• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim Dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim Dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN

KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

M A S R I P A TT U N N I S A N I M . 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 2

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

KEHAKIMAN. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 86 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan, wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi Yudisial serta hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library

research yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pendekatan pada

aspek-aspek: norma-norma hukum, kerangka teori negara hukum, pemisahan kekuasaan, independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman serta efektifitas dari implementasi pengawasan hakim yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih terkendala beberapa faktor yaitu faktor pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung yang seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Faktor berikutnya adalah regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal. Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisal dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua, tidak adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga, tidak adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi.

Kata Kunci : Efektifitas, Pengawasan, Komisi Yudisial, Hakim, Kekuasaan Kehakiman.

(7)

vi

KATA PENGANTAR









Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah

memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis

haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa

tercurahkan kepada umat muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar

Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis

memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima

kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu

Hukum dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Nur Habibi, S.H.I.,M.H., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang selalu

(8)

vii

5. Ayahanda tercinta H.Hasan Ma’ruf (Alm) dan Ibunda tersayang Hj. Masto’ah,

sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini,

allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”.

Nenekku tersayang Emak Jonah dan Anakku tercinta M.Taufiq Sahniyar Nur

Yaasin, Saudara-saudariku Teh Lilis Hasanah,S.Pd., Laelatunnisa,S.Pd.,

Wardatunnisa,S.Pd.I., Mia Fitriatunnisa, dan keponakan Egi, Reza, Rafi,

Septi,Nazwa, Naiyla, Walid keberadaan kalian selalu memberikan support.

6. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus rekan kerjaku di MTs Sirojul Falah, MTs

Asnawiyah, dan MA Sirojul Falah dan teman-teman Double Degree angkatan

Kedua; M.Ishar Helmi, M. Andriansyah, Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, dan

Ahmad Farhan Subhi. Thank for all. Kalian selalu setia menemani dari awal

masuk hingga saat ini dan telah memberikan canda dan tawa serta suka duka

dalam berbagi ilmu yang penulis sama sekali belum tahu.

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan

penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, April 2014

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Studi Review ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB IIPengawasan Dalam Perspektif Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman A. Pengertian Pengawasan ... 17

B. UrgensiPengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman ... 23

(10)

ix

BAB III Hubungan dan KerjaSama Komisi Yudisial Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim

A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi PengawasanKomisi Yudisial

dalam Mengawasi Hakim ... 41

B. Hubungan Kerjasama Komisi Yudisial dengan Kekuasaan

Kehakiman dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim ... 47

C.Teori Efektifitas Hukum ... 52

BAB IV Analisis Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam MengawasiHakim dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman

A.Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisialdalam Mengawasi

Hakim danPengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman ... 58

B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam

Mengawasi Hakim danPengaruhnya terhadap

Kekuasaan Kehakiman ... 59

BAB V Penutup

A.Kesimpulan ... 81

B.Saran-saran ... 82

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Saat ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju

mengembangkan lembaga komisi judisial (judicial commision).1 Latar belakang

pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari

salah satu atau lebih dari lima hal berikut ini:2

Pertama, lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan

kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; Kedua, tidak

adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah

(executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dari Kekuasaan

Kehakiman (judicial power); Ketiga, kekuasaan kehakiman dianggap tidak

mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya

apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum;

Keempat, tidak adanya konsistensi lembaga peradilan, karena setiap putusan

kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga

1

Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum, yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena itu, setiap komisi yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks negaranya. Hingga saat ini setidaknya sudah ada 43 negara (termasuk Indonesia) yang mengatur komisi yudisial dalam konstitusinya dengan sebutan yang beragam. Lihat A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), h, 106.

2Ni’matul Huda,

(12)

khusus; dan Kelima pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan

masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah

lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial

corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan

dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak

boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan

publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya

praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga

pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.3

Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrol

pun dirasa masih lemah. Ada faktor-faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan

terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan

rakyat itu sendiri. Di tengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang

seolah-olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa

kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib

menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat

ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap

3

(13)

3

norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia

untuk patuh terhadap hukum.4

Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga

mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem

kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau

sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir

sebagai konsekwensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan

untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur

kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub-sistem kekuasaan

kehakiman.5

Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak

efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan.

Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,

antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses

pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi

masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses

serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de

corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan

perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan

4

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h, 56.

