• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penganut Agama Hindu Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (Tahun 1985-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penganut Agama Hindu Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (Tahun 1985-2000)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Katar Kacaribu Umur : 67 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Tanjung Mbelang

Pekerjaan : Pendeta Agama Hindu Desa Tanjung Pulo

2. Nama : Dinis Sitepu Umur : 56 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Kabanjahe

Pekerjaan : Penyuluh Agama Hindu di Kabupaten Karo

3. Nama : Terkelin tarigan Umur : 49 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Tanjung Pulo

(2)

4. Nama : Karta Bangun Umur : 59 Tahun Jeni Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Tanjung Pulo

Pekerjaan : Sekretaris Desa Tanjung Pulo

5. Nama : Aristo Bangun Umur : 55 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Tanjung Mbelang Pekerjaan : Petani

6. Nama : Beluhngena Br Bangun Umur : 52 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Tanjung Pulo Pekerjaan : Petani

7. Nama : Tersena Br Sembiring Umur : 50 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

(3)

Pekerjaan : Petani

8. Nama : Benana Br Tarigan Umur : 56 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Tanjung Pulo Pekerjaan : Petani

(4)

LAMPIRAN

Gambar 1. Pura Sekula Serasi Tampak depan

(5)
(6)
(7)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik(BPS) Kabupaten Karo, Gambaran Umum Kabupaten Karo, Kabanjahe: BPS, 2000.

Bangun, Tridah, Manusia Batak Karo, Jakarta:PT.Gunung Agung,1985.

Bukit, Kuasa, Biografi Nini Bulang Jaksa Tua dan Kedatangan Injil ke Buluh Awar, Medan: Percetakan Ridho Tarigan, 2005.

Daulay, Fachruddin J, Bandar Barus Dalam Catatan Sejarah, Medan: Buletin Historisme Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU, 2009.

Ginting, E.P, Religi Karo, Medan:Abdi Karya Kabanjahe, 1999.

Sitepu Sempa, dkk, Pilar Budaya Karo, Medan: Tidak Diterbitkan, 1996.

Sjamsuddin, Helius, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak,2007.

Haris, Adam, Kehidupan Bersosial, Jakarta: F.a.Lisan, 1977.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:F.a. Aksara Baru,1985.

Mahasti, Sri Ayu, Pangguni Uttiram (Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri Thendayanudabani,skripsi, Medan: Tidak Diterbitkan, 2012.

M. Elly Setiadi, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Manurung, P, Metode Penelitian,Jakarta: Moeka Pubhlishing, 2012.

Putro, Brahma, Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid I, Medan: Ulih Saber,1995.

Shadily, Hasan, Ensklopedia Indonesia Jilid 6(SHI-VAJ), Jakarta: Ichtiar Van Hoeve,1980.

Sinar, Lukman Tengku, Sejarah Medan Tempoe Doeloe, Medan: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu (Satgas Mabmi),1996.

(8)

Tarigan, A Noprianta, Sesajen(Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten

Deliserdang,Provinsi Sumatera Utara,skripsi,Medan:Tidak Diterbitkan,2011.

Tarigan, Sarjani, Dinamika Orang Karo, Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia (BABKI),2008.

(9)

BAB III

AGAMA HINDU DI DESA TANJUNG PULO

3.1. Proses masuknya Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

(10)

seorang Brahmana, menikah dengan putri Karo yang kemudian mengembangkan Agama Hindu lalu bergabung ke dalam Marga Sembiring Brahmana.25

Perkembangan adalah sebuah pertumbuhan yang semakin meningkat dan maju. Perkembangan yang pesat Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo terjadi pada tahun 1970-1985. Beberapa faktor peningkatan Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo antara lain Pendeta yang dipilih adalah yang memiliki kemampuan baik tanpa

Kedatangan Agama Hindu ke Desa Tanjung Pulo tidak lepas dari peran Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK) yang dipimpin oleh Lemba Ginting pada tahun 1980-1985. Pada tahun tersebut Parisada Hindu Dharma Karo melayani umat Hindu.Pada tahun ini juga dibangun beberapa Pura, diantaranya Pura Sekula Serasi yang berada di Desa Tanjung Pulo. Pura yang ada di Tanjung Pulo adalah pecahan dari Pura Desa Bintang Meriah yang berbatasan dengan Desa Tanjung Pulo. Di Desa Bintang Meriah jumlah pemeluk Agama Hindu juga besar dan telah memiliki Pendeta diantaranya Pendeta Las Melas Sinulingga Beliau yang kemudian membawa Agama Hindu ke Desa Tanjung Pulo yang menyebabkan banyak masyarakat Tanjung Pulo memeluk Agama Hindu. Salah satu tokoh yang berperan yaitu dari Jaman Tarigan(Dharma Duta) pengembang Agama Hindu dan tokoh Hindu Karo yang ikut juga ke Desa Tanjung Pulo.

3.2. Perkembangan Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

25

(11)

terkecuali pria dan wanita maupun kaum muda Desa. Adanya Kalapatra26

Pura Sekula Serasi mempunyai empat sudut, dan terdapat patung singa yang dijadikan tempat sesajen, dan di tingkat kedua terdapat empat sudut yang bergambar gajah yaitu gambar dari Ganesha. Dibelakang Pura terdapat patung angsa dan garuda dimana makna dari angsa untuk membedakan yang buruk dan yang benar. Di atasnya dalam Agama Hindu yaitu dimana Hindu berada maka Agama Hindu tersebut mengikuti tradisi dan budaya daerah yang ditinggali. Hal ini menyebabkan masyarakat nyaman untuk memeluk Hindu khususnya masyarakat Desa Tanjung Pulo.

Semakin bertambahnya jumlah umat tentu membutuhkan tempat beribadah untuk menjalankan ibadah. Di Desa Tanjung Pulo tempat ibadah yang dibangun adalah Pura Sekua Serasi.Desa Tanjung Pulo bukanlah sebuah Desa dengan kepadatan penduduk yang padat. Akan tetapi bisa digolongkan sebagai desa kecil. Pada tahun 1984-2000 jumlah kepala keluarga yang ada di Desa ini hanya 75 kepala keluarga dan yang memeluk Agama Hindu sebanyak 45 kepala keluarga.

Saat pendirian Pura Sekula Serasi panitianya dibentuk oleh Lehu Bangun. Ketuanya adalah Inget Tarigan. Pura dibangun pada tahun 1984. Pura di Desa Tanjung Pulo diberi nama Pura Sekula Serasi yang artinya Sekula adalah satu tubuh, satu darah dan serasi yaitu selaras atau memiliki keberuntungan dan rejeki.Jadi Pura Sekula Serasi di Desa Tanjung Pulo diharapkan memiliki keberuntungan, selaras, dan masyarakat pemeluk Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo terus berkembang.

26

(12)

lagi terdapat Patma seperti bunga teratai berdaun lapan yang melambangkan hati. Sedangkan diatas Pura ada lambang naga (istana Dewa). Di Pura Sekula Serasi inilah masyarakat yang beragama Hindu melakukan sembahyang dan upacara yang pernah dilakukan yaitu Purnama Tilem yaitu perayaan Agama Hindu untuk mengucapkan terima kasih kepada sang yang Widiwase, dan upacara meminta perlindungan yaitu Butakala yang dilakukan sekali sebulan.

Sesajen dan perlengkapan untuk melakukan ritual Agama Hindu berupa cimpa, lepat27, pisang hasil dari pertanian masyarakat, bunga tiga warna yang disebut dengan Sempa. Pakaian yang dipakai hampir mirip dengan Pakaian umat Hindu di Bali, pinggang diikat dengan selendang. Terdapat juga Dupa untuk membakar dimana fungsi dari Dupa ini untuk membersihkan tangan dan menghidupkan kepanasan daging, karena asap dari Dupa sebagai penyambung ke pencipta , minyak air mata duyung, beras, mangkok, tampah. Pendeta ritual seperti ini biasanya didatangkan Parisada Hindu Dharma Karo dari Pura Agung di Jalan Polonia Medan.28

27

Cimpa dan Lepat adalah salah satu makanan khas tradisional dari masyarakat Karo

28

Wawancara dengan Katar Kacaribu di Desa Tanjung Mbelang, 18 November 2016

(13)

3.3.Interaksi masyarakat penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

Interaksi adalah suatu peristiwa saling memengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, yang kemudian menciptakan suatu hasil sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi tindakan setiiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain terjadi dalam setiap kasus interaksi.29

Pada tahun 1970-1985 masih banyak masyarakat Karo yang beragama Hindu, dimana telah ada Parisada Hindu Dharma Karo(PHDK), bahkan di tingkat kecamatan Interaksi masyarakat penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo telah diikat oleh satu landasan di dalam Parisada Hindu Dharma Desa. Umat Hindu di Desa Tanjung Pulo mempunyai pendeta yang melayani mereka di Desa Tanjung Pulo dan menjadi guru bagi masyarakat desa. Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo dipimpin oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia(PHDI) yang menjadi pusat Parisada kemudian dibawahnya ada Parisada Provinsi, Parisada Hindu Dharma Karo, Parisada Hindu Dharma Kecamatan. Yang terakhir adalah Parisada Hindu Dharma Desa, di dalam struktur ini semua lapisan pemeluk Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo berinteraksi.

3.3.1. Interaksi sesama Penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung

29

(14)

Agama Hindu telah memiliki Parisada Kecamatan. Pada tahun 1970-1985 banyak Pendeta Hindu dari Kecamatan yang lain yang pernah melayani di Tanjung Pulo, dari Kecamatan Juhar, Kecamtan Lau Baleng, Kutabuluh Simole. Kedatangan Pendeta ini untuk memberikan pendalaman tentang Hindu.

