EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN
KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
M A S R I P A TT U N N I S A N I M . 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 2
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
v
KEHAKIMAN. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 86 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan, wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi Yudisial serta hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pendekatan pada
aspek-aspek: norma-norma hukum, kerangka teori negara hukum, pemisahan kekuasaan, independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman serta efektifitas dari implementasi pengawasan hakim yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih terkendala beberapa faktor yaitu faktor pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung yang seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Faktor berikutnya adalah regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal. Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisal dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua, tidak adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga, tidak adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi.
Kata Kunci : Efektifitas, Pengawasan, Komisi Yudisial, Hakim, Kekuasaan Kehakiman.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa
tercurahkan kepada umat muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima
kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu
Hukum dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Nur Habibi, S.H.I.,M.H., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang selalu
vii
5. Ayahanda tercinta H.Hasan Ma’ruf (Alm) dan Ibunda tersayang Hj. Masto’ah,
sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini,
“allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”.
Nenekku tersayang Emak Jonah dan Anakku tercinta M.Taufiq Sahniyar Nur
Yaasin, Saudara-saudariku Teh Lilis Hasanah,S.Pd., Laelatunnisa,S.Pd.,
Wardatunnisa,S.Pd.I., Mia Fitriatunnisa, dan keponakan Egi, Reza, Rafi,
Septi,Nazwa, Naiyla, Walid keberadaan kalian selalu memberikan support.
6. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus rekan kerjaku di MTs Sirojul Falah, MTs
Asnawiyah, dan MA Sirojul Falah dan teman-teman Double Degree angkatan
Kedua; M.Ishar Helmi, M. Andriansyah, Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, dan
Ahmad Farhan Subhi. Thank for all. Kalian selalu setia menemani dari awal
masuk hingga saat ini dan telah memberikan canda dan tawa serta suka duka
dalam berbagi ilmu yang penulis sama sekali belum tahu.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan
penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, April 2014
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Studi Review ... 9
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB IIPengawasan Dalam Perspektif Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman A. Pengertian Pengawasan ... 17
B. UrgensiPengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman ... 23
ix
BAB III Hubungan dan KerjaSama Komisi Yudisial Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim
A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi PengawasanKomisi Yudisial
dalam Mengawasi Hakim ... 41
B. Hubungan Kerjasama Komisi Yudisial dengan Kekuasaan
Kehakiman dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim ... 47
C.Teori Efektifitas Hukum ... 52
BAB IV Analisis Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam MengawasiHakim dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman
A.Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisialdalam Mengawasi
Hakim danPengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman ... 58
B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim danPengaruhnya terhadap
Kekuasaan Kehakiman ... 59
BAB V Penutup
A.Kesimpulan ... 81
B.Saran-saran ... 82
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Saat ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju
mengembangkan lembaga komisi judisial (judicial commision).1 Latar belakang
pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari
salah satu atau lebih dari lima hal berikut ini:2
Pertama, lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan
kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; Kedua, tidak
adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dari Kekuasaan
Kehakiman (judicial power); Ketiga, kekuasaan kehakiman dianggap tidak
mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya
apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum;
Keempat, tidak adanya konsistensi lembaga peradilan, karena setiap putusan
kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga
1
Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum, yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena itu, setiap komisi yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks negaranya. Hingga saat ini setidaknya sudah ada 43 negara (termasuk Indonesia) yang mengatur komisi yudisial dalam konstitusinya dengan sebutan yang beragam. Lihat A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), h, 106.
2Ni’matul Huda,
khusus; dan Kelima pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah
lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial
corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan
dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak
boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan
publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya
praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga
pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.3
Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrol
pun dirasa masih lemah. Ada faktor-faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan
terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan
rakyat itu sendiri. Di tengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang
seolah-olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa
kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat
ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap
3
3
norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia
untuk patuh terhadap hukum.4
Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga
mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem
kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau
sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir
sebagai konsekwensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan
untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur
kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub-sistem kekuasaan
kehakiman.5
Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak
efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan.
Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses
pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi
masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses
serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de
corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan
perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan
4
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h, 56.
5
mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi
yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga
penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.6
Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang mempunyai kewenangan
dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Sebenarnya selama ini,
terdapat pengawasan yang dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung.
Namun demikian, pada prakteknya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung
ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 7
1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
2. Dugaan semangat membela korps
3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode
pengawasan yang ada secara efektif
4. Kelemahan sumber daya manusia
5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini kurang melibatkan partisipasi
masyarakat.
6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku
hakim yang menyimpang.
