering disebut ISPA adalah suatu penyakit yang banyak diderita di kalangan masyarakat. ISPA terbanyak diderita oleh anak-anak, baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan kebanyakan pasien perlu rawat inap di rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.

Penyakit ISPA bertanggungjawab terhadap hampir dua juta kematian per tahun di Afrika sahaja dan kebanyakan dari kematian ini disebabkan oleh Streptococcus

pneumoniae. Studi yang dilakukan di Gambia menunjukkan bahawa hampir 30%

kematian disebabkan oleh pneumonia. Kebanyakan dari korban adalah anak di negara berkembang. Hampir 40-75% mendapat pneumococcal meningitis komplikasi dari pneumonia yang membawa kepada kematian dan kelumpuhan (WHO, 1986).

Di Indonesia, setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahun dan 40 % – 60 % dari kunjungan di Puskesmas adalah penyakit ISPA. Kira-kira 1 dari 4 kematian bayi yang terjadi di Indonesia adalah disebabkan ISPA dan kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia. Dari studi yang dilakukan di Lombok pada kelompok bayi umur 2-23 bulan, angka infeksi ISPA adalah sebesar 58%, dengan angka kematian 31 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2000).

(15)

Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2004, cakupan total persentase bayi yang diberi ASI eksklusif sebesar 42,60%, kemudian mengalami penurunan menjadi 35,25% pada tahun 2005, pada tahun 2006 menjadi 16% dan menjadi 26,39% pada tahun 2007. Lama pemberian ASI juga berkait dengan resiko bayi menderita ISPA. Dikatakan bahawa prevalensi berlaku ISPA pada bayi berkurang dengan meningkatnya lama pemberian ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini iaitu usia bayi kurang dari 4 bulan merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia aspirasi (Naim, 2001).

Imunisasi penting diberikan bagi anak untuk melindunginya dari penyakit berbahaya yang sering dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Pemberian vaksin telah diperkenalkan di negara Amerika dan Eropah Barat sejak awal tahun 1990 lagi. Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI) dan Vaccine Fund telah ditubuhkan dan berperan untuk memperkenalkan pemberian vaksin kepada negara berkembang terutama di Afrika dan Asia. Dilaporkan bahwa pada tahun 2002, hampir 84 negara telah menyertai program pemberian vaksin (Bratawidjaja, 2000).

Di Indonesia pada tahun 1984, cakupan imunisasi lengkap baru mencapai 4%. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989. Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan palayanan imunisasi dasar secara teratur.

(16)

menyertakan Hepatitis B ke dalam program imunisasi nasional. Target di tahun 2007 adalah Indonesia bebas dari Hepatitis B. Sebesar 50% dari ibu hamil pengidap Hepatitis B akan menularkan penyakit tersebut kepada bayinya (Bratawidjaja, 2000).

Bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umurnya mempunyai risiko menderita ISPA sebesar 2,6 kali. Pemberian imunisasi dapat mencegah kematian akibat ISPA sebesar 25 %. Imunisasi dan menyusui memberi kontribusi dalam menurunkan kejadian ISPA pada bayi, sehingga tidak berlanjut menjadi pneumonia (Bratawidjaja, 2000).

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi pada bayi usia 0-1 tahun yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSUP HAM tahun 2010 ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

(17)

1.3.2. Tujuan Khusus.

1) Mendapatkan gambaran frekuensi dan lama pemberian ASI eksklusif pada bayi yang menderita ISPA.

2) Mendapatkan gambaran pemberian kolostrum dan makanan pendamping ASI pada bayi menderita ISPA.

3) Mendapatkan gambaran pemberian status imunisasi yang tidak lengkap pada bayi yang menderita ISPA.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Meningkatkan kesadaran pada masyarakat tentang keuntungan pemberian ASI eksklusif yang mempunyai nilai gizi yang paling sempurna dan keuntungan pemberian imunisasi yang meningkatan kekebalan tubuh bayi.

2) Tenaga kesehatan dan institusi dapat menerapkan studi ini dalam rancangan untuk mengedukasi para ibu dalam kebaikan memberi ASI eksklusif dan imunisasi kepada bayi.

3) Bagi peneliti dapat digunakan sebagai suatu pengalaman belajar dan meningkatan wawasan dalam penerapan ilmu yang diperoleh.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1.1. Definisi

ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlangsung sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari hidung hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Depkes, 2000).

2.1.2. Etiologi

Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986).

WHO (1986), juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory

(19)

2.1.3. Klasifikasi

WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988.

Adapun pembagiannya sebagai berikut :

1) ISPA ringan Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :

-Batuk

-Pilek dengan atau tanpa demam 2) ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: - Pernafasan cepat : Usia bayi kurang 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.

Usia bayi 1- 4 tahun : 40 kali / menit atau lebih Mengi

-Sakit dan keluar cairan dari telinga. -Bercak kemerahan . 3) ISPA berat

Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: - Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi. - Kesadaran menurun.

- Bibir / kulit pucat kebiruan.

