• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina Di Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina Di Kabupaten Langkat"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN RETINA

DI KABUPATEN LANGKAT

TESIS

OLEH :

JENNY RAHMALITA

PEMBIMBING :

Dr. D E L F I, SpMK

Prof. Dr. H. ASLIM D SIHOTANG SpMK-VR Drs. H. ABDUL DJALIL AMRI ARMA, Mkes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

(2)
(3)

KUPERSEMBAHKAN UNTUK

(4)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan tesis ini dengan judul ”Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina di

Kabupaten Langkat”

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata. Saya menyadari

bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun

demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat.

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya

menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

yang terhormat :

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk

mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU dr. Delfi, SpM, sekretaris

Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU dr. Rodiah Rahmawaty Lubis SpM,

Ketua Program Studi Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Prof. Dr. H.

Aslim D Sihotang, SpMK-VR, Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Ilmu

Kesehatan Mata FK-USU dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM dan juga dr. H. Azman

Tanjung, SpM, selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mata pada saat saya diterima

untuk mengikuti pendidikan spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU

(5)

Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpMK-VR, Dr. Delfi, SpMK, selaku pembimbing

tesis saya, dan narasumber yang penuh kesabaran dan telah meluangkan waktu

yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan melengkapi penulisan

tesis ini hingga selesai.

Dr. Abd. Jalil Amri Arma, M.Kes, yang telah meluangkan waktu dan pikiran

untuk membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.

Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan,

yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal

hingga akhir pendidikan. Penghargaan dan terima kasih yang tidak terhingga saya

sampaikan kepada yang terhormat guru –guru saya : Dr. H. Mohd. Dien Mahmud,

SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD, SpM, Dr. H. Azman Tanjung, SpM, Dr. H. Abdul Gani,

SpM, Prof. Dr. H. Aslim. D. Sihotang, SpMK-VR, Dr. Masang Sitepu, SpM, Dr. Hj.

Adelina Hasibuan, SpM, Dr. H. Bachtiar, SpMK, Dr. Suratmin, SpMK, Dr. Hj.

Nurhaida Djamil SpM, Dr, Hj. Rizafatmi, SpM, Dr. H. Syaiful Bahri, SpM, Dr. Beby

Parwis SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap, SpM, Dr. Hj. Aryani A. Amra,SpM, Dr. Delfi,

SpMK, Dr Zaldi, SpM, Dr. Nurchaliza SpM, Dr. Masitha Dewi, SpM, Dr. Novie Diana

Sari, Sp.M, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, SpM, Dr. Nova Arianti, Sp.M, Dr. Bobby

RE Sitepu, SpM dan Dr. T. Siti Harilza Zubaidah, SpM atas pengajaran, bimbingan,

kritik dan saran yang telah saya terima selama menempuh pendidikan keahlian ini.

Direktur/Staf RSUP.H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan

kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di

Departemen Ilmu Kesehatan Mata.

(6)

sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu

Kesehatan Mata.

Direktur RSU Kisaran dan Direktur RSU Kabanjahe yang telah memberikan

kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di

Departemen Ilmu Kesehatan Mata.

Direktur/staf Poliklinik Mahasiswa USU yang telah memberikan kesempatan

dan sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen

Ilmu Kesehatan Mata.

Direktur/staf SMF Mata Rumkit Putri Hijau, Kol. dr. M. Irsan, Sp.M, yang telah

memberikan kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti

pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata.

Direktur/staf Klinik Mata M77 dan Lions Hospital, dr.H. Emir El Newi,Sp.M, dr.

Jusni Saragih, Sp.M, yang telah membimbing, memberikan kesempatan dan sarana

kepada saya selama mengikuti pendidikan.

Direktur/Staf SMF Mata Rumkital Komang Makes Belawan, dr. Gede

Pardianto, Sp.M, yang telah memberi saya kesempatan untuk mengikuti operasi

katarak massal.

Direktur/staf SMF MATA RSUD Kisaran, dr.H. Hasmui, Sp.M, yang telah

memberi saya kesempatan untuk mengikuti operasi katarak massal.

Ucapan terima kasih juga kepada Bupati dan Kadinkes Kabupaten Langkat

yang telah memberikan izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di

Kabupaten Langkat.

Kepada senior-senior saya, dr. Hasmui, SpM; dr. Juniarson Barus, SpM(Alm);

(7)

SpM; dr. R.Handoko, SpM; dr. Meianto, SpM; dr. Januar Sitorus, SpM; dr. Feriyani,

SpM; dr. Raja C Lubis, SpM; dr. Hj. Novie Diana Sari, SpM; dr. Ira Karina Siregar,

SpM; dr. Andriyeni, SpM; dr. Nova Arianti, SpM, dr. Bobby R.E Sitepu, Sp.M, dr. Siti

Harilza Zubaidah, Sp.M terima kasih banyak atas segala bimbingan, bantuan dan

dukungannya yang telah diberikan selama ini.

Kepada teman – teman belajar di perpustakaan, dr. Vanda Virgayanti, dr.

Ruly Hidayat, dr. Herman, dr. Christina YY Bangun, dr.Cut Nori Altika, dr. Reni

Guspita,dr. Lesus Eko Sakti, dr. Fithria Aldy, dr. Iskandar Mirza Bahar, dr. Herna

Hutasoit, dr. Muhammad, dr. Kaherma Sari, dr. Laszuarni, dr. Hasnawati, dr. Meriana

Rasyid, dr. Nurchaironika, dr. Ridha Anisa yang sudah memberikan dorongan serta

persahabatan yang sangat berarti dan kebersamaan selama saya menjalani

pendidikan.

Seluruh teman sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

terima kasih atas kebersamaan dan dorongan semangat yang telah diberikan

selama ini.

Yang tersayang ayahanda dr. H. Ramli Munaf, Sp.M (Alm) dan ibunda Hj.

Murni Bustami, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik

saya dengan penuh kasih sayang dari sejak kecil hingga kini serta memberikan

bantuan dan motivasi selama mengikuti pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih

yang setulus-tulusnya.

Yang saya sayangi Bapak mertua, Ir. Moesri Moenir, dan Ibu mertua, Farida

Bustamam, terimakasih telah membantu memberikan doa dan dorongan kepada

saya selama mengikuti pendidikan.

(8)

diberikan hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah selalu

memberkati rumah tangga kita dan tetap memelihara cinta kasih kita.

Kepada adik-adik saya, Jessy Fitriana, SE, M. Rhazie, SE, Shelly Silvana,

S.com, M.Ikhsan, S.sn, terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.

Kepada adik-adik ipar saya, terima kasih telah memberi dukungan dan doa

selama saya menempuh pendidikan.

Buat putra tersayang, Mirza Rabbani Moeswir, terima kasih atas pengorbanan

dan doanya buat mama. Mirza merupakan inspirasi dan pendorong motivasi serta

pemberi semangat untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya kepada seluruh keluarga handai-tolan yang tidak dapat saya

sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang

telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan banyak

terima kasih.

Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada kita

semua.

Medan, 3 Maret 2010

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti

kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi

WHO pada tahun 1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi,

kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak

mampu melakukan aktifitas sehari-hari.1,2

Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan

<3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan

ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter. 1,2

Pada tahun 1977, International Classification of Disease ( ICD ) membagi

berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan

kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan

kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10

ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada

kategori 4 ( lihat table 1.1 ). 1,2

Tabel 1.1 Klasifikasi ICD terhadap penurunan penglihatan

Category of Visual Impairment Level of Visual Acuity (Snellen)

(10)

Undang – undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan

bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan

kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal. Kesehatan indra penglihatan merupakan syarat penting

untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kwalitas

kehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan manusia yang cerdas, produktif,

maju, mandiri dan sejahtera lahir batin.5

Di negara berkembang di seluruh dunia selain masalah sosial dan ekonomi,

maka kebutaan masih merupakan masalah yang besar. Pada tahun 1990, WHO

memperkirakan prevalensi kebutaan berkisar antara 0,3%-0,7%, dan angka ini

diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Beberapa Penelitian epidemiologi

melaporkan prevalensi angka kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia

berkisar 0, 4 % dan kebutaan unilateral berkisar 2,6 %.6

Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5%

penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak

(0,78%), Glaukoma (0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%),

dan Kelainan Kornea (0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan

0,1% (sekitar 210.000 orang) per tahun.7,8,9,10

Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata

tahun 2004 didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak (

Tanjung Balai 0,37%; Karo 0,41% ), Glaukoma (Karo 0,094%) , Kelainan Refraksi (

Tanjung Balai 0,09%; Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo

0,11% ), dan Kelainan Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Angka-angka

yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak,

(11)

Pemeriksaan tajam penglihatan pada seseorang terutama pada anak selama ini

banyak menemui kendala, padahal di sisi lain, informasi tentang tajam penglihatan ini

sangat penting dalam membantu penegakan diagnosis dan memegang peranan

penting dalam analisis fungsi penglihatan.12

Dalam memeriksa tajam penglihatan pada anak selalu didapat kesulitan akibat

kurangnya komunikasi antara pemeriksa dengan anak tersebut oleh karena

anak-anak belum mampu melakukan kontak dengan baik. Untuk itu diperlukan ketrampilan

pemeriksa sehingga pemeriksa mendapat hasil yang baik, walaupun kadang kala

selain gangguan indera penglihatan terdapat gangguan indera lain pada anak

tersebut.

