• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepresentasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api Versi “ Secangkir Semangat Untuk Indonesia” di Televisi Swasta )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pepresentasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api Versi “ Secangkir Semangat Untuk Indonesia” di Televisi Swasta )"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI BUDAYA INDONESIA PADA IKLAN KOPI KAPAL API (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api

Versi

“ Secangkir Semangat Untuk Indonesia” di Televisi Swasta ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Disusun Oleh:

PUTRI WULANDARI 060904022

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PERMOHONAN SIDANG MEJA HIJAU

Nama : PUTRI WULANDARI

Nim : 060904022

Departemen : ILMU KOMUNIKASI

Judul : Representasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api ( Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia Kopi Kapal Api versi “ Secangkir Semangat Untuk Indonesia” di televisi swasta ) .

Medan . Januari 2013 Menyetujui :

Ketua Departement Ilmu Komunikasi Dosen Pembimbing

Dra. Fatma wardy Lubis, M.A Dra. Lusiana A. Lubis, M.A, Ph.D

NIP : 196208281986012001 NIP: 19674051990032002 Dekan FISIP USU

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Budaya Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api versi Secangkir Semangat Untuk Indonesia)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan pembuat iklan Kopi Kapal Api versi Secangkir Semangat untuk Indonesia” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan minuman dalam televisi mensajikan iklan dengan kreatif.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Komunikasi Visual dan Semiologi Roland Barthes. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level denotasi, dan level konotasi.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT karena atas berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah (Skripsi) ini tepat pada waktunya.

Skripsi yang berjudul Representasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api Versi “Secangkir Semangat Untuk Indonesia” di Televisi Swasta) ini disusun untuk melengkapi seluruh kegiatan akademik yang sudah penulis laksanakan sekaligus sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, yang tentunya merupakan sebuah proses dan hasil dari rangkaian proses akademik selama menjalani pendidikan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan juga dari data yang berkaitan baik yang ditemukan melalui perpustakaan, internet, buku-buku literatur, dan penelitian.

Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua Orangtua saya Papa, Bambang Prihatin dan Mama, Desmiani , serta adik saya satu- satunya Nur Qumalahayati yang tidak putus-putusnya memberikan doa dan cinta kasihnya yang amat besar sehingga peneliti mampu menjalani masa pendidikan dengan ini dengan baik.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti banyak dibantu memberi kontribusi baik berupa materi pikiran, maupun dorongan semangat. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan FISIP USU

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

(5)

4. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. Kak Icut, Kak Ros, Kak Maya dan seluruh staf yang telah membantu peneliti selama ini.

6. Sahabat yang banyak membantu selama perkuliahan dan sharing selama skripsi : Methiu, Anggina, Bayu, Gitra, bang Dodi, Ara, Titi, Winda Muliana .

7. Buat Muhammad Fahmi Ritonga yang tidak pernah jenuh setiap hari memberi semangat dan motivasi bagi penulis.

8. Seluruh keluarga besar Komunikasi 06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih telah menjadi teman-teman yang baik selama masa perkuliahan.

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Dan penulis sangat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong penulis untuk dapat semakin maju. Penulis juga berterima kasih atas saran dan kritik yang diberikan serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian akademik penulis.

Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amiin.

Medan, Januari 2013 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...………... i

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI………... iv DAFTAR TABEL………... vi