5

(14)

mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi

yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga

penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.6

Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang mempunyai kewenangan

dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Sebenarnya selama ini,

terdapat pengawasan yang dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung.

Namun demikian, pada prakteknya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung

ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 7

1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas

2. Dugaan semangat membela korps

3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode

pengawasan yang ada secara efektif

4. Kelemahan sumber daya manusia

5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini kurang melibatkan partisipasi

masyarakat.

6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku

hakim yang menyimpang.

Dalam menjalankan perannya, Komisi Yudisial memanggul dua

kewenangan konstitutional yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar

6

Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal 2 Maret 2005, h, 5.

7

(15)

5

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri

yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku hakim”.

Perkembangan berikutnya, wewenang pengawasan Komisi Yudisial

relatif mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi

Yudisial. Melalui Undang-undang tersebut, terkait fungsi pengawasan hakim,

Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk melakukan pemanggilan paksa

terhadap saksi (Pasal 22A ayat (2). Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat meminta

bantuan instansi penegak hukum untuk melakukan penyadapan (Pasal 20 ayat (3).

Undang-Undang tersebut juga mengamanahkan bahwa rekomendasi sangsi yang

diberikan Komisi Yudisial bersifat mengikat.

Kebutuhan adanya pengawasan terhadap lembaga peradilan termasuk

pengawasan terhadap perilaku hakim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Tidak

hanya monopoli badan pengawas internal peradilan atau oleh Komisi Yudisial saja

sebagai pemegang amanah dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Meskipun

antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sepakat dalam pembentukan

jejaring dan kerjasama.

Namun, pada kenyataannya jejaring dan kerjasama tersebut masih

dirasakan belum efektif dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan

(16)

pada masyarakat pencari keadilan yang selama ini membutuhkan keadilan yang

sebenar-benarnya keadilan, khususnya pada masyarakat awam yang belum

memahami hukum dengan baik serta media online juga belumlah cukup

memfasilitasi sebagai salah satu alat dan cara untuk mensosialisasikan fungsi

pengawasan tersebut, karena pengaruh dari sosialisasi, kerjasama, dan jejaring

penghubung yang terbentuk itu akan berdampak pada hakim itu sendiri khususnya

pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Maka

dari sinilah perlu adanya pengkajian kembali mengenai efektifitas pelaksanaan

fungsi pengawasan terhadap hakim yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial

pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji

permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul:

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN “.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dan untuk

mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya

pada bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial

(17)

7

2. Perumusan Masalah

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial

perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 13

sampai dengan 22 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 secara teori sudah jelas bahwa

dalam fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah

Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi mempunyai

tugas dan wewenang yang sama dalam hal pengawasan.

Namun, realita dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim

tersebut masih terdapatnya benturan kewenangan antara dua lembaga yang

sama-sama memiliki kewenangan dalam hal pengawasan para hakim, yang

seharusnya kedua lembaga tersebut harus bekerja sama dalam menegakkan

keadilan dan hukum di ranah pengadilan yang masih dianggap buram karena

perilaku para hakim yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai hakim dengan

baik.

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan. wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi

Yudisial ?

2. Bagaimana mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi

Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan Hakim dengan Kekuasaan

(18)

3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial

dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman?

C.Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini

bertujuan :

1. Untuk mengetahui kedudukan, wewenang dan urgensi pengawasan Komisi

Yudisial.

2. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi

Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan

kehakiman

3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial

dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini dalam mengkaji efektivitas

pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim

pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman diharapkan dapat bermanfaat.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga kekuasaan

kehakiman dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan

(19)

9

dalam bidangnya, khususnya para hakim itu sendiri agar bisa menegakkan

keadilan dan hukum sebagaimana mestinya.

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah

wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan

dibahas pada permasalahan tersebut.

3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian

selanjutnya.

E.Studi Review

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah pada hasil

penelitian sebelumnya yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan

yang akan diangkat oleh penulis, yaitu :

(20)
(21)

11

TERHADAP HAKIM.

Fakultas Hukum

Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Penulisan Hukum

(skripsi). 2007.

hakim.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi

ini, maka Penulis menggunakan metode:

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini,

adalah:

1. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8

2. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan

yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

8

(22)

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini

antara lain :

1. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal

yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan

pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini

khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.9

2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk

mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi

secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila

menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.10

Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak

saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal

atau hierarki perundang-undangan yang ada.11

Secara Horizontal : pendekatan dengan meninjau peraturan

perundang-undangan yang kedudukannya sama atau sederajat.