Salah satu penyebab utama kebutaan adalah kelainan retina. Hal ini

didapatkan berdasarkan National Programme for Control of Blindness (NPCB) 1992,

kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan ke 4 setelah katarak, kelainan

kornea, optik atropi dengan jumlah presentase 6,35%.

Berdasarkan Andra Pradesh Eye Disease Study (APEDS) kebutaan akibat

kelainan retina menempati urutan ke 2 setelah katarak dengan jumlah persentase

22,4%. 4

Berdasarkan Retinopathy Diabetic Study, prevalensi kebutaan akibat

Retinopati Diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20-79 di

Amerika dan Inggris. Sedangkan di Denmark, angka kebutaan pada umur 50-80

tahun lebih banyak ditemukan pada penderita diabetes mellitus tipe I yang diterapi

dengan insulin, dibandingkan dengan usia yang sama tanpa diabetes mellitus. 5

Berdasarkan Statistic on Blindness and Blinding Disease in United States,

(12)

menyebabkan retinopati diabetik, yang merupakan penyebab utama terjadinya

kebutaan. 6

Berdasarkan Studi Rotterdam, Studi Oulu, Visual Impairment Project,

Salisbury Evaluation, Studi Beaver Dam dan Studi Baltimore melaporkan, age

macular degeneration (AMD) atau degenerasi makula terkait usia merupakan

penyebab gangguan penglihatan yang berat pada populasi kulit putih pada usia tua

di negara berkembang. 4

Berdasarkan Statistic on Blindness and Blinding Disease in the United States

melaporkan, 13 juta orang yang mempunyai tanda-tanda degenerasi makula,

230.000 orang diantaranya menjadi buta akibat degenerasi makula. 6

Berdasarkan Visual Impairment and Blindness in Europe, age related makular

degeneration merupakan penyebab kebutaan yang paling sering pada usia 65 tahun

ke atas. 7

Survei indra penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan

prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah

katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan retina

(0,13%), kelainan kornea (0,10%), dan penyebab lainnya (0,15). 8

Dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di regional Asia

Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi. Hal ini diduga

berkaitan dengan faktor degeneratif yang berhubungan dengan masalah gizi.

Kebutaan bukan hanya mengganggu produktifitas dan mobilitas penderitanya, tetapi

juga menimbulkan dampak sosio-ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat

dan negara, lebih-lebih lagi dalam menghadapi pasar bebas. 1

Meskipun prevalensi kebutaan akibat kelainan retina secara nasional telah

(13)

Sumatera Utara yang terdiri dari 13 kabupaten dan 6 Kota / Kota Madya dengan

jumlah penduduk 11.476.272 belum diketahui, oleh karana itu peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tersebut.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Jumlah kebutaan akibat kelainan retina di kabupaten Langkat dan faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan tersebut.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum

Untuk mendapatkan angka kebutaan akibat kelainan retina di kabupaten

Langkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan tesebut.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik geografi kabupaten Langkat.

b. Untuk mengetahui gambaran karakteristik sosio-demografi responden

atau penderita kebutaan akibat kelainan retina di wilayah kabupaten

Langkat.

c. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah

kabupaten Langkat.

d. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah kabupaten Langkat.

e. Untuk mengetahui gambaran sarana dan pra-sarana kesehatan mata di

kabupaten Langkat.

f. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat kelainan retina di wilayah

(14)

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Dengan penelitian ini, dapat dibuat pemetaan tentang buta akibat kelainan

retina di wilayah kabupaten Langkat.

2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan

akibat kelainan retina serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan

(15)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

KERANGKA TEORI

Retina merupakan lapisan yang paling dalam yang melapisi bola mata,

merupakan membran yang tipis, lunak dan transparan. Retina merupakan jaringan

bola mata yang paling cepat perkembangannya. Retina meluas dari optik disk ke

oraserrata. Secara garis besar dibagi atas 2 bagian: kutub posterior dan perifer yang

dipisahkan oleh ekuator retina. Kutub posterior sampai ekuator retina, ini merupakan

area posterior retina. Kutub posterior retina terbagi atas 2 area: optik disk dan

makula lutea. Retina perifer di posterior dibatasi oleh ekuator retina dan anterior

dengan oraserrata. Oraserrata merupakan batas yang paling perifer tempat retina

berakhir, terbagi dalam 2 bagian; anterior pars plikata dan posterior pars plana.

oraserrata juga tempat melekat vitreous dan koroid. Secara mikroskopis lapisan

retina mulai dari dalam keluar adalah:

ƒ Internal limiting membrane, merupakan lapisan paling dalam yang berbatasan dengan retina dari vitreus. Dibentuk oleh satuan dari perluasan terminal dari

serabut muller.

ƒ Nerve fiber layer

ƒ Ganglion cell layer

ƒ Inner plexiform layer

ƒ Inner nuclear layer

ƒ Outer plexiform layer

(16)

ƒ Rods dan Cone

ƒ Pigmen epithelium.

Ketebalan retina pada oraserrata 0,1 mm dan 0,23 mm pada kutub posterior.

Strukturnya sangat sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf yang lain

seperti korteks serebri, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih.

Pengolahan visual retina, seperti persepsi warna, kontras dan bentuk berlangsung di

korteks serebri. 8

Prevalensi kelainan pada retina di Indonesia mencapai angka 0,13% dan

merupakan penyebab kebutaan ke empat setelah katarak, glaukoma dan kelainan

refraksi. Hal ini diketahui berdasarkan Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan

Pendengaran tahun 1993 -1996. 7

Berdasarkan National Programme for Control of Blindness (NPCB) 1992,

kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan keempat setelah katarak, kelainan

kornea, optic atrofi dengan prevalensi sebesar 6,3%.

Berdasarkan Andrha Pradesh Eye Disease Study (APEDS) kebutaan akibat

kelainan retina menempati urutan kedua setelah katarak dengan jumlah presentase

22,4%. 3

Adapun kelainan pada retina yang sering menyebabkan kebutaan antara lain:

I. Retinopati Diabetik.

Menurut WHO tahun 2002, retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang

mencapai 4,8% diseluruh dunia.11 Berdasarkan studi Retinopati Diabetik, di Amerika

dan Inggris prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik merupakan penyebab

utama kebutaan pada usia 20-70 tahun. Berdasarkan Visual Impairment and

Blindness in Eropa, diabetik retinopati menempati urutan teratas penyebab

(17)

Berdasarkan Wisconsin Epidemiology Study, tentang diabetik retiopati, bahwa

lamanya seseorang menderita diabetes sangat erat kaitannya dengan prevalensi

terjadinya diabetik retinopati, baik tipe I maupun tipe II. Dalam studi WESDR mereka

menemukan kasus kebutaan total, yaitu setelah 20 tahun lamanya menderita

diabetes mellitus, angka kebutaan pada tipe I mendekati 99% dan tipe II 60% yang

mencakup berbagai tingkatan diabetik retinopati. Pasien yang lebih muda

mempunyai onset 3,6% (usia < 30 tahun saat diagnosa, tipe I diabetes), dan pasien

yang lebih tua mempunyai onset 1,6% (usia > 30 tahun saat diagnosa, tipe II

diabetes). Pada kelompok usia yang lebih muda, 86% kasus kebutaan disebabkan

oleh diabetik retinopati. Pada kelompok usia yang lebih tua, dimana sering terjadi

komplikasi penyakit mata lainnya, sepertiga kasus kebutaan disebabkan oleh

diabetik retinopati.10

Penyebab pasti kelainan mikrovaskuler pada penderita diabetes belum

diketahui dengan pasti. Diduga akibat hiperglikemia kronis yang merupakan hasil

perubahan biokimia dan fisiologis menyebabkan kerusakan endotel vaskuler.