DAFTAR GAMBAR………... vii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

I.1. Konteks Masalah ………... 1

I.2. Fokus Masalah ………... 6

I.3. Pembatasan Masalah……… 6

I.4. Tujuan Penelitian …...……… 6

I.5. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 7

II.1 kerangka Teori . ………... 7

II. 1. 1 Representasi ... 7

II. 1. 2 Budaya ... 10

II. 1. 3 Semiotika ... 14

II. 1. 4 Semiotika Komunikasi Visual... 21

II. 1. 5 Semiologi Roland Barthes ... 30

(7)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 42

III.1Metode Penelitian ………... 42

III.2. Subjek Penelitian ………... 43

III.3. Kerangka Analisis ………... 44

III.4. Teknik Pengumpulan Data ………46

III.5. Teknik Analisis Data………. 47

BAB IV PEMBAHASAN……….48

IV.1. Penyajian Data... 48

IV.2. Representasi Citra Budaya Indonedia Dalam Iklan Kopi Kapal api.. 61

BAB V PENUTUP………... 64

5.1. Kesimpulan………... 64

5.2. Saran………... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tiga Proses Dalam Representasi ... 9

Tabel 2. Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 28

Tabel 3. Teknik Editing dan Gerakan kamera ... 29

Tabel 4. Peta Tanda Roland Barthes ... 32

Tabel 5. Unit dan Level Analisis ... 46

Tabel 6. Ikon scene Pertama ... 52

Tabel 7. Ikon scene Kedua ... 53

Tabel 8. Ikon scene Ketiga... 56

Tabel 9. Ikon scene keempat ... 57

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Elemen- elemen Makna Saussure ... 16

Gambar 2. Signifikasi Dua Tahap Barthes ... 17

Gambar 3. Dua Tanda linguistik ... 19

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Budaya Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api versi Secangkir Semangat Untuk Indonesia)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan pembuat iklan Kopi Kapal Api versi Secangkir Semangat untuk Indonesia” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan minuman dalam televisi mensajikan iklan dengan kreatif.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Komunikasi Visual dan Semiologi Roland Barthes. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level denotasi, dan level konotasi.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Pesan iklan kini muncul dimana saja, di Billboard, Radio, Televisi, Internet, di toko, dan hampir disetiap ruang yang kosong iklan selalu hadir. Dalam konteks pemasaran, iklan merupakan elemen yang sangat penting dan merupakan ujung tombak dalam menunjang keberhasilan pemasaran suatu produk dan jasa. Hadirnya iklan, membuat konsumen mengetahui akan adanya suatu produk. Iklan telah menjadi suatu jembatan komunikasi antara produsen dan konsumen dalam memperkenalkan suatu produk.

Dalam upaya memberikan informasi atau mempersuasi konsumen agar tetap loyal menggunakan suatu produk yang ditawarkan, iklan tidak terlepas dari prinsip-prinsip komunikasi. Kegiatan perancangan iklan akan selalu dimulai dengan mempelajari atau mengidentifikasi berbagai hal yang berkaitan dengan target pasarnya terutama konsumen. Dalam konteks inilah faktor-faktor yang bersifat psikologis, sosiologis, serta ekonomis dari konsumen menjadi bahan pertimbangan utama dalam proses eksplorasi ide ataupun proses kreatif pembuatan sebuah iklan. Faktor-faktor ini akan membentuk suatu rumusan iklan yang secara sinergis akan mempengaruhi konsumen untuk bertindak sebagaimana yang diharapkan oleh produsen dan perencana iklan. Suatu karya iklan akan begitu sarat dengan nilai yang secara empiris dekat dengan realitas kehidupan masyarakat dan konsumennya

(12)

televisi lah masih menjadi primadona dikarenakan sifatnya yang masif dan mudah untuk diakses.

Iklan adalah sebuah pesan yang menawarkan suatu produk (barang atau jasa) yang ditujukan kepada khalayak melalui media. Iklan merupakan bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah yang utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan dengan produk itu sendiri. Pada proses ini citra produk diubah menjadi citra produk (Bungin 2008 : 79).

Globalisasi periklanan kini tengah menjadi trend, produsen dan kreator iklan diberikan kesempatan mengekplorasi konsumen sesuai dengan target pasar. Ternyata dalam pengekplorasian konsumen ada beberapa industri yang menaruh perhatian serius terhadap penting iklan, sebab sangat menentukan keberlangsungan suatu produk dan jasa yang dihasilkan. Salah satunya adalah iklan kopi.

Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman. Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini.

