• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management of mud crab (Scylla olivacea) at mangrove ecosystem in coastal subdistrict East Sinjai, Sinjai Regency, South Sulawesi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Management of mud crab (Scylla olivacea) at mangrove ecosystem in coastal subdistrict East Sinjai, Sinjai Regency, South Sulawesi."

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ANDI CHADIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

ABSTRACT

ANDI CHADIJAH. Management of mud crab (Scylla olivacea) at mangrove ecosystem in coastal subdistrict East Sinjai, Sinjai Regency, South Sulawesi. under direction of YUSLI WARDIATNO and SULISTIONO.

Sinjai Subdistrict is one of the coastal district area located in Sinjai

Regency, South Sulawesi. The region has a

fairly extensive mangrove and crab potential of 62,36 tonnes in 2010 for local and export market. The objectives of this research were 1) to identify mangrove ecosystem status in Tongke-tongke and Samataring villanges, 2) to identify bioecological status resource of mud crab (S. olivacea) in the Tonngke-tongke and Samataring villanges, 3) Formulate management strategy of the mud crab to ensure the sustainability of its utilization. The data was collected since February to May 2010. Mud crab’s bioecology status was analyzed using by calculating the growth parameters and prediction of the mortality and exploitation rate of the mud crab using FISAT II software programme. Sustainability analysis was done by using multidimensional scalling approach of Rapfish method. Result of the study show mangrove density both of location was very good, which was between 4.925-9.667 tree/ha. Explotation rate status of the mud crab was exceed the optimum limit but still slight below the allowed of exploitation which was between 0,75-0,81/year. The results obtained for the management of the four dimensions which is value of ecological status that sustainable in management was 50,06% and, while in the value of economic social and institutional dimension status which was less sustainable in management were 49,00%, 30,23% and 40,84%, respectively.

Keyword: Mud crab, management, mangrove ecosystem, bioecology.

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla olivacea) pada ekosistem mangrove di Perairan Pesisir Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2011

Andi Chadijah NRP C252090161

(5)
(6)
(7)

WARDIATNO dan SULISTIONO

Kepiting bakau (Scylla olivacea) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis penting yang banyak diminati oleh masyarakat. Harga kepiting bakau yang cukup mahal membuat nelayan banyak tergiur untuk menangkap dan membudidayakan kepiting ini. Volume produksi kepiting bakau di Kabupaten Sinjai meningkat dari 39 ton pada tahun 2009 menjadi 62,36 ton pada tahun 2010 dengan lokasi pemasaran lokal dan ekspor.

Penelitian pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (scylla olivacea) dilakukan di wilayah perairan mangrove Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan sejak Februari sampai dengan Mei 2011. Penelitian bertujuan untuk 1) mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove, 2) menganalisis beberapa aspek bioekologi kepiting bakau (S.olivacea) serta 3) merumuskan strategi pengelolaan kepiting bakau secara berkelanjutan.

Pengumpulan kepiting bakau diperoleh dari hasil tangkapan kepiting bakau pada dua lokasi penelitian. Data biologi kepiting bakau dianalisis dengan menggunakan program FISAT-II. Analisis keberlanjutan menggunakan pendekatan multidimensional scaling dengan metode Rapfish.

Hasil penelitian kondisi ekobiologi kepiting bakau menunjukkan pola pertumbuhan kepiting bakau baik jantan maupun betina adalah bersifat isometrik (pertambahan lebar karapas sama dengan pertambahan bobot). Koefisen pertumbuhan kepiting bakau (S.olivecea) berkisar antara 0,920-0,870. Sebaran ukuran kepiting bakau yang tertangkap selama penelitian adalah 48-120 mm untuk jantan dan 58-138 mm untuk betina. Rasio kelamain antara jantan dan betina yang tertangkap adalah tidak signifikan dari 1:1. Berdasarkan kondisi biologi kepiting bakau (S.olivacea) yang digunakan dengan menggunakan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan kepiting bakau sudah berada diatas laju ekpsloitasi maksimal yakni sebesar 0,6

Hasil analisis Rapfish menunjukkan dimensi ekologi yang cukup berkelanjutan sedangkan dimensi ekonomi, sosial dan kelembagaan kurang berkelanjutan. Dari masing-masing dimensi terdapat beberapa atribut yang memiliki peranan penting, untuk dimensi ekologi adalah kerapatan mangrove dan laju eksploitasi, dimensi ekonomi adalah sifat aktivitas penangkapan dan produksi kepiting bakau, dimensi sosial adalah pengetahuan pengelolaan mangrove dan dukungan dinas terkait dalam pengelolaan mangrove, dan dimensi kelembangaan adalah aturan pemanfaatan kepiting bakau serta keberadaan lembaga masyarakat.

Terdapat tujuh hal penting yang perlu dipertimbnagkan dalam pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (S.olivacea) adalah (1) Penegakan aturan mengenai pelestarian mangrove, meliputi penanaman, peremajaan dan pemeliharaan hutan mangrove, (2) Penetapan batas optimum

(8)

xii

pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau harus segera ditetapkan, hal ini terjadi karena nilai laju eksploitasi aktual telah melebihi batas optimum,(3) Pembatasan waktu penangkapan kepiting bakau pada musim-musim tertentu khususnya pada musim pemijahan (November-Mei), serta penggunaan alat tangkap yang selektif penting untuk dikaji (bubu, rakkang serta pengait) hal ini berkaitan dengan ukuran tangkapan kepiting yang tertangkap. Selain itu diberikan alternatif mata pencarian lain kepada masyarakat sehingga tidak terjadi tekanan terhadap sumberdaya kepiting bakau, (4) penyediaan benih kepiting bakau yang berasal dari hatchery untuk dibudidayakan, (5) pemberian pendampingan, penyuluhan serta sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan pengelolaan mangrove, (6) Lembaga masyarakat yang telah ada perlu lebih ditingkatkan peransertanya dan diberdayakan untuk mempermudah kegiatan penyuluhan dan berbagi informasi mengenai pengelolaan mangrove serta pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau, (7) belum adanya peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan kepiting bakau maka dari itu pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan mengenai pemanfaatan kepiting bakau untuk mendorong produksi kepiting bakau sehingga dapat berkontribusi terhadap PAD serta meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya nelayan kepiting.

(9)
(10)
(11)

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(12)
(13)

ANDI CHADIJAH C252090161

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(14)

xii

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M. Si

(15)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc Dr. Ir. Sulistiono, M. Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Tanggal Ujian: 12 Oktober 2011 Tanggal Lulus:

NRP : C252090161

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla olivacea) pada ekosistem mangrove di Perairan Pesisir Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelasaian penulisan karya ilmiah ini, terutama Ketua Komisi Pembimbing Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc dan Dr. Ir. Sulistiono, M. Sc selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan, kepada teman-teman mahasiswa Program SPL yang telah memberikan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan karya ini.

