• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Dikaitkan Dengan Faktor Fisik Dan Kimia Air Di Muara Sungai Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Dikaitkan Dengan Faktor Fisik Dan Kimia Air Di Muara Sungai Asahan"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DIKAITKAN

DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

OLEH

LUMONGGA GULTOM

087030014

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DIKAITKAN

DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

OLEH

LUMONGGA GULTOM 087030014

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Penelitian : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DIKAITKAN DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR DI MUARA SUNGAI ASAHAN

Nama : LUMONGGA GULTOM

NIM : 087030014

Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M.Sc Anggota : Prof. Dr. Syafruddin Ilyas M.BioMed Prof. Dr. Retno Widhiastuti MS

(5)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DIKAITKAN DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010 Penulis

(6)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, atas berkat dan kasih karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Dikaitkan dengan Faktor Fisik Dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr.Syafruddin Ilyas M.BioMed. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan hasil penelitian ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Retno Widhiastuti., MS dan Dr.Suci Rahayu sebagai Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan hasil penelitian ini.

2. Prof.Dr.Dwi Suryanto, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

(7)

4. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Bappeda Sumatera Utara Medan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Sekolah Pascasarjana Biologi Universitas Sumatera Utara.

5. Kedua orang tuaku tersayang Ayahanda P.Gultom, Ibunda M.Silaban atas doa dan dukungan, serta semua nasihatnya.

6. Suami tercinta Porgel Rajagukguk, atas kesabaran, pengertian, motivasi dan pengorbanan, serta doa dan dukungannya. Demikian juga ketiga anak – anakku tersayang Florida Indah Karina, Yustika Moranita, Josua Nikolas Wiguna yang telah memberikan doa dan dukungan serta pengertiannya selama mama mengikuti perkuliahan.

7. Abang, Kakak dan Adek beserta keluarga baik dari keluarga Besar Gultom maupun keluarga besar Op.Dortua Rajagukguk yang telah memberikan doa dan dukungannya.

8. Keluarga Besar SMA Negeri 5 Medan, Kepala Sekolah Bapak Drs. Salmi Effendi.M.Pd. PKS, rekan – rekan guru, pegawai serta karyawan yang telah memberi dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

(8)

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kasihNya dalam

kita mengejar ilmu dan cita-cita dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi

kita semua. Terima kasih.

Medan, Agustus 2010

Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di P.Siantar.Tanggal 12 desember 1966. Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 37 P. Siantar dari tahun 1973 - 1979

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 P.Siantar dari tahun 1979 - 1982 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 P.Siantar Jurusan IPA dari tahun 1982 -

1985

4. Tingkat Diploma 3 (D3) Jurusan Biologi FP-MIPA, USU MEDAN dari tahun 1985-1988

5. Tingkat Sarjana (S1) Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Terbuka.

6 . Tahun 2008 - 2010 mendapat kesempatan belajar pada Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Biologi, dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.

Riwayat pekerjaan penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1988 CPNS Guru SMA Negeri Suak Timah Kabupaten Aceh Barat Meulaboh

2. Tahun 1989 PNS Guru SMA Negeri Suak Timah Kabupaten Aceh Barat Meulaboh

(10)

ABSTRAK

Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi ikan serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Sampel ikan diambil dari tiga stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun pengamatan dilakukan tiga kali ulangan pengambilan sampel. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Sampel ikan diambil dengan menggunakan jaring dengan panjang 57 m dan lebar 1,5 m dengan luas mata jaring 4 mm, lalu diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisik kimia air dilakukan dengan metode dan alat ukur yang telah ditentukan. Beberapa parameter fisik kimia, pengukuran dilakukan langsung di lokasi pengambilan sampel dan untuk beberapa parameter fisik kimia lainnya, pengukuran dilakukan di laboratorium.

Dari hasil analisis didapatkan 18 genus ikan yang termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, 7 ordo dan 18 famili. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan pada genus

Ambassis sebesar 122,027 ind/100 m2, dan kepadatan terendah adalah genus Scathopagus, sebesar 0,390 ind/100 m2. Indeks Keanekaragaman ikan berkisar antara berkisar 1,806 sampai 1,958 dan Indeks Keseragaman berkisar antara 0,668 sampai 0,816. Hasil perhitungan Indeks Distribusi Morista menunjukkan bahwa ikan berdistribusi secara berkelompok. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa oksigen terlarut berpengaruh sangat nyata dan berbanding searah dengan tingkat keanekaragaman ikan.

Dengan mengacu kepada baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004, didapatkan bahwa hasil pengukuran parameter faktor fisik kimia air di perairan ini masih berada dalam ambang batas yang layak untuk kehidupan ikan, namun keanekaragaman ikan di perairan muara Sungai Asahan termasuk ke dalam kategori rendah.

(11)

ABSTRACT

A study of the diversity and distribution of fishes with connection with physical and chemical factors at Estuary of Asahan River was established on August 2009 in Estuary of Asahan River region fishes sample was taken from three stations, and in each station performed three times sample identification. The determination of sample location point established by using Purposive random sampling. Fishes samples were taken by net with long 57 meters and wide 1,5 meters, 4 mm diameter, and then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management, Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University. The measurement of water physical and chemical parameters were performed by certain method and measurement. For some physical chemical parameters, the measurement was held directly in the sample location and for other physical chemical parameter, the measurement done in the laboratory.

Based on the analysis showed there were 18 fishes genera which include in Osteicthyes, 7 order and 18 families. The highest density grade result by genera of

Ambassis for about 122,027 pieces/100m2. The lowest density grade result from genera of Scathopagus for about 0,390 pieces/100m2. The Diversity index of fishes approximately about 1,806 to 1,958 and Similarities index about 0,668 to 0,816. The calculation of Morista Distribution Index showed that fishes distributed in group. Pearson correlation analysis result examined showed that Dissolved Oxygen gave significant effect and similar with the diversity grade of the fishes.

By referring to the sea water standard stated by the Ministry of Life Environment with Decision Letter No. 51 Year 2004, show that the measurement of physical chemical parameter of water in waterway still in appropriate limitation for the fishes environment, but the diversity category of fishes in estuary of Asahan River is low.