Hubungan sesama pemeluk Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo sangat erat. Hal ini bisa dilihat ketika hari-hari besar Hindu Pendeta dan umat Hindu yang menerima undangan dari desa yang lain akan menghadirinya. Begitu juga ketika ada acara ritual di Desa Tanjung Pulo pemeluk Hindu juga hadir dan ikut berperan dalam upacaranya. Pemeluk Hindu yang menghadiri upacara-upacara besar Hindu di Tanjung Pulo tidak hanya orangtua saja tetapi juga kaum muda dan mudi.

(15)

dalam acaranya dimana dilakukan di Jambur30

Sesuai dengan arti salam Om Shanti Shanti Om yang artinya “Semoga damai atas karunianya” dapat disimpulkan bahwa Agama Hindu dalam sejarahnya sangat menjunjung tinggi perdamaian dan persahabatan. Penyebabnya yang pertama ada pengakuan bahwa Tuhan itu satu , tetapi disebut dengan banyak nama (Ekam Sat Vipra Bahuda Vadanti). Yang kedua menyatakan jiwa manusia adalah sama, menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri (Tat Tvam Asi). Ketiga semua mahkluk adalah satu keluarga (Vasudaiva Kutumbakan). Perdamaian dalam Agama Hindu tidak hanya berarti perdamaian sesama Hindu saja, tapi perdamaian dengan semua ciptaanNya tanpa membedakan SARA.

Desa Tanjung Pulo sesuai dengan tradisi adat Karo.

3.3.2. Interaksi dengan masyarakat bukan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Masyarakat Hindu Tanjung Pulo tidak pernah mengalami pertikaian dengan bukan penganut Hindu. Hal ini karena masyarakat Tanjung Pulo memegang erat tradisi Sangkep Enggeloh dalam kehidupan orang Karo. Didalam Sangkep nggeluh ini ditekankan rasa kekeluargaan, persaudaraan, jadi sangat dipantangkan untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat, walaupun bukan dengan kepercayaan yang sama.

30

Jambur dalam bahasa Karo adalah tempat diadakannya pesta pernikahan, meninggal dunia,

(16)

Prinsip Hindu tersebut juga mengakar di dalam diri masyarakat Tanjung Pulo dimana masyarakat yang bukan pemeluk Hindu memiliki hubungan yang erat dengan pemeluk Hindu yang ada di Tanjung Pulo. Pura Sekula Serasi adalah tempat ibadah pertama yang ada di Desa Tanjung Pulo, dimana selain Hindu, ada juga Agama Katolik, Kristen Protestan, dan Islam di DesaTanjung Pulo, dan semua masyarakat Desa Tanjung Pulo mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi tanpa membedakan kepercayaan mereka. Penganut Hindu di Tanjung Pulo ketika ada undangan dari bukan penganut Hindu dalam upacara besar keagamaan seperti hari natal, hari raya, penganut Hindu Tanjung Pulo ikut berperan dan menghormatinya. Hanya tersisanya lima kepala keluarga penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo, maka interaksi dengan masyarakat semakin melemah karena masyarakat Tanjung Pulo sekarang lebih banyak menganut Agama Kristen dan Islam. Munculnya perasaan dikucilkan dan dianggap sebagai agama Perbegu31

31

Perbegu adalah kepercayaan tradisional masyarakat Karo yang bersifat magis dan dianggap negatif oleh masyarakat sekarang.

(17)

1.Pura Sekula Serasi Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung

2.Pura Dharma Pratama Desa Bintang Meriah Kecamtan Kutabuluh Simole 3.Pura Desa Kutambaru Kecamatan Munte

4.Pura Kelengi Dehet Tinuang Desa Pernantin Kecamatan Juhar 5.Pura Sidua-dua Desa Durin Rugun Kecamatan Lau Baleng

(18)

BAB IV

KEBERADAAN PENGANUT AGAMA HINDU DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN PAYUNG KABUPATEN KARO

Keberadaan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo pernah sangat berkembang. Dimana pengarug Agama Hindu di Karo bisa dilihat dari adanya arca-arca Mejan(tempat sesajen diletakkan) atau arca-arca Pulu Balang32

Menurut sejarah Hindu, Maharesi Agastya Bhatara Guru adalah Maharesi yang pertama mengajarkan agama Hindu sekte Ciwa ke Nusantara. Beliau keturunan

. Serta golongan Marga Sembiring keturunan Hindu Padang dan Hindu Tamil, bersama Marga Lingga, Marga Surbakti, Marga Kaban, dan Kacaribu di Karo. Disamping itu banyak juga terdapat kata Sanskerta dan Kawi dalam perbendaharaan kata-kata Karo, antara lain, Seberaya, Gurubenua, Gurusinga, Tanduk Benua, Ajinembah, Banuaraya, Sarinembah, Lingga, Brahmana, Pandya, Teykang, Maliala, Maha. Maka tidak dapat dipungkiri lagi Agama Hindu pernah sangat berkembang di daerah Sumatra utara pada jaman Purba kala yaitu daerah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Singkel, Alas, Gayo dan terus kelembah Aceh besar, sebagian dataran Simalungun, Asahan, Mandailing dan Angkola.

32

Pulu Balang adalah tempat berupa batu besar yang dianggap keramat dan biasanya

(19)

Baghavat Brgu, seorang penulis kitab suci Weda Smrti dari ajaran Manu, dan Manu adalah asal dari Manusia.33

Menurut Moksa Ginting Dharma Dhuta Hindu Provinsi Sumatera Utara, menjelaskan Maharesi Agastya adalah Maharesi yang pertama kali mengembangkan agama hindu ajaran Bhagavat Brgu di Sumatera Utara dimana kata Bergu itu disamakan dengan nama Per Begu atau Sipelebegu atau disebut juga nama roh yang di Karo dinamai dengan Tendi

Di daerah Karo, Simalungun, Pakpak dan Toba nama Bhatara Guru selalu disebut-sebut sebagai Dewa dalam mantra-mantra untuk acara religius, seperti memasuki rumah baru, memandikan anak yang lahir (petalayoken), memandikan air suci (erpangir) dan lain-lain. Maharesi Agastya Bhatara Guru sebelum tahun 760 Masehi sudah meninggal dunia karena rohnya sudah dipuja sebagai Dewa Pitra. Arca makam beliau ini pada mulanya diperbuat dari kayu kemudian diganti dengan batu hitam.

34

Kedatangan Maharesi Brgu awal mengembangkan pengaruh Hindu masuk ke Tanah Karo, keberadaan Hindu di Tanah Karo juga diperjelas banyaknya nama Lingga di daerah Karo, Pakpak dan Simalungun sebagai nama kampung dan nama

bilamana manusia yang masih hidup dan bilamana manusia itu sudah meninggal dunia maka rohnya itu dinamai ‘Begu’ asal kata dari Brgu, yang sudah pasti karena keluhuran Maharesi Brgu itulah makanya dinamai roh menjadi Brgu atau Begu.

33

Brahma Putro, Karo dari zaman ke zaman jilid I.Medan:Ulih Saber,1995,hal.25

34

(20)

suku Marga. Suatu fakta menunjukan bahwa di daerah itu pengaruh agama Hindu Sekte Ciwa berkembang dan berpengaruh, agama Hindu ajaran Per Begu/Sipelebegu di daerah Sumatera Utara, adalah Sekte Ciwa yang berpedoman pada Weda Smrti, yang didaerah Karo Weda itu dinamai Pustaka Najati.

Penganut Agama Hindu di Indonesia memiliki Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI sebagai Majelis Organisasi umat Hindu Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan maupun sosial. Parisada Hindu Dharma Indonesia yang awalnya bernama Parisada Hindu Dharma Bali didirikan pada tahun 1959 untuk memperjuangkan agar Agama Hindu menjadi agama yang diakui di Indonesia. Pada tahun 1964, nama organisasi berubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia perubahan ini mencerminkan upaya-upaya selanjutnya untuk mendefinisikan Hindu tidak hanya sebagai kepentingan bali tetapi juga Nasional. Pengurus pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia berkedudukan di Jakarta. Parisada Hindu Dharma Indonesia juga memiliki Angaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga. Hal ini sebagai pedoman bagi Parisada Hindu Dharma Provinsi, Parisada Hindu Dharma Kabupaten, Parisada Hindu Dharma Kecamatan, sampai yang terakhir Parisada Hindu Dharma di Desa.

(21)

berdasarkan ketentuan yang diatur dalam kitab suci Manava Dharma Sastra.35

Keberadaan penganut Agama Hindu di Kabupaten Karo khususnya di Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Payung mengalami dinamika. Dimana pernah menjadi mayoritas dan sekarang menurun dan menyisakan lima kepala keluarga.Agama Hindu pernah menjadi salah satu agama terbesar di Kabupaten Karo. Hal ini disebabkan di Agama Hindu menganut sistem Kalapatra.

Parisada Hindu Dharma Indonesia inilah menjadi tonggak dan landasan seluruh umat Hindu di Indonesia begitu juga di Tanah Karo.