(13)

Untuk memperoleh pasar, maka berbagai strategi promosipun dilakukan mulai dari menampilkan kenikmatan kopi tersebut, harga yang sangat terjangkau, kemudahannya untuk memperoleh atau kemudahan mendapatkan barang tersebut. Agar semakin efektif strategi promosi maka dihadirkan dalam bentuk iklan, salah satunya iklan televisi.

Situasi pasar yang seperti ini di baca juga oleh perusahaan kopi yang ada di Indonesia, salah satunya Kapal Api. Sebagai produk kopi asli Indonesia, Kapal Api memanfaatkan kondisi ini dengan cara beriklan di televisi. Hal ini disebabkan saat ini iklan televisi masih ampuh untuk menarik konsumen dalam menggunakan suatu produk dan jasa.

Kopi Kapal Api berawal dari tahun 1927 sebagai kopi dalam kemasan tanpa merk di Pasar Pabean, Surabaya oleh PT. Santos Jaya Abadi . Sang pelopor adalah Go Soe loet. Dikarenakan mutu yang sudah terkendali produk tersebut disambut antusias oleh pasar. Pada saat itu, pasar Indonesia belum pernah mendapatkan pilihan kopi seperti Kapal Api ini. Ramuan istimewa Kapal Api menawarkan kualitas yang terbaik, rasa yang mantap dan aroma yamng memikat. Merupakan produk yang tepat untuk mengawali bangun pagi anda sekaligus menemani anda sepanjang hari.

(14)

Saat ini Kapal Api telah banyak melakukan transformasi demi kemajuan. Dikarenakan semakin banyak saingan diluar sana ,mereka membuat gebrakan baru berupa iklan yang begitu menampilkan bagaimana dengan penyajian, cara menikmati, tujuan, dan beragam budaya Indonesia yang menambah cita rasa dari Kapal Api itu sendiri. Dan konsep kali ini yang diambil adalah “ Secangkir Semangat untuk Indonesia yang bertujuan menghasilkan objek agar tampak lebih menarik, dan dengan begitu dibuatlah sebuah iklan.

Iklan Kapal Api “Secangkir Semangat untuk Indonesia” yang berdurasi 1 menit 30 detik, Iklan dibuat pada tanggal 19 Oktober 2011 dan Di Sutradarai oleh Dimas Djayadiningrat. Iklan ini menampilkan visualisasi gambaran budaya Indonesia termasuk berbagai aspek kebudayaan, cara menikmati kopi, semangat masyarakat Indonesia, dan sifat gotong royong yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesuksesan Indonesia. Semua ditampilkan di dalam iklan Kapal Api ini. Dan melalui iklan inilah visualisasi budaya tentang Indonesia diimajinasikan.

Keunikan dari iklan tersebut adalah bagaimana setiap orang memulai hidup di pagi hari, terlihat nelayan yang begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan, dan terlihat kerumunan orang begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan dengan menampilkan atau menonjolkan produk kopi Kapal Api. Disitu juga terlihat beragam budaya yang menunjukkan semangat masyarakat Indonesia di setiap suku seperti wanita Bali yang tengah beribadah di pagi hari untuk memulai aktifitas dan terlihat pemandangan hamparan sawah di Kota Bali. Terlihat juga sang dalang cilik memainkan wayang yang kita ketahui sebagai ciri khas dari daerah Jawa. Penari juga mempertunjukkan tarian khas Palembang di depan wisatawan asing, permainan angklung sebagai ciri khas budaya dari Jawa barat dan Karapan Sapi sebagai ciri khas budaya suku Madura. Dan terlihat sebagian orang sedang mempresentasikan budaya Indonesia di kancah dunia. Terlihat juga banyak pemandang indah yang kita ketahui sebagai kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia.

(15)

mitologisasi. Ini adalah strategi untuk secara sengaja mengaitkan nama, logo, produk, dan komersial suatu merek dengan makna tertentu. Iklan ini begitu menarik untuk diteliti, guna memahami tatanan signifikasi modern, dimana makna iklan dibungkus dalam tekstualitas, dan melihat sistem signifikasi dari para pembuat iklan sehingga ditafsirkan oleh banyak orang untuk memahami makna yang diperoleh.