Dalam menjalankan perannya, Komisi Yudisial memanggul dua
kewenangan konstitutional yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar
6
Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal 2 Maret 2005, h, 5.
7
5
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”.
Perkembangan berikutnya, wewenang pengawasan Komisi Yudisial
relatif mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial. Melalui Undang-undang tersebut, terkait fungsi pengawasan hakim,
Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk melakukan pemanggilan paksa
terhadap saksi (Pasal 22A ayat (2). Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat meminta
bantuan instansi penegak hukum untuk melakukan penyadapan (Pasal 20 ayat (3).
Undang-Undang tersebut juga mengamanahkan bahwa rekomendasi sangsi yang
diberikan Komisi Yudisial bersifat mengikat.
Kebutuhan adanya pengawasan terhadap lembaga peradilan termasuk
pengawasan terhadap perilaku hakim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Tidak
hanya monopoli badan pengawas internal peradilan atau oleh Komisi Yudisial saja
sebagai pemegang amanah dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Meskipun
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sepakat dalam pembentukan
jejaring dan kerjasama.
Namun, pada kenyataannya jejaring dan kerjasama tersebut masih
dirasakan belum efektif dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan
pada masyarakat pencari keadilan yang selama ini membutuhkan keadilan yang
sebenar-benarnya keadilan, khususnya pada masyarakat awam yang belum
memahami hukum dengan baik serta media online juga belumlah cukup
memfasilitasi sebagai salah satu alat dan cara untuk mensosialisasikan fungsi
pengawasan tersebut, karena pengaruh dari sosialisasi, kerjasama, dan jejaring
penghubung yang terbentuk itu akan berdampak pada hakim itu sendiri khususnya
pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Maka
dari sinilah perlu adanya pengkajian kembali mengenai efektifitas pelaksanaan
fungsi pengawasan terhadap hakim yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial
pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul:
“EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN “.
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dan untuk
mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya
pada bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
7
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 13
sampai dengan 22 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 secara teori sudah jelas bahwa
dalam fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah
Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi mempunyai
tugas dan wewenang yang sama dalam hal pengawasan.
Namun, realita dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim
tersebut masih terdapatnya benturan kewenangan antara dua lembaga yang
sama-sama memiliki kewenangan dalam hal pengawasan para hakim, yang
seharusnya kedua lembaga tersebut harus bekerja sama dalam menegakkan
keadilan dan hukum di ranah pengadilan yang masih dianggap buram karena
perilaku para hakim yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai hakim dengan
baik.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan. wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi
Yudisial ?
2. Bagaimana mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan Hakim dengan Kekuasaan
3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman?
C.Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
bertujuan :
1. Untuk mengetahui kedudukan, wewenang dan urgensi pengawasan Komisi
Yudisial.
2. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan
kehakiman
3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini dalam mengkaji efektivitas
pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim
pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman diharapkan dapat bermanfaat.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga kekuasaan
kehakiman dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan
9
dalam bidangnya, khususnya para hakim itu sendiri agar bisa menegakkan
keadilan dan hukum sebagaimana mestinya.
2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan
dibahas pada permasalahan tersebut.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
E.Studi Review
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah pada hasil
penelitian sebelumnya yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan
yang akan diangkat oleh penulis, yaitu :
11
TERHADAP HAKIM.
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulisan Hukum
(skripsi). 2007.
hakim.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka Penulis menggunakan metode:
a. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
adalah:
1. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8
2. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan
yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
8
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
antara lain :
1. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal
yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan
pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini
khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.9
2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk
mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi
secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila
menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.10
Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal
atau hierarki perundang-undangan yang ada.11
Secara Horizontal : pendekatan dengan meninjau peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya sama atau sederajat.
9
Ibid, h. 295
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali Press, 1985),h.85.
11
13
b. Sumber Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber
data, yaitu :
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki
perundang-undangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer tersebut
yaitu UU Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 dan UU Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 39 sampai dengan
Pasal 44.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.12 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang
ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal
hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku
12
hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data
digital.
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan dalam
penelitian ini berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut
diinterventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah,dan sebagainya.13
d. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang
berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
13
15
bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain :
1. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang Komisi
Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman yang berisi kaidah-kaidah hukum.
2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu.
e. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :
Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review,
Kedua dalam bab ini membahas tentang pengawasan dalam perspektif
Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman meliputi pengertian pengawasan,
urgensi, kedudukan dan dan wewenang Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan hakim menurut perundang-undangan.