(12)

DAFTAR ISI

3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan ... 22

3.6 Analisis Data ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Biotik ... 29

4.2 Parameter Abiotik ... 51

(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 66 5.2 Saran... 67

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisik Kimia Perairan ... 25 Tabel 2. Hasil Identifikasi Ikan yang Diperoleh ... 29 Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi (ind./100m2), Kepadatan Relatif (%)

dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap Stasiun Penelitian... 42 Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E’)

Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian ... 45

 

Tabel 5. Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun

Penelitian... 47 Tabel 6. Nilai Indeks Morista pada Setiap stasiun Penelitian... 48 Tabel 7. Hasil Bedah Lambung Ikan ... 49 Tabel 8. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun

Penelitian... 51

 

Tabel 9. Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Ikan dengan Faktor

Fisik - Kimia Perairan ... 62 Tabel 10. Nilai Analisis Korelasi Distribusi Ikan dengan Faktor

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO... 72

Lampiran B : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 ... 73

Lampiran C : Bagan Kerja Untuk Mengukur COD ... 74

Lampiran D : Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat ... 75

Lampiran E : Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)... 76

Lampiran F : Bagan Kerja Analisis Fospat (PO4) ... 77

Lampiran G : Jaring Penangkap Ikan ... 78

Lampiran H : Gambar Spektrofotometer... 79

Lampiran I : Peta Lokasi Penelitian ... 79

Lampiran J : Foto Lokasi Penelitian ... 80

Lampiran K : Data Mentah Ikan... 81

Lampiran L : Contoh Hasil Perhitungan ... 82

Lampiran M : Gambar Contoh Hasil Bedah Ikan ... 83

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Genus Echidna (Ikan Girik-Girik Buaya) ... 30

Gambar 2 : Genus Xenentodon (Ikan Tepu) ... 31

Gambar 3 : Genus Dermogenys (Ikan Cucut) ... 31

Gambar 4 : Genus Parachela (Ikan Karper) ... 32

Gambar 5 : Genus Ambassis (Ikan Serinding) ... 33

Gambar 6 : Genus Doryichthys (Ikan Sili) ... 33

Gambar 7 : Genus Butis (Ikan Gabus Pasir) ... 34

Gambar 8 : Genus Pomadasys (Ikan Krot-Krot) ... 35

Gambar 9 : Genus Leiognathus (Ikan Bawal Putih) ... 35

Gambar 10 : Genus Lutjanus (Ikan Kakap) ... 36

Gambar 11 : Genus Mugil (Ikan Belanak) ... 37

Gambar 12 : Genus Eleutheronema (Ikan Senangin) ... 38

Gambar 13 : Genus Scatophagus (Ikan Kotib-Kotib) ... 38

Gambar 14 : Genus Johnius (Ikan Gulama) ... 39

Gambar 15 : Genus Cynoglossus (Ikan Lidah) ... 40

Gambar 16 : Genus Chaca (Ikan Tuka) ... 40

Gambar 17 : Genus Hemibagrus (Ikan Baung) ... 41

(17)

ABSTRAK

Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi ikan serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Sampel ikan diambil dari tiga stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun pengamatan dilakukan tiga kali ulangan pengambilan sampel. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Sampel ikan diambil dengan menggunakan jaring dengan panjang 57 m dan lebar 1,5 m dengan luas mata jaring 4 mm, lalu diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisik kimia air dilakukan dengan metode dan alat ukur yang telah ditentukan. Beberapa parameter fisik kimia, pengukuran dilakukan langsung di lokasi pengambilan sampel dan untuk beberapa parameter fisik kimia lainnya, pengukuran dilakukan di laboratorium.

Dari hasil analisis didapatkan 18 genus ikan yang termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, 7 ordo dan 18 famili. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan pada genus

Ambassis sebesar 122,027 ind/100 m2, dan kepadatan terendah adalah genus Scathopagus, sebesar 0,390 ind/100 m2. Indeks Keanekaragaman ikan berkisar antara berkisar 1,806 sampai 1,958 dan Indeks Keseragaman berkisar antara 0,668 sampai 0,816. Hasil perhitungan Indeks Distribusi Morista menunjukkan bahwa ikan berdistribusi secara berkelompok. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa oksigen terlarut berpengaruh sangat nyata dan berbanding searah dengan tingkat keanekaragaman ikan.

Dengan mengacu kepada baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004, didapatkan bahwa hasil pengukuran parameter faktor fisik kimia air di perairan ini masih berada dalam ambang batas yang layak untuk kehidupan ikan, namun keanekaragaman ikan di perairan muara Sungai Asahan termasuk ke dalam kategori rendah.

(18)

ABSTRACT

A study of the diversity and distribution of fishes with connection with physical and chemical factors at Estuary of Asahan River was established on August 2009 in Estuary of Asahan River region fishes sample was taken from three stations, and in each station performed three times sample identification. The determination of sample location point established by using Purposive random sampling. Fishes samples were taken by net with long 57 meters and wide 1,5 meters, 4 mm diameter, and then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management, Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University. The measurement of water physical and chemical parameters were performed by certain method and measurement. For some physical chemical parameters, the measurement was held directly in the sample location and for other physical chemical parameter, the measurement done in the laboratory.

Based on the analysis showed there were 18 fishes genera which include in Osteicthyes, 7 order and 18 families. The highest density grade result by genera of

Ambassis for about 122,027 pieces/100m2. The lowest density grade result from genera of Scathopagus for about 0,390 pieces/100m2. The Diversity index of fishes approximately about 1,806 to 1,958 and Similarities index about 0,668 to 0,816. The calculation of Morista Distribution Index showed that fishes distributed in group. Pearson correlation analysis result examined showed that Dissolved Oxygen gave significant effect and similar with the diversity grade of the fishes.

By referring to the sea water standard stated by the Ministry of Life Environment with Decision Letter No. 51 Year 2004, show that the measurement of physical chemical parameter of water in waterway still in appropriate limitation for the fishes environment, but the diversity category of fishes in estuary of Asahan River is low.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Muara sungai Asahan secara Geografis berada pada 2o56’46,2”LU dan 99051’51,4”BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai Asahan mengalir dari mulut Danau Toba, mengalir melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di teluk Nibung, Selat Malaka (http://id.wikipedia.org/wiki/sungai_Asahan). Daerah pesisir Sungai Asahan pada saat ini merupakan daerah yang mengalami penurunan keseimbangan ekosistem, yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di daerah ini. Hal ini disebabkan karena kawasan ini telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pabrik, dan juga digunakan sebagai potensi parawisata pantai. Pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah merupakan dampak dari aktivitas masyarakat terhadap lingkungan yang dapat menyebabkan perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan organisme air. Berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di dasar perairan tersebut (Suriawiria, 2005).

(20)

transportasi laut (kapal nelayan) menimbulkan penurunan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Berbagai aktifitas tersebut merupakan sumber pencemaran perairan pantai sekitarnya. Hal ini tentu saja berakibat pada organisme perairan, diantaranya adalah terhadap organisme ikan yang hidup didalamnya.

Daerah muara sungai asahan merupakan daerah estuaria dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan, yakni air asin dari Selat Malaka dan air tawar yang mengalir dari sungai, daerah ini juga memiliki vegetasi mangrove yang cukup luas. Disamping itu pada daerah – daerah tertentu di Muara Sungai Asahan ini juga terdapat areal pemukiman penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan (Badan Pusat Statistik, 2005). Ikan merupakan salah satu organisma aquatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama yang diakibatkan pembuangan limbah cair atau padat ke badan air sebagai hasil aktifitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Limbah - limbah hasil buangan yang dihasilkan oleh berbagai aktifitas manusia tersebut mempengaruhi kualitas perairan, baik fisik, kimia, maupun biologi. Karena ini turut mempengaruhi kehidupan dan penyebaran ikan dalam suatu perairan (Rifai et al., 1983).