9

Ibid, h. 295

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali Press, 1985),h.85.

11

(23)

13

b. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber

data, yaitu :

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan

undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki

perundang-undangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer tersebut

yaitu UU Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004

Tentang Komisi Yudisial Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 dan UU Nomor

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 39 sampai dengan

Pasal 44.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.12 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang

ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal

hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik

penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku

12

(24)

hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data

digital.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan dalam

penelitian ini berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut

diinterventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang

dibahas.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode

dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah,dan sebagainya.13

d. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang

berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah

dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam

rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum

hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap

13

(25)

15

bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain :

1. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang Komisi

Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman yang berisi kaidah-kaidah hukum.

2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga

menghasilkan klasifikasi tertentu.

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan

suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review,

(26)

Kedua dalam bab ini membahas tentang pengawasan dalam perspektif

Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman meliputi pengertian pengawasan,

urgensi, kedudukan dan dan wewenang Komisi Yudisial dalam melakukan

pengawasan hakim menurut perundang-undangan.

Ketiga dalam bab ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan

pengawasan komisi yudisial, hubungan kerjasama Komisi Yudisial dalam

pelaksanaan fungsi Pengawasan hakim dengan Kekuasaan Kehakiman

Keempat dalam bab ini mengenai analisis efektifitas pelaksanaan fungsi

pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap

kekuasaan kehakiman.

Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini

penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan

sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian

terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan

(27)

17

BAB II

PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF KOMISI YUDISIAL DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

A.Pengertian Pengawasan

Kata pengawasan berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.1

Istilah

pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai

salah satu kegiatan pengelolaan.2

Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam

bahasa Inggris disebut controlling.3 Dalam Bahasa Indonesia, menurut Sujamto

fungsi controlling itu mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan

pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk

mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas

atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian

itu pengertiannya lebih “forceful” dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, TP, 2008), h, 123.

p

2 Ni’matul Huda,

Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6 (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 101

3

(28)

usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas

atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya.4

Mengenai pengertian pengawasan, George R Terry menyatakan sebagai

berikut : “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply

corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.”5

Menarik dari pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa fungsi pengawasan

dalam perspektif hukum itu berbeda dengan pengawasan dalam perspektif

administrasi atau manajemen. Dalam perspektif administrasi atau manajemen,

pengawasan pelaksanaan tugas dan pekerjaan dalam suatu organisasi tertentu itu

telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan apakah tujuan yang

dicanangkan itu tercapai atau tidak. Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan

itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah

dilakukan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian

tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang

berlaku.

Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu

unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapa pun

4

Ibid, h, 53.

5

(29)

19

pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain

untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan,

kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.6

Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai

dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui

kesulitan-kesulitan apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian diambil

langkah perbaikan.7

Agar fungsi pengawasan mendatangkan hasil yang diharapkan, pimpinan

organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan dan yang lebih

penting lagi, berusaha untuk memenuhi sebanyak mungkin ciri-ciri dalam

pelaksananya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:8

1. Pengawasan harus bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi

pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas

dijalankan dalam organisasi.

2. Pengawasan harus bersifat preventif yang berarti bahwa pengawasan itu

dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan

penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang ditentukan.

6

Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, TT), h, 207.

7

Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h, 103.

8

(30)

3. Pengawasan diarahkan pada masa sekarang, yang berarti pengawasan hanya

dapat ditunjukkan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan.

4. Pengawasan merupakan alat untuk meningkatkan efesiensi. Pengawasan tidak

boleh dipandang sebagai tujuan akhir.

5. Pengawasan hanyalah sekedar alat administrasi dan manajemen, maka

pelaksanaan pengawasan harus memperhatikan tercapainya tujuan.

6. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah tetapi

untuk menemukan apa yang betul dan yang akan diperbaiki.

7. Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan

kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.

Berbicara tentang pelaksanaan pengawasan itu pada dasarnya dapat

dilakukan melalui dua jalur, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan

fungsional. Jalur yang pertama yakni melalui pengawasan melekat. Pengawasan

melekat merupakan kombinasi dari pengawasan atasan langsung dan sistem

pengendalian manajemen.