(20)

2.1.4. Faktor Resiko ISPA

2.1.4.1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi yang dilahirkan dengan BBLR mudah terserang ISPA. Ini karena, bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi termasuk penyakit ISPA. Warta posyandu ( 1998/1999), telah mempublikasikan tentang faktor BBLR yang meningkatkan morbiditas ISPA. Sukar et al. (1996), juga telah melaporkan adanya hubungan signifikan antara BBLR dengan resiko terjadinya kejadian ISPA.

2.1.4.2. Faktor Umur

Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena semakin muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Menurut Tupasi et al. (1998), resiko terjadi ISPA lebih besar pada bayi berumur kurang dari satu tahun, sedangkan menurut Sukar et al. (1996), anak berumur kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Depkes (2000), menyebutkan resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda lagi yaitu kurang dari dua bulan.

2.1.4.3. Faktor Vitamin

(21)

2.1.4.4. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)

Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama pada Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut memudahkan kemasukan ajen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi dengan episode ISPA.

2.1.4.5. Faktor Pendidikan Ibu

Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemampuan masyarakat. Itulah sebabnya sehingga Infant Mortality Rate (IMR) suatu negara dijadikan sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut (Deb, 1998).

2.1.4.6. Status Sosioekonomi

Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian telah di Filipina membuktikan bahwa sosiaoekonomi orang tua yang rendah akan meningkatkan resiko ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun (Tupasi et al., 1988). 2.1.4.7. Polusi Udara

(22)

bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA.

Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA pada anak (Sumargono, 1989).

2.1.4.8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)

ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Soeharyono et al., 1989).

2.1.5. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

(23)

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Colman, 1992). Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

(24)

1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.

2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah. 3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.

4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

2.2. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

2.2.1. Definisi ASI eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan makanan lainnya ataupun cairan lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, air putih dan tanpa tambahan makanan padat apapun seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim sampai usia enam bulan (Roesli, 2005).

2.2.2. Komposisi ASI

ASI mengandung air sebanyak 87.5%, oleh karena itu bayi yang mendapat cukup ASI tidak perlu lagi mendapat tambahan air walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas. Kekentalan ASI sesuai dengan saluran pencernaan bayi, sedangkan susu formula lebih kental dibandingkan ASI. Hal tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya diare pada bayi yang mendapat susu formula (Roesli, 2005).

2.2.2.1. Karbohidrat

(25)

jumlahnya meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7-14 hari setelah melahirkan). Sesudah melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil (Roesli, 2005).

2.2.2.2. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri dari protein whey dan Casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung protein Casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi.

ASI mempunyai jenis asam amino yang lebih lengkap dibandingkan susu sapi. Asam amino taurin diperkirakan mempunyai peran pada perkembangan otak karena asam amino ini ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada jaringan otak yang sedang berkembang. Taurin ini sangat dibutuhkan oleh bayi prematur, karena kemampuan bayi prematur untuk membentuk protein ini sangat rendah.

ASI juga kaya akan nukleotida yang mempunyai peran dalam meningkatkan pertumbuhan dan kematangan usus, merangsang pertumbuhan bakteri baik dalam usus dan meningkatkan penyerapan besi dan daya tahan tubuh (Roesli, 2005).

2.2.2.3. Lemak

Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibanding dengan susu sapi dan susu formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa pertumbuhan bayi. Terdapat beberapa perbedaan antara profil lemak yang ditemukan dalam ASI dan susu sapi atau susu formula. Lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan pada perkembangan otak bayi banyak ditemukan dalam ASI. Disamping itu, ASI juga mengandung banyak asam lemak rantai panjang diantaranya Asam Dokosaheksanoik (DHA) dan Asam Arakidonat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan jaringan saraf dan retina mata (Roesli, 2005).

(26)

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI mengandung kadar karnitin yang tinggi terutama pada 3 minggu pertama menyusui, bahkan di dalam kolostrum kadar karnitin ini lebih tinggi lagi. Konsentrasi karnitin bayi yang mendapat ASI lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula (Soysa, 1991).

2.2.2.5. Vitamin Vitamin K

Vitamin K dibutuhkan sebagai salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai faktor pembekuan. Kadar vitamin K ASI hanya seperempatnya kadar dalam susu formula. Bayi yang hanya mendapat ASI berisiko untuk terjadi perdarahan, walapun angka kejadian perdarahan ini kecil. Oleh karena itu pada bayi baru lahir perlu diberikan vitamin K yang umumnya dalam bentuk suntikan (Soysa, 1991).

Vitamin D

Seperti halnya vitamin K, ASI hanya mengandung sedikit vitamin D. Hal ini tidak perlu dikuatirkan karena dengan menjemur bayi pada pagi hari maka bayi akan mendapat tambahan vitamin D yang berasal dari sinar matahari. Sehingga pemberian ASI eksklusif ditambah dengan membiarkan bayi terpapar pada sinar matahari pagi akan mencegah bayi menderita penyakit tulang karena kekurangan vitamin D (Soysa, 1991).