Ucapan Terima Kasih pula penulis sampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga yang selalu memberikan doa, dorongan dan motivasi selama menjalani studi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait sebagai bahan informasi dan penunjang dalam penelitian-penelitian terkait selanjutnya.

Bogor, November 2011

Andi Chadijah

(18)
(19)

Samaiyo dan Ibunda Andi Banna Pasinringi.

Pendidikan SD, SMP, dan SMU penulis selasaikan di Sidrap, selanjutnya pendidikan S1 ditempuh sejak tahun 2004 di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2009 penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB.

(20)
(21)

DAFTAR GAMBAR ……….. xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix

1 PENDAHULUAN ……… 1.1 Latar Belakang ………. 1.2 Rumusan Masalah ……… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………

1 2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ………... 2.5 Keterkaitan Kepiting Dengan Ekosistem Mangrove ……… 2.6 Pengelolaan Ekosistem Mangrove ………...

5

(22)

xii

Kepiting Bakau ………... 27

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………... 4.1 Letak Geografis dan Administrasi ……….. 4.2 Topografi, Iklim dan Tanah ……….... 5.6 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan Kepiting Bakau ……. 5.6.1 Permintaan Kepiting Bakau ………... 5.6.2 Pendapatan Dari Pemanfaatan Kepiting Bakau ………. 5.6.3 Jenis Alat Tangkap Kepiting Bakau ……….. 5.7 Kelembagaan ……….. 5.7.1 Pengelolaan Ekosistem Mangrove ………. 5.8 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting

Bakau (S. olivacea) di Kawasan Mangrove ………...

5.8.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ………... 5.8.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ……… 5.8.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial ………. 5.8.4 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ………… 5.9 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (S.

olivacea) di Kecamatan Sinjai Timur ……….

33

(23)

LAMPIRAN ……… 79

(24)
(25)

1 Beberapa parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian …. 22

2 Kerapatan mangrove pada beberapa substasiun di Stasiun I ……. 34

3 Kerapatan mangrove pada beberapa substasiun di Stasiun II …… 35

4 Kepadatan kepiting bakau (S. olivacea) (ind/m2) selama

penelitian ……… 36

5 Kisaran kualitas air yang diperoleh selama penelitian …………... 40

6 Persentasi hasil tangkapan kepiting bakau (S. olivacea) selama

penelitian ……… 44

7 Ukuran kepiting bakau (S. olivacea) yang tertangkap …………... 45

8 Hubungan lebar dan bobot kepiting bakau (S. olivacea) ………... 49

9 Parameter pertumbuhan kepiting bakau (S. olivacea) di habitat

mangrove ………... 51

10 Beberapa parameter pertumbuhan kepiting bakau (S. olivacea)

pada kawasan yang berbeda ………... 51

11 Laju mortalitas dan laju eksploitasi kepiting bakau (S. olivacea)

yang tertangkap di Kecamatan Sinjai Timur ………. 53

12 Perbandingan antara laju mortalitas dengan laju eksploitasi pada

kawasan yang berbeda ………... 54

(26)
(27)

olivacea) pada ekosistem mangrove di perairan pesisir

Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai ………... 3

2 Kepiting Bakau (S. olivacea) ………. 6

3 Peta Lokasi Penelitian ……… 20

4 Gambar 1 Skema metode pengumpulan data mangrove ………… 21

5 Jenis alat tangkap kepiting bakau yang digunakan di Kecamatan

Sinjai Timur……… 21

6 Diagram korelasi dan representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia pada sumbu 1 dan 2 ……... 42

7 Distribusi lebar karapas kepiting bakau (S. olivacea) jantan …... 47

8 Distribusi lebar karapas kepiting bakau (S. olivacea) betina …... 48

9 Grafik hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh kepiting

bakau (a) jantan dan (b) betina ………... 50

10 Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) jantan dan

betina ……….. 52

11 Kepiting bakau (a) jantan dan (b) yang matang gonad…………... 55

12 Diagram Layang-layang pengelolaan sumberdaya kepiting bakau

(S. olivacea) di Kecamatan Sinjai Timur ………... 61

13 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan

pengelolaan kepiting bakau ……… 63

14 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada

keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau ………. 64

15 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan

pengelolaan kepiting bakau ……… 65

15 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada

keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau ………. 66

(28)
(29)

Halaman

1 Hasil Analisis PCA ………... 81

2 Grafik pertumbuhan populasi kepiting bakau jantan dan betina ... 82

3 Grafik parameter pertumbuhan von-Bertalanffy ………... 83

4 Analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi kepiting bakau (S.

olivacea) ………. 85

5 Rincian pendapatan nelayan penangkapan kepiting bakau ……… 88

6 Ukuran pertama kali matang gonad kepiting bakau ……….. 89

7 Skor dan atribut dari empat dimensi pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (S. olivacea) di Kecamatan Sinjai Timur

Kabupaten Sinjai ……… 91

8 Daftar nama kelompok tani bakau di Kabupaten Sinjai ………… 93

9 Data volume produksi kepiting bakau Tahun 2007-2010

Kabupaten Sinjai ……… 94

10 Foto kondisi mangrove pada lokasi penelitian ………... 95

11 Foto jenis kepiting bakau (S.olivacea) yang tertangkap selama … 96

(30)
(31)
(32)

32

(33)
(34)

97

(35)

Lampiran 11 Ukuran pertama kali matang gonad kepiting bakau

(36)

99

(37)
(38)

ABSTRACT

ANDI CHADIJAH. Management of mud crab (Scylla olivacea) at mangrove ecosystem in coastal subdistrict East Sinjai, Sinjai Regency, South Sulawesi. under direction of YUSLI WARDIATNO and SULISTIONO.

Sinjai Subdistrict is one of the coastal district area located in Sinjai

Regency, South Sulawesi. The region has a

fairly extensive mangrove and crab potential of 62,36 tonnes in 2010 for local and export market. The objectives of this research were 1) to identify mangrove ecosystem status in Tongke-tongke and Samataring villanges, 2) to identify bioecological status resource of mud crab (S. olivacea) in the Tonngke-tongke and Samataring villanges, 3) Formulate management strategy of the mud crab to ensure the sustainability of its utilization. The data was collected since February to May 2010. Mud crab’s bioecology status was analyzed using by calculating the growth parameters and prediction of the mortality and exploitation rate of the mud crab using FISAT II software programme. Sustainability analysis was done by using multidimensional scalling approach of Rapfish method. Result of the study show mangrove density both of location was very good, which was between 4.925-9.667 tree/ha. Explotation rate status of the mud crab was exceed the optimum limit but still slight below the allowed of exploitation which was between 0,75-0,81/year. The results obtained for the management of the four dimensions which is value of ecological status that sustainable in management was 50,06% and, while in the value of economic social and institutional dimension status which was less sustainable in management were 49,00%, 30,23% and 40,84%, respectively.