(21)

organisme yang hidup diperairan tersebut memiliki kekhasan pula. Namun demikian sejauh ini belum diketahui keanekaragaman ikan di Muara Sungai Asahan sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul

“Keanekaragaman dan Distribusi Ikan dikaitkan Dengan Faktor Fisik Kimia

Air Di Muara Sungai Asahan”

1.2. Permasalahan

Daerah pesisir Sungai Asahan telah mengalami eksploitasi untuk daerah pabrik, parawisata, Transportasi serta adanya pemukiman masyarakat disekitar kawasan pesisir ini. Berbagai aktifitas dan pemanfaatan yang dilakukan penduduk disekitar Sungai Asahan akan mengakibatkan faktor fisik – kimia lingkungan dan juga akan berdampak terhadap keberadaan populasi biota yang hidup didalamnya. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana Keanekaragaman Ikan di Sungai Asahan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui keanekaragaman dan distribusi ikan di Muara Sungai Asahan. b. Mengetahui hubungan faktor fisik - kimia air di Muara Sungai Asahan terhadap

(22)

1.4. Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman ikan pada tiap - tiap stasiun penelitian di Muara Sungai Asahan.

b. Terdapat perbedaan distribusi ikan pada tiap - tiap stasiun penelitian di Muara Sungai Asahan.

c. Ada keterkaitan (korelasi) antara keanekaragaman ikan dengan faktor fisik - kimia perairan pada tiap - tiap stasiun penelitian di Muara Sungai Asahan.

d. Terdapat hubungan faktor fisik - kimia perairan dengan distribusi ikan di Muara Sungai Asahan.

1.5. Manfaat

Penelitian ini bermanfaat :

a. Sebagai informasi bagi instansi terkait untuk pengelolaan pesisir Sungai Asahan khususnya bidang perikanan yang lebih baik di masa - masa mendatang.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Biologi Ikan

Ikan merupakan hewan vertebrata yang tergolong ke dalam Filum Chordata, Kelas Pisces, yang terdiri dari 4 (empat) sub kelas, yaitu : Elasmobranchii,

Chondrostei, Dipnoi dan Teleostei, masing – masing dengan beberapa Ordo, Famili dan Genus (Saanin,1986).

Ikan termasuk hewan yang bersifat poikiloterm, serta selalu membutuhkan air untuk hidupnya, karena ikan merupakan hewan air yang mengalami kehidupan sejak lahir atau menetas dari telurnya sampai akhir hidupnya di air (Achjar, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa air merupakan habitat ikan yang erat kaitannya dengan pembentukan struktur tubuh ikan, proses pernapasan, cara pergerakan, cara memperoleh makanan, reproduksi dan segala hal yang diperlukan bagi ikan.

(24)

Ikan termasuk vertebrata aquatis dan bernafas dengan insang (beberapa jenis bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi region - region. Otak dibungkus dalam tulang kranium (tulang kepala) yang berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang sejati. Memiliki sepasang mata. Kecuali ikan - ikan siklostomata, mulut ikan disokong oleh rahang. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran - saluran sirkular, sebagai organ keseimbangan (equilibrium). Sirkulasi mengangkut aliran seluruh darah dan jantung melalui insang lalu keseluruh bagian lain. Tipe ginjal adalah pronefros dan mesonefros (Brotowidjojo, 1993).

2.2. Pengelompokan Ikan

Menurut Mujiman (1994), ikan dikelompokkan berdasarkan jenis makanan dan cara makan, sebagai berikut:

2.2.1. Berdasarkan Jenis Makanannya :

a. Ikan Herbivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama berasal dari tumbuh – tumbuhan (nabati ) seperti : ikan tawes (Punctius javanikus), ikan nilem (Osteochhillus hasseltii), ikan sepat siam (Tricogastes pectoralis).

(25)

c. Ikan Omnivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari tumbuhan dan hewan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio), ikan mujair (Tillapia mossambica),

dan ikan gurami (Osphronemus goramy).

d. Ikan pemakan plankton, yaitu ikan yang sepanjang hidupnya makanan pokoknya terdiri dari plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Ikan pemakan plankton hanya menyukai bahan – bahan yang halus dan berbutir, sehingga tulang tapis insangnya mengalami modifikasi wujud alat penyaring gas berupa lembaran - lembaran halus yang panjang, seperti ikan ternang (Cypsilurus sp), ikan lemuru (Clupea iciogaster).

e. Ikan pemakan detritus, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari hancuran sisa – sisa makanan organik yang sudah membusuk di dalam air yang berasal dari hewan atau tumbuhan, misalnya ganggang, bakteri. Seperti ikan belanak

(Mugil sp).

2.2.2. Berdasarkan Cara Makannya

a. Ikan predator. Ikan ini disebut juga ikan buas dimana dia menerkam mangsanya hidup - hidup. Ikan ini dilengkapi dengan gigi rahang yang kuat. Seperti ikan tuna (Thunus albaceros).

(26)

c. Ikan stainer, ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menggeser dengan mulut yang terbuka, biasanya makanannya berupa plankton. Seperti ikan lemuru (Clupea iciogaster).

d. Ikan sucker, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan mengisap lumpur atau pasir di dasar perairan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio).

e. Ikan parasit, yaitu ikan yang mengambil makanannya dari tubuh hewan besar lainnya. Seperti ikan belut laut (Simenchelys parasiticus).

2.3. Ekologi Ikan

Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ - organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik itu perairan tawar maupun di perairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang dikenal sebagai linea lateralis. Organ ini tidak ditemukan pada hewan darat. Contoh lain, perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmose. Bila hal itu tidak dilakukan maka ikan laut dapat menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002).

(27)

faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh - tumbuhan maupun hewan. Dan faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam - garam organik, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Perubahan salinitas akan mempengaruhi penyebaran ikan secara horizontal, misalnya didaerah estuaria, diperairan yang banyak dipengaruhi oleh air tawar dari sungai - sungai yang bermuara di pantai yang fluktuasi salinitasnya relatif besar. Sedangkan teknologi dan kegiatan manusia berupa hasil teknologi dan kegiatan - kegiatan lain baik yang sifatnya memperburuk lingkungan, seperti pabrik - pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang memperbaiki lingkungan seperti pelestarian pesisir.

2.4. Ekologi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering ataupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat – sifat seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses – proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1978) dalam Wibisosno (2005).

(28)

ini disebut zona interdidal (Nybaken, 1992). Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain punya potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2003).

2.5. Pencemaran Wilayah Pesisir

Perairan pesisir selama ini menjadi tempat pembuangan limbah (keranjang sampah) dari berbagai macam kegiatan manusia, baik yang berasal dari wilayah pesisir maupun diluarnya (lahan atas dan laut lepas). Pencemaran laut perairan pesisir didefenisikan sebagai “dampak negatif” (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1987).