Vitamin E

Salah satu fungsi penting vitamin E adalah untuk ketahanan dinding sel darah merah. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan terjadinya kekurangan darah (anemia hemolitik). Keuntungan ASI adalah kandungan vitamin E nya tinggi terutama pada kolostrum dan ASI transisi awal (Soysa, 1991).

Vitamin A

(27)

tinggi tidak saja vitamin A dan tetapi juga bahan bakunya yaitu beta karoten. Hal ini salah satu yang menerangkan mengapa bayi yang mendapat ASI mempunyai tumbuh kembang dan daya tahan tubuh yang baik (Soysa, 1991).

Vitamin yang larut dalam air

Hampir semua vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B, asam folat, vitamin C terdapat dalam ASI. Makanan yang dikonsumsi ibu berpengaruh terhadap kadar vitamin ini dalam ASI. Kadar vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI tetapi kadar vitamin B6, B12 dan asam folat mungkin rendah pada ibu dengan gizi kurang. Oleh karena vitamin B6 dibutuhkan pada tahap awal perkembangan sistem saraf, maka pada ibu yang menyusui perlu ditambahkan vitamin ini. Sedangkan, untuk vitamin B12 cukup didapat dari makanan sehari-hari, kecuali ibu menyusui yang vegetarian (Soysa, 1991).

2.2.2.6. Mineral

Mineral utama yang terdapat di dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan darah. Walaupun kadar kalsium ASI lebih rendah dari susu sapi, tapi tingkat penyerapannya lebih besar. Penyerapan kalsium ini dipengaruhi oleh kadar fosfor, magnesium, vitamin D dan lemak (Roesli, 2005).

(28)

Mineral yang juga tinggi kadarnya dalam ASI dibandingkan susu formula adalah selenium, yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat (Roesli, 2005).

2.2.3. ASI Eksklusif 6 Bulan

WHO (2000), dan Department Kesehatan RI (2000), telah menetapkan rekomendasi pemberian ASI Ekslusif selama 6 bulan. Menurut WHO (2000), ASI adalah suatu cara yang tidak tertandingi oleh apapun dalam menyediakan makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang bayi. Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6 – 9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan seperti gangguan pencernaan, timbulnya gas, dan konstipasi. Berbagai catatan menunjukkan bahwa memperpanjang pemberian ASI eksklusif mengakibatkan rendahnya angka insiden terjadinya alergi makanan (Roesli, 2000).

2.2.4. Stadium Laktasi

Berdasarkan stadium laktasi , maka ISPA dibedakan kepada kolostrum, ASI transisi dan ASI matang. Kolostrum iaitu ASI yang dihasilkan oleh seorang ibu dari hari pertama pascapersalinan hingga pada hari ke-4 atau ke-7. Asi transisi dihasilkan pada masa peralihan atau hari ke-4 hingga hari ke-10 atau ke-14. ASI matang pula dihasilkan sesudah hari ke-14 dan seterusnya (Lawrence, 1994).

2.2.5. Sifat Anti Infeksi dari ASI

ASI ternyata bukan hanya sumber gizi bagi bayi akan tetapi juga mengandung immunoglobulin ( Ig) iaitu antibody zat penangkal mikroorganisme patogen baik dari golongan virus mahupun dari golongan bakteri. Pada penelitian berhasil diungkapkan bahawa pada waktu persalinan normal ternyata kolostrum yang mengandung immunoglobulin G (IgG) sekitar 500mg per 100cc. Pada penelitian oleh National

(29)

mengkonsumsi susu formula. Disamping itu, ASI juga mengandungi Ig A , Ig M , Ig D dan Ig E. Diantara keempat jenis immunoglobulin tersebut, ternyata Ig A yang tertinggi kadarnya dan memiliki peranan penting dalam fungsi biologis (Lawrence, 1994).

Pada penelitian juga ditemukan bahawa ASI mengandung sejumlah besar sel yaitu sekitar 2.000 hingga 4.000 sel/ cc yang terdiri dari limfosit dan mikrofag. Selama ini limfosit diketahui aktif membentuk IgA. Disamping itu, ASI juga mengandung laktoferin lizosin, lipid, dan laktobasillus promoting factor.

Kolstrum diketahui mengandungi sel hidup dan antibodi dengan konsentrasi yang tinggi. Menurut literatur, kadar antibodi cairan ini mencapai 10-17 kali dibandingkan dengan ASI. Kolostrum banyak mengandungi Ig A, Ig G, Ig M, lisozim, dan laktoferin sebagai unsur protein. Dari unsur sel, ternyata kolostrum banyak mengandung makrofag, limfosit, dan netrofil (Lawrence, 1994).

2.2.6. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan pada bayi untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Makanan pendamping ASI diberikan mulai umur 4 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat umur bayi, kebutuhan zat gizi semakin bertambah untuk tumbuh kembang bayi, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi (Depkes, 2000).

