ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
RAHMAT YUDISTIAWAN
NIM : 1110044100007
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
ii
ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Rahmat Yudistiawan NIM. 1110044100007
Di Bawah Bimbingan:
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
TENTANG PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH TINJAUAN FIQH INDONESIA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 5 Januari 2015
Mengesahkan
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1 Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2 Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3 Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
RAHMAT YUDISTIAWAN, NIM: 1110044100007, ANALISIS
PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. v+103
Keberadaan Mahkamah Agung sangat berperan dalam menyelesaikan problematika sosial kekinian yang terus berkembang. Sebab ia merupakan instansi atau lembaga tertinggi pemerintah di bidang yudikatif yang bertugas dalam menerima, mengadili dan memutuskan perkara di tingkat kasasi. Oleh karenanya, bidang perdata agama merupakan konstruksi yang saat ini terus berubah-ubah kemaslahatannya. Seperti kasus waris non-muslim, akta nikah sebagai penentu sahnya pernikahan dan alasan-alasan perceraian tentunya pernah dihadapi oleh para hakim di Mahkamah Agung. Kasus-kasus tersebut merupakan hal baru dalam hukum Islam yang belum terkonsep secara tekstual dalam Nash maupun yang tertuang dalam kitab-kitab Fiqh Klasik. Tujuan penelitian ini diperuntukkan menjawab kegamangan problematika kekinian umat Islam sekaligus menganalisis produk hukum Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusan-putusan tentang kasus-kasus yang telah disebutkan sebelumnya yang menurut hukum Islam “bertentangan” dengan Nash.
Penelitian ini menggunakan teori Fiqh Indonesia sebagai pisau analisa dalam meninjau putusan-putusan tentang permasalahan yang “bertentangan” pada Nash Al-Quran dan Hadits dengan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif analatis. Metode yang digunakan berdasarkan pada metode ijtihad Fiqh Indonesia yang terbagi menjadi dua konstruk berpikir yang berbeda, yaitu Urf atau Tradisi Islam Indonesia sebagai
Grand Thoerynya dan Fiqh Mazhab Negara atau Hukum Terapan sebagai
Aplicative Theorynya. Teknik pengumpulan data yang digunakan, untuk data primer diperoleh dari putusan-putusan Mahkamah Agung, buku teori Fiqh Indonesia dan peraturan perundang-undangan, sedangkan data sekundernya diperoleh dari jurnal, artikel, makalah dan kitab-kitab lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan (1) bahwa ketiga putusan tersebut telah sesuai dengan konstruk berpikir Fiqh Indonesia, (2) hal tersebut terjawab sudah ketika hasil yang didapat menunjukkan bahwa pendekatan yang dianut oleh para hakim dalam memecahkan masalah menuju kepada pemahaman Fiqh Indonesia (3) kasus ahli waris non muslim tidak terlepas kepada isu HAM dan prinsip pluralitas kehidupan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, pencatatan pernikahan merupakan bukti autentik yang telah membudaya sebagai tertib administratif bangsa Indonesia, dan kasus alasan putusnya perkawinan yang ditentukan sesuai dengan kemaslahatan umum masyarakat Indonesia.
Kata kunci : Fiqh Indonesia, Waris Non-Muslim, Pencatatan Pernikahan, Perceraian
Pembimbing : Hj. Rosdiana, MA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala yang
telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat
pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada keluargaku tercinta ayahanda Ir.
Sugirno, M.Si dan ibunda Dra. Siti Djumalia beserta adik-adik penulis Naili
Ihdayati dan M. Dzakwan Firdaus dan terkhusus kepada pamanku Dr. Ahmad
Rajafi, M.Hi. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
Skripsi ini ditulis merupakan bagian dan persyaratan untuk menyelesaikan
studi (pendidikan) program stratasatu (S1) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Konsentrasi Peradilan Agama. Atas bantuan semua pihak dalam proses
penyelesaian skripsi ini sesuai dengan rencana tak lupa dihaturkan terima kasih
sedalam-dalamnya. Secara rinci ungkapan terima kasih itu disampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH., Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hj. Rosdiana, MA., selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan
memotivasi hingga skripsi ini selesai.
5. Ibu Maskufa., MA., sebagai dosen Pembimbing Akademik yang
mengarahkan penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu
proses administrasi penulis.
7. Seluruh pegawai dan staf Mahkamah Agung RI terkhusus Hakim
Agung Mahkamah Agung Dr. Habiburrahman, MA., yang telah ikut
membimbing dan banyak memberikan bantuan dan data lapangan
demi selesainya sekripsi ini.
8. Pegawai Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta Perpustakaan Nasional RI yang telah memberikan
informasi, data, referensi, dan lain-lain.
9. Kakek Drs. H. Ah. Sahran Baharup dan Nenek Hj. Siti Raudlah
tercinta beserta Cicik Baiti, Bakcek Welmi, Mamak Tutin, Ibung Eni,
Cicik Eeng, Om Eko dan Ibung Resi yang senantiasa membantu,
mendoakan, serta memberikan dukungan penuh dalam upaya
10.Temen-temen kosku Bagus Septian, Mahendra, Wildan al-Farabi dan
Imam Furqani yang senantiasa menemani penulis.
11.Rekan-rekan Mahasiswa yang telah ikut membantu proses
penyelesaian skripsi ini, Teman-teman kelasku, Nurdin, Anas
Maulana, Ahmadi, M. Irfan Rizkiani, Adib, Husnul, Baim, Muhdi,
Adam, Syauqi, Neneng, Lubis, Sena dan lain-lain yang tidak bisa
disebutkan semua, serta teman-teman angkatan 2010 khususnya Prodi
Ahwal Al-Syakhsiyyah yang ku banggakan. Kenangan indah yang
tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya,
hanya doa semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (hasil penelitian) ini dapat
menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman di abad modern ini.
Ciputat, 5 Januari 2014. Penulis,
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Review Studi Terdahulu ... 9
E. Kerangka Teori ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II FIQH INDONESIA ... 19
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia ... 19
B. Penggagas Konsep Fiqh Indonesia ... 26
C. Metode dan Model Berpikir Fiqh Indonesia ... 32
BAB III PENGAMBILAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG .... 44
A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Indonesia ... 44
2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung ... 49
B. Dasar Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung ... 53
1. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang Ahli Waris Non-Muslim ... 53
2. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang Hak Waris dari Pernikahan yang Tidak Dicatatkan dan Tidak Ada Izin Poligami ... 55
3. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) ... 56
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG ... 58
A. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang Ahli Waris Non-Muslim ... 58
B. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang Hak Waris dari Pernikahan yang Tidak Dicatatkan dan Tidak Ada Izin Poligami ... 70
C. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) ... 78
BAB V PENUTUP ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran-saran ... 101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan sosial merupakan salah satu faktor munculnya konflik sosial
yang terdiri dari masalah-masalah baru. Hal ini sesuai dengan apa yang
dinyatakan Ian Robertson seorang sosiolog dari University of California Los
Angeles “Social Change is The alteration of patterns of culture, Social structure
and Social behaviours overtimes” perubahan sosial ialah perubahan pola budaya
dalam masyarakat, struktur sosial dan perilaku masyarakat yang terjadi setiap
waktu. Adapun yang mempengaruhi perubahan sosial itu terjadi disebabkan
karena adanya faktor persinggungan budaya antara wilayah baik secara nasional
maupun internasional, perkembangan teknologi, ide-ide baru (ideologi) dan hal
lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan baru tersebut pada akhirnya harus
dicarikan dan ditemukan solusi atau pemecahannya demi sebuah kemaslahatan.
