ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA
DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT
SEBAGAI BAHAN BAKAR
(Studi Kasus: Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)
SKRIPSI
FINKA ADISTI NST 110304104 AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA
DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT
SEBAGAI BAHAN BAKAR
(Studi Kasus: Desa Jentera Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)
SKRIPSI
OLEH:
FINKA ADISTI NST110304104 AGRIBISNIS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Ir. Lily Fauzia, M. Si.) (Ir. A.T. Hutajulu, M.S.) NIP. 196308221988032003 NIP.194606181980032001
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
FINKA ADISTI NST (110304104/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR STUDI
KASUS DI DESA JENTERA STABAT, KEC. WAMPU, KAB. LANGKAT”.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 dengan dibimbing oleh Ir. Lily Fauzia, M.Si dan Ir. A.T Hutajulu, M.S.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian, dan mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.
Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilah secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan peneliti. Penentuan sampel dilakukan dengan metode sensus dengan jumlah sampel sebanyak 20 pengrajin batu bata. Data yang digunakan adalah data primer dengan bantuan daftar pertanyaan kuisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait. Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) yaitu menggunakan metode deskriptif, untuk mengetahui pendapatan menggunakan metode analisis pendapatan, untuk menganalisis kelayakan usaha menggunakan R/C Ratio dan BEP, dan untuk mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yaitu menggunakan metode deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa input (bahan baku, modal, tenaga kerja) cukup tersedia di daerah penelitian. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah Rp 3.722.321,-/bulan atau Rp 644.277,-/10.000 batu bata. Diperoleh nilai R/C ratio > 1, BEP Produksi < Produksi, dan BEP Harga < Harga Jual. Pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar dalam usaha pembuatan batu bata memberikan dampak positif, dimana abu pembakaran TKKS tersebut dapat dijual sehingga menambah pendapatan bagi pengarajin batu bata, mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah PKS dan penebangan hutan secara liar.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak untuk diusahakan secara finansial di daerah penelitian.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 22 Januari 1994 sebagai anak kedua dari
dua bersaudara dari Ayahanda Habinsaran Nasution dan Ibunda Zulfa Hanum
Hasibuan.
Penulis telah menempuh jenjang pendidikan formal sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar di SD Diponegoro Kisaran, lulus pada Tahun 2006.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kisaran, lulus pada tahun
2008.
3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kisaran, lulus pada tahun 2011.
4. Mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Securai Selatan,
Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara pada
bulan Agustus 2014 sampai dengan September 2014.
5. Mengadakan penelitian skripsi di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta Shalawat beriring salam juga penulis
persembahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha
Pembuatan Batu Bata Dengan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar (Studi Kasus: Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)”, guna memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta Habinsaran Nasution dan Ibunda
tercinta Zulfa Hanum Hasibuan, serta Abangda Kevin Muhammad Nst atas kasih
saying yang selalu dilimpahkan kepada penulis dan telah memberi dukungan, doa,
dan motivasi selama menjalani perkuliahan hingga sampai sekarang penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Ir. Lily Fauzia, M.Si. selaku ketua komisi
pembimbing dan Ibu Ir. A.T.Hutajulu, M.S. selaku anggota komisi pembimbing,
yang telah banyak memberikan arahan, masukan, bimbingan dan semangat dalam
Segala hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada kekasih tersayang Boby W.
Rambe yang telah banyak memberikan dukungan dalam bentuk doa dan motivasi
serta turut membantu dalam penyelasian skripsi ini.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat tercinta Juwita Sari
Manullang, Nidya Diani, Noviarny Anggasta L.S, Karina Shafira, Sonia
Ramadhani, Faqita Iqlima Putry, Fadiah Atikah, dan Astri Andani yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, serta kepada teman-teman
seperjuangan stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Salmiah dan Dr. Ir. Satia Negara, M. Ec, selaku ketua dan sekretaris
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Seluruh staff pengajar dan pegawai di program Studi Agribisnis, khususnya
Kak Yani, Kak Runielda, dan Kak Anita yang memberikan kelancaran dalam
hal administrasi.
3. Seluruh instansi dan responden yang terkait dengan penelitian ini dan turut serta
membantu penulis dalam memperoleh data yang diperlukan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang
disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan
penulis, baik mengenai materi, teknik penyusunan, maupun hasil dan analisisnya.
Oleh karenanya, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari
Akhirnya dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2015
DAFTAR ISI
1.2 Identifikasi Masalah... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Tinjauan Pustaka ... 8
2.2 Landasan Teori ... 13
2.2.1 Aspek-aspek Studi Kelayakan ... 13
2.2.2 Teori Produksi ... 14
2.2.3 Faktor Produksi (Input) ... 15
2.2.4 Biaya Produksi... 16
2.2.3 Pendapatan ... 17
2.3 Penelitian Terdahulu... 17
2.4 Kerangka Pemikiran ... 18
2.5 Hipotesis Penelitian ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 21
3.2 Metode Penentuan Sampel ... 21
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 21
3.4 Metode Analisis Data ... 23
3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 26
3.5.1 Definisi ... 26
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN ... 28
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 28
4.1.1 Luas Wilayah, Batas, dan Letak Geografis ... 28
4.1.2 Tata Guna Lahan... 29
4.1.3 Keadaan Penduduk ... 30
4.2 Karakteristik Responden ... 31
4.2.1 Umur ... 32
4.2.2 Tingkat Pendidikan ... 32
4.2.3 Jumlah Tanggungan... 33
4.2.4 Pengalaman Berusaha... 33
4.2.5 Luas Lokasi Usaha... 34
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
5.1 Proses Pembuatan Batu Bata ... 36
5.2 Ketersediaan Input (Bahan Baku, Modal, dan Tenaga kerja) ... 44
5.2.1 Ketersediaan Bahan Baku ... 44
5.2.2 Ketersediaan Modal ... 45
5.2.3 Ketersediaan Tenaga Kerja ... 46
5.3 Analisis Pendapatan Usaha Pembuatab Batu Bata ... 47
5.4 Analisis Kelayakan Usaha ... 51
5.5 Dampak Penggunaan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Dalam Usaha Pembuatan Batu Bata ... 52
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
6.1 Kesimpulan ... 56
6.2 Saran ... 57
6.2.1 Saran Kepada Pemerintah ... 57
6.2.2 Saran Kepada Pemilik Usaha Batu Bata ... 57
6.2.3 Saran Kepada Peneliti Selanjutnya ... 58
DAFTAR TABEL
3. Jenis dan Sumber Data Yang Dikumpulkan ... 23
4. Distribusi Penggunaan Lahan di Desa Jentera Stabat Tahun 2014... 29
5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Jentera Stabat Tahun 2014 ... 30
6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Jentera Stabat Tahun 2014... 31
7. Umur Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 32
8. Tingkat Pendidikan Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 32
9. Jumlah Tanggungan Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 33
10. Pengalaman Berusaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 33
11. Luas Lokasi Usaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 34
12. Rekapitulasi Karakteristik Pemilik Usaha Batu Bata di Daerah Penelitian ... 34
13. Rata-Rata Volume dan Biaya Bahan Baku Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 44
14. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah penelitian ... 46
15. Rata-Rata Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 47