Ketika iklan di tayangkan melalui televisi, dengan menggunakan metode pengungkapan realitas sosial, maka iklan menjadi sebuah realitas yang digemari dan mengkonstruksi masyarakat, serta tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri sebagai bagian yang telah terstruktur, paling tidak dalam kognisi masyarakat. Raymon Williams mengatakan, “Iklan bagaikan sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas kedalam gemerlapan yang memikat dan mempesona”. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul kedalam dunia nyata (Bungin, 2008: 107).

Menciptakan suatu strategi kreatif dalam penciptaan iklan, harus memperhatikan tanda-tanda (signs), simbol-simbol (symbols), dan makna (meaning) yang mampu dipahami secara umum oleh seluruh lapisan khalayak, dengan latar belakang khalayak yang bersangkutan. Suatu iklan akan menjadi menarik dan mampu hinggap di benak khalayak, jika mampu menyentuh sisi nalar dan intuisi dari setiap responden disesuaikan dengan lingkungan disekitar mereka.

Penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang ditampilkan dalam iklan mewakili realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Iklan menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan menyeluruh yang pernah di buat manusia. Pemaknaan dari audiens merefleksikan tanda dan simbol, yang diterapkan oleh khalayak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan mengambil peran yang signifikan.

(16)

Selain itu, peneliti juga akan melihat narasi dan Jingle (musik) pada iklan yang mengiringi gambar, akan peneliti seleksi untuk merepresentasikan sistem signifikasi iklan yang bersangkutan dengan menggunakan pendekatan semiologi Barthes.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : ”Bagaimanakah representasi citra budaya Indonesia yang terdapat dalam iklan kopi Kapal Api ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembungkusan makna di balik tektualitas iklan Kapal Api.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Sistem Signifikasi makna yang diciptakan oleh kreator iklan.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi citra budaya Indonesia pada iklan Kopi Kapal Api “Secangkir Semangat untuk Indonesia“

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat :

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasnah penelitian tentang ilmu komunikasi, khususnya tentang analisis semiotika. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar

lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan.

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori

Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep (Singarimbun, 1995:37). Sedangkan Kerlinger menjabarkan, pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).

Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini sebagai berikut : 2.1.1 Representasi

Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, yang mewakili ide, emosi fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sitem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda ‘mewakili’ sehingga kita tahu dan mempelajari realitas. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Sebagai contoh bagaimana hujan direpresentasikan dalam film, karena sebenarnya hujan sulit ditangkap oleh mata kamera dan susah diproduksi.

(18)

datang dari representasi’. Selanjutnya, bagaimana cara representasi diatur melalui pelbagai macam media, genre, dan dalam pelbagai macam wacana memerlukan perhatian menyeluruh.

Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000:194) representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.

Marcel Danesi (2010:3) mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan).

Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks, yang memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2010: 3-4).

(19)

kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjukan bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan, intinya sama dengan berita. Iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel dibawah ini :

Tabel 2.1

Tiga Proses Dalam Representasi

PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Sumber :Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta:

(20)

Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis, tetapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda, yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru menghasilkan pemaknaan baru, Merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.

2.1.2 Budaya

(21)

Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang bearti “ daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja. Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan (Sulaeman 2007:22).

Raymond Williams (1965) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki dua aspek : makna dan tujuan yang telah diketahui, dimana anggotanya terlatih untuk itu; pengamatan dan makna baru, yang ditawarkan dan telah dicoba. Semua itu merupakan proses yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu kita dapat melihat sifat kebudayaan yaitu dia selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling umum dan makna individual yang paling halus. Kita memakai kata kebudayaan berdasarkan atas dua logika: sebagai keseluruhan cara hidup-makna umum; sebagai seni dan pembelajaran-proses khusus penemuan dan usaha kreatif (Barker, 2000:39).