36

yang artinya dimana penganut Agama Hindu itu berada maka penganut Agama Hindu itu akan mengikuti budaya dan tradisi di daerah tempat tinggalnya37

Setiap Desa di Karo mempunyai tempat yang dianggap sakral dan keramat.Di tempat itu masyarakat Karo melakukan persembahan kepada roh nenek moyang. Mereka juga memberikan sesajen di tempat keramat tersebut misalnya ercibal belo

. Artinya Agama Hindu memiliki strategi untuk masuk ke masyarakat Karo. Hal ini menjadi salah satu faktor masyarakat Karo banyak yang masuk memeluk Agama Hindu karena tidak meninggalkan budaya dan tradisi leluhurnya. Hal ini terlihat pada tata ibadah Agama Hindu tersebut di Kabupaten Karo. Masyarakat Karo yang telah menganut Agama Hindu masih tetap menjalankan tata ibadah berdasarkan kebudayaan Karo. Perbedaanya masyarakat Karo menyembah roh leluhur nenek moyang tetapi setelah menganut Agama Hindu masyarakat Karo menyembah Dewa yang dipercayai Agama Hindu

35

Http:// Parisada Hindu Dharma Indonesia Wikipedia.com diakses tanggal 18 Desember 2016

36

Http://Hindualukta.blogspot.com. diakses tanggal 19 desember 2016

37

(22)

(meletakkan daun sirih), bunga, ayam, cimpa (masakan khas Karo). Pada waktu ini masyarakat Karo masih memeluk Animisme. Setelah Masuknya Agama Hindu terjadi perbedaan dalam pemujaanya. Akan tetapi tradisi sesajen masih menggunakan sistem Animisme tersebut. Masuknya Hindu menjadikan masyarakat Karo memuja Dewa yang dipercayai dalam Agama Hindu. Ada banyak Dewa dalam ajaran Agama Hindu dimana Dewa tersebut memiliki tugas dan peran masing-masing yang dipercayai penganut Agama Hindu. Diantara sekian banyak Dewa yang dikenal dalam ajaran Hindu, ada istilah Trimurti. Trimurti merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan tiga Dewa tertinggi yang memegang kekuasaan yang penuh dan tugas yang berat.38

38

Wawancara dengan Katar Kacaribu Pendeta Hindu di Desa Tanjung Pulo tanggal 18

Desember 2016

Ketiga Dewa tersebut adalah: 1.Dewa Brahma

Dewa Brahma dianggap sebagai manifestasi Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Dewa Brahma merupakan simbol kekekalan yang tiada akhir dan ilmu pengetahuan. 2.Dewa Wisnu

Dewa Wisnu merupakan Dewa pemelihara semesta dan segala ciptaan Dewa Brahma. Menurut kepercayaan Hindu Dewa Wisnu akan turun ke dunia apabila kejahatan merajalela.

3.Dewa Siwa

(23)

Keberadaan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo juga memiliki persamaan tradisi dengan Hindu di India, dimana di Desa Tanjung Pulo sendiri masyarakat mengenal Pulu Balang, erpangir kulau, memasuki rumah baru, memandikan anak yang baru lahir (petalayoken), upacara kematian menurut sistem Agama Hindu yang terakhir dilakukan pada tahun 1992 di Desa Tanjung Pulo.

Berdirinya Parisada Hindu Dharma Karo menyebabkan perkembangan Agama Hindu di Tanah Karo semakin meningkat.Perkembangan ini terjadi pada tahun 1970-1985. Salah satu buktinya adalah pembangunan beberapa Pura di Tanah Karo antara lain Pura Sekula Serasi yang dibangun untuk kecamatan Payung. Begitu juga hubungan dengan Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara sangat baik. Hubungan timbal balik seperti pelayanan Pendeta dari Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara ke Tanjung Pulo.Hubungan dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia terjalin dengan baik.Banyak masyarakat Bali yang datang dan memberi bantuan untuk membangun Pura di Tanah Karo, termasuk di Tanjung Pulo.

(24)

dalam melayani umat Agama Hindu, memberikan arahan terhadap semua Parisada Kecamatan dan pelayanan ke Desa-desa. Sehingga pada periode ini penganut Agama Hindu mulai beralih dari Agama Hindu ke agama lain. Hal ini bisa dilihat dari tabel dibawah.

TABEL

PERSENTASE PENDUDUK MENURUT AGAMA KEPERCAYAAN TAHUN 1999

No. Agama Persentase

(1) (2) (3)

1. Islam 27,97

2. Kristen Protestan 52,30

3. Katolik 17,90

4. Hindu 0,56

5. Budha 0,62

6. Lainnya 0,65

Jumlah

100,00

SUMBER: Kantor Dinas Agama Kabupaten Karo

4.1Faktor Internal

(25)

Kelompok, Komunitas, Organisasi itu sendiri. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak adanya persamaan pendapat di dalam tubuh Individu, Kelompok, Komunitas, Organisasi dimana mereka bernaung dan melakukan sebuah kegiatan.

Faktor Internal dapat terjadi karena perubahan jumlah penduduk baik bertambah atau berkurang jumlahnya, adanya penemuan-penemuan baru misalnnya masuknya sebuah kebudayaan yang baru yang lebih menarik dibandingkan dengan kebudayaan yang telah lama dipakai oleh masyarakat sebelumnya sehinga kebudayan lama itu dapat berganti. Adanya pertentangan atau konflik antara individu atau kelompok maupun antarkelompok. Faktor Internal dapat juga terjadi akibat pembrontakan atau revolusi karena revolusi berpengaruh besar pada perubahan struktur masyarakat dan lembaga masyarakat mulai dari lembaga terkecil yaitu keluarga sampai lembaga-lembaga negara.

Di Desa Tanjung Pulo sendiri penyebab menurunnya penganut Agama Hindu ada juga disebabkan oleh faktor internal. Sehingga terjadi penurunan dan degradasi yang mengakibatkan Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo hampir hilang dan tinggal menyisakan 5 kepala keluarga.

4.4.1. Kurangnya Perhatian Parisada Hindu Dharma Provinsi Sumatera Utara terhadap penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo.

(26)

Pura Raksabuana di Jalan Polonia Medan juga pernah melayani di Desa Tanjung Pulo. Akan tetapi pada masa selanjutnya Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara terkesan kurang peduli dan sangat minim perhatian dari Parisada itu terhadap penganut Hindu di Desa Tanjung Pulo. Tidak ada lagi Pendeta yang melayani, tidak adanya pengarahan, kurangnya memberikan pembelajaran akan apa itu Hindu kepada Masyarakat Tanjung Pulo.masyarakat Tanjung Pulo belum memahami secara mendalam bagaimana sebenarnya ajaran Agama Hindu.

Banyak penganut Hindu di Desa Tanjung Pulo yang mempunyai talenta dan belajar di Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara tidak kembali lagi ke Tanjung Pulo. Mereka memilih tinggal di Medan. Begitu juga penganut Hindu Karo yang belajar ke Bali ketika selesai tidak lagi kembali ke Tanah Karo. Kondisi ini menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan di hampir seluruh Tanah Karo begitu juga di Tanjung Pulo. Hal ini tidak ditanggapi serius oleh Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara.39

Berkembangnya sebuah Agama tidak bisa lepas dari pembinaan generasi muda dan memberikan pengajaran tentang Agama tersebut. Generasi muda Penganut Agama Hindu Desa Tanjung Pulo banyak yang belum mengetahui sistem dan tata ibadah yang seharusnya dilakukan, bagaimana doa, serta mantra yang digunakan. 4.1.2. Minimnya pewarisan ajaran Agama Hindu terhadap generasi muda di Desa Tanjung Pulo.

39

Wawancara dengan Dinis Sitepu di Kabanjahe Kabupaten Karo(Penyuluh Agama Hindu

(27)

Pada umumnya mereka hanya mengetahui bahwa Agama Hindu adalah kepercayaan dari orangtua. Mereka tidak mempelajari secara mendalam bagaimana sebenarnya ajaran Agama Hindu, seperti apa sejarahnya dan tantangan yang dihadapi. Hal ini dipengaruhi kurangnya peran orangtua yang lebih paham dan telah lama memeluk Agama Hindu.Kondisi ini menyebabkan terjadinya ketimpangan serta menurunnya jumlah penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo. Dengan kurangnya kepedulian orangtua dalam mewariskan ajaran atau tata cara Agama Hindu terhadap generasi muda di Desa Tanjung Pulo menyebabkan mereka tidak tertarik dan merasakan Agama Hindu pernah menjadi Agama dari leluhur nenek moyangnya. Generasi muda tidak berminat bertanya kepada Pendeta Hindu dan pengurus Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo.

Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo biasanya melakukan tata ibadah seperti, sembahyang, memberikan sesajen pada hari raya besar Agama Hindu Nyepi. Penganut Agama Hindu Melakukan ritual doa dan pembacaan mantra serta banyak lagi aktifitas kesakralan. Akan tetapi Pendeta Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo sangat minim penyampaiannya kepada generasi muda penganut Agama Hindu Desa Tanjung Pulo sehingga mereka acuh tak acuh terhadap Agama yang mereka anut. Faktor internal lainnya yang mempengaruhi minimnya pewarisan ajaran Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo karena kurangnya pendeta atau orang yang paham tentang ajaran Agama Hindu.40

40

Wawancara dengan Hariuji Barus di Desa Tanjung Pulo (Tokoh masyarakat Karo) tangga 18

(28)

Penganut kaum muda Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo lebih tertarik mengikuti teman-temannya yang beragama Kristen dan Islam. Ketika hari minggu mereka ikut beribadah ke gereja dan ada juga yang mengikuti temannya yang ke masjid. Pada hari-hari besar keagamaan seperti natal dan paskah kaum muda penganut Agama Hindu datang juga dan akhirnya tertarik kemudian masuk ke Agama Kristen. Terjadinya perkawinan dengan agama lain dan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo banyak yang mengikuti agama dari calon pasangannya, seperti perkawinan dengan yang beragama Kristen dan Islam.

