bahwa skripsi saya yang berjudul:
Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 26 Juli 2012
Dinda Hasni
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun penyesuaian pernikahan yang dianalisis meliputi 4 faktor yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Prancis selama 7 tahun dan responden II menikah dengan pria Jerman selama 16 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum responden dapat melakukan penyesuaian pernikahan yang tergolong cukup (responden I) dan baik (responden II). Reponden I melakukan penyesuaian pernikahan dengan cara lebih banyak mengalah dalam menanggapi perbedaan budaya dan nilai yang ada. Responden II melakukan penyesuaian pernikahan yang baik karena memiliki latar belakang agama yang sama dan mengajarkan suami untuk memahami tradisi di Indonesia. Dari keempat faktor penyesuaian pernikahan yang diteliti ditemukan bahwa faktor penyesuaian seksual dan penyesuaian keuangan dilakukan dengan baik oleh semua responden. Penyesuaian seksual dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama suami untuk mengontrol kehamilan dan mencapai kepuasan seksual. Penyesuaian keuangan dikelola sendiri karena semua responden telah terbiasa melakukannya sebelum menikah. Selanjutnya penyesuaian dengan pasangan dilakukan secara cukup (responden I) dan baik (responden II). Artinya responden I kurang memenuhi kebutuhan suami sedangkan respoden II memenuhi semua kebutuhan suami. Faktor penyesuaian dengan keluarga pasangan tidak menimbulkan masalah pada responden I karena tidak adanya interaksi. Sementara pada responden II melakukan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan dengan menjaga hubungan baik.
ABSTRACT
This study aims to explore about the description of marital adjustment on Indonesian women who are married with foreigners (westerners). There are four marital adjustment analyzed : adjustment with partner, sexual adjustment, financial adjustments and adjustments with partner's family. This research was qualitative method involving interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a French gentleman for 7 years and respondent II has been married to German gentleman for 16 years.
The results showed that generally the respondents is capable of doing a good enough (respondent I) and a well (respondent II) marital adjustment. Respondents I adjusted b preventing conflict in response to the cultural differences and values. Respondent I well because of having the same religious background and teaches her husband in understand Indonesian traditions. From the four factors of marital adjustment, sexual adjustment factors and the financial adjustments are found to be well by all the respondents. Sexual adjustment is done by making an agreement with the husband to control birth and in pursuing sexual satisfaction. Financial adjustment is done alone because all respondents are already used to doing it before they got marriage. Further, adjustments with the partner is done enough (respondent I) and well (respondent II). this means that respondent I less fulfills her husband s need, meanwhile respondent II fulfills all of her husband s need. The factors of adjustment with the partner s family do not cause an issues to responden I because there were no interaction. Meanwhile, respondent II adjusted well with the partner s family by keeping a good relationship.
karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara dengan judul : Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita
Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat). Shalawat beriring salam juga
tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk
ke dalam orang-orang yang mendapat syafaat di hari akhir.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
2. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog yang telah banyak membantu
dan membimbing, juga dalam memberi saran-saran serta kesabarannya
kepada saya dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.
3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsi, psikolog dan ibu Meutia Naula, M.Si,
psikolog selaku dosen penguji yang telah menguji dan membimbing saya
dalam memberikan saran guna perbaikan revisi penelitian ini.
4. Ibu Debby Anggraini Daulay, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing
akademik yang bersedia meluangkan waktunya selama masa perkuliahan
maupun dalam penyelesaian skripsi.
6. Ibundaku tercinta Nuraini dan Ayahku tersayang Hasan Basri, atas semua
bentuk curahan kasih sayang, motivasi, doa beserta dukungan spiritual dan
materi yang tidak pernah terbalaskan untuk mencapai keberhasilan saya.
Bu, Terima kasih untuk doa-doa panjang yang tak pernah putus demi
kebaikan anakmu ini, dinda sayang Ibu.
