• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)"

Copied!
263
0
0

Teks penuh

(1)

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 26 Juli 2012

Dinda Hasni

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun penyesuaian pernikahan yang dianalisis meliputi 4 faktor yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Prancis selama 7 tahun dan responden II menikah dengan pria Jerman selama 16 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum responden dapat melakukan penyesuaian pernikahan yang tergolong cukup (responden I) dan baik (responden II). Reponden I melakukan penyesuaian pernikahan dengan cara lebih banyak mengalah dalam menanggapi perbedaan budaya dan nilai yang ada. Responden II melakukan penyesuaian pernikahan yang baik karena memiliki latar belakang agama yang sama dan mengajarkan suami untuk memahami tradisi di Indonesia. Dari keempat faktor penyesuaian pernikahan yang diteliti ditemukan bahwa faktor penyesuaian seksual dan penyesuaian keuangan dilakukan dengan baik oleh semua responden. Penyesuaian seksual dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama suami untuk mengontrol kehamilan dan mencapai kepuasan seksual. Penyesuaian keuangan dikelola sendiri karena semua responden telah terbiasa melakukannya sebelum menikah. Selanjutnya penyesuaian dengan pasangan dilakukan secara cukup (responden I) dan baik (responden II). Artinya responden I kurang memenuhi kebutuhan suami sedangkan respoden II memenuhi semua kebutuhan suami. Faktor penyesuaian dengan keluarga pasangan tidak menimbulkan masalah pada responden I karena tidak adanya interaksi. Sementara pada responden II melakukan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan dengan menjaga hubungan baik.

(3)

ABSTRACT

This study aims to explore about the description of marital adjustment on Indonesian women who are married with foreigners (westerners). There are four marital adjustment analyzed : adjustment with partner, sexual adjustment, financial adjustments and adjustments with partner's family. This research was qualitative method involving interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a French gentleman for 7 years and respondent II has been married to German gentleman for 16 years.

The results showed that generally the respondents is capable of doing a good enough (respondent I) and a well (respondent II) marital adjustment. Respondents I adjusted b preventing conflict in response to the cultural differences and values. Respondent I well because of having the same religious background and teaches her husband in understand Indonesian traditions. From the four factors of marital adjustment, sexual adjustment factors and the financial adjustments are found to be well by all the respondents. Sexual adjustment is done by making an agreement with the husband to control birth and in pursuing sexual satisfaction. Financial adjustment is done alone because all respondents are already used to doing it before they got marriage. Further, adjustments with the partner is done enough (respondent I) and well (respondent II). this means that respondent I less fulfills her husband s need, meanwhile respondent II fulfills all of her husband s need. The factors of adjustment with the partner s family do not cause an issues to responden I because there were no interaction. Meanwhile, respondent II adjusted well with the partner s family by keeping a good relationship.

(4)

karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara dengan judul : Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita

Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat). Shalawat beriring salam juga

tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk

ke dalam orang-orang yang mendapat syafaat di hari akhir.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

2. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog yang telah banyak membantu

dan membimbing, juga dalam memberi saran-saran serta kesabarannya

kepada saya dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.

3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsi, psikolog dan ibu Meutia Naula, M.Si,

psikolog selaku dosen penguji yang telah menguji dan membimbing saya

dalam memberikan saran guna perbaikan revisi penelitian ini.

4. Ibu Debby Anggraini Daulay, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing

akademik yang bersedia meluangkan waktunya selama masa perkuliahan

(5)

maupun dalam penyelesaian skripsi.

6. Ibundaku tercinta Nuraini dan Ayahku tersayang Hasan Basri, atas semua

bentuk curahan kasih sayang, motivasi, doa beserta dukungan spiritual dan

materi yang tidak pernah terbalaskan untuk mencapai keberhasilan saya.

Bu, Terima kasih untuk doa-doa panjang yang tak pernah putus demi

kebaikan anakmu ini, dinda sayang Ibu.

7. Nenek tersayang Hj. Alidar dan Mama Hayati, S.E., Kakak kakakku

tercinta, Dian Hasni, S.TP, M.Sc., Dina Hasni, S.T., dr. Dita Hasni dan

adikku tersayang, Dendi Hasnur, untuk semua doa, dukungan, semangat,

serta motivasi yang selalu ada untukku dengan pertanyaan kapan sidang

skripsi dinda? .

8. Dhany Nugraha, untuk segala doa, dukungan, semangat dan motivasi yang

diberikan ketika saya merasa jatuh serta bantuan untuk kelancaran

penelitian ini. Aku cinta kamu.

9. Sahabat-sahabat terbaikku, Elka Putri, Puti Nilam Suri, Regina Ophelia

Vivi Fransiska, Anastasia Purba dan Stella Sihombing yang selalu

mendukung, memberi semangat dan keceriaan selama kuliah. Aku sayang

kalian.

10. Sahabat sejatiku, Nurul Sukma Wardhaniati yang telah mendukung,

(6)

bermanfaat terhadap penelitian ini.

12. Teman-teman angkatan 2008 yang tidak pernah saling menjatuhkan dan

selalu menyemangati satu sama lain. Terima kasih untuk segala keceriaan

dan persahabatan yang telah terjalin selama ini serta tak akan dapat

terlupakan.

13. Yudha Fakhrinanda, terima kasih sudah menemani, membantu, mendukung

saya selama masa kuliah. Semoga kamu mendapatkan yang terbaik dan

berbahagia.

14. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan

tulus memberikan motivasi dan doa sehingga skripsi ini terselesaikan.

Jazakumullah khairan katsiraa.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki

kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat terbuka terhadap masukan, kritikan,

serta saran yang membangun yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini di

kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat

bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, 26 Juli 2012

Penyusun

(7)

ABSTRAK

KATA PENGANTAR . .... i

DAFTAR ISI . .. iv

DAFTAR TABEL . .. vii

DAFTAR GAMBAR .. viii

DAFTAR LAMPIRAN . .. ix

BAB I PENDAHULUAN .. ... 1

A. Latar Belakang Masalah .. ... 1

B. Rumusan Masalah .. ... 12

C. Tujuan Penelitian .. ... 13

D. Manfaat Penelitian . . ... 13

E. Sistematika Penelitian . . .... 14

BAB II LANDASAN TEORI . . .. 15

A. Penyesuaian Pernikahan . ... 15

1. Definisi Pernikahan ... 15

2. Tahapan Pernikahan .. 17

3. Penyesuaian ... 19

4. Penyesuaian Pernikahan 19

5. Faktor Faktor Penyesuaian Diri Dalam Pernikahan.. 20 6. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan .... 26