4.2. Faktor Eksternal

(29)

4.2.1 Masuknya Agama Kristen dan Islam ke Tanah Karo

Sebelum masuknya Agama Kristen dan Islam ke Tanah Karo masyarakat Karo menganut Agama Pemena yang kemudian berubah menjadi Agama Hindu. Agama Hindu yang dianut masyarakat Karo merupakan Agama pertama yang masuk ke Tanah Karo, kemudian perkembangan Agama di Tanah Karo dimasuki oleh Agama Kristen dan Islam.

Menurunnya penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo terjadi pada tahun 1965 karena pada tahun ini terjadi pembrontakan G 30 S. Masyarakat Karo yang mayoritas menganut Agama Pemena banyak yang masuk ke Kristen karena takut dianggap atheis. Komunis pada waktu itu dianggap atheis. Pada saat itu juga terjadi pembabtisan massal terhadap masyarakat Karo dan semakin berkuranglah penganut Hindu di Tanah Karo. Di tengah terjadinya Kristenisasi dan banyaknya umat Hindu yang beralih menjadi Kristen penganut Hindu di Desa Tanjung Pulo tetap bertahan dan perkembangan Kristen di Tanjung Pulo tidak begitu cepat. Hal ini terbukti dari masih banyaknya penganut Agama Hindu dan dibangunnya Pura di Desa Tanjung Pulo. Tempat ibadah yang pertama di Desa Tanjung Pulo adalah Pura Sekula Serasi.

(30)

positif ini yang membuat masyarakat Karo yang dulunya menganut Agama Hindu banyak yang beralih dan masuk menjadi Kristen.41

Proses Kristenisasi dan Islamisasi di tanah Karo merupakan salah satu faktor eksternal yang menyebabkan penganut Agama Hindu di tanah Karo dan khususnya di desa Tanjung Pulo terjadi penurunan umat yang sangat besar. Kelemahan Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam mengantisipasi gejolak ini menyebabkan terputusnya komunikasi Parisada Hindu dharma Indonesia dengan Parisada Hindu Dharma Karo bahkan hubungan Parisada Hindu Dharma Karo dengan Parisada Hindu desa Tanjung Pulo tidak lagi memiliki hubungan yang dekat. Selain itu strategi yang digunakan Parisada Hindu dharma Karo untuk mengatasi permasalahan ini tidak ada yang mendapatkan solusi dan menyebabkan penganut Agama Hindu di Tanah Karo mulai merosot tajam dan diambang kepunahan, dimana didalam persentase penduduk

Selain proses kristenisasi menurunnya umat Hindu ditanah Karo khusunya di desa Tanjung Pulo, proses islamisasi juga mempunyai peran dalam penurunan Agama Hindu. Sama halnya dengan Kristenisasi, perkembangan Islam pada tanah karo mendapat tantangan dan penolakan sebagian besar masyarakat karo. Perkembangan Islam diperkirakan pada tahun 1888 yang dibawa oleh para ulama yang berasal dari Aceh, para ulama dari Aceh ini menggunakan cara pengobatan dan ilmu kebatinan hal ini dilakukan tidak terlepas dari pengaruh masyarakat Karo masih menganut Animesme yang cenderung mengarah kearah mistik.

41

(31)

menurut Agama/kepercayaan tahun1999 penganut Agama Hindu di Tanah Karo hanya 0,56%42

Pengajar Agama Hindu identik dengan kata Guru dimana di dalam bahasa Sansekerta yang berarti pengajar atau pemimpin keagamaan maupun spiritual. Di dalam Agama Hindu guru dipandang sebagai pemimpin suci yang memberi kebijakan dan pedoman. Menemukan guru sejati seringkali menjadi syarat mutlak bagi orang yang ingin mencapai pencerahan.

.

4.2.2. Tidak tersedianya pengajar Agama Hindu di sekolah yang ada di Desa Tanjung Pulo

43

Sebelum perkembangan Agama Kristen dan Islam di Tanah Karo, masyarakat Karo mayoritas menganut Agama Hindu begitu juga di Desa Tanjung Pulo. Pada masa ini di setiap desa di Tanah Karo mempunyai Guru Agama Hindu dan Pendeta yang menjadi pelayan dan memberikan pengajaran tentang Agama Hindu. Guru Agama Hindu ini didatangkan dari Pura Raksabuana di jalan Polonia Medan. Masyarakat Bali di Medan yang menganut Agama Hindu sering datang melayani ke Tanah Karo. Masyarakat Bali di Medan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Pura Sekula Serasi di Tanjung Pulo.Terjalinnya hubungan yang erat sesama penganut Hindu di Medan dan Tanah Karo tidak terlepas peran dari Parisada Hindu Dharma Karo pada tahun 1980-1985. Begitu juga hubungan dengan kementerian Agama,

42

Sumber : Kantor dinas Agama kabupaten Karo

(32)

Parisada Hindu Provinsi Sumatera utara memiliki kesinambungan dan komunikasi yang baik. Putusnya hubungan kelembagaan Parisada Hindu Dharma Provinsi Sumatera Utara dengan Parisada Hindu Dharma Karo terjadi pada tahun 2000 karena tidak ada lagi hubungan yang baik dan menurunnya umat Hindu di Tanah Karo. Menurunnya penganut Agama Hindu di Tanah Karo pada tahun 2000 menyebabkan Parisada Hindu Dharma Provinsi Sumatera Utara tidak terlalu memperhatikan penganut Agama Hindu di Tanah Karo termasuk di Desa Tanjung Pulo. Pengajar Agama Hindu yang dari Medan tidak pernah lagi melayani ke Tanjung Pulo, dan terputuslah hubungan diantara lembaga keagamaa Hindu di Parisada Hindu Dharma Sumatera Utara, kementerian Agama, dan ke pusat terendah Parisada Dharma Desa Tanjung Pulo.44

44

Wawancara dengan Dinis Sitepu di Kabanjahe Kabupaten Karo( Penyuluh Agama Hindu)

tanggal 22 Desember 2016

(33)

Akibat dari kebijakan pemerintah Kabupaten Karo yang tidak menyertakan Agama Hindu sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah di Kabupaten Karo, maka akhirnya banyak penganut Agama Hindu di Kabupaten Karo yang kemudian pindah Agama menjadi Agama Kristen dan Islam.

4.2.3.Persepsi sebagian masyarakat bahwa Agama Hindu sama dengan ajaran Pelbegu

Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya Agama Kristen dan Agama Islam ke Tanah Karo, maka Agama Hindu dianggap sebagai Agama Pelbegu. Masyarakat Karo tidak menyadari bahwa Agama Pelbegu adalah Agama Hindu itu sendiri. Agama Pelbegu sendiri datang dari Maharesi Agastya dimana Beliau adalah pengembang ajaran Agama Hindu Bhagavat Brgu ke Tanah Karo dimana kata Bergu disamakan masyarakat Karo dengan kata Per Begu atau Sipelebegu Kata Pel Begu atau Sipelebegu sendiri datang dari keluhuran dan kesaktian dari Maharesi Agastya yang memberikan ajaran Agama Hindu sekte Ciwa di Tanah Karo.

Kemudian setahun setelah Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1946 Agama Pelbegu ini diubah menjadi Agama Pemena45

45

Agama Pemena artinya Agama yang pertama atau yang pertama dianut oleh masyarakat

Karo

(34)

dilakukan di sungai Lau Biang di Tanah Karo, pemotongan gigi dan menghitamkannya yang disebut dengan Erkiker, erpangir ku lau46, dan wanita pemeluk Agama Pemena juga membuat titik merah di keningnya, berdoa di bulan purnama seperti yang dilakukan penganut Hindu.47

Sebelum menganut Agama Pemena masyarakat Tanjung Pulo masih menganut animisme dan menyembah tempat-tempat keramat di Desa tersebut yang disebut dengan Pulu Balang, dan memiliki mantra doa tersendiri dalam bahasa Karo untuk menyembah roh nenek moyang supaya diberi keselamatan dan rejeki. Kedatangan Agama Pemena ke Tanah Karo mudah diterima masyarakat karena memakai sistem Kalapatra48 dan tidak menghilangkan budaya asli masyarakat Karo yang telah turun temurun. Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo ketika bulan purnama memberikan sesajen di Pura Sekula Serasi menggunakan mantra dan doa di dalam bahasa Karo, tetapi yang disembah Dewa Siwa yang merupakan salah satu Dewa di dalan ajaran Agama Hindu disinilah letak perbedaan antara Agama Pemena dengan Agama Hindu tetapi yang disembah sama yaitu Dewa Siwa. Begitu juga dalam tata ibadah yang digunakan Agama Pemena memakai tradisi budaya Karo.49

46

Erpangir ku lau adalah sebuah tradisi Karo dengan mandi di sungai dengan air limau yang bertujuan untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk.

Sementara itu Agama Pemena disahkan menjadi Agama Hindu akibat dari terjadinya revolusi komunis di Tanah Karo, dan perkembangan Agama Kristen dan Agama Islam

47

tanggal 23 Desember 2016

48

Kalapatra adalah dimana Agama Hindu berada maka Agama Hindu itu menggunakan

budaya daerah yang ditempatinya tanpa mengganti tradisi daerah tersebut.

49

Wawancara dengan Aristo Bangun masyarakat Desa Tanjung Pulo tanggal 22 Desember

(35)

sehingga Parisada Hindu Dharma Karo menjadikan Agama Pemena Menjadi Agama Hindu supaya diakui menjadi Agama resmi di Indonesia. Pemahaman masyarakat Karo tentang apa itu Agama Pelbegu cenderung bersifat negatif karena di dalam penafsiran masyarakat Karo dan khususnya Tanjung Pulo Agama Pelbegu adalah Agama yang percaya kepada hal-hal yang mistis dan tidak mengetahui bahwa Agama Pelbegu sama dengan Agama Hindu Karo yang ada di Desa Tanjung Pulo, tetapi yang membedakan Agama Pemena dan Agama Hindu di dalam tata ibadah dan tetapi Dewa yang disembah sama yaitu Dewa Siwa.