Pengawasan melekat hakekatnya merupakan suatu kewajiban. Oleh

karenanya memiliki sifat yang mutlak, yang berarti harus dilakukan. Meskipun

seorang pemimpin atau manajer telah dibantu oleh suatu aparat yang khusus

melaksanakan pengawasan, akan tetapi pimpinan tersebut pelaksanaan tugas anak

buahnya. Pengawasan melekat ini sangat efektif untuk mengendalikan aparat

(31)

21

Efektifitas ini sehubungan dengan adanya 3 sifat yang dimiliki pengawasan

melekat ini, yakni bersifat tepat, cepat, dan murah.

Jalur kedua pengawasan yakni melalui pengawasan fungsional.

Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat

pengawasan yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi

pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan

fungsional tersebut dilakukan lembaga/badan/ unit yang mempunyai tugas dan

fungsi melakukan pengawasan melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk

menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun jenis-jenis pengawasan menurut Fachrudin dalam buku W.

Riawan Tjandra9 mengklasifikasikan pengawasan sebagai berikut:

1. Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan melaksanakan

kontrol dapat diklasifikasikan:

a. Kontrol intern (internal control). Pengawasan yang dilakukan oleh suatu

badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam

lingkungan pemerintah.

b. Kontrol ekstern. Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang

secara struktur organisasi berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif.

2. Pengawasan menurut sifatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

9

(32)

a. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang sifatnya dalam rangka

mencegah penyimpangan.

b. Pengawasan represif merupakan kelanjutan dari mata rantai pengawasan

preventif yang sifatnya mengoreksi atau memulihkan tindakan-tindakan

yang keliru.

3. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan meliputi hal-hal

sebagai berikut:

a. Kontrol a-priori. Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan

atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau

peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori

mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah dan

menghindarkan terjadinya kekeliruan.

b. Kontrol a-posteriori. Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya

suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan

pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang

bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.

4. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi dapat diklasifikasikan atas:

a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas). Pengawasan dimaksudkan untuk

menilai segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid). Kontrol peradilan atau

judicial control secara umum masih dipandang sebagai pengawasan segi

hukum (legalitas) walaupun terlihat adanya perkembangan baru yang

(33)

23

b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (opportunity). Pengawasan yang

dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya (doelmatigheid). Kontrol

internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum

(rechtmetigheid) dan sekaligus segi kemanfaatannya (opportunity).

5. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dengan mengutip pendapat

Hertogh dapat dibedakan atas:

a. Pengawasan unilateral (unilateral control). Pengawasan yang

penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas.

b. Pengawasan refleksif (reflexive control). Pengawasan yang penyelesaiannya

dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara

pengawas dan yang diawasi.

B.Urgensi Pengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan

dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima,

memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

(34)

mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan

dengan yurisdiksi voluntair.10

Peradilan harus bersifat independen serta impartial (tidak memihak).11

Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh

putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang

mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan peradilan

yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi

para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan

penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak

punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas

juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan

kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan

terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak

boleh mempengaruhi dan terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum

yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.

Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah

satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, pasal-pasal

yang mengatur tentang kekuasaan mengalami perubahan yang cukup signifikan

10

RE. Baringbang, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), h, 31.

11

(35)

25

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan

penting dalam UUD 1945 Pasca Amandemen;12

1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam pasal-pasal

UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.

2. Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi

satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang

berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai

pelaku kekuasaan kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak kalah penting untuk

diperkuat pada masa yang akan datang adalah terwujudnya keterbukaan di

pengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh

pengadilan.

3. Berkaitan dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad

lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in

every shape hape full swing. Only in proportion as publicity has place can any

of the check applicable to judicial in justice operate. Where there is no publicity

there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is keenest spur to

exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself

while trying under trial”.13 Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “ Dalam

12

Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007, h, 11.

13

(36)

gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada dipuncak

kekuatannya, hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk

ketidakadilan dilembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada

keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan.

Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari

ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili

(perkara).

4. Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan

kehakiman yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan

hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

5. Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap

hakim haruslah menjadi kewenangan Komisi Yudisial, karena sangatlah keliru

kalau dikatakan secara universal Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim

agung. Seiring dengan keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas

eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim

harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan

akuntabilitasnya terhadap publik seraya membangun sinergi dengan

pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.14

6. Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk

melakukan Judicial Review Undang-Undang terhadap UUD 1945, memutus

14

(37)

27

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu.