Keyword: Mud crab, management, mangrove ecosystem, bioecology.

(39)

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla spp) adalah salah satu biota yang merupakan komoditas perikanan yang hidup pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan mangrove. Dengan adanya kawasan hutan mangrove di seluruh wilayah pantai Nusantara menjadikan negara Indonesia sebagai pengekspor kepiting bakau yang cukup besar dibandingkan negara pengekspor lainnya (Kanna 2002). Menurut Cholik (1999), kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok di alam pada perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun.

Penurunan populasi kepiting bakau diperkirakan salah satunya disebabkan oleh penangkapan yang berlebih oleh nelayan karena memiliki nilai ekonomis penting dan memiliki harga jual yang tinggi. Penyebab lain adalah sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya memanfaatkan ekosistem mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau dan diperkirakan kepiting memainkankan peran ekologi yang signifikan dalam struktur dan fungsi dari mangrove (Elizabethet et al. 2003). Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan untuk keperluan lainnya. Terjadinya degradasi mangrove juga diakibatkan oleh tekanan dari manusia, penebangan hutan, konversi lahan menjadi tambak dan produksi garam, penambangan timah, industri pesisir, serta urbanisasi yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove (Macintosh et al.2002).

Kecamatan Sinjai Timur khususnya di Desa Tongke-tongke dan Samataring merupakan kawasan yang merasakan dampak akibat dari rusaknya ekosistem mangrove, diantaranya sering terjadinya abrasi dan berkurangnya jumlah

(40)

2

tangkapan nelayan setempat. Oleh sebab itu, masyarakat setempat melakukan pelestarian ekosistem mangrove dengan melakukan penanaman mangrove, selain itu juga lahan-lahan bekas tambak yang tidak produktif juga ditanami mangrove. Penanaman ini diharapkan dapat membantu melestarikan dan memperbaiki parairan pantai yang layak baik organisme khususnya kepiting bakau (S. olivacea) yang hidup diwilayah tersebut. Seiring dengan meningkatnya tingkat pemanfaatan serta menurunnya kualitas habitat kepiting maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya kepiting pada ekosistem mangrove di perairan pesisir Kecamatan Sinjai Timur khususnya di Desa Tongke-tongke dan Samataring.

1.2 Rumusan Masalah

Kepiting bakau (Scylla olivacea) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis penting yang banyak diminati oleh masyarakat khususnya di Kabupaten Sinjai. Harga kepiting bakau yang cukup mahal yang membuat nelayan banyak tergiur untuk menangkap dan membudidayakan kepiting ini. Pemanfaatan kepiting bakau dibagi atas dua pemanfaatn yakni penangkapan ukuran dewasa untuk konsumsi dan penangkapan benih untuk kegiatan budidaya. Volume produksi kepiting bakau di Kabupaten Sinjai meningkat, pada tahun 2007 volume produksi sebesar 41 ton, pada tahun 2008 menjadi 52,5 ton terjadi peningkatan sebesar 28,05%, memasuki tahun 2009 mencapai 62,65 ton, pada tahun 2010 sedikit menurun menjadi 62,36 ton dengan lokasi pemasaran lokal dan ekspor (DKP Kab. Sinjai 2010).

Di sisi lain, kerusakan ekosistem mangrove yang umumnya disebabkan oleh gangguan manusia dapat mengurangi atau menghilangkan manfaat ekologis ekosistem mangrove. Selain itu berpengaruh terhadap penurunan komunitas kepiting. Pemanfaatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat diantaranya pengambilan kayu mangrove untuk dijadikan arang serta tidak sedikit juga yang mengkonversinya menjadi lahan tambak. Dengan adanya aktifitas tersebut dapat memberikan dampak terhadap komunitas kepiting bakau, mengingat bahwa kawasan mangrove merupakan habitat bagi kepiting. Berdasarkan penelitian Siahainenia (2008) penurunan populasi kepiting bakau selain disebabkan oleh penangkapan yang berlebih oleh nelayan juga disebabkan karena hilangnya

(41)

timbul pertanyaan bagaimana merencanakan suatu strategi pengelolaan sehingga pemanfaatan kepiting bakau dapat lestari dan berkelanjutan baik dari segi ekologi, ekonomi, sosial serta kelembagaan. Pada Gambar 1 akan diuraikan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

Gambar 2 Kerangka pemikiran pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (S. olivacea) pada ekosistem mangrove di perairan pesisir Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai

(42)

4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah :

 Untuk mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove di Desa Tongke-tongke dan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.

 Untuk menganalisis beberapa aspek bioekologi kepiting (S. olivacea) yang ada di Desa Tongke-tongke dan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.  Merumuskan strategi pengelolan kepiting sehingga dapat dimanfaatkan

secara berkelanjutan.

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam upaya pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.

(43)

2.1 Kepiting Bakau (Scylla olivacea)

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu spesies yang bernilai ekonomi tinggi yang hidup pada ekosistem mangrove. Pada beberapa tahun terakhir penangkapan serta pembudidayaan kepiting bakau (S. olivacea) berkembang di Indonesia karena tingginya nilai ekonomi dan merupakan salah satu komoditi ekspor. Di Indonesia genus Scylla terdistribusi secara luas dari barat (Sumatera) sampai timur (Irian Jaya). Kepiting banyak terdapat di area pesisir dimana terdapat mangrove dan air payau (La Sara et al. 2002). Menurut Estampador (1949) in Klinbunga et al. (2000) membagi kepiting bakau dalam 4 golongan (tiga spesies dan satu subspesies) yaitu S. serrata, S. oceanica, S. tranquberica dan S. serrata var. paramamosain. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, Keenan (1998) in Klinbunga et al. (2000) merevisi taksonomi kepiting bakau berdasarkan morfometrik dan genetik dengan menggunakan analisis Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA yang menemukan empat spesies kepiting bakau yakni S. serrata, S. paramamosain, S. olivacea dan S.

(44)

6

2.1.1 Morfologi dan Tingkah Laku Kepiting

Ciri morfologi kepiting bakau adalah mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan, empat duri yang lain terdapat pada kedua mata, mempunyai kaki jalan lima pasang yang pertama bentuknya lebar disebut capit, berguna untuk memegang. Kaki jalan yang terakhir mengalami modifikasi sebagai alat renang berbentuk seperti dayung dan warna karapas dari kepiting bakau adalah hijau kecoklatan, yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana kepiting bakau berada, sedangkan di daerah bakau warnanya hijau merah kecoklatan (Moosa et al. 1985)

Jenis jantan dan betina pada kepiting bakau dibedakan dengan mengamati abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan betina lebih lebar. Perut betina berbentuk stupa sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain yakni pada kaki renang yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat meletakkan telur.