Pergeseran kebudayaan manusia terus berlanjut. Gagasan-gagasan kebudayaan terus diciptakan. Pergerakan kebudayaan yang berpusat pada perkataan ke gagasan kebudayaan yang berpusat pada citra atau bentuk visual, tidak bisa dihindari lagi. Kebudayaan itu ‘seni’ sekaligus nilai, norma dan benda simbolis kehidupan sehari-hari.

(22)

informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saifuddin, 2005:289).

Simbol-simbol yang melekat pada suatu kebudayaan merupakan wahana dari konsepsi, hasilnya berupa unsur-unsur intelektual dalam proses sosial. Dan preposisi-preposisi kebudayaan dapat mengartikulasikan dunia sebagai suatu simbol, proposisi-proposisi ini juga memberikan pedoman bagi perilaku. Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya.

Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran penting kijian-kajian kebudayaan. Leslie white (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan hubungan dan mengembangkannya dalam abstrak. Cassirer menunjuk geometrik sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Cassirer mengekpresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “ Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini”.

(23)

suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam perspektif simbolik, kebudayaan adalah aspek yang bermakna mengenai realitas konkret atau realitas objektif dan yang akan datang (coming-to-be), kesesuaian dengan kesadaran, dari realitas objektif (Saifuddin, 2005:292).

(24)

2.1.3 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang bearti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas dan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic .

Seorang pakar semiotika kontemporer, yaitu Umberto Eco memberikan definisi tentang semiotika, bahwa disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk apapun juga (Denesi, 2010:33). Charles Saunders Peirce, yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern. Ia mendefinisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009: 28). Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang meninterpretasikan (interpreter). Peirce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek disebut dengan interpretant.

(25)

pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4)

1) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) : suatu cabang penyelidikan semiotika mengkaji “hubungan-hubungan formal diantara satu tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupaakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika.

2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “ hubungan di antara tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu

3) Paragmatik (pragmatics) : Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau para pemakain tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

(26)

gambaran akustis. Sausure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut :

Gambar 2.1 Elemen-Elemen Makna Saussure

Sign

Composed Of

signification

Signifier plus Signified external reality

(physical (mental concept) Of meaning

existence of the sign)

Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125).

(27)

Gambar 2.2

Signifikasi Dua Tahap Barthes

First Order Second order

Reality Sign Culture

Form

Content

Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 127.

Melalui gambar 2.2 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Connotation

Signifier

---

Signified Denotation

(28)

Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4).

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda (world of Things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinan de Saussure (1966), melihat semiotika melalui sudut pandang lingustik yang terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. (http://www.scribd.com/doc/4634605/Pengertian-Semantik,01.15/26/02/2012)

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah :

- Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.

- Ilmu tentang makna atau arti

(29)

yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia.

Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut :

Gambar 2.3 Racun

Bisa

Dapat

Buku

Lembar kertas berjilid Kitab

2. Sintaktik

(30)

demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30).

Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang kepala seseorang, tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah sebuah gerak tubuh, sebuah tanda suara (tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa bersatu untuk menciptakan makna. Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll).

Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama.

3. Pragmatik

Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi. Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda tanda, seperti ketika tanda “setan” dianggap sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan.

(31)

coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, makna yang kita maksudkan, people can communicateif they share meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka melihat makna yang sama) (Morissan, 2009:30).

Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya.Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa.

2.1.4 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel), sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga (noise). ‘semiotika komunikasi’ menekankan aspek ‘produksi tanda’ (sign production) di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran, dan media ketimbang ‘sistem tanda’ (sign system). Didalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran penting dalam penyampaian pesan.

(32)

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik pengambilan gambar. Semua itu dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju.

1. Tipografi

Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25). Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran.

Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital.

Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image.

Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini :

(33)

2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.

3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.

4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.

5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan. Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya :

1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New

Roman.

3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni

4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa.

5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.

Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa di baca dan dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus piawai menampilkan tipografi yang enak di pandang mata dan lebih melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.

(34)

pesan verbal akan terlihat jelas manakala keberadaan warna huruf dan latarnya cukup kontras

Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6 sampai 10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya teks yang akan ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin ditampilkan. Selain itu, Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan : (1)kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target .