(36)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Sebelum kedatangan Agama Hindu ke Tanah Karo, masyarakat Tanah Karo masih menganut Animisme dan Dinamisme. Kedatangan Bahgawan Agastya dari bangsa India seorang Maharesi yang pertama kali mengembangkan Agama Hindu ajaran Bhagavat Brgu di Tanah Karo menjadi awal perkembangan Agama Hindu ke Tanah Karo.Agama Hindu cepat berkembang di Tanah Karo karena memakai sistem Kalapatra dan Bahgawan Agastya sendiri menikah dengan putri Karo keturunan Marga Purba dengan demikian semakin cepatlah perkembangan Agama Hindu di Tanah Karo. Selain itu Bahgawan Agastya juga memiliki kesaktian sehingga banyak masyarakat Karo yang kemudian menjadi muridnya.

Dengan berkembangnya Agama Pelbegu di masyarakat Karo kebudayaan Agama Hindu yang berasal dari India yang dibawa oleh Bahgawan Agastya juga masuk dan diikuti oleh masyarakat Karo seperti pembakaran jenasah(Pakuwaluh), pemotongan gigi(erkiker) dan sebagian Marga Sembiring.

(37)

Agama Kristen karena kolonial Belanda mengirimkan langsung Pendeta dari Belanda dan Nederlandsche Zending Genootschap (NZG) membangun rumah sakit, gereja, memberikan pendidikan, yang menyebabkan banyak masyarakat Karo masuk ke Agama Kristen karena merasa nyaman dan bermanfaat. Kedatangan Agama Kristen merupakan salah satu faktor penyebab terbesar menurunnya Agama Pelbegu di Tanah Karo.

Pada tahun 1946 satu tahun setelah Indonesi merdeka Agama Pelbegu diubah menjadi Agama Pemena pergantian nama ini terjadi karena kata Pelbegu dianggap sebagai Agama mistis oleh masyarakat Karo yang belum mengetahui Agama Pelbegu sama dengan Agama Hindu sebenarnya. Kata Pemena sendiri beraerti yang pertama.

(38)

Sama halnya dengan apa yang terjadi terhadap penganut Hindu di Tanah Karo, penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo juga mengalami penurunan umat Agama Hindu, masuknya Agama Kristen dan Agama Islam, kurangnya pewarisan ajaran Agama Hindu kepada generasi muda, dan tidak ada mata pelajaran Agama Hindu di sekolah menyebabkan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo banyak meninggalkan Agama Hindu. Untuk mengatasi gejolak ini Penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo dan Parisada Hindu Dharma Karo membangun Pura Sekula Serasi pada tahun 1985, untuk mempertahankan umat Hindu di Desa Tanjung Pulo. Sampai sekarang penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo menyisakan lima kepala keluarga dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai penganut Agama Hindu.

5.2. SARAN

Agama Hindu tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat Karo begitu juga dengan Desa Tanjung Pulo karena, hal ini telah lama dianut oleh leluhur masyarakat Karo. Agama Hindu juga pernah berkembang di Tanah Karo, begitu juga dengan pengaruhnya.

(39)

Pemerintah sebaiknya memberikan pembelajaran kepada masyarakat Karo tentang sejarah Agama Hindu di Tanah Karo dan membuka mata pelajara Agama Hindu di Tanah Karo untuk mengembalikan kepercayaan diri penganut Agama Hindu untuk mengembangkan kembali Agama Hindu. Hal lain yang bisa dibantu pemerintah adalah pembersihan kembali Pura-pura yang ada di Tanah Karo yang tidak terawat bahkan ditumbuhi rumput liar. Pura Sekula Serasi di Desa Tanjung Pulo juga tidak terawat, banyak rumput liar disekitarnya dan Pura tidak terlihat dari jalan.

(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA TANJUNG PULO KECAMATAN PAYUNG KABUPATEN KARO

2.1. Letak Geografis Desa Tanjung Pulo

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah Hulu sungai. Luas wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 km persegi. Atau 212.725 Ha atau 2.97 persen dari luas Provinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak diantara 20 50'-3 19' Lintang utara dan 970 55'-98 38' Bujur timur. Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 140-1.400 Meter di atas permukaan laut. Suhu udara di Kabupaten Karo berkisar antara 140 C-270 C, dan terdapat dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.19

Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 140-1.400 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Karo sejak jaman Belanda sudah terkenal sebagai tempat peristirahatan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia kemudian dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Objek-objek pariwisata di Kabupaten Karo adalah panorama yang indah di daerah pegunungan, air terjun, air panas, dan kebudayaan yang unik. Kabupaten Karo terkenal sebagai daerah penghasil berbagai buah-buahan dan bunga-bungaan, hasil

19

(41)

hortikultura dan perkebunan rakyat. Keadaan lahan cukup luas yaitu mencapai 125.516,5 Ha atau 59 persen dari luas Kabupaten Karo.

Kabupaten Karo merupakan Daerah Hulu Sungai (DHS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu/Ular, sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang. Potensi industri yang ada adalah industri kecil dan aneka industri yang mendukung pertanian dan periwisata. Potensi sumber-sumber mineral dan pertambangan yang ada di Kabupaten Karo cukup potensial namun masih memerlukan survei lapangan.

Desa Tanjung Pulo adalah salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Karo, Kecamatan Tiganderket. Akan tetapi di dalam periode penulisan skripsi ini Desa Tanjung Pulo masih berada pada Kecamata Payung.Jarak tempuh dari ibu kota Kabupaten Karo Kabanjahe adalah 35 Km atau sekitar 1 jam perjalanan. dan dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara Medan adalah 115 Km atau sekitar 3 jam perjalanan. Transportasi yang bisa digunakan ke Desa ini yaitu transportasi darat bus angkutan umum, dan sepeda motor.

Adapun batas-batas geografis Desa Tanjung Pulo antara lain adalah :

1.Sebelah utara berbatasan dengan sungai Lau garut Desa Tanjung Mbelang Kecamatan Tiganderket.

2.Sebelah timur berbatasan dengan perladangan Desa Tanjung mbelang Kecamatan Tiganderket.

(42)

4.Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Lau Mambang Desa Bintang Meriah Kecamatan Kutabuluh Simole.

2.2. Sejarah Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Menurut sejarahnya Desa Tanjung Pulo ada hubungannya dengan sejarah Marga Bangun yang mendirikan Desa Tanjung Mbelang.Marga Bangun dari Desa Tanjung Mbelang yang mendirikan Desa Tanjung Pulo.Sebelum bernama Tanjung Mbelang penduduk masih bermukim di dekat sungai Lau Garut, akibat banyak masyarakat pada waktu itu yang menderita penyakit Laia-laia (dalam bahasa Karo), penyakit ini mirip dengan penyakit demam berdarah yang mengakibatkan banyak masyarakat desa meninggal.Penghulu desa berisiniatif mencari tempat yang lebih tinggi untuk bermukim.Mereka bermukim di Anjong-anjong20

20

(43)

Singarimbun atau disebut juga dengan penghulu Desa Simantek Kuta atau yang mendirikan Desa.21

Menurut Selo Soemardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

2.3.Kehidupan Masyarakat Desa Tanjong Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Kehidupan masyarakat adalah bagaimana masyarakat berinteraksi dengan sesama individu dengan mengikuti norma-norma yang menjadi panutan di daerahnya. Setiap anggota masyarakat berkomunikasi, mengikuti tradisi, perkembangan jaman, bagaimana masyarakat melangsungkan kehidupannya baik dalam segi sosial, politik, budaya dan ekonomi.Hal ini untuk masyarakat mendapatkan kehidupan yang nyaman dan layak.

22

21

Wawancara dengan Karta Bangun Sekretaris Desa dan Tokoh Masyarakat Desa Tanjung

Pulo, 15 Desember 2016.

22

https://id.wikipedia.org/wiki/masyarakat, diakses tanggal 17 Desember 2016.

(44)

2.3.1. Kehidupan sosial dan budaya Desa Tanjong Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Sosial budaya adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut, baik berupa kesenian, moral, pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks. Jadi dapat disimpulkan sosial budaya mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.23

Sangkep Nggeluh adalah ciri khas dari masyarakat Karo. Dengan Sangkep Nggeluh semua masyarakat Karo memiliki tali kekeluargaan dan tidak ada yang tidak memiliki ikatan kekeluargaan. Hal ini telah menjadi tradisi dari leluhur. Di dalam masyarakat Karo terdapat lima Marga yang menjadi induk dari semua Marga yang Di dalam mengetahui adat istiadat masyarakat Karo yang harus diketahui yaitu Sangkep Enggeluh yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang disebut dengan “Rakut sitelu Tutur siwaluh Perkade-kaden si sepuloh dua tambah Sada” yang dimaksud dengan Rakut sitelu yaitu Senina, Kalimbubu, dan Anak Beru. Tutur Siwaluh yaitu Sipemeren, Siparibanen, Sipengalon, Anak Beru, Anak Beru Menteri, Anak Beru Singikuri, Kalimbubu, Puang Kalimbubu. Perkade-kaden Sepuloh dua yaitu Nini, Bulang, Kempu, Bapa, Nannde, Anak, Bengkilka, Bibi, Permen, Mama, Mami, Bere-bere.Tambah sada yaitu Teman meriah.