Pencemaran limbah rumah tangga dapat mampengaruhi keamanan dalam mengkonsumsi kerang – kerangan. Masalah ini terjadi, akibat terkontaminasinya limbah rumah tangga yang bersifat patogen dan berbahaya (contohnya tipoid, logam beracun dan pestisida) dengan biota perairan seperti ikan dan kerang (Anderson, 1994

dalam Dahuri, 2003).

(29)

kandungan mikroorganisme hingga mencapai sejumlah 10.000/ml atau lebih, tetap saja mikroorganisme yang bersifat patogen ini menimbulkan masalah kesehatan manusia. Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantasan hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut yang tidak tepat baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan – rembesan (leaching) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya (Dahuri, 2003).

Eisherth (1990), mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu : (1) pencemaran limbah industri (industrial pollution) seperti industri pulp, kertas, pengelolaan makanan dan industri farmasi kimia, (2) pencemaran sampah/limbah domestik (sewage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran karena sedimentasi (sedimentation pollution) akibat adanya erosi didaerah hulu sungai, dan (4) pencemaran oleh aktifitas pertanian (agriculture pollution) yakni dengan adanya penggunaan pestisida.

(30)

2.6. Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia yang mempengaruhi kehidupan ikan pada suatu perairan diantaranya adalah :

a. Suhu

Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan, termasuk dari jenis ikan (Michael, 1994). Selanjutnya Rifai et al., (1983) dan Asdak (1995) menjelaskan bahwa secara umum kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktifitas fisiologis organisma ikan. Disamping itu perubahan suhu perairan sekitarnya merupakan faktor pemberi tanda secara alamiah yang menentukan mulainya proses pemijahan, ruaya dan pertumbuhan bibit ikan.

Menurut Van hoffs, kenaikan temperatur sekitar 10 o C akan meningkatkan aktifitas fisiologis organisme sebesar 2 – 3 kali lipat. Akibat meningkat laju respirasi akan mengakibatkan konsentrasi oksigen meningkat dengan menaiknya temperatur, akan mengakibatkan kelarutan oksigen menjadi berkurang (Barus, 2004). Organisme aquatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan temperatur. Kenaikan suhu yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan - ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Odum, 1994).

(31)

peningkatan aktifitas metabolisme organisme aquatik, sehingga kebutuhan akan oksigen bagi organisme ikan juga akan meningkat.

b. Cahaya

Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan matahari dalam kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan Rifai et al.,

(1983).

Michael (1994), menyatakan bahwa intensitas matahari mempengaruhi produktifitas primer. Hasil perubahan energi matahari menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesis sangat tergantung pada intensitas matahari, konsentrasi CO2, oksigen terlarut dan

temperatur perairan.

c. Kekeruhan

(32)

Menurut Romimohtarto (1985), kekeruhan (salitasi) tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesis.

d. pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basah perairan. Air dikatakan basah apabila pH > 7 dan dikatakan asam apabil pH < 7. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi CO2 dalam proses fotosintesis yang

menghasilkan O2 dalam air, suasana ini menyebabkan pH air meningkat. Malam hari

fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi O2 dalam proses respirasi yang

menghasilkan CO2, suasana ini menyebabkan pH air menurun (Arie, 1998).

(33)

e. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam setiap perairan. Oksigen diperlukan organisme untuk melakukan respirasi aerob. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael,1994).

Ikan merupakan mahkluk air yang membutuhkan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata yang terkecil adalah bakteri. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan menyebabkan ikan - ikan dan binatang lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Barus (2004), menyatakan bahwa kelarutan maksimum oksigen pada perairan tercapai pada temperatur OoC yaitu sebesar 14,16 mg/l oksigen konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air.

f. BOD (Biological Oxygen Demand)

(34)

proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Michael, 1994). Brower et al., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD5

menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2

selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.

g. COD (Chemical Oxygen Demand)

Chemical Oxygen Demand (COD) Yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air, atau jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia (Wardhana, 1995). Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik, baik yang mudah diuraiakan secara biologis maupun yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

h. Salinitas

Salinitas sering kali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (per mil, gram per liter). (Nontji, 1987).

Selanjutnya dijelaskan bahwa salinitas menunjukkan jumlah ion – ion terlarut.

(35)

berkembangbiak pada daerah dengan kadar garam tinggi, yaitu > 35o/oo

(thermohalin), pada daerah dengan kadar garam sedang, yaitu mesohalin.

Perubahan salinitas dalam estuaria sangat dipengaruhi oleh musim, topografi, pasang surut, evaporasi dan jumlah air tawar yang masuk. Berdasrkan gradien salinitas yang dibentuk maka dikenal adanya estuaria negatif (Daulai dan Endang, 2000). Pasang surut merupakan salah satu faktor dominan yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Tempat yang perbedaan pasang surutnya lebih besar, pasang naik mendorong air laut jauh ke hulu sehingga menggeser isohalin ke hulu. Begitu juga sebaliknya saat pasang turun salinitas berubah sesuai dengan keadaan pasang surut (Nybakken, 1992).

Perubahan lingkungan yang sangat bervariasi mengakibatkan dampak bagi ikan terutama struktur dan bentuk yang secara perlahan - lahan melakukan modifikasi dalam perekembangannya untuk mengatasi perubahan lingkungan (Nybakken, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa memiliki pola adaptasi lingkungan dan juga memiliki predator dalam jumlah relatif rendah dibandingkan dengan jenis hewan aquatik lainnya.

i. Arus

(36)

atau menguap mengimbangi air berikutnya yang masuk kebagian muara. Pengaruh utama dari adanya arus dan aksi ombak didaerah pesisir terhadap ikan, akan memaksa ikan melakukan ruaya baik secara vertikal maupun horizontal (Daulay, 2000).

j. Kandungan Nitrit dan Fospat

Banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan fospat (Nybakken, 1992). Fospat merupakan unsur penting dalam air. Fospat terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah dan akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka. Selain itu juga dapat berasal dari atmosfer bersama air hujan masuk ke sistem perairan (Barus, 2004).

Komponen nitrit (NO2) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena

langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO3). Di wilayah perairan neritik yang relatif

(37)

k. TDS (Total Dissolved Solid)

(38)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02059’30,2”- 03003’33,8” LU dan 099051’43,7”- 099051’22,3” BT. Disepanjang muara sungai ini banyak terdapat aktifitas manusia, diantaranya adalah: pemukiman penduduk, penangkapan ikan, dan pelabuhan.

3.2 Metoda Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah ”Purposive Random Sampling” pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pada masing - masing stasiun dilakukan 3 kali ulangan pengambilan sampel.

3.3 Deskripsi Area

(39)

a. Stasiun 1

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02059’30,2” LU – 99051’43,7” BT. Daerah ini merupakan daerah mangrove. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran I dan J.

b. Stasiun 2

Stasiun ini secara geografis terletak pada 0301’20,8” LU – 99051’37,6” BT. Daerah ini merupakan daerah pemukiman penduduk dan pelabuhan. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran I dan J.

c. Stasiun 3

Stasiun ini secara geografis terletak pada 0303’33,8” LU – 99051’22,3” BT. Daerah ini merupakan muara. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran I dan J.