B. Pernikahan Antar Bangsa .. .. 29

1. Definisi Pernikahan Antar Bangsa .. .. 22

2. Faktor Faktor Yang Mendorong Minat Wanita

Indonesia Menika Dengan Pria Asing (Barat) . 30 3. Faktor Faktor Yang Mendukung Penyesuaian

Pernikahan Antar Bangsa . 31

(8)

D. Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia

Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat) . 38

BAB III METODE PENELITIAN 43

A. Metode Penelitian Kualitatif . . 43

B. Responden Penelitian . . 45

1. Karakteristik Responden Penelitian . 45

2. Jumlah Responden Penelitian .. 45

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian .. 46

4. Lokasi Penelitian . 47

C. Metode Pengumpulan Data ... . 47

D. Alat Bantu Pengumpulan Data . .. 49

1. Pedoman Wawancara .. 49

2. Tape Recorder(Alat Perekam) 50

3. Pedoman Observasi . 50

4. Alat Tulis Dan Kertas Untuk Mencatat .. 51

E. Kredibilitas Penelitian ... . 51

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian . 53

1. Tahap Persiapan Penelitian .. 53

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian . 55

3. Tahap Pencatatan Data 57

G. Analisa Data . 57

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN . 61

A. Analisa Data . 61

1. Responden1 .. 61

a. Identitas Diri ... 61

b. Gambaran Umum Responden I .. 62

(9)

b. Gambaran Umum Responden II .. 132

c. Jadwal Pelaksanaan Wawancara . 133

d. Data Observasi Selama Wawancara 134

e. Analisa Data Wawancara ... 137

B. Pembahasan .. 204

1. Responden 1 . 204

2. Responden 2 . 217

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .. 230

A. Kesimpulan .. 230

B. Saran . 235

(10)

Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden 1 . .. . 64

Tabel 3 Gambaran Umum Responden 2 .. 132

Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden 2 .. .. .. .. ... 133

(11)

Gambar 2 Gambaran Penyesuaian Pernikahan pada Responden I . 130

(12)

Lampiran 2 Pedoman Observasi

(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun penyesuaian pernikahan yang dianalisis meliputi 4 faktor yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Prancis selama 7 tahun dan responden II menikah dengan pria Jerman selama 16 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum responden dapat melakukan penyesuaian pernikahan yang tergolong cukup (responden I) dan baik (responden II). Reponden I melakukan penyesuaian pernikahan dengan cara lebih banyak mengalah dalam menanggapi perbedaan budaya dan nilai yang ada. Responden II melakukan penyesuaian pernikahan yang baik karena memiliki latar belakang agama yang sama dan mengajarkan suami untuk memahami tradisi di Indonesia. Dari keempat faktor penyesuaian pernikahan yang diteliti ditemukan bahwa faktor penyesuaian seksual dan penyesuaian keuangan dilakukan dengan baik oleh semua responden. Penyesuaian seksual dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama suami untuk mengontrol kehamilan dan mencapai kepuasan seksual. Penyesuaian keuangan dikelola sendiri karena semua responden telah terbiasa melakukannya sebelum menikah. Selanjutnya penyesuaian dengan pasangan dilakukan secara cukup (responden I) dan baik (responden II). Artinya responden I kurang memenuhi kebutuhan suami sedangkan respoden II memenuhi semua kebutuhan suami. Faktor penyesuaian dengan keluarga pasangan tidak menimbulkan masalah pada responden I karena tidak adanya interaksi. Sementara pada responden II melakukan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan dengan menjaga hubungan baik.

(14)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak

perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa

kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara

masa-masa tersebut ada masa yang disebut masa dewasa awal yang mana

merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang

kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, individu memiliki salah satu tugas

perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan

mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan pernikahan

(Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

Pernikahan adalah hubungan yang diketahui secara sosial antara seorang pria

dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, berproduksi (memiliki anak),

adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, serta saling mengetahui tugas

masing-masing sebagai suami dan istri (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan juga dipahami

sebagai ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat

unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

seksual dan menjadi lebih matang (Papalia & Olds, 1998).

Pemilihan pasangan hidup biasanya cenderung dilakukan seseorang dengan

memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangannya

(Sears,dkk, 1992), baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir

(15)

principle). Namun, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar

interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan

campur (Yoshida, 2008).

Pernikahan campur (intercultural marriage) dilatar belakangi dengan berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan (Yoshida, 2008).

Pada pernikahan campur (intercultural marriage) yang berasal dari latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda dikategorikan sebagai pernikahan antar bangsa

(Maretzki dalam Tseng, 1977). Saat ini pernikahan campur antar bangsa sudah

menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak

dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu

untuk mengenal dunia dan budaya lain (McDemott & Maretzki, 1977). Menurut

catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan pernikahan antar bangsa,

yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2009, menyebutkan bahwa

pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan

laki-laki asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan.

Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia

memiliki minat yang tinggi untuk menikah dengan pria asing. Minat ini cenderung

dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, dimana wanita Indonesia mempersepsikan pria

asing memiliki kehidupan yang lebih dari cukup (Erriyadi, 2007). Selain itu, dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Holilah (2005) menunjukkan bahwa alasan

(16)

mereka percaya bahwa menjadi istri pria asing dapat meningkatkan harga diri dan

memperbaiki keturunan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan WM

(wanita, 35 tahun) pada tanggal 28 November 2011, ketika ditanya alasan menikah

dengan pria barat berkebangsaan Jerman :

Bunda seorang janda.. bunda itu alasan pertamanya hanya untuk ini yah memperbaiki kehidupan aja.. apa yah, hm.. memperbaiki masa depan aja dulu pikirannya.. ya karena kebutuhan ekonomi. Dulu kan bunda janda dan hidup susah, jadi di dukung sama orang tua ya.. menikah saja dengan dia, kebutuhan bisa tercukupi, dapat memperbaik kehidupan itu ya memperbaiki ekonomi, kebutuhan tercukupi, jadi masa depan pun terjamin, gitu lho.

(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)

Hal serupa juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan IN (wanita, 33

tahun) pada tanggal 28 November 2011, yang menikah dengan pria berkebangsaan

Australia :

Jujur ya, saya mau menikah sama suami karena mau hidup berkecukupan dengan cepat, jadi itu keuangan gampang, nggak perlu susah lagi capek-capek kerja.