16. Rata-Rata Biaya Variabel Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 49
17. Total Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 50
18. R/C Ratio Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian (Per Bulan) ... 51
19. BEP Volume Produksi dan BEP Harga Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian (Per Bulan) ... 52
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Aspek-Aspek Kelayakan Usaha ... 14
2. Skema Kerangka Pemikiran ... 19
3. Tanah Bukit dan Tanah Sawah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Batu Bata ... 37
4. Tandan Kosong Kelapa Sawit Saat Dijemur ... 38
5. Mesin Pencetakan Batu Bata ... 39
6. Proses Penjemuran Batu Bata di Barak ... 40
7. Batu Bata Yang Telah Disusun Didapur ... 41
8. Proses Pembakaran Batu Bata Sedang Berlangsung ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
1. Karakteristik Responden (Pemilik Usaha Pembuatan Batu Bata Dengan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar)
2. Jumlah Peralatan Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata
3. Biaya Penyusutan Peralatan Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata 4. Biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
5. Penggunaan Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata 6. Biaya Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata
7. Biaya Bahan Baku (Tanah Sawan dan Tanah Bukit) Usaha Pembuatan Batu Bata
8. Biaya Bahan Penunjang Usaha Pembuatan Batu Bata
9. Total Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulam) 10.Total Biaya Variabel Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1
Bulan)
11.Total Biaya Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)
12.Total Penerimaan Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi Produksi (1 Bulan)
13.Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)
14.Perhitungan R/C Ratio Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)
15.Perhitungan Break Event Point (BEP) Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)
ABSTRAK
FINKA ADISTI NST (110304104/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR STUDI
KASUS DI DESA JENTERA STABAT, KEC. WAMPU, KAB. LANGKAT”.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 dengan dibimbing oleh Ir. Lily Fauzia, M.Si dan Ir. A.T Hutajulu, M.S.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian, dan mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.
Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilah secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan peneliti. Penentuan sampel dilakukan dengan metode sensus dengan jumlah sampel sebanyak 20 pengrajin batu bata. Data yang digunakan adalah data primer dengan bantuan daftar pertanyaan kuisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait. Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) yaitu menggunakan metode deskriptif, untuk mengetahui pendapatan menggunakan metode analisis pendapatan, untuk menganalisis kelayakan usaha menggunakan R/C Ratio dan BEP, dan untuk mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yaitu menggunakan metode deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa input (bahan baku, modal, tenaga kerja) cukup tersedia di daerah penelitian. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah Rp 3.722.321,-/bulan atau Rp 644.277,-/10.000 batu bata. Diperoleh nilai R/C ratio > 1, BEP Produksi < Produksi, dan BEP Harga < Harga Jual. Pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar dalam usaha pembuatan batu bata memberikan dampak positif, dimana abu pembakaran TKKS tersebut dapat dijual sehingga menambah pendapatan bagi pengarajin batu bata, mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah PKS dan penebangan hutan secara liar.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak untuk diusahakan secara finansial di daerah penelitian.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu negara dapat disebut negara berkembang atau negara maju didasarkan pada
keberhasilan pembangunan oleh negara yang bersangkutan. Negara berkembang
adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang
relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan
dengan norma global. Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur
modern (baik secara fisik maupun institusional). Negara berkembang juga dapat
dicirikan dengan pemanfaatan kekayaan alam yang dimiliki belum mampu diolah
secara optimal. Dalam pemanfaatannya, negara berkembang masih bekerja sama
dengan negara maju dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki. Hasil
sumber daya alam ini pada akhirnya dijadikan komoditas perdagangan (ekspor)
karena belum memiliki teknologi untuk mengolahnya lebih lanjut. Oleh karena itu,
pada umumnya negara berkembang mengandalkan ekspor dari hasil alam mentah
(Anonimous, 2011).
Pada masa awal kemerdekaan, negara-negara sedang berkembang pada umumnya
tertarik dengan gagasan industrialisasi karena menurut Gunnar Myrdal,
industrialisasi diwujudkan dengan pembangunan industri-industri besar dan
modern. Keadaan itu menurut para perencana pembangunan di negara -negara
sedang berkembang adalah simbol dari kemajuan dan pembangunan. Selain itu
industrialisasi dianggap sebagai kunci yang dapat membawa masyarakat kearah
Industrialisasi diharapkan dapat mengatasi masalah kesempatan kerja yang kurang
menarik di sektor pertanian (Pasaribu, 2010).
Sektor pertanian sebagai sektor primer mulai ditinggalkan, dan beralih menjadi
sektor sekunder yaitu industri. Pemilihan sektor industri untuk meningkatkan
pendapatan negara didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, pada masa itu
negara-negara diseluruh dunia juga mengerjakan proyek industrialisasi di negara
masing-masing karena dukungan teori-teori ekonomi yang memadai, sehingga
apabila strategi industrialisasi dilaksanakan telah ada konsep yang mencukupi
untuk menetukan arah pembangunan ekonomi. Kedua, sejarah negara-negara yang
telah berhasil memajukan ekonominya selalu melewati tahapan industrialisasi pada
proses pembangunannya. Strategi ini dianggap berhasil karena secara
perlahan-lahan menggeser kegiatan ekonomi dari semula terkonsentrasi pada sektor primer
(pertanian) menuju sektor sekunder (industri/jasa). Sektor sekunder dipandang
memiliki nilai tambah yang lebih tinggi daripada sektor primer sehingga dapat
mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan
tersebut kegiatan industrialisasi dengan konsisten dilaksanakan di Indonesia,
melalui program-program pembangunan yang terencana berdasarkan repelita dan
program pembangunan jangka panjang (Purwanto, 2003).
Arti penting perindustrian terhadap perkembangan perekononomian dapat dilihat
dari arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam GBHN 2000-2004, yaitu
“mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan
komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk
pertambangan, pariwisata serta industri kecil dan kerajinan rakyat, serta
mengembangkan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi dalam rangka
meningkatkan daya saing global dengan membuka aksesabilitas yang sama
terhadap kesempatan kerja dan berusaha bagi segenap rakyat dan seluruh daerah
melalui keunggulan kompetitif terutama berbasis keunggulan SDA dan SDM
dengan menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan”.
Selanjutnya disebutkan dalam UU No. 25 tahun 2001 tentang program
pembangunan ekonomi nasional (Propenas) yang mengamanatkan bahwa dalam
rangka memacu peningkatan daya saing global dirumuskan lima strategi utama,
yaitu pengembangan ekspor, pengembangan industri, penguatan institusi pasar,
pengembangan pariwisata, dan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan
industri sangat penting untuk menghadapi persaingan ketat, baik dipasar dalam
negeri maupun pasar ekspor dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan
dunia. Oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu
dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan
secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia. Industri
memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan perekonomian
sehingga benar-benar perlu didukung dan diupayakan perkembangnnya (Raha,
2014).