Ketiga dalam bab ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan
pengawasan komisi yudisial, hubungan kerjasama Komisi Yudisial dalam
pelaksanaan fungsi Pengawasan hakim dengan Kekuasaan Kehakiman
Keempat dalam bab ini mengenai analisis efektifitas pelaksanaan fungsi
pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap
kekuasaan kehakiman.
Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini
penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan
sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian
terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan
17
BAB II
PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF KOMISI YUDISIAL DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
A.Pengertian Pengawasan
Kata pengawasan berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.1
Istilah
pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai
salah satu kegiatan pengelolaan.2
Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam
bahasa Inggris disebut controlling.3 Dalam Bahasa Indonesia, menurut Sujamto
fungsi controlling itu mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan
pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas
atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian
itu pengertiannya lebih “forceful” dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, TP, 2008), h, 123.
p
2 Ni’matul Huda,
Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6 (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 101
3
usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas
atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya.4
Mengenai pengertian pengawasan, George R Terry menyatakan sebagai
berikut : “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply
corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.”5
Menarik dari pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa fungsi pengawasan
dalam perspektif hukum itu berbeda dengan pengawasan dalam perspektif
administrasi atau manajemen. Dalam perspektif administrasi atau manajemen,
pengawasan pelaksanaan tugas dan pekerjaan dalam suatu organisasi tertentu itu
telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan apakah tujuan yang
dicanangkan itu tercapai atau tidak. Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan
itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah
dilakukan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang
berlaku.
Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu
unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapa pun
4
Ibid, h, 53.
5
19
pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain
untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan,
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.6
Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian diambil
langkah perbaikan.7
Agar fungsi pengawasan mendatangkan hasil yang diharapkan, pimpinan
organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan dan yang lebih
penting lagi, berusaha untuk memenuhi sebanyak mungkin ciri-ciri dalam
pelaksananya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:8
1. Pengawasan harus bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi
pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas
dijalankan dalam organisasi.
2. Pengawasan harus bersifat preventif yang berarti bahwa pengawasan itu
dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan
penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang ditentukan.
6
Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, TT), h, 207.
7
Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h, 103.
8
3. Pengawasan diarahkan pada masa sekarang, yang berarti pengawasan hanya
dapat ditunjukkan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan.
4. Pengawasan merupakan alat untuk meningkatkan efesiensi. Pengawasan tidak
boleh dipandang sebagai tujuan akhir.
5. Pengawasan hanyalah sekedar alat administrasi dan manajemen, maka
pelaksanaan pengawasan harus memperhatikan tercapainya tujuan.
6. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah tetapi
untuk menemukan apa yang betul dan yang akan diperbaiki.
7. Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan
kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.
Berbicara tentang pelaksanaan pengawasan itu pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan
fungsional. Jalur yang pertama yakni melalui pengawasan melekat. Pengawasan
melekat merupakan kombinasi dari pengawasan atasan langsung dan sistem
pengendalian manajemen.
Pengawasan melekat hakekatnya merupakan suatu kewajiban. Oleh
karenanya memiliki sifat yang mutlak, yang berarti harus dilakukan. Meskipun
seorang pemimpin atau manajer telah dibantu oleh suatu aparat yang khusus
melaksanakan pengawasan, akan tetapi pimpinan tersebut pelaksanaan tugas anak
buahnya. Pengawasan melekat ini sangat efektif untuk mengendalikan aparat
21
Efektifitas ini sehubungan dengan adanya 3 sifat yang dimiliki pengawasan
melekat ini, yakni bersifat tepat, cepat, dan murah.
Jalur kedua pengawasan yakni melalui pengawasan fungsional.
Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat
pengawasan yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi
pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan
fungsional tersebut dilakukan lembaga/badan/ unit yang mempunyai tugas dan
fungsi melakukan pengawasan melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk
menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun jenis-jenis pengawasan menurut Fachrudin dalam buku W.
Riawan Tjandra9 mengklasifikasikan pengawasan sebagai berikut:
1. Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan melaksanakan
kontrol dapat diklasifikasikan:
a. Kontrol intern (internal control). Pengawasan yang dilakukan oleh suatu
badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam
lingkungan pemerintah.
b. Kontrol ekstern. Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang
secara struktur organisasi berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif.
2. Pengawasan menurut sifatnya dapat dibedakan sebagai berikut:
9
a. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang sifatnya dalam rangka
mencegah penyimpangan.
b. Pengawasan represif merupakan kelanjutan dari mata rantai pengawasan
preventif yang sifatnya mengoreksi atau memulihkan tindakan-tindakan
yang keliru.
3. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. Kontrol a-priori. Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan
atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau
peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori
mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah dan
menghindarkan terjadinya kekeliruan.
b. Kontrol a-posteriori. Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya
suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan
pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang
bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.
4. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi dapat diklasifikasikan atas:
a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas). Pengawasan dimaksudkan untuk
menilai segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid). Kontrol peradilan atau
judicial control secara umum masih dipandang sebagai pengawasan segi
hukum (legalitas) walaupun terlihat adanya perkembangan baru yang
23
b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (opportunity). Pengawasan yang
dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya (doelmatigheid). Kontrol
internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum
(rechtmetigheid) dan sekaligus segi kemanfaatannya (opportunity).
5. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dengan mengutip pendapat
Hertogh dapat dibedakan atas:
a. Pengawasan unilateral (unilateral control). Pengawasan yang
penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas.
b. Pengawasan refleksif (reflexive control). Pengawasan yang penyelesaiannya
dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara
pengawas dan yang diawasi.
B.Urgensi Pengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan
dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan
dengan yurisdiksi voluntair.10
Peradilan harus bersifat independen serta impartial (tidak memihak).11
Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh
putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang
mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan peradilan
yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi
para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan
penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak
punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas
juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan
kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan
terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak
boleh mempengaruhi dan terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum
yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah
satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, pasal-pasal
yang mengatur tentang kekuasaan mengalami perubahan yang cukup signifikan
10
RE. Baringbang, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), h, 31.
11
25
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan
penting dalam UUD 1945 Pasca Amandemen;12
1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam pasal-pasal
UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.
2. Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi
satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang
berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak kalah penting untuk
diperkuat pada masa yang akan datang adalah terwujudnya keterbukaan di
pengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh
pengadilan.
3. Berkaitan dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad
lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in
every shape hape full swing. Only in proportion as publicity has place can any
of the check applicable to judicial in justice operate. Where there is no publicity
there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is keenest spur to
exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself
while trying under trial”.13 Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “ Dalam
12
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007, h, 11.
13
gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada dipuncak
kekuatannya, hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk
ketidakadilan dilembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada
keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan.
Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari
ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili
(perkara).
4. Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan
kehakiman yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
5. Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap
hakim haruslah menjadi kewenangan Komisi Yudisial, karena sangatlah keliru
kalau dikatakan secara universal Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim
agung. Seiring dengan keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas
eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim
harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan
akuntabilitasnya terhadap publik seraya membangun sinergi dengan
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.14
6. Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan Judicial Review Undang-Undang terhadap UUD 1945, memutus
14
27
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu.
Jadi, landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20,21,24, 24A, 24B, 24C
dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman,
sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal
justice system. Sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem
penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh.
Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam
perkara pidana.
Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu
memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting
konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa;
“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary
manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI
Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan
eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu
dengan dibentuknya Komisi Yudisial.15
Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus
diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama
aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural
maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman
agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak
sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat
bertindak “contra legem”. Selanjutnya harus disadari bahwa kebebasan dan
independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas,
dimana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.
tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat
dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan
pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).16
Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun
aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap
dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan
15
Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden Secara Langsung, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h, 24.
16
Paulus E.Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “ Penegakan Hukum
29
demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian
kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh
rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan
pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih
harus dilengkapi lagi dengan sikap inparsialitas dan profesionalisme dalam
bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum
harus dikaitkan dengan akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi,
pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.17
C.Kedudukan Komisi Yudisial dalam Pengawasan
Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang
dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung
sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial
juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan refresif sebagai wewenang dan
tugas konstitusional yang muncul dari frasa”... mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B.
Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based
power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim selain
17
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung harus menerima kenyataan
pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat
konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung
hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.18
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala
ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus
dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid).19 Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus
bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu
merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial,
sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku
etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi
mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan
tersebut, saat ini tidak lagi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bawah
konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya,
18
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.
19
31
saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal
hakim.
Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih
menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain
untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing
partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan
terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan
pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu
diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal
oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan
bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini
berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan
pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior
Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.20
Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah
preventif-refresif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara
nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial
20
Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur
dalam konstitusi kita.
Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah
konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi
dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang
dapat menterjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, beberapa pihak menginginkan agar
Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan
sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat
pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang
memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal
adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini
dimiliki oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan semacam Prancis,
Italia, Spanyol, dan Portugal.21
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga
negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim
dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat
21
33
sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule of law itu justru
merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem demokrasi
yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak
mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan
kehormatan, kewibawaan, dan keterpercayaannya.22
Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara
struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, meskipun secara
struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi , tetapi secara fungsional, peranannya bersifat menunjang (auxiliary)
terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga
penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik
(code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau
lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.23
Keberadaannya pun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim
sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di
dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkugan Mahkamah Agung. Artinya,
sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih
22
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h, 158.