Islam sebagai agama yang memiliki pengikut terbesar pun pada akhirnya
akan mendapati dan menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, akan tetapi
sejak jauh-jauh hari Allah SWT telah menjelaskan di dalam al-Qur‟an agar kita dapat mengembalikan semua permasalahan yang ada kepada Allah, Rasul-Nya
dan Ulil Amri (Pemimpin), sebagaimana firman-Nya:
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS.
An-Nisa‟ : 59)1
Kadang kala dari permasalahan baru yang terjadi di lingkungan kita, tidak
dapat disesuaikan dengan landasan aturan yang ada. Maka dapat dikatakan hal
tersebut dianggap bertentangan oleh sebagian kalangan sehingga dengan mudah
men-judge akan hal baru tersebut dengan hukum yang salah. Oleh karenanya, haruslah ada di sekitar kita orang-orang yang mampu akan memahami
permasalahan di sekitar kita dengan menghadapinya secara bijak dan adil serta
mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak khususnya umat
Islam. Di sinilah peran penting ulama dan umaro (pemerintah) dalam menghadapi permasalahan perubahan sosial dan perkembangan zaman di setiap lini kehidupan
masyarakat. Karena sebagaimana Imam Ghazali mengatakan “Agama jika di topang dengan kekuasaan akan kuat dan kekuasaan jika ditopang oleh agama
akan kekal.”
Sedikit kita flash back tentang sejarah perkembangan hukum dalam pemerintahan Islam ketika menghadapi permasalahan dan perubahan zaman,
Khulafa‟ al-Rasyidin adalah penafsir hukum pertama, semua ijtihad di bawah payung nilai dan norma al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman dan
pertimbangan yang kontekstual. Semasa mereka banyak kontribusi besar dalam
evolusi pemikiran hukum Islam yang dapat dipetakan dalam tiga hal, yaitu: (1)
meneruskan pemerintahan Rasulullah saw dalam bidang politik dan luar negeri;
(2) berhasil mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan (dakwah bil fi’li dan
dakwah bil qauli); (3) berhasil menciptakan konsep pola pemikiran hukum dan
1
panduan memahami ajaran Islam ketika berhadapan dengan tantangan dan
perubahan zaman.
Hukum Islam atau fiqh pada masa ini muncul dengan satu corak sendiri
dalam dunia hukum yang pernah dikenal manusia, karena tidak hanya sekedar isi
dari al-Quran dan Sunnah, tetapi meluas kepada aturan dan pemikiran umat Islam
yang setia dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah. Hukum Islam tidak hanya yang
ditentukan dalam catatan sejarah, tetapi juga mungkin untuk berkembang selama
umat Islam masih ada. Segala persoalan sosial yang berkaitan dengan masyarakat
muslim dan diberikan aturannya dengan nilai-nilai keislaman, maka aturan
tersebut adalah hukum Islam, sehingga hukum ini tidak lagi sebagai identitas
agama saja, tetapi juga identitas manusia.2
Akhirnya dalam sejarah perkembangan fiqh selanjutnya, dikenallah istilah
baru yaitu fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada pula fiqh ahl
ra‟yi dan fiqh ahli hadits. Dan yang lebih menggaung dan terkenal di telinga
masyarakat kita saat ini yaitu adanya fiqh Hanafi (w. 150H), fiqh Maliki (w.
179H), fiqh Syafi‟i (w. 204H) dan fiqh Hanbali (241H). Di Indonesia pun, sejak pertama Islam masuk telah dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir
dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel
(1643-1693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh
Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy‟ari (1871 -1947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum
kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada perkembangan aturan hukum
2
di Indonesia dikenal dengan fiqh Indonesianya, adalah TM. Hasbi ash-Shiddieqi
(1905-1975) yang selanjutnya akan menjadi salah satu tolak ukur dalam penelitian
ini melihat filosofi dan sejarah aturan hukum Islam yang telah dikodifikasi dan
dilegitimasi tidak terlepas dari teori fiqh Indonesia Hasbi.3
Perkembangan dan perubahan sosial adalah faktor penting lahirnya ijtihad,
sebab pada saat terjadi permasalahan atau kasus baru yang berbeda tentunya akan
memerlukan aturan. Lalu aturan yang seperti apa yang pantas dan sesuai bila
permasalahan tersebut merupakan hal baru dalam Islam bahkan terkesan
“bertentangan” dengan Nash al-Quran dan Hadis? Dan bagaimanakah cara menghadapinya? Hal ini membuat penulis teringat dengan sebuah permasalahan
hukum yang pernah terjadi di Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 1999
tentang kewarisan Islam. Terdapat perkembangan pemahaman Islam yang
diputuskan oleh pemerintah kita yang memegang tampuk tertinggi peradilan
bahwa seorang ahli waris non muslim bisa mendapatkan haknya melalui jalur
wasiat wajibah. Padahal, aturan hukum Islam dengan jelas menyebutkan yang
menjadi penghalang seseorang mendapatkan bagian warisan salah satunya adalah
berlainan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Orang Islam tidak dapat
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam. (HR. Muttafaq Alaih).” Kejadian ini akhirnya menjadi polemik yang kontroversial di kalangan umat Islam melihat hal tersebut menjadi dasar
permulaan perkembangan pemahaman hakim dalam memutuskan perkara
kewarisan Islam.
3
Tentunya bukan hal itu saja yang menjadi polemik dalam peradilan di
Indonesia, pastinya akan menemukan temuan dan pemahaman baru seiring
dengan tempat dan berjalannya waktu. Pelbagai masalah terkait persoalan sipil
sering kali terdengar di Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa terdapat
permasalahan yang krusial di bidang tersebut. Khususnya persoalan perdata yang
ditemukan penulis tentang waris dan perceraian di tingkat kasasi. Dari penelitian
sementara, terdapat putusan Mahkamah Agung yang masih mengganjal terutama
soal harmonisasi dan sinkronisasi hukum serta rasa keadilan hakim ketika
memutuskan. Soal waris misalnya, penulis menemukan putusan MA tentang
polemik penetapan ahli waris dari pernikahan yang tidak dicatatkan, sehingga
anak dari hasil pernikahan (yang tidak tercatatkan secara administratif) tersebut
diputuskan bahwa ia tidak mendapatkan hak warisnya. Padahal, dalam hukum
Islam hanya 3 macam penghalang mewarisi, yaitu: Perbudakan, pembunuhan dan
berlainan agama. Sedangkan dalam KHI pasal 173 seorang terhalang menjadi ahli
waris, apabila ia: a) membunuh dan menganiaya berat para pewaris, dan b)
memfitnah pewaris melakukan kejahatan. Tidak ada satu pun aturan baik dalam
hukum Islam maupun positif yang menyatakan secara eksplisit bahwa gugurnya
hak seseorang memusakai disebabkan karena perkawinannya tidak dicatatkan.