Lahan pertanian merupakan faktor produksi utama dalam menyerap tenaga kerja
dan sumber pendapatan petani. Pentingnya lahan pertanian bagi penyerapan tenaga
kerja dan pendapatan petani serta kondisi menurunnya lahan pertanian,
dan semakin terbatasnya kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga petani di
pedesaan. Langkah yang tepat untuk mengatasinya adalah dengan pengembangan
industri kecil atau industri rumah tangga yang ada di pedasaan (Mubyarto, 2001).
Pembangunan sektor industri secara nasional diarahkan untuk mendorong
terciptanya struktur ekonomi yang seimbang dan kokoh yang meliputi aspek
perubahan ekonomi. Fokus perhatian pembangunan sektor ekonomi dirasa perlu
diberikan pada subsektor industri kecil dan kerajian yang memiliki potensi dan
peranan penting. Keberadaannya yang sebagian besar di daerah pedesaan tentunya
menjadikan industri kecil dan kerajinan ini memberikan sumbangan bagi daerah
dan masyarakatnya (Tambunan, 1999).
Industri kecil dan kerajinan rakyat yang sebagian besar didaerah pedesaan dapat
memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi karena memberikan
lapangan pekerjaan bagi penduduk desa, memberikan tambahan pendapatan, da n
dalam beberapa hal mampu memproduksi barang-barang keperluan penduduk
setempat dan daerah sekitarnya secara lebih efisien dan lebih murah dibanding
dengan industri besar (Mubyarto, 1997).
Usaha pembuatan batu bata dengan menggunakan tandan kosong kelapa sawit
sebagai bahan bakar belum pernah ada dilakukan didaerah lain, sedangkan di Desa
Jentera Stabat ini sudah sekitar 10 tahun menggunakan tandan kosong kelapa sawit
sebagai bahan bakarnya. Hal ini dikarenakan harga kayu bakar yang mahal saat ini
dan sulit pula untuk didapatkan. Dengan tidak menggunakan kayu bakar, tentunya
secara tidak langsung akan mengurangi penebangan hutan secara liar yang marak
terjadi belakangan ini. Tandan kosong kelapa sawit sendiri adalah ampas dari
pembakaran tandan kosong tersebut dapat menghasilkan abu yang berguna sebagai
pupuk kalium, ada pengumpul yang mengumpulkan abu hasil pembakaran tandan
kosong tersebut dari setiap pengusaha batu bata di daerah penelitian yang kemudian
akan dijual ke Pekanbaru, Kalimantan, dan daerah lainnya. Abu tersebut akan
diolah untuk menjadi pupuk kalium oleh mereka. Melihat prospek tersebut,
pengusaha batu bata pun turut menjual abu tandan kosong kelapa sawit tersebut
walaupun dengan harga yang murah, sehingga penerimaan yang didapat oleh
pengusaha batu bata bukan hanya dari pembuatan batu bata saja tetapi juga
penerimaan dari penjualan abu tandan kosong kelapa sawit.
Oleh karena itu, saya tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis
kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai
bahan bakar untuk melihat apakah usaha ini layak atau tidak layak dilakukan secara
ekonomis.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha
pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di
daerah penelitian?
2. Berapa pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa
sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian?
3. Bagaimana tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong
4. Apa dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk
usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha
pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di
daerah penelitian.
2. Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan
kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian.
3. Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan
kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian.
4. Mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan
bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang mengembangkan usaha abu tandan
kosong kelapa sawit untuk pengembangan usaha ke depan.
3. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian lainnya yangberhubungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Tinjauan Pustaka
Sebagian besar para petani yang tinggal di daerah pedesaan nyatanya tidak hanya
melaukan pekerjaan dibidang pertanian, tetapi juga dibidang lain seperti usaha
dagang, kerajinan tangan, dan industri. Perilaku tersebut timbul karena dorongan
keadaan ekonomi yang kurang memuaskan sehingga mendesak anggota keluarga
untuk melakukan pekerjaan lain dalam rumah tangga yang dapat menambah
penghasilan keluarga atau bekerja diluar rumah yang membutuhkan tenaga mereka
dengan bayaran yang telah disetujui (Sajogyo, 1996).
Keadaan ekonomi yang kurang memuaskan membuat masyarakat mengembangkan
usaha industri kecil sebagai tambahan ekonomi bagi keluarga. Adapun faktor utama
yang mempengaruhi peranan industri kecil di Indonesia adalah antara kecilnya
modal, produktivitas tenaga kerja rendah, kemampuan memimpin perusahaan
kurang dan sebagainya. Peranan industri kecil dalam pertumbuhan ekonomi negara
berkembang adalah besar sekali. Di Indonesia peranan industri kecil masih rendah
dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja (Syahruddin, 1998).
Industri adalah kegiatan untuk memproses atau mengolah barang dengan
menggunakan sarana dan peralatan. Penggolongan industri berdasarkan jumlah
tenaga kerja yang digunakan, dapat dibagi sebagai berikut:
1. Industri rumah tangga adalah yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 4
berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengolah industri biasanya
kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri
anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.
2. Industri kecil adalah industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar lima
sampai 19 orang. Ciri industri kecil adalah memiliki midal yang relatif kecil,
tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan
saudara. Misalnya: industri genteng, industri batu bata, dan industri pengolahan
rotan.
3. Industri sedang adalah industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20
sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar,
tenaga kerja 13 orang memiliki keterampilan tertentu dan pemimpin perusahaan
memiliki kemampuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri
border, dan industri keramik.
4. Industri besar adalah industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif
dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan
khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan
(fit and proper test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja,
dan industri pesawat terbang (Siahaan, 1996).
Industri kecil adalah industri yang tenaga kerjanya berjumlah 5 sampai 19 orang.
Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal
dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Industri batu bata
termasuk golongan industri kecil, yang dimaksud dengan industri batu bata adalah
pasir serta serbuk gergaji melalui proses pencampuran, perbentukan bahan,
pengeringan dan pembakaran. Industri batu bata mengolah sumber daya alam,
dimana lokasinya berada dekat sumber bahan baku. Batu bata atau bata merah
dibuat dengan bahan dasar lempung atau secara umum dikatakan sebagai tanah liat
yang merupakan hasil pelapukan dari batuan keras (beku) dan batuan sedimen
(Suwardono, 2002).
Tanah liat terdiri dalam beberapa jenis berdasarkan tempat dan jarak
pengankutannya dari daerah asalnya, yaitu sebagai berikut:
1. Tanah liat residual yaitu tanah liat yang terdapat pada tempat dimana tanah liat
tersebut belum berpindah tempat sejak terbentuk.
2. Tanah illuvial yaitu tanah liat yang telah terangkat dan mengendap pada satu
tempat tidak jauh dari asalnya, misalnya kaki bukit.