Jadi, landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah

Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20,21,24, 24A, 24B, 24C

dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah

Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman,

sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal

justice system. Sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem

penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh.

Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah

Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam

perkara pidana.

Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu

memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting

konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa;

Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary

manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI

Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan

(38)

eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu

dengan dibentuknya Komisi Yudisial.15

Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus

diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama

aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural

maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman

agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak

sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat

bertindak “contra legem”. Selanjutnya harus disadari bahwa kebebasan dan

independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas,

dimana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.

tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat

dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan

pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).16

Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun

aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap

dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan

15

Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden Secara Langsung, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h, 24.

16

Paulus E.Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah

disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “ Penegakan Hukum

(39)

29

demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian

kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh

rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan

pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih

harus dilengkapi lagi dengan sikap inparsialitas dan profesionalisme dalam

bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum

harus dikaitkan dengan akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi,

pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.17

C.Kedudukan Komisi Yudisial dalam Pengawasan

Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang

dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung

sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan

pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial

juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan refresif sebagai wewenang dan

tugas konstitusional yang muncul dari frasa”... mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B.

Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based

power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim selain

17

(40)

berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung harus menerima kenyataan

pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat

konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung

hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20,

Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.18

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala

ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus

dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum

(rechtsonzekerheid).19 Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus

bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu

merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial,

sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku

etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi

mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan

tersebut, saat ini tidak lagi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bawah

konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya,

18

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

19

(41)

31

saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal

hakim.

Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih

menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain

untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing

partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan

terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan

pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan

kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu

diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal

oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan

bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini

berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan

pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior

Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.20

Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah

preventif-refresif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara

nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial

20

(42)

Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur

dalam konstitusi kita.

Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah

konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi

dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang

dapat menterjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, beberapa pihak menginginkan agar

Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan

sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat

pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang

memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal

adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini

dimiliki oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan semacam Prancis,

Italia, Spanyol, dan Portugal.21

Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga

negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim

dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat

21

(43)

33

sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule of law itu justru

merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem demokrasi

yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak

mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan

kehormatan, kewibawaan, dan keterpercayaannya.22

Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara

struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, meskipun secara

struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi , tetapi secara fungsional, peranannya bersifat menunjang (auxiliary)

terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga

penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik

(code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan,

keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau

lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.23

Keberadaannya pun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim

sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di

dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkugan Mahkamah Agung. Artinya,

sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih

22

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h, 158.

23

(44)

menjamin efektivitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka

fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat

sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan

pengawasnya.

Oleh karena itu, meskipun secara struktural kedudukannya memang

sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun karena

sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan

protokolernya tidak perlu difahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama

dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR,MPR, DPD,dan

BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sendiri bukanlah lembaga negara yang

menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung.

Komisi Yudisial bukan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif.

Komisi Yudisial ini hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran

martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang

menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary).24

Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi

Yudisial juga bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat.

Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih

tegasnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat

24

(45)

35

politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif,

pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan

mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman.

D.Wewenang Pengawasan Hakim dalam Perspektif Perundang-undangan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Agung, ketentuannya diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri

atas lima ayat. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan

peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal

Undang-Undang (the guardian of Indonesian law).

Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945,

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “ Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan

(46)

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Dengan perkataan lain,

oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas diamanati dengan dua

kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii)

menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang. Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan

tambahan yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk

Undang-Undang untuk menentukannya sendiri.

Artinya, kewenangan tambahan ini tidak termasuk kewenangan

konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, melainkan diadakan

atau ditiadakan oleh Undang-Undang.25

Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang (a)

mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; (b) menegakkan

kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya

ditentukan oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, dalam

melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi

Yudisial mempunyai tugas :

a. Melaksanakan pendaftaran calon Hakim Agung.

b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung

c. Menetapkan calon Hakim Agung, dan

25

(47)

37

d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Pasal 20 Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial itu menyatakan, “

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Huruf b

Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku

hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku

hakim”. Selanjutnya, Pasal 21 menyatakan, “ untuk kepentingan pelaksanaan

kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial

bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan

Mahkamah Agung dan /atau Mahkamah Konstitusi”.

Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20, Komisi Yudisial :

a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim

b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan

perilaku hakim.

c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim

d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode

etik perilaku hakim, dan

e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan

disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta

tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Oleh karena itu untuk menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol

(48)

Dalam pasal Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung”.

Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan internal atas tingkah

laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk

pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya

oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara

internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun

tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan

moral ataukah penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu

dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai

bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol

dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi

Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan

sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang baik.

Tugas utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan

kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu obyektif dalam

memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam

(49)

39

lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat

mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial

hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan

tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.

Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada Pasal 40

ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan

menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin

dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode

etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode

etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat

laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam

hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.

Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang

baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan

menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika

masuk rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak

diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak

ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan

bersama.

Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun

(50)

beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing,

akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan

merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan Rancangan

Undang Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan Rancangan

Undang-Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.26

26

Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada tanggal 15 Januari 2014 dari

(51)

41

BAB III

HUBUNGAN DAN KERJASAMA KOMISI YUDISIAL DALAM PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM DENGAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN

A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim

Pengawasan perilaku hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sebagaiman diamanahkan oleh konstitusi

yang tertuang dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945. Ketentuan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang

Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu

pasal 13 huruf (b), pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal

tersebut diatur mengenai fungsi kontrol ekstern dalam menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat dan menjaga perilaku hakim.1

Adanya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial merupakan fungsi

penting dalam menunjang independensi peradilan dengan menguatkan kinerja

pengawasan fungsional intern yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 21 Undang-Undang Komisi Yudisial secara

terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan

1

(52)

peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta

Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi . untuk

kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13

huruf (b), Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap

hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.2

Mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam melaksanakan kontrol

ekstern diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang

Komisi Yudisial yaitu sebagai berikut:

1. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang

dugaan pelanggaran Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

2. Komisi Yudisial meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan

dan/atau Hakim.

3. Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku

hakim.

4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga

melanggar kode etik perilaku hakim.

5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan

kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya

disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Dalam hal pengawasan perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai

berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan

2

(53)

43

kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam UU

Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan

memberikan rekomendasi. Apalagi setelah permohonan sebanyak 31 orang hakim

agung untuk menghapuskan beberapa pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.3

Beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan

pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Revisi4 ini:

1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim5

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik

dan/atau pedoman perilaku hakim.

c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan

pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.

d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau

pedoman perilaku hakim.

e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang

perseorangan, kelompok orang dan atau badan hukum yang merendahkan

kehormatan dan keluruhan martabat hakim.

3

Ibid. h. 106-107.

4

Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

5

(54)

Perbandingan dengan ketentuan yang lain, bahwa dalam revisi

Undang-Undang Komisi Yudisial sudah dijabarkan dalam beberapa turunan

kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat

dimaknai sebagai jawaban atas ketidakpastian hukum yang dijadikan

Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk menganulir beberapa ketentuan

dalam Undang-Undang sebelumnya.

2. Penyadapan6

Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang bersifat

refresif7 dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan

penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran

kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan

kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi

pengawasannya. Revisi Undang-Undang ini, Komisi Yudisial tidak memiliki

kewenangan menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya

dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian

dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tersebut karena mengingat Komisi

Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum dalam kapasitas yang pro-justicia.8

6

Lihat pasal 20 ayat 1 huruf (d) sampai dengan huruf (e) dan ayat 3 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.

7

Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran dan martabat hakim.

8

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari data penelitian yang telah dinteprestasikan dapat ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi natrium lauril sulfat antara 0,5%, 0,75%, dan 1% yang memberikan

Dini, Sofia, Rindu, Oki, Iwa, Rendi, Bagas, Raisa, Temmy, dan Sheila.. berjalan bersama Bu Rahma

Yaitu suatu keyakinan pemberian suatu kredit (bank) bahwa kredit yang diberikan baik berupa uang atau jasa yang akan benar - benar diterima kembali dimasa

Angka ekivalen menurut Manual Perkerasan Jalan dengan Alat Benkelman Beam (Bina Marga, 1983) yang telah menetapkan berat kosong dan berat maksimum pada tiap

3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan

 Melampirkan akta pendirian, akta perubahan nama (jika ada) dan akta perubahan terakhir yang memuat informasi susunan. kepemilikan saham dan

Berdasarkan hasil analisis uji bivariat dengan menggunakan uji Chi-square diketahui bahwa variabel bebas motivasi, supervisi pimpinan dan sistem penghargaan memiliki

Maka untuk memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba untuk menerapkan ilmu yang telah penulis dapat di bangku kuliah ke dalam bentuk skripsi yang berjudul