Gambar 3 Kepiting Bakau (S. olivacea)

Menurut Keenan (1998) bahwa kriteria klasifikasi S. olivacea (Gambar 2) dewasa adalah warna bervariasi dari orange kemerahan sampai coklat kehitaman. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Duri pada bagian dahi karapas tumpul dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang sempit. Umumnya tidak ada duri pada carpus, sedangkan pada bagian propandus duri mengalami reduksi dari tajam ketumpul.

(45)

kawasan bakau. Pada tingkatan juvenile (muda), kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenile kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan sela-sela akar pohon bakau (Soim 1999).

Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Pada waktu malam, kepiting bakau mampu mencapai jarak 219 – 910 m untuk aktivitasnya mencari makan. Ketika matahari terbit, kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nocturnal). Secara umum tingkah laku kepiting adalah kanibalisme dan saling menyerang. Selain itu, kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuiakan diri yang cukup tinggi.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu fauna yang mendiami hutan mangrove, biasa menggali pada lumpur atau pasir berlumpur. Distribusi kepiting bakau mulai dari Arfika Selatan, di sepanjang pantai selatan, melintasi Samudera India dan dari utara ke selatan Jepang, ke timur seperti Micronesia dan dari selatan ke timur Pantai Australia. Jenis S. olivace banyak ditemukan di Pakistan, Indonesia, bagian utara dan barat Australia. Di Indonesia sendiri merupakan pusat dari keanekaragaman genus ini, dimana semua spesies Scylla dapat ditemukan (Shelley 2008).

Kepiting bakau mendiami hampir semua bagian perairan Indonesia, terutama di daerah yang banyak ditumbuhi pohon bakau atau daerah hutan bakau (lingkungan mangrove), pertambakan pada daerah-daerah muara sungai dan lubang-lubang. Kepiting bakau biasanya ditemukan di estuari dan biasanya populasi yang besar berasosiasi dan menetap di daerah mangrove khususnya estuari (Le Vay 2001). Adapun kepadatan rata-rata kepiting berdasarkan hasil

(46)

8

penelitian Elizabeth et al. (2003) yakni sekitar 16 ekor kepiting dalam 100 m2

-plot.

2.1.3 Siklus Hidup

Kepiting bakau dalam manjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak–anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau pembesaran. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, tambak atau sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian perairan yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas perairan. Peristiwa pemijahan ini terjadi pada periode-periode tertentu, terutama pada awal tahun (Kasry 1991).

Larva kepiting bakau yang baru menetes berkembang melalui lima tingkat zoea dan satu tingkat megalopa. Pergantian kulit (moulting) pada zoea maupun megalopa terjadi dengan pemisahan pada batas kepala-dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Dibutuhkan waktu enam hari bagi zoea-V untuk berubah menjadi megalopa pada air laut dengan salinitas 31-32 ppt. Pada salinitas rendah waktu yang diperlukan menjadi lebih pendek. Perkembangan yang lebih cepat pada salinitas rendah menunjukkan migrasi juvenil menuju air payau (Moosa & Juwana 1996).

2.1.4 Ukuran Kepiting

Menurut Soim (1999), ukuran kepiting yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim. Misalnya, di perairan bakau Ujung Alang (Cilacap) terdapat kepiting bakau dengan kisaran lebar karapas (kerangka luar) 18,80 mm – 142,40 mm. Sedangkan di perairan bakau Segara Anakan Cilacap didapatkan kepiting dengan kisaran lebar karapas 19,20 mm – 116,70 mm.

(47)

menjadi tiga kelompok :

 Kepiting juwana, lebar karapas 20 mm – 80 mm

 Kepiting menjelang dewasa, lebar karapas 70 mm – 150 mm  Kepiting dewasa, lebar karapas 150 mm – 200 mm.

Ukuran kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3 cm – 10 cm mempunyai berat capit sekitar 22% dari berat tubuh. Setelah ukuran karapasnya mencapai 10 cm – 15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30% -35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama yakni 22% (Soim 1999).

Berdasarkan penelitian Le Vay et al. (2007), S. paramamosain mencapai ukuran matang gonad pada saat mencapai ukuran rata-rata 10,2 cm dan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, ukuran ini dicapai setelah sekitar 160 hari berada pertama kali di kawasan mangrove. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm. S. serrata jantan mantang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup dalam bersaing untuk kawin sebelum dewasa secara morfologis yakni dari ukuran capit dengan lebar karapas 140-160 mm. Sedangkan untuk S. serrata betina matang gonad pada lebar karapas antara 80-120 mm (Bonine et al. 2008). Menurut Ewel (2008) perbedaan ukuran kepiting bakau disebabkan oleh kondisi lingkungan serta pola penangkapan.

2.2 Ekologi Hutan Mangrove

Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum 1983). Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) in Wilson (2008) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizopora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa fruticans). Mangrove

(48)

10

merupakan pohon yang tumbuh terutama di zona pasang surut, antara darat dan laut, di daerah tropis (sub). Daerah pasang surut zona dicirikan oleh faktor lingkungan sangat bervariasi, seperti suhu, sedimentasi dan arus pasang surut (Nagelkerken 2008)

Kusmana (2002) mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2000). Hutan mangrove juga sering kali disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau ini hanyalah merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yakni Rhizoporaspp. Oleh karena itu hutan mangrove lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove forest (Dahuri et al. 1996). Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohan yang khas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1988).

(49)

Mangrove dapat berkembang dengan baik pada kawasan yang memiliki pergerakan air yang minimal yaitu pada kawasan yang terlindung. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan partikel yang lambat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Gerakan awal air yang lambat pada ekosistem mangrove selanjutnya ditingkatkan oleh mangrove sendiri (Nybakken 1988).

Kebanyakan mangrove mempunyai akar penyangga yang khas, yang memanjang dari batang dan dahan. Akar ini sering kali sangat banyak dan kusut sehingga sukar ditembus diantara permukaan lumpur dan permukaan air. Adanya sistem akar yang padat ini akan mengurangi gerakan air, sehingga partikel yang sangat halus mengendap di sekeliling akar mangrove membentuk kumpulan lapisan sedimen. Sekali mengendap biasanya tidak dialirkan keluar kembali (Nybakken 1988).

Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas, sehingga setiap daerah vegetasi mangrove umumnya membentuk zonasi yang berbeda-beda pada setiap habitatnya. Pada umumnya komunitas mangrove tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove dalam menjaga kelangsungan hidupnya dari kondisi lingkungan yang ekstrim melakukan beberapa adaptasi diantaranya adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi dan adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil, serta adanya pasang surut (Bengen 2000).

Menurut Onrizal (2005)inSantoso (2008) sistem perakaran mangrove yang khas adalah akar napas (pneumatophore) seperti pada Avicennia sp. dan Sonneratia sp. akar tunjang (stilt root) seperti pada Rhizophora sp. akar banir seperti pada Ceriops sp. akar lutut (knee root) seperti pada Bruguiera sp. atau gabungan dari beberapa tipe akar tersebut. Secara umum, perkaran tersebut biasa diistilahkan sebagai akar udara (aerial root).

