• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.5 Biologi Kepiting Bakau (S olivacea) 1 Nisbah Kelamin

5.5.2 Distribusi Lebar Karapas

Hasil tangkapan kepiting bakau di setiap stasiun penelitian berbeda baik jantan maupun betina seperti yang terlihat pada Tabel 7. Ukuran minimum yang tertangkap pada stasiun I adalah 62 mm untuk jantan dan 68 mm untuk betina. Pada stasiun II ukuran minimum yang diperoleh adalah 48 mm untuk jantan dan 58 mm untuk betina, sedangkan untuk ukuran maksimum yang diperoleh pada stasiun I adalah sebesar 120 mm untuk jantan dan 138 mm untuk betina, pada stasiun II ukuran maksimum yang diperoleh untuk kepiting jantan sebesar 117 mm dan 113 mm untuk kepiting betina.

Tabel 7 Ukuran kepiting bakau (S. olivacea) yang tertangkap.

Stasiun Jantan BetinaTotal Individu Ukuran Min-Max (mm)Jantan Betina Bobot Min-Max (gr)Jantan Betina I (Samataring) 117 107 62-120 68-138 54,48-400 81,29-350

II (Tongke-

tongke) 108 65 48-117 58-113 22,76-350 44,55-250

Untuk bobot kepiting bakau yang tertangkap di perairan mangrove pada stasiun I adalah sebesar 54,48 gr - 400 gr untuk kepiting jantan dan untuk kepiting betina sebesar 81,29-350 gr, sedangkan pada stasiun II sebesar 22,76 - 350 gr untuk kepiting jantan dan 44,55-250 gr untuk kepiting betina. Dari hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa bobot kepiting bakau jantan cenderung lebih berat dibandingkan dengan bobot kepiting bakau betina. Hasil penelitian Jirapunpipat (2008) juga menunjukkan hal yang sama bahwa bobot jantan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan bobot betina.

46 Banyaknya jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada stasiun I diduga karena kondisi lingkungan yang mendukung bagi kehadiran kepiting bakau. Tingkat kerapatan mangrove merupakan salah satu faktor pendukung melimpahnya jumlah kepiting bakau di kawasan ini. Pada Stasiun II jumlah kepiting bakau yang tertangkap tidak banyak jika dibandingkan dengan stasiun I, hal ini diduga karena kawasan mangrove di desa ini dekat dengan pemukiman masyarakat sehingga ada tekanan dari aktifitas manusia. Selain ini juga kerapatan mangrove pada kawasan ini tidak sepadat pada stasiun I, meskipun masih memiliki susbstrat yang berlumpur. Arriola (1940) in Siahainenia (2008), menyatakan bahwa selain di tepi pantai, kepiting bakau menyukai lingkungan di sekitar muara sungai dan tambak.

Berdasarkan hasil pengambilan sampel selama penelitian diperoleh distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau sebagai berikut:

a) Jantan

Kepiting jantan pada bulan Maret 2011, kisaran panjang kelas mulai dari 51-111 mm, dan ditemukan dua modus panjang yakni 75 mm dan 99 mm, ini menunjukkan adanya dua kelompok individu pada bulan Maret. Pada bulan April kisaran panjang dan modusnya meningkat dan bergeser ke kiri dengan kisaran panjang 51-123 mm dengan modus masing-masing 70 dan 100 mm. Memasuki bulan Mei terjadi pergeseran lagi kearah kiri, dimana modus yang terbentuk 80 mm dan 111 mm. Terjadinya pergeseran menunjukkan adanya pertumbuhan pada setiap bulannya. Pada Gambar 7 ditampilkan frekuensi lebar karapas kepiting bakau.

Maret

April

Gambar 7 Distribusi lebar karapas kepiting bakau (S. olivacea) jantan.

b) Betina

Pada kepiting bakau betina pada bulan Maret 2011 kisaran panjang kelas mulai dari 60-130 mm, dan terdapat dua modus masing-masing 75 mm, dan 110 mm. Pada bulan April terjadi pergeseran modus masing-masing 80 mm dan 111 mm. Memasuki bulan Mei terjadi pergeseran lagi ke arah kanan dengan kisaran panjang mulai dari 60-135 mm. Pada Gambar 8 ditampilkan frekuensi lebar karapas kepiting bakau.