23

(45)

ada di Karo yang disebut dengan Merga Silima. Kelima Marga tersebut yaitu: Ginting, Sembiring, Perangin-Angin, Tarigan dan Karo-Karo.

Sangkep Nggeluh di dalam Masyarakat Karo juga digunakan di Desa Tanjung Pulo dan menjadi dasar Adat dan Sistem kekerabatan.Seperti halnya dengan masyarakat Karo lainnya masyarakat Desa Tanjung Pulo juga memakai Sangkep Nggeluh sebagai norma dalam berkehidupan bermasyarakat. Dengan mengetahui Sangkep Nggeluh maka masyarakat dapat mengetahui Orat tutur yaitu bagaimana kita menyebut panggilan secara adat Karo terhadap seseorang seperti Erbapa (Bapak), Ernande (Ibu), Erturang (Saudari), Senina (Saudara), Mama (Paman), dan lain-lain.

Pada tahun 1984 ketika Pura dibangun masyarakat Karo masih kental dengan Adat Sangkep Nggeluh. Begitu juga ketika Pura dibangun masyarakat Tanjung Pulo memiliki rasa gotong royong untuk bekerja. Akan tetapi sekarang generasi muda tidak ingin tahu akan Sangkep Enggeloh akibat dari perkembangan jaman yang semakin maju dan melupakan budaya yang memiliki nilai membangun karakter yang berbudaya luhur.

2.3.2. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo

(46)

daripada padi, masyarakat Tanjung Pulo banyak juga yang menanam Palawija, kacang, bawang merah, cabai, dan sayur-sayuran.24

Pada tahun 1985-2000 hasil pertanian yang akan dibawa ke desa untuk dijual dari ladang, dibawa dengan transportasi tradisional Karo yang disebut Gereta Lembu yaitu sejenis kendaraan tradisional yang dibawa oleh lembu ataupun Kerbau yang menjadi alat transportasi untuk membawa hasil pertanian dari ladang. Namun sekarang Gereta Lembu tidak ada lagi dan alat transportasi yang dipakai sudah modern yaitu mobil jenis bak terbuka, contohnya mitsubishi L300.Semakin majunya jaman dan masuknya imigran suku Jawa ke Desa Tanjung Pulo yang kemudian

Sekarang masyarakat di Desa Tanjung Pulo lebih banyak menanam bawang merah, cabai, dan Padi. Untuk meringankan beban dalam bekerja, masyarakat Desa Tanjung Pulo menggunakan tradisi Aron yaitu sebuah konsep pola kerjasama dan tolong menolong baik dalam menghadapi ancaman dari pihak lain atau dalam mengerjakan sesuatu, terutama dalam bidang pertanian. Istilah Aron berasal dari Bahasa Karo yaitu sisaro-saron (saling membantu) yang diwujudkan dalam bentuk kelompok kerja orang muda atau dewasa mulai 6 hingga 24 orang dalam satu kelompok, hal ini sangat membantu masyarakat dalam mengerjakan pekerjaan di ladangnya, dimana Aron ini berganti-ganti bekerja antara satu ladang yang satu ke ladang lainnya dengan silih berganti, sehingga dari tradisi Aron ini mempunyai manfaat dalam efisien waktu, tenaga, dan semakin eratnya rasa kebersamaan.

24

(47)
(48)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebelum masuknya pengaruh Agama Hindu masyarakat di Desa Tanjung Pulo masih menganut Animisme. Setelah masuknya pengaruh Agama Hindu kepada masyarakat di Desa Tanjung Pulo, menyebabkan Animisme yang dianut masyarakat mengalami perubahan menjadi Agama Pemena. Setelah masuknya Agama Hindu ke Tanjung Pulo, masyarakat Desa Tanjung Pulo menggunakan upacara keagamaan yang memiliki persamaan dengan budaya Agama Hindu di India. Salah satu persamaannya adalah kremasi atau pembakaran mayat untuk mendapatkan abu jenasah dan masyarakat di Desa Tanjung Pulo telah menyembah Dewa di dalam kepercayaan Agama Hindu yaitu Dewa Siwa. Pada tahun 1985 Agama Pemena telah disahkan menjadi Agama Hindu, dan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo telah resmi diakui menjadi Agama yang resmi karena bukan lagi disebut dengan Agama Pemena.

(49)

berkembang, namun pembangunan Pura yang diberi nama Pura Sekula Serasi tidak mampu meningkatkan jumlah penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo. Masyarakat di Desa Tanjung Pulo mulai meninggalkan Agama Hindu akibat persepsi negatif dari masyarakat yang belum mengetahui latar belakang Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo.

Penganut adalah individu yang mengikuti sebuah kepercayaan dan menjadi sebuah Komunitas yang saling membantu antara sesama. Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berintraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas1. Komunitas dapat bertahan, berkembang ataupun menurun secara kuantitas. Pemicu munculnya penurunan komunitas disebabkan oleh suatu sistem yang tidak lagi dianggap menarik, menguntungkan atau tidak sesuai lagi dengan pola pikir masyarakat pada umumnya, tidak sesuai dengan adat istiadat dan lahirnya komunitas baru yang lebih diterima karena sesuai dengan kondisi yang sedang berlangsung, yang mengakibatkan komunitas sebelumnya ditinggalkan. Komunitas bisa juga dijelaskan sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama.2

1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:F.a.Aksara Baru, 1985, hal. 148.

Sejarah adalah kisah atau cerita yang terjadi pada masa lampau yang memiliki bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Keberadaan Agama Hindu adalah salah satu sejarah yang perlu untuk diketahui karena merupakan agama pertama yang masuk ke

(50)

Indonesia. Sebelum masuknya Hindu masyarakat di Nusantara masih menganut animisme dan dinamisme.3

Kedatangan orang India ke kawasan Asia Tenggara membawa serta agama dan kebudayaan Hindu, bermula sekitar awal tarikh Masehi. Kebudayaan Hindu berkembang dan mempengaruhi hampir semua bangsa di dunia. Ketika itu India dan Cina adalah dua kekuatan besar di Asia yang telah memiliki peradaban yang kokoh dan sudah berkembang sejak ribuan tahun sebelumnya. Kebudayaan intelektual Agama Hindu mempengaruhi kawasan Asia Tenggara yang sangat jauh tertinggal. Sedemikian kuatnya dominasi politik dan kebudayaan tersebut

Masuknya Agama Hindu ke Nusantara dibawa oleh Bangsa India.Mereka masuk ke Indonesia melalui jalur laut dan melakukan perdagangan karena Indonesia memiliki letak geografis yang strategis dan sumber alam yang bernilai dalam perdagangan.Bersamaan dengan kegiatan tersebut mereka menyebarkan Agama Hindu kepada masyarakat di nusantara.

4

Etnis Tamil di Indonesia berasal dari India bagian selatan. Kelompok suku bangsa Tamil ini banyak terdapat di Sumatera Utara seperti Pematang Siantar, Lubuk Pakam, Langkat, Binjai dan Medan. Banyak dari mereka yang didatangkan pada zaman kolonial Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang

.Pengaruh kedua bangsa besar India dan Cina, negeri-negeri di Asia Tenggara makin berkembang dan mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi

3

Animisme adalah sebuah kepercayaan terhadap roh nenek moyang(leluhur) sedangkan

dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda benda yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan

gaib.

4

(51)

dibangun di daerah tersebut. Kelompok bangsa Tamil kemudian berkembang secara turun temurun hingga sekarang di Indonesia.5

Kedatangan orang India selatan(Tamil)

Kuil Agama Hindu yang tertua di Sumatera Utara terletak di Kampung Madras, “Sri Mhariaman”, didirikan pada tahun 1884. Ketika itu sudah banyak kuli orang Tamil bekerja di perkebunan-perkebunan di sekitar Medan. Sedangkan Kuil Agama Sikh di samping Candi Tamil di Kampung Madras didirikan oleh “Gurdhuara Sahib”. Pendetanya yang pertama ialah Bhai Surain Singh Ji.

6

ke Sumatera Utara tidak lepas dari hubungan erat yang pernah terjadi antara Kerajaan Cola, Kolutungga I dengan kerajaan Sriwijaya. Dimana Kerajaan Cola menguasai wilayah Tamil di India selatan. Hal ini menyebabkan banyak Etnis Tamil yang menetap di Barus, dimana pada waktu itu Barus dibawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu kerajaan Cola memiliki hubungan erat dengan Kerajaan kerajaan yang ada di Nusantara. Begitu juga dengan Kerajaan Sriwijaya dan cukup berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini telah diteliti oleh Prof. Nilakantisastri, guru besar dari Universitas Madras pada tahun 1932 bahwa pada tahun 1080 M di Lobu Tua tak jauh dari sungai Singkil ada pemukiman pedagang dari India Selatan.7

Keterangan batu bertulis Lobu Tua sangatlah penting artinya karena merupakan bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat Tamil dalam kegiatan perdagangannya

5

Ayu Sri Mahasti, 2016, “Pangguni Uttiram(Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri

Thendayanudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara ,”Skripsi, Medan: belum diterbitkan,2012, Hal: 1.

6

Tamil adalah etnis dari India selatan yang mayoritas memeluk Agama Hindu.