(50)

12

2.2.2 Struktur dan Adaptasi Mangrove

Ekosistem mangrove terdiri dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian perairan terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut, keterpaduan ini membentuk lingkungan unik yang menuntut kemampuan mangrove untuk melakukan adaptasi dengan keadaan tersebut (Romimohtarto & Juwana 2005). Beberapa adaptasi yang dapat dilakukan mangrove diantaranya adalah (Bengen 2000):

(1) Adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, yakni memiliki bentuk perakaran yang khas seperti perakaran bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatoforauntuk mengambil oksigen dari udara.

(2) Adaptasi terhadap kadar garam tinggi, yakni mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, selain itu daun mangrove yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam serta memiliki struktur stomata untuk mengurangi penguapan.

(3) Adaptasi terhadap tanah kurang stabil dan adanya pasang surut dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar, disamping untuk memperkokoh pohon juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

2.3 Habitat Mangrove

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan pada wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai subtrat bagi pertumbuhannya (Dahuri 2003)

(51)

pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah, keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas serta pasang surut. Pembentukan zonasi dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri dari zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling depan dan langsung berhadapan dengan laut tumbuh pada lumpur dalam yang kaya akan bakan organik. Zona dibelakangnya berturut-turut adalah tegakan Rhizophora dan Bruguiera. Zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah biasanya ditumbuhi Nypa fruticansdan beberapa spesies palem lainya (Bengen 2000).

2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Mangrove sebagian besar terdapat di sekitar zona intertidal, antara daratan dan lautan pada daerah (sub) tropis. Pada zona intertidal memiliki banyak faktor variabel lingkungan, seperti temperatur, sedimentasi dan pasang surut. Akar mangrove dapat menstabilkan lingkungan disekitarnya dan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Pada bagian kanopi mangrove sebagai habitat bagi banyak spesies termasuk burung, reptil, dan insekta. Sedangkan pada bagain bawah di sekitar akar banyak dipenuhi oleh epibentos, sponge, alga serta bivalvia. Substrat di mangrove merupakan habitat bagi berbagai spesies infauna dan epifauna, tempat diantara akar tempat perlindungan dan makanan bagi fauna motil seperti udang, kepiting dan ikan. Dalam kaitannya dengan tingginya kelimpahan makanan dan perlindungan dan rendahnya tekanan predator, mangrove merupakan habitat yang ideal bagi beberapa spesies hewan, yang sebagain atau selama siklus hidupnya di mangrove (Nagelkerken et al. 2008). Selain itu, mangrove juga dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, antara lain perikanan, pertanian, kehutanan, perlindungan terhadap erosi pantai, sebagai sumber kayu bakar dan bahan bangunan (Walters et al. 2008).

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis, oleh karena itu mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut,

(52)

14

mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan.

Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut (Zamroni 2008).

Selain memiliki fungsi ekologis, mangrove juga memiliki kemampuan untuk meredam gelombang besar seperti tsunami. Menurut Kathiresan & Bingham (2001) in Kathiresan & Rajendran (2005) jenis mangrove Rhizopora lebih kuat meredam gelombang dibandingkan jenis avicennia, selain itu mangrove dapat melindungi sistem air tanah yang merupakan sumber air minum bagi masyarakat pesisir.

Berdasarkan penelitian Kusuma (1996) terdapat beberapa fungsi ekosistem mangrove, diantaranya adalah:

1. Penghalang terhadap erosi, tiupan angin kencang, dan gempuran ombak yang kuat.

2. Membantu perluasan daratan ke laut dan pengolah limbah organik.

3. Tempat mencari makan, memijah dan bertelur bagi beberapa spesies udang dan burung.

4. Penghasil kayu dan non-kayu

5. Berpotensi untuk fungsi pendidikan dan pariwisata

(53)

Ekosistem mangrove menyediakan habitat yang unik dan luas untuk berbagai macam fauna (Shahidul & Wahab 2005). Kelimpahan kepiting (Scylla serrata) yang merupakan top predator bentik dapat digunakan sebagai indikator ekologi dimana mangrove sebagai habitat (Mark et al. 2007). Selain itu, kepiting bakau (S. serrata) dapat menjadi spesies yang ideal untuk pengukuran biomarker pada spesies di daerah tropik (Oosterom et al. 2010). Kepiting jenis Portunidae seperti Scylla serrata yang hidup di area mangrove dapat menggali lubang hingga 5 m ke luar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Fungsi lubang bagi kepiting bervariasi, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sebagai rumah atau territorial dalam berpasangan dan kawin, serta tempat pertahanan.

Kepiting bakau bisa juga digunakan sebagai bioindikator dari kualitas habitat mangrove, seperti karakteristik dan organisme yang penting secara ekologi pada lingkungan mangrove (Amaral et al. 2009). Menurut Wolff et al. (2000) in Arifin (2006) bahwa melalui serasah, mangrove menyumbangkan sumber makanan primer kedalam sistem yang dikonsumsi secara langsung oleh herbivor, diuraikan oleh bakteri dan oleh hewan pemakan detritus (Uca spp), Herbivor seperti Uca spp merupakan pakan alami bagi kepiting bakau. Berdasarkan penelitian Walton et al. (2007) in Bosire et al. (2008) bahwa mangrove jenis Rhizopora spp yang ditanami kembali dan setelah berumur 16 tahun dapat mendukung kepadatan kepiting bakau (S. olivacea) setara dengan habitat mangrove alami.

2.6 Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Tanaman mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Dengan demikian, keberadaan sumber daya mangrove perlu diatur dan ditata pemanfaatannya secara bertanggung jawab sehingga kelestariannya dapat dipertahankan.

(54)

16

Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan isu-isu utama. Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan mangrove dan rehabilitasi mangrove (Bengen 2000). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan ekosistem mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Keberhasilan dalam pengelolaan konservasi mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran ekosistem mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan kepiting atau berbagai biota lainnya. Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan ekosistem mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun konservasi ekosistem mangrove, baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha konservasi ekosistem mangrove tersebut.

Menurut Iftekhar (2004) strategi pengelolaan ekosistem berkelanjutan sekarang telah memakai Sustained Yield Principle. Konservasi biodiversitas dan peningkatannya merupakan tujuan utama dari pengelolaan. Sistem zonasi dikembangkan untuk tujuan produksi dan perlindungan. Pengelolaan mangrove bukan hanya untuk stabilitas daratan dari dampak erosi, tapi juga memberikan kontribusi terhadap lingkungan serta sosial ekonomi pada komunitas pesisir. Pengelolaan ekosistem mangrove termasuk didalamnya silvikultur, aquakultur atau jasa ekosistem seperti perlindungan pesisir. Pengelolaan silvikultur pada mangrove umumnya untuk bentos, termasuk invertebrata bentos yang mungkin mempengaruhi tegakan dan pertumbuhan pohon, dan komposisi komunitas

(55)

mangrove (Ellison 2008).

