• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu spesies yang bernilai ekonomi tinggi yang hidup pada ekosistem mangrove. Pada beberapa tahun terakhir penangkapan serta pembudidayaan kepiting bakau (S. olivacea) berkembang di Indonesia karena tingginya nilai ekonomi dan merupakan salah satu komoditi ekspor. Di Indonesia genus Scylla terdistribusi secara luas dari barat (Sumatera) sampai timur (Irian Jaya). Kepiting banyak terdapat di area pesisir dimana terdapat mangrove dan air payau (La Sara et al. 2002). Menurut Estampador (1949) in Klinbunga et al. (2000) membagi kepiting bakau dalam 4 golongan (tiga spesies dan satu subspesies) yaitu S. serrata, S. oceanica, S. tranquberica dan S. serrata var. paramamosain. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, Keenan (1998) in Klinbunga et al. (2000) merevisi taksonomi kepiting bakau berdasarkan morfometrik dan genetik dengan menggunakan analisis Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA yang menemukan empat spesies kepiting bakau yakni S. serrata, S. paramamosain, S. olivacea dan S. traqueberica.

Klasifikasi kepiting bakau (S. olivacea) secara lengkap adalah sebagai berikut (Motoh 1980):

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

Sub – kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Subfamili : Portuninae

Genus : Scylla

Spesies :Scylla olivacea

6

2.1.1 Morfologi dan Tingkah Laku Kepiting

Ciri morfologi kepiting bakau adalah mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan, empat duri yang lain terdapat pada kedua mata, mempunyai kaki jalan lima pasang yang pertama bentuknya lebar disebut capit, berguna untuk memegang. Kaki jalan yang terakhir mengalami modifikasi sebagai alat renang berbentuk seperti dayung dan warna karapas dari kepiting bakau adalah hijau kecoklatan, yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana kepiting bakau berada, sedangkan di daerah bakau warnanya hijau merah kecoklatan (Moosa et al. 1985)

Jenis jantan dan betina pada kepiting bakau dibedakan dengan mengamati abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan betina lebih lebar. Perut betina berbentuk stupa sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain yakni pada kaki renang yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat meletakkan telur.

Gambar 3 Kepiting Bakau (S. olivacea)

Menurut Keenan (1998) bahwa kriteria klasifikasi S. olivacea (Gambar 2) dewasa adalah warna bervariasi dari orange kemerahan sampai coklat kehitaman. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Duri pada bagian dahi karapas tumpul dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang sempit. Umumnya tidak ada duri pada carpus, sedangkan pada bagian propandus duri mengalami reduksi dari tajam ketumpul.

kawasan bakau. Pada tingkatan juvenile (muda), kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenile kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan sela-sela akar pohon bakau (Soim 1999).

Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Pada waktu malam, kepiting bakau mampu mencapai jarak 219 – 910 m untuk aktivitasnya mencari makan. Ketika matahari terbit, kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nocturnal). Secara umum tingkah laku kepiting adalah kanibalisme dan saling menyerang. Selain itu, kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuiakan diri yang cukup tinggi.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu fauna yang mendiami hutan mangrove, biasa menggali pada lumpur atau pasir berlumpur. Distribusi kepiting bakau mulai dari Arfika Selatan, di sepanjang pantai selatan, melintasi Samudera India dan dari utara ke selatan Jepang, ke timur seperti Micronesia dan dari selatan ke timur Pantai Australia. Jenis S. olivace banyak ditemukan di Pakistan, Indonesia, bagian utara dan barat Australia. Di Indonesia sendiri merupakan pusat dari keanekaragaman genus ini, dimana semua spesies Scylla dapat ditemukan (Shelley 2008).

Kepiting bakau mendiami hampir semua bagian perairan Indonesia, terutama di daerah yang banyak ditumbuhi pohon bakau atau daerah hutan bakau (lingkungan mangrove), pertambakan pada daerah-daerah muara sungai dan lubang-lubang. Kepiting bakau biasanya ditemukan di estuari dan biasanya populasi yang besar berasosiasi dan menetap di daerah mangrove khususnya estuari (Le Vay 2001). Adapun kepadatan rata-rata kepiting berdasarkan hasil

8 penelitian Elizabeth et al. (2003) yakni sekitar 16 ekor kepiting dalam 100 m2-

plot.

2.1.3 Siklus Hidup

Kepiting bakau dalam manjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak–anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau pembesaran. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, tambak atau sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian perairan yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas perairan. Peristiwa pemijahan ini terjadi pada periode-periode tertentu, terutama pada awal tahun (Kasry 1991).

Larva kepiting bakau yang baru menetes berkembang melalui lima tingkat zoea dan satu tingkat megalopa. Pergantian kulit (moulting) pada zoea maupun megalopa terjadi dengan pemisahan pada batas kepala-dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Dibutuhkan waktu enam hari bagi zoea-V untuk berubah menjadi megalopa pada air laut dengan salinitas 31-32 ppt. Pada salinitas rendah waktu yang diperlukan menjadi lebih pendek. Perkembangan yang lebih cepat pada salinitas rendah menunjukkan migrasi juvenil menuju air payau (Moosa & Juwana 1996).

2.1.4 Ukuran Kepiting

Menurut Soim (1999), ukuran kepiting yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim. Misalnya, di perairan bakau Ujung Alang (Cilacap) terdapat kepiting bakau dengan kisaran lebar karapas (kerangka luar) 18,80 mm – 142,40 mm. Sedangkan di perairan bakau Segara Anakan Cilacap didapatkan kepiting dengan kisaran lebar karapas 19,20 mm – 116,70 mm.

menjadi tiga kelompok :

 Kepiting juwana, lebar karapas 20 mm – 80 mm

 Kepiting menjelang dewasa, lebar karapas 70 mm – 150 mm  Kepiting dewasa, lebar karapas 150 mm – 200 mm.

Ukuran kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3 cm – 10 cm mempunyai berat capit sekitar 22% dari berat tubuh. Setelah ukuran karapasnya mencapai 10 cm – 15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30% - 35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama yakni 22% (Soim 1999).

Berdasarkan penelitian Le Vay et al. (2007), S. paramamosain mencapai ukuran matang gonad pada saat mencapai ukuran rata-rata 10,2 cm dan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, ukuran ini dicapai setelah sekitar 160 hari berada pertama kali di kawasan mangrove. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm. S. serrata jantan mantang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup dalam bersaing untuk kawin sebelum dewasa secara morfologis yakni dari ukuran capit dengan lebar karapas 140-160 mm. Sedangkan untuk S. serrata betina matang gonad pada lebar karapas antara 80-120 mm (Bonine et al. 2008). Menurut Ewel (2008) perbedaan ukuran kepiting bakau disebabkan oleh kondisi lingkungan serta pola penangkapan.

Dokumen terkait