Makanan pendamping ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian makanan pendamping ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bagi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini (Depkes, 2000).

2.3. Sistem Imun

(30)

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh (Markum, 2000).

2.3.2. Tipe Sistem Imun

Imunisasi terbagi kepada dua, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Misalnya, imunisasi polio atau campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Misalnya, penyuntikan Anti Tetanus Serum (ATS) pada orang yang mengalami luka kecelakaan (Markum, 2000).

2.3.3. Reaksi Tubuh Terhadap Antigen

Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai ‘pengalaman’. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Oleh itu, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Bratawidjaja, 2000).

2.3.4. Bacille Calmette Guerin (BCG)

(31)

dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam. Imunisasi ini diberikan hanya sekali sebelum bayi berumur dua bulan. Reaksi yang akan nampak setelah penyuntikan imunisasi ini adalah berupa perubahan warna kulit pada tempat penyuntikan yang akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8 – 12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut, reaksi lainnya adalah berupa pembesaran kelenjar ketiak atau daerah leher, bila diraba akan terasa padat dan bila ditekan tidak terasa sakit. Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa pembengkakan pada daerah tempat suntikan yang berisi cairan tetapi akan sembuh spontan (Markum, 2000).

2.3.5. Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT) 2.3.5.1. Difteri

Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium Diphteriae. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama

saluran pernafasan bagian atas dengan gejala demam tinggi, pembengkakan pada tonsil dan terlihat selaput puith kotor yang makin lama makin membesar dan akhirnya menutup jalan nafas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya adalah melalui udara ( betuk / bersin ) dan benda atau makanan yang terkontamiasi. Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit (Markum, 2000).

2.3.5.2. Pertusis

(32)

efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri (Bratawidjaja, 2000).

2.3.5.3. Tetanus

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin. Tetanospasmin menempel pada urat saraf di sekitar area luka dan dibawa ke sistem saraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat saraf terutama pada saraf yang mengirim pesan ke otot. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul pada hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus, gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang tidak bersih dan steril, terutama jika umbilikus terinfeksi. Neonatal tetanus dapat menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian dari imunisasi DPT (Markum, 2000). 2.3.6. Polio

Imunisasi polio diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu:

1) Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk). Cara pemberian vaksin Salk adalah dengan penyuntikan.

(33)

Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio pada anak adalah mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5 hari. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari dan diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak kurang dari satu bulan. Imunisasi ulangan dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5 – 6 tahun) dan saat meninggalkan Sekolah Dasar (12 tahun). Imunisasi ini tidak harus diberikan pada anak yang menderita diare berat. Efek samping yang mungkin terjadi sangat minimal dapat berupa kejang-kejang (Markum, 2000).

2.3.7. Campak

Campak adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus campak. Penularan berlaku melalui udara ataupun kontak langsung dengan penderita. Gejala-gejalanya adalah demam, batuk, pilek dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3 – 5 hari setelah anak menderita demam. Bercak mula-mula timbul di pipi bawah telinga yang kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya. Komplikasi dari penyakit campak ini adalah radang paru-paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang pada sendi dan radang pada otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Pemberian imunisasi akan menimbulkan kekebalan aktif dan bertujuan untuk melindungi terhadap penyakit campak hanya dengan sekali suntikan, dan diberikan pada usia anak sembilan bulan atau lebih (Bratawidjaja, 2000).

2.3.7.1. Campak di Indonesia

Program pencegahan dan pemberantasan campak di Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan IgM positip sekitar 70% – 100%. Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan dimasukkan dalam pengembangan program imunisasi (Bratawidjaja, 2000).

(34)

Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Dosis pertama diberikan segera setelah bayi lahir atau jika ibunya memiliki HBsAg

Vaksinasi

negatif dan diberikan pada saat bayi berumur 2 bulan. Data epidemiologi menyatakan sebagian kasus yang terjadi pada penderita Hepatitis B akan menjurus kepada kronis dan dari kasus yang kronis ini 20% daripadanya menjadi hepatoma (Bratawidjaja, 2000).

2.3.9. Jadwal Imunisasi

(35)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep

Berat Badan Lahir Rendah bayi.

Status gizi bayi.

3.2. Definisi Operasional

1) ISPA didefinisikan sebagai segala infeksi akut pada saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah pada bayi berumur 0-1 tahun.

2) Status imunisasi didefinisi sebagai lima imunisasi wajib yang diberi pada bayi sama ada lengkap atau tidak sepanjang umur bayi 0-1 tahun.

Umur bayi.

Tingkat pengetahuan dan pendidikan orang tua (ibu).

Status imunisasi bayi.

ISPA pada bayi 0-1 tahun. Pemberian ASI eksklusif.

Sosio-ekonomi orang tua.

(36)

3) Pemberian ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan makanan lainnya atau cairan lainnya sampai usia bayi 6 bulan.