7. Nenek tersayang Hj. Alidar dan Mama Hayati, S.E., Kakak kakakku
tercinta, Dian Hasni, S.TP, M.Sc., Dina Hasni, S.T., dr. Dita Hasni dan
adikku tersayang, Dendi Hasnur, untuk semua doa, dukungan, semangat,
serta motivasi yang selalu ada untukku dengan pertanyaan kapan sidang
skripsi dinda? .
8. Dhany Nugraha, untuk segala doa, dukungan, semangat dan motivasi yang
diberikan ketika saya merasa jatuh serta bantuan untuk kelancaran
penelitian ini. Aku cinta kamu.
9. Sahabat-sahabat terbaikku, Elka Putri, Puti Nilam Suri, Regina Ophelia
Vivi Fransiska, Anastasia Purba dan Stella Sihombing yang selalu
mendukung, memberi semangat dan keceriaan selama kuliah. Aku sayang
kalian.
10. Sahabat sejatiku, Nurul Sukma Wardhaniati yang telah mendukung,
bermanfaat terhadap penelitian ini.
12. Teman-teman angkatan 2008 yang tidak pernah saling menjatuhkan dan
selalu menyemangati satu sama lain. Terima kasih untuk segala keceriaan
dan persahabatan yang telah terjalin selama ini serta tak akan dapat
terlupakan.
13. Yudha Fakhrinanda, terima kasih sudah menemani, membantu, mendukung
saya selama masa kuliah. Semoga kamu mendapatkan yang terbaik dan
berbahagia.
14. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan
tulus memberikan motivasi dan doa sehingga skripsi ini terselesaikan.
Jazakumullah khairan katsiraa.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat terbuka terhadap masukan, kritikan,
serta saran yang membangun yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini di
kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat
bagi setiap orang yang membacanya.
Medan, 26 Juli 2012
Penyusun
ABSTRAK
KATA PENGANTAR . .... i
DAFTAR ISI . .. iv
DAFTAR TABEL . .. vii
DAFTAR GAMBAR .. viii
DAFTAR LAMPIRAN . .. ix
BAB I PENDAHULUAN .. ... 1
A. Latar Belakang Masalah .. ... 1
B. Rumusan Masalah .. ... 12
C. Tujuan Penelitian .. ... 13
D. Manfaat Penelitian . . ... 13
E. Sistematika Penelitian . . .... 14
BAB II LANDASAN TEORI . . .. 15
A. Penyesuaian Pernikahan . ... 15
1. Definisi Pernikahan ... 15
2. Tahapan Pernikahan .. 17
3. Penyesuaian ... 19
4. Penyesuaian Pernikahan 19
5. Faktor Faktor Penyesuaian Diri Dalam Pernikahan.. 20 6. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan .... 26
B. Pernikahan Antar Bangsa .. .. 29
1. Definisi Pernikahan Antar Bangsa .. .. 22
2. Faktor Faktor Yang Mendorong Minat Wanita
Indonesia Menika Dengan Pria Asing (Barat) . 30 3. Faktor Faktor Yang Mendukung Penyesuaian
Pernikahan Antar Bangsa . 31
D. Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia
Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat) . 38
BAB III METODE PENELITIAN 43
A. Metode Penelitian Kualitatif . . 43
B. Responden Penelitian . . 45
1. Karakteristik Responden Penelitian . 45
2. Jumlah Responden Penelitian .. 45
3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian .. 46
4. Lokasi Penelitian . 47
C. Metode Pengumpulan Data ... . 47
D. Alat Bantu Pengumpulan Data . .. 49
1. Pedoman Wawancara .. 49
2. Tape Recorder(Alat Perekam) 50
3. Pedoman Observasi . 50
4. Alat Tulis Dan Kertas Untuk Mencatat .. 51
E. Kredibilitas Penelitian ... . 51
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian . 53
1. Tahap Persiapan Penelitian .. 53
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian . 55
3. Tahap Pencatatan Data 57
G. Analisa Data . 57
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN . 61
A. Analisa Data . 61
1. Responden1 .. 61
a. Identitas Diri ... 61
b. Gambaran Umum Responden I .. 62
b. Gambaran Umum Responden II .. 132
c. Jadwal Pelaksanaan Wawancara . 133
d. Data Observasi Selama Wawancara 134
e. Analisa Data Wawancara ... 137
B. Pembahasan .. 204
1. Responden 1 . 204
2. Responden 2 . 217
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .. 230
A. Kesimpulan .. 230
B. Saran . 235
Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden 1 . .. . 64
Tabel 3 Gambaran Umum Responden 2 .. 132
Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden 2 .. .. .. .. ... 133
Gambar 2 Gambaran Penyesuaian Pernikahan pada Responden I . 130