3. Tanah liat alluvial atau limpa sungai yaitu tanah liat yang diendapkan oleh air
sungai.
4. Tanah liat formasi adalah tanah liat yang terjadi dari endapan yang berada
dilaut.
5. Tanah liar rawa adalah tanah liat yang diendapkan di rawa-rawa dan berwarna
hitam.
6. Tanah liat danau adalah tanah liat yang diendapkan di danau air tawar (Murray,
2011).
Di Indonesia pembuatan batu bata pada umumnya menggunakan tanah liat alluvial.
Padahal sebagian besar sawah-sawah di Indonesia terdapat endapan alluvial,
Ini berarti pembuatan batu bata atau barang lain yang terbuat dari tanah liat akan
merugikan pertanian, karena pada umumnya para pengusaha industry batu bata
dalam mencari dan menggunakan bahan baku tidak atau kurang memperhatikan
kerugian yang timbul sebagai akibat cara pengambilan bahan baku yang tidak
teratur. Misalnya kerugian bagi usaha pertanian apabila dalam pengambilan tanah
liat tersebut terambil pula lapisan tanah yang mengandung zat-zat penyubur
tanaman (Murray, 2011).
Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah utama berligniselulosa yang belum
termanfaatkan secara optimal dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis satu ton
tandan buah segar akan dihasilkan minyak sawit kasar sebanyak 0,21 ton (21%),
minyak inti sawit sebanyak 0,05 ton (0,5%), dan sisanya merupakan limbah dalam
bentuk tandan kosong, serat, dan cangkang biji yang masing-masing sebanyak 0,23
ton (23%), 0,135 ton (13,5%), dan 0,055 ton (5,5%). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Persentase Produk dan Limbah Padat Kelapa Sawit Setiap 1 (Satu) Ton Tandan Buah segar (TBS)
Produk TBS Kelapa Sawit Jumlah (Ton)
Padahal tandan kosong kelapa sawit berpotensi untuk dikembangkan menjadi
barang yang lebih berguna, salah satunya menjadi bahan baku bioetanol. Hal ini
karena tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung selulosa yang dapat
selulosa yang cukup tinggi yaitu sebesar 45% menjadikan kelapa sawit sebagai
prioritas untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol (Aryafatta,
2008).
Abu janjang merupakan produk akhir pembakaran Tandan Kosong pada incinerator
pabrik kelapa sawit. Abu janjang bersifat sangat alkalis (pH=12), sangat
higroskopis (mudah menyerap uap air dari udara), menyebabkan iritasi tangan
karyawan (menyebabkan gatal dan memperparah luka), dan mengandung hara yang
sangat mudah larut dalam air. Berdasarkan analisis sampel, secara umum abu
janjang mengandung sedikitnya 40% K2O serta unsur hara makro dan mikro
lainnya. Untuk lebih jelasnya, unsur hara yang terkandung dalam abu janjang dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Persentase Unsur Hara Yang Terkandung Dalam Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit
No. Jenis Unsur Hara Persentase
(%)
Aplikasi abu janjang memiliki keuntungan karena mengandung Kalium (K) yang
tinggi sehingga dapat digunakan untuk mensubtitusi biaya pupuk MOP. Selain
sifatnya yang sangat alkalis (pH=12), aplikasi abu janjang dapat memperbaiki pH
tanah asam, mengaktifkan pertumbuhan akar, serta meningkatkan ketersediaan hara
tanah dan aktivitas mikroorganisme tanah. Atas pertimbangan tersebut, abu janjang
(sama dengan janjangan kosong dan decanter solid) dilihat sebagai produk bernilai
tinggi dan dianggap penting untuk membantu dalam meningkatkan pertumbuhan
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Aspek-Aspek Studi Kelayakan
Dalam melakukan studi kelayakan dibutuhkan aspek–aspek yang akan mendukung tingkat kelayakan suatu bisnis menurut Kasmir dan Jakfar (2007:4) secara umum
memprioritaskan aspek–aspek yang perlu dilakukan dalam studi kelayakan
kedalam tujuh prioritas seperti yang terdapat dalam diagram pada Gambar 1
berikut.
Gambar 1. Aspek-Aspek Kelayakan Usaha Keterangan:
a. Aspek Pasar dan Pemasaran
Aspek ini meneliti seberapa besar pasar yang akan dimasuki dan seberapa besar
kemampuan perusahaan untuk mengusainya serta bagaimana strategi yang akan
dijalankan nantinya.
b. Aspek Keuangan
Aspek ini menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh pendapatan serta
besarnya pendapatan yang dikeluarkan. Metode yang akan digunakan nantinya
dengan Pd, NPM, B/C, BEP serta dengan rasio keuangan lainnya.
Dalam aspek ini yang diteliti adalah mengenai lokasi usaha, baik kantor pusat,
cabang pabrik atau gudang serta teknologi yang akan digunakan.
d. Aspek Manajemen/Organisasi
Yang dinilai dari aspek ini adalah pengolahan usaha dan struktur organisasi yang
ada.
e. Aspek Ekonomi Sosial
Aspek ekonomi adalah melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan jika
proyek tersebut dijalankan. Dampaknya akan meningkatkan pendapatan
masyarakat. Demikian pula dampak sosial yang akan ada seperti tersedia sarana dan
prasarana.
2.2.2 Teori Produksi
Pengertian produksi yaitu hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan
memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami
bahwa kegiatan produksi diartikan sebagai aktivitas dalam menghasilkan output
dengan menggunakan teknik produksi tertentu untuk mengolah atau memproses
input sedemikian rupa (Sukirno, 2002).
Elemen input dan output merupakan elemen yang paling banyak mendapatkan
perhatian dalam pembahasan teori produksi. Dalam teori produksi, elemen input
masih dapat diuraikan berdasarkan jenis ataupun karakteristik input (Gaspersz,
1996).
2.2.3 Faktor Produksi (Input)
input ini, berikut jumlah dan kualitasnya perlu diketahui oleh seorang produsen.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan suatu produk, maka diperlukan pengetahuan
antara faktor produksi (input) dan produk (output) (Soekartawi, 1994).
Berikut penjelasan input yang akan dibahas dalam penelitian ini:
a. Bahan Baku
Bahan baku (raw material) adalah bahan yang digunakan dalam membuat produk
dimana bahan tersebut secara menyeluruh tampak pada produk jadinya (atau
merupakan bagian terbesar dari bentuk barang) (Nata, 2014).
b. Modal
Menrut Soekartawi (1994), besar kecilnya modal dalam usaha pertanian tergantung
dari berbagai hal, antar lain skala usaha, macam komoditas, dan tersedia atau
tidaknya kredit.
c. Tenaga Kerja
Faktor produksi tenaga kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu
diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup, bukan saja dilihat
dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu
diperhatikan (Soekartawi, 1994).