2. Komposisi Warna

Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas menurut pakar Psikologi, J. Linschoeten dan Mansyur (dalam Kasali, 1995 : 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda.

(35)

yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) dalam Mulyana :

1. Merah,

Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan. 2. Putih.

Menunjukkan kedamaian, Permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan.

3. Hitam.

Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain.

4. Biru.

(36)

untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan.

5. Hijau

Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas.

6. Kuning

Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan.

7. Merah Muda

Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

8. Ungu

(37)

9. Orange

Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting.

10.Coklat

Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik.

11.Abu-Abu

Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, tenang.

12.Emas

Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.

3. Teknik Pengambilan Gambar

(38)

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut :

Tabel 2.2

Teknik Dalam Pengambilan Gambar

PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik

SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai dan kurang

otoritas TIPE LENSA

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

(39)

FOKUS

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek) PENCAHAYAAN

High Key Riang dan Cerah

Low Key Suram dan Muram

High Contrast Dramatikal dan teartikal

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti

dokumenter PEWARNAAN

Warm (kuning,orange, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and White (hitam dan Putih) Realisme,aktualisme, dan faktual

Sumber : Selby, keith dan Codery, Ron, How to Study Television”, London, Mc Millisan, 1995

Tabel 2.3

Teknik Editing dan Gerakan Kamera

Penanda Definisi Petanda

Pan down Kamera mengarah ke

bawah

Menunjukkan kekuasaan, kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke

atas

Menunjukkan kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera mengarah ke

dalam

Memperlihatkan sebuah observasi, fokus

Fade in/out Image muncul dari gelap

ke terang dan sebaliknya

(40)

Cut Perpindahan dari gambar satu ke gambar yang lain

Simultan, kegairahan

Wipe Gambar terhapus dari

layar

“penutupan”kesimpulan

Sumber : Berger, tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,. Hal

33

Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan sebuah karakter (Berger, 2000:33). Dalam penerapan semiotik pada televisi pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angel gambar yang diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari cara pengambilan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh, ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan.

2.1.5 Semiologi Roland Barthes

Roland barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (stanggered systems), yang memungkinkan untuk di hasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu dengan denotasi (denotation) dan konotasi (conotation). Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalaam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah SBY berarti wajah SBY yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

(41)

seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisist, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning).

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial ( yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks. Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity ) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat dicampurdukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The reader ).

(42)

Gambar 2.4

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber : Roland Barthes, Mythologies (New York: The NOONDAY Press, 1991), hal. 113

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan

(43)

tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. (http://www.scribd.com/doc/46455415/TELAAH-kajian-semiotika 12:30/26/02/2012).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan

dalam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makan. Petanda pada level

ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar,

atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010:108). Hal ini

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari

pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya.

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misereading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174).

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalmnya.

(44)

Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori.

Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan wacana. Menurut Teun A van Dijk, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi di dalam kelompok..

Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan ’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka.

(45)

2.1.6 Iklan

Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan adalah tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur Tengah. Sejak tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan tanda seperti itu untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka. Ketika orang sudah mulai bisa membaca, para pedagang dizaman itu manatahkan simbol-simbol yang bisa dikenal pada batu, tanah liat, atau kayu untuk menampilkan tanda-tanda yang ingin mereka tunjukan. Bahkan sebenarnya, sepanjang sejarah iklan poster dan gambar dipasar dan kuil merupakan media populer yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan untuk mempromosikan barter serta penjualan barang dan jasa (Danesi, 2010:225).