Adapun mengenai persoalan perceraian, penulis menemukan
ketidakharmonisan hukum hakim agung ketika mengadili perkara cerai karena
suami tidak mampu dan istri berpindah agama. Dalam salah satu putusannya
dikatakan menjatuhkan talak satu bain shughra kepada kedua belah pihak. Ketika
seharusnya diputuskan dengan fasakh. Karena dalam hukum Islam salah satu
penyebab jatuhnya fasakh adalah kedua belah pihak telah berpindah agama.
Persoalan ini menjadi gamang ketika putusan MA ini terlihat berbeda pendapat
dengan hakim tingkat pertama dan banding yang memutuskan fasakh bagi
mereka. Sedangkan antara fasakh dan talak merupakan kedua hal yang berbeda.
Jika benar bahwa pilihan tindakan hakim adalah atas hasil
pemaknaan-pemaknaan yang dipersitegangkan antara nilai, norma, dan berbagai ide abstrak
dengan situasi dan kondisi dalam rangka mencapai tujuan, maka yang sangat
penting dipahami adalah apa pemaknaan-pemaknaan hakim terhadap putusan
yang dibuatnya? Tujuan-tujuan apakah yang ingin dicapai oleh hakim
menjatuhkan putusan seperti yang digambarkan di atas? Bagaimana hakim
memaknai waris non muslim, fasakh dan penghalang waris dari pernikahan yang
tidak dicatatkan?
Jadi yang harus kita pahami adalah bukan pada salah atau benarnya hakim
menjatuhkan putusan, tetapi lebih kepada pertanyaan untuk mencari penjelasan
mengapa hakim sampai menjatuhkan putusan seperti itu. Untuk menemukan hal
tersebut, penulis pada akhirnya tertarik untuk mengkaji dan menyajikannya dalam
sebuah skripsi dengan judul “Analisis Putusan-Putusan Mahkamah Agung Tentang Permasalahan Yang “Bertentangan” Dengan Nash Tinjauan Fiqh
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka batasan masalah dalam
penelitian ini adalah 3 sampel putusan hakim MA yang memutuskan perkara
perdata Islam, yaitu:
a) Putusan Mahkamah Agung No. 577 K/AG/2009 tentang cerai gugat
dan hadhanah karena suami tidak mampu dan istri berpindah agama, b) Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/AG/2005 tentang hak waris
anak dari perkawinan yang tidak tercatat dan tidak ada izin poligami,
c) Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/1999 tentang waris bagi non
muslim.
Adapun yang dimaksud dengan Fiqh Indonesia dalam penelitian ini adalah
kenyataan budaya yang sudah terpatri dalam praktik masyarakat Indonesia yang
didasarkan pada pengembangan beberapa teori dari aliran-aliran yang berkembang
dalam diskursus wacana Ushul al-Fiqh. Maksudnya, fiqh yang berkepribadian Indonesia melalui pengertian bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hukum adat/tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia,
yang telah di qanunisasi (di kodifikasi) dalam aturan-aturan hukum yang
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini, dilihat dari gambaran latar belakangnya menegaskan bahwa
terdapat sebuah problem hukum yang mengungkap bahwa hakim mengadili dan
memutuskan sebuah permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash mampu dicerna dan dipahaminya secara kontekstual dari landasan hukum Islam yang ada.
Hal inilah yang membuat penulis tergugah untuk mengangkat permasalahan ini
untuk diteliti dan dianalisa melalui kacamata pemikiran Fiqh Indonesia, dengan
alasan menumbuhkan sikap kearifan lokal dan sosial dalam melihat dan
menanggapi sebuah permasalahan hukum Islam secara lebih teliti dan bijaksana,
serta wawasan dan wacana pemikiran kita pun tentang Islam yang rahmatan lil
‘alamin dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman.
Berdasarkan hal tersebut dan dari uraian-uraian di atas maka dapat
dibentuk suatu rumusan masalah:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51 K/AG/1999?
2. Bagaimanakah putusan-putusan MA tersebut jika ditelaah melalui
konstruksi berpikir Fiqh Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan
a. Secara umum penelitian ini mengungkap data yang akurat tentang
memutuskan perkara Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Secara khusus penelitian ini menganalisa 3 putusan hakim MA yang
“bertentangan” dengan Nash jika ditelaah melalui konstruksi berpikir fiqh Indonesia. Dengan mengkaji hal itu, maka telah mewakili
tergalinya dan terungkapnya nilai-nilai, gagasan, keyakinan, pola
perilaku hakim dalam mengkonstruksi putusan di bidang Hukum
Keluarga Islam.
2. Manfaat
a. Secara teoritik menjadikan hasil penelitian ini sebagai bagian dari
kumpulan khazanah keilmuan Islam plus referensi lanjutan dalam
penelitian-penelitian analasis putusan pengadilan.
b. Secara praktis penelitian ini menelaah budaya hukum hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara keperdataan Islam secara adil dan
berkesesuaian dengan landasan syariat Islam dan aturan hukum di
Indonesia.
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelusuran penulis lakukan belum ada secara khusus skripsi yang
meneliti tentang konsep fiqh Indonesia. Namun, terdapat beberapa studi yang
berkaitan dengan pembahasan analisa putusan di salah satu lembaga peradilan
1. Skripsi oleh Istiarini Cahyaningsih, Tahun 2010; Yang berjudul “Ahli Waris Beda Agama Dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)”.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang sejauh mana pola pikir hakim
khususnya di Pengadilan Agama Depok tentang metode atau cara
mengadili dan memutuskan perkara waris bagi non muslim. Dari hasil
penelitiannya ternyata ditemukan bahwa hakim mengabulkan gugatan
bahwa penggugat yang beragama non muslim adalah ahli waris pewaris
yang beragama Islam dengan alasan adanya kesepakatan ahli waris. Hal
inilah yang membuat hakim bertindak secara ultra petita atau memutuskan perkara melebihi wewenang yang dipinta atau dituntut oleh pihak
penggugat dalam petitum dan positanya.
Skripsi tersebut terdapat kesamaan kasus dengan salah satu kajian hukum
yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu waris bagi non muslim. Yang
menjadi perbedaannya adalah sejauh mana putusan dari kasus tersebut
ditinjau dengan konsep berpikir fiqh Indonesia ditambah yang menjadi
objek kajiannya adalah putusan MA yang mana kedudukannya tidak bisa
dilakukan upaya hukum biasa kecuali dengan Peninjauan Kembali (PK).
2. Skripsi oleh Ria Amaliyah, Tahun 2009; Yang berjudul “Dampak
Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan”.