Lampiran 2 Pedoman Observasi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun penyesuaian pernikahan yang dianalisis meliputi 4 faktor yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Prancis selama 7 tahun dan responden II menikah dengan pria Jerman selama 16 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum responden dapat melakukan penyesuaian pernikahan yang tergolong cukup (responden I) dan baik (responden II). Reponden I melakukan penyesuaian pernikahan dengan cara lebih banyak mengalah dalam menanggapi perbedaan budaya dan nilai yang ada. Responden II melakukan penyesuaian pernikahan yang baik karena memiliki latar belakang agama yang sama dan mengajarkan suami untuk memahami tradisi di Indonesia. Dari keempat faktor penyesuaian pernikahan yang diteliti ditemukan bahwa faktor penyesuaian seksual dan penyesuaian keuangan dilakukan dengan baik oleh semua responden. Penyesuaian seksual dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama suami untuk mengontrol kehamilan dan mencapai kepuasan seksual. Penyesuaian keuangan dikelola sendiri karena semua responden telah terbiasa melakukannya sebelum menikah. Selanjutnya penyesuaian dengan pasangan dilakukan secara cukup (responden I) dan baik (responden II). Artinya responden I kurang memenuhi kebutuhan suami sedangkan respoden II memenuhi semua kebutuhan suami. Faktor penyesuaian dengan keluarga pasangan tidak menimbulkan masalah pada responden I karena tidak adanya interaksi. Sementara pada responden II melakukan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan dengan menjaga hubungan baik.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak
perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa
kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara
masa-masa tersebut ada masa yang disebut masa dewasa awal yang mana
merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang
kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, individu memiliki salah satu tugas
perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan
mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan pernikahan
(Huvigurst dalam Hurlock, 2000).
Pernikahan adalah hubungan yang diketahui secara sosial antara seorang pria
dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, berproduksi (memiliki anak),
adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, serta saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan juga dipahami
sebagai ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat
unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat
seksual dan menjadi lebih matang (Papalia & Olds, 1998).
Pemilihan pasangan hidup biasanya cenderung dilakukan seseorang dengan
memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangannya
(Sears,dkk, 1992), baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir
principle). Namun, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar
interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan
campur (Yoshida, 2008).
Pernikahan campur (intercultural marriage) dilatar belakangi dengan berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan (Yoshida, 2008).
Pada pernikahan campur (intercultural marriage) yang berasal dari latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda dikategorikan sebagai pernikahan antar bangsa
(Maretzki dalam Tseng, 1977). Saat ini pernikahan campur antar bangsa sudah
menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak
dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu
untuk mengenal dunia dan budaya lain (McDemott & Maretzki, 1977). Menurut
catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan pernikahan antar bangsa,
yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2009, menyebutkan bahwa
pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan
laki-laki asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan.
Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia
memiliki minat yang tinggi untuk menikah dengan pria asing. Minat ini cenderung
dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, dimana wanita Indonesia mempersepsikan pria
asing memiliki kehidupan yang lebih dari cukup (Erriyadi, 2007). Selain itu, dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Holilah (2005) menunjukkan bahwa alasan
mereka percaya bahwa menjadi istri pria asing dapat meningkatkan harga diri dan
memperbaiki keturunan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan WM
(wanita, 35 tahun) pada tanggal 28 November 2011, ketika ditanya alasan menikah
dengan pria barat berkebangsaan Jerman :
Bunda seorang janda.. bunda itu alasan pertamanya hanya untuk ini yah memperbaiki kehidupan aja.. apa yah, hm.. memperbaiki masa depan aja dulu pikirannya.. ya karena kebutuhan ekonomi. Dulu kan bunda janda dan hidup susah, jadi di dukung sama orang tua ya.. menikah saja dengan dia, kebutuhan bisa tercukupi, dapat memperbaik kehidupan itu ya memperbaiki ekonomi, kebutuhan tercukupi, jadi masa depan pun terjamin, gitu lho.