Perubahan spesifik kapilar retina disebabkan oleh kehilangan perisit dan penebalan

membran basal, yang diikuti oleh oklusi kapiler dan nonperfusi retina, sehingga

terjadi dekompensasi fungsi barier endotel, yang menyebabkan terjadinya kebocoran

serum dan edema retina.10,12,13

Prevalensi diabetik retinopati ini berbeda-beda tiap populasi. Di Iceland,

prevalensi diabetik retinopati pada diabetes mellitus tipe I+52%, sedangkan menurut

studi Rotterdam, prevalensi retinopati diabetic sebesar 4,8%. Prevalensi ini biasanya

(18)

Menurut British Diabetic Association, faktor resiko terjadinya diabeti retinopati

antara lain obesitas, riwayat diabetes mellitus, usia tua (40-75 tahun), wanita dengan

riwayat diabetes gestasional dan adanya riwayat hipertensi. 4

Berdasarkan studi diabetik retinopati, diabetik retinopati dapat diklasifikasikan

dalam 2 jenis:

a. Retinopati Diabetik Nonproliferatif (NPDR)

Pada retinopati diabetik nonproliferatif, perubahan mikrovaskuler retina

hanya terbatas pada retina saja, tidak menyebar ke membrane limitan interna.

Karakteristik NPDR termasuk; mikroaneurisma, area kapiler nonperfusi,

infark dari nerve fiber layer, IRMAs, perdarahan dot and blot intraretina, edema retina, eksudat keras, arteriol abnormalitas, dilatasi dan beading dari vena retina.

NPDR dapat mengenai fungsi visual dengan 2 mekanisme:

1. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah intra retina, menyebabkan edema makular.

2. Variasi perbandingan dari penutupan kapiler intra retina, dihasilkan

pada macular ischemia.10

Diagnosis diabetik makular edema (DME) sangat baik menggunakan

slit-lamp biomikroskopis, untuk pemeriksaan segmen posterior menggunakan kontak

lens untuk memperjelas visualisasi. Penemuan penting pada pemeriksaan

termasuk:

ƒ Lokasi dari penebalan retina relatif di fovea ƒ Terlihat eksudat dan lokasinya

ƒ Terlihatnya sistoid macular edema

Fluoresen angiografi digunakan untuk melihat kebocoran pembuluh darah

(19)

Manifestasi diabetik makular edema berupa penebalan retina secara focal

atau difus dengan atau tanpa eksudat. Karakteristik fokal macular edema oleh

kebocoran fluorescein dari lesi kapiler spesifik. Karakteristik difus macular edema

oleh adanya retina kapiler yang abnormal meluas berhubungan dengan

kebocoran difus akibat pecahnya sawar pembuluh darah retina yang ektensif

disertai dengan sistoid makular edema.

Pengobatan pada diabetik makular edema

Strategi pengobatan untuk diabetik makular edema meliputi modifikasi

gaya hidup, olahraga, menghentikan merokok, kontrol gula darah, tekanan darah,

kadar lemak darah dan massa index tubuh.

Pengobatan laser pada diabetik macular edema

Beberapa dari paradigma pengobatan yang terbaru berasal dari Early

Treatment Diabetic Retinopathy Study (EDTRS) menemukan clinically significant

macular edema (CSME) dan rekomendasi pengobatan dengan fokal laser

fotokoagulasi:

ƒ Edema retina pada atau diantara area 500 mikrometer dari sentral macula. ƒ Eksudat keras pada atau diantara area 500 mikrometer dari sentral jika

berhubungan dengan penebalan retina yang berdekatan.

ƒ Daerah dari penebalan lebih besar dari 1 disk area jika lokasi diantara 1 disk diameter dari sentral macula.10

Manajemen medis diabetik makular edema:

1. Injeksi triamsinolon aseetonid sub-tenon posterior untuk edema makula

diabetik yang sulit disembuhkan. Dapat memperbaiki penglihatan dalam 1

(20)

2. Intra-vitreal triamsinolon asetonid untuk respon yang gagal pada

konvensional laser fotokoagulasi, walaupun kadang-kadang digunakan

juga pada pengobatan primer.

3. anti-VEGF agen dan kortikosteroid dapat bermanfaat pada pengobatan

ini.

Manajemen bedah diabetik makular edema

Pars plana vitrektomi dan detachment dari posterior hyaloids juga berguna

untuk mengobati diabetic macular edema, khususnya dengan posterior hyaloid

traction dan diabetic macular edema difus. 10,12

Diabetik makular iskhemia

Retinal capillary nonperfusion merupakan gambaran yang berhubungan

dengan progresif NPDR.

Proliferatif diabetik retinopati progresif

NPDR berat ditetapkan oleh EDTRS ditemukan karakteristik 1 dari yang

berikut:

1. Perdarahan intra retinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran

2. Venous beading pada 2 kuadran

3. Intra retinal mikroaneurisma pada 1 kuadran

EDTRS menemukan NPDR berat mempunyai peluang 15% progresi menjadi

resiko tinggi PDR diantara 1 tahun. NPDR sangat berat terlihatnya 2 dari

gambaran diatas dan mempunyai peluang 45% progresi menjadi resiko tinggi

PDR diantara 1 tahun.10, 13

b. Proliferatif diabetik retinopati (PDR)

PDR mengenai 5-10% dari populasi diabetes. Tipe I diabetes

(21)

Proliferasi fibrovaskular ekstra retina memperlihatkan variasi stadium

dari perkembangan PDR. Pembuluh darah baru berkembang dalam 3 stadium

1. Ditemukan pembuluh darah baru dengan minimal fibrous tissue

menyeberang dan meluas mencapai ILM

2. Pembuluh darah baru meningkat ukurannya dan meluas, dengan

meningkatnya komponen fibrous.

3. Pembuluh darah baru mengalami kemunduran meninggalkan sisa

proliferasi fibrovaskular disepanjang posterior hyaloid.

Berdasarkan dari perluasan proliferasi, PDR dibagi menjadi kategori awal,

resiko tinggi dan lanjut. Berdasarkan lokasi dari proliferasi neovaskular:

ƒ Neovascularization of the disc (NVD), apabila berkembang pada atau diantara 1 disk diameter dari optic disk.

ƒ Neovascularization elsewhere (NVE), apabila berkembang lebih dari 1 disk diameter.10,13 Pasien dengan PDR meningkatnya resiko dari

serangan jantung, stroke, diabetic nefropati, amputasi dan kematian.10

Pengobatan laser pada PDR

Pengobatan utama untuk PDR meliputi penggunaan thermal laser

fotokoagulasi pada pola penretina untuk menginduksi regresi. Pengobatan

scatter pan retinal fotokoagulasi (PRP) sering direkomendasi. Tujuan scatter

PRP adalah menyebabkan regresi dari jaringan neovaskular yang ada dan

menjaga progresifitas neovaskularisasi pada masa yang akan datang.10

Penatalaksanaan bedah pada PDR

Ada 2 skuale utama dari PDR lanjut adalah perdarahan vitreous dan

(22)

ƒ Perdarahan vitreous: the diabetic retinopathy vitrectomy study (DRVS) telah menetapkan vitrektomi awal pada pasien dengan perdarahan

vitreous sekunder pada PDR.

ƒ Traktional retinal detashmen: vitrektomi bertujuan untuk memperbaiki traksi vitreoretina dan memfasilitasi perlekatan kembali retina oleh

penarikan atau pengelupasan vitreous kortikal atau posterior hialoid

keluar dari permukaan retina.10

Medikal manajemen diabetic retinopati

Prinsip utama adalah memperlambat dan mencegah komplikasi. Ini

bisa dicapai oleh pelaksanaan pemeriksaan lokal dan menyeluruh yang

mempengaruhi onset NPDR dan progresif menjadi PDR.10

II. Degenerasi Makula terkait usia

Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, penyebab terbanyak kebutaan di

dunia degenerasi makula terkait usia menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%.11.