Dalam penjelasannya skripsi ini mengungkap tentang perlunya pencatatan
nikah dan khususnya itsbat nikah bagi yang belum dicatatkan dan
penjelasan yang dipaparkan terdapat konsekuensi hukum bagi pasangan
khususnya pihak perempuan atau istri dan anak dari hasil pernikahannya,
yaitu hilangnya hak waris-mewarisi, putusnya perwalian bagi anak dari
hasil pernikahan dan lain sebagainya.
Maka dari itu fokus dari penulisan skripsi tersebut untuk mendeskripsikan
(walau kelemahan penulisan ini belum ditopang oleh penelitian resmi)
dampak dari kebalikan kasus, yaitu sebab dari tidak dicatatkan pernikahan
sebelumnya terhadap implikasi penolakan itsbat nikah di pengadilan
agama. Penelitian ini terfokus kepada dampak hukum bagi pihak istri,
namun tidak pada anak. Maka dari itu bila dikaitkan dengan penelitian ini
terdapat kesamaan dalam dampak hukum yang dikenakan yaitu tentang
kewarisan. Namun, yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini selain
dari objek kajiannya adalah bilamana dampak hukumnya jika dikenakan
pada anak soal pembagian waris tersebut. Hal inilah yang menjadi salah
satu subjek kajian pembahasan tentang anak dari ayah biologisnya
terhalang mewarisi sebagaimana yang ditemukan penulis dalam putusan
MA.
3. Skripsi oleh Arif Fatwah, Tahun 2007; Yang berjudul “Fasakh Karena
Suami Tidak Mampu Menurut Fuqaha Dan Hukum Di Indonesia”.
Skripsi tersebut memaparkan tentang salah satu alasan putusnya
perkawinan dengan fasakh disebabkan karena suami tidak mampu
memberi nafkah lahir, terutama ketentuan hukumnya. Penulis mengungkap
salah satu sebab suami tidak mampu memberi nafkah. Hal itulah yang
menjadi inti pembahasan dengan disertai aturan hukum yang
melandasinya.
Yang menjadi kesamaan dengan penelitian ini adalah salah satu kajian
hukum yang akan dibahas yaitu tentang cerai karena suami tidak mampu,
namun tidak pada kasus yang akan dianalisa pada penelitian ini. Dalam
penelitian ini akan diungkap salah satu kajian hukum tentang sebuah
kejadian tentang dua fakta hukum yang berbeda dan bertentangan di
lapangan tentang hal cerai dan hadhanah yang diputus oleh salah satu instansi peradilan tertinggi di Indonesia.
Dari pelbagai penjelasan tersebut, akhirnya dapat ditemukan yang menjadi
fokus kajian penelitian ini adalah analisa putusan MA terkait dengan
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep fiqh
Indonesia.
E. Kerangka Teori.
Putusan Mahkamah Agung adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi
kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam
lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga.
Putusan tersebut nantinya akan dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim
memiliki kekuatan mengikat secara relatif.4 Yang dalam prosesnya kelak setelah dilakukan kualifikasi oleh tim khusus dan apabila dianggap layak maka akan
dipublikasikan yang kemudian dinamakan dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, hakim memiliki tugas mengadili
persoalan masyarakat dengan menerapkan peraturan yang tertulis dalam
undang-undang. Akan tetapi, dalam realitasnya fenomena sosial bersifat dinamis dan
selalu berubah. Undang-undang tidak akan lagi mampu menyelesaikan semua
kasus yang dihadapinya. Dalam posisi yang terpojokkan seperti itu, hakim
diharuskan menemukan solusi atas permasalahan hukum yang dihadapinya (Pasal
16 ayat 1 UUPKK 4/2004) dengan menggali makna yang ada dalam teks
undang-undang dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding).5 Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Maka, untuk mengungkap makna hukum dari subjek (hakim) yang
membuat putusan tersebut, hermeneutika hukum merupakan peranti teoritis yang
paling tepat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap bentuk dan produk perilaku
antar manusia itu (termasuk produk hukum berupa putusan hakim) akan selalu
ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati oleh para aktor yang
4
t.p., Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, artikel diakses pada tanggal 23 Januari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Indonesia
5
tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan memberikan keragaman
maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek. Kajian hermeneutika
membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tak hanya berkutat
menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal melulu. Kajian ini
dengan strategi metodologinya to Learn from The people mengajak menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif penegak hukum yang terlibat dan
pengguna dan atau pencari keadilan.6
Untuk menggali dan mengungkap makna-makna yang tersembunyi di
balik putusan hakim dalam menyelesaikan perkara di bidang perdata Islam,
penulis menempatkan pisau analisanya dalam domain Fiqh Indonesia sebagai
upaya menyelaraskan antara dimensi hukum Islam dengan budaya dan sistem
hukum di Indonesia (yang tentunya berbeda) dalam menemukan jawaban hukum
yang progresif dan berkeindonesiaan.7
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Data
Pada dasarnya jenis data yang digali dalam penelitian ini ada dua macam:
6
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 8
7
a. Data primer adalah data-data yang didapatkan langsung dari lapangan.8 Yakni bisa didapatkan melalui transkrip atau salinan putusan yang
membahas tentang permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash yaitu putusan MA Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Data skunder adalah data-data pendukung yang didapatkan dari
perpustakaan, brosur dan sebagainya.9 Yakni penjelasan-pejelasan tentang perihal konstruksi berpikir Fiqh Indonesia berupa
metode-metodenya dan penjelasan dari putusan kasasi yang berkaitan langsung
dengan perkara yang dianggap bertentangan dengan Nash melalui
wawancara langsung hakim yang berkompeten dibidangnya yaitu
hakim agung kamar perdata agama.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi tujuan maka penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif, yaitu untuk mengevaluasi sejauh mana pola pikir para hakim
dalam menganalisa dan memutuskan perkara yang dianggap bertentangan
dengan Nash Sharih. Dan dilihat dari sumbernya penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Penelitian Kepustakaan atau Library Research
merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan bantuan berbagai buku.10 Yakni buku-buku Agama
8
Nasution, Metode Research, (Jakarta:Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
9
Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
10
khususnya tentang Fiqh Indonesia, Undang-undang, yurisprudensi MA
dan buku rujukan lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data secara mendalam, penulis menggunakan data:
a. Dokumentasi
Yang dimaksud dengan dokumentasi adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa transkrip, catatan, buku dan
sebagainya.11 b. Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab
atau narasumber.12 Dan mengenai hal ini, yang menjadi pokok bahasan wawancara adalah putusan MA tersebut, dan sebagai narasumber
adalah salah satu hakim agung kamar perdata agama di Mahkamah
Agung RI.
Setelah penulis menelaah data, maka penulis menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Digunakannya metode tersebut agar data yang
diperoleh tidak diukur dengan angka atau huruf.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
11
Suharsimi Arikunto, Metodologi Risearch, (Yogyakarta: UGM, 1986), h. 136.