2.2.4 Biaya Produksi
Menurut Mulyadi (2005), Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi
untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. Menurut
Hansen (2001), biaya produksi adalah biaya yang berkaitan dengan pembuatan
Menurut Mulyadi (2005), biaya produksi dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi
tiga jenis biaya, yaitu:
1. Biaya bahan baku langsung (Direct Material Cost)
Suatu baiya produksi disebut biaya bahan baku langsung apabila bagian tersebut
merupakan bagian yang integral, dapat dilihat dan diukur secara jelas dan mudah
serta ditelusuri baik fisik maupun nilainya dalam wujud produk yang dihasilkan.
2. Biaya tenaga kerja langsung (Direct Labour Cost)
Suatu biaya produksi disebut biaya tenaga kerja langsung bila biaya itu dikeluarkan
atau dibebankan karena adanya pembayaran upah kepada tenaga kerja yang
langsung ikut serta bekerja dalam membentuk produksi akhir.Biaya ini dapat
ditelusuri karena secara dapat diukur dengan waktu yang dipergunakannya dalam
keikutsertaannya secara langsung membentuk produk akhir.
3. Biaya Overhead pabrik (Factory Overhead Cost)
Biaya ini adalah semua biaya pabrik yang bahan baku langsung dan tenaga kerja
langsung yang timbul dan dibebankan terhadap pabrik karena sifatnya baik sebagai
bagian yang memiliki aksistensi dalam produksi akhir maupun hanya memberikan
pelayanan guna menunjang, memperlancar, mempermudah, atau sebagai penggerak
kegiatan itu sendiri. Umumnya biaya ini sukar ditelusuri secara konkrit dalam
produk akhir
2.2.5 Pendapatan
Pendapatan perusahaan merupakan penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan
perusahaan, sedangkan biaya operasinya merupakan pengeluaran yang juga karena
Dalam pendapatan usahatani ada dua unsur yang digunakan yaitu unsur penerimaan
dan pengeluaran dari usahatani tersebut. Penerimaan adalah perkalian jumlah
produk total dengan satuan harga jual, sedangkan pengeluaran atau biaya yang
dimaksudkan sebagai nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang
dikeluarkan pada proses produksi tersebut (Ahmadi, 2001).
2.2Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai analisis kelayakan yang menjadi rujukan adalah
Sianturi (2013) dengan judul “Analisis Usaha Pengolahan Batu Bata di Kabupaten Deli Serdang”, dimana hasil penelitian tersebut adalah nilai R/C > 1 (1,18 > 1),
jumlah produksi batu bata berada diatas BEP produksi (84.900 >70.247,92), dan
harga jual batu bata juga berada diatas BEP harga (301,67 > 252,31), yang berarti
industri batu bata layak untuk diusahakan di daerah penelitian.
2.3 Kerangka Pemikiran
Industri pembuatan batu bata dengan menggunakan tandan kosong kelapa sawit
sebagai bahan bakar bergerak di bidang produksi batu bata. Dikarenakan bahan
bakar yang digunakan adalah tandan kosong kelapa sawit, tentunya memiliki
dampak bagi pengrajin batu bata dan llingkungan, baik dampak positif ataupun
negatif, serta dalam pembakaran tandan kosong tersebut dihasilkan abu yang dapat
dijual karena berguna sebagai bahan baku pupuk kalium, sehingga penerimaan
yang diperoleh pengrajin batu bata berasal dari dua jenis produk, yaitu batu bata itu
sendiri dan abu tandan kosong kelapa sawit.
Dalam mengusahakan pembuatan batu bata ini diperlukan input produksi berupa
bahan baku, modal, dan tenaga kerja. Tentunya untuk menyediakan semua input
pendapatan pengrajin batu bata. Pengrajin harus memperhitungkan setiap biaya
produksi yang dikeluarkan agar dapat menentukan harga jual produk.
Jumlah produksi yang dihasilkan akan mempengaruhi penerimaan usaha.
Penerimaan yang dikurangi dengan biaya produksi akan menghasilkan pendapatan
usaha tersebut. Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh pengrajin batu bata
tergantung dari penerimaan dan juga biaya produksinya.
Dari segala aspek yang telah dibahas, yaitu biaya produksi, penerimaan, dan
pendapatan, akan dilihat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan
kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar ini.
Skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: : menyatakan pengaruh
2.4Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan landasan teori, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah usaha
pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian
Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu daerah
penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan
dengan tujuan penelitian (Singarimbun, 1989). Desa Jentera Stabat, Kecamatan
Wampu, Kabupaten Langkat dipilih berdasarkan survey secara langsung oleh
penulis karena akses ke daerah penelitian yang mudah dijangkau.
3.2 Metode Penentuan Sampel
Dalam penelitian ini menggunakan pengambilan sampel dengan metode sensus.
Metode sensus adalah metode pengambilan sampel apabila semua populasi
digunakan sebagai sampel. Adapun banyaknya sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebanyak semua anggota pupulasi, yaitu 20 industri pembuatan
batu bata di daerah penelitian.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengumpulan seluruh data yang
diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara yang
meliputi:
1. Wawancara
Pihak-pihak yang diwawancarai terutama adalah pemilik usaha, serta pihak lain
memperoleh data primer ini akan diambil bentuk wawancara tidak terstruktur
denganpertanyaan yang bersifat terbuka sehingga memberikan keleluasaan bagi
responden untuk memberi pandangan secara bebas dan memungkinkan peneliti
untuk mengajukan perntanyaan secara mendalam.
2. Observasi
Melihat secara langsung obyek yang akan diteliti terutama terhadap praktek-
praktek yangdilakukan saat proses produksi.
3. Studi literatur dan kepustakaan
Bertujuan untuk dapat menganalisa secara teoritis terhadap masalah-masalah yang
berhubungan dengan penulisan dengan membaca skripsi, studi kepustakaan
dilakukan dengan membaca berbagai textbook, jurnal, artikel-artikel yang relevan,
sumber-sumber lain guna memperoleh data sekunder.
Jenis dan sumber data yang dikumupulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan
yang dibutuhkan
Untuk menjawab Hipotesis 1, dianalisis dengan metode deskriptif yaitu dengan
mengumpulkan informasi/data tentang ketersediaan input (bahan baku, modal,
tenaga kerja) di daerah penelitian.
Untuk menyelesaikan masalah 2, maka akan dianalisis dengan menggunakan rumus
pendapatan.
- Penerimaan
TR = Y. Py Dimana:
TR = Total Penerimaan (Total Revenue) (Rp)
Y = Produksi yang diperoleh (kg)
Py = Harga jual (Rp)
Maka Pendapatan dapat dihitung dengan rumus
Dimana:
Pd = Pendapatanusaha abu janjang
TR = Total Revenu (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)
(Soekartawi, 2002).
Hipotesis 2 dianalisis dengan memperhitungkan R/C Ratio dan Break Even Point
(BEP).