3.4 Pengambilan Sampel Ikan

(40)

botol koleksi lalu diberi label. Selanjutnya sampel dibawa kelaboratorium PSDAL FMIPA USU untuk diamati dan diidentifikasi dengan buku acuan menurut Saanin (1986), Kottelat (1993).

3.5 Pengukuran Faktor Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Temperatur

Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur temperatur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya (Suin, 2002).

b. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping secchi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (Barus, 2002)

c. Intensitas Cahaya

(41)

d. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter dimasukkan ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut (Barus, 2004).

e. Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan sampel air ke kaca refraktometer, dan di baca skala salinitas yang tertera

(Suin, 2002).

f. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda Winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir

(Lampiran A).

g. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda Winkler. Sampel

(42)

h. COD (Chemycal Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).

i. Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2 - 3 hari), substart yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar - benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:

KO = x100% A = Berat konstan substrat B = Berat abu

(43)

j. Nitrat (NO3)

Nitrat diukur dengan metode spektrometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran E).

k. Fosfat (PO4)

Fosfat diukur dengan metode spektrometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran F).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisika kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisika/Kimia dan Biologi Perairan.

No. Parameter Fisik Kimia Satuan Alat Tempat Pengukuran

Fisika Air

1 Suhu Air 0C Termometer Air Raksa In-situ

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Secchi In-situ

3 Intensitas Cahaya Lux Lux Meter In-situ

4 TDS mg/l Spectrofotometri Laboratorium

5 TSS mg/l Spectrofotometri Laboratorium

6 Kandungan Organik Substrat % Oven dan Tanur Laboratorium

Kimia Air

7 pH Air - pH meter In-situ

8 Salinitas 0/00 Refraktometer In-situ

9 DO mg/l Metoda Winkler In-situ

10 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium

11 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium

12 NO3 mg/l Spectrofotometri Laboratorium

(44)

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shanon Wienner, indeks keseragaman, indeks kesamaan. Analisis kolerasi menurut Krebs (1985), Michael (1994) dengan persamaan sebagai berikut :

a. Kepadatan Populasi (KP)

d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

(45)

Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon -

e. Indeks Equitabilitas (E)

Indeks equitabilitas (E) =

max H

H'

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0 - 1

Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil keseragaman suatu populasi, sebaliknya semakin besar nilai E ,maka populasi akan menunjukkan keseragaman (Krebs, 1985).

f. Indeks Similaritas (IS)

(46)

Id = n

(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 (tiga) stasiun di Muara Sungai Asahan, Kabupaten Asahan didapat jenis – jenis ikan seperti terlihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Hasil Identifikasi Ikan yang Diperoleh

No Kelas Ordo Famili Genus

1 Angualliformes 1 Muraenidae 1 Echidna

2 2 Belonidae 2 Xenentodon

3

Cyprinidontiformes

3 Hemiramphidae 3 Dermogenys

4 Cypriniformes 4 Cyprinidae 4 Parachela

5 5 Chandidae 5 Ambassis

12 12 Polynemidae 12 Eleutheronema

13 13 Scatophagidae 13 Scatophagus

14

Perciformes

14 Sciaenidae 14 Johnius

15 Pleuronectiformes 15 Cynoglossidae 15 Cynoglossus

16 16 Chacidae 16 Chaca

17

Siluriformes

17 Bagridae 17 Hemibagrus

18

Osteichtyes

Tetraodontiformes 18 Tetraodontidae 18 Tetraodon

(48)

Ciri - ciri umum ikan yang diperoleh :

1. Genus Echidna (Ikan Girik - Girik Buaya)

Celah mulut kira - kira 3,5 kali lebih pendek dari panjang kepala, panjang kepala 6 - 7 kali lebih pendek dari panjang badan, coklat kekuningan dengan bintik - bintik hitam bulat yang tidak teratur dan pada kepala berubah seperti pita - pita warna memanjang yang lengkap. Seperti pada Gambar 1

Gambar 1. Ikan Genus Echidna

2. Genus Xenentodon (Ikan Tepu)

(49)

Gambar 2. Ikan Genus Xenentodon (Ikan Tepu)

3. Genus Dermogenys (Ikan Cucut)

Ikan ini memilki mulut yang panjang, bentuk badan bulat panjang, pada umumnya ikan ini memiliki panjang 12 - 15 cm. Panjang kepala sepertiga dari panjang total. Tipe ekor bercangak, tipe mulut superior (rahang bagian bawah lebih panjang dari pada rahang bagian atas). Seperti pada Gambar 3

(50)

4. Genus Parachela (Ikan Karper)

Sisik pada gurat sisi 59 - 63, otot punggung memanjang mencapai bagian atas pinggiran mata bagian depan. Sirip punggung berpasangan sirip dada mencapai pangkal sirip perut atau sedikit lebih jauh, tipe ekor bercangak.

Seperti pada Gambar 4

Gambar 4. Ikan Genus Parachela (Ikan Karper)

5. Genus Ambassis (Ikan Serinding)

Terdapat sirip punggung tunggal dan ekor bercangak, 11 - 14 sisik di depan sirip punggung, gurat sisi terputus. Ikan ini tumbuh hanya sampai 12 cm. tubuhnya bening sehingga disebut ikan kaca. Merupakan kelompok ikan muara. Ikan ini pemakan invertebrate, cacing dan udang-udangan. Seperti pada Gambar 5

(51)

6. Genus Doryichthys (Ikan Sili)

Badan bersegmen yang terbentuk oleh piringan bertulang di bawah kulit. Mempunyai moncong berbentuk pipa dengan mulut kecil. Moncong panjang, 1,6 - 1,9 kali lebih pendek dari panjang kepala, sirip dada umumnya memiliki 20 - 23 jari-jari, beberapa bintik besar gelap memanjang pada badan. Jenis ikan ini pemakan plankton. Seperti pada Gambar 6

Gambar 6. Ikan Genus Dorychthys (Ikan Sili)

7. Genus Butis (Ikan Gabus Pasir)

Kepala pipih datar, lebar badan 5 - 5,5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6 - 7 kali lebih pendek dari panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala bersisisk, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat. Seperti pada Gambar 7

(52)

8. Genus Pomadasys (Ikan Krot - Krot)

Hidup disekitar pelabuhan, pantai, dermaga dan muara sungai. Jenis ini hidup di tempat yang dangkal, suka berada disubstrat lumpur, dan berpasir. Dapat tumbuh hingga 50 cm, tubuh ditutupi oleh sisik stenoid, sirip punggung tunggal memanjang kearah ekor dengan 12 jari – jari keras, 14 jari - jari lemah serta terdapat bintik – bintik hitam, deretan sisik berselingan, 5 baris sisik antara gurat sisi dan pangkal sirip punggung, dua pori - pori dan sebuah celah alur di tengah dagu. Ikan ini pemakan moluska termasuk yang bercangkang, mulutnya yang sangat kuat mampu membuka cangkang moluska. Seperti pada Gambar 8