Diawal tahun 1920-an, semakin banyaknya penggunaan listrik menghasilkan kemungkinan semakin besar dalam mamapankan iklan didalam cakrawala sosial melalui penggunaan media elektronik baru. Munculnya radio dan televisi telah menghasilkan perpaduan iklan dalam bentuk komersial disertai sebuah narasi mini atau jingle musik yang berkisar pada suatu barang atau jasa dan kegunaannya. Komersial segera menjadi satu bentuk iklan yang sangat persuasif, karena secara serentak bisa mencapai massa konsumen potensial, baik melek huruf maupun tidak. Selanjutnya komersialisasi di televisi menjadi tidak asing dalam menciptakan persepi tentang produk sebagai yang terjalin sangat erat dengan gaya dan isi komersial yang dipakai untuk mempromosikannya. Belum lama berselang, Internet bergerak maju dalam melengkapi dan menambahi bentuk-bentuk iklan baik yang tercetak maupun komersial (radio dan televisi).

(46)

yang menampilkan iklan sebagai iklan itu sendiri, sehingga para pengakses situs itu bisa melihatnya hanya dari segi estetiknya saja.

Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk di ubah menjadi citra produk (Bungin, 2008:79).

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan nonkomersial dan iklan komersial. Iklan nonkomersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin,2008:65). Hant dan Seldon mengatakan, periklanan komersial sebagai media publik, dibuat dengan informasi dan promosi penjualan untuk tujuan pasar.

Didalam abad ke-20, iklan berevolusi menjadi sebentuk diskursus sosial persuasif yang terutama diarahkan untuk mempengaruhi bagaimana kita memahami pembelian dan konsumsi barang-barang. Diskursus iklan berkisar dari pernyataan sederhana di bagian terklasifikasi pada suratkabar dan majalah sampai iklan gaya hidup majalah yang canggih serta komersial televisi dan internet. Oleh sebab itu, iklan telah menjadi diskursus istimewa yang telah menggantikan bentuk-bentuk diskursus lebih tradisional khotbah, pidato politik, peribahasa, kata-kata bijak, dan sebagainya- yang diabad-abad yang telah lewat memiliki kekuatan retoris dan otoritas moral. Akan tetapi, iklan menjunjung dan menanamkan nilai-nilai Epikurean, bukan moralistik.

(47)

penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya.

Iklan melihat manusia sebagai ‘satuan-satuan berulang’ yang bisa diklasifikasikan kedalam pelbagai ‘kelompok selera’, ‘kelompok gaya hidup’, atau ‘pangsa pasar’ yang bisa dikelola dan dimanipulasi mengikuti hukum statistik. Seperti yang telah diingatkan oleh pakar psikoanalisis Carl Jung (1957: 19-20) beberapa dasawarsa lalu, kita memang hidup di dalam masa yang secara berbahaya melihat manusia sebagai sekrup di dalam mesin, bukannya ‘sebagai sesuatu yang unik dan tunggal yang pada akhirnya tidak bisa diketahui dan dibandingkan dengan apa pun.

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004:116).

Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang, 2003: 27). Menurut ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapatdipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.(http://andriew.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan-iklan-selalu

hidup.html12:30/26/02/2012.)

(48)

tingkat keadaan ekonomi tertentu “ yang juga kemudian dapat ditafsirkan sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai “kemewahan”, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001 : 97).

Pada saat ini budaya terbuat dari makna antara konsumen dan pemasar. hal ini digambarkan dalam tanda-tanda dan simbol yang dikodekan dalam benda sehari-hari. Semiotika adalah studi tentang tanda dan bagaimana suatu tanda itu ditafsirkan. Periklanan memiliki tanda-tanda tersembunyi dan arti dalam nama merek, logo, desain kemasan, cetak iklan, dan iklan televisi. Tujuan dari semiotika adalah untuk mempelajari dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam iklan . Logo dan iklan dapat ditafsirkan pada dua tingkatan yang dikenal sebagai tingkat permukaan dan tingkat yang mendasarinya. Tingkat permukaan menggunakan tanda-tanda kreatif untuk membuat gambar atau kepribadian untuk suatu produk mereka. Tanda-tanda ini dapat berupa gambar, kata, font, warna, atau slogan. Sedangkan tingkat mendasarinya terdiri dari makna tersembunyi.

Kombinasi gambar, kata, warna, dan slogan harus ditafsirkan oleh penonton atau konsumen. Kunci untuk analisis iklan adalah penanda dan yang ditandakan. Penanda adalah obyek dan Petanda adalah konsep mental. Sebuah produk terdiri dari penanda dan yang ditandakan. Penanda adalah warna , nama merek, desain logo, dan teknologi. Petanda memiliki dua makna denotatif dan satu lagi bisa berupa sebagai konotatif. Makna denotatif adalah makna dari produk. Makna denotatif sebuah televisi akan menjadi bahwa itu adalah definisi yang sebenarnya. Makna konotatif adalah makna produk dalam dan tersembunyi. Sebuah makna konotatif dari televisi memerlukan penafsiran untuk dipecahkan.

(49)

didominasi oleh rokok dan perawatan wanita. Inilah ranah tektualitas berupa tanda dan makna yang masih menjadi misteri menunggu untuk dipecahkan dan di bedah.

2.2 Model Teoritik

Salah seorang ahli teori kunci semiotika, Roland Barthes, mengembangkan gagasan-gagasan Saussure dan mencoba menerapakan kajian tanda-tanda secara lebih luas lagi (1967). Melalui sebuah karier yang produktif dan menggairahkan dalam banyak fase budaya, barthes memasukkan fesyen (1990), fotografi (1984) sastra (1987), majalah, dan musik diantara sekian banyak minatnya (1973;1984). Salah satu keasyikan utamanya adalah “bagaimana makna masuk kedalam citra/image” (Barthes, 1984:32). Dan itulah kunci menuju semiotika : tentang bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dengan bagaimana kita, sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. (Stokes, 2006:76)

Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan: donotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan lliteral yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. kata, ‘keledai’ bermakna denotatif konsep binatang ternak yang berguna dan bewarna abu-abu dengan mulut dan ekor, dan seterusnya. Pada level kedua konotasi makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan dengan aspek budaya yang lebih luas : keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu bangunan sosial. Jadi ‘keledai’ bisa bermakna konotatif orang bodoh atau mudah dibohongi, menurut sub-kode atau leksikon yang digunakan

(50)

Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar makna desain (iklan, produk, interior, fesyen) yang berkaitan secara implisist dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spritual. Tingkatan tanda dan makna barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.5

Tingkatan Makna Barthes

Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya

UI, hal .163.

1. Tanda

Tanda itu adalah keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau petanda, tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan, tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film, sport, tontonan, dan lain-lain. (Christomy, 2004:269).

Secara figuratif, tanda memberi kita kesempatan untuk membawa dunia sekitar kita di dalam pikiran kita. Akan tetapi, ini bukan dunia yang sebenarnya; ini adalah dunia mental yang menjadi kenyataan oleh lingkup referen di batasi oleh tanda.

2. Denotasi

(51)

3. Konotasi

Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar selain itu juga memiliki makna subjektif dan berhubungan dengan emosional.

4. Mitos

Mitos berasal dari kata bahasa Yunani mythos yang artinya’ kata-kata’, ‘wicara’, ‘kisah tentang para dewa’. Ini bisa didefinisikan sebagai narasi yang didalamnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung didalam kehidupan manusia, dan disini setting-nya adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata. Dalam tahap-tahap awal budaya manusia, mitos berfungsi sebagai ‘teori narasi’ yang asli tentang dunia. Itulah sebabnya semua budaya menciptakan kisah ini untuk menjelaskan asal-usulnya (Danesi,2010:56).

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian

Penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran. Penelitian ini didasarkan pada penafsiran terhadap dunia berdasar pada konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu. Metode ini dianggap bersifat interpretatif (Stokes, 2006: 15).

Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif. Melalui analisis semiotika ini dapat digunakan untuk menganalis sejumlah besar sistem tanda yang dapat dimanfaatkan pada kajian media dan kajian kultural lainnya, Semiotika menjadi suatu pendekatan terbaik dalam mengkaji suatu makna khususnya yang berhubungan dengan media visual.

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes
Tabel 2.2
+7

Referensi

Dokumen terkait