• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Budidaya Jati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Potensi Budidaya Jati"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Budidaya Jati

Edy Batara Mulya Siregar

Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara

A. Latar Belakang

Jati (Tectona grandis Linn F.) sampai sekarang masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati masyarakat walaupun harga jualnya mahal. Kebutuhan kayu jati olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5 juta m3/tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8 juta m3/tahun (Leksono, 2001). Dengan demikian terdapat kekurangan pasokan kayu jatisebesar 1,7 juta m3/tahun. Kekurangan pasokan kayu jati yang demikian besar tentunya memberikan peluang, sehingga budidaya jati akaan cukup cerah di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Secara umum, pengembangan jati sampai dekade tahun 70-an masih bersifat konvensional. Pengembangan budidaya jati masih mengandalkan teknik perbanyakan secara generatif, yaitu perbanyakan tanaman berasal dari biji atau benih pohon induk yang terpilih. Pengembangan tanaman jati secara konvensional (generatif) memiliki kendala, yaitu tanaman baru dapat berproduksi sekitar 40-60 tahun.

Untuk mengatasi kendala budidaya jati, para ahli telah melakukan pendekatan-pendekatan yang tujuannya adalah untuk mendapatkan tanaman jati unggul dan dapat dipanen dengan umur yang relatif lebih pendek. Sejak dekade tahun 90-an telah mulai dipelajari pola pengembangan tanaman secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan dan kultur tunas. Pohon jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif dan berdaur pendek (kurang lebih 15 tahun). Walaupun secara kualitas kayu jati yang dihasilkan belum tentu lebih baik dibandingkan kayu jati hasil budidaya secara konvensional, namun usaha budidaya jati yang berdaur pendek perlu dikaji lagi sehingga dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya.

Untuk lebih mengoptimalkan penggunaan lahan, para pengembang bukan hanya mencoba membudidayakan jati berdaur pendek, tetapi juga membudidayakan tanaman jati dengan pola tumpangsari dengan tanaman sawit, coklat, dan kopi. Produksi kayu jati yang dihasilkan dari tanaman yang berdaur pendek sampai saat sekarang belum dapat disajikan, karena pengembangannya baru dilakukan 5-6 tahun terakhir.

(2)

B. Sejarah Pengembangan Tanaman Jati di Indonesia

Sejak abad ke-9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memilki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana, 2001).

Tanaman Jati secara alamiah banyak dijumpai di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, yaitu Burma, Thailand, Laos, Kamboja dan Indonesia. Pada abad ke-19 jati juga mulai dibudidayakan di Amerika tropik seperti Trinidad dan Nicaragua. Belakangan jati juga mulai dibudidayakan di Nigeria dan beberapa negara Afrika tropik lainnya (Simon, 2000).

Keberhasilan permudaan sejak akhir abad ke-19 telah dap[at mengembangkan luas kawasan hutan jati di pulau Jawa. Menurut data Penyusun Sejarah Kehutanan Indonesia, pada akhir abad ke-19 luas hutan jati di pulau Jawa seluruhnya diperkirakan berkisar 650.000 ha. Luas hutan jati terus bertambah menjadi 785.000 ha pada tahun 1929. Sejak tahun 1985 luas hbutan jati di pulau Jawa seluruhnya sudah mencapai 1.069.712 ha (Simon, 2000).

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia sampai sekarang awalnya berasal dari India (Dephut RI, 1986). Tanaman jati mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. F yang secara historis naman tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) dan berarti tumbuhan yang mempunyai kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti según (Bengali), tekku (Bombay), kyun (Burma), sagach (Gujarat),

sagub, sagwan (Hindi), jadi, saguan, tega, tiayagadamara (Kannad). Tanaman jati dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teck atau teakbaun, sedangkan di Inggris dikenal dengan nama teak (Suryana, 2001).

Hutan jati yang sebagian besar terdapat di pulau Jawa, pengelolaannya telah lama dilakukan oleh PT. Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 KPH (Kesatuan Pemangku Hutan). Kawasan hutan yang PT. Perhutani terdiri dari hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha. Luas hutan jati yang dikelola oleh PT. Perhutani adalah seluas 1 juta ha (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).