(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)

Orang bule itu banyak yang suka sama yang hitam-hitam kaya saya gini lah, pas pula ada yang mau, bagus lah ku pikir sekalian memperbaiki keturunan lah biar nggak hitam kaya saya, kalo kaya bule-bule itu kan nanti jadinya cantik kaya artis-artis kita banyak yang indo, hehehe.. (tertawa)

(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)

Berdasarkan wawancara diatas menunjukkan bahwa motivasi \wanita

Indonesia untuk menikah dengan pria asing khususnya pria barat adalah karena

ingin memperbaiki ekonomi dan keturunan. Namun, dibalik motivasi - motivasi

tersebut sebenarnya perasaan cinta adalah alasan utama wanita Indonesia untuk

(17)

pengakuan IN (wanita, 33 tahun) yang menikah dengan pria berkebangsaan

Australia selama dua tahun :

Diawal perkenalan dulu saya sudah suka, lama-lama cinta juga lah, nggak bisa di elakkan lah kalo cinta ini dek, itu lah yang jadi alasan kenapa saya mau nikah sama dia. Kalo dulu saya bilang untuk memperbaiki ekonomi dan keturunan itu kan alasan mendukung lah untuk buat hidup saya jadi lebih baik.

(Komunikasi Interpersonal, 15 April 2012)

Kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa cinta adalah salah satu hal

yang penting untuk menjadi alasan seseorang dalam memutuskan pernikahan,

termaksud untuk menikah dengan pria asing (barat). Hal ini sesuai dengan

pendapat Roediger dkk (1987), yang menyatakan bahwa cinta diyakini sebagai

salah satu bentuk emosi yang penting bagi manusia sehingga hampir semua

manusia pernah mengalami jatuh cinta dan membentuk hubungan intim dengan

lawan jenisnya, salah satunya adalah hubungan pernikahan.

Tidak hanya pada wanita Indonesia yang memiliki minat yang tinggi untuk melakukan pernikahan antar bangsa, pada pria asing (barat) pun ternyata memiliki alasan tertentu untuk menjadikan wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya. Alasan tersebut terlihat dari pengakuan LM (61 tahun) pria berkebangsaan Jerman yang menikah dengan WM selama 4 tahun :

Saya menikahi dia karena saya tau kalau orang indonesia khususnya Jawa terkenal dengan lemah lembut, luwes, ayu, keibuan, sayang, penuh perhatian, dan sopan santunnya yang mengesankan. Wanita seperti itu jarang saya temui di negara kelahiran saya, bahkan gambaran kehidupannya pun berbeda. Ketika bertemu dengan dia saya merasa dia adalah wanita yang tepat untuk menjadi istri yang akan terus menemani saya sampai akhir.

(18)

Alasan lainnya juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan FFN (43

tahun) pria berkebangsaan Rusia yang menikah dengan NR (31 tahun) wanita

Indonesia yang di nikahinya selama lima tahun :

Saya sangat terkesan dengan wanita asia yang menghormati pria, dari beberapa wanita asia khususnya Indonesia yang saya kenal mereka cenderung perhatian, pemalu dan keibuan, saya pikir itu kriteria ibu yang baik untuk anak-anak saya. Hal ini lah yang menjadi alasan saya untuk menikahinya karena hal tersebut ada di istri saya. Tentu saja kriteria ini sulit ditemui di negara saya karena kebanyakan mereka adalah wanita yang mandiri.

(Komunikasi Interpersonal, 21 April 2012)

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kedua pria asing (barat) diatas

menunjukkan bahwa alasan pria asing (barat) menikahi wanita asia khususnya

wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya adalah karena pria-pria tersebut

memiliki pandangan bahwa wanita Indonesia cenderung menghormati pria,

keibuan, lemah lembut, penyanyang, penuh perhatian dan sopan santun, sehingga

dianggap sebagai kriteria yang tepat untuk dijadikan seorang istri dan ibu

dibandingkan wanita barat yang mandiri.

Secara umum pernikahan yang terjadi dari penyatuan dua budaya atau latar

belakang etnis yang berbeda banyak dijumpai di Indonesia. Hal ini sesuai dengan

penuturan McDermott dan Maretzki (1977) bahwa pernikahan beda budaya

merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam masyarakat. Di Provinsi Sumatera

Utara, pernikahan campur (Intercultural marriage) khususnya pernikahan campur antar bangsa juga dapat ditemui. Hal ini terlihat dari data BPS (Badan Pusat

Statistik) pada tahun 2010, menunjukkan bahwa tercatat sebanyak 12,982,20 jiwa

penduduk di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keanekaragaman suku

(19)

asing lainnya (Barat). Artinya, tidak dapat dihindari bahwa akan banyak

pernikahan campur (Intercultural marriage) yang terjadi, tidak hanya pada WNI yang berbeda etnis, tetapi juga pernikahan antar bangsa pada WNI dengan WNA I

dari budaya Barat yang ditemukan di provinsi ini khususnya di Kota Medan

(BPS, 2010).

Menjalani suatu hubungan dalam ikatan pernikahan tidak segampang seperti

menjalani hubungan ketika masih belum menikah (Degenova, 2008). Banyak hal

baru yang akan ditemukan oleh individu pada diri pasangannya saat menikah dan

individu harus mulai belajar untuk menerima pasangannya apa adanya. Terlebih

jika pasangan pernikahan tersebut berasal dari latar belakang etnis dan budaya

yang berbeda, seperti pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat) maka

akan banyak di jumpai berbagai jenis perbedaan seperti nilai-nilai budaya, sikap,

keyakinan, prasangka, stereotype, dll (Matsumoto, D. & L. Juang, 2008). Selain

itu, melalui pernikahan ini, masing-masing pasangan juga dapat saling

memperkenalkan tradisi yang berlaku dalam kelompok budayanya (Duvall, 1985).

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada pernikahan campur antar bangsa

perbedaan budaya seringkali menjadi permasalahan yang mendasar dalam

kehidupan pernikahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Abigail (2009), yang menunjukkan bahwa secara umum, wanita Indonesia yang

menikah dengan pria berkebangsaan Inggris mengalami berbagai permasalahan di

dalam pernikahan, seperti kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola

(20)

Permasalahan pernikahan antar bangsa dapat dipahami karena pada

masing-masing pasangan menganut kebudayaan yang berbeda. Pada kebudayaan

timur (Indonesia) lebih mengesankan kehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan

lebih berdasarkan pada norma-norma yang ada pada lingkungan sekitar, sedangkan

pada kebudayaan barat biasanya lebih mengesankan kehidupan yang bebas dan

individual (Matsumoto & Liang, 2006). Dengan kata lain, dalam pernikahan

seperti ini memiliki orientasi keluarga kolektif-individualistik.