(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)
Hal serupa juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan IN (wanita, 33
tahun) pada tanggal 28 November 2011, yang menikah dengan pria berkebangsaan
Australia :
Jujur ya, saya mau menikah sama suami karena mau hidup berkecukupan dengan cepat, jadi itu keuangan gampang, nggak perlu susah lagi capek-capek kerja.
(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)
Orang bule itu banyak yang suka sama yang hitam-hitam kaya saya gini lah, pas pula ada yang mau, bagus lah ku pikir sekalian memperbaiki keturunan lah biar nggak hitam kaya saya, kalo kaya bule-bule itu kan nanti jadinya cantik kaya artis-artis kita banyak yang indo, hehehe.. (tertawa)
(Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011)
Berdasarkan wawancara diatas menunjukkan bahwa motivasi \wanita
Indonesia untuk menikah dengan pria asing khususnya pria barat adalah karena
ingin memperbaiki ekonomi dan keturunan. Namun, dibalik motivasi - motivasi
tersebut sebenarnya perasaan cinta adalah alasan utama wanita Indonesia untuk
pengakuan IN (wanita, 33 tahun) yang menikah dengan pria berkebangsaan
Australia selama dua tahun :
Diawal perkenalan dulu saya sudah suka, lama-lama cinta juga lah, nggak bisa di elakkan lah kalo cinta ini dek, itu lah yang jadi alasan kenapa saya mau nikah sama dia. Kalo dulu saya bilang untuk memperbaiki ekonomi dan keturunan itu kan alasan mendukung lah untuk buat hidup saya jadi lebih baik.
(Komunikasi Interpersonal, 15 April 2012)
Kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa cinta adalah salah satu hal
yang penting untuk menjadi alasan seseorang dalam memutuskan pernikahan,
termaksud untuk menikah dengan pria asing (barat). Hal ini sesuai dengan
pendapat Roediger dkk (1987), yang menyatakan bahwa cinta diyakini sebagai
salah satu bentuk emosi yang penting bagi manusia sehingga hampir semua
manusia pernah mengalami jatuh cinta dan membentuk hubungan intim dengan
lawan jenisnya, salah satunya adalah hubungan pernikahan.
Tidak hanya pada wanita Indonesia yang memiliki minat yang tinggi untuk melakukan pernikahan antar bangsa, pada pria asing (barat) pun ternyata memiliki alasan tertentu untuk menjadikan wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya. Alasan tersebut terlihat dari pengakuan LM (61 tahun) pria berkebangsaan Jerman yang menikah dengan WM selama 4 tahun :
Saya menikahi dia karena saya tau kalau orang indonesia khususnya Jawa terkenal dengan lemah lembut, luwes, ayu, keibuan, sayang, penuh perhatian, dan sopan santunnya yang mengesankan. Wanita seperti itu jarang saya temui di negara kelahiran saya, bahkan gambaran kehidupannya pun berbeda. Ketika bertemu dengan dia saya merasa dia adalah wanita yang tepat untuk menjadi istri yang akan terus menemani saya sampai akhir.
Alasan lainnya juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan FFN (43
tahun) pria berkebangsaan Rusia yang menikah dengan NR (31 tahun) wanita
Indonesia yang di nikahinya selama lima tahun :
Saya sangat terkesan dengan wanita asia yang menghormati pria, dari beberapa wanita asia khususnya Indonesia yang saya kenal mereka cenderung perhatian, pemalu dan keibuan, saya pikir itu kriteria ibu yang baik untuk anak-anak saya. Hal ini lah yang menjadi alasan saya untuk menikahinya karena hal tersebut ada di istri saya. Tentu saja kriteria ini sulit ditemui di negara saya karena kebanyakan mereka adalah wanita yang mandiri.