Gambar 8. Ikan Genus Pomadasys (Ikan Krot - Krot)

9. Genus Leiognathus (Ikan Bawal Putih)

(53)

Pada sirip punggung terdapat 8 jari - jari kasar dan 17 jari - jari halus. Seperti pada Gambar 9

Gambar 9. Ikan Genus Leiognathus (Ikan Bawal Putih) 10. Genus Lutjanus (Ikan Kakap)

Kepala bentuk segitiga. Sirip dubur dengan 3 jari - jari keras. Warna tubuh kekuningan. Terdapat bintik hitam pada gurat sisi yang letaknya dekat dengan ekor. Sirip ekor sedikit cekung. Tubuh di tutup oleh sisik stenoid. Tubuh ramping. Panjang tubuh + 14,3cm, tinggi tubuh + 4,7cm. Sirip punggung tunggal memanjang dengan 10 jari – jari keras, 13 jari - jari lemah. Sirip perut dengan 1 duri. Letak mulut terminal. Terdapat bintik hitam di bagian belakang diantara bagian punggung dengan gurat sisi. Warna tubuh kuning kemerahan. Seperti pada Gambar 10

(54)

11. Genus Mugil (Ikan Belanak)

Ikan ini termasuk kedalam kategori ikan - ikan laut dan payau yang berukuran sedang sampai besar. Pemakan detritus (partikel - partikel organik). Panjang total 17 – 20 cm, lebar badan 3 cm. Bentuk badan memanjang dengan tipe ekor bercangak (homocercal). Ikan ini memiliki sirip punggung ganda yang benar - benar terpisah, yang pertama dengan 4 jari – jari sirip keras, 3 sirip jari - jari halus, sirip punggung yang kedua dengan 1 jari - jari sirip keras dan 3 jari - jari sirip halus. Ikan ini memiliki sirip dada yang terletak pada bagian atas sisi badan. Tipe mulut ikan ini terminal. Tubuh membulat, kepala lancip. Tubuh ditutupi oleh sisik stenoid. Warna tubuh bagian punggung hitam sedangkan bagian perut putih. Seperti pada Gambar 11

Gambar 11. Ikan Genus Mugil (Ikan Belanak)

12. Genus Eleutheronema (Ikan Senangin)

(55)

filament bebas pada sirip dada. Merupakan ikan karnivora memakan ikan, udang, dan kepiting. Seperti pada Gambar 12

Gambar 12. Ikan Genus Eleutheronema (Ikan Senangin)

13. Genus Scatophagus (Ikan Kotib - Kotib)

Warna tubuh keperakan, berbintik - bintik dan tubuhnya berbentuk segi empat dengan panjang bisa mencapai 30 cm. Tinggi badan 3,5 cm, panjang sirip punggung 7,5 cm, panjang sirip dada 5 cm, panjang kepala 3 cm, panjang batang ekor 6,5 cm, tinggi kepala 3,5 cm, dan lebar mulut 1 cm. Sirip punggung berjari - jari keras 13 dan bagian sirip berjari - jari lunak 14 - 24, serta sirip anal memiliki 4 duri yang tajam dengan bentuk ekor homocercal. Seperti pada Gambar 13

(56)

14. Genus Johnius (Ikan Gulama)

Merupakan jenis yang paling umum. Hidup di muara sungai, hutan bakau, pantai, dermagaa, dan pelabuhan. Memiliki dua sirip punggung yang sedikit bersambung, sirip yang kedua sangat panjang dan berjari - jari banyak. Sirip duburnya berpangkal pendek dan berjari - jari dua. Gurat sisi berlanjut sampai keujung sirip ekor yang berbentuk jajaran genjang. Seluruh badan dan kepala bersisik sikloid. Merupakan predator sejati yang memangsa ikan, udang dan moluska. Seperti pada Gambar 14

Gambar 14. Ikan Genus Johnius (Ikan Gulama)

15. Genus Cynoglossus (Ikan Lidah)

(57)

Gambar 15. Ikan Genus Cynoglossus (Ikan Lidah)

16. Genus Chaca (Ikan Tuka)

Ciri - cirinya seperti batu, bentuk badan menyerupai berudu dengan kepala besar bersegi, mulut lebar dengan sungut pendek bercabang disekelilingnya dan sirip ekor memanjang ke arah punggung. Seperti pada Gambar 16

Gambar 16. Ikan Genus Chaca (Ikan Tuka)

17. Genus Hemibagrus (Ikan Baung)

(58)

Tidak bersisik, mulut tidak dapat disembulkan, tulang rahang atas bergerigi 1 - 4 pasang sungut dan umumnya berupa sirip tambahan. Seperti pada Gambar 17

Gambar 17. Ikan Genus Hemibagrus (Ikan Baung)

18. Genus Tetraodon (Ikan Buntal)

Ikan berbadan gemuk, bulat dengan sisik yang kecil, matanya besar dan lubang pada celah insangnya besar. Mempunyai dua gigi pada masing - masing rahangnya yang membentuk sebuah paruh. Punggung dan sisi badan berbintik bulat yang agak beraturan, terpencar secara agak teratur tetapi tidak pernah membentuk bercak lebar atau pita warna melintang pada punggung. Seperti pada Gambar 18

(59)

4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Ikan Pada Masing-masing Stasiun Penelitian

Nilai Kepadatan, Kepadatan Ralatif dan Frekuensi Kehadiran ikan pada masing - masing stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi (ind./100m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap Stasiun Penelitian

ST 1 ST 2 ST 3

N0 Genus

K KR FK K KR FK K KR FK

1 Xenentodon 0.780 0.943 33.333 3.899 0.994 66.666 24.172 13.108 100

2 Dermogenys 0.390 0.472 33.333 - - - 21.053 11.417 100

3 Ambassis 0.390 0.472 33.333 122.027 31.111 100 42.495 23.044 100

4 Parachela 0.780 0.943 33.333 - - - 2.339 1.269 66.666

12 Eleutheronema 7.407 8.962 66.666 10.526 2.684 100 5.848 3.171 100

13 Hemibagrus 3.509 4.245 100 - - - 46.394 25.159 100

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara

(60)

dalam jumlah kecil. Makanan utama adalah udang - udang kecil dan moluska. Sedangkan kepadatan terendah adalah pada genus Dermogenys, Ambassis, Lutjanus, Schatophagus, dan Pomadasys dengan nilai 0,390 ind/100 m2 (K), 0,472 % (KR), 33,333 % (FK), hal ini disebabkan karena jenis ikan ini termasuk jenis ikan yang hidup soliter sehingga sulit ditangkap. Rifai et al., (1983), menyatakan jenis ikan yang diperoleh dalam jumlah sedikit umumnya merupakan predator yang hidupnya soliter atau terpisah - pisah dan tidak membentuk gerombol.