Menurut Dahuri et al. (2001) konservasi ekosistem dan sumberdaya didalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang nyata terhadap faktor-faktor pembatas seperti sirkulasi air, salinitas dan aspek fisika-kimia, dan sangat banyak hal yang dapat mengubah faktor-faktor tersebut. Karenanya konservasi dan pemanfaatan mangrove bergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Adapun beberapa strategi pengelolaan kawasan ekosistem mangrove adalah membuat peraturan perundang-undangan mengenai penebangan liar serta eksploitasi sumberdaya yang ada mengakibatkan kerusakan hutan mangrove yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat, memberikan pendidikan lingkungan, pemahaman arti pentingnya lingkungan dan sosialisasi peraturan perundangan diharapkan masyarakat akan dapat mengelola hutan mangrove secara bijaksana, pengembangan usaha ekowisata, pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Pemanfaatan mangrove harus dilakukan secara optimal agar tidak terjadi degradasi yang dapat menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan.

(56)

19

3 METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Propinsi Sulawesi Selatan..

Metode penentuan titik stasiun dilakukan secara purposive sampling, dimana penentuan lokasi dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan kondisi mangrove dan aktivitas masyarakat. Kawasan mangrove pada lokasi ini dibagi menjadi dua stasiun yakni di Kelurahan Samataring (Stasiun I) dan Desa Tongke-tongke (Stasiun II). Pada masing-masing stasiun tersebut terdiri atas beberapa substasiun dari perairan mangrove (pantai) ke arah daratan (Gambar 3).

3.2 Teknik Pengambilan Data

3.2.1 Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove

Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan transek yakni dengan cara menarik garis tegak lurus dari arah laut ke darat. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek garis, diletakkan secara acak petak-petak contoh berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m (Gambar 4). Pada setiap plot dilakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, perhitungan jumlah tegakan dan diameter pohon pada setiap mangrove pada setinggi dada. Pada setiap zona sepanjang garis transek diukur parameter lingkungan yang telah ditentukan yang bertujuan untuk mengetahui kerapatan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian.

3.2.2 Kepiting Bakau

Pengambilan contoh kepiting diperoleh dari hasil tangkapan dalam plot dengan menggunakan alat tangkap rakkang dan bubu (Gambar 5). Setiap plot pada transek dipasang 8 rakkang dan 5 bubu (traps) secara bersamaan. Ukuran mesh size yang digunakan adalah sebesar 2 cm. Kepiting yang tertangkap diidentifikasi jenisnya.

(57)

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

(58)

21

G

Gambar 4 Skema metode pengumpulan data mangrove.

(a) Bubu lipat (b) Bubu bambu

(c) Rakkang

Gambar 5 Jenis alat tangkap kepiting bakau yang digunakan di Kecamatan Sinjai Timur.

Keterangan

Area sampling mangrove (10m*10m)

Area mangrove Line transek Alat tangkap

(59)

Dalam penelitian ini terdapat beberapa parameter kualitas air yang diukur seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian.

No Parameter Metode, Analisis dan Alat Lokasi

1. Suhu Thermometer In situ

2. pH pH-meter In situ

3. Salinitas Refraktometer In situ

4. Oksigen Terlarut DO-meter In situ

3.2.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan

Pengumpulan data kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan sebagai data pendukung dilakukan pula pengumpulan data pada instansi yang terkait dengan penelitian ini. Untuk jenis data yang dikumpulkan berupa data primer yang meliputi aspek sosial ekonomi (mata pencarian, jenis tangkapan kepiting, jumlah tangkapan, ukuran kepiting yang tertangkap, harga jual kepiting serta jenis alat tangkap yang digunakan), dan aspek sosial budaya (data persepsi masyarakat mengenai keberadaan mangrove dan area penangkapan kepiting). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi aspek kependudukan (jumlah penduduk serta tingkat pendidikan), aspek hukum dan kelembagaan (kebijakan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta kelembagaan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove).

Penentuan jumlah sampel untuk responden baik untuk petambak dan nelayan sambilan ditentukan berdasarkan persamaaan estimasi proporsi sebagai berikut (Nazir 2005):

(60)

23

Untuk responden nelayan kepiting bakau, pengumpul kepiting serta pemerintah terkait dilakukan sensus, karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Vegatasi Mangrove

Data mengenai jenis dan jumlah tegakan diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis. Kerapatan jenis (K) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area, dihitung dengan persamaan (Bengen 2000):

K = Keterangan:

K = kerapatan jenis i

ni= jumlah total tegakan dari jenis i

A = luas area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)

3.3.2 Kepadatan Kepiting Bakau

Kepadatan kipiting bakau dihitung dengan menggunakan persamaan yang selain digunakan untuk sampling tumbuhan juga dapat digunakan untuk sampling fauna yang pergerakannya lambat, atau fauna bentos (Brower et al. 1990):

Keterangan:

Di = kepadatan (ind/m2)

ni = Jumlah total individu spesies ke-i (individu) A = total luasan area sampling (m2)

3.3.3 Analisis Nisbah Kelamin

Untuk mengetahui hubungan jantan dan betina dari suatu populasi kepiting maupun pemijahannya maka, pengamatan mengenai nisbah kelamin (Sex Ratio) kepiting yang diteliti merupakan salah satu faktor yang amat penting. Selanjutnya, untuk mempertahankan kelestarian kepiting yang diteliti diharapkan perbandingan nisbah kelamin (Sex ratio) kepiting jantan dan betina seimbang ( 1:1 ). Analisis

(61)

(Fowler & Cohen 1990) yaitu:

SR=(|O-E|-0.5)2

Keterangan: SR= Sex ratio

O = frekuensi kepiting jantan dan betina yang diamati E= frekuensi kepiting jantan dan betina yang diharapkan

3.3.4 Analisis Hubungan Panjang dan Bobot

Hubungan panjang dan bobot digambarkan dalam dua bentuk grafik yakni isometrik dan alometrik. Untuk kedua pola ini berlaku persamaan yang dikemukanan oleh Ricker (1975) inEffendie (1979):

W = aLb Keterangan:

W = bobot individu kepiting dalam gram L = lebar karapas dalam mm

a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y) b = penduga pola pertumbuhan panjang-bobot

Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus digunakan persamaan sebagai berikut:

Log10W = log10a+b log10L

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai Y dan Log L sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi:

Y = a+bX

Untuk menguji nilai b=3 atau b≠3 dilakukan uji-t. Jika b=3 maka hubungan panjang bobot adalah isometrik dan jika b≠3 maka hubungan panjang bobot adalah alometrik. Untuk pola pertumbuhan alometrik dibagi menjadi dua yakni alometrik positif, (jika b>3, pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang) serta alometrik negatif, (jika b<3, pertambahan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan berat).