12
a. Komparatif, yakni membandingkan dan menyesuaikan antara teori dan
praktek, yang menjadi objek perbandingan adalah antara putusan MA
dengan Teori Fiqh Indonesia.
b. Interpretatif, yakni memberikan penafsiran terhadap istilah-istilah
hukum yang digunakan oleh lembaga peradilan dan istilah-istilah lain
dalam konsep Fiqh Indonesia.
c. Evaluatif, yakni mengevaluasi putusan-putusan MA dalam
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petunjuk penulisan skripsi, tesis dan disertasi” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai
berikut:
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang masalah yang akan dibahas, batasan dan rumusan masalah yang akan
dikaji, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian yang digunakan,
tinjauan studi terdahulu, kerangka teori sebagai gambaran tentang teori yang
digunakan dalam penelitian dan yang terakhir tentang sistematika penulisan atau
isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.
Indonesia, penggagas konsep fiqh Indonesia dan yang terakhir tentang metode dan
model berpikir fiqh Indonesia.
Bab ketiga mendeskripsi tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu instansi peradilan di Indonesia. Membahas sekilas tentang keadaan umum sejarah
Mahakamah Agung, tugas dan fungsi Mahkamah Agung serta kewenangan yang
dimilikinya. Dalam bab ini pula akan memaparkan dasar pertimbangan dari 3
putusan MA yang “bertentangan” dengan landasan hukum Islam.
Bab keempat menjelaskan tentang analisa putusan MA yang
“bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep berpikir Fiqh Indonesia. Yaitu berisi tentang hasil analisa penulis yang dipaparkan satu persatu dari ketiga
putusan tersebut.
BAB II
FIQH INDONESIA
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia
Kata “fiqh” berasal dari bahasa Arab, faqiha – yafqahu – fiqhan, yang berarti al-fahmu (paham), yakni al-fahmu ash-shahih (pemahaman yang benar).
Tentu saja pemahaman ini adalah pemahaman orang, yang pada umumnya „alim, baik secara individual maupun kolektif, terhadap sumber ajaran Islam (Al-Quran
dan Hadis) untuk memperoleh ketentuan hukum yang dibutuhkan umat Islam
dalam kehidupan yang dihadapinya pada ruang dan waktu tertentu.13
Sebagai pemahaman atas teks Al-Quran dan Hadis, tentu saja posisi fiqh
berbeda dengan posisi Al-Quran dan Hadis itu sendiri. Jika Al-Quran itu qadim
(azali), maka fiqh itu hadis (temporal). Jika Al-Quran bersifat universal dan mutlak benar (qath’i ats-tsubut), maka fiqh bersifat partikular, fleksibel, dan kebenarannya relatif (zhanni ats-tsubut). Mengapa begitu? Karena fiqh lahir dari akal yang bersifat subyektif, sementara Al-Quran adalah bersifat otoritatif berasal
dari wahyu Allah yang melintasi ruang dan waktu dan tidak ada intervensi akal
sama sekali.14
Oleh karena itu, fiqh adalah produk anak zaman. Ia lahir, tumbuh, dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya pada kerangka ruang dan
13
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Cirebon: ISIF, 2014), h. x
14
waktu yang mewadahinya. Fiqh berubah sesuai dengan perubahan sosial. Fiqh
juga berbeda sesuai dengan perbedaan para pemikirnya, pembentuknya, dan
pengembangannya dari satu waktu ke waktu lain, atau dari suatu tempat ke tempat
lain. Tidak heran bila kemudian lahir sejumlah mazhab fiqh yang berbeda satu
sama lain meskipun bersumber pada Al-Quran dan Hadis yang sama dan belajar
dari guru yang sama, atau bahkan berbeda dengan gurunya sendiri.15
Dari kenyataan ini, menurut KH Said Aqil Siradj Islam sebetulnya
menganut pluralisme hukum (ta’addud al-fiqh). Asumsi ini menurutnya diperkuat dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al-ijtihadu la yunqadhu bi mitslihi (al-ijtihad) (hasil satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain). Artinya, Islam sesungguhnya mengakui otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar
akademik, termasuk juga kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir. Di
dalam fiqh tidak berlaku asas hukum positif yang berbunyi lex posteriori derogat legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama), dan lex superior derogat legi inferiori (hukum yang urutan atau tingkatannya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah).16
Atas dasar ini, fiqh tidak saja berbeda karena perbedaan imamnya dan
metode perumusan hukumnya, tetapi juga bisa berbeda karena perbedaan
geografis (lokus hukum). Meskipun sama-sama Syafi‟iyyah, tetapi Syafi‟iyyah di Yaman atau Suriah berbeda dengan Syafi‟iyyah di Indonesia. Apalagi sejarah
pernah mencatat ketika Imam Syafi‟i sendiri pernah memutuskan dan menerapkan
15
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. x-xi
16
hukum yang berbeda ketika beliau berada didua tempat yang berbeda pula, yaitu
Baghdad dan Mesir. Sehingga menjadi suatu hal yang tidak dapat dipungkiri
karena tidak lain fiqh pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi, keadaan,
adat, dan budaya di mana fiqh itu dipraktikan. Fiqh selalu berinteraksi secara
dinamis dengan problematika sosial yang beragam. Fiqh di suatu tempat adalah
bagian dari bangunan kebudayaan tempat tersebut. Demikian juga fiqh pada suatu
masa adalah bagian dari kebudayaan pada masa itu. Dengan demikian, fiqh adalah
produk dari dan memproduksi kebudayaan di mana fiqh diterapkan.17
Meski begitu, fiqh selalu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
ruang dan waktu. Fiqh selalu shalihun li kuli zamanin wa makanin (sesuai bagi segala ruang dan waktu), bukan karena universalitasnya, tetapi karena fiqh bisa
berubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Kaidah
fiqhiyyah yang populer menyatakan bahwa la yunkaru taghayyuru al-ahkami bi taghayyuri al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum tergantung pada perubahan waktu, tempat, dan keadaan). 18 Kita mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al-ahwal asy-syakhsiyyah
(hukum keluarga) merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa
berubah-ubah kemaslahatannya. Langkah-langkah perberubah-ubahan tersebut justru di dalam
rangka menegakkan prinsip-prinsip Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasi-situasi yang berubah.19
17
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h.xii
18
Di lain sisi, pada awal abad XX ide pemikiran tentang konsepsi dan
formulasi pembentukan hukum Islam (fiqh) telah dimulai, beberapa cara dan upaya untuk menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur
kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh
banyak kalangan. Para pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah
mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam
ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul
seorang mujtahid mutsaqil, tentunya dengan independensi metode penemuan hukum sendiri, kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisis
penemuan hukum yang kreatif, cerdas, dan inovatif.20
Kurang empirisnya wacana yang dikembangkan dalam pemikiran
keislaman, mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan
sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Kungkungan pola pikir para ulama yang
fahm al-’ilm li al-inqiyad ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik (tsarwah fiqhiyyah), membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia
hadir bagai barang asing bagi persoalan sosial politik. Para ulama telah melupakan
sejarah dan menganggap bahwa mempelajari sejarah tidaklah penting, sehingga
kritik terhadap dimensi ini nyaris tidak ada. Paradigma sejarah akan mengubah
tata cara memahami fiqh sebagai produk pemikiran yang bersifat nisbi (qabil li an-niqasy), bukan sebagai kebenaran ortodoksi-mutlak, yang absolutitas nalarnya
19
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xxxiii
20
mendeportasi tradisi, kritik dan pengembangan. Hilangnya kesadaran sejarah
(sense of history) inilah, dalam amatan Soekarno, yang telah menyebabkan pembaruan pemikiran Islam yang telah dilakukan tidak menunjukkan kontitum
yang jelas. Diperlukan pergeseran paradigma (shift of paradigm) dari pola fahm al-‘ilm li al-inqiyad ke pola fahm al-’ilmi li al-intiqad, dalam upaya memahami segala bentuk warisan dan produk pemikiran masa lalu.21
Pengkultusan (taqdis) atas pemikiran hukum Islam yang telah terjadi dan yang hingga sekarang masih berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka
dasar meletakkan pemahaman baru yang mampu menegakkan prinsip-prinsip
Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasi-situasi yang berubah. Konsep dan pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing harus segera dicarikan
alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.
Eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi
yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan juga tidak berdaya
guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi
mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman. Hukum Islam harus mampu
menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang bidang
muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Hukum Islam harus mampu
hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan
masyarakat.22
21
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 63-64
22
Berdasarkan hal di atas dan melihat kenyataan bahwa praktik hukum Islam
masyarakat Indonesia juga begitu beragam (plural) sesuai dengan karakter,
ideologi dan mazhab masing-masing individu dan kelompok, baik yang
terorganisir ataupun tidak, baik yang sesuai dengan aturan hukum negara ataupun
tidak. Maka sebagai sebuah keragaman yang mengepal menjadi tradisi keislaman
dan tertampung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah menurut
pandangan fiqh, segala praktik keislaman tersebut dalam negara Indonesia dapat
dipandang sebagai sebuah Fiqh Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual, saatnya kita berani untuk
menyatakan bahwa keberagaman yang kita rasakan merupakan sebuah
keniscayaan tradisi keislaman bangsa Indonesia sejak dahulu Islam mulai
menyebar hingga menjadi agama mayoritas di negara ini. Islam sudah
mengajarkan pluralisme jauh sebelum pemikiran post-modernisme merebak di
abad ke-20. Perbedaan merupakan hukum alam.23 Keberagaman itu mulai kita rasakan tidak hanya dimulai dari penciptaan Adam dan Hawa, suku, bangsa
maupun agama, melainkan pula prinsip dan ideologi yang dipegang oleh setiap
individu dan kelompok yang dapat mereka pertanggungjawabkan
masing-masing.24 Apalagi ketika melihat watak dasar fiqh (yang tidak boleh digantikan oleh sejarah) adalah adanya ketersediaan pilihan-pilihan hukum lebih dari satu
(dzu wujuhin) dalam satu masalah sosial keagamaan.25
23
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), h. 66
24 Ada sebuah pepatah Arab mengatakan “Li Kulli Ra’sin Ra’yun”
Penyebutan “Fiqh Indonesia” mungkin terkesan hiperbolik (melihat
beragamnya pemahaman tentang hukum Islam) atau bahkan simplistis. Namun
“hukum Islam di Indonesia” tentu tidak hanya milik kelompok tertentu saja,
melainkan jauh lebih kaya dan tersebar ke berbagai jantung kehidupan
masyarakat, misalnya bahtsul masa’il, majelis tarjih, majelis fatwa, dewan hisbah
dalam ormas-ormas keislaman, perguruan tinggi Islam, majelis ta‟lim dan pondok pesantren yang jumlahnya ribuan. Ini semua adalah kekayaan pemahaman hukum
Islam, terlebih lagi bila dikaitkan dengan praktik hukum Islam yang menyatu
dengan denyut kebudayaan Indonesia.26
Adanya penisbatan pada corak fiqh yang dihasilkan pun sebagai sebuah
kekayaan produk pemikiran hukum Islam oleh para ulama dan intelektual Islam
Indonesia, seperti penyebutan Fiqh Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an),
Reaktualisasi Ajaran Islam (Munawir dkk, 1988), Agama Keadilan (Masdar F.
Mas‟udi,-), Pribumisasi Islam (Abdurrahman Wahid, 1988), Fiqh Sosial (M.A. Sahal Mahfudh dan Ali Yafie,-), dan seterusnya, merupakan
nomenklatur-nomenklatur atau tema-tema pemikiran hukum Islam (themes of Islamic Law) yang ajarannya memiliki tujuan yang sama, responsi terhadap
modernisasi-pembangunan demi terciptanya kemaslahatan berbasis keadilan berdasarkan
maqashidus syariah dan keindonesiaan (adat dan budaya Indonesia beserta konstitusinya). Semua keragaman pemahaman dan praktik hukum Islam di
Indonesia di atas sebanding dengan banyaknya ragam kebudayaan itu sendiri di
25
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. 194
26
setiap pojok Indonesia, dan ke segala hal tersebut merupakan hasil representasi
dari pemaknaan dan pemikiran Fiqh Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Fiqh Indonesia adalah kenyataan budaya
yang sudah terpatri dalam praktik masyarakat Indonesia yang didasarkan pada
pengembangan beberapa teori dari aliran-aliran yang berkembang dalam diskursus
wacana Ushul al-Fiqh. Diakui atau tidak, Fiqh Indonesia sebetulnya ada, dipahami dan dipraktikkan.27 Fiqh atau hukum Islam yang menjiwai sebuah aturan negara (Fiqh Mazhab Negara) yang didasari atas praktik tradisi masyarakat
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, kalangan akademisi, pesantren,
feminis, dan seluruh masyarakat bangsa Indonesia (Keindonesiaan) maka itu
disebut sebagai Fiqh Indonesia. Fiqh yang menyatu dengan budaya dan tradisi
Indonesia (kepribadian Indonesia, tabi‟at dan watak Indonesia) yang Bhineka Tunggal Ika, beragam namun diikat dalam tali persatuan hukum Indonesia.