Pada stasiun 2 genus Ambassis memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 122,027 ind/100 m2 (K), 31,111% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada genus Scathopagus dan Echidna masing - masing sebesar 0,780 ind/100 m2 (K), 0,199% (KR) dan 33,333% (FK). Hal ini karena kondisi perairan tersebut tidak mendukung bagi kehidupan ikan tersebut. Ikan jenis ini biasanya dapat hidup dengan baik pada kawasan mangrove. Menurut Nontji (1987), mengatakan bahwa ikan jenis ini merupakan ikan yang umum ditemukan pada kawasan mangrove dengan dasar lumpur.

(61)

baik untuk dikembangkan sebagai ikan kultur (Direktorat Jenderal Perikanan, 1977). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada genus

Butis, sebesar 1,170 ind/100 m2 (K), 0,634% (KR) dan 33,333% (FK). Hal ini karena kondisi perairan tersebut tidak mendukung bagi kehidupan ikan tersebut.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan nilai Kepadatan tertinggi bila dibandingkan antara 3 stasiun penelitian, maka stasiun 2 memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu sebesar 392,233 ind/100 m2, sedangkan kepadatan terendah adalah stasiun 1 yaitu sebesar 82,651 ind/100 m2. Bila dibandingkan antara masing - masing genus dari ketiga stasiun maka nilai kepadatan tertinggi adalah genus

Ambassis sebesar 122,027 ind/100 m2, dan kepadatan terendah adalah genus Scathopagus, sebesar 0,390 ind/100 m2. Hal ini karena kondisi perairan tersebut tidak mendukung bagi kehidupan ikan tersebut. Ikan jenis ini biasanya dapat hidup dengan baik pada kawasan mangrove. Nontji (1987), mengatakan bahwa ikan jenis ini merupakan ikan yang umum ditemukan pada kawasan mangrove dengan dasar lumpur.

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E)

(62)

Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E’) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian

Indeks Stasiun

1 2 3

Keanekaragaman (H’) 1,930 1,806 1,958

Keseragaman (E) 0,668 0,704 0,816

Keterangan:

Stasiun 1: Daerah Mangrove

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara

Dari hasil perhitungan didapat Indeks Keanekaragaman (H’) pada ketiga stasiun berkisar 1,806 - 1,958. Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 1,958 dan terendah pada stasiun 2 sebesar 1,806. Tingginya nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 3 karena parameter faktor fisik kimia yang diperoleh mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan ikan. Menurut Koesbiono (1979), keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu perairan menunjukkan keadaan komunitas yang baik, sebaliknya keanekaragaman yang kecil berarti telah terjadi ketidakseimbangan ekologi di perairan tersebut.

Brower et al., (1990), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing - masing spesies yang relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

(63)

keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya.

Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,668 – 0,816 dengan Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,816 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,668. Secara keseluruhan Indeks Keseragaman pada ketiga stasiun tergolong tinggi.

Krebs (1985), menyatakan Indeks Keseragaman (E) berkisar 0 – 1. Indeks Keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada masing - masing genus merata dan sebaliknya jika Indeks Keseragaman semakin kecil maka keseragaman suatu populasi akan semakin kecil.

Berdasarkan penggolongan tersebut dapat dilihat bahwa pada stasiun 3 mempunyai Indeks Keseragaman tertinggi yaitu 0,816. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada stasiun tersebut lebih merata dibandingkan dengan stasiun - stasiun penelitian yang lain atau dikatakan jumlah individu yang mendominasi stasiun tersebut sedikit.

4.1.3 Indeks Similaritas

(64)

Tabel 5. Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara

Dari Tabel 5 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 66,667% - 83,871%. Suin (2002), mengkategorikan kriteria Indeks Similaritas sebagai berikut :

Bila: IS = 75 – 100% : sangat mirip IS = 50 – 75% : mirip IS = 25 – 50% : tidak mirip IS =  25% : sangat tidak mirip

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai IS yang mempunyai kriteria sangat mirip adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 2, dan stasiun 1 dengan stasiun 3, dan kriteria mirip dijumpai antara stasiun 2 dengan stasiun 3. Kemiripan ini karena faktor fisik kimia (Tabel 8) yang hampir sama antara stasiun tersebut. Kondisi yang hampir sama menyebabkan terdapat kesamaan nilai spesies ikan pada setiap stasiun tersebut sangat mirip.

4.1.4 Indeks Distribusi (Morista)

(65)

Tabel 6. Nilai Indeks Morista pada Setiap stasiun Penelitian

Indeks Morista Keterangan

N0 Genus

1 Xenentodon 2.429 Berkelompok

2 Dermogenys 4.779 Berkelompok

3 Ambassis 1.838 Berkelompok

4 Parachela 2.250 Berkelompok

5 Cynoglossus 2.584 Berkelompok

6 Mugil 4.172 Berkelompok

7 Johnius 2.452 Berkelompok

8 Tetraodon 1.468 Berkelompok

9 Butis 2.220 Berkelompok

10 Chaca 5.400 Berkelompok

11 Leiogenathus 8.603 Berkelompok

12 Eleutheronema 1.677 Berkelompok

13 Hemibagrus 3.810 Berkelompok

14 Dorychtys 9,000 Berkelompok

15 Echidna 2.700 Berkelompok

16 Lutjanus 7.611 Berkelompok

17 Scatophagus 3,000 Berkelompok

18 Pomadasys 4.500 Berkelompok

Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa indeks distribusi untuk setiap genus diseluruh stasiun penelitian memiliki nilai > 1. Secara keseluruhan indeks morista menunjukkan penyebaran yang berkelompok untuk seluruh genus ikan pada seluruh stasiun penelitian. Menurut Rifai et al., (1983) umumnya jenis - jenis ikan yang diperoleh dalam jumlah yang sedikit cenderung akan bersifat predator. Menurut Tejerina - Garro et al., (2005) dalam Sulistiyarto et al., (2007) kualitas air maupun struktur habitat mempengaruhi komposisi jenis ikan.

(66)

kimia perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme tersebar atau terpencar. Selanjutnya Suin (2002) menyatakan bahwa faktor fisik dan kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan bagi organisme yang hidup di dalamnya sangat menentukan organisme tersebut hidup berkelompok atau beraturan.