(62)

25

3.3.5 Parameter Pertumbuhan

Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre & Venema 1999) dengan persamaan sebagai berikut:

Lt = L∞ [1 – e -K(t-t0)]

Untuk menentukan panjang asimtot ikan (L∞) dan koefisien laju pertumbuhan (K) digunakan metode Ford dan Walford in Sparre & Venema (1999) yaitu dengan memplotkan L(t + ∆t) dan L(t) dengan persamaan : L(t + ∆t) = a + b L(t), setelah mendapatkan persaman regresi dari kedua hubungan.

Nilai L ∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analysis) yang terdapat dalam program FISAT II. Selanjutnya pendugaan umur teoritis pada saat lebar karapas sama dengan nol (to) digunakan rumus empiris Pauly (1983) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut:

log (-to) = -0,3922 – 0,2752 log L∞ -1,308 log K Keterangan:

L∞ = Panjang asimptot kepiting (mm) K = Koefisien pertumbuhan(per tahun)

to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun)

3.3.6 Laju Eksploitasi Kepiting

Pendugaan laju eksploitasi kepitng dilakukan dengan penentuan parameter-parameter pertumbuhan yang telah dihitung sebelumnya. Setelah nilai ini diketahui, maka dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt (Sparre & Venema 1999):

Z = K*

Dan untuk pendugaan laju mortalitas alami menggunakan rumus empiris Pauly (1983)inSparre & Venema (1999):

Log M = - 0,152 – 0,279*ln L ∞ + 0,6543* Log K + 0,463*Log T dimana T merupakan tempetur perairan.

Nilai Z dan M digunakan untuk menduga laju kematian kepiting akibat penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan:

F = Z – M

(63)

dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: E = Keterangan:

Z = total laju mortalitas (pertahun)

F = laju mortalitas penangkapan (pertahun) E = laju eksploitasi (pertahun)

3.3.7 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Untuk menduga ukuran pertama kali matang gonad digunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) dengan rumus:

Log m=

Dengan selang kepercayaan 95%, maka:

Keterangan:

m = logaritma lebar karapas kepiting bakau pada saat pertama kali matang gonad xk= logaritma nilai tengah pada saat pertama kali matang gonad

X = selisih logaritma nilai tengah Xi= logaritma nilai tengah

ri= jumlah kepiting matang gonad pada kelas ke-i

ni = jumlah kepiting matang gonad pada kelas ke-i

3.3.8 Analisis Hubungan Sebaran Spasial Kepiting Bakau (S. olivacea) dengan Karaketristik Vegetasi Mangrove

Untuk analisis karakteristik habitat kepiting (S. olivacea) berdasarkan variasi parameter biofisik dan kimia lingkungan pada setiap stasiun dianalisa

dengan menggunkan Analisis Komponen Utama (Principal Component

Analysis/PCA) (Legendre & Legendre 1983; Bengen 2000). Analisis PCA ini

(64)

27

merupakan metode statistik interdependen yang bertujuan mempresentasikan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data dalam bentuk grafik.

3.3.9 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau

Keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau dianalisis secara statistic multivariate dengan pendekatan Multideminsional Scaling (MDS). Analisis keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlajutan pengelolaan kepiting bakau untuk pemanfaatan yang optimal.

Keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau dianalisis dengan menggunakan metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries), untuk menilai status keberlanjutan kepiting bakau. Dalam penggunaan Rapfish dilakukan pemilihan atribut dari berbagai dimensi yang merupakan representasi terbaik bagi peluang keberlanjutan dari masing-masing dimensi yang menjadi fokus analisis. Penilaian (scoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kreteria keberlanjutan setiap individu. Rapfish didisain secara objektif, transparan dan multidisplin. Penggunaan metode ini biasanya untuk melihat keberlanjutan suatu pengelolaan perikanan dan menggunakan pendekatan top-down untuk evaluasi sistem perikanan (Adrianto 2005)

Pada teknik Rapfish, skor yang berikan berupa nilai “buruk” (bad) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang tidak menguntungkan, nalai berikutnya adalah “baik” (good) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang menguntungkan. Penyusunan indeks keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi dikategorikan menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut:

a. Nilai indeks 0-24,99 (kategori tidak berkelanjutan) b. Nilai indeks 25-49,99 (kategori kurang berkelanjutan) c. Nilai indeks 50-74,99 (kegetori cukup berkelanjutan) d. Nilai indeks 75-100 (kategori berkelanjutan)

Melalui metode MDS posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan vertikal. Posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50

(65)

dikatakan tidak berkelanjutan. Jika analisis dimensi ini sudah dilakukan maka analisis perbandingan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang.

Didalam Rapfish juga dapat dilakukan analisis sensitivitas, analisis ini dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau. Peranan masing-masing indeks dianalisis dengan menggunakan attribut laveraging. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Means Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x. Atribut yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dari hasil analisis ini dianggap sebagai faktor pengungkit, dimana apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini dapat membantu pengelolaan sumberdaya kepiting bakau dapat menjadi lebih baik serta dapat menjadi masukan untuk menyusun pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.

(66)

29

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Administrasi

Daerah pesisir Kabupaten Sinjai terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Secara geografis terletak antara 05019'50" - 05036'47" BT dan 119048'00" - 120011'00" LS. Wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Sinjai terdiri atas 8 kecamatan, 13 kelurahan, 55 desa, dan 259 lingkungan/dusun. Luas wilayah 819,96 km2dengan panjang garis pantai

17 km atau 1,29 persen dari luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Selatan

Kecamatan Sinjai Timur merupakan salah satu kecamatan pesisir yang berada di Kabupaten Sinjai, dimana kecamatan ini berbatasan langsung dengan Teluk Bone. Secara administratif Kecamatan Sinjai Timur berjarak sekitar 4 km dari ibukota Kabupaten Sinjai. Daerah ini memiliki luas wilayah 71,88 km2 dan

secara umum merupakan kawasan hutan mangrove dan daerah pertanian (Pemda Kab. Sinjai 2008)

4.2 Topografi, Iklim dan Tanah

Secara morfologi, kondisi topografi wilayah Kabupaten Sinjai sangat bervariasi, yaitu dari area dataran hingga area yang bergunung. Sekitar 38,26 persen atau seluas 31.370 Ha merupakan kawasan dataran landai dengan kemiringan 0-15 persen. Sedangkan area perbukitan hingga bergunung dengan kemiringan diatas 40 persen, diperkirakan seluas 25.625 Ha atau 31,25 persen.

Sepanjang tahun, daerah ini termasuk beriklim sub tropis, yang mengenal dua musim, yaitu musim penghujan pada periode April - Oktober, dan musim kemarau yang berlangsung pada periode Oktober - April. Kabupaten Sinjai

(67)

hujan yang bervariasi antara 100 - 160 hari hujan/tahun. Kelembaban udara rata-rata tercatat berkisar antara 64-87% , sedangkan suhu udara rata-rata - rata-rata berkisar antara 21,1–32,4oC.