Produksi hutan jati yang dikelola PT. Perhutani rata-rata 800 ribu m3/tahun. Sebagian besar produksi hutan jati (85%) dijual dalam bentuk log, sedangkan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri milik PT. Perhutani dan Industri Mitra Kerja Sama Pengelolaan Mitra (Mitra KSP) Perhutani dengan swasta (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).

(3)

Tabel 1. Persebaran Hutan Tanaman Jati di Jawa yang Dikelola oleh PT. Perhutani pada Tahun 1989.

Lahan Hutan (ha)

No. Propinsi Luas Daratan

(ha) Jati Total

Hutan/Total Daratan (%)

1. DKI Jakarta 59.000 0 1.000 1,76

2. Jawa Barat 4.620.600 170.570 968.100 20.90

3. Jawa Tengah 3.420.600 304.562 655.681 19,20

4. DI. Yogyakarta 316.900 16.000 18.000 5,70

5. Jawa Timur 4.782.580 578.580 1.364.441 28,50

Total 13.209.300 1.069.712 3.007.222 22,80

Sumber : Asosiasi Meubel Indonesia, 2001

Tabel 2. Distribusi Produksi Kayu Jati PT. Perhutani sampai Tahun 2000 Pengguna Log Jati (m3)

Perhutani

No. Tahun

Produksi Industri Swasta Industri Perhutani

Mitra KSP Total

1. 1998 707.569 84.279 36.682 828.530

2. 1999 567.716 79.883 46.219 639.818

3. 2000 726.654 59.676 38.540 824.870

Sumber :(Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).

Adanya peningkatan eksport furniture berbahan baku kayu jati pada tiga tahun terakhir mengakibatkan semakin besarnya permintaan kayu jati. Perlu diketahui bahwa, sebagian besar industri furniture yang berorientasi eksport menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Pasokan kayu jati di Indonesia hanya berasal dari pasokan PT. Perhutani dan dari hutan rakyat. Sulitnya mendapatkan bahan kayu jati dapat berdampak buruk bagi perkembangan industri furniture di Indonesia. Hal ini perlu diperhatikan secara serius, karena industri furniture memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan devisa negara, yaitu sebesar 1,45 milyar US$ pada tahun 2000 dari total devisa 8 milyar US$ untuk seluruh produk kehutanan (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001). C. Karakteristik Tanaman Jati

Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dan nama spesies Tectona grandis Linn. F. Selain Tectona grandis, famili Verbenaceae juga memiliki spesies lain yang seperti jati di Indonesia, yaitu Tectona hamiltoniana

Wall, tumbuh di daerah kering Myanmar dan Tectona philippinensis Benth & Hooker yang tumbuh di hutan Batangas dan Mindoro (puilau Iling) Filipina. T. grandis

merupakan jati yang mempunyai kualitas kayu yang paling baik dibandingkan dua jenis

Tectona lainnya (Suryana, 2001).

(4)

Kulit kayu jati berwarna kecoklatan atau abu-abu dan sifatnya mudat terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan dapat bercabang. Daun jati berbentuk opposite (bentuk jangtung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm dan lebar 15-40 cm, permukaan daunnya berbulu. Daun muda pohon jati berwarna hijau kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan.

Walaupun tanaman jati yang tumbuh di alam dapat mencapaiu diameter batang 220 m, namun umumnya jati dengan diameter 50 cm sudah ditebang karena tingginya permintaan terhadap kayu jati. Bentuk batang pohon jati tidak teratur serta mempunyai alur. Warna kayu teras (bagian tengah) coklat muda, coklat merah tua, atau merah coklat, sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih atau kelabu kekuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat kayu jati lurus dan agak terpadu. Permukaan kayu jati licin dan agak berminyak serta memiliki gambaran yang indah.

Kambiun kayu jati memilki sel-sel yang menghasilkan perpanjangan vertikal dan horizontal, dimulai dengan berkembangnya inti sel berbentuk oval secara memanjang, kemudian akan membelah menjadi 2 sel dan demikian seterusnya. Pada sekitar bulan Juli-September (musim kemarau), tanaman akan mengalami gugur daun dan pada saat itu kambiun akan tumbuh lebih sempit dari pertumbuhan musim penghujan. Pada bulan Januari-April (musim penghujan), daun akan tumbuh, sehingga pertumbuhan kambiun normal kembali. Perbedaan pertumbuhan tersebut akan membuat suatu pola yang indah bila batang jati dipotong melintang. Pola pertumbuhan kayu yang indah tersebut dikenal juga dengan istilah lingkaran tahun.