Degenerasi makula penyebab terbanyak hilangnya penglihatan yang tidak dapat

kembali di negara berkembang pada individu diatas 50 tahun. Di USA sedikitnya

10% individu diantara umur 75 tahun telah memiliki beberapa gangguan penglihatan

sentral sebagai hasil degenerasi makula terkait usia diatas 75 tahun, 30%

mempunyai beberapa tingkatan. Stadium akhir (buta) terjadi kira-kira 1,7% individu

diatas 50 tahun dan kira-kira 18% diatas 85 tahun.12

Framingham Eye Study, 6,4% pasien usia 65-74 tahun dan 19,7% pasien

diatas 75 tahun memiliki tanda-tanda degenerasi macula terkait usia.15 Faktor resiko

(23)

banyak pada kaukasian, riwayat keluarga,katarak, makulopati terkait usia, merokok,

kegemukan dan hipertensi. 16,17,18

Degenerasi Makula Terkait Usia diklasifikasikan atas 2 kelompok:

1. Degenerasi Makula Terkait Usia Non eksudatif/ Non neovaskular

Drusen adalah tanda dari bentuk degenerasi macula terkait makula non

neovaskular (non eksudatif). Kecil, bulat, lesi kuning, lokasi pada level RPE

dibawah macula. Drusen ini dapat membesar, menyatu, mengalami klasifikasi

dan jumlah bertambah. Derajat gangguan penglihatan bervariasi bergantung

luasnya atrofi serta jaraknya terhadap fovea.15,18

2. Degenerasi Makula terkait Usia Eksudatif/ neovaskuler.

Pada tipe eksutdatif, sebagian besar penderita akan mengalami gangguan

penglihatan yang berat akibat terbentuknya neovaskularisasi dan makulopati

eksudatif. Cairan serosa dari koroid dibawahnya dapat bocor melalui defek

kecil di membrang bruch menyebabkan pelepasan epitel pigmen retina.

Peningkatan cairan itu dapat semakin menyebabkan pemisahan retina

sensorik dibawahnya dan penglihatan akan menurun. Bila mengenai macula

dapat juga terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru kea rah dalam yang

meluas dari koroid sampai ke sub retina yang memudahkan timbul pelepasan

macula dan gangguan penglihatan sentral irreversible pada pasien dengan

drusen.15

Terapi pada Degenerasi Makula terkait usia ini sampai sekarang belum

terdapat pengobatan yang dapat diterima secara umum. Laser photokoagulasi

dan photodynamic terapi ditujukan pada tipe eksudatif neovaskuler dengan

(24)

Berdasarkan Age Related Eye Disease Study, dengan pemberian suplemen

zinkum dosis tinggi dan antioksidan (vitamin A,C dan E) jangka panjang dapat

menurunkan resiko berkembangnya degenerasi macula terkait usia tipe

eksudatif/neovaskular. Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa

peranan mikronutrien seperti karotenoid dapat menurunkan terjadinya AMD

serta mencegah terjadinya progresifitas AMD.15,16

III. Retinitis Pigmentosa.

Berdasarkan visual impairment and Blindness, Retinitis Pigmentosa

merupakan salah satu penyebab kehilangan visus yang penting pada usia-usia

produktif. Retinitis Pigmentosa merupakan merupakan distrofi pigmen retina primer,

merupakan kelainan heriditer yang kelainannya lebih menonjol pada rods dari pada

cone. Kebanyakan diturunkan secara autosomal resesif, diikuti dengan autosomal

dominan dan paling sedikit diturunkan melalui X-liked resesif.

Insiden:

ƒ Terjadi pada 5 orang per 1000 penduduk, pada seluruh penduduk dunia. ƒ Umur: gambaran progresifitas lambat pada anak-anak, sering mengakibatkan

kebutaan pada pertengahan usia lanjut.

ƒ Ras: penyakit ini dapat ditemukan pada semua ras.

ƒ Suku Bangsa: laki-laki lebih sering ditemukan dari pada perempuan dengan perbandingan 3:2.

(25)

Gambaran Klinik:

A. Simtom visual:

ƒ Buta senja: merupakan karakteristik yang terjadi pada beberapa tahun sebelum adanya kelainan-kelainan pada retina dengan adanya

perubahan. Penglihatan retina, ini menunjukkan terjadinya degenerasi

pada rods.

ƒ Adaptasi gelap, peninggian light treshold pada perifer retina, walaupun proses adaptasi gelap itu sendiri menyerang sangat lambat.

ƒ Tubular vision merupakan kasus yang lanjut. B. Perubahan fundus:

ƒ Perubahan pigmentasi retina, ini adalah bentuk perivaskular yang khas dan mirip dengan bentuk bone corpuscule. Pada mulanya perubahan

ini ditemukan hanya pada daerah equatorial dan kemudian menyebar

diantara anterior dan posterior.

ƒ Penyempitan arterior retina dan menjadi seperti benang pada stadium akhir.

ƒ Optik disk menjadi pucat dan keruh pada stadium akhir dan akhirnya berturut-turut menjadi atrofi optik.

ƒ Perubahan-perubahan lainnya yang terlihat seperti koloid bodies, sklerosis khoroidal, CME, atrofi atau cellophane makulopati.

C. Perubahan lapangan pandang.

ƒ Annular atau ring-shaped Scotoma, adalah tanda khas yang menunjukkan adanya degenerasi pada daerah equatorial retina. Seperti

(26)

posterior dan selanjutnya terjadi pada penglihatan kspasien mengalami

kebutaan.

D. Pemeriksaan Elektrofisiologikal.

Perubahan elektrofisiologikal tampak lebih cepat pada penyakit ini

sebelum tanda-tanda sebelum tanda-tanda subyektif atau tanda-tanda

obyektif (perubahan fundus).

ƒ ERG sub-normal atau

ƒ EOG tidak tampak light peak.

Therapi

Sebagian besar pengobatan tidak berhasil, sampai saat ini belum ada

pengobatan yang efektif untuk penyakit ini.

1. Evaluasi terhadap penghentian progresifitas perjalanan penyakit yang telah

dicoba dari tahaun ke tahun, termasuk: vasodilar, ekstrak plasenta,

tranplantasi otot rektus ke dalam rongga suprakoroid, light exclusion therapi,

terapi ultrasonik, terapi akupuntur. Belum lama ini, Vitamin A dan E telah

direkomendasikan untuk mengontrol progresifitas.

2. Low vision aids (LVA) dalam bentuk magnifying glasses, dan night vision device, mungkin dapat membantu.

3. Rehabilitasi pasien yang berpengaruh terhadap dirinya seperti latar belakang

sosial ekonomi.

4. Profilaksis, konseling genetik untuk tidak menikah dengan keturunan yang

sama untuk menghindari diturunkannya insiden penyakit ini. Selanjutnya bagi

(27)

IV. Retinal Detachment

Retinal Detachment merupakan salah satu kelainan retina yang dapat

menimbulkan kebutaan apabila tidak ditangani segera. Retinal detachment

menandakan pemisahan retina sensorik dari epitel pigmen retina dibawahnya,

ablasio retina diklasifikasikan atas.

1. Retinal detachment regmatogen

Retinal detachment regmatogen merupakan bentuk yang paling

banyak dijumpai, karakteristiknya adalah pelepasan total (full thickness) suatu

regma di retina sensorik, traksi korpus vitreus dan mengalirnya korpus vitreus

cair melalui defek retina sensorik ke dalam ruang subretina. Sebanyak 90%

sampai 97% dijumpai adanya retinal break dan sebagian besar pasien

mengeluh adanya photopsia dan floaters. Tekanan bola mata cenderung

rendah dibandingkan dengan mata sebelah. Tanda khas yang dijumpai yakni

shafer sign (tobacco dust). Manajemen rhegmatogenous retinal detachment

dapat dilakukan dengan cara tehnik bakel sclera yang bertujuan menutup

robekan retina dengan cara indentasi sclera maka traksi vitreus berkurang dan

mengurangi masukan vitreus cair melalui robekan retina ke ruang subretina.