(Komunikasi Interpersonal, 21 April 2012)
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kedua pria asing (barat) diatas
menunjukkan bahwa alasan pria asing (barat) menikahi wanita asia khususnya
wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya adalah karena pria-pria tersebut
memiliki pandangan bahwa wanita Indonesia cenderung menghormati pria,
keibuan, lemah lembut, penyanyang, penuh perhatian dan sopan santun, sehingga
dianggap sebagai kriteria yang tepat untuk dijadikan seorang istri dan ibu
dibandingkan wanita barat yang mandiri.
Secara umum pernikahan yang terjadi dari penyatuan dua budaya atau latar
belakang etnis yang berbeda banyak dijumpai di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
penuturan McDermott dan Maretzki (1977) bahwa pernikahan beda budaya
merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam masyarakat. Di Provinsi Sumatera
Utara, pernikahan campur (Intercultural marriage) khususnya pernikahan campur antar bangsa juga dapat ditemui. Hal ini terlihat dari data BPS (Badan Pusat
Statistik) pada tahun 2010, menunjukkan bahwa tercatat sebanyak 12,982,20 jiwa
penduduk di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keanekaragaman suku
asing lainnya (Barat). Artinya, tidak dapat dihindari bahwa akan banyak
pernikahan campur (Intercultural marriage) yang terjadi, tidak hanya pada WNI yang berbeda etnis, tetapi juga pernikahan antar bangsa pada WNI dengan WNA I
dari budaya Barat yang ditemukan di provinsi ini khususnya di Kota Medan
(BPS, 2010).
Menjalani suatu hubungan dalam ikatan pernikahan tidak segampang seperti
menjalani hubungan ketika masih belum menikah (Degenova, 2008). Banyak hal
baru yang akan ditemukan oleh individu pada diri pasangannya saat menikah dan
individu harus mulai belajar untuk menerima pasangannya apa adanya. Terlebih
jika pasangan pernikahan tersebut berasal dari latar belakang etnis dan budaya
yang berbeda, seperti pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat) maka
akan banyak di jumpai berbagai jenis perbedaan seperti nilai-nilai budaya, sikap,
keyakinan, prasangka, stereotype, dll (Matsumoto, D. & L. Juang, 2008). Selain
itu, melalui pernikahan ini, masing-masing pasangan juga dapat saling
memperkenalkan tradisi yang berlaku dalam kelompok budayanya (Duvall, 1985).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada pernikahan campur antar bangsa
perbedaan budaya seringkali menjadi permasalahan yang mendasar dalam
kehidupan pernikahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Abigail (2009), yang menunjukkan bahwa secara umum, wanita Indonesia yang
menikah dengan pria berkebangsaan Inggris mengalami berbagai permasalahan di
dalam pernikahan, seperti kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola
Permasalahan pernikahan antar bangsa dapat dipahami karena pada
masing-masing pasangan menganut kebudayaan yang berbeda. Pada kebudayaan
timur (Indonesia) lebih mengesankan kehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan
lebih berdasarkan pada norma-norma yang ada pada lingkungan sekitar, sedangkan
pada kebudayaan barat biasanya lebih mengesankan kehidupan yang bebas dan
individual (Matsumoto & Liang, 2006). Dengan kata lain, dalam pernikahan
seperti ini memiliki orientasi keluarga kolektif-individualistik.