23
menjamin efektivitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka
fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat
sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan
pengawasnya.
Oleh karena itu, meskipun secara struktural kedudukannya memang
sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun karena
sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan
protokolernya tidak perlu difahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR,MPR, DPD,dan
BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sendiri bukanlah lembaga negara yang
menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung.
Komisi Yudisial bukan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif.
Komisi Yudisial ini hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary).24
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi
Yudisial juga bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat.
Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih
tegasnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat
24
35
politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif,
pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan
mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman.
D.Wewenang Pengawasan Hakim dalam Perspektif Perundang-undangan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Mahkamah Agung, ketentuannya diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri
atas lima ayat. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan
peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal
Undang-Undang (the guardian of Indonesian law).
Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945,
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “ Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Dengan perkataan lain,
oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas diamanati dengan dua
kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii)
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang. Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan
tambahan yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk
Undang-Undang untuk menentukannya sendiri.
Artinya, kewenangan tambahan ini tidak termasuk kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, melainkan diadakan
atau ditiadakan oleh Undang-Undang.25
Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang (a)
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; (b) menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya
ditentukan oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi
Yudisial mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pendaftaran calon Hakim Agung.
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
c. Menetapkan calon Hakim Agung, dan
25
37
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial itu menyatakan, “
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Huruf b
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku
hakim”. Selanjutnya, Pasal 21 menyatakan, “ untuk kepentingan pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial
bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan /atau Mahkamah Konstitusi”.
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, Komisi Yudisial :
a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim.
c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode
etik perilaku hakim, dan
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta
tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Oleh karena itu untuk menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol
Dalam pasal Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung”.
Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan internal atas tingkah
laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk
pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya
oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara
internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun
tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan
moral ataukah penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu
dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai
bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol
dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi
Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan
sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang baik.
Tugas utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan
kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu obyektif dalam
memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam
39
lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat
mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial
hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan
tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.
Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada Pasal 40
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan
menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin
dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode
etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode
etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat
laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam
hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.
Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang
baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan
menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika
masuk rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak
diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak
ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan
bersama.
Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun
beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing,
akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan
merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan Rancangan
Undang Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan Rancangan
Undang-Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.26
26
Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada tanggal 15 Januari 2014 dari
41
BAB III
HUBUNGAN DAN KERJASAMA KOMISI YUDISIAL DALAM PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM DENGAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim
Pengawasan perilaku hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sebagaiman diamanahkan oleh konstitusi
yang tertuang dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Ketentuan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu
pasal 13 huruf (b), pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal
tersebut diatur mengenai fungsi kontrol ekstern dalam menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan menjaga perilaku hakim.1
Adanya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial merupakan fungsi
penting dalam menunjang independensi peradilan dengan menguatkan kinerja
pengawasan fungsional intern yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 21 Undang-Undang Komisi Yudisial secara
terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan
1
peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi . untuk
kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
huruf (b), Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.2
Mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam melaksanakan kontrol
ekstern diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial yaitu sebagai berikut:
1. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang
dugaan pelanggaran Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
2. Komisi Yudisial meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan
dan/atau Hakim.
3. Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim.
4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim.
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Dalam hal pengawasan perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai
berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
2
43
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam UU
Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan
memberikan rekomendasi. Apalagi setelah permohonan sebanyak 31 orang hakim
agung untuk menghapuskan beberapa pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.3
Beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan
pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Revisi4 ini:
1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim5
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim
b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim.
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim.
e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang dan atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluruhan martabat hakim.
3
Ibid. h. 106-107.
4
Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
5
Perbandingan dengan ketentuan yang lain, bahwa dalam revisi
Undang-Undang Komisi Yudisial sudah dijabarkan dalam beberapa turunan
kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat
dimaknai sebagai jawaban atas ketidakpastian hukum yang dijadikan
Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk menganulir beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang sebelumnya.
2. Penyadapan6
Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang bersifat
refresif7 dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan
kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi
pengawasannya. Revisi Undang-Undang ini, Komisi Yudisial tidak memiliki
kewenangan menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian
dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tersebut karena mengingat Komisi
Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum dalam kapasitas yang pro-justicia.8
6
Lihat pasal 20 ayat 1 huruf (d) sampai dengan huruf (e) dan ayat 3 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
7
Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran dan martabat hakim.
8