Sehingga daerah robekan retina menempel kembali dengan EPR. Pada tehnik

pneumatic retinopexy, gelembung udara diinjeksikan ke dalam rongga vitreus

yang berfungsi sebagai temponade terhadap robekan retina sehingga retina

melekat kembali. Kedua tehnik diatas dapat menghasilkan perlekatan retina

yang kuat dengan melakukan cryotheraphy, laser atau diathermy dan kadang

perlu dilakukan vitrektomi. Kegagalan tehnik diatas sering disebabkan oleh

(28)

penempelan retina atau timbulnya retinal break yang baru dan juga bias

menimbulkan ablasio retina traksional. 19

2. Retinal detachment traksional

Retinal Detachment traksional adalah bentuk kedua tersering. Hal ini

terutama disebabkan oleh Retinopati diabetik proliferatif, vitreo retinopati

proliferatif dan trauma mata dimana membran yang timbul pada vitreus

menarik neurosensori retina dari RPE. Gambaran karakteristiknya yaitu

permukaan retina yang licin dan imobil. Terapi dari traksional retinal

detachment merupakan kombinasi antara vitrektomi dan tehnik bakel sklera.

3. Retinal detachment eksudatif

Retinal Detachment Eksudatif, ini disebabkan oleh kerusakan

pembuluh darah retina atau RPE. Sehingga memungkinkan penimbunan

cairan dibawah retina sensorik. Hal ini sering disebabkan oleh infeksi,

neoplasma. Adanya sifting fluid merupakan karakteristik dari eksudatif retinal

detachment karena cairan subretina dipengaruhi oleh gaya grafitasi maka

dimana cairan ini menumpuk disana terjadi ablasio retina. Ablasio retina

eksudatif ini dapat mengalami regresi spontan. Setelah cairan subretina

mengalami resorbsi, oleh karena itu terapi ablasio ini diarahkan terhadap

penyebabnya sehingga jarang dilakukan operasi. 19

Selain faktor intrinsik seperti usia, ras, jenis kelamin dan faktor genetik, ada

juga faktor ekstrinsik yang berpengaruh antara lain pendidikan, dan pekerjaan yang

(29)

Pencegahan kebutaan merupakan tujuan utama, tetapi oleh karena

keterbatasan dokter, perawat, obat dan sarana operasi, maka untuk bisa

mewujudkan vision 2020, ada tujuan dan sasaran yang harus dicapai:

Ad.1. Tujuan

¾ Tujuan umum:

Meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan guna mewujudkan

manusia Indonesia yang berkualitas.

¾ Tujuan khusus:

1. Meningkatkan upaya Pelayanan Kesehatan Indera Penglihatan

2. Tersedianya sumber daya yang memadai dari pemerintah, swasta dan

masyarakat di bidang Kesehatan Indera penglihatan

3. Tersedianya fasilitas Pelayanan Kesehatan Indera Penglihatan yang bermutu

dan terjangkau sampai ke tingkat Kabupaten/Kota

4. ersedianya sistem informasi dan komunikasi timbal balik terpadu dalam upaya

Kesehatan Indera Penglihatan

5. Meningkatnya sumber daya manusia (Dokter Spesialis Mata, Perawat Mahir

Mata, Refraksionis Optisien, Tenaga Elektro Medik, Tenaga Ahli Gizi). Di

bidang Kesehatan Indera Penglihatan dan terdistribusi secara merata.

6. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan Pemda Provinsi dan

Kabupaten/Kota untuk Kesehatan Indera Penglihatan.

7. Meningkatnya kemampuan dan mutu lembaga penyelenggara pendidikan

tenaga kesehatan di bidang indera penglihatan.

8. Meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya kesehatan Indera

(30)

9. Mantapnya manajemen penanggulangan gangguan penglihatan dan

kebutaan.1

Ad.2. Sasaran

1. Seluruh lapisan masyarakat mulai dari balita, usia sekolah, usia produktif dan

lanjut usia.

2. Semua tenaga kesehatan yang berperan dalam penanggulangan gangguan

penglihatan dan kebutaan, seperti Dokter Spesialis Mata, Dokter puskesmas,

Refraksionis Optisien, Perawat Puskesmas dan tenaga medic penunjang

terkait.

3. Organisasi profesi terkait seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Mata

Indonesia, Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia dan Persatuan Perawat

Indonesia. 1

Sementara dari sisi pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan mata maka

ada 2 aspek yang harus diperhatikan.

a. Aspek komunitas.

ƒ Kesadaran Masyarakat

ƒ Perilaku dan adat istiadat setempat ƒ Kondisi sosioekonomi dan pendidikan ƒ Kondisi geografis dan transportasi ƒ Upaya promotif dan preventif.20

b. Aspek klinik.

(31)

Berdasarkan telaah tersebut diatas, maka untuk mewujudkan vision 2020

perlu dilakukan upaya berikut:

1. Konsolidasi dalam bentuk penggalangan sumber daya dan dana masyarakat.

2. Inventarisasi data dan pemetaan masalah kesehatan mata dan distribusi SDM

pelaksanaan yang ada.

3. Pendekatan politik kepada Pemerintah Daerah dan DPRD di daerah yang

masalah kesehatan matanya cukup signifikan.

4. Penyusunan rencana dan program kerja nasional yang jelas dan

komprehensif.

5. Penyusunan standard an prosedur operasi yang sesuai dengan tuntutan

masyarakat.

6. Perencanaan mobilisasi tenaga Dokter Spesialis Mata dan Tenaga Kesehatan

lainnya yang terkait untuk mendukung efektifitas kinerja dan tidak tumpang

tindih.

7. Memacu kapasitas operasi Dokter Spesialis Mata dari 200 menjadi 1000

(32)

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN LANGKAT

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera

Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3º 14’- 4º 13’ Lintang

Utara, 97º 52’ - 98º 45’ Bujur Timur dan 4-105 m dari permukaan laut. Kabupaten

Langkat menempati area seluas ±6.263,29 km2(629.329 Ha) yang terdiri dari 23

kecamatan dan 277 desa serta 34 kelurahan defenitif. Area Kabupaten Langkat

disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka,

disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, disebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas, dan disebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di

Kabupaten Langkat, luas daerah terbesar adalah Kecamatan Batang Serangan

dengan luas 934,90 km2 atau 14,93 persen diikuti Kecamatan Bahorok dengan luas

884,79 km2 atau 12,25 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan

Binjai dengan luas 45,55 km2 atau 0,79 persen dari total luas wilayah Kabupaten

Langkat.

Seperti umumnya daerah – daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera

Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini

memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.

Berdasarkan Kabupaten Langkat Dalam Angka 2008, Kabupaten Langkat

memiliki jumlah penduduk sekitar 1.042.523 jiwa dengan kepadatan penduduk

sebesar 164,04 jiwa / km2 . Perkembangan jumlah penduduk tahun 2004, 2005,

2006, 2007, berkisar 955.348, 970.433, 1.013.849 dan 1.027.414 dengan laju

pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat pada tahun 2007 dibandingkan tahun

(33)

Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Langkat meliputi 3 Rumah Sakit

Umum Pemerintah, 1 Rumah Sakit Umum Swasta. Sementara pada daerah

Kecamatan dan Pedesaan Kabupaten Langkat pada tahun 2007 ini memiliki sarana

kesehatan yang cukup memadai yaitu : 28 buah Puskesmas, 153 Puskesmas

(34)

Tabel 2.1. Banyaknya sarana pelayanan kesehatan di kabupaten

Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Langkat, baik negeri maupun

swasta ada 104 orang Dokter Umum, 49 orang Dokter Gigi dan 13 orang Dokter

Spesialis. Dari 13 orang Dokter Spesialis yang ada di Kabupaten Langkat, 1 orang

(35)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESA

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan

mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan

masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang

ada, maka kerangka konsep digambarkan sebagai berikut:

KERANGKA KONSEP

SOSIO-EKONOMI

BUDAYA TTG PEMELIHARAAN

KES. MATA

K E B U T A A N

R E T I N A

PENYAKIT SISTEMIK DM,

HIPERTENSI

SUMBER DAYA MANUSIA

SARANA DAN PRASARANA

(36)

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

ƒ Kebutaan retina adalah penderita kelainan retina dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60.

ƒ Sosio-ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli masyarakat dan pemerintah.

ƒ Geografi adalah kondisi alam apakah mudah atau sulit dijangkau dari sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan

mempengaruhi cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan.

ƒ Sumber daya manusia adalah tenaga ahli, khususnya dokter spesialis mata dan perawat refraksionis mata yang tersedia.

ƒ Sarana dan prasarana kesehatan adalah ketersediaan rumah sakit pemerintah atau swasta dan alat-alat pemeriksaan kelaina retina.