(52)

sudah tiba di Sumatera, bahkan sudah ada perkampungan mereka di Barus. Di antara para pedagang terdapat juga seniman yang memahat batu bertulis tersebut. Dengan demikian, selain orang-orang Tamil yang menetap di Barus, yang tercatat sebagai pedagang India, maka pedagang asing lain yang sudah mengunjungi langsung Barus ialah saudagar-saudagar asal Timur Tengah (abad ke-10).8

Setelah Etnis Tamil di Barus mulai dimasuki bangsa Arab dan Timur tengah pada abad ke-10 dan proses Islamisasi di Barus, maka banyak dari mereka yang kemudian pergi ke daerah pedalaman Etnis Batak dan hilangnya hubungan Etnis Tamil dengan tanah leluhurnya, begitu juga dengan Kerajaan Panei di Padang Lawas maka berkembanglah unsur-unsur budaya Hindu kepada masyarakat Batak. Di antaranya adalah Aksara Karo, pengetahuan astrologi, sejumlah kata-kata Sansekerta, pertanian irigasi, termasuk beberapa alat pertanian, pertenunan dan kesenian, permainan catur, beberapa konsep dan praktek keagamaan, sebagian Marga Sembiring, upacara kurban dalam hubungan pertanian, organisasi masyarakat dalam klen-klen berkaitan dengan totemisme. Totemisme adalah istilah menunjuk pada suatu kepercayaan atau agama yang hidup pada suatu komunitas atau organisasi yang mempercayai adanya daya atau sifat Ilahi yang dikandung sebuah benda atau mahkluk hidup selain manusia9

8

J.Fachruddin Daulay. Loc. Cit

9

Hassan Shadily, Ensklopedia Indonesia Jilid 6(SHI-VAJ). Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, hal. 3604, 1980.

(53)

sosialnya seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman10

Jadi dapat disimpulkan penyebaran Hindu di Sumatera Utara dimulai dari daerah Barus. Hal ini terjadi akibat hubungan diplomatis Kerajaan Cola dengan Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu. Sebagai bukti sewaktu batu bertulis Lobu Tua dibuat di India terdapat berbagai perkumpulan dagang orang-orang Tamil. Salah satunya yang menetap di Barus ialah perkumpulan bernama “Mupakat 500”. Perkumpulan dagang ini sangat kuat organisasinya dan berdiri sendiri serta tidak tunduk secara politis kepada seseorang Raja mana pun, sehingga mereka diterima dengan tangan terbuka di negeri-negeri yang dikunjunginya. Perkumpulan dagang ini mempunyai pasukan tentara bayaran sendiri yang bertugas menjaga barang-barang terutama sewaktu transit dari satu tempat ke tempat lain.

, dan lain-lain. Perkataan marga (klen) sendiri dalam istilah bahasa Batak berasal dari bahasa Sansekerta, “Varga”.

11

Sejarah kedatangan Hindu pertama kalinya ke Barus merupakan cikal bakal perkembangan Hindu ke daerah lainnya di Sumatera utara. Sesuai dengan judul penelitian penulis maka dijelaskan juga proses perkembangan Agama Hindu ke Tanah Karo dimana Kebudayaan Hindu yang dibawa oleh orang India Selatan ke Tanah Karo memiliki peninggalan budaya seperti Sejarah Marga Sembiring yaitu Sembiring Brahmana, Colia, Meliala, Pandia, Muham dimana marga marga ini identik dengan Bahasa India. Brahmana (Kasta), dan Colia (Cola), Pandia (Pandyth),

11

(54)

Muham (Mouham). Begitu juga tulisan aksara Karo dan kata kata seperti Nggara, Tula, Cukra dudu dan lain lain merupakan pengaruh dari kebudayaan Etnis tamil Hindu.Sebelum Agama Hindu ada pada etnis Karo, etnis Karo sudah menggunakan sesajen pada kegiatan religi tradisionalnya. Karena pada saat itu, etnis Karo masih menganut Agama Perbegu atau Pemena. Jenis sesajen yang digunakan berupa bunga, air, buah-buahan, (jeruk, apel dan lain-lain), makanan, hewan berupa ayam yang dipersembahkan kepada Tuhan, roh nenek moyang, dan mahluk halus.12

Tentang adanya pengaruh Hindu ke Tanah Karo disamping bukti tentang ditemukanya Pura di Sembahe, Bangun Purba, dan Sarinembah, juga terlihat dari upacara yang berhubungan dengan roh atau tendi (dalam bahasa karo)13. Umpamanya dalam upacara Persilihi dan Erpangir ku Lau14

Salah satu bukti lain peninggalan kebudayaan Hindu di masyarakat karo adalah “Erlige-lige” yaitu suatu upacara penguburan yang menarik jenazah di atas lige-lige yaitu suatu bangunan tinggi yang ditarik ratusan orang. Upacara ini sangat mirip dengan upacara yang ada pada Agama Hindu, yang hingga kini masih dilakukan di Bali. Erlige lige ini terakhir dilakukan di Medan pada tahun 1960. Upacara Pakuwaluh (membakar dan menghanyutkan abu jenazah) yang dilakukan di sungai Lau Biang dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan panjang sekitar satu meter. Hal ini dilakukan di Lau Biang karena dalam tafsiran masyarakat

12

Noprianta A, Tarigan,Sesajen: (StudiDeskripsi Mengenai makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara), Skripsi, Medan: belum diterbitkan. Hal: 12. 2011.

13

Sarjani Tarigan,Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisasi. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, 2008, hal. 34.

14

(55)

dahulu, sungai Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka dan dari sana dengan tuntunan roh-roh akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di Sungai Gangga di India. Bukan itu saja, banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di India Selatan misalnya Etnis Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan mangmang/tabas (mantra/doa). Dahulu wanita di Karo juga suka membuat titik merah di keningnya seperti halnya yang dilakukan wanita di India.15

Asal kata Hindu berasal dari kata Sungai Shindu yang mengalir di India dan Pakistan. Bangsa asing yang datang ke daerah itu menyebutkannya sungai Hindu. Lalu Suku Bangsa Arya yang mendiami lembah sungai Hindu, menyebutkan tempat itu kediamaan orang Hindu. Orang asinglah yang kemudian menyebutkan Hindu untuk nama bangsa dan agama di India, sedangkan rakyat di desa pada umumnya tidak mengetahui Hindu. Agamaya hanya diketahui Agama Dharma dan Thirta.16

Kedatangan Hindu ke Tanah Karo dibawa pertama kali oleh Bahgawan Bergu yang berasal dari India selatan. Setelah Bahgawan Bergu menyelesaikan pelayanannya di Tanah Karo, perkembangan Agama Hindu di Tanah karo kemudian dilanjutkan oleh Lemba Ginting. Pada masa Lemba Ginting ajaran Hindu lebih disesuaikan dengan tradisi dan Budaya Karo. Sedangkan di Desa Tanjung Pulo sendiri Pura Hindu yang pertama dibangun adalah Pura “Sekula Serasi” yang dibangun pada tahun 1984. Pada tahun 1984 masyarakat yang ada di desa Tanjung

16

(56)

Pulo masih banyak memeluk Agama Hindu. Sedangkan menurunnya pemeluk agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung dimulai pada tahun 1990. Hal ini terjadi karena para leluhur yang sudah meninggal yang gigih dalam mengembangkan Agama Hindu, tidak diikuti dengan generasi berikutnya. Salah satu faktor penyebab penurunan Hindu akibat perkembangan Agama Kristen di wilayah Tanah Karo. Di dalam Agama Hindu ada istilah Kalapatra yang artinya di daerah mana Hindu berada maka Hindu itu mengikuti budaya, daerah tersebut baik berupa bahasa, ritual dan sembah sembahan. Di desa Tanjung Pulo sendiri Agama Hindu mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1970-1985. Hal ini terjadi karena Pandita yang dipilih adalah masyarakat yang dianggap memiliki kemampuan baik, tanpa terkecuali pria dan wanita maupun kaum muda Desa. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang belum beragama tertarik dan memeluk Agama Hindu.

Sampai saat ini penganut Agama Hindu yang ada di Desa Tanjung Pulo masih ada lima kepala keluarga dan Pandetanya adalah Katar Kacaribu.Terdapat Pura yang bernama Pura Sekula Serasi. Tanah tempat dibangunnya Pura Sekula Serasi ini adalah milik Alm. Nikep Singarimbun Beliau dahulu sebagai koordinator Parisada Hindu Kecamatan Payung sebelum berganti menjadi Kecamatan Tiganderket sekarang.17

Persatuan Agama Hindu di Tanah Karo berpusat di Kabanjahe yaitu Parisada Hindu Darma Karo. Terdapat koordinator di setiap kecamatan yang mengawasi desa.

17

Wawancara dengan Katar Kacaribu (Pendeta Agama Hindu) di Desa Tanjung Mbelang

(57)

Pihak yang mengawasi dan mengayomi Agama Hindu adalah Parisada Desa. Penganut Hindu di Desa Tanjung Pulo dahulu banyak belajar ke Pura Agung yang berada di jalan Polonia Medan yaitu Pura Raksabuana Pendeta dari Pura Agung tersebut melayani ke Desa Tanjung Pulo yaitu Pak Dewa. Dia datang ketika pura didirikan padatahun 1984. Pada masa pelayanan Pak Dewa masyarakat Hindu di Desa Tanjung Pulo pernah dibawa ke Pura Agung untuk melakukan penataran dan mempelajari ajaran Agama Hindu lebih mendalam. Hasil dari penataran tersebut terjadi regenerasi Pandita atau Guru Hindu dari Karo yang sudah memiliki kemampuan yang baik tentang Agama Hindu.

Pendeta Hindu yang pernah berada di Desa Tanjung Pulo: 1.Pendeta Las Melas Sinulingga berasal dari Desa Bintang Meriah 2.Pendeta Kajam Ginting berasal dari Desa Kidupen

3.Pendeta Rem Ginting berasal dari Desa Durin rugun

4.Pendeta Ngajar Bana Sinuraya berasal dari Desa Sigenderang Juhar

Penulis tertarik melakukan penelitian tentang “ Penganut Agama Hindu di

Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (1985-2000)” karena

(58)

Kecamatan Lau Rakit, Kabupateen Deliserdang, Desa Bintang Meriah Kecamatan Kutabuluh Simole,di Desa Rumah Pil Pil Sibolangit.

Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo pernah sangat berkembang sehingga penulis tertarik mencari informasi tentang hal tersebut.Tahun penelitian yang dipilih oleh penulis sendiri pada tahun 1985-2000. Hal ini karena pada tahun 1985 dibangun Pura Sekula Serasi di Desa Tanjung Pulo dan merupakan tempat ibadah pertama di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung. Pada tahun 1985 masyarakat Tanjung Pulo masih banyak menganut Hindu.Penganut Agama Hindu di desa ini mampu bertahan walaupun terjadi proses peningkatan kristenisasi di Tanah Karo pada waktu itu. Mereka juga membangun sebuah Pura Sekula Serasi bergaya Bali. Ada juga pemeluk Hindu dari Bali yang ikut membangun Pura tersebut. Eksistensi inilah yang menjadikan penelitian ini menarik untuk dikaji. Pada tahun 1985 banyak juga penganut Hindu di Desa Tanjung Pulo dan sekitarnya belajar ke Parisada Hindu di kota Medan yang terletak di jalan Polonia tepatnya di Pura Raksabuana.

Penulis membatasi pada tahun 2000 karena pada tahun ini terakhir, dilakukan tradisi Hindu seperti upacara besar keagamaan Hindu, upacara kematian, dan tradisi Hindu lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Payung. Saat itu hanya tersisa lima kepala Keluarga dan tetap bertahan menjalankan aturan Agama Hindu itu sendiri.

(59)
(60)

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ilmiah sering dikatakan bahwa merumuskan masalah dengan baik merupakan hal yang paling penting18. Setelah dijelaskan latar belakang penelitian di atas, maka dapat diproleh sebuah permasalahanyang akan dibahas dalam penelitian ini.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana latar belakang masuknya Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo?

2. Bagaimana perkembangan Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (tahun 1985-2000)?

3. Bagaimana keberadaan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo tahun 2000?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Peristiwa yang telah berlalu tidak dapat dipertunjukkan kembali, tetapi dapat direkonstruksi berdasarkan realita yang ada. Rekonstruksi itu diharapkan dapat memberikan renungan bagi kehidupan manusia yang menjadi cerminan dari masa lampau, pelajaran di masa kini dan menjadi patokan di masa depan.

18

(61)

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui latar belakang masuknya Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

2. Mengetahui perkembangan Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (tahun 1985-2000).

3. Mengetahui keberadaan penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamtan Payung Kabupaten Karo (tahun 2000).

Manfaat penelitian:

1. Manfaat Teoritis: Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menambah ilmu dan wawasan penulis dan untuk kepentingan penelitian lanjutan. 2. Manfaat praktis:Manfaat bagi masyarakat untuk menambah informasi dan

mengetahui akan sejarah Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo dan mengetahui keberadaan Agama Hindu tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penulis menggunakan beberapa buku karya ilmiah untuk membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. Berkaitan dengan kajian yang dilakukan, buku yang digunakan sebagai bahan pustaka dalam penelitian ini dan mampu mencari kerangka teoritis yaitu ;

(62)

membantu peneliti mengenai adanya pengaruh budaya Hindu terhadap etnis Karo dan bagaimana dahulu tradisi Agama Hindu di masyarakat Karo.

Sempa Sitepu,dkk dalam“Pilar Budaya Karo(1996)” menjelaskan beberapa upacara upacara tradisional Karo yang memiliki persamaan dengan kebudayaan Hindu, misalnya persilihi, erpangir kulau. Buku ini menjelaskan bahwa berbagai jenis tradisi budaya Karo memiliki akulturasi dengan budaya Etnis Tamil Hindu dan adanya pengaruh dari Etnis tersebut baik di dalam sejarah dan religi yang dianut oleh Etnis Karo. Buku ini membantu penulis untuk mengenali seperti apa kebudayaan Etnis Karo dahulu.

Koentjaraningrat dalam “Pengantar Ilmu Antropologi (1985)” menjelaskan Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berintraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Peneliti menggunakan buku ini untuk mengetahui pengertian dan bentuk komunitas.

(63)

Noprianta A Tarigan dalam“ Sesajen (Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen Pada Penganut Agama Hindu di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deliserdang, Propinsi Sumatera Utara) (2011), menjelaskan bagaimana tradisi ritual agama Hindu dan seperti apa teknik ibadah yang dilakukan Agama Hindu yang bercampur dengan kebudayaan masyarakat Karo. Buku ini membantu penulis untuk mengetahui bahwa di Hindu ada istilah Kalapatra yaitu dimana Hindu berada maka Dia akan mengikuti budaya daerah tersebut.

E.P Ginting dalam “Religi Karo” (1999) menjelaskan bagaimana sejarah kepercayaan masyarakat Karo pada zaman dahulu sebelum masuknya Zending ke Tanah Karo. Buku ini Membantu penulis mengetahui bagaimana kepercayaan sebenarnya masyarakat Karo sebelum masuknya Zending. Selain itu juga untuk mengetahui proses kristenisasi dimana pada masa ini banyak Etnis Karo meninggalkan Agama Hindu.

1.5 Metode Penelitian

(64)

Seorang peneliti, dalam melakukan penelitian di lapangan terlebih dahulu mengadakan sejumlah pengamatan untuk membuktikan akan anggapan-anggapan dasar yang berdsarkan pada kenyataan yang ada di lokasi penelitian. Di dalam metode penelitian sejarah, ada beberapa teknik ataupun langkah-langkah yang telah dilakukan oleh penulis. Adapun langkah-langkah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :

1. Heuristik atau pengumpulan sumber yang sesuai dan mendukung dalam penelitian.

(65)

2. Kritik Sumber

Data yang terkumpul pada kegiatan heuristik kemudian disaring dan diseleksi guna mengetahui asli atau tidaknya sumber tersebut. Kritik sumber ini terbagi atas dua yaitu kritik ekstern yang dilakukan untuk menguji sumber guna mengetahui keaslian bahan dan tulisan dalam sumber tertulis. Kemudian kritik intern yang dilakukan untuk menilai isi sumber yang dikehendaki untuk mendapatkan fakta yang kredibel.

3. Interpretasi

Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap objektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subjektif, Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.

4. Historiografi

(66)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Payung Kabupaten Karo (Tahun 1985-2000). Skripsi ini menjelaskan bagaimana kedatangan Agama Hindu ke Tanah Karo dan khususnya di Desa Tanjung Pulo, di dalam skripsi ini juga menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat penganut Agama Hindu di Desa Tanjung Pulo. Selain itu juga menjelaskan bagaimana terjadinya penurunan penganut agama Hindu di Tanah Karo khususnya di Desa Tanjung Pulo. Karenaa faktor internal maupun eksternal.

Tujuan dibuat penulisan skripsi ini supaya masyarakat Tanah Karo khusunya masyarakat di Desa Tanjung Pulo memahami sejarah Agama Hindu di Tanah Karo dimana masyarakat Karo belum memahami sejarah tersebut. Di dalam penulisan skripsi ini diharapkan masyarakat Tanah Karo khususnya masyarakat Desa Tanjung Pulo membuang presepsi negatif tersebut dan menghargai penganut Agama Hindu di Tanah Karo yang tersisa.

(67)

PENGANUT AGAMA HINDU DI DESA TANJUNG PULO

KECAMATAN PAYUNG KABUPATEN KARO

(TAHUN 1985-2000)

Skripsi Sejarah

Dikerjakan

O

L

E

H

NAMA

: CHRISTIAN I BANGUN

NIM

: 100706008

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(68)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PENGANUT AGAMA HINDU DI DESA TANJUNG PULO

KECAMATAN PAYUNG KABUPATEN KARO (1985-2000

)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA :

CHRISTIAN I BANGUN

NIM :

100706008

PEMBIMBING

NIP. 196709081993032002 Dra. Junita Setiana. M.Si.

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam Bidang Ilmu Sejarah

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Gambar

Gambar 1. Pura Sekula Serasi Tampak depan
Gambar 3. Pura Sekula Serasi Tampak samping kanan
Gambar 4. Simbol Singa di bawah Pura Sekula Serasi
TABEL

Referensi

Dokumen terkait

Sumber: Data dari hasil pengolahan SPSS Dari itabel i4 idiatas imenunjukkan ibahwa inilai ikoefisien ikorelasi iberganda ipada ipenelitian iini isebesar i0.933 iatau imendekati

Keputusan Pembelian (Studi Kasus Pada Konsumen Yamaha Mio PT Harpindo

sehingga karya tugas akhir yang berjudul Penciptaan Animasi 2D Tanpa Dialog Berjudul “Blabla” dapat terselesaikan dengan baik.karya ini dibuat demi menerapkan ilmu yang

Saya mengucap syukur atas kesempatan dan tuntunan yang diberikan-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan judul “Perencanaan Pengendalian

Hasil uji mutu hedonic, disimpulkan bahwa hasil rata-rata tertinggi yang didapatkan pada penambahan tepung daun kelor sebanyak 15% pada aspek warna (3.12) yang menyatakan

PENGGUNAAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DAN MgO UNTUK BAHAN BAKU PEMBUATAN KERAMIK BERPORI YANG DIGUNAKAN SEBAGAI FILTER GAS BUANG KENDARAAN BERBAHAN BAKAR BENSIN

Result of this hydrolysis matching with explained by Soebijanto that best pH for the hydrolysis is 2.3, glucose rate used in course of fermentation equal to 26.29 % what