April

Mei

Maret

April

48

Gambar 8 Distribusi lebar karapas kepiting bakau (S. olivacea) betina. Berdasarkan penelitian Jirapunpipat (2008) perekrutan S. olivacea terjadi sepanjang tahun, dimana jumlah kepiting jantan lebih banyak dibandingkan dengan kepiting betina. Dalam sampling yang dilakukan setiap bulan ditemukan lebih banyak kepiting jantan dibandingkan dengan betina, meskipun pada grafiknya tidak begitu terlihat ada rekruitment namun masih terjadi pertumbuhan dari bulan April memasuki bulan Mei.

Dari grafik pertumbuhan populasi (Lampiran 2 ) dapat dilhat bahwa terjadi pertambahan lebar karapas pada kepiting bakau jantan dan betina meskipun pertambahannya tidak begitu signifikan. Pertambahan rerata lebar karapas pada kepiting bakau betina dari bulan Maret hanya berkisar 60-99 mm memasuki bulan April bertambah dengan kisaran 70-99 mm dan meningkat lagi hingga mencapai 80-130 mm, memasuki bulan Mei terjadi peningkatan lagi menjadi 87-135 mm. Sedangkan untuk kepiting bakau jantan pertambahan rerata lebar karapas berkisar antara 51-99 mm, memasuki bulan April lebar karapas bertambah menjadi 75-123 mm dan terus meningkat pada bulan Mei menjadi berkisar 100-125 mm. Adanya pergeseran kohort pada setiap bulannya diduga karena adanya rekrutiment atau masuknya biota baik untuk mencari makan ataupun perlindungan.

April

Mei

Untuk mengkaji hubungan antara bobot dengan lebar karapas kepiting bakau digunakan metode regresi. Hubungan bobot dengan lebar karapas dihitung dengan menggunakan rumus W=aLb. Selanjutnya dari persamaan tersebut dapat

ditentukan nilai b dan R2 dari tiap jenis kelamin pada masing-masing stasiun

penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 7. Nilai b akan menjadi indikator yang menjelaskan pola pertumbuhan kepiting bakau dan nilai R2 akan menjelaskan

keeratan hubungan antara bobot dengan lebar karapas.

Berdasarkan hasil analisis hubungan lebar karapas dan bobot tubuh kepiting bakau (Tabel 8) diperoleh korelasi (R2) yang cukup erat yakni berkisar antara

0,8094-0,8792. Berdasarkan hasil uji t nilai b individu betina menunjukkan bahwa nilai thitung<ttabel, sehingga dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan kepiting

betina bersifat isometrik berarti pertumbuhan seimbang antara pertambahan lebar karapas dengan pertambahan bobotnya. Dan untuk kepiting bakau jantan hasil uji-t yang diperoleh adalah sama yakni thitung<ttabel sehingga dapat dikatakan

bahwa pola pertumbuhan kepiting jantan bersifat isometrik yaitu pertumbuhan lebar karapas sama dengan pertambahan bobot.

Tabel 8 Hubungan lebar dan bobot kepiting bakau (S. olivacea).

Spesies Sex N W=aLa b b R2

Kepiting Bakau BetinaJantan 225172 0,00090,0123 2,70312,1023 0,87920,8094 Pada Gambar 9 dapat lihat grafik hubungan antara bobot dengan lebar karapas kepiting bakau jantan dan betina. Menurut Siahanenia (2008) Perbedaan pola pertumbuhan antara jantan dan betina, dapat disebabkan karena rasio bobot tubuh terhadap lebar karapas keduanya berbeda. Rasio tubuh pada jantan lebih tinggi dari pada betina, atau bobot tubuh jantan lebih besar dari lebar karapasnya. Hal ini disebabkan karena ukuran capit jantan, (terutama pada individu berukuran besar) umumnya berukuran lebih besar daripada chela betina. Rasio bobot tubuh terhadap lebar karapas antara individu kepiting bakau jantan dan betina berukuran

50 kecil adalah seimbang, sebaliknya pada individu berukuran besar tidak seimbang (Tongdee 2001).

(a) Kepiting bakau (S. olivacea) jantan.

(b) Kepiting bakau (S. olivacea) betina.

Gambar 9 Grafik hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh kepiting bakau (a) jantan dan (b) betina.

Penelitian Jirapunpipat (2008) menunjukkan hubungan lebar karapas dan bobot untuk S.olivacea pada ekosistem mangrove di Ranong Thailand untuk jantan adalah W= 0,079 CW3.45, sedangkan untuk betina adalah W= 0,240

CW2,866. Hasil Penelitian Tongdee (2001) di Ranong Thailand pada lokasi yang

berbeda diperoleh hubungan lebar karapas dan bobot adalah W= 0.119 CW3.321

untuk jantan dan W= 0,402 CW2,685 untuk betina. Pada penelitian Ikhwanuddin et

al. (2010) di ekosistem mangrove Sarawak Malaysia diperoleh hubungan antara

(R = 0,8608).