4.1.5 Analisa Bedah Lambung Ikan

Dari hasil bedah lambung ikan maka diperoleh jenis makanan pada beberapa ikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Bedah Lambung Ikan

Nama Jenis Makanan Terdapat di

Lambung

Keterangan

1 Butis Ikan Karnivora

2 Cynoglossus Udang, kerang Karnivora 3 Eleutheronema Ikan, udang, kepiting Karnivora 4 Johnius Kaki kepiting Karnivora

5 Leiognathus Ikan Karnivora

6 Lutjanus Udang Karnivora 7 Hemibagrus Kepiting, ikan Karnivora 8 Tetraodon Kerang-kerangan Karnivora 9 Dermogenys Tidak terdeteksi Karnivora 10 Ambassis Tidak terdeteksi Karnivora 11 Scatophagus Tidak terdeteksi Karnivora 12 Pomadasys Tidak terdeteksi Karnivora 13 Chaca Tidak terdeteksi Karnivora 14 Parachela Tidak terdeteksi Omnivora

15 Echidna Tidak terdeteksi Pemakan Plankton 16 Doryichthys Tidak terdeteksi Pemakan Plankton 17 Xenentodon Plankton dan zooplankton Pemakan Plankton 18 Mugil Partikel-partikel organik Detritus feeder

(67)

pokoknya terutama terdiri dari hewan - hewan, sementara Xenentodon adalah jenis ikan pemakan plankton, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari plankton, dan

Mugil jenis ikan pemakan detritus feeder yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari hancuran sisa – sisa makanan organik yang sudah membusuk di dalam air yang berasal dari hewan atau tumbuhan, misalnya ganggang, bakteri. Secara keseluruhan dari jenis ikan yang diperoleh terdapat 13 jenis ikan yang termasuk kedalam jenis ikan pemakan karnivora, 3 jenis pemakan plankton, 1 jenis pemakan omnívora dan 1 jenis pemakan detritus feeder.

Menurut Kuncoro dan Wiharto (2009), makanan utama jenis ikan

Cynoglossus adalah udang - udang kecil dan moluska. Jenis ikan Leiognathus

merupakan jenis ikan pemakan udang kecil, larva ikan dan moluska. Jenis ikan

Johnius merupakan predator sejati yang memangsa ikan, udang dan moluska. Jenis ikan Lutjanus merupakan ikan pemakan moluska dan udang. Jenis ikan

Eleutheronema merupakan ikan karnivora, memakan ikan, udang, dan kepiting. Menurut Cahyono (2010), ikan Hemibagrus termasuk jenis ikan pemakan karnivora, yaitu memakan udang, ikan - ikan kecil, dan moluska.

(68)

4.2 Parameter Abiotik

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Faktor abiotik yang diukur meliputi faktor fisika - kimia lingkungan. Adapun hasil pengukuran faktor fisikai - kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti pada Tabel 8 :

Tabel 8. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing - Masing Stasiun Penelitian

6 Kandungan Organik Substrat % 3,3269 1,3635 1,7944

Kimia

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara

a. Suhu Air

(69)

3 (Muara) sebesar 29,83°C dan terendah pada stasiun 1 (Mangrove). Tingginya suhu pada stasiun 3 disebabkan karena stasiun ini merupakan lokasi yang padat aktifitas, dan sebagai jalur lalu lintas transportasi yang menghasilkan panas pada perairan, dan stasiun ini merupakan stasiun yang terbuka sehingga panas matahari langsung ke badan air. Suhu pada ketiga stasiun penelitian tersebut masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan pada perairan tersebut.

Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 150C– 300C dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 50C (Cahyono, 2010). Menurut Sidabutar dan Edward (1995) kisaran suhu yang baik bagi ikan adalah antara 250C – 350C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu air laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

b. Penetrasi Cahaya

(70)

Kecerahan suatu perairan dapat digunakan untuk mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan - lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik kurang dari 45 cm batas pandang ikan akan berkurang (Kordi, 2004).

Cahaya dibutuhkan oleh ikan untuk memangsa, menghindar diri dari predator atau untuk beruaya. Pada umumnya ikan berada pada daerah - daerah yang penetrasi cahayanya masih baik, sedangkan pada daerah yang gelap di mana penetrasi cahaya sudah tidak ada, hanya dihuni ikan buas atau predator yang lebih menyukai tempat gelap. (Jubaedah, 2006). Air yang terlalu keruh dapat menyebabkan ikan mengalami gangguan pernapasan karena insangnya terganggu oleh kotoran. Selain itu dapat menurunkan atau melenyapkan selera makan karena daya penglihatan ikan terganggu (Cahyono, 2010).

c. Intensitas Cahaya

(71)

mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya.

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et at., 1983).

d. Total Dissolved Solid (TDS)

Jumlah padatan terlarut pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti akan semakin menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berhijau daun yang terdapat pada perairan semisal hydrophita dan fitoplanktoan. Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut pada Perairan Muara Sungai Asahan berkisar 12752 – 23036, dimana padatan terlarut tertinggi berada di stasiun 3, dan terendah di stasiun 1 (kontrol).

e. Total Suspended Solid (TSS)

(72)

berada di stasiun 1, dan terendah di stasiun 3. Menurut Kristanto (2002), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel - partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis. Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/2004 nilai ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota yang dapat menopang kehidupan biota perairan (MNLH, 2004).

f. Kandungan Organik Substrat

(73)

g. pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) pada setiap stasiun penelitian berkisar 5,20 – 6,03. pH tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 6,03 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 5,20. Secara keseluruhan kisaran nilai pH sudah dibawah standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 7,00 - 8.50 (MNLH, 2004). Sutrisno (1987), menyatakan pH optimum berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Michael (1984), menyatakan nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kemampuan air untuk melepas atau mengikat sejumlah ion hidrogen yang menunjukkan larutan tersebut asam dan basa.

pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5 - 9,0 (Cahyono, 2010).

h. Salinitas

Nilai salinitas pada ketiga stasiun penelituian berkisar antara 12,830/00 –

26,800/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 26,800/00, sedangkan

salinitas terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 12,830/00. Adanya perbedaan

Gambar

Tabel 1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor          Fisika/Kimia dan Biologi Perairan
Tabel 2. Hasil Identifikasi Ikan yang Diperoleh No Kelas Ordo
Gambar 1. Ikan Genus  Echidna
Gambar 2. Ikan Genus Xenentodon (Ikan Tepu)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siswa kemudian berdiskusi beberapa teman dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan tentang bagian tumbuhan lain yang berfungsi untuk

This paper is focused on the development of the Thermalnet deep convolutional neural network for augmentation of existing large visible image datasets with synthetic thermal

Setelah berdiskusi, siswa mampu membuat rencana melaksanakan kewajiban terhadap tumbuhan yang dipelihara dengan terperinci.. Setelah berdiskusi, siswa mampu mengidentifikasi

For objective evaluation, we com- pare our algorithm with other state-of-the-art methods: original SRCNN (Dong et al., 2014), modified CNN resampling method with noisy training

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan, serta

Jumlah calon penyedia barang/jasa yang telah mendaftar mengikuti lelang Pengadaan barang modal peralatan dan mesin KPP Pratama Ciamis tahun anggaran 2012

Jaminanan Penawaran dan Surat Penawaran ditujukan ke Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Pekerjaan Renovasi Lantai I (satu) Kantor Pertanahan Kota Bandung, Jaminan Penawaran

14.00 WIB, melalui situs www.lpse.depkeu.go.id, kami Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kantor Pertanahan Kota Bandung telah melakukan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) untuk