4.3 Sumberdaya Alam

Kecamatan Sinjai Timur memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar khususnya dari sektor perikanan. Pada kawasan ini terdapat area pertanian, tambak serta kawasan hutan mangrove yang tersebar di beberapa desa yakni Desa Samataring seluas 275,50 ha, Tongke-Tongke seluas 325 ha, Panaikang seluas 95,50 ha, Pasimarannu seluas 35 ha, dan Sanjai seluas 71,50 ha. Untuk produksi kepiting bakau pada tahun 2009 mencapai 11,21 ton/tahun.

Masyarakat nelayan di kawasan ini melakukan pemanfaatan sumberdaya berupa biota laut antara lain kepiting, benur, nener, udang, kerang, tiram, dan beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Potensi lain yang kini mulai dikembangkan dan dibudidayakan oleh beberapa masyarakat adalah rumput laut.

Potensi sumberdaya alam lainnya, yaitu berupa tanaman yang sering dimanfaatkan diantaranya beberapa tanaman palawija serta padi. Sedangkan fauna yang sering ditemukan antara lain kelelawar yang biasa hidup di kawasan mangrove dan binatang ternak antara lain ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan kuda.

4.4 Kependudukan

Penduduk yang berada di Kecamatan sinjai timur sebesar 9% dari total jumlah penduduk yang berada di Kabupaten Sinjai. Total penduduk sebesar 28.848 jiwa pada tahun 2007, dengan mayoritas penduduk di kawasan ini adalah nelayan dan beberapa diantaranya adalah PNS, guru dan pegawai di Kantor Desa. Penduduk terbanyak bermukim di Desa Tongke-Tongke (sebanyak 3.408 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 780 KK), dan untuk Kelurahan Samataring dengan jumlah penduduk sebanyak 3.185 jiwa (total kepala keluarga sebanyak 785 KK pada tahun 2007) (BPS Kab. Sinjai 2007).

4.5 Potensi Perikanan

Wilayah pesisir Kabupaten Sinjai merupakan suatu kawasan pantai dan pulau dengan potensi perikanan yang cukup besar. Dengan panjang garis pantai

(68)

31

kurang lebih 28 km termasuk keliling pulau dengan potensi penangkapan dan budidaya yang sangat menjanjikan. Disamping kawasan ini memiliki hutan bakau yang tersebar di dua kecamatan pesisirnya dan salah satunya adalah Kecamatan Sinjai Timur. Dengan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Sinjai maka terdapat prospek yang cerah dalam hal pengembangan usaha di sektor perikanan dan kelautan, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, budidaya tambak, budidaya air tawar dan wisata bahari.

Hasil perikanan Kabupaten Sinjai telah tersebar di kota-kota di sekitarnya bahkan telah diekspor keluar negeri. Potensi perikanan tersebut terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang, tongkol dan ikan pelagis besar lainnya, disamping itu terdapat pula pelagis kecil diantaranya teri, kembung, layang dan ikan selar. Ikan demersal seperti kakap merah, ekor kuning, kerapu dan potensi non ikan diantaranya cumi-cumi, teripang, lobster, kepiting dan rumput laut.

Salah satu komoditas ekspor yang merupakan andalan di Kabupaten Sinjai adalah produksi perikanan kepiting bakau dengan jumlah produksi sebesar 62,36 ton pada tahun 2010. Pada umumnya kepiting bakau yang di ekspor merupakan hasil budidaya dengan volume 23,77 ton serta sisanya dari hasil tangkapan di kawasan mangrove. Untuk di kawasan Sinjai Timur hasil produksi perikanan kepiting bakau mencapai 11,21 ton pada tahun 2009.

Untuk komoditas kepiting bakau biasanya dipasarkan secara lokal maupun ekspor, dimana kepiting yang akan dieskpor memiliki beberapa tingkatan kualitas dan harga yang bervariasi. Kepiting hasil tangkapan nelayan biasanya langsung dibawa kepada pengumpul dan selanjutnya pengumpul akan mengklasifikasikan kepiting tersebut berdasarkan kualitasnya. Kepiting yang memiliki kualitas cukup baik, akan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan yang lain. Harga kepiting bakau berkisar antara Rp 45.000-Rp 100.000/kg.

(69)

5.1 Bioekologi Kepiting Bakau (S. olivacea)dan Habitat Mangrove

5.1.1 Ekologi Habitat Mangrove Kecamatan Sinjai Timur

Ekosistem mangrove pada umumnya merupakan habitat bagi berbagai jenis biota, baik itu biota laut maupun biota teristerial diantaranya berbagai jenis burung, reptil, mamalia besar, serta invertebrata. Hal tersebut dikarenakan ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pembesaran, perlindungan dan mencari makan bagi biota (Sasekumar et al.1992). Menurut Nagelkerken et al.(2008) mangrove merupakan habitat yang produktif dan dapat mendukung perikanan udang dan ikan di wilayah pesisir, selain itu mangrove juga sangat penting bagi manusia karena memiliki banyak manfaat diantaranya untuk budidaya, perlindungan terhadap erosi pantai, serta sebagai bahan kayu bakar.

Menurut Snedaker (1978) in Kusuma (1996) mangrove menyediakan sumber detritus yang penting bagi ekosistem pantai dan estuari yang mendukung berbagai organisme akuatik. Selain itu ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai pengolah limbah organik. Hal ini dibuktikan bahwa kesuburan tanah, kandungan hara, serasah, dan pertumbuhan tegakan mangrove jauh lebih baik di hutan mangrove yang banyak menerima input hara anorganik terutama nitrogen dan fosfor dibandingkan dengan mangrove yang tidak dapat input energi dari luar.

Pada Kecamatan Sinjai Timur luas kawasan mangrove yang dimiliki mencapai 70% dari total luasan mangrove yang berada di Kabupaten Sinjai. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kesadaran masyarakat di daerah ini akan pentingnya fungsi mangrove sehingga secara swadaya turut berpartisipasi dalam proyek rehabilitasi mangrove dalam menjaga dan melestarikan kawasan mengrove (Lampiran 10). Berdasarkan hasil penelitian Hildah et al. (2008) di Kabupaten Sinjai tercatat terjadi peningkatan luas kawasan mangrove dari tahun 1986-2004 seluas 644,5 ha, dengan laju pertambahan rata-rata pertahun seluas 35,8 ha.

Kondisi mangrove di Kecamatan Sinjai Timur khususnya di Desa Tongke-tongke dan Samataring, kondisi tegakan hutan mangrove mengalami beberapa

Gambar

Grafik pertumbuhan populasi kepiting bakau jantan dan betina ...
Gambar 2 Kerangka pemikiran pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (S.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
Tabel 1 Beberapa parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait