• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbanyakan Tunas Boesenbergia Flava dengan Pemberian BAP dan NAA Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbanyakan Tunas Boesenbergia Flava dengan Pemberian BAP dan NAA Secara In Vitro"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANYAKAN TUNAS Boesenbergia flava DENGAN PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Oleh :

LYLI HERAWATI SIREGAR 070307006

BDP – PEMULIAAN TANAMAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAK

LYLI HERAWATI SIREGAR : Perbanyakan Tunas Boesenbergia flava dengan Pemberian BAP dan NAA Secara In Vitro, dibimbing oleh Luthfi Aziz Mahmud Siregar dan Lollie Agustina P. Putri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi BAP dan NAA terhadap perbanyakan tunas Boesenbergia flava secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan yang dimulai pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi NAA yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0 mg/l; 1 mg/l; 2 mg/l; 3 mg/l. Faktor kedua adalah konsentrasi BAP meliputi 0 mg/l; 1,5 mg/l; 3 mg/l; 4,5 mg/l.

Hasil penelitian menunjukkan bahwakonsentrasi NAA berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan tinggi tanaman dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar, tinggi tanaman tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dan jumlah daun. Demikian juga Interaksi konsentrasi NAA dan BAP berpengaruh nyata pada panjang akar dan jumlah akar namun tidak berpengaruh nyata tinggi tanaman dan jumlah daun.

(3)

ABSTRACT

LYLI HERAWATI SIREGAR : The Micropropagation of Boesenbergia flava bud by BAP and NAA for in vitro, guided by oleh Luthfi Aziz Mahmud Siregar dan Lollie Agustina P. Putri.

The research aimed to know the influence of BAP and NAA concentration on micropropagation of Boesenbergia flava bud for in vitro. The research was carried out in the Tissue Culture Laboratory, Agriculture’s facuity of Nort Sumatera University from March to May 2012. This research used Completely Randomezed Design with two treatment factors. First factor was NAA concentration consist of four level; 0 mg/l; 1 mg/l; 2 mg/l; 3 mg/l. The second factor was BAP concentration consist of four level are 0 mg/l; 1,5 mg/l; 3 mg/l; 4,5 mg/l.

The results of research showed that NAA concentration give significantly affected on long of roots and plant height and BAP concentration give significantly affected on long of roots and plant height but that was not significantly affected on roots number and leaves number. Similarly to interaction of concentration NAA dan BAP give significantly affected on long of roots and roots number butth at was not significantly affected on plant height and leaves number.

(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Boesenbergia flava merupakan tanaman yang berasal dari famili

zingiberaceae. Spesies Boesenbergia sangat langka dibandingkan dengan genera

lain. Sebagian besar, Boesenbergia ditemukan dalam area sangat lembab, area

teduh dan biasanya dekat dengan sungai atau dalam kondisi berawa, yang

keberadaannya masih susah ditemukan karena tanaman ini langka, boesenbergia

adalah genus dari tumbuh-tumbuhan rhizomatus kecil, sebagian besar tumbuh di

hutan (Sirirugsa, 1992).

Zingiberaceae merupakan tanaman herba tropis yang mempunyai 47 genus

dan 1400 spesies dan pada umumnya banyak digunakan sebagai obat-obatan,

bahan kosmetik maupun bumbu masak (Yunira dkk, 2008).

Perkembangan industri berbahan baku tanaman obat dalam 5 tahun

terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dan omset produksinya

selama kurun waktu tersebut meningkat sebesar 2,5 – 30% /tahun. Pada tahun

2000 nilai perdagangan tanaman obat di Indonesia mencapai Rp.1,5 trilyun rupiah

setara dengan US $ 150 juta, masih jauh di bawah nilai perdagangan herbal dunia

yang mencapai US $ 20 milyar; US $ 8 milyar dikuasai oleh produk herbal dari

China (Rini, 2009).

Salah satu aspek yang terpenting dalam kultur jaringan adalah

kemampuan untuk beregenerasi dan memperbanyak tanaman (mikropropagasi).

Mikropropogasi adalah perbanyakan vegetatif tanaman dengan menggunakan

(5)

akhir ini, kendala dalam memperbanyak beberapa jenis tanaman dapat diatasi

(Wattimena dkk, 1992).

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman penghasil obat dan

pada umumnya adalah merupakan tanaman musiman atau tahunan sehingga

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasilnya. Berbagai

kendala dijumpai dalam perbanyakan temu-temuan antara lain : budidaya, pasca

panen, mutu dan fluktuasi harga. Di sisi lain, desakan penduduk dan

perkembangan industri yang semakin menyempitkan ketersediaan lahan-lahan

pertanian. Penggunaan teknik kultur jaringan jadi lebih menarik dari pada

menumbuhkan di lapangan yang mempunyai banyak hambatan. Perbanyakan dan

pengembangan temu-temuan dengan teknik kultur jaringan mulai dilirik untuk

mempercepat proses dalam mengatasi berbagai kendala tersebut di atas

(Kristina dkk, 2002).

Dengan teknik in vitro mampu memproduksi bibit dalam jumlah besar

dengan waktu yang relatif singkat, bebas patogen, identik dengan induknya dan

tidak dipengaruhi musim. Teknik ini memerlukan media buatan yang dibuat dari

beberapa komponen utama yaitu gula, air, unsur hara makro dan mikro, vitamin,

asam amino, serta zat pengatur tumbuh. Gula sangat diperlukan sebagai sumber

energi dalam kultur jaringan karena tanaman bersifat heterotrof (Sastra, 2005).

Perbanyakan tanaman secara in vitro bertujuan untuk memperoleh

bahan tanaman steril yang akan digunakan untuk perbanyakan bibit.

Oleh karena itu, diperlukan proses sterilisasi yang tepat untuk mematikan

mikroorganisme yang terdapat pada eksplan sehingga tidak mengganggu

(6)

(tanaman), seperti tanaman herbal atau berkayu, dan kondisi lingkungan

(Aisyah dan Dedi, 2011).

Media yang biasa adalah media Murashige & Skoog (MS). Media MS

digunakan untuk hampir semua macam tanaman, terutama tanaman herbasius.

Media ini mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa

N dalam bentuk NO3- dan NH4- (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Salah satu alternatif metode perbanyakan yang dapat ditempuh adalah

melalui kultur in vitro. Metode ini diharapkan mampu menghasilkan tanaman

dalam skala besar dengan waktu yang relatif cepat serta kualitas tanaman yang

dihasilkan menjadi lebih baik melalui kultur jaringan kebutuhan ketersediaan bibit

tanaman dalam jumlah yang banyak dapat terpenuhi (Gunawan, 1992).

Penelitian tentang perbanyakan Boesenbergia flava hingga saat ini masih

sangat kurang, mengingat keterbatasan informasi tentang perbanyakannya secara

in vitro pun masih sangat terbatas. Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang

perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian NAA dan BAP

terhadap perbanyakanBoesenbergia flava secara in vitro.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh NAA dan BAP serta

interaksi keduanya terhadap pertumbuhan tunas Boesenbergia flavasecara in vitro.

Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh interaksi antara tingkat konsentrasi NAA dan BAP terhadap

(7)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan dan diharapkan dapat pula berguna untuk

(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman

Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida

Ordo: Zingiberales, Family: Zingiberaceae, Genus: Boesenbergia ,

spesies: Boesenbergia flava Holttum.

(9)

Batang yang berdaun pendek dengan masing-masing 4 daun dan pelepah

merah di pangkalnya. Helaian daun yang ke 20 dengan panjang 6 cm, agak

simetris, berbentuk bulat panjang hijau dengan tanda keperak-perakan ditengah

(dengan pelepah dan sebuah tanda di kedua sisi itu) panjang tangkai daun 2-4 cm.

Panjang ligula-lobus 1 cm, tipis, merah muda: pelepah memerah atau

belang-belang dengan warna merah hampir seluruhnya. Perbungaan seluruhnya di

sembunyikan oleh daun seperti dalam B. Pandurata dan dengan bentuk yang

mirip. Panjang bracts sekitar 5 cm dan kemerah-merah mudaan. Panjang

corolla – tube 1- 1,5 cm lebih panjang dari bracts. Panjang lobus kuning 2-2,5 cm,

lebarnya 2 cm, hampir datar kekuning-kuningan menempel di dekat pucuk dan

bercak merah di kedua sisi garis tengah menuju pangkal. Panjang serabut hampir

1-5 cm, pucat kekuning-kuningan ± sedikit merah ke merah mudaan: panjang

anther sekitar 5 mm, kantung serbuk sari agak di pucuk. Sambungan di

perpanjang menjadi 1 mm panjangnya tidak lebih lebar dari pada anther, sedikit

melipat dengan ujung yang sangat pendek (Bulletin, 1950).

Spesies ini awalnya di kenalkan oleh Ridley dari sebuah tanaman yang

di budidayakan di Penang, di bawa dari kabupaten Batang Padang (perak) gambar

yang berwarna ada di Singapura dan juga contoh keringnya di buat dari gambar

tanaman. Bunga dari Boesenbergia flava besar dan warnanya kuning dengan

tanda merah khusus (Bulletin, 1950).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suatu metode untuk mengisolasi

(10)

bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman

lengkap (Hartman dkk, 2002).

Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur

jaringan melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat

pengendalian yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan

jaringan. Setiap urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman,

medium kultur dan faktor-faktor lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme

seperti jamur dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk

akhir dalam bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip

totipotensi sel (Zulkarnain, 2009).

Dibanding dengan perbanyakan tanaman secara konvensional,

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan

sebagai berikut:

1. Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat

diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur

jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit

tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.

2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang

luas.

3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan

sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.

4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.

5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.

(11)

Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel,

jaringan, organ atau protoplasma dengan teknik steril. Keberhasilan teknologi in

vitro masih terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Kultur in vitro juga

memberikan pengertian tentang studi fisiologi, biokimia, genetika pertumbuhan

dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2000)

Eksplan

Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan

teknik kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya

bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian-bagian-bagian-bagian generatif. Eksplan

mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit

berpoliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif

tumbuh. Hal itu sama halnya dengan kasus dormansi pada eksplan biji. Kondisi

fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan

tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan

(Zulkarnain, 2009).

Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari

kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah

kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Endosperma hanya digunakan

untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian tanaman, genotip atau

varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi

(Gunawan, 1995).

Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang di pisahkan dari

(12)

tergantung pada faktor yang meliputi genotif eksplan, umur fisiologis juga sumber

jaringan (Hughes, 1982).

Pada tanaman herba, eksplan diambil baik dari pucuk apikal maupan

lateral yang mengambil jaringan meristematik namun sering kali digunakan mata

tunas yang diharapkan akan berkembang membentuk daun dan batang sempurna.

Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah tunas lateral atau

terminal yang panjangnya kurang lebih 20 mm. Pengaruh dominasi apikal dapat

dihilangkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin)

kedalam medium. Sebagai hasilnya adalah tunas dengan jumlah cabang yang

banyak (Wattimena, 1992).

Media Kultur

Sebelum membuat medium, maka terlebih dahulu kita harus menentukan

medium apa yang akan kita buat. Jenis medium dengan komposisi unsur kimia

yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang

berbeda pula (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa

medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang

selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet),

sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang

digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber

karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008).

Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan

pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat

(13)

makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro

berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat

pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur

(Gunawan, 1995).

Jenis dan komposisi media sangat memerlukan biaya produksi dan

keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Teknik perbanyakan bibit

secara in vitro dapat di lakukan setiap waktu tanpa dipengaruhi oleh musim.

Walaupun demikian, biaya produksi bibit jahe dengan teknik kultur jaringan

sangat mahal, karena pada umumnya di gunakan Murashige dan skoog (MS) yang

merupakan media pertumbuhan dengan bahan pemadat agar yang diperkaya

dengan berbagai senyawa organik, vitamin dan zat pengatur tumbuh

(Sutarto dkk, 2003).

Lingkungan In Vitro

Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman,

wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur, memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis, semua variabel

di dalam setiap wadah kultur pada ruang kultur yang sama adalah seragam.

Sebagai konsekuensinya, hal yang sama terjadi pula di wadah-wadah kultur pada

sruang kultur yang lain. Agar pertumbuhan kultur seragam maka keseragaman

faktor lingkungan harus diupayakan, tidak hanya di dalam ruang kultur, tetapi

juga di dalam semua wadah kultur dengan cara menggunakan wadah yang

(14)

Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman

meliputi: Temperatur, Penyinaran: panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan

kualitas sinar, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

Temperatur di dalam ruang kultur jaringan diharapkan dapat diatur.

Banyak laporan mengatakan bahwa temperatur yang baik untuk pertumbuhan

tanaman dalam in vitro antara 20-280 c yang merupakan suhu ruangan normal.

Suhu ruangan untuk negara tropis dapat diturunkan dengan pemasangan AC.

Pemakaian AC mutlak karena ruang kultur merupakan ruangan tertutup yang

sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas (Gunawan, 1987).

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada

cara pemberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan

membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux.

Namun, bila disimpan dalam gelap hanya membentuk tunas. Pembentukan akar

disini diduga ada kaitannya dengan metabolism nitrogen yang terjadi dengan

adanya cahaya. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu

flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan

untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi

menggunakan intensitas 3000 sampai 10000 lux. Intensitas yang lebih rendah

akan menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi dengan daun yang berwarna

pucuk. Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16 jam per hari

(Wattimena dkk, 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan

(15)

zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan,

konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu

(Gunawan, 1995).

Pierik (1997) mengemukakan bahwa fitohormon adalah senyawa-senyawa

yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut

berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel,

jaringan dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa

lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormone, tetapi diproduksi

secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh.

Untuk meningkatkan daya regenerasi dari eksplan tunas diperlukan

penambahan zat pengatur tumbuh dalam media tanam. Kebutuhan nutrisi dan zat

pengatur tumbuh untuk memacu proses morfogesis pada kultur in vitro akan

berbeda untuk setiap jenis tanaman dan eksplan yang digunakan ( Marlin, 2005)

Naftalen asam asetat (NAA)

Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang

pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA

(indole-3-acetic-acid). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin

meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif.

Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan

tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk

meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin

yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin

konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan

(16)

Pertumbuhan dari kultur jaringan atau organ dan In vitro morfogenesis

lebih dipengaruhi oleh genotipe sumber jaringan atau organ yang digunakan

dibandingkan dengan faktor lainnya. Media dan kondisi fisik lingkungan tumbuh

kultur sering kali berbeda satu genus dengan genus yang lain, atau spesies

tanaman tertentu dengan spesies lain. Tidak jarang antar varietas yang memiliki

sifat dekat namun kebutuhannya akan lingkungan dan media berbeda

(Wattimena, dkk, 1992).

Naphthalene Acetic Acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering

ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil dari pada

Indol Acetic Acid (IAA). IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan

adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang

digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan

tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai

oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi

(Wulandari dkk, 2004).

Benzil aminopurin (BAP)

Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah

perangsangan hormon terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman.

Satu dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah

pembentukan organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam

berbagai kultur jaringan. Dengan pemprosesan sitokinin mengeluarkan

pembentukan tunas yang melimpah (Wilkins, 1989).

Sitokinin meningkatkan baik sitokineis maupun pembesaran sel, terutama

(17)

sendiri, sebab sitokinesis hanya merupakan proses pembelahan saja sitokinin

berfungsi untuk memacu pembelahan sel dan pembentukan organ, menunda

penuaan dan meningkatkan aktifitas wadah penampung hara, memacu

perkembangan pucuk dan di dukung oleh Dwidjoseputro (1980) yang menyatakan

sitokinin bukan senyawa tunggal melainkan kumpulan senyawa yang berfungsi

mirip satu dengan yang lain. Zat ini menggiatkan pembelahan sel jelas juga

pengaruhnya terhadap pertumbuhan tunas dan akar (Salisbury dan Ross, 1995).

Zat pengatur tumbuh yang diberikan harus dapat diabsorbsi dan

ditranslokasikan ke jaringan target. Hal ini tentu tergantung dari formulasi dan

konsentrasi zat pengatur tumbuh sehingga dapat dikatakan bahwa pada

konsentrasi tersebut belum dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan oleh tanaman

untuk pertumbuhan dan perkembangan. Peningkatan konsentrasi auksin akan

menghambat inisiasi akar, pembelahan sel dan pemanjangan akar menambahkan

konsentrasi NAA yang ditingkatkan ke media pengakaran akan meningkatkan

auksin endogen sehingga terjadi akumulasi auksin. Akumulasi auksin ini akan

menghambat pemajangan akar. Konsentrasi auksin endogen yang tinggi dapat

menyebabkan pemendekan sel-sel. konsentrasi zat pengatur tumbuh untuk

pembesaran sel-sel pada batang menjadi penghambat pada pembentukan

sel-sel akar. Interaksi BAP dan NAA mempengaruhi aktivitas sel sel di batang

untuk memunculkan tunas sehingga aktivitas sel-sel di akar terhambat

(Wattimena, dkk, 1992).

Disamping merangsang pembentukan tunas adventif, sitokinin juga

merangsang multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominasi apikal. Tunas

(18)

dikulturkan. Pengulturan dalam media yang ditambah dengan sitokinin bertujuan

untuk merangsang pecah dan tumbuhnya mata tunas samping dan mencegah

dominansi tunas apikal yang mengakibatkan terbentuknya tunas samping

(Yusnita, 2003).

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan

hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan

merubah proses fisiologi tumbuhan. Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur

tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi

pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Auksin sintetik

perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak

mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan

terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus.

Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm.

(Wulandari dkk, 2004)

BAP (6-Benzyl Amino Purine) merupakan golongan sitokinin sintetik yang

paling sering digunakan dalam perbanyakan tanaman secara kultur in vitro. Hal

ini karena BAP mempunyai efektifitas yang cukup tinggi untuk perbanyakan

tunas, mudah didapat dan relatif lebih murah dibandingkan dengan kinetin

(Kurnianingsih dkk, 2009).

Menurut Widyastuti (2004) bahwa akar yang tumbuh pada media tanpa zat

pengatur tumbuh kemungkinan diinduksi oleh auksin endogen.Rahardja (1989)

dan Cleland (1995) yang dikutip dari Kurnianingsih (2009) menyebutkan bahwa

dalam kultur jaringan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat

(19)

merangsang pembentukan akar. Jika konsentrasi auksin dalam media kultur tinggi

maka akan menghambat pertumbuhan tunas (Kurnianingsih 2009).

Menurut Wiendi dkk (1991) menyatakan bahwa pada beberapa tanaman

membutuhkan waktu yang lama untuk beregenerasi. Kemungkinan sitokinin

endogen tidak mencukupi untuk pembentukan tunas berarti selain auksin zat

pengatur tumbuh sitokinin juga perlu ditambahkan ke dalam media. Pierik (1987)

menyatakan bahwa sitokinin berperan dalam memacu pertumbuhan dan

perkembangan tanaman khususnya tunas adventif yang di kutip dari Azriati

(2005) menyebutkan tanpa adanya penambahan sitokinin ke dalam media tanam

menyebabkan eksplan tidak mampu berorganogenesis membentuk tunas karena

belum adanya interaksi dan keseimbangan antara auksin dan sitokinin endogen

dengan auksin dan sitokinin eksogen. Menurut Evans, dkk (1986) yang dikutip

oleh Sobardini, dkk (2006) yang menyatakan bahwa tunas yang sedang

berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran

(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan yang dimulai pada bulan

Maret sampai dengan Mei 2012.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah planlet

Boesenbergia flava yang berasal dari PT. Tamora Stakindo dan dipelihara dalam

media MS dengan penambahan zat pangatur tumbuh NAA dan BAP. Bahan

tanaman Boesenbergia flava diperoleh dari kawasan hutan di Batang Padang,

Malaysia. Bahan untuk media meliputi larutan stok media MS, NAA, BAP,

agar-agar, NaOH 1 N, HCl, pH meter/kertas lakmus, aluminium foil dan aquades.

Bahan sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 96%.

Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, Laminar Air Flow (LAF), botol

kultur, erlenmeyer, pipet skala, gelas ukur, petridis, skalpel, gunting, bunsen,

timbangan analitik, hot plate, batang pengaduk, lemari es, kertas milimeter, pinset,

oven, dan alat-alat lainnya yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial

dengan dua perlakuan, yaitu:

Faktor I : Tingkat konsentrasi Pemberian NAA dengan 4 taraf :

(21)

N1 = 1 mg/l

N2 = 2 mg/l

N3 = 3 mg/l

Faktor II : Tingkat Konsentrasi Pemberian BAP dengan 4 taraf :

B0 = 0 mg/l

B1 = 1,5 mg/l

B2 = 3 mg/l

B3 = 4,5 mg/l

Kombinasi perlakuan ada 16, yaitu:

N0B0 N1B0 N2B0 N3B0

N0B1 N1B1 N2B1 N3B1

N0B2 N1B2 N2B2 N3B2

N0B3 N1B3 N2B3 N3B3

Jumlah ulangan : 4 ulangan

Jumlah Kombinasi : 16 kombinasi

Jumlah Tanaman/botol : 1 tanaman

Jumlah sampel/botol : 1 tanaman

Jumlah seluruh botol : 64 botol kultur

Jumlah seluruh tanaman : 64 tanaman

Data hasil penelitian dianalisi dengan sidik ragam model linier sebagai

berikut:

(22)

dengan:

Yijk = Hasil pengamatan dari konsentrasi pada taraf ke-i dan konsentrasi pada

taraf ke-j dalam ulangan ke-k

µ = Efek dari nilai tengah

αi = Efek dari konsentrasi NAA pada taraf ke-i

βj = Efek konsentrasi BAP pada taraf ke-j

(αβ)ij = Interaksi antara konsentrasi NAA dan BAP pada taraf ke-i dengan

konsentrasi BAP pada taraf ke-j

εijk = Galat dan konsentrasi NAA pada taraf ke-i dengan konsentrasi BAP

pada taraf ke-j dalam ulangan ke-k

Uji lanjutan yang digunakan dalam menentukan notasi bagi perlakuan

yang berpengaruh nyata terhadap parameter yang di ambil adalah uji BNJ pada

(23)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Pembuatan Larutan Stok

Pembuatan larutan stok bertujuan untuk memudahkan pekerjaan dalam

membuat media. Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi media Murashige

dan Skoog (MS) (Lampiran 3) yang diaduk dalam erlenmeyer dengan konsentrasi

yang lebih pekat. Pembuatan larutan stok bahan kimia hara makro dengan

pemekatan 20x, hara mikro dengan pemekatan 200x, larutan iron dengan

pembesaran 100x, larutan vitamin dengan pembesaran 200x. Kemudian stok

disimpan di dalam lemari es.

Sterilisasi Alat

Sterilisasi bermanfaat untuk membersihkan seluruh alat-alat yang

digunakan dalam kultur jaringan sehingga terbebas dari hal-hal yang dapat

menimbulkan kontaminasi. Alat-alat tersebut dicuci dengan deterjen, kemudian

dibilas dengan air, setelah itu dikeringkan. Kemudian alat seperti skalpel, pipa

skala, pinset dan cawan petri dibungkus dengan kertas, sedang untuk erlenmeyer

dan gelas ukur permukaannya ditutup dengan aluminium foil. Setelah itu, semua

botol kultur dan alat-alat dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 17,5 psi,

dengan suhu 1210C selama 60 menit. Kemudian alat-alat tersebut dimasukkan ke

dalam oven kecuali botol kultur.

Subkultur

Subkultur merupakan salah satu tahap dalam perbanyakan tanaman

melalui kultur jaringan. Untuk subkultur bahan tanaman yang diperoleh dari

(24)

tanaman tidak kekurangan hara. Cara kerja subkultur yaitu dengan cara planlet

dikeluarkan dari botol kultur lalu di masukkan ke dalam cawan petri, planlet di

potong-potong dengan menggunakan scalpel streril. Potongan tadi dimasukkan ke

dalam media yang baru (MS + 0,5 mg/NAA + 1 mg/BAP) kemudian dipelihara

selama 8 minggu.

Pembuatan Media

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS dengan

menggunakan dua zat pengatur tumbuh yaitu BAP dan NAA. Untuk pembuatan

media 1 liter dilakukan dengan mengisi beker glass dengan aquades steril

sebanyak 500 ml. Kemudian ditambahkan larutan stok A (makro) sebanyak 50 ml,

stok B (mikro) 5 ml, stok C (iron) 10 ml, stok D (vitamin) 5 ml (lampiran 3).

Kemudian ditambahkan myo-inositol 0,1 gram dan sukrosa 30 gram. Setelah itu,

ditambahkan aquades sampai mendekati 2000 ml. Lalu pH-nya diukur dengan

menggunakan pH meter dan dilihat angkanya. Bila pH masih dibawah 5,7 maka

perlu ditambah NaOH 1 N, tetapi bila pH sampai mencapai 6,0 (melebihi 5,8)

maka ditambah HCl 1 N. Kemudian, ditambahkan aquades hingga volume

mencapai 2000 ml. Larutan dituangkan ke dalam 16 botol, masing-masing botol

berisi 100 ml dan sisanya disimpan dalam lemari pendingin. Setiap botol

ditambahkan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA sesuai dengan kombinasi

perlakuan. Lalu ditambahkan agar-agar. Diaduk dengan menggunakan stirer

sampai mendidih dan agar-agarnya larut semua. Kemudian setiap media perlakuan

dituangkan ke dalam botol kultur sesuai dengan kombinasinya sehingga setiap

(25)

Media ini selanjutnya disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 17,5

psi, selama 30 menit. Setelah itu, media diletakkan kedalam ruang kultur.

Pemotongan Eksplan

Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar dari planlet yang

disubkulturkan ke dua kalinya dalam media MS dengan menggunakan dua zat

pengatur tumbuh NAA dan BAP. Planlet dikeluarkan dari botol kultur dengan

menggunakan pinset setelah itu tunas-tunas aksilar dipisahkan dengan

menggunakan skalpel. Kemudian tunas-tunas yang memiliki ukuran 0,5 cm

dipotong akarnya dengan menggunakan gunting yang steril. Pemotongan

dilakukan di LAF.

Penanaman Eksplan

Penanaman eksplan dilakukan di LAF yang telah disterilkan dengan alkohol 96%. Eksplan yang telah dipotong kemudian diletakkan di petridis.

Diambil botol media lalu di dekatkan dengan api bunsen kemudian eksplan

ditanam ke dalam botol media sesuai dengan perlakuan, setiap botol media

terdapat 1 eksplan. Setelah itu botol media dikembalikan ke dalam ruang kultur.

Pemeliharaan

Botol-botol yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak-rak kultur di

dalam ruang kultur. Setiap hari disemprot dengan alkohol 96% agar bebas dari

organisme yang menyebabkan terjadi kontaminasi. Suhu ruangan kultur yang

(26)

Pengamatan Parameter

Persentase eksplan yang hidup (%)

Pengamatan dilakukan pada minggu ke-4 dan minggu ke-8 dengan rumus

sebagai berikut :

Persentase eksplan yang hidup = Jumlah eksplan yang hidup x 100% Jumlah eksplan seluruhnya

Persentase eksplan membentuk tunas (%)

Pengamatan eksplan membentuk tunas dilakukan pada minggu ke-4 dan

minggu ke-8 dengan rumus sebagai berikut :

Persentase eksplan membentuk tunas = Jumlah eksplan yang membentuk tunas x

Jumlah eksplan seluruhnya

Tinggi planlet (cm)

Diukur pada akhir penelitian dengan menggunakan kertas milimeter mulai

dari tempat munculnya batang (pangkal) sampai ujung daun tertinggi.

Jumlah akar (buah)

Dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung jumlah akar yang

muncul.

Panjang akar (cm)

Di ukur pada akhir penelitian dengan menggunakan kertas milimeter mulai

dari tempat munculnya akar (pangkal) sampai ujung akar.

Jumlah daun

Dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung jumlah daun yang

muncul.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari analisa data yang di lakukan diperoleh hasil bahwa pemberian NAA

berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar dan tinggi tanaman

sedangkan pemberian BAP berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar,

tinggi tanaman dan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah akar dan

jumlah daun. Adapun interaksi antara NAA dan BAP berpengaruh nyata pada

parameter panjang akar dan jumlah akar namun tidak berpengaruh nyata pada

parameter tinggi tanaman dan jumlah daun.

Persentase Eksplan Yang Hidup (%)

Dari data pengamatan persentase eksplan yang hidup (Lampiran 4) rataan

persentase eksplan yang hidup dari perlakuan konsentrasi NAA dan BAP pada

4 dan 8 minggu setelah inokulasi menunjukkan 100 % hidup (tabel 1). Persentase

eksplan yang hidup pada 8 minggu setelah inokulasi dapat dilihat pada Tabel 1.

(28)

Dari Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa persentase eksplan yang hidup

untuk semua perlakuan konsentrasi NAA dan BAP sebesar 100%.

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%)

Dari pengamatan persentase eksplan membentuk tunas menunjukkan

bahwa semua perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua

perlakuan tidak terjadi pembentukan tunas.

Tinggi tanaman (cm)

Hasil pengamatan tinggi tanaman pada akhir penelitian disajikan pada

Lampiran 6 dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 8 yang menunjukan

bahwa pemberian perlakuan NAA berpengaruh nyata dan pemberian perlakuan

BAP berpengaruh nyata serta interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata

pada parameter tinggi tanaman. menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 %

Untuk perlakuan NAA, tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan

(29)

berpengaruh nyata pada perlakuan yang lainnya dan paling rendah pada N3 yaitu

sebesar 1.41 cm. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan BAP pada perlakuan

B0 yaitu sebesar 2.08 cm berbeda nyata dengan perlakuan yang lain dan paling

rendah pada perlakuan B1 yaitu sebesar 1.45 cm. Sedangkan kombinasi kedua

perlakuan, tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan N0BO yaitu sebesar 2.68 cm

sedangkan paling rendah pada perlakuan N3B2 yaitu sebesar 1.08 cm. Pengaruh

perlakuan NAA terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan konsentrasi NAA terhadap tinggi tanaman

Jumlah Akar (buah)

Hasil pengamatan jumlah akar pada akhir penelitian disajikan pada

Lampiran 9 dan sidik ragamnya disajikan pada lampiran 11 yang menunjukan

bahwa pemberian perlakuan NAA berpengaruh tidak nyata dan pemberian

perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata namun interaksi kedua perlakuan

(30)

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap jumlah akar (buah)

menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 %

Untuk perlakuan NAA, jumlah akar tertinggi terdapat pada perlakuan N1

yaitu sebesar 5.44 cm dan paling rendah pada perlakuan N3 yaitu sebesar 2.56 cm.

Jumlah akar tertinggi pada perlakuan BAP pada perlakuan B0 yaitu sebesar 5.06

cm dan paling rendah pada perlakuan B3 yaitu sebesar 2.63 cm. Sedangkan

kombinasi kedua perlakuan, jumlah akar tertinggi pada perlakuan N1BO yaitu

sebesar 8.75 cm yang berbeda nyata dengan semua kombinasi sedangkan paling

rendah pada perlakuan N1B3 yaitu sebesar 1.00 cm.

Panjang Akar (cm)

Hasil pengamatan panjang akar pada akhir penelitian disajikan pada

Lampiran 12 dan sidik ragamnya disajikan pada lampiran 14 yang menunjukan

bahwa pemberian perlakuan NAA dan pemberian perlakuan BAP serta interaksi

kedua perlakuan berpengaruh nyata pada parameter panjang akar.

Rataan panjang akar pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat

(31)

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap panjang akar (cm) menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 %

Untuk perlakuan NAA, panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan N0

yaitu sebesar 1.61 cm dan paling rendah pada perlakuan N3 yaitu sebesar 0.39 cm.

Panjang akar tertinggi pada perlakuan BAP pada perlakuan B0 yaitu sebesar 2.15

cm dan paling rendah pada perlakuan B3 yaitu sebesar 0.56 cm Sedangkan

kombinasi kedua perlakuan, panjang akar tertinggi pada perlakuan N0BO yaitu

sebesar 4.25 cm yang berbeda nyata pada semua kombinasi sedangkan

paling rendah pada perlakuan N3B0 yaitu sebesar 0.30 cm berbeda nyata dengan

N0B0, N1B1 tetapi tidak berbeda nyata pada kombinasi yang lainnya. Pengaruh

perlakuan NAA dan BAP terhadap panjang akar dapat dilihat pada gambar 3 dan

4.

(32)

Gambar 4. Hubungan konsentrasi BAP terhadap panjang akar

Jumlah daun (helai)

Hasil pengamatan jumlah daun pada akhir penelitian disajikan pada

Lampiran 15 dan sidik ragamnya disajikan pada lampiran 17 yang menunjukan

bahwa pemberian perlakuan NAA dan pemberian perlakuan BAP serta interaksi

kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter jumlah daun.

Rataan jumlah daun pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap jumlah daun (helai)

(33)

Untuk perlakuan NAA, jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan N0

yaitu sebesar 2.56 cm dan paling rendah pada perlakuan N2 dan N3 yaitu sebesar

2.00 cm. Jumlah daun tertinggi pada perlakuan BAP pada perlakuan B2 yaitu

sebesar 2.69 cm dan paling rendah pada perlakuan B1 yaitu sebesar 1.36 cm.

Sedangkan kombinasi kedua perlakuan, panjang akar tertinggi pada perlakuan

N0B2 yaitu sebesar 3.50 cm sedangkan paling rendah pada perlakuan N2B1 dan

N3B1 yaitu sebesar 1.25 cm.

Pembahasan

Pengaruh NAA terhadap perbanyakan tunas Boesenbergia flava

Dari hasil analisis data diketahui bahwa pemberian NAA berpengaruh

nyata untuk tinggi tanaman dan panjang akar. Tinggi tanaman tertinggi terdapat

pada perlakuan N1 (1 mg/l) yaitu sebesar 2.00 cm dan paling rendah pada

perlakuan N3 (3 mg/l) yaitu sebesar 1.41 cm dan panjang akar tertinggi terdapat

pada perlakuan N1 (NAA 1 mg/l) yaitu sebesar 1.61 cm dan paling rendah pada

perlakuan N3 yaitu sebesar 0.39 cm. Dari data dapat dilihat bahwa ada

kecenderungan semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan maka tinggi

tanaman yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini diduga karena proses

pemanjangan sel dan pembelahan sel pada eksplan terhambat. Zulkarnaen (2009)

menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel,

pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk

menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya

dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik

(34)

Dari hasil analisis data diketahui bahwa pemberian NAA tidak

berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dan jumlah daun. Hal ini diduga karena

kebutuhan auksin eksogen tidak diperlukan karena kebutuhan hormon sudah

tercukupi dari eksplan tersebut yang merupakan tunas yang sedang berkembang.

Tunas yang sedang berkembang itu dapat memproduksi auksin yang cukup untuk

memacu pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan literatur Evans, dkk (1986) yang

dikutip oleh Dobardini, dkk (2006) yang menyatakan bahwa tunas yang sedang

berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran

maka penambahan auksin eksogen tidak diperlukan. Jadi tanpa pemberian NAA pun,

eksplan dapat menginisiasi pertumbuhan akar.

Hasil pengamatan terhadap persentase eksplan membentuk tunas

menyatakan bahwa penambahan NAA dan BAP ke dalam media ternyata belum

dapat menyokong eksplan untuk membentuk tunas. Hal ini diduga karena

diperlukan waktu yang lebih lama lagi untuk proses pembentukan tunas.

Wiendi et all (1991) menyatakan bahwa pada beberapa tanaman membutuhkan

waktu yang lama untuk beregenerasi. Kemungkinan sitokinin endogen tidak

mencukupi untuk pembentukan tunas berarti selain auksin zat pengatur tumbuh

sitokinin juga perlu ditambahkan ke dalam media. Sesuai pendapat Gunawan

(1988) bahwa penambahan auksin dan sitokinin eksogen akan merubah level zat

pengatur tumbuh endogen sel. Pembentukan tunas secara in vitro baik melalui

multipikasi langsung dan tak langsung sangat tergantung pada jenis dan

konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, inorganik dan zat pengatur tumbuh.

Eksplan yang ditanam tidak menghasilkan tunas, hanya dengan

(35)

sel, tetapi tidak terjadi perbanyakan atau multiplikasi tunas sehingga eksplan yang

ditanam hanya terlihat bertambah tinggi. Selain itu, pada perlakuan ini juga

terlihat adanya pembentukan akar. Hal ini mungkin disebabkan eksplan tunas

samping yang ditanam pada media kultur menghasilkan auksin endogen dengan

konsentrasi yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan eksplan lebih diarahkan

pada pemanjangan sel dan pembentukan akar. Menurut Widyastuti (2004) bahwa

akar yang tumbuh pada media tanpa zat pengatur tumbuh kemungkinan diinduksi

oleh auksin endogen.Rahardja (1989) dan Cleland (1995) yang dikutip dari

Kurnianingsih (2009) menyebutkan bahwa dalam kultur jaringan auksin

merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat menyebabkan terjadinya

pemanjangan sel pada jaringan tunas muda dan merangsang pembentukan akar.

Jika konsentrasi auksin dalam media kultur tinggi maka akan menghambat

pertumbuhan tunas.

Pengaruh BAP terhadap perbanyakan tunas Boesenbergia flava

Dari hasil analisis data diketahui bahwa pemberian BAP berpengaruh

nyata terhadap Panjang akar. Dapat dilihat pada tabel 4 panjang akar tertinggi

terdapat pada perlakuan B0 yaitu sebesar 2.15 cm dan paling rendah pada

perlakuan B3 yaitu sebesar 0.56 cm. Adanya penambahan sitokinin ke dalam

medium dapat menghambat pemanjangan dan perkembangan akar. Halperin

(1978) menyatakan bahwa adanya suplai sitokinin dalam media tanam

menyebabkan akar tidak berkambang. Disamping itu Yusnita (2003) juga

menyatakan bahwa, akar adventif belum muncul, tetapi jika tunas tersebut

dipindahkan ke media tanpa ZPT, akar akan tetap tumbuh. Sel-sel di bagian

(36)

telah mengalami perubahan yang stabil, yaitu terbentuk akar. Jika signal

lingkungan maupun harmonal tidak ada lagi, perkembangan akar tetap terjadi.

Pengaruh interaksi konsentrasi NAA dan BAP terhadap perbanyakan tunas Boesenbergia flava

Dari hasil analisis data diketahui bahwa interaksi NAA dan BAP tidak

berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dan tinggi planlet. Hal ini diduga karena

interaksi konsentrasi NAA dan BAP yang diberikan belum mampu mencapai taraf

keseimbangan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Wattimena, dkk

(1992) menyatakan bahwa di dalam kultur jaringan pertumbuhan dari eksplan

selalu tergantung dari interaksi antara auksin dan sitokinin.

Dari hasil analisis data diketahui bahwa interaksi NAA dan BAP

berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar dan jumlah akar. Kombinasi

kedua perlakuan, panjang akar tertinggi pada perlakuan N0BO yaitu sebesar 4.25

cm sedangkan paling rendah pada perlakuan N3B3 yaitu sebesar 0.30 cm. Hal ini

menunjukkan eksplan yang dikulturkan pada media tanpa penambahan BAP dan

NAA memperlihatkan pertumbuhan (pemanjangan) akar yang lebih baik

dibanding dengan kombinasi perlakuan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa sel

akar umumnya mengandung cukup atau hampir cukup auksin untuk memanjang

secara normal. Hasil ini diperkuat oleh hasil penelitian Ammirato (1986) bahwa

beberapa sel tanaman dapat tumbuh dan berkembang dan selanjutnya beregenerasi

memjadi tanaman baru dalam media tanpa hormon tumbuh. Dengan demikian,

tanpa suplai auksin dan sitokinin secara eksogen, akar tanaman akan tetap tumbuh

(37)

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Perlakuan NAA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanamn dengan hasil

yang terbaik pada konsentrasi 1 mg NAA.

2. Interaksi NAA dan BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dengan

hasil yang terbaik pada kombinasi N1B0

3. Interaksi antara NAA dan BAP belum menunjukan pengaruh yang nyata

pada jumlah daun.

4. Perlakuan BAP menunjukkan pengaruh yang nyata untuk panjang akar,

dengan hasil yang terbaik pada konsentrasi 0 mg/l (kontrol).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan konsentrasi zat pengatur

tumbuh yang lebih sesuai untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. dan Dedi S. 2011. Teknik Sterilisasi Rimpang Jahe Sebagai Bahan

Perbanyakan Tanaman Jahe Secara In Vitro. Buletin Teknik Pertanian Vol.

16. No 1. Halaman 34-36

Azriati Eva, Asmeliza, Nelfa Yurmita. 2005. Respon Regenerasi Eksplan Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian NAA Secara in Vitro. Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang, Padang.

Dwidjoseputro, D. 1981. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Penerbit PT Gramedia: Jakarta.

Evan, D. A.,W. R. Sharp, D. V. Ammirato. 1986. Handbook of Plant Cell Culture:

Techniques and Application Vol I. Macmitlan Publishing Company. New York.

Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro dalam Hortikultura. Penebar Swadaya: Jakarta.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies and R.L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practiese, 6th Ed. New Delhi: Prentice Hall of Insia Private Limited.

Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan secara vegetatip. Jogjakarta: Kanisius.

Hughes, K. W., 1982. Ornamental Spesies in Cloning agricultur plant invitro technigues. Conger B.V.CRC Boca Raton, flodia.

Kristina. N. N, Rita N, Siti F. S dan Molide Rizal. 2002. Peluang Peningkatan Kadar Kurkumin Pada Tanaman Kunyit Dan Temulawak. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Hlm 1-13.

Kurnianingsih. R, Marfuah, Ikhsan Matondang. 2009. Pengaruh Pemberian BAP (6-Benzyl Amino Purine) Pada Media Multiplikasi Tunas Anthurium hookerii Kunth. Enum. Secara In Vitro. Vis Vitalis, Vol. 02 No. 2.

Marlin. 2005. Regenerasi In Vitro Planlet Jahe Bebas Penyakit Layu Bakteri Pada Beberapa Taraf Konsentrasi 6-Benzil Amino Purine (BAP) Dan 1-Naphtalene Acetic Acid (NAA). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 7, No 1. Hlm 8-14.

(39)

Pierik, R. I. M., 1987. In Vitro Culture of Higer Plans. Martinus Nijhoff Publishers Dordrecht, The Netherland.

Rini, P.E. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta Arah Penelitian dan Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor. Hlm 52-64

Salisbury, F.B. dan Ross, W.C., 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilit Tiga. Penerjemah. Lukman, D. R. Dan Sumaryono. Penerbit ITB: Bandung.

Sastra. D. R., 2005. Multipikasi In Vitro Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc var. amarun) Pada Berbagai Level Sukrosa Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Volume X No.1 Jurnal Agrotropika X(1): 9 14.

Sirirugsa, P. 1992.A Revision Of The Genus Boesenbergia Kunt (Zingiberaceae) In Thailand. nat. Hist. bull. siam soc. 40: 67-90.

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

Sutarto. I. Nana. S. Yuliasti., 2003. Penggunaan Media Alternatif Pada Kultur In Vitro Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Varietas Gajah. Bul. Agron. (31) (1) 1-7.

Sobardini, D.,E. Suminar dan Mugayanti., 2006. Perbanyakan Cepat Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Secara Kultur Jaringan. Universitas Padjadjaran.

The Gardens' Bulletin Singapore 13: 113. 1950. (Gard. Bull. Singapore).

Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N.M.A. Wiendi, A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor.

Wiendi NMA, GA Wattimena, LW Gunawan. 1991. Bioteknologi Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB.

Wilkins, M.B., 1992. Fisiologi Tanaman. Penerjemah Sutedjo M.M dan Kartasapoetra A.G. penerbit Bumi Aksara: Jakarta.

(40)

Yunira, T. Dini, R. Doppy, H. Asri, F. 2008. Zingiberaceae Primadona Baru Tanaman Hias. IPB. Bogor. 38 hlm.

Yusnita, 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka: Jakarta. 105 hlm.

Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 277 hlm.

ZipcodeZoo.com. 2012. Boesenbergia flava. Diakses Pada Tanggal 12 Januari 2012.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap persentase eksplan yang hidup (%) pada 8 MST
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap tinggi tanaman (cm) pada               8 MST
Gambar 2. Hubungan konsentrasi NAA terhadap tinggi tanaman
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap jumlah akar (buah)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan peer coaching, dengan berdasar pada hasil rekaman atas kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

Berdasarkan perhitungan dari model yang digunakan nilai ECR untuk logam timbal (Pb) di masing-masing lokasi pengambilan sampel telah sampai pada 10 -6 Hal tersebut

Bus Unri memiliki potensi dan pengaruh begitu besar, tetapi bus unri juga mempunyai suatu permasalahan dari keterangan di atas yaitu tidak adanya waktu

Tujuan Memastikan user agar bisa mesuk ke form utama untuk memilih konten yang di inginkan, menambah, mengedit dan menghapus kategori Deskripsi Menu ini akan menampilkan

d) difasilitasi untuk mendapatkan penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana kegiatan sektor informal. Kebijakan pemerintah yang menertibkan tempat aktivitas atau

Comparison of Evolutionary Rates in The Mitochondrial Dna Sitokrom B Gene and Control Region and Their Implications for Phylogeny of The Cobitoidea (Teleostei:

Indonesia dalam pengembangan Bank Syariah, paper disampaikan pada seminar Aspek Hukum dan Bisnis Perbankan Syariah, 23 Mei 2000 di Jakarta, Warrens & Achyar Law Firm.

Burung beo Alor di penangkaran Oilsonbai, NTT, memiliki tiga perilaku utama, yaitu perilaku diam, bergerak, dan ingestif dengan 13 aktivitas (istirahat, stationer,