3.2.1. Cara ukur : Wawancara.

3.2.2. Alat ukur : Kuestioner, pertanyaan yang diajukan sebanyak 11 pertanyaan. Skor untuk setiap pertanyaan dibuat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 : Nombor pertanyaan dan skor untuk setiap pilihan jawaban

Nombor Skor Pilihan Jawaban

A B C

1. 2 1 -

2. 2 1 -

3. 2 1 -

4. 2 1 -

5. 2 1 -

6. 2 1 -

7. 2 1 -

8. 3 2 1

9. 3 2 1

10. 3 2 1

(37)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif, iaitu metode penelitian untuk melihat gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi bayi umur 0-1 tahun yang menderita ISPA di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan.

Rancangan penelitian adalah cross sectional study. Dalam sebuah penelitian cross sectional pengukuran veriebal dilakukan hanya satu kali, pada satu saat.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. Rumah sakit ini menjadi pilihan lokasi penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan.

4.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Oktober 2010.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah bayi usia 0-1 tahun yang menderita ISPA yang rawat inap dan rawat jalan di Departmen Anak di RSUP Haji Adam Malik. Penentuan usia 0-1 tahun ini berdasarkan pertimbangan bahwa pada rentang usia tersebut diperkirakan seorang bayi sudah seharusnya mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan imunisasi wajib yang sepatutnya sudah diberi kepada bayi dalam jangka usia 0-1 tahun.

4.3.2. Sampel penelitian

(38)

Kriteria inklusi :

Subjek penelitian termasuk bayi umur 0-1 tahun yang menderita ISPA dengan ibu yang sanggup berkerjasama dalam penelitian.

Kriteria eksklusi :

Bayi menderita ISPA yang berumur lebih dari 1 tahun.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data ini dikumpulkan dengan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas diberikan kepada ibu dari bayi 0-1 tahun yang berkunjung ke RSUP Haji Adam Malik atas keluhan bayi menderita ISPA. Kuesioner yang akan digunakan dimodifikasi dari Abdullah, (2003). Ibu dari pasien akan diwawancara untuk memperoleh data dan juga diterangkan kepada ibu mengenai penelitian ini dan soalan-soalan yang ditanyakan dalam kuesioner.

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan saya gunakan pada penelitian saya adalah kuesioner jenis tertutup.

4.6. Metode Analisis Data

Setiap data diperiksa pada waktu pengumpulan kuesioner. Sekiranya terdapat informasi tidak lengkap, data tersebut akan dibetulkan dengan memastikan dengan respoden sebelum meningggalkan lokasi studi. Kuesioner yang lengkap akan dianalisa dengan bantuan komputer dan data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.

4.7. Etical Clearence

Ethical clearence telah dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran etika

(39)

BAB 5

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dinamakan Rumah Sakit Kelas A pada tahun 1990 sesuai dengan Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Namun, nama rumah sakit ini mengalami perubahan yang pada mulanya bernama Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan menjadi Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 775/MENKES/SK/IX/1992. Pada tahun 1991 pula ia dijadikan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991 dan secara resmi pusat pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dipindahkan ke RSUP Haji Adam Malik pada tanggal 11 Januari 1993. Dengan ditetapkannya RSUP Haji Adam Malik sebagai Rumah Sakit Pendidikan, maka Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dapat menggunakannya sebagai Pusat Pendidikan Klinik calon dokter dan Pendidikan Keahlian calon dokter spesialis. RSUP Haji Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan dan untuk pelayanan rawat inap mulai berfungsi tepatnya pada tanggal 2 Mei 1992. Rumah Sakit ini mulai beroperasi secara total pada tanggal 21 Juli 1993 yang diresmikan oleh mantan Presiden RI, H. Soeharto.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

(40)

Tabel 5.1 Karakteristik jenis kelamin bayi

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 27 56,3

Perempuan 21 43,7

Total 48 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, mengikut jenis kelamin responden yang terlihat pada Tabel 5.1 menunjukkan bahawa bayi laki-laki yang menderita ISPA adalah sebanyak 27 bayi yaitu sejumlah 56,3% daripada keseluruhan responden. Sementara jumlah bayi perempuan adalah sebanyak 21 bayi yaitu sejumlah 43,7% daripada keseluruhan responden.

Tabel 5.2 Karakteristik berat badan lahir bayi

Berat Badan Lahir n %

≥2500g 37 77,1

<2500g 11 22,9

Total 48 100.0

Berdasarkan Tabel 5.2, diperoleh sebanyak 37 dari 48 bayi lahir dengan berat badan normal yaitu sejumlah 77,1% manakala 11 bayi lahir dengan berat badan lahir rendah yaitu sejumlah 22,9%.

(41)

≥5 kali per hari 27 56,3 <5 kali per hari 21 43,7

Total 48 100.0

Berdasarkan hasil Tabel 5.3, diperoleh jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih atau sama dengan lima kali sehari adalah sebanyak 27 bayi yaitu sejumlah 56.3% manakala jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif kurang dari 5 kali sehari adalah sebanyak 21 bayi yaitu sejumlah 43.8%.