B. Penggagas Fiqh Indonesia
Dalam konteks perkembangan hukum Islam di Indonesia, pada sekitar
tahun 1940-an, lahirlah seorang tokoh dalam perjalanan hidupnya dikenal sangat
produktif yang oleh Ahmad Sjadzali dijuluki sebagai Syaikh Fuqaha Indonesia,
mencoba mengembangkan “Fiqh Indonesia” yang didasarkan pada pengembangan
beberapa teori dari aliran-aliran yang berkembang dalam diskursus wacana Ushul
27
al-Fiqh. Beliau adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut Hasbi.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia abad ke-20 merupakan salah satu
inti reformasi pemikiran Islam secara menyeluruh di Indonesia. Secara internal,
pembaharuan hukum Islam ini diarahkan untuk membenahi
kelemahan-kelemahan umat Islam Indonesia dengan titik tekan yang difokuskan pada upaya
untuk (1) memurnikan praktik-praktik keagamaan umat dari pengaruh-pengaruh
non-Islam; (2) membuka pintu ijtihad yang selama ini dianggap tertutup; (3)
mengendorkan fanatisme mazhab; (4) memperluas bidang kajian hukum Islam
secara akademis; dan (5) pengenalan metodologi penetapan hukum Islam yang
diaplikasikan ke dalam studi perbandingan mazhab. Hasbi terbukti memberikan
andil yang sangat besar dalam rangka mewujudkan pembaharuan yang dapat
disebut tema “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” ini. Dalam perkembangannya, pembaharuan ini melunak dari sikap fundamentalis puritanis
menuju sikap loyalis, yang ditandai dengan munculnya gagasan “Mazhab
Nasional”, “Reaktualisasi Hukum Islam”, “Pribumisasi [Hukum] Islam” dan “Zakat sebagai Pajak”. Hasbi sendiri mempertegas kehadirannya dengan menawarkan konsep “Fiqh Indonesia”.28
Berbeda dengan tema “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”, yang secara radikal berusaha untuk memurnikan praktik-praktik umat dari pengaruh
adat, “Keindonesiaan” justru berupaya untuk menerima dan mengakomodasi adat
dengan menjadikannya sebagai bagian dari dirinya sejauh telah dilakukan seleksi.
28
Politik merupakan faktor yang paling dominan dalam rangka memperkokoh tema
“Keindonesiaan” yang bermaksud untuk memahami dan mengimplementasikan cita-cita pembuat undang-undang di Indonesia, sebuah negara bekas jajahan yang
bercita-cita untuk membangun sistem hukumnya sendiri. Setelah melalui
ketegangan-ketegangan politik, dari yang sangat keras hingga diplomasi penuh
senyum, akhirnya pembaharuan hukum Islam keindonesiaan bercorak
konstitusional pun membuahkan hasil. 29 Dari penjelasan tersebut, didukung oleh kungkungan situasi dan kondisi tentang kurang empirisnya wacana yang
dikembangkan dalam pemikiran keislaman merupakan bagian yang
mempengaruhi (cukup dominan) dalam munculnya gagasan Fiqh Indonesia ini.
Dari sini, langkah-langkah selanjutnya yang membuahkan hasil dengan
program Kompilasi Hukum Islamnya. Tentu saja kodifikasi hukum Islam juga
menjadi perhatian dengan hasil Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan
dan Undang-undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Jadi, jelaslah bahwa
Fiqh Indonesia merupakan inisiatif pertama menuju keindonesiaan hukum Islam
di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan jembatan penghubung antara tema
“Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” dengan orientasi keindonesiaan yang konstitusional.
Nalar berpikir yang digunakan Hasbi dengan gagasan Fiqh Indonesia
adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya
memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru
serta dalam pilihan-pilihan hukum yang lebih dari satu (dzu wujuhin) dalam
29
menghadapi suatu masalah sosial keagamaan. Dengan berpegang pada paradigma
itu, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu
ijtihad (insidad bab al-ijtihad) merupakan isu usang yang harus segara ditinggalkan.30
Puncak pemikiran ini terjadi pada 1961, ketika dalam satu acara Dies
Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan definisi
Fiqh Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema
“Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman”, Hasbi secara tegas mengatakan: “Maksud untuk mempelajari syariat Islam di universitas-universitas Islam sekarang ini supaya fiqh atau syariat Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum-hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang berusaha me-Mesir-kan fiqhnya.
Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian
Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
Fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagiannya
adalah fiqh Hijaz, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf
yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Mesir, yaitu fiqh yang telah terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi, yaitu fiqh yang terbentuk atas ‘urf dan adat istiadat yang berlaku di India.
Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihâd, menujukkan hukum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijazi atau fiqh Misri atau fiqh Iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid”31
30
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, h. 66
31
Pemikirannya tentang hukum yang dibangun dari sumber-sumber yang
telah ada, sangatlah relevan dengan kondisi sosial Indonesia. Andi Sarjan
mengatakan:
“Salah satu faktor yang menunjang pembaharuan pemikiran Hasbi adalah
sikap keterbukaannya menerima metodologi hukum Islam dari semua aliran mazhab. Hal ini disebabkan oleh sikapnya yang tidak terikat kepada salah satu aliran mazhab.32 Pernyataan ini berdasar dari pengakuan Hasbi
sendiri: “Kita harus mempelajari fiqh tingkat tinggi secara muqaranah
(perbandingan) jangan terbatas dalam mazhab tertentu”.33
Munculnya banyak respons di kemudian hari, baik positif maupun negatif
dari para ulama dan intelektual Islam Indonesia, terutama menyangkut nasib
agama ketika harus berhadapan dengan adat yang tidak pernah sama dan seragam,
atau lebih spesifik lagi, relasi antara hukum Islam (fiqh) dengan perubahan sosial yang senantiasa berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.34
Terkait hal ini, pada dasarnya terdapat dua teori besar di dalam pemikiran
hukum Islam, yang memiliki paradigma dan cara pandang yang bukan saja
berbeda, akan tetapi juga saling bertentangan. Kedua teori tersebut adalah Teori
Keabadian (atau biasa disebut dengan Normativitas Hukum Islam) dan Teori
Adaptabilitas Hukum Islam. Teori Pertama berasumsi dan meyakin bahwa hukum
Islam, sebagai wahyu yang ditetapkan oleh Tuhan, ia tidak mungkin berubah atau
diubah, sebagai konsekuensinya, ia juga tidak beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Sementara teori kedua justru berasumsi bahwa hukum Islam, sebagai
32
Andi Sarjan, Pembaharuan Pemikiran Fiqh Hasbi, disertasi doctor tidak diterbitkan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatulllah, 1995), h. 4
33
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 160
34
hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan umat manusia, maka ia bukan
saja bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, akan
tetapi juga bisa berubah atau diubah demi mewujudkan kemaslahatan umat
manusia.35
Penulisan skripsi ini ke depannya akan menggunakan model berpikir dan
pemahaman dari teori yang kedua, berupa gagasan Islam Indonesia yang dibentuk
oleh Hasbi yaitu Fiqh Indonesia. Hal ini menjadi menarik karena isu-isu seputar
diskursus adaptabilitas hukum Islam di Indonesia kurang begitu menggema dan
dianggap tak menarik pembahasannya karena masih jumud dan fanatiknya pemahaman masyarakat akan hukum Islam (fiqh). Namun, tentu saja pandangan ini jangan sampai menjadi mainstream, apalagi Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Adanya fenomena gagasan Fiqh Indonesia
yang digagas dan dilontarkan oleh Hasbi merupakan titik balik dan tonggak awal
perjuangan intelektual muslim Indonesia untuk menepis anggapan itu, sekaligus
ingin menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki ciri khas serta
kebutuhan akan kemaslahatan yang sama meski harus berbeda dalam bentuk dan
wujudnya.