- R/C Ratio (Return Cost Ratio) atau dikenal sebagai perbandingan atau nisbah
antar penerimaan dan biaya. Secara matematika dapat dituliskan sebagai
berikut:
R/C = �� � � � � �
R = Py.Y C = FC + VC
R/C = ��.� ��+��
Dimana:
R = Penerimaan (Rp)
C = Biaya (Rp)
Py = Harga Output (Rp)
Y = Output (kg)
FC= Biaya tetap (Rp)
Dengan kriteria uji;
a. Jika R/C > 1 maka usaha pembuatan batu bata layak diusahakan
b. Jika R/C < 1 maka usaha pembuatan batu bata tidak layak diusahakan
c. Jika R/C = 1 maka usaha pembuatan batu bata impas
(Soekartawi, 1994)
- Break Even Point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama
dengantotal cost. Dihitung menggunakan rumus berikut:
BEP Volume Produksi = Total Biaya Produksi
Harga di Tingkat Produsen
BEP Harga Produksi = Total Biaya Produksi
Total Produksi
Kriteria uji:
a. BEP Volume Produksi <Produksi yang dihasilkan, maka usaha layak
b. BEP Volume Produksi = Produksi yang dihasilkan, maka usaha mencapai
titik impas, artinya tidak untung dan tidak rugi
c. BEP Volume Produksi >Produksi yang dihasilkan, maka tidak layak
d. BEP Harga Produksi < Harga jual produk, maka usaha layak
e. BEP Harga Produksi = HArga jual produk, maka usaha mencapai titik
impas, artinya tidak untung dan tidak rugi
f. BEP Harga Produksi > Harga jual produk, maka usaha tidak layak
Untuk menyelesaikan masalah 4, dianalisis dengan metode deskriptif yaitu dengan
mengumpulkan informasi/data tentang penggunaan tandan kosong kelapa sawit
3.5 Defenisi Dan Batasan Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka penulis membuat
defenisi dan batasan operasional sebagai berikut:
3.5.1 Defenisi
1. Usaha yang dilakukan adalah usaha mandiri, dimana bahan baku dibeli dari
pemasok untuk kemudian diolah dan dijual lagi kepada konsumen.
2. Produk utama adalah hasil produksi utama berupa batu bata.
3. Dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit adalah akibat/efek yang
ditimbulkan dari pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar
bagi pengrajin sendiri maupun lingkungan, dapat berupa dampak positif atau
dampak negatif.
4. Ampas adalah hasil yang tersisa dari proses pembakaran batu bata, yaitu tandan
kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yang telah menjadi abu.
5. Input produksi adalah faktor-faktor yang mendukung perkembangan usaha
pembuatan batu bata di daerah penelitian seperti bahan baku, modal, dan tenaga
kerja.
6. Penerimaan usaha pembuatan batu bata adalah total produksi yang dihasilkan
usaha pembuatan batu bata selama masa produksi dan ampas yang dapat dijual
yang dihitung dalam bentuk rupiah.
7. Biaya produksi usaha pembuatan batu bata adalah jumlah biaya yang harus
dikeluarkan selama masa produksi hingga menghasilkan produk.
8. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah selisih antara penerimaan dengan
9. Analisis kelayakan usaha adalah suatu metode perhitungan untuk mengetahui
apakah suatu usaha layak atau tidak layak diusahakan secara ekonomis.
3.5.2 Batasan Operasional
1. Daerah penelitian di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten
Langkat.
2. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2015.
3. Sampel dalam penelitian ini adalah pengrajin batu bata yang menggunakan
BAB IV
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK RESPONDEN
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten
Langkat. Berikut ini adalah deskripsi daerah penelitian:
4.1.1 Luas Wilayah, Batas, dan Letak Geografis
Kecamatan Wampu memiliki luas wilayah sebesar 19.421 Ha (194,21 km2).
Kecamatan Wampu barada 4 meter diatas permukaan laut, sebagian besar dataran
rendah, termasuk Desa Jentera Stabat. Desa Jentera Stabat sendiri memiliki luas
wilayah sebesar 501 Ha (5,10 km2) atau seluas 1,50% dari total luas kecamatan.
Kecamatan Wampu berbatasan dengan:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Hinai
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serapit
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Tualang & Batang
Serangan
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Stabat dan Kecamatan Selesai
Desa Jentera Stabat memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Suka Jadi Kecamatan Hinai
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Stabat Lama
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Stabat Lama Barat
4.1.2 Tata Guna Lahan
Desa Jentera Stabat memiliki luas lahan 125,6 Ha. Sebagian besar lahan digunakan
sebagai sawah. Penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk ditanami padi
sawah dan selebihnya digunankan untuk pertanian bukan sawah, serta lahan non
pertanian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Distribusi Penggunaan Lahan di Desa Jentera Stabat Tahun 2014 No. Jenis Penggunaan Lahan Luas Areal
(Ha)
Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014
Dari Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang paling banyak
digunakan adalah lahan untuk pertanian sawah seluas 69 Ha atau 54,94%. Untuk
lahan pertanian bukan sawah, yaitu palawija, sayur, dan perkebunan rakyat seluas
10,8 Ha atau 8,60%, 7 Ha atau 5,58%, dan 24 Ha atau 19,11%. Selebihnya
digunakan untuk lahan pemukiman seluas 9,4 Ha atau 7,48% dan untuk lahan
4.1.3 Keadaan Penduduk
Desa Jentera Stabat memiliki 8 dusun dan masing-masing dusun memiliki jumlah
penduduk yang berbeda-beda. Jumlah penduduk Desa Jentera Stabat yang
digolongkan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Jentera Stabat
Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014
Dapat dilihat dari Tabel 5 bahwa jumlah penduduk Desa Jentera Stabat sebanyak
5015 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 2507 jiwa atau 49,99% dan jumlah
perempuan sebanyak 2508 jiwa atau 50,01% dari jumlah seluruh penduduk. Hal ini
sangat menarik karena selisih antara jumlah laki-laki dan perempuan hanya 1,
sehingga dapat dikatakan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan sama.
Dengan luas wilayah 2,91 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 5015, kepadatan
penduduk di desa jentera stabat sebesar 1618 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga di
Desa Jentera Stabat ada sebanyak 1328 KK, dengan rata-rata per rumah tangga
sekitar 3,87 jiwa. Agama Islam adalah agama yang dominan di Desa jentera Stabat,
yaitu sebesar 99,82%. Selanjutnya untuk suku bangsa, suku jawa adalah suku yang
dominan, yaitu sebesar 72,40%. Selebihnya ada suku melayu, madina, suku batak,
dan lainnya. Selanjutnya distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat
Tabel 6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Jentera Stabat Tahun 2014
No. Mata Pencaharian Jumlah
(Jiwa)
Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Jentera
Stabat bekerja di bidang pertanian, yaitu sebanyak 1441 jiwa atau 71,16%.
Penduduk yang bekerja di bidang industri/kerajinan berjumlah 63 jiwa atau 3,11%.