Perbedaan orientasi budaya kolektif-individual di dalam pernikahan antar
bangsa juga memiliki perbedaan dalam hal pola pengasuhan anak. Pada budaya
kolektif berorientasi pada extended family, dimana anak dibesarkan tidak hanya dari orang tua, namun orang yang tinggal bersama seperti nenek dan kakek yang
berkontribusi dalam pengasuhan. Selain itu anak juga diajak belajar untuk berpikir
bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, sedangkan pada budaya individual
didasarkan pada keluarga inti (nuclear family), dimana anak diajarkan untuk menjadi mandiri sejak usia dini (Hofstede, 2005). Hal ini dapat terlihat dari hasil
wawancara peneliti dengan WM (wanita, 35 tahun) pada tanggal 23 November
2011, yang menunjukkan adanya perbedaan pola asuh pada budaya
kolektif-individual:
Perbedaannya sama kita Indonesia, kita lagi makan ya kan, kita suapin ke anak kita dari piring kita kan gitu nggak masalah, jadi anak kita pingin nyobain punya mama punya papa kalo sama dia itu nggak boleh anak kecil itu selalu harus uda mandiri, umur dua tahun tiga tahun itu uda harus mandiri dia itu, pokoknya semuanya sendiri gitu.
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola asuh pada
budaya individual lebih mengajarkan anak menjadi mandiri dimulai dari usia dini.
Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan WM (wanita, 35 tahun) pada
tanggal 23 November 2011 :
Cuman yang pasti mah pokoknya kalo kita makan sama-sama, anak itu nggak boleh pecicilan lah, nggak boleh kesana-kesini, duduk yang manis gitu, nah terus makan makanan yang ada dipiring mu jangan liat orang, jangan pengen dari orang lain seperti itu, agak kasar gitu lho.
(Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011)
Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan yang berkaitan
dengan orientasi kolektif-individual yang muncul dalam penikahan antar bangsa,
tentu saja menyebabkan pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan
dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai
kesepakatan bersama dalam pernikahan mereka (Degenova, 2008). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Inman dkk (dalam Inman, Altman,
Davidson, Carr & Walker, 2011), yang menunjukkan bahwa salah satu konflik
pada pasangan pernikahan campur antar bangsa (Asia india White Amerika)
adalah sulitnya menghadapi perbedaan yang berkaitan dengan orientasi keluarga
kolektif-individual, sehingga dibutuhkan penyesuaian pernikahan.
Penyesuaian pernikahan adalah proses memodifikasi, beradaptasi, dan
mengubah individu, pola perilaku dan interaksi pasangan untuk mencapai
kepuasan maksimal dalam hubungan (Degenova, 2008). Terkadang penyesuaian
tertentu yang dilakukan bukanlah dianggap terbaik oleh seseorang, tapi hal itu
yang diambil hanya sekali. Penyesuaian merupakan proses dinamis yang terus
menerus terjadi pada kehidupan pernikahan pasangan (Degenova, 2008).
Menurut Hurlock (2000), penyesuian pernikahan merupakan proses adaptasi
antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik
dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri dan
penting bagi kebahagiaan pernikahan, yaitu penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak
keluarga pasangan (Hurlock, 2000). Setiap pernikahan tentunya membutuhkan
penyesuaian, begitu pula pada pernikahan antar bangsa antara wanita Indonesia
dan pria asing (barat). Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan NL
(wanita, 29 tahun) yang menikah selama tiga tahun dengan pria Inggris dan
menunjukkan adanya penyesuaian dengan pasangan di dalam pernikahannya :
Menikah dengan orang asing merubah diri kita seperti yang saya rasakan. Kakak harus beradaptasi dengan budaya suami seperti belajar etika budayanya. Misalnya, ketika makan harus rapi, tidak bersuara, sedangkan kakak dulu orangnya nggak bisa diam gitu. Terus selesai makan tidak boleh bersendawa kalau pun bersendawa harus permisi dulu karena itu nggak sopan.
(Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011)
Gambaran penyesuaian dengan pasangan juga terlihat dari hasil wawancara
peneliti dengan NR (wanita, 31 tahun) yang sudah menikah selama lima tahun
dengan pria berkebangsaan Rusia :
sudah terjadwal seperti ke pesta atau jalan-jalan bersama. Yang seperti ini kan jarang ditemui di Indonesia.
(Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012)
Kutipan wawancara di atas, merupakan beberapa gambaran penyesuaian
pernikahan terhadap pasangan yang dilakukan oleh wanita yang menikah dengan
pria asing (barat). Dalam kutipan wawancara diatas telihat bahwa NL dan NR
melakukan penyesuaian terhadap pasangannya dengan belajar memahami
pasangannya terlebih dahulu dan menyesuaikan dirinya dengan keinginan suami.
Namun, pada NR terlihat bahwa penyesuainnya dengan pasangan dirasa tidak sulit
karena memiliki beberapa keserupaan nilai. Selain penyesuaian terhadap pasangan,
wanita yang menikah dengan pria asing (barat) juga melakukan penyesuaian
keuangan. Gambaran penyesuaian keuangan terlihat dari hasil wawancara peneliti
dengan WM (wanita, 35 tahun) yang sudah menikah selama empat tahun dengan
pria berkebangsaan Jerman yang menunjukkan bahwa adanya penyesuaian dalam
mengelolah keuangan untuk kebutuhan hidup berumah-tangga :
Suami bunda itu orangnya royal banget, apa-apa dibeli, sedangkan bunda itu beli barang yah karena memang butuh barangnya. Makanya, kadang-kadang pusing kalau uang itu kesannya di hambur-hamburin. Jadi bunda
share kan ke suami tentang pengeluaran dan kita sepakat kalau mau beli sesuatu harus dikomunikasikan dulu dan uang bunda yang kelolah dan bunda yang simpan.
(Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011)
Penyesuaian selanjutnya yang dilakukan adalah penyesuaian terhadap
keluarga pasangan. Hal ini tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan NR
(wanita, 31 tahun) yang menunjukkan bahwa subjek melakukan penyesuaian
Dengan keluarga di Samara (Rusia) kakak masih canggung dan sangat menjaga sikap. Walaupun kita sama-sama muslim tapi budaya disana sangat sulit untuk diikuti karena nggak sesuailah sama kebiasaan kita. Misalnya, kalau kumpul bersama biasanya harus minum alkohol sebagai tanda kita menghormati keluarganya. Makanya, kakak sangat strict (keras) dalam hal itu, harus dijelaskan dengan baik, sopan. Yah, dalam beradaptasi dengan keluarganya kami sama-sama bertoleransi untuk menerima adat kebiasaan masing-masing.
(Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012)
Beberapa kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa wanita Indonesia
yang menikah dengan pria asing (barat) melakukan penyesuaian dalam
pernikahannya. Ada yang merasa sulit dalam melakukan penyesuaian dalam
pernikahannya dan ada yang merasa mudah. Dalam penyesuaian kehidupan
pernikahan, penyesuaian yang paling sulit yang harus dilakukan oleh kaum dewasa
awal adalah pada kehidupan satu atau dua tahun pertama pernikahan (Hurlock,
2000). Jadi penyesuaian yang paling sulit adalah awal-awal pernikahan. Hal ini
terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan NL (wanita, 29 tahun) yang menikah
dengan pria berkebangsaan Inggris :
Nah, diawal tahun pertama pernikahan kakak rasakan itu lah yang sangat sulit karena kita mulai belajar membiasakan diri dan menerima perbedaan masing-masing. Di awal nikah ya bulan-bulan pertama pasti ada kebahagiaan tetapi setelahnya kita lebih banyak ributnya, sering adu mulut bahkan untuk masalah sepele seperti waktu berkunjung dengan keluarga menjadi perdebatan diawal pernikahan kami. Di budayanya untuk berkunjung harus buat janji dulu karena dia merasa tamu yang berkunjung tanpa adanya janji akan mengganggu privasinya, sedangkan kita kan kapan pun boleh saja berkunjung.
(Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011)
Penyesuaian diri yang sehat di dalam pernikahan akan membawa pada
suatu kondisi pernikahan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal
(Hurlock, 2000). Penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam
sebuah pernikahan merupakan hal yang penting karena akan berdampak pada
keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan hidup pernikahan, mencegah
kekecewaan dan perasaan-perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang
untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan
kehidupan lain di luar rumah tangga (Hurlock, 2000).