Dari uraian di atas, penulis memiliki maksud bahwa kearifan lokal dan
sosial mestilah kita jaga bersama dengan berlandaskan pada model berpikir Fiqh
Indonesia (yang tentu saja dijiwai oleh semangat keindonesiaan), hal tersebut
tidak lain dan tak bukan merupakan kelanjutan pembumian nilai-nilai Islam.
Khususnya nilai-nilai yang terkait dengan hukum Islam yang dikatakan sebagai
35
rahmat li al-‘alamin, bukan hanya rahmat bagi individu, kelompok atau masyarakat tertentu. Dengan demikian, perbedaan yang sedemikian kompleks dan
beragam menuntut kita agar dapat bersikap bijak menghadapinya, jika Islam
memang rahmat bagi semua, maka tentu perbedaan pendapat (di antara umat
Islam) itu juga merupakan rahmat bagi kita bangsa Indonesia.
C. Metode dan Model Berpikir Fiqh Indonesia
Sebelum memasuki pembahasan inti tentang metodologi Fiqh Indonesia,
ada baiknya jika di sini terlebih dahulu diperkenalkan pandangan Hasbi tentang
sumber hukum Islam. Hasbi meyakini bahwa Allah selalu mengutus serangkaian
rasul dengan mebekali mereka dengan Syariah yang hanya sesuai dengan
masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu. Penggantian seorang rasul berarti
pula penggantian dan penyempurnaan Syariah terdahulu sesuai dengan perubahan
ruang dan waktu. Rangkaian rasul ini mencapai titik kulminasinya dengan
pengutusan Muhammad, sekaligus menandai kesiapan umat manusia untuk
menerima risalah universal yang mampu mengakomodasi perubahan ruang dan
waktu.36
Walaupun meyakini ijtihad sebagai satu-satunya cara di mana risalah
terakhir (yang tertuang dalam teks Ilahiah yang terbatas jumlahnya) ini mampu
mengantisipasi perubahan ruang dan waktu, Hasbi menempatkan ijma‟, qiyas,
istihsan, „urf dan istishab dalam dua posisi yang berbeda. Di satu sisi, ia
menjadikan prinsip-prinsip ini (bersama Al-Quran dan Sunnah) sebagai sumber
36
ijtihad, sehingga juga merupakan sumber hukum. Disisi lain, ia menganggap
prinsip-prinsip ini sebagai metode ijtihad (turuq al-Istinbath atau al-Masalik). Dengan menggunakan prinsip-prinsip inilah kemudian Hasbi ingin menciptakan
Fiqh Indonesia sembari memegang teguh ajaran bahwa tujuan hukum Islam
adalah mendatangkan maslahat dan menghilangkan mafsadat.37
Fiqh Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak lokal, harus
terlebih dahulu menentukan ruang lingkup, dengan cara membedakan tiga istilah
di Indonesia yang sering dianggap sama. Fakultas Hukum di lingkungan
perguruan tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menggunakan istilah hukum Islam untuk menyebut mata kuliah yang
membahas tentang perkawinan, kewarisan dan wakaf. Batasan semacam ini,
menurut Hasbi, jelas berakibat menciutkan pengertian Syariah yang mencakup
hukum-hukum akidah, akhlak dan amaliah. Fiqh, yang secara teknis sering
dipahami sebagai “hukum-hukum Syariah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya,” merupakan bagian dari Syariah itu sendiri tetapi lebih luas dari pada hukum Islam
karena fiqh mencakup hukum-hukum muamalah dan ibadah, di mana aspek yang
terakhir ini tercakup dalam istilah hukum Islam.38
Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa menyamakan Syariah
dan fiqh berarti menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi, maka
Hasbi mengatakan bahwa Syariah sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut.
Dengan kata lain, Syariah lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqh
37
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, h. 38
38
lebih sebagai hukum in concreto.39 Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqh menjadi fiqh
Qur’ani, yaitu hukum yang secara tegas ditemukan di dalam Al-Quran; fiqh Nabawi, yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Quran tetapi ditegaskan oleh Hadis; dan yang ketiga adalah fiqh ijtihadi, sebagai inti Fiqh Indonesia yang dijiwai oleh Syariah, besifat dinamis dan elastis karena dapat berubah sesuai
dengan perubahan ruang dan waktu. Jadi fiqh ijtihadi bersifat lokal, temporal dan relatif.40
Untuk menjustifikasi lokalitas Fiqh Indonesia, Hasbi berpegang pada
sejarah perkembangan fiqh (tarikh tasyri’).41 Tarikh tasyri‟, kata Hasbi, membuktikan bahwa fiqh lokal sudah muncul sejak awal penyebaran Islam
melewati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di
Madinah, Syafii di Baghdad (Mazhab Qadim) dan kemudian Mesir (Mazhab
Jadid), di samping mazhab Hanbali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari
contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini, menurut Hasbi, dikarenakan
perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri.42 Walau
dilegitimasi oleh tarikh tasyri‟, Hasbi masih saja menekankan bahwa lokalitas
Fiqh Indonesia harus ditopang oleh studi kasus (dirasat al-Waqa’i) mengenai
39 Nouruzzaman Shiddiqi, “Pemikiran Muhammad Habsi Ash Shiddieqy tentang
Pembinaan Hukum Islam di Indonesia”, makalah seminar, Sunan Kalijaga, 1986, h. 5
40
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 50; idem, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 31; idem, Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 50 dan 159.
41
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, edisi ke-6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 1: 92; idem, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) h. 95-104; Idem, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, h. 16-17.
42
masyarakat Indonesia dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini
harus menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara umum
untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan
masyarakatnya. Selanjutnya kita akan memasuki fase pemecahan masalah.
Hasbi menganjurkan agar para pendukung Fiqh Indonesia menggunakan
metode perbandingan mazhab (lintas mazhab) manakala problem yang dihadapi
sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada.
Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab-mazhab Sunni ini dibagi menjadi
dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab, termasuk yang non-Sunni. Kedua-duanya dilakukan demi
mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan
kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti
dengan studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan
harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.43
Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan langkah sebagai
berikut:44
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegangi oleh setiap imam mazhab
maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan cara
meneliti alasan-alasan mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang mereka pegangi maupun yang
diperselisihkan
43
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, h. 40
44
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam
mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih
argumen-argumen yang terkuat.
Hasbi meyakini bahwa Fiqh Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung
oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqh dan hukum adat Indonesia,
antara fiqh dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syariat (agama-agama)
lain dan antara fiqh dengan sistem hukum internasional.45 Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh
mujtahid-mujtahid terdahulu, maka Hasbi menganjurkan agar pendukung Fiqh Indonesia
melakukan ijtihad bir-ra‟y, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliah dan illat (kausa) hukum.”46 Sedangkan metode yang harus ditempuh adakalanya:
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah tidak berlaku.47 2. Istihsan dengan berbagai macamnya: istihsan bi nass,istihsan bi
al-ijma’, istihsan bi al-qiyas, ist