Sifat fisik kayu adalah sebagai berikut : kayu jati memiliki berat jenis antara 0,62-0,75 dan memiliki kelas kuat II-III dengan nilai keteguhan patah antara 800-1200 kg/cm3 (Syafii, 2000 dalam Sipon et al., 2001). Daya resistensi yang tinggi kayu jati terhadap serangan jamur dan rayap disebabkan karena adanya zat ekstraktif tectoquinon atau 2-metil antraqinon. Selain itu, kayu jati juga masih menagndung komponen lain, seperti tri poliprena, phenil naphthalene, antraquinon dan komponen lain yang belum terdeteksi (Sipon et al., 2001).

Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5%, lignin 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4%, dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5,081 kal/gr (Suryana, 2001). Keawetan kayu sesuai hasil uji terhadap rayap dan jamur tergolong kelas II. Dengan demikian, kayu jati dapat terserang rayap dengan kapasitas rendah pada kondisi kayu yang dipengaruhi oleh umur pohon, semakin tua kayu jati semakin sulit terserang rayap.

D. Sistem Penanaman Jati dengan Konsep Agroforestry di Indonesia

Pola pengembangan tanaman dalam bentuk hutan tanaman dengan produk berupa kayu merupakan program penting untuk dilaksanakan sebagai upaya menurunkan tingkat ketergantungan pemenuhan kebutuhan kayu dari hutan alam. Ketergantungan terhadap produksi kayu hutan alam tidak dapat dipertahankan lagi, karena produksi dari hutan alam terus mengalami penurunan.

(5)

dengan pola agroforestry pada 20 tahun belakang mulai dilirik dan dikembangkan, terutama dalam pemanfaatan lahan (land use).

Konsep dasar sistem agroforestry adalah menanam tanaman selingan di antara tanaman pokok, pada lajur tersendiri sebelum atau sesudah penanaman tanaman pokok selama pertumbuhannya tidak mempengaruhi atau dipengaruhi tanaman pokok (Pamulardi, 1991). Tanaman selingan yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :

1. Berumur lebih pendek dari tanaman pokok

2. Tidak menjadi pesaing tanaman pokok terhadap pemenuhan kebutuhan hidup 3. Mampu menciptakan keadaan yang menguntungkan pertumbuhan tanaman

pokok

4. Mampu memperbaiki kesuburan tanah dan sifat fisik tanah, dan

5. Teknologi budidayanya tidak merangsang penciptaan lingkungan yang merugikan pertumbuhan tanaman pokok.

Pada kegiatan praktek agroforestry, tidak hanya berusaha memenuhi persyaratan yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu secara ekonomis menguntungkan untuk dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman bahwa konsep agroforestry dengan menggunakan tanaman pangan di hutan tanaman jati menunjukkan bahwa teknologim itu memerlukan biaya besar dan pengelolaan yang lebih intensif. Pada umumnya, kawasaan hutan memiliki tanah yang dikategorikan kurang subur, sehingga memerlukan input pertanian yang lebih besar, seperti pupuk untuk mendukung produksi tanaman pangan. Untuk itu, pertimbangan dan pengkajian teknik budidaya harus dilaksanakan, sehingga konsep agroforestry dapat ekonomis mengingat harga input pertanian yang terus meningkat.

Kegiatan agroforestry merupakan kegiatan intensif yang memerlukan banyak tenaga kerja di satuan-satuan Huaatan Tanaman Industri (HTI). Apabila tenaga kerja yang berpengalaman menangani teknik budidaya tumpang sari tidak tersedia, maka kegiatan agroforestry sulit untuk dilaksanakan dan sangat berpeluang gagal. Untuk itu, pemilihan teknologi pertanian yang tepat harus dilaksanakan sebelum kegiatan agroforestry dilakukan.