Perbedaan orientasi budaya kolektif-individual di dalam pernikahan antar

bangsa juga memiliki perbedaan dalam hal pola pengasuhan anak. Pada budaya

kolektif berorientasi pada extended family, dimana anak dibesarkan tidak hanya dari orang tua, namun orang yang tinggal bersama seperti nenek dan kakek yang

berkontribusi dalam pengasuhan. Selain itu anak juga diajak belajar untuk berpikir

bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, sedangkan pada budaya individual

didasarkan pada keluarga inti (nuclear family), dimana anak diajarkan untuk menjadi mandiri sejak usia dini (Hofstede, 2005). Hal ini dapat terlihat dari hasil

wawancara peneliti dengan WM (wanita, 35 tahun) pada tanggal 23 November

2011, yang menunjukkan adanya perbedaan pola asuh pada budaya

kolektif-individual:

Perbedaannya sama kita Indonesia, kita lagi makan ya kan, kita suapin ke anak kita dari piring kita kan gitu nggak masalah, jadi anak kita pingin nyobain punya mama punya papa kalo sama dia itu nggak boleh anak kecil itu selalu harus uda mandiri, umur dua tahun tiga tahun itu uda harus mandiri dia itu, pokoknya semuanya sendiri gitu.

(21)

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola asuh pada

budaya individual lebih mengajarkan anak menjadi mandiri dimulai dari usia dini.

Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan WM (wanita, 35 tahun) pada

tanggal 23 November 2011 :

Cuman yang pasti mah pokoknya kalo kita makan sama-sama, anak itu nggak boleh pecicilan lah, nggak boleh kesana-kesini, duduk yang manis gitu, nah terus makan makanan yang ada dipiring mu jangan liat orang, jangan pengen dari orang lain seperti itu, agak kasar gitu lho.

(Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011)

Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan yang berkaitan

dengan orientasi kolektif-individual yang muncul dalam penikahan antar bangsa,

tentu saja menyebabkan pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan

dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai

kesepakatan bersama dalam pernikahan mereka (Degenova, 2008). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Inman dkk (dalam Inman, Altman,

Davidson, Carr & Walker, 2011), yang menunjukkan bahwa salah satu konflik

pada pasangan pernikahan campur antar bangsa (Asia india White Amerika)

adalah sulitnya menghadapi perbedaan yang berkaitan dengan orientasi keluarga

kolektif-individual, sehingga dibutuhkan penyesuaian pernikahan.

Penyesuaian pernikahan adalah proses memodifikasi, beradaptasi, dan

mengubah individu, pola perilaku dan interaksi pasangan untuk mencapai

kepuasan maksimal dalam hubungan (Degenova, 2008). Terkadang penyesuaian

tertentu yang dilakukan bukanlah dianggap terbaik oleh seseorang, tapi hal itu

(22)

yang diambil hanya sekali. Penyesuaian merupakan proses dinamis yang terus

menerus terjadi pada kehidupan pernikahan pasangan (Degenova, 2008).

Menurut Hurlock (2000), penyesuian pernikahan merupakan proses adaptasi

antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik

dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri dan

penting bagi kebahagiaan pernikahan, yaitu penyesuaian dengan pasangan,

penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak

keluarga pasangan (Hurlock, 2000). Setiap pernikahan tentunya membutuhkan

penyesuaian, begitu pula pada pernikahan antar bangsa antara wanita Indonesia

dan pria asing (barat). Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan NL

(wanita, 29 tahun) yang menikah selama tiga tahun dengan pria Inggris dan

menunjukkan adanya penyesuaian dengan pasangan di dalam pernikahannya :

Menikah dengan orang asing merubah diri kita seperti yang saya rasakan. Kakak harus beradaptasi dengan budaya suami seperti belajar etika budayanya. Misalnya, ketika makan harus rapi, tidak bersuara, sedangkan kakak dulu orangnya nggak bisa diam gitu. Terus selesai makan tidak boleh bersendawa kalau pun bersendawa harus permisi dulu karena itu nggak sopan.

(Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011)

Gambaran penyesuaian dengan pasangan juga terlihat dari hasil wawancara

peneliti dengan NR (wanita, 31 tahun) yang sudah menikah selama lima tahun

dengan pria berkebangsaan Rusia :

(23)

sudah terjadwal seperti ke pesta atau jalan-jalan bersama. Yang seperti ini kan jarang ditemui di Indonesia.

(Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012)

Kutipan wawancara di atas, merupakan beberapa gambaran penyesuaian

pernikahan terhadap pasangan yang dilakukan oleh wanita yang menikah dengan

pria asing (barat). Dalam kutipan wawancara diatas telihat bahwa NL dan NR

melakukan penyesuaian terhadap pasangannya dengan belajar memahami

pasangannya terlebih dahulu dan menyesuaikan dirinya dengan keinginan suami.

Namun, pada NR terlihat bahwa penyesuainnya dengan pasangan dirasa tidak sulit

karena memiliki beberapa keserupaan nilai. Selain penyesuaian terhadap pasangan,

wanita yang menikah dengan pria asing (barat) juga melakukan penyesuaian

keuangan. Gambaran penyesuaian keuangan terlihat dari hasil wawancara peneliti

dengan WM (wanita, 35 tahun) yang sudah menikah selama empat tahun dengan

pria berkebangsaan Jerman yang menunjukkan bahwa adanya penyesuaian dalam

mengelolah keuangan untuk kebutuhan hidup berumah-tangga :

Suami bunda itu orangnya royal banget, apa-apa dibeli, sedangkan bunda itu beli barang yah karena memang butuh barangnya. Makanya, kadang-kadang pusing kalau uang itu kesannya di hambur-hamburin. Jadi bunda

share kan ke suami tentang pengeluaran dan kita sepakat kalau mau beli sesuatu harus dikomunikasikan dulu dan uang bunda yang kelolah dan bunda yang simpan.

(Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011)

Penyesuaian selanjutnya yang dilakukan adalah penyesuaian terhadap

keluarga pasangan. Hal ini tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan NR

(wanita, 31 tahun) yang menunjukkan bahwa subjek melakukan penyesuaian

(24)

Dengan keluarga di Samara (Rusia) kakak masih canggung dan sangat menjaga sikap. Walaupun kita sama-sama muslim tapi budaya disana sangat sulit untuk diikuti karena nggak sesuailah sama kebiasaan kita. Misalnya, kalau kumpul bersama biasanya harus minum alkohol sebagai tanda kita menghormati keluarganya. Makanya, kakak sangat strict (keras) dalam hal itu, harus dijelaskan dengan baik, sopan. Yah, dalam beradaptasi dengan keluarganya kami sama-sama bertoleransi untuk menerima adat kebiasaan masing-masing.

(Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012)

Beberapa kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa wanita Indonesia

yang menikah dengan pria asing (barat) melakukan penyesuaian dalam

pernikahannya. Ada yang merasa sulit dalam melakukan penyesuaian dalam

pernikahannya dan ada yang merasa mudah. Dalam penyesuaian kehidupan

pernikahan, penyesuaian yang paling sulit yang harus dilakukan oleh kaum dewasa

awal adalah pada kehidupan satu atau dua tahun pertama pernikahan (Hurlock,

2000). Jadi penyesuaian yang paling sulit adalah awal-awal pernikahan. Hal ini

terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan NL (wanita, 29 tahun) yang menikah

dengan pria berkebangsaan Inggris :

Nah, diawal tahun pertama pernikahan kakak rasakan itu lah yang sangat sulit karena kita mulai belajar membiasakan diri dan menerima perbedaan masing-masing. Di awal nikah ya bulan-bulan pertama pasti ada kebahagiaan tetapi setelahnya kita lebih banyak ributnya, sering adu mulut bahkan untuk masalah sepele seperti waktu berkunjung dengan keluarga menjadi perdebatan diawal pernikahan kami. Di budayanya untuk berkunjung harus buat janji dulu karena dia merasa tamu yang berkunjung tanpa adanya janji akan mengganggu privasinya, sedangkan kita kan kapan pun boleh saja berkunjung.

(Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011)

Penyesuaian diri yang sehat di dalam pernikahan akan membawa pada

suatu kondisi pernikahan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal

(25)

(Hurlock, 2000). Penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam

sebuah pernikahan merupakan hal yang penting karena akan berdampak pada

keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai

pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan hidup pernikahan, mencegah

kekecewaan dan perasaan-perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang

untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan

kehidupan lain di luar rumah tangga (Hurlock, 2000).

Wanita yang menikah dengan pria asing (barat) membutuhkan penyesuaian

yang baik di dalam pernikahannya, karena banyaknya perbedaan-perbedaan di

dalam pernikahan. Pada pernikahan antar bangsa seperti ini, perbedaan -perbedaan

yang ada pada masing-masing individu, seperti latar belakang budaya, hukum,

nilai, bahasa, perbedaan pola pikir dan agama dapat menjadi kendala atau masalah

dalam pernikahan (Lerrigo, 2005).

Melihat fenomena yang dipaparkan diatas, membuat peneliti tertarik untuk

mengetahui bagaimana penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan

pria asing (barat).

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis

mengajukan perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah gambaran

faktor-faktor penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria

(26)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah

penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing

(barat).

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat :

a. Menambah pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi,

terutama psikologi perkembangan dan psikologi perkembangan

keluarga mengenai penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia

yang menikah dengan pria asing (barat).

b. Menjadi masukan yang berguna dan menjadi referensi bagi penelitian

selanjutnya.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:

a. Memberikan informasi kepada wanita asia khususnya wanita

Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat), untuk mampu

memahami faktor - faktor apa saja yang paling sering dilakukan atau

berkontribusi besar di dalam pernikahan antar bangsa, sehingga dapat

membantu mereka dalam melakukan penyesuaian pernikahan dan

mencapaikeberhasilan hidup berumah tangga.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat yang belum menikah

mengenai penyesuaian pernikahan sehingga dapat menjadi masukan

(27)

c. Memberikan informasi dan masukan kepada para praktisi dalam

konseling pernikahan, khususnya mengenai penyesuaian pernikahan

pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria barat dalam

menangani permasalahan pernikahan antar bangsa.

3. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan

masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori

yang menjelaskan dan mendukung data penelitian.

Diantaranya adalah penyesuaian pernikahan dan

faktor-faktor penyesuaian pernikahan, pola penyesuaian

pernikahan, tugas-tugas perkembangan dewasa awal dan

pernikahan antar bangsa.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian

kualitatif, alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif,

(28)

pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur

penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil

analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan

sebelumnya.

BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisikan hasil dari

penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data

-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau

penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta

berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan

masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk

(29)

A. Penyesuaian Pernikahan 1. Definisi Pernikahan

Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian pernikahan, terlebih

dahulu diuraikan pengertian dari pernikahan itu sendiri.

Di Indonesia, agar hubungan pria dan wanita diakui secara hukum maka

pernikahan diatur dalam suatu undang-undang. Menurut Undang-Undang

Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan

menyatakan bahwa pernikahan adalah:

Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Pernikahan).

Menurut UU RI di atas definisi pernikahan tidak hanya bersatunya pria dan

wanita secara lahir namun juga secara batin. Pernikahan di Indonesia juga

mempunyai nilai yang luhur karena dilandasi nilai keTuhanan pada proses

pembentukannya.

Ditambahkan oleh Dyer (1983), yang mendefinisikan pernikahan sebagai

suatu subsistem dari hubungan yang luas dimana dua orang dewasa dengan jenis

kelamin berbeda membuat sebuah komitmen personal dan legal untuk hidup

(30)

Duvall dan Miller (1985), mengatakan bahwa pernikahan adalah hubungan

yang diketahui secara sosial danmonogamous, yaitu hubungan berpasangan antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa didefinisikan sebagai suatu kesatuan

hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung

jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana

didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai anak dan

menetapkan pembagian tugas antara suami istri.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

pernikahan adalah hubungan antara wanita dan pria yang membuat sebuah

komitmen personal dan legal untuk hidup sebagai suami dan istri dengan

menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah

menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai

anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri.

2. Tahapan Pernikahan

Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan

dalam komposisi, peran dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka

meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers dalam Sigelman & Rider, 2003). Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (dalam

Hoyer &Roodin, 2003), membagi tahapan pernikahan menjadi tahap sebelum

kehadiran anak pertama, kehadiran anak dan setelah keluarnya anak dari rumah.

Sementara Cole (dalam Lefrancois, 1993), membagi tahapan pernikahan menjadi

(31)

1. Tahap I :Married Couple

Berdasarkan Family Life Cycle, tahap ini berlangsung selama kurang

lebih dua tahun dimulai dari pasangan menikah dan berakhir ketika anak

pertama lahir.