Selanjutnya penduduk yang bekerja sebagai PNS dan ABRI sebanyak 74 jiwa atau
3,65%, di bidang perdagangan sebanyak 87 jiwa atau 4,30%, di bidang angkutan
sebanyak 124 jiwa atau 6,12%, dan penduduk yang bekerja sebagai buruh sebanyak
236 jiwa atau 11,66%.
4.2 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha pembuatan batu bata dengan
tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di Desa Jentera Stabat, Kecamatan
Wampu, Kabupaten Langkat. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 20
pemilik usaha. Karakteristik responden yang diperlukan dalam penelitian ini
meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman
4.2.1 Umur
Tabel 7. Umur Responden Pemilik Usaha Batu Bata
No. Kelompok Umur
Sumber:Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dapat dilihat dari Tabel 7 jumlah terbesar umur responden pemilik usaha batu bata
berada pada kelompok umur 47-61 tahun, dengan jumlah sebanyak 10 responden
atau 50% dari jumlah seluruh responden. Sedangkan jumlah terkecil berada pada
kelompok umur 62-75 tahun, dengan jumlah hanya 3 responden atau 15% dari
jumlah seluruh responden. Pada kelompok umur 32-46 tahun memiliki jumlah
responden sebanyak 7 atau 35% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata umur
responden dengan kelompok umur 32-75 tahun adalah 49,7 tahun.
4.2.2 Tingkat Pendidikan
Tabel 8. Tingkat Pendidikan Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Tingkat Pendidikan Jumlah
(jiwa)
Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dari Tabel 8 dapat dilihat tingkat SMP adalah tingkat pendidikan terbanyak dari
yaitu hanya 4 responden atau sebanyak 20%. Tingkat SMA sebanyak 6 responden
atau 30% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata tingkat pendidikan responden
adalah SMP.
4.2.3 Jumlah Tanggungan
Tabel 9. Jumlah Tanggungan Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Jumlah Tanggungan
Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dapat dijelaskan dari Tabel 9, jumlah tanggungan keluarga yang lebih kecil dari
rata-rata (< 2,35) sebanyak 13 jiwa yaitu 65% dari jumlah seluruh responden.
Sedangkan Jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar dari rata-rata (> 2,35)
berjumlah 7 jiwa atau 35% dari jumlah seluruh responden.
4.2.4 Pengalaman Berusaha
Tabel 10. Pengalaman Berusaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Pengalaman Berusaha
Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dapat dilihat pada Tabel 10, pengalaman berusaha terlama berada pada kelompok
18-25 tahun, namun jumlah respondennya hanyak sebanyak 3 responden atau 15%
berada pada kelompok 4-10 tahun dengan jumlah sebanyak 15 responden atau 75%
dari jumlah seluruh responden. Kemudian yang lainnya berada pada kelompok
11-17 tahun dengan jumlah responden sebanyak 2 atau hanya 10% dari jumlah seluruh
responden. Rata-rata pengalaman berusaha responden adalah 9,8 tahun.
4.2.5 Luas Lokasi Usaha
Tabel 11. Luas Lokasi Usaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Luas Lokasi Usaha
Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dari tabel 11 dapat dilihat kelompok luas lokasi usaha yang memiliki responden
terbanyak adalah kelompok 400-2933 dengan responden berjumlah 14 jiwa atau
70% dari jumlah seluruh responden. Selanjutnya kelompok 2934-5467 dan
5468-8000 yang masing-masing berjumlah 3 responden atau 15% dari jumlah seluruh
responden. Rata-rata luas lokasi usaha responden sekitar 2760 m2.
Dari uraian diatas maka rekapitulasi karakteristik pemilik usaha batu bata di daerah
penelitian dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
No. Uraian Range Rata-Rata
1 Umur (Tahun) 32-75 49,7
2 Tingkat Pendidikan (Tahun) 6-12 9,3
3 Jumlah Tanggungan (Jiwa) 1-4 2,35
4 Pengalaman Berusaha (Tahun) 3-25 9,8
5 Luas Lokasi Usaha (m2) 400-8000 2760
Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015
Dari Tabel 12 dapat dilihat rangkuman dari setiap karakteristik pemilik usaha batu
bata di daerah penelitian. Pertama, umur responden berada pada rentang antara
32-75 tahun dengan rata-rata 49,7 tahun. Selanjutnya tingkat pendidikan responden
berada pada rentang antara 6-12 tahun (SD sampai SMA) dengan rata-rata 9,3
tahun (SMP). Kemudian jumlah tanggungan responden berkisar antara 1-4 jiwa
dengan rata-rata sebanyak 2,35 jiwa. Selanjutnya pengalaman berusaha responden
memiliki rentang yang cukup jauh, yaitu antara 3-25 tahun dengan rata-rata 9,8
tahun. Terkahir adalah luas lokasi usaha responden yang juga memiliki rentang
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Proses Pembuatan Batu Bata
Proses pembuatan batu bata memang membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu
sekitar 10-14 hari. Namun sebenarnya proses pengolahannya sendiri tidak terlalu
rumit. Dimulai dari penyediaan bahan baku (tanah sawah dan tanah merah),
kemudian mencampurkan kedua tanah tersebut sampai rata, lalu dilakukanlah
proses pencetakan, lalu batu bata yang sudah dicetak dijemur, lalu setelah
penjemuran selama 2 minggu, batu bata disusun di dapur, dan dibakar. Setelah
dibakar, batu bata siap untuk dipasarkan. Berikut tahapan-tahapan pembuatan batu
bata akan diuraikan secara rinci.
Tahap I: Penyediaan Bahan Baku dan Bahan Penunjang
Bahan baku dalam pembuatan batu bata adalah tanah sawah dan tanah bukit. Tanah
sawah biasanya diperoleh dari pemasok. Pemasok mendapatkan tanah sawah dari
masyarakat sekitar yang memiliki tanah sawah. Biasanya banyak lahan sawah
digali untuk membuat irigasi atau mendapatkan cukup banyak air, sehingga tanah
hasil galian tersebut yang dijadikan bahan baku pembuatan batu bata. Begitu juga
dengan tanah bukit, diperoleh dari pemasok. Pemasok mendapatkan tanah bukit
Gambar 3. Tanah Bukit dan Tanah Sawah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Batu Bata
Selanjutnya bahan penunjang disiapkan. Bahan penunjang dalam proses pembuatan
batu bata disini adalah tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan pembakaran di
tungku, minyak solar sebagai bahan bakar mesin pencetakan batu bata, dan CPO
sebagai bahan pengoles batu bata. Yang paling penting disiapkan disini adalah
tandan kosong kelapa sawit, karena tandan kosong kelapa sawit ini perlu dijemur
terlebih dahulu sampai benar benar kering. Hal ini sangat penting karena tandan
kosong tidak akan bisa terbakar secara maksimal apabila tandan kosong masih
dalam keadaan basah. Proses pengeringan ini biasanya membutuhkan waktu sekitar
10-14 hari. Untuk itu sebenarnya tandan kosong perlu disiapkan terlebih dahulu
dibandingkan bahan bakunya sendiri. Tandan kosong yang sudah kering ditandai
dengan warnanya yang berubah menjadi semakin abu-abu dan serabut-sarabut pada
Gambar 4. Tandan Kosong Kelapa Sawit Saat Dijemur
Tahap II: Pencampuran tanah bukit dan tanah sawah
Selanjutnya tanah bukit dan tanah sawah diaduk rata dengan menggunakan cangkul
dan sekop. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh 5 orang tenaga kerja. Pengadukan
harus benar-benar rata agar menghasilkan agar menghasilkan batu bata yang kokoh.