ƒ Penyakit sistemik adalah penyakit-penyakit yang berpengaruh langsung terhadap kelainan retina, antara lain diabetes mellitus dan hipertensi.

3.3. HIPOTESIS

Terdapat angka kebutaan retina yang lebih rendah untuk kabupatan Langkat

(37)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan Cluster atau

pengelompokan yang bersifat deskriptif , artinya subjek yang diamati baik pada saat

monitoring biologik dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan

pengamatan pada saat bersamaan (transversal) atau dengan satu kali pengamatan

atau pengukuran.

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di kabupaten Langkat yang merupakan daerah dataran

rendah dengan penentuan sampel secara non-probabilitas, berdasarkan kriteria

terdapatnya insiden kebutaan.

4.3. POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang mengalami kebutaan

dengan visus kurang dari 3/60 yang ada di wilayah kerja puskesmas kecamatan

terpilih, di kabupaten Langkat, selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh

masyarakat desa di wilayah kerja secara sampling.

4.4. BESAR SAMPEL

Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu kabupaten

Langkat, maka sampel yang diambil pada 10 kecamatan yang terpilih.

(38)

yang akan diambil, dihitung dengan rumus Cluster Random dengan Proportional

Allocation Methode yaitu :

N Z

2

б

c

2

n =

N G

2

M

2

+ Z

2

б

c

2

Dimana : n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam

Penelitian ini.

N = Jumlah populasi

Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung

Pada nilai α = 0,05, nilai Zc = 1,96. бc2 = Varians populasi

∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2P∑aiMi + P2 ∑mi2 =

n - 1 n - 1

P = Proporsi retina mata = ∑ ai ∑ mi G = Galat pendugaan, diasumsikan 3%.

M = Rerata kejadian buta akibat kelainan retina = ∑mi n

Dengan demikian, jumlah sampel untuk masing – masing kecamatan yaitu :

бc2 = Varians populasi

∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2 P ∑ai Mi + P2 ∑ mi2 = n -1 n -1

(39)

P = Proporsi kelainan retina mata

Tabel 4. 1. Distribusi Penduduk Kabupaten Langkat

Kecamatan Jlh

(40)

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

Kriteria inklusi:

ƒ Semua penderita kelainan retina dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60 dengan pemeriksaan direct ophthalmoskope dan midriatikum.

ƒ Usia penderita ≥ 5 tahun.

ƒ Tekanan intra okuli dan cupping disc ratio normal (0,3). ƒ Tidak dijumpai adanya kelainan di segmen anterior. ƒ Media refraksi jernih.

ƒ Bersedia ikut dalam penelitian.

Kriteria Eksklusi:

ƒ Penderita kelainan retina dengan visus terbaik pada ke dua mata > 3/60. ƒ Usia penderita < 5 tahun.

ƒ Tekanan intra-okular tinggi (> 22 mmHg).

ƒ Dijumpai adanya kelainan pada segmen anterior. ƒ Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel terkait:

ƒ Kebutaan akibat kelainan retina.

Variabel bebas:

ƒ Sosio-ekonomi. ƒ Budaya.

ƒ Geografi.

ƒ Sumber daya manusia.

(41)

4.7. BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Snellen chart.

2. Trial lens set.

3. Direct ophthalmoscope.

4. Senter.

5. Loop.

6. Tonometer Schiotz.

7. Mydriatil 1% tetes mata.

8. Pantocain 0,5% tetes mata.

9. Fenicol 1% tetes mata.

10. Alkohol 70% dan kapas.

11. Pilocarpine 2%.

12. Pensil.

13. Penghapus.

14. Kertas kwesioner.

4.8. JALANNYA PENELITIAN DAN CARA KERJA

Pengumpulan data menggunakan formulir kwesioner yang berisi data

karakteristik dari sampel, sarana dan prasarana di daerah penelitian. Daerah

penelitian untuk satu abupaten diwakili oleh 10 kecamatan dengan beberapa desa

terpilih setelah survei pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh unit

pelayanan kesehatan di wilayah penelitian yang terdiri dari puskesmas Induk dan

(42)

peneliti menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya berkoordinasi dengan

kepala puskesmas yang bertugas di wilayah penelitian, lalu penderita kelainan retina

dikumpulkan di puskesmas pada waktu tertentu, kemudian peneliti akan memeriksa

langsung sampel. Jumlah sampel yang belum mencukupi dilakukan pemeriksaan

langsusng ke rumah-rumah pada lingkungan yang terpilih dengan dibantu oleh

kepala lingkungan. Data yang telah dikumpul akan disimpan dan dikomputerisasi

dengan menggunakan software microsoft excel.

4.9. LAMA PENELITIAN

Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah.

Bulan Mei 2009 Juni 2009 Juli 2009 Agst. 2009

Analisa data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi

data.

4.11. PERSONALIA PENELITIAN

Peneliti : Jenny Rahmalita

Pembantu penelitian : 1. Christina Bangun

2. Cut Nori A.R

3. Reni Guspita

4. Laszuarni

(43)

4.12. PERTIMBANGAN ETIKA

1. Usulan penelitian.

Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian Ilmu

Penyakit Mata FK-USU/RS H. Adam Malik Medan. Penelitian ini kemudian

diajukan untuk disetujui oleh rapat komite etika PPKRM Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

2. Inform konsen dan kerahasiaan.

Penelitian ini melibatkan langsung pasien kelainan retina yang ada di

wilayah penelitian, sehingga membutuhkan kerja sama lintas sektoral dalam

bentuk tembusan surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait

seperti dinas kesehatan kota / kabupaten, puskesmas, camat, kepolisian,

serta aparat desa setempat.

4.13. BIAYA PENELITIAN

(44)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 13 Juli 2009

sampai dengan 20 Agustus 2009 pada 10 kecamatan di Kabupaten Langkat dengan

beberapa desa dimana terdapat angka kebutaan dengan jumlah penduduk

sebanyak 29.500 orang.

Jumlah penduduk yang diperiksa yang didapat dari 10 kecamatan adalah

sebagai berikut, yaitu : Kecamatan Babalan dengan sampel buta 39 orang,

Kecamatan Selesai dengan sampel buta 42 orang, Kecamatan Gebang dengan

sampel buta 28 orang, Kecamatan Padang Tualang dengan sampel buta 31 orang,

Kecamatan Selapian dengan sampel buta 15 orang, Kecamatan Stabat dengan

sampel buta 51 orang, Kecamatan Secanggang dengan sampel buta 94 orang,

Kecamatan Hinai dengan sampel buta 30 orang, Kecamatan Kuala dengan sampel

buta 30 orang, Kecamatan Binjai dengan sampel buta 27 orang.

Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel

yang diambil sesuai dengan rumus Cluster Random Sampling dengan cara

(45)

A. DATA UMUM SAMPEL

1. Usia

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.

Umur ( tahun ) Laki – laki Perempuan Jumlah

Dari table 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia di atas, didapatkan jumlah

sampel terbanyak pada usia 66 – 70 tahun yaitu 67 orang. Selanjutnya usia 56 – 60

(46)

2. Jenis Kelamin

Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Stabat Hinai Secang

Dari tabel 5.2 didapatkan sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak 187

orang ( 48,32 % ) dan perempuan sebanyak 200 orang ( 51,68 % ). Maka dari data

ini didapatlah jumlah sampel perempuan lebih banyak dibanding jumlah sampel laki –

laki.

3. Tingkat pendidikan

Tabel 5.3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan N %

Dari tabel 5.3 terlihat bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 116 orang,

SD sederajat 191 orang , SMP/ sederajat 37 orang, SMA / sederajat 39 orang.

Akademi / Perguruan Tinggi 4 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel

(47)

4. Jenis Pekerjaan

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.

Pekerjaan N %

Dari tabel 5.4 di atas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu

sebanyak 204 orang ( 52,71% ) dan disusul dengan ibu rumah tangga sebanyak 89

orang ( 23,00 % ) dan seterusnya.

5. Suku Bangsa

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa

Suku Bangsa N %

Dari tabel 5.5 diatas tampak bahwa suku Jawa merupakan suku yang

(48)

B. Peserta Penelitian

Dari penduduk yang diperiksa yaitu kebutaan yang menurut kriteria inklusi

sebanyak 387 orang, dengan buta 2 mata sebanyak 123 orang (31,78%) dan satu

mata 264 orang (68,22%), sementara sampel kebutaan akibat kelainan retina

ditemukan sebanyak 16 orang (dua mata), dan 65 orang (satu mata).