2. Tahap II : Mengasuh anak (Chilrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20

tahun. Umumnya tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun

(Duvall dalam Lefrancois, 1993). Seiring bertambahnya usia anak maka

orang tua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagai mana

dikatakan oleh Crnic &Booth (dalam Sigelman &Rider,2003), bahwa

stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat

bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stress orang tua

(O Brien dalam Sigelman &Rider ,2003).

3. Tahap III :Emptynest

Istilah Emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah. Tahap ini dimulai dengan

launching anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall dalam Lefrancois, 1993).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan pernikahan

(32)

3. Penyesuaian

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang kontinu

dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun &

Acocella, 1995). Interaksi dengan diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa

yang telah ada pada seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri

sendiri adalah sesuatu yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang

lain, jelas berpengaruh pada individu, sebagaimana individu juga berpengaruh

terhadap orang lain. Interaksi dengan dunia kita, penglihatan dan penciuman serta

suara yang mengelilingi seseorang saat ia menyelesaikan urusannya,

mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya. Penyesuaian juga

merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau memenuhi

keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari, salah satu bentuk penyesuaian

diri adalah penyesuaian terhadap pernikahan. (Weiten & Lloyd, 2006).

4. Penyesuaian Pernikahan

Hurlock (2000), mendefinisikan penyesuaian pernikahan sebagai proses

adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah

terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses

penyesuaian diri. Lasswel & Lasswel (1987), mengatakatan bahwa penyesuaian

pernikahan adalah dua individu yang belajar untuk mengakomodasi kebutuhan,

keinginan, dan harapan masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat

kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian pernikahan bukan suatu keadaan

(33)

sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian

pernikahan.

Penyesuaian pernikahan juga merupakan suatu proses memodifikasi,

mengadaptasi dan mengubah individu dan pola perilaku pasangan serta adanya

interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam pernikahan

(DeGenova, 2008). Atwater (1990), juga menambahkan bahwa penyesuaian

pernikahan merupakan perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pernikahan

yang meliputi beberapa aspek dalam kehidupan pernikahan, seperti penyesuaian

terhadap hidup bersama, penyesuaian peran baru, penyesuaian terhadap

komunikasi dan penyelesaian konflik, serta penyesuaian terhadap hubungan

seksual dalam pernikahan dan penyesuaian terhadap kewarganegaraan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan adalah

suatu proses dimana dua orang yang memasuki tahap pernikahan dan mulai

membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling

menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling

mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan, serta saling menyesuaikan

diri di beberapa aspek pernikahan untuk mencapai kepuasan maksimum dalam

pernikahan.

5. Faktor-Faktor Penyesuaian Diri Dalam Pernikahan

Penyesuaian diri dalam pernikahan memiliki beberapa area yang akan dilalui,

seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan,

dan seksual. Hurlock (2000), juga mengatakan ada empat hal pokok yang

(34)

dan paling penting dalam menciptakan kebahagiaan pernikahan. Faktor-faktor

penyesuaian diri dalam pernikahan ini dapat digunakan untuk mengungkapkan

gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan pria barat,

yaitu :

1. Penyesuaian dengan pasangan

Penyesuaian yang paling penting dan pertama kali harus dihadapi saat

seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan

pasangan (istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam

hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu,

makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan

dalam penyesuaian dengan pasangan.

a. Konsep pasangan ideal

Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada

waktu tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk

selama masa dewasa. Semakin seseorang terlatih menyesuaikan diri

terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian yang dilakukan

terhadap pasangan.

b. Pemenuhan kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi

kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal dan pasangan harus

membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Degenova (2008), menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan di

(35)

penerimaan dan pemenuhan diri), kebutuhan sosial (persahabatan dan

pengalaman yang baru bersama pasangan) dan kebutuhan seksual

(secara fisik dan psikologis).

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah

untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar

belakang mereka sama, setiap orang dewasa mencari pandang unik

tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini, maka

semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan

pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik daripada

kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan dibagi bersama.

e. Keserupaan nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang

lebih serupa daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk. Hal ini

dapat terjadi karena adanya latar belakang yang sama sehingga

menghasilkan nilai yang sama pula.

f. Konsep peran

Setiap lawan pasangan mempunyai konsep yang pasti mengenai

bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap

(36)

harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan

konflik dan penyesuaian yang buruk

g. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola

kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta

merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri.

Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.

2. Penyesuaian seksual

Penyesuaian seksual merupakan penyesuaian utama yang kedua dalam

pernikahan, hal ini akan menjadi masalah yang paling sulit dalam

pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan

ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan

pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu

mengendalikan emosi mereka.

a. Perilaku terhadap seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita

menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika

perilaku yang tidak menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali

untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin dihilangkan.

b. Pengalaman seks masa lalu

Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan

(37)

terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang wanita tidak

menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

c. Dorongan seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita

dan cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik.

Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi

minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi

penyesuaian seksual.

d. Pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat

kontrasepsi, dan pengaruh vasektomi.

Akan terjadi lebih sedikit konflik dan ketegangan jika suami istri setuju

untuk menggunakan alat pencegah kehamilan disbanding apabila antara

keduanya mempunyai perasaan yang berbeda tentang sara tersebut.

Selain itu, apabila seseorang yang menjalani operaso vasektomi, maka

akan kehilangan ketakukan akan kehamilan yang tidak diinginkan.

3. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

penyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang cenderung memiliki

sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan

hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam

menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di

luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga

(38)

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok

keluarga baru. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

Stereotip yang secara luas diterima masyarakat Ibu mertua yang

representatif dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak

menyenangkan bahkan sebelum pernikahan. Stereotip yang tidak

menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut

campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

b. Keinginan untuk mandiri

Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan

petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan

keuangan, dan khususnya mereka menolak bantuan dari keluarga

pasangan.

c. Kebersamaan dengan keluarga

Penyesuaian dan pernikahan akan lebih pelik apabila salah satu

pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap

keluarganya daripada mereka sendiri. Apabila pasangan terpengaruh

oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam

(39)

d. Mobilitas sosial

Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota

keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap

membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan

anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.

e. Anggota keluarga berusia lanjut

Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat

sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak

menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila

dia juga mempunyai anak-anak.

f. Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan

Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung

jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering

membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan

anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan

tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

penyesuaian diri dalam pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan,

penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan pihak

keluarga pasangan.

6. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan

Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan dari Hurlock (2000), untuk

(40)

melakukan pernikahan antar bangsa, khususnya pada wanita yang menikah dengan

pria barat, yaitu :

1. Kebahagiaan suami istri

Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama

akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka

mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan stabil

satu dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual

dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.

2. Hubungan yang baik antara anak dan orang tua

Hubungan yang baik antara anak dengan orangtuanya mencerminkan

keberhasilan penyesuaian pernikahan terhadap masalah tersebut. Jika

hubungan anatara anak dengan orang tuanya buruk, maka suasana rumah

tangga akan diwarnai perselisihan yang menyebabkan penyesuaian

pernikahan menjadi sulit.

3. Penyesuaian yang baik dari anak-anak

Apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dengan

teman-temannya, maka ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia di

sekolah. Hal ini merupakan bukti nyata keberhasilan proses pernikahan

kedua orangtuanya terhadap pernikahan dan perannya sebagai orangtua.

4. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat

Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat

dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan,

(41)

perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti

pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan

ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian

pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat

mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang

meningkat.

5. Kebersamaan

Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat

menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila

hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun

pernikahan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih

erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas

usahanya sendiri.

6. Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan

Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan

kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya

pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan

pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu

melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas

usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang

(42)

7. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak

keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan,

kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan

hubungan dengan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuian pernikahan

dikatakan berhasil jika di dalam pernikahan terserbut menunjukkan adanya

kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan

pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan

penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.

B. Pernikahan Antar Bangsa

1. Definisi Pernikahan Antar Bangsa

Pengertian pernikahan antar bangsa menurut Undang-Undang Republik

Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 tentang pernikahan, menyatakan

bahwa pernikahan antar bangsa adalah pernikahan antara dua orang di Indonesia

yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan yang

salah satu berkewarganegaraan asing dan salah satu berkewarganegaraan

Indonesia. Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977), mengatakan bahwa

pernikahan antar bangsa adalah :

(43)

Pernikahan antar bangsa dapat diartikan sebagai pernikahan yang terjadi

antar pasangan yang berbeda kultur atau budaya. Mereka berbeda dalam

nilai-nilai, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, gaya hidup, sehingga dimensi budaya itu

menjadi aspek signifikan yang relatif dalam pernikahan.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan antar

bangsa (intercultural marriage) adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya dan kewarganegaraan yang berbeda.

2. Faktor-Faktor yang Mendorong Minat Wanita Menikah dengan Pria Asing (Barat).

Erriyadi (2007), mengemukakan beberapa faktor yang mendorong minat

wanita Indonesia menikah dengan pria asing (barat).

1. Kebutuhan Finansial

Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita untuk menikah

dengan pria asing. Hal ini dikarenakan wanita Indonesia

mempersepsikan pria asing memiliki kehidupan lebih dari cukup.

Persepsi positif tersebut mempengaruhi keyakinan mereka untuk dapat

menikah dengan pria asing.

2. Kebutuhan Sosial-Relasional

Kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan

sosial, identitas sosial yang diperoleh dengan menikahi pria asing,

(44)

Holilah (2005) menambahkan bahwa banyak alasan seorang wanita yang

ingin menikah dengan pria berkebangsaan asing karena ingin terpenuhi kebutuhan

ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa

menjadi istri laki-laki asing dapat memperbaiki keturunan. Selain itu perasaan

cinta juga berperan dalam pemutusan untuk menjadi istri pria berkebangsaan

asing. Menurut Roediger dkk (1987), bahwa cinta diyakini sebagai salah satu

bentuk emosi yang penting bagi manusia sehingga hampir semua manusia pernah

mengalami jatuh cinta dan membentuk hubungan intim dengan lawan jenisnya,

salah satunya adalah hubungan pernikahan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong

wanita untuk menikah dengan pria asing, yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan

sosial-relasional, untuk memperbaiki keturunan dan perasaan cinta.

3. Faktor-Faktor yang Mendukung Penyesuaian Pernikahan Antar Bangsa

Menurut Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977), faktor pendukung

keberhasilan penyesuaian pernikahan campur (intercultural marriage) pada pasangan berbeda etnis, termasuk pada pasangan pernikahan antar bangsa antara

lain :

1. Adanya sikap saling keterbukaan pikiran atauopen mindedness

Masing-masing pasangan, baik itu suami-istri menerapkan sikap saling

membuka pikiran atau open mindedness, dimana mau mendengarkan pendapat dan sa ran serta menerima kritikan dari pasangannya. Selain itu,

(45)

2. Adanya toleransi yang tinggi

Pasangan lebih menanamkan rasa toleransi, kerukunan, menghormati,

menghargai serta memahami pasangan masing-masing. Perbedaan yang

ada di dalam pernikahan tidak dijadikan konflik berkepanjangan. Selain

itu, masing-masing pasangan menyadari kapasitas dan peran yang harus

dijalankan dalam rumah tangga serta tidak memaksakan kehendak

masing-masing.

3. Memiliki sikap keluwesan

Pasangan dapat bersikap sesuai dengan situasi, fleksibel dan bijak dalam

menghadapi suatu permasalahan. Jadi, dalam hal ini pasangan cekatan

dalam mengambil sikap sesuai kondisi.

4. Memiliki keinginan untuk saling mempelajari kebudayaan dari pasangan.

Masing-masing pasangan akan membawa nilai-nilai budaya, sikap,

keyakinan ke dalam pernikahan, sehingga suami atau pun istri dari latar

belakang budaya yang berbeda dapat memperkenalkan tradisi yang

berlaku dalam kelompok budayanya dan saling mempelajari kebudayaan

pasangannya melalui perayaan di dalam keluarga dan kebiasaan yang

dilakukan pasangan.

5. Kepekaan terhadap kebutuhan pasangan

Suami atau pun istri memahami apa yang dibutuhkan pasangannya, tahu

terhadap apa yang pasangannya inginkan dan mewujudkan keinginan

pasangannya dengan tujuan membahagiakan pasangan serta menjaga

(46)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mendukung penyesuaian pernikahan antar bangsa adalah adanya sikap saling

keterbukaan atau open mindedness, adanya toleransi yang tinggi, memiliki sikap keluwesan, memiliki keinginan untuk saling mempelajari kebudayaan dari

pasangan, dan kepekaan terhadap kebutuhan pasangan.

4. Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa

Perbedaan budaya merupakan permasalahan yang mendasar dalam

pernikahan antar bangsa, seperti pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria

asing (barat). Hal ini dikarenakan pada masing-masing pasangan menganut

kebudayaan yang berbeda, yang mana pada kebudayaan barat lebih mengesankan

kehidupan yang bebas sedangkan pada kebudayaan timur lebih mengesankan

kehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan lebih berdasarkan pada norma-norma

yang ada pada lingkungan sekitar (Matsumoto & Liang, 2006).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abigail (2009), menunjukkan secara

umum bahwa wanita Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris

mengalami berbagai permasalahan di dalam pernikahan seperti kendala bahasa,

perbedaan nilai, perbedaan pola perilaku kultural. Lerrigo (2005) menambahkan,

pada pernikahan antar bangsa, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing

individu, seperti latar belakang budaya, hukum, nilai, bahasa, perbedaan pola pikir,

agama dapat menjadi kendala atau masalah dalam pernikahan. Selain itu menurut

penelitian Inman dkk (2011) menunjukkan bahwa pada keluarga pernikahan antar

(47)

perbedaan dalam hal pola asuh sehingga hal ini cendurung menjadi sumber

permasalahan di dalam pernikahan antar bangsa.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada

pernikahan antar bangsa, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing

individu yang dilatar belakangi oleh kebudayaan yang berbed dapat menjadi

kendala atau sumbe masalah dalam pernikahan, seperti masalah dalam kendala

bahasa, perbedaan nilai, perbedaan pola perilaku kultural serta pola pengasuhan

anak.

C. Dewasa Awal

1. Definisi Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja latin, seperti juga istilah adolescene adolescere, yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi, kata adult

berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan

pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama

dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999).

Hurlock (2000), membagi masa dewasa ini menjadi tiga tahapan, yaitu masa

dewasa awal usia 18 sampai 40 tahun, masa dewasa madya dimulai pada usia 40

sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun keatas. Hurlock

(2000), mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai

kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang

(48)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah

individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru

dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan

berusia 18 hingga 40 tahun.

2. Karakteristik Dewasa Awal

Menurut Hurlock (2000), karakteristik individu pada masa dewasa awal

adalah:

a. Masa pengaturan (settle down).

Pada masa ini seseorang akan mencoba-coba sebelum ia menentukan

mana yang sesuai, cocok, dan memberi kepuasan permanen. Ketika ia

sudah menemukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya, ia akan mengembangkan pola-pola prilaku, sikap, dan

nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya

b. Masa usia produktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah

masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan

berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat

produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).

c. Masa bermasalah

Masa deewasa awal dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah.

Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan

peran barunya (pernikahan vs pekerjaan). Jika ia tidak bias mengatasinya

(49)

d. Masa ketegangan emosional

Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi emosionalnya

tidak terkendali. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat bergelora

dan mudah tegang. Namun, ketika sudah berumur 30-an, seseorang akan

cenderung stabil dan tenang dalam emosi.

e. Masa keterasingan sosial

Masa dewasa awal adalah masa dimana seseorang mengalami krisis

isolas , yaitu terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial.

Keterasingan di intensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat

untuk maju dalam berkarir.

f. Masa komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah

komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan

komitmen baru.

g. Masa ketergantungan

Pada awal masa deewasa awal sampai akhir usia 20-an, seseorang masih

punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi/instnasi yang

mengikatnya.

h. Masa perubahan nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa deewasa awal

berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas.

Nilai sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai

(50)

seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat

diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan

yang telah disepakati.

i. Masa penyesuaian diri dengan hidup baru.

Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih

bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran

ganda. (peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja.

j. Masa kreatif

Disebut masa kreatif karena individu bebas untuk berbuat apa yang

diinginkan. Namun kreatifitas tergantung minat, potensi, dan

kesempatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu

pada masa dewasa awal adalah masa pengaturan (settle down), masa usia produktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan

sosial, masa komitmen, masa ketergantungan,masa perubahan nilai, masa

penyesuaian diri dengan hidup baru, dan masa kreatif.

3. Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2000), tugas perkembangan yang harus

dipenuhi pada masa dewasa awal adalah:

a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup.

b. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak.

c. Meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah

(51)

d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

e. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

4. Perkembangan Psikososial Dewasa Awal

Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), dewasa awal

merupakan masa krisis antara intimasi dan isolasi yang berarti selama usia masa

dewasa awal akan merasa lebih aman dalam identitasnya ketika individu tersebut

mampu membangun keintiman dengan diri mereka sendiri, baik dalam

persahabatan dan dalam hubungan cinta. Sedangkan individu yang tidak bisa

menjalin hubungan intim sepenuhnya karena takut kehilangan identitas dapat

mengembangkan rasa isolasi. Pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat)

menunjukkan bahwa mereka telah memasuki masa intimasi yang mana sudah

melakukan pernikahan dan mampu membangun keintiman dalam hubungan cinta

bersama pasangannya.

D. Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

Setiap pernikahan membutuhkan adanya penyesuaian agar pasangan

menjalani pernikahannya dengan bahagia (Hurlock,2000). Hal ini dikarenakan

penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah pernikahan

akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga yang berpengaruh kuat

terhadap kepuasan pernikahan, sehingga memudahkan seseorang untuk

menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Responden I
Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan
Tabel.3 Gambaran Umum Responden II
Tabel 4. Jadwal Wawancara Partisipan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pedestrian adalah jalur bagi para pejalan kaki ataupun kursi roda bagi kelompok pengguna berkebutuhan khusus, yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk

Dari empat calon legislatif tersebut hanya tiga orang yang bersedia untuk diwawancara, yakni Nurharto, Tomy Santoso Wibowo P dan Heru Eko Pramono. Ketiga calon legislatif

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengatasi susahnya masyarakat untuk naik angkutan umum yang tidak layak pakai dengan cara tindakan perbaikan angkutan umum yang

a. ADD yang berjumlah sampai dengan Rp. ADD yang berjumlah lebih dari Rp. ADD yang berjumlah lebih dari Rp. ADD yang berjumlah lebih dari Rp. Adapun pagu

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan menggunakan metode Altman Z-Score pada perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi sub

Teras III pada situs Lemah Duhur memiliki beberapa bangunan dari batu kali yang disusun dari batu-batu kali membentuk persegi panjang (kemungkinan menyerupai struktur I dan

Untuk soal pilihan ganda, peserta akan mendapat (4 poin) untuk setiap jawaban benar, (-1) untuk jawaban salah, dan 0 poin untuk pertanyaan yang tidak dijawab.. Untuk soal

Penelitian kuantitatif digunakan peneliti untuk mengetahui hubungan antara tiga variabel dalam penelitian ini yaitu variabel model pembelajaran problem posing,