Tabel 5.4 Karakteristik durasi pemberian ASI pada bayi

Durasi Pemberian ASI n %

4 - 6 bulan 16 33,3

1 - 4 bulan 32 66,7

Total 48 100.0

Dari Tabel 5.4, diperoleh sebanyak 16 bayi mendapat ASI selama 4 -6 bulan yaitu sejumlah 33.3% dan sebanyak 32 bayi mendapat ASI selama 1- 4 bulan yaitu sejumlah 66.7% .

Tabel 5.5 Karakteristik pemberian kolostrum pada bayi

Pemberian Kolostrum n %

1 minggu 36 75,0

<1 minggu 10 20,8

Tidak diberi 2 4,2

(42)

Dari Tabel 5.5, diperoleh sebanyak 36 orang bayi diberi kolostrum selama 1 minggu yaitu sejumlah 75,0% dan 10 bayi mendapat kolostrum untuk jangka waktu kurang dari satu minggu yaitu sejumlah 20,8% manakala hanya 2 bayi tidak diberikan kolostrum sama sekali yaitu sejumlah 4,2%.

Tabel 5.6 Karakteristik pemberian makanan pendamping ASI pada bayi

Makanan pendamping ASI n %

Ya 43 89,6

Tidak 5 10,4

Total 48 100.0

Dari Tabel 5.6, diperoleh sebanyak 43 bayi diberi makanan pendamping ASI yaitu sejumlah 89.6% manakala hanya 5 bayi tidak diberi makanan pendamping ASI yaitu sejumlah 10.4%.

Tabel 5.7 Karakteristik pemberian imunisasi pada bayi

Dari Tabel 5.7, diperoleh sebanyak 43 bayi mendapat imunisasi yaitu sejumlah 89.6% dan hanya 5 bayi tidak mendapat imunisasi yaitu sejumlah 10.4%.

Imunisasi n %

Ya 43 89,6

Tidak 5 10,4

(43)

Tabel 5.8 Karakteristik pemberian imunisasi BCG pada bayi

Imunisasi BCG n %

Ya 41 85,4

Tidak 7 14,6

Total 48 100.0

Dari Table 5.8, diperoleh sebanyak 41 bayi mendapat imunisasi BCG yaitu sejumlah 85,4% manakala 7 bayi lagi tidak mendapat imunisasi BCG yaitu sejumlah 14,6%.

Tabel 5.9 Karakteristik imunisasi DPT pada bayi

Dari Tabel 5.9 diatas, diperoleh sebanyak 37 bayi mendapat imunisasi DPT yaitu sejumlah 77.1% manakala 11 bayi tidak mendapat imunisasi DPT yaitu sejumalah 22.9%.

Tabel 5.10 Karakteristik imunisasi polio pada bayi

Imunisasi DPT n %

Lengkap 37 77,1

Tidak 11 22,9

Total 48 100.0

Imunisasi polio n %

Lengkap 37 77,1

Tidak 11 22,9

(44)

Dari Tabel 5.10, diperoleh sebanyak 37 bayi mendapat imunisasi polio yaitu sejumlah 77.1% manakala 11 bayi tidak mendapat imunisasi polio yaitu sejumlah 22.9%.

Tabel 5.11 Karakteristik imunisasi campak pada bayi

Imunisasi campak n %

Ya 33 68,8

Tidak 15 31,2

Total 48 100.0

Dari Tabel 5.11, diperoleh sebanyak 33 bayi mendapat imunisasi campak yaitu sejumlah 68.8% manakala 15 bayi lagi tidak mendapat imunisasi camapak yaitu sejumlah 31.3%.

Tabel 5.12 Karakteristik imunisasi hepatitis B pada bayi

Imunisasi hepatitis B n %

Lengkap 37 77,1

Tidak 11 22,9

Total 48 100.0

Dari Tabel 5.12, diperoleh sebanyak 37 bayi mendapat imunisasi hepatitis B yaitu sejumlah 77,1% manakala 11 bayi tidak mendapat imunisasi hepatitis B lengkap yaitu sejumlah 22.9%.

5.2 Pembahasan

(45)

Ternyata dari penelitian ini, didapati bahwa semua bayi yang diikut sertakan dalam penelitian ini mendapat ASI eksklusif sesuai dengan umur bayi tersebut. Jika dilihat dari Tabel 5.3, dapat dianalisa secara deskriptif bahwa frekuensi pemberian ASI dalam sehari tidak kelihatan pengaruhnya dalam mencegah atau menurunkan resiko bayi tepapar ISPA. Penelitian ini menyimpang dari penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2003) yang menunjukkan bahwa bayi yang mendapat ASI kurang mempunyai resiko 63,3% mendapat ISPA.