1.Karakteristik peserta penelitian

a. Usia

Tabel 5.6. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan usia.

Usia Jumlah Persentase (%)

-20 1 1

21-40 7 9

41-60 33 41

61-80 38 47

81- 2 2

Jumlah 81 100

Dari tabel di atas tampak bahwa kelompok usia 61-80 tahun merupakan

penderita kebutaan akibat kelainan retina terbanyak yakni sebanyak 38 orang (47%).

(49)

b. Jenis kelamin

Tabel 5.7. Distribusi kebutaan kelainan retina berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 37 46

Perempuan 44 54

Jumlah 81 100

Dari tabel di atas tampak bahwa kebutaan akibat kelainan retina banyak

diderita oleh peremuan yaitu 44 orang ( 54% ) sedangkan laki-laki 37 orang ( 46 % ).

c. Tingkat pendidikan

Tabel 5.8. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

Tidak sekolah 23 28

SD 38 47

SMP 11 14

SMU 9 11

Akademi/PT - -

Jumlah 81 100

Dari tabel di atas tampak bahwa penderita kebutaan akibat kelainan retina

lebih banyak terdapat pada yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 23 orang

tidak sekolah, 38 orang pendidikan Sekolah Dasar dan 11 orang berpendidikan SMP,

9 orang yang berpendidikan SMU. Pendidikan yang rendah biasanya sebanding

(50)

d. Pekerjaan

Tabel 5.9. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

Buruh/Karyawan 4 5

Petani 40 49

Dagang/Wiraswasta 5 6

Pegawai 8 10

IRT 20 25

Pelajar 1 1

Nelayan 1 1

Lainnya 2 3

Jumlah 81 100

Dari 81 orang kebutaan akibat kelainan retina dimana 40 orang pekerjaannya

adalah bertani (49%) dan 20 orang pekerjaan ibu rumah tangga (25%), serta 8 orang

lagi adalah pegawai (10%).

e. Lama kekaburan

Tabel 5.10. Sebaran kebutaan retina berdasarkan terjadinya kebutaan.

Lama menderita kekaburan Jumlah %

Tiba-tiba 4 4.94

Perlahan-lahan 77 95,06

(51)

Dari tabel: 5.10 di atas tampak bahwa penderita kebutaan akibat kelainan

retina mengeluhkan secara tiba-tiba sebanyak 4 orang (4,94%), dan perlahan-lahan

sebanyak 77 orang (95,06%).

f.Riwayat Keluarga

Tabel 5.11. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan adanya riwayat

keluarga.

Kelainan Retina Dengan Persentase Tanpa Persentase Jumlah Riwayat ( % ) Riwayat ( % ) ( % ) Keluarga Keluarga

Hipertensi Retinopaty 7 9 12 15 24

Diabetik Retinopaty 7 9 12 15 24

Age Macular Deg 1 1 29 36 37

Retinal Detachment - - 4 5 5

Patologik Myopia - - 2 2 2

Chorioretinitis - - 6 7 7

Macular Hole - - 1 1 1

Jumlah 15 19 66 81 100

Dari tabel diatas tampak Hipertensi Retinopaty dan Diabetik Retinopaty

(52)

g. Tempat berobat

Tabel 5.12. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan tempat berobat.

Tempat berobat Jumlah Persentase (%)

RS. Pemerintah 33 41

Puskesmas 2 3

Praktek Swasta 1 1

Tradisional 1 1

Bidan 6 7

Mantri 1 1

Dibiarkan 37 46

Jumlah 81 100

Dari tabel di atas 37 orang penderita tak berobat atau dibiarkan, 33 orang

berobat ke Rumah Sakit Pemerintah,6 orang berobat ke bidan, 2 orang berobat ke

Puskesmas, 1 orang berobat ke Praktek Swasta, 1 orang berobat tradisional dan 1

(53)

h. Jenis kebutaan retina

Tabel 5.13. Distribusi kebutaan akibat kelainan retina berdasarkan jenis kelainan

retina.

Jenis kelainan retina Satu Mata Persentase Dua mata Persentase (%) (%)

Hipertensi Retinopaty 15 19 4 5

Diabetik Retinopaty 18 22 1 1

Age Related Macular Deg 22 27 8 10

Retina Detachment 4 5 - -

Patologik Myopia - - 2 3

Chorioretinitis 5 6 1 1

Macular hole 1 1 - -

Jumlah 65 80 16 20

Dari tabel diatas tampak bahwa jenis kelainan retina paling banyak dijumpai

Age Related Macular Degeneration sebanyak 22 orang (27%) menderita 1 mata, 8

orang menderita 2 mata (10%), Diabetik retinopaty sebanyak 18 orang (22%)

menderita 1 mata, 1 orang menderita 2 mata (1%), diikuti oleh Hipertensi retinopaty

(54)

i. Tabel Estimasi Kebutaan Akibat Kelainan Retina di Kabupaten Langkat.

Dari tabel 5.1 sampai 5.5 tampak gambaran karakteristik penduduk sampel di

wilayah penelitian.

Dari tabel 5.1 dan 5.2 terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan

lebih banyak penduduk dengan usia tua dan jenis kelamin yang terbanyak adalah

perempuan. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia

umumnya. Umumnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Burma, India

dan Indonesia dikatakan berstruktur muda dengan penduduk yang berumur di bawah

15 tahun jumlahnya lebih besar yaitu lebih dari 40% sedangkan peduduk yang

berumur 65 tahun ke atas kurang dari 10%. Secara garis besar sruktur penduduk di

sepuluh kecamatan yang diteliti ternyata berbeda dimana penduduk yang berusia 65

tahun ke atas kurang dari 40 % dan kelompok umur 15 tahun ke bawah kurang dari

(55)

Dari tabel 5.3 terlihat bahwa sebagian besar penduduk hanya sampai pada

bangku Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya

sumber daya manusia.

Dari tabel 5.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk yang merupakan objek

penelitian, mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu sekitar 52,71 %, hal ini sangat

sesuai dengan daerah Indonesia yang berdaerah Agraris yang mana sebagian besar

penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani

Dari tabel 5.5 suku terbanyak yang diperiksa adalah suku Jawa diikuti suku

Melayu dan yang lainnya.

Dari tabel 5.6 tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan

akibat kelainan retina berkisar 40 tahun ke atas, dimana terbanyak pada usia 41-60

tahun. Ini sesuai dengan perpustakaan yang ada maupun penelitian yang pernah

dilakukan, menyebutkan bahwa usia sebagai salah satu faktor resiko kebutaan akibat

kelainan retina yaitu 40 tahun ke atas dan resiko makin bertambah dengan

bertambahnya usia.

Dari table 5.7, penyebaran kebutaan akibat kelainan retina menurut jenis

kelamin terdapat 44 orang wanita dan 37 orang laki-laki. Belum pernah ada data

yang menyebutkan bahwa kebutaan akibat kelainan retina yang berhubungan

dengan jenis kelamin.

Dari tabel 5.8, sebagian besar penderita tidak bersekolah dan sekolah dasar.

Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami

penyakitnya sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan

kebutaan akibat kelainan retina.

(56)

Dari tabel 5.10, tampak bahwa 4 orang yang mengeluhkan kebutaan secara

tiba-tiba menderita retina detachment, selebihnya 77 orang mengeluhkan secara

perlahan-lahan.

Dari tabel 5.11, tampak bahwa penderita yang memiliki penyakit sistemik yaitu

Diabetes Melitus dan Hipertensi mempunyai riwayat keluarga positif.

Dari tabel 5.12. tampak bahwa sebagian besar penderita tidak berobat atau

dibiarkan. Hal ini berkaitan dengan ketidak tahuan penderita, rendahnya tingkat

pendidikan, faktor ekonomi, keterbatasan tenaga medis yang mengerti, alat yang

tidak mendukung sehingga penderita belum tertangani dengan maksimal.

Dari tabel 5.13. tampak bahwa jenis kelainan retina yang paling banyak

dijumpai adalah Age Related Makular Degeneration, Diabetik retinopaty, Hipertensi

retinopaty. Yang lainnya Retinal Detachment, Patologik Myopia, chorioretinitis, dan

macular hole.

Prevalensi kebutaan akibat kelainan retina di Kabupaten Langkat.