5.5.4 Parameter Pertumbuhan

Paramameter pertumbuhan von Bertalanffy (L∞ dan K) dihitung dengan menggunakan ELEFAN I (Lampiran 3). Dalam analisis ini kepiting bakau diklasifikasi berdasarkan jenis kelamin mengingat lebar antara kepiting bakau jantan dan betina cenderung berbeda sehingga memberikan hasil yang berbeda. Pada Tabel 9 disajikan parameter pertumbuhan kepiting Scylla olivacea berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 9 Parameter pertumbuhan Kepiting bakau (S. olivacea)di habitat mangrove.

Spesies Sex n Lmin Lmaks L∞ K to

Kepiting

bakau Jantan Betina 225172 4858 120138 128,63145,43 0,8700,820 -0,1231-0,1265 Tabel 9 memperlihatkan lebar karapas maksimum yang dapat dicapai berkisar antara 120-138 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar antara 0,820 -0,870 pertahun dengan L∞ untuk jantan 128,63 mm dan 145,43 mm untuk betina. Di Subang Jawa Barat koefisien pertumbuhan (K) S. olivacea berkisar antara 1,230-1,300/tahun untuk jantan sedangkan betina berkisar antara 1,100- 1,180/tahun. Untuk nilai L∞ untuk jantan berkisar 12,40-12,90 cm sedangkan untuk betina berkisar 13,00-13,70 cm (Siahainenia 2008). Pada Tabel 10 akan disajikan beberapa parameter pertumbuhan kepiting bakau pada beberapa kawasan di Indonesia.

Tabel 10 Beberapa parameter pertumbuhan kepiting bakau (S. olivacea) pada kawasan yang berbeda.

Jenis (mm)L∞ (pertahun)K Lokasi Sumber

S. olivacea 124,0-129,0 1,100-1,300 Subang Siahanenia (2008)

S. serrata 93,6-161,18 0,45-5.2 Kutai Wijaya (2011)

Dilihat dari koefisien pertumbuhan (K), pertumbuhan kepiting betina lebih lambat jika dibandingkan dengan kepiting jantan. Hal ini mungkin disebabkan karena selama masa reproduksi (awal proses pemijahan hingga akhir proses

52 penetasan telur), berlangsung terutama aktifitas makan kepiting betina menurun, bahkan sering tidak makan sama sekali, sehingga menyebabkan proses pertumbuhan tubuh menjadi terhambat. Lavina (1977) in Siahanenia (2008), menyatakan bahwa pada kepiting bakau, sebagian besar alokasi energi ditujukan untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad (proses reproduksi). Dengan demikian maka dapat dikatakan ketika memasuki masa reproduksi maka kecepatan pertumbuhan tubuh kepiting bakau betina menjadi lambat. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab rendahnya kecepatan pertumbuhan kepiting bakau betina, adalah karena selama dalam masa reproduksi, kepiting bakau betina tidak melakukan proses ganti kulit (moulting). Padahal setelah moulting, ukuran tubuh kepiting bakau umumnya akan menjadi dua sampai tiga kali lebih besar dari ukuran sebelumnya. Sedangkan pada kepiting bakau jantan, proses moulting dapat berlangsung secara kontinyu.

Gambar 10 Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) jantan dan betina. Hasil analisis parameter pertumbuhan sebaran karapas selama penelitian, memberikan nilai beberapa parameter pertumbuhan yang merupakan dasar dalam pembentukan kurva von Bertalanffy dari kepiting bakau. Gambar 10 memperlihatkan kurva pertumbuhan von Bertalanffy kepiting bakau jantan dan betina yang berasal dari kawasan mangrove Desa Tongke-tongke dan Samataring.

Dengan menggunakan kedua parameter (L∞ dan K) maka dapat dihitung t0,

yakni umur kepiting bakau ketika lebar karapas sama dengan 0. Hasil analisis

hasil penelitian Siahanenia (2008) kisaran t0 yang diperoleh untuk S.olivecea

adalah berkisar -0,166 sampai dengan -0,176. Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran stok rekruitmen, dan laju kematian dari suatu populasi.

Dokumen terkait