Perbandingan tanah bukit dan tanah sawah biasanya adalah 2:1 atau ada juga
responden yang menggunakan perbandingan 1:1. Dengan perbandingan 1:1, batu
bata yang dihasilkan akan lebih bagus dan kokoh. Waktu yang dibutuhkan untuk
proses pencampuran ini tergantung dari jumlah batu yang ingin dihasilkan,
Tahap III: Pencetakan Batu Bata
Setelah proses pencampuran tanah bukit dan tanah sawah selesai, proses
pencetakan batu bata dimulai. Di daerah penelitian biasanya mesin pencetakan batu
bata disebut mesin press batu bata. Proses pencetakan ini dilakukan oleh 5 orang
tenaga kerja yang sama dengan tenaga kerja dalam proses pencampuran tanah.
Seorang tenaga kerja memasukkan tanah campuran kedalam mesin pres batu bata.
Seorang lainnya siap menampung hasil cetakan batu bata dengan menggunakan
papan sambil mengoleskan CPO ke setiap sisi batu bata agar batu bata tidak saling
lengket satu dengan lainnya. Apabila sudah penuh dalam satu papan, seorang lagi
menaikkan papan berisi batu bata tersebut kedalam becak. Setelah becak penuh,
becak dibawa menuju barak untuk dijemur. Dua orang lainnya siap menunggu di
barak untuk menurunkan batu bata tersebut. Proses pencetakan ini biasanya
berlangsung sekitar 8-10 jam.
Tahap IV: Penjemuran
Setelah batu bata diturunkan dari becak, batu bata akan disusun didalam barak
untuk dijemur. Proses ini dilakukan oleh 2 orang tenaga kerja. Batu bata disusun
sedemikian rupa dengan rapi agar muat diletakkan didalam barak. Setelah semua
batu bata siap disusun, setiap pinggiran dari susunan batu bata ditutupi dengan
plastik terpal. Hal ini dimaksudkan agar batu bata tidak basah lagi terkena air hujan.
Proses penjemuran batu bata ini dilakukan selama 2 minggu.
Gambar 6. Proses Penjemuran Batu Bata di Barak
Tahap V: Penyusunan di dapur
Setelah 2 minggu dijemur, batu bata disusun didapur untuk mulai proses
agar pembakaran merata keseluruh batu bata. Proses penyusunan ini biasanya
berlangsung selama2-5 jam tergantung dari banyaknya batu yang akan dibakar.
Gambar 7. Batu Bata Yang Telah Disusun di Dapur
Tahap VI: Pembakaran dan Pendinginan
Setelah batu bata disusun dengan rapi di dapur, proses pembakaran siap untuk
dimulai. Proses pembakaran ini biasanya hanya dilakukan oleh 1 orang tenaga kerja
saja. Pertama-tama beberapa tandan kosong kelapa sawit yang sudah dikeringkan,
dimasukkan kedalam tungku pembakaran dengan menggunakan gancu. Tungku
diisi sampai penuh kedalam. Untuk memasukkan tandan kosong sampai padat
kedalam, digunakan alat tojok. Selanjutnya karet ban kira-kira sepanjang 30 cm
dibakar, lalu diletakkan diatas salah satu tandan kosong yang juga akan
api, tandan kosong tersebut didorong masuk kedalam tungku sampai menyentuh
tandan kosong yang sudah dimasukkan diawal tadi. Setelah dipastikan bara api
tetap hidup, tunggu sampai menjadi abu dan tandan kosong dimasukkan lagi.
Disekeliling tungku juga diberikan sekam padi agar pembakaran merata keseluruh
bagian. Rata-rata pembakaran ini berlangsung 7-10 hari tergantung dari jumlah batu
bata yang dibakar. Setelah proses pembakaran dilakukan, batu bata dibiarkan dingin
kira-kira selama 2-3 hari.
Tahap VII: Siap untuk dipasarkan
Setelah batu bata dingin, batu bata siap untuk dipasarkan. Biasanya usaha batu bata
ini sudah memiliki langganannya masing-masing, kegiatan penjual-belian
dilakukan via telefon. Setelah negosiasi disetujui, pembeli akan datang dengan
membawa truk dan tukang muat sendiri, lalu mengangkut batu bata tersebut.
Sehingga pengrajin batu bata tidak perlu membayar upah tenag kerja untuk memuat
batu bata.
Berdasarkan uraian tahapan pembuatan batu bata, dapat diringkas secara skematis
seperti pada Gambar 9 berikut.
Gambar 9. Skema Proses Pembuatan Batu Bata Penyediaan Bahan Baku
dan Bahan Penunjang
Pencampuran Tanah Bukit dan Tanah Sawah
Pencetakan Batu Bata
Penjemuran
Penyusunan di Dapur
Pembakaran
5.2 Ketersediaan Input (Bahan Baku, Modal, dan Tenaga Kerja) 5.2.1 Ketersediaan Bahan Baku
Bahan baku merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kelangsungan usaha
pembuatan. Bila suatu usaha pembuatan kekurangan bahan baku, maka usaha
tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar. Selain itu bahan baku juga harus selalu
tersedia setiap kali pembuatan akan dilakukan untuk menjamin kontinuitas usaha
pembuatan itu sendiri. Bahan baku yang digunakan untuk proses pembuatan batu
bata ini adalah tanah sawah dan tanah bukit.
Rata-rata kebutuhan tanah sawah dan tanah bukit yang digunakan untuk
memproduksi batu bata di daerah penelitian adalah 2,45 truk dan 2,95 truk.
Banyaknya tanah sawah dan tanah bukit yang dibutuhkan tergantung dari jumlah
tungku yang dimiliki pemilik usaha batu bata, semakin banyak tungku yang
dimiliki, semakin banyak batu bata yang dapat dibakar, dan semakin banyak pula
tanah yang dibutuhkan. Untuk mengetahui rata-rata volume dan biaya bahan baku
usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13. Rata-Rata Volume dan Biaya Bahan Baku Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian
No. Uraian Per Bulan Per 10.000 Batu Bata
1 Volume Bahan Baku (Truk) 5,40 0,91
2 Biaya Bahan Baku (Rp) 2.160.000 365.486 Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampran 7 dan 16, 2015
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata bahan baku yang dibutuhkan dalam usaha