Dari semua sampel penduduk sebesar 29500 orang, dijumpai kebutaan akibat

kelainan retina sebanyak 81 orang. Kejadian pada satu mata berkisar 65 orang dan

pada dua mata berkisar 16 orang. Prevalensi didapatkan dengan rumus jumlah

penderita/jumlah populasi dikali 100%, sehingga prevalensi kebutaan akibat kelainan

retina untuk Kabupaten Langkat adalah 0,054%, dengan estimasi sekitar 0,022% -

0.077%.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Masitha Dewi Sari di Kabupaten

Karo, didapatkan angka prevalensi kebutaan akibat kelainan retina yaitu berkisar

0,11 % . Dari data ini terlihat bahwa adanya penurunan prevalensi kebutaan akibat

(57)

juga lebih rendah dari prevalensi kebutaan akibat kelainan retina secara nasional

yaitu 0.13 %.

2.1. Hubungan kebutaan akibat kelainan retina dengan demografi dan sosio

ekonomi Kabupaten Langkat.

a. Geografi

Pada penelitian ini, geografis dari Kabupaten Langkat dapat dikategorikan

daerah dataran rendah dengan ketinggian 105 m dari permukaan laut, yang mana

prasarana jalan dari desa – desa ke pusat – pusat pelayanan kesehatan dapat dilalui

dengan mudah oleh kendaraan roda dua khususnya. Jadi faktor geografis tidak

menjadi halangan bagi penderita kelainan retina untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan mata.

b. Sosial – Ekonomi

Dari hasil survei yang telah dilakukan terhadap sampel, ternyata masih

banyak penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh

rendahnya tingkat pendidikan penduduk setempat dan pekerjaan penduduk yang

secara mayoritas adalah sebagai petani. Oleh sebab itu, untuk keberhasilan program

kebutaan ini diperlukan adanya pemberian pelayanan gratis bagi orang – orang yang

tidak mampu, dan juga memberikan pengetahuan kepada penduduk setempat

pentingnya menjaga dan mencegah kebutaan.

c. Budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata

Dari hasil survei yang dilakukan terhadap sampel maka sebagian

memeriksakan diri ke Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah pada keadaan

(58)

tentunya petugas pelayanan kesehatan harus tetap konsisten memberi

penyuluhan/informasi ke masyarakat sehingga pengetahuan masyarakat mengenai

kelainan retina semakin baik.

d. Sumber Daya Manusia.

Sumber daya manusia di Kabupaten Langkat, terutama petugas kesehatan

mata khususnya belum memadai, meskipun semua kelurahan / desa umumnya telah

memiliki tenaga kesehatan ( bides/ bidan desa ) yang telah tersebar merata di

Kabupaten tersebut.

Program Puskesmas salah satunya adalah tentang kesehatan mata, yang

mana program ini termasuk kedalam 18 program pokok. Namun di dalam

pelaksanaannya program ini belum dapat terlaksana dengan baik. Keadaan ini

mungkin disebabkan oleh masih terbatasnya tenaga ahli kesehatan, khususnya

dokter spesialis mata yang sampai saat ini hanya terdapat 1 orang saja yaitu di

Rumah Sakit Kabupaten. Oleh karena itu, perlulah menjadi bahan perhatian bagi kita

semua, khususnya bagi pengambil keputusan untuk mengadakan tenaga – tenaga

terlatih ataupun tenga ahli untuk memenuhi kebutuhan akan keberhasilan salah satu

program puskesmas ini yaitu untuk mencegah dan menurunkan angka kebutaan.

e. Sarana dan Prasarana Kesehatan

Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Langkat belum memadai,

dimana untuk Kabupaten Langkat ini hanya tersedia 1 Rumah Sakit Umum Daerah

yang juga hanya memiliki 1 orang tenaga ahli ( dr. Spesialis Mata ). Sementara di

Kabupaten Langkat itu sendiri sebenarnya banyak ditemukan Rumah Sakit Swasta

atau Balai Pengobatan, namun sarana ini tidak dapat berjalan dengan baik oleh

(59)

Sehingga semua Penduduk harus mendapatkan pelayanan khususnya Mata ke

(60)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.A. Kesimpulan

1. Prevalensi kebutaan akibat kelainan retina di Kabupaten Langkat adalah 0,054 %

lebih rendah dari prevalensi kebutaan akibat kelainan retina secara nasional yaitu

0,13%.

2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan.

3. Faktor sosial ekonomi di Kabupaten Langkat yang masih rendah mempunyai

peranan terhadap keberhasilan penanggulan kebutaan akibat kelainan retina.

4. Faktor budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata juga mempunyai peranan

terhadap keberhasilan penanggulangan kebutaan akibat kelainan retina dimana hal

ini erat kaitannya dengan tingkat pendidikan.

5. Faktor sumber daya manusia belum memadai dimana hanya terdapat 1 Dokter

Mata dan tenaga medis lainnya belum memahami sepenuhnya tentang kesehatan

mata sehingga sosialisasi terhadap masyarakat belum tercapai.

6. Faktor sarana dan prasarana khususnya untuk tindakan penyakit retina belum

memadai sehingga perlu menjadi perhatian pemerintah setempat.

7. Beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan langsung dengan kelainan retina,

sehingga bila dijumpai penyakit sistemik tersebut perlu adanya pemeriksaan

kesehatan mata penderita.

8. Penyakit retina yang paling banyak dijumpai di Kabupaten Langkat adalah

(61)

6.B. Saran

1. Upaya menurunkan angka kebutaan akibat kelainan retina perlu adanya dilakukan

penyuluhan kepada masyarakat secara rutin, terutama tentang hubungan penyakit

sistemik dengan kelainan retina di Puskesmas, Pustu, Posyandu, Dasa Wisma,

Lembaga desa dan sebagainya.

2. Meningkatkan kesadaran penduduk yang beresiko tinggi untuk memeriksakan

matanya secara rutin dan berkala.

3. Melatih tenaga-tenaga kesehatan di Puskesmas untuk memantau terjadinya

kelainan retina dan merujuk pasien untuk pengobatan sebelum terjadi kebutaan.

4. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan termasuk tenaga Dokter Spesialis

Mata.

5. Segera pengadaan alat-alat untuk pemeriksaan/penanggulangan kelainan retina

oleh pemerintah.

6. Melatih tenaga-tenaga kesehatan di puskesmas tentang gejala dan tanda

penyakit degenerasi kelainan makula terkait usia agar dapat memberikan edukasi

kepada masyarakat khususnya usia lanjut.

7. Menyarankan pemerintah setempat agar turut berpartisipasi untuk program

pemberian suplemen antioksidan dan vitamin (500mg vitamin C, 400 IU vitamin

E,dan 15 mg beta carotene) dan Zinc, untuk mencegah perkembangan atau

Gambar

Tabel 1.1   Klasifikasi  ICD  terhadap  penurunan  penglihatan
Tabel  2.1.    Banyaknya sarana pelayanan kesehatan di kabupaten             Langkat     menurut    kecamatan   pada   tahun    2008
Tabel 4. 1. Distribusi Penduduk Kabupaten Langkat
Tabel 5.3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

lain yang mempengaruhi sistem pengendalian intern pada koperasi adalah. jenis koperasi.Berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992

Perilaku individu dalam bekerja menentukan tinggi rendahnya kinerja seorang pekerja. Penilaian perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan diperlukan agar para karyawan dapat

Berdasarkan contoh tersebut diasumsikan posisi paragraf adalah paragraf pertama dengan jumlah paragraf pada subbab pertama adalah 4, maka perhitungan skor fitur kalimat

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, selama ini masyarakat Jaring Halus jarang tersentuh

Negara bersama UU Otonomi daerah 1999 dibutuhkan dalam hal ini karena (i) model pembangunan kita telah bergeser ke arah desentralisasi daerah, sehingga setiap wilayah dipacu

Menarik juga untuk dicatat bahwa, orang-orang Cina yang pada awalnya datang ke Medan sebagai kuli perkebunan kemudian telah berkembang menjadi satu kelompok yang menguasai

Since Ompu Pulo Batu was then away in the Dairi region endeavouring to negotiate with the Dutch to find his new place under the colonial regime, 12 the Parmalims began to

Namun dibanding dengan Pilkada, isu pemekaran kabupaten dan provinsi magnitudnya lebih besar karena tidak saja menjadi mainan baru wiraswastawan etnik yang ingin mencari