Dari Tabel 5.4 pula, dilihat bahwa lama pemberian ASI eksklusif pada bayi kelihatan berpengaruh dalam menurunkan resiko bayi terpapar ISPA. Lebih banyak bayi yang mendapat ASI eksklusif kurang dari 4 bulan terpapar ISPA dibanding dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif untuk 4 hingga 6 bulan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Meksiko oleh Fajardo (1998), yang mengatakan bahwa lama pemberian ASI berhubungan dengan kejadian ISPA dan diare pada bayi. Penelitian lain di Bangladesh oleh Robert (2001), mendapatkan hasil lama pemberian ASI eksklusif dapat mencegah penyakit infeksi dan menurunkan ISPA dan diare. Penelitian oleh Abdullah (2003), menyatakan bahwa probabilitas seorang bayi umur 0 - 4 bulan untuk terserang ISPA adalah sebanyak 63,3% untuk bayi mendapat ASI eksklusif kurang sedangkan bayi mendapat ASI eksklusif cukup adalah sebanyak 23,5%.

Dari Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa karakteristik pemberian kolostrum pada bayi tidak kelihatan pengaruhnya terhadap bayi terpapar ISPA. Penelitian ini menyimpang dari penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2003), dimana diperoleh bahwa bayi yang tidak mendapat kolostrum mempunyai resiko untuk terpapar ISPA sebesar 2,03 kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat kolostrum.

(46)

(2005), yang mengatakan bahwa pemberian MP-ASI yang terlalu dini merupakan faktor terjadi ISPA pada bayi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Departemen Kesehatan RI (2000) yang mengatakan bahwa MP-ASI dini merupakan faktor risiko ISPA.

Dengan bukti – bukti tersebut, penelitian ini relevan dengan penelitian – penelitian terdahulu sehingga lama pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI yang dini kelihatan berperan terhadap terjadinya ISPA pada bayi.

5.2.2 Status imunisasi bayi

Setelah dilakukan analisa secara deskriptif, hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian imunisasi pada bayi umur 0-1 tahun tidak kelihatan pengaruhnya dalam mencegah atau menurunkan resiko bayi tepapar ISPA. Dari Tabel 5.7, dapat dilihat jumlah bayi yang diberi imunisasi dan bayi yang tidak diberi imunisasi. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa angka cakupan imunisasi di kalangan bayi umur kurang dari 1 tahun adalah memuaskan dimana hanya 10% bayi yang tidak diberi imunisasi.

Penelitian ini didapati menyimpang dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Menurut Sadono (2005), status imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko ISPA. Dari penelitiannya, bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umurnya, mempunyai risiko menderita ISPA sebesar 2,6 kali.

Hasil penelitian ini juga menyimpang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank (1999), yang menyatakan bahwa imunisasi dapat mencegah kematian akibat infeksi saluran pernafasan akut sebesar 25%. Imunisasi, peningkatan gizi dan menyusui memberi kontribusi dalam menurunkan kejadian ISPA, sehingga tidak berlanjut menjadi pneumonia.

(47)
(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :

(1) Sebanyak 56,3% bayi yang menderita ISPA mendapat ASI eksklusif sebanyak atau lebih dari 5 kali sehari manakala hanya 43,7% bayi yang mendapat ASI kurang dari lima kali sehari.

(2) Sebanyak 33,3% bayi yang diberi ASI eksklusif selama empat hingga enam bulan manakala sebanyak 66,7% bayi hanya diberi ASI eksklusif selama satu hingga empat bulan.

(3) Sejumah 75% bayi medapat kolostrum selama seminggu dan hanya 4,2% tidak mendapat kolustrum sama sekali.

(4) Diperoleh sejumlah 89,6% bayi diberi makanan pendamping ASI sebelum umur 4 bulan manakala hanya 10,4% bayi tidak diberi makanan pendamping ASI sebelum unur 4 bulan.

(5) Sebanyak 89,6% bayi mendapat imunisasi dan hanya 10,4% bayi tidak mendapat imunisasi.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang ingin saya berikan. Diantaranya adalah,

(49)

2) Kepada tenaga kesehatan dan institusi agar dapat menerapkan studi ini untuk mengedukasi para ibu mengenai frekuensi, lama pemberian ASI eksklusif, pemberian kolostrum dan makanan pendamping ASI serta status imunisasi kepada bayi.

3) Diharapkan kerjasama antara pihak administrasi rumah sakit dan dokter dalam penyebaran informasi dengan penyebaran brosur, leaflet dan lain-lain tentang ISPA pada bayi dan cara-cara pencegahannya .

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, 2003. Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kasus ISPA Pada Bayi Umur

0-4 Bulan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Abdullah, 2003. Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kasus ISPA Pada Bayi Umur

0-4 Bulan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam:

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial R.I., Ditjen Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat , 2000(D). Jakarta : Gizi Seimbang

Menuju Hidup Sehat bagi Ibu Hamil dan Ibu Menyusui.

Abdullah, 2003. Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kasus ISPA Pada Bayi Umur

0-4 Bulan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam : WHO,

1986. Facts and Figures on Acute Respiratory Infections in Children. Geneva. Abdullah, 2003. Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kasus ISPA Pada Bayi Umur

0-4 Bulan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam: Warta

Posyandu, 1988/1999. ISPA dan Pneumonia, Pembunuh Utama Bayi di

Indonesia. No.2.