Konsep pokok sistem tanaman campuran ini adalah menanam tanaman beberapa jenis tanaman secara bersama-sama pada suatu lahan, sehingga terbentuk suatu sistem pertanaman dengan keragaman jenis yang tinggi. Sistem tanaman campuran ini memang memberi kemungkinan bagi terciptanya suatu sitem HTI yang mantap. Namun demikian, arah konsep ini bukan hanya menciptakan suatu ekosistem yang mantap, tetapi juga harus tetap produktif dan ekonomis. Suatu ekosistem yang mantap biasanya harus didukung oleh setiap komponennya sehingga membentuk suatu kesatuan fungsi yang mengarah ke pembangunan ekosistem tersebut.

(6)

keragaman mutu tanah atau lahan. Dengan demikian, pemilihan tanaman campuran beserta teknologinya juga dapat beragam pada suatu kawasan HTI yang luas.

Kendala utama pada penerapan sistem tanaman campuran dalam HTI adaalah bahwa sampai saat ini sebagian besar tanaman HTI belum diketahui pola kebutuhan haranya. Pengetahuan terhadap aspek pola kebutuhan hara menjadi penting untuk menghindari terjadi persaingan antar tanaman. Aspek lain yang penting adalah bahwa keragaman tanaman, dan ini berarti juga menuntut pengelolaan yang beragaam pula. E. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jati

Sebelum pengembangan tanaman jati dilaksanakan pada skala yang luas, perlu direncanakan secara baik dan dapat dimulai dengan pengamatan-pengamatan. Pengamatan antara lain meliputi letak lahan (topografi), kondisi ekologis, iklim dan kondisi kesuburan lahan (struktur dan tekstur). Hal ini diperlukan untuk persyaratan tumbuh optimal tanaman jati. Hal-hal yang perlu dicatat adalah paramter iklim dan lahan, serta secara teknis letak lokasi yang erat hubungannya dengan kondisi topografi, kualitas lahan, serta kesesuaian tempat tumbuh (Suryana, 2001).

Pengamatan kesesuaian tempat tumbuh dapat dilakukan dengan mempelajari pendekatan kondisi endemik asal usul tempat tumbuh tanaman jati. Untuk tanaman jati jenis Tectona grandis dapat dipelari dari letak kondisi lahan pertumbuhan jati seperti di India. Pemilihan lahan pengembangan dapat pula dengan memperhatikan tingkat keberhasilan tumbuh serta kualitas produk kayu yang dihasilkan di daerah pengembangan. Sebagai contoh adalah tanaman jati tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu yang cukup berkualitas di pulau Jawa, Kengean, Muna, Bali, dan Sumbawa. Untuk pengembangan di luar daerah tersebut, idealnya harus didasarkan atas hasil kesesuaian (provenance) tempat tumbuh dengan memperhatikan parameter standar ekologis (Purwowidodo, 1991).

Secara umum tanaman jati idealnya ditanam di areal dengan topografi yang relatif datar (hutan dataran rendah) atau memiliki kemiringan lerang < 20%, selain itu tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/thn, optimum 1000 – 1500 mm/thn dan maksimum 2500 mm/thn. Walaupun demikian, tanaman jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3750 mm/thn (Purwowidodo, 1991). Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati untuk tumbuh dengan baik minimum adalah 13-17 0

C dan masimum 39-43 0C. Pada suhu yang optimal, yaitu 32-42 0C, tanaman jati akan menghasilkan kualitas kayu yang baik. Kondisi kelembaban lingkungan tanaman jati yang optimal sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif. Di daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl, jati tidak dapat berkembang dengan baik, karena rata-rata suhu tahunannya lebih rendah. Umumnya daerah tersebut akan lebih didominasi oleh jenis-jenis yang tidak menggugurkan daun (non-decidous species) yang merupakan pesaing bagi pertumbuhan jati.

(7)

tidak menggugurkan daaun dan lingkaran tahunnya kurang menarik sehingga produk kayunya tergolong kelas II-III, misalnya tanaman jati yang ditanam di Sukabumi, Jawa Barat (curah hujan > 2500 mm/thn).

Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi batu kapur, granit, gneis, mica, schist, batu pasir, kuarsa, endapan, shale, dan lempung. Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai dengan sifat fisiologisnya dan untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati mermerlukan kondisi solumn lahan yang dalam dan kemasaman tanah (pH) optimum sekitar 6.0. Namun pada kasus tertentu, dijumpai pertanaman jati yang tumbuh baik pada pH rendah (4-5). Tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah, maka pada lahan yang berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman jati yang baik. Ini terjadi karena akar tanaman jati lebih mudah menyerap unsur hara pada kondisi tersebut (Purwowidodo, 1991).

Kondisi kesuburan laha juga akan berpengaruh terhadap perilaku fisiologis tanaman dan ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh (tinggi dan diameter). Unsur kimia pokok (macro element) yang penting dalam mendukung pertumbuhan jati adalah kalsium (Ca), posfor (P), kalium (K), dan nitrogen (N) (Purwowidodo, 1991).

Pada lahan hutan jati alam, kapasitas bahan organik (humus) yang tersedia antara 1.87-5.5% berada di permukaan dan 0.17-1.90% berada sekitar 100 cm berada di bawah permukaan (Purwowidodo, 1991). Rendahnya nilai kapasitas bahan organik pada lahan jati akan menurunkan tingkat kecepatan tanaman dalam membentuk perakaran. Terdapat hubungan antara kapasitas hara makro dengan tingkat kecepatan pembentukan akar yang berdampak positif terhadap pertumbuha riap tanaman jati. Tanaman yang berkembang pada lahan dengan kandungan unsur hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg) yang optimal akan membentuk sistem perakaran yang baik, sehingga proses penyerapan hara semakin cepat dan kemampuan pohon untuk menghasilkan kayu yang baik akan semakin tinggi (Purwowidodo, 1991).

Bila kita perhatikan beberapa aspek persyaratan tumbuh yang sesuai untuk tanaman jati, maka terdapat daerah-daerah yang kemungkinan sesuai untuk pengembangan hutan jati di luar pulau Jawa. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah wilayah Timu Sumatera, Sulawesu Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali Timur, dan Nusa Tenggara.

F. Kesimpulan

1. Untuk mengatasi kendala budidaya jati, para ahli telah melakukan pendekatan-pendekatan yang tujuannya adalah untuk mendapatkan tanaman jati unggul dan dapat dipanen dengan umur yang relatif lebih pendek.

2. Adanya peningkatan eksport furniture berbahan baku kayu jati pada tiga tahun terakhir mengakibatkan semakin besarnya permintaan kayu jati.

(8)

G. Referensi

Asosiasi Meubel Indonesia. 2001. Pemasaran Kayu Jati pada Industri Meubel dan Kerajinan. Tidak Diterbitkan.

Leksono, B. 2001. Pentingnya Benih Unggul dalam Program Penanaman Jati dan Strategi Pencapaiannya. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Usaha Nasional. Surabaya.

Pamulardi, B. 1993. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Rajawali Press. Jakarta.

Purwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB Press. Bogor.

Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1.  Persebaran Hutan Tanaman Jati di Jawa yang Dikelola oleh PT. Perhutani

Referensi

Dokumen terkait

(1) Informan kunci, yaitu seseorang yang benar- benar memahami permasalahan yang diteliti. Adapun yang dimaksud informan kunci dalam penelitiaan ini adalah ketua Rumah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hambatan komunikasi dalam interaksi fotografer dan foto model dalam proses pembuatan karya foto, dapat

Berdasarkan surat perintah tersebut Kelurahan Pulau Karam Kecamatan Sukajadi melaksanakan tugas inventarisasi aset tanah milik pemerintah Kota Pekanbaru dengan

Hal ini juga sesuai dengan penelitian Moyen (2004) yang menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi kendala pendanaan akan menggunakan arus kas yang lebih besar untuk

HIBAH/ PHLN - Penguatan legislasi/kebijakan Program P2PML - Penerapan strategi pendekatan keluarga dalam kegiatan P2PML - Penguatan upaya dan penyediaan

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ulat sagu pada pakan buatan terhadap pertumbuhan dan

Strategi tindak tutur komisif langsung meliputi (a) berniat modus berita 2 tuturan, (b) berjanji modus berita 11 tuturan, (c) menawarkan modus berita 7 tuturan, dan

Tingkat efisiensi anggaran belanja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara dihitung dengan membandingkan total anggaran belanja langsung dan tidak langsung