Ardyanto T.D., 2008. Serba-serbi imunisasi IPD. Available from:

[Accessed from: 18 Maret 2010].

Bratawidjaja, & Garna, K., 2000. Imunologi Dasar. Edisi ke-4, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran: 8-56.

Colman, & Bernard, H., 1992. Disease of the Nose, Throat and Ear, and Head and

Neck : A handbook for students and practitioners. Fourtheeth Edition. Singapore

: Longman: 92-163.

Deb, 1998. Acute Respiratory Disease Survey In Tripura In Case Of Children Below

(51)

Departement Kesehatan, Ditjen Binkesmas, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1992.

Petunjuk Penatalaksanaan Peningkatan ASI- Eksklusif.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pemberantasan Penyakit

Infeksi SaluranPernafasan Akut untuk Penanggulangan Pnemonia pada Balita.

Jakarta, 2000: 4 – 20.

Fajardo A., 1998. Breast Feeding Lowers the frequency and Duration of Acute

Respiratory Infection and Diarrhea in Infants under Six Months of Age. Journal

of Community and International Nutrition. Mexico: 436 – 437.

Juliastuti P., 2000. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia

Balita di Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis. Tesis Program Pasca Sarjana,

Program Studi Epidemiologi Lapangan, FKM, Universitas Indonesia.

Kominfo, 2009. BCG, DPT, CAMPAK, POLIO DAN HEPATITIS B IMUNISASI

WAJIB UNTUK BAYI. Available from:

Lawrence, & Ruth, A., 1994. Breastfeeding : A guide for the medical profession. Fourth Edition. St. Louis : Masby: 9-40.

Markum, A. H. 2000, Imunisasi. Edisi ke-2, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia: 3-24.

Naim, & Khoirul, 2001. Hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap Kejadian

Pneumonia pada anak umur 4-24 bulan di Kabupaten Indramayu. Thesis

Magister Kesehatan pada FKMI-UI.

Notoatmodjo, S., 2005. METODOLOGI PENELITIAN KESEHATAN. Cetakan ke-3.

Robert EB. et al, 2001. Exclusive Breastfeeding Reduce Acute Respiratory Infection

and DiarrheabDeaths Among Infants in Dhaka Slums. Journal of

(52)

Roesli, & Utami, 2000. Bayi Sehat Berkat ASI-Eksklusif : Makanan pendamping

tepat dan imunisasi lengkap. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo: 125-138.

Roesli, & Utami, 2005. Mengenal ASI Eksklusif. Yayasan Essentia Medica: 83-91. Sadono, W., 2005. Bayi Berat Badan Lahir Rendah Sebagai Salah Satu Faktor Risiko

Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Bayi, Studi Kasus Di Kabupaten Blora

Soysa, & Priyani E., 1991. Keuntungan-keuntungan Menyusui : Dari sudut pandang

negara sedang berkenbang. (Terjemahan dari Breastfeeding and Health).

Diterbitkan oleh Depkes, Dit. Bina Gizi Masyarakat

Sukar et al, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang (indoor) terhadap

penyakit ISPA-pneumonia di Indramayu, Jawa Barat. Buletin Penelitian

Kesehatan Depkes, Balitbangkes. Jakarta, Vol.24.

Sumargono , 1989. Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi

Saluran Pernapasan Akut Pada Balita Di Kelurahan Kepala Dua Wetam,

Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tesis Megister Pada Fakultas

Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

Tupasi et al, 1998. Determinants of Morbidity And Mortality Due to Acute

Respiratory Infections: Implications of Intervention. The Journal Of Infectious

Disease, Vol. 157 ( No 4).

World Bank, (1999). Acute Respiratory Infection. Available from:

World Health Organization, 2005. Breastfeeding. Available from: [ Acessed from: 7 Mei 2010]

Gambar

Tabel 2.1 : Jadwal imunisasi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Tabel 3.1 : Nombor pertanyaan dan skor untuk setiap pilihan jawaban
Tabel 5.2 Karakteristik berat badan lahir bayi
Tabel 5.5 Karakteristik pemberian kolostrum pada bayi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Rubrik Penilaian RPP ini digunakan peserta pada saat penelaahan RPP peserta lain dan digunakan Fasilitator untuk menilai RPP yang disusun oleh masing-masing

bahwa Rancangan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru tentang anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005 telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Pedoman Perilaku ini tidak dapat memberikan jawaban secara pasti atas semua problematika pe- rilaku insan perusahaan. Oleh karena itu, setiap in- san perusahaan

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

[r]

[r]

Penulisan ilmiah ini membahas mengenai pembuatan aplikasi multimedia mengenai pembuatan dokumentasi yang sifatnya pribadi mengenai salah satu musisi anak negeri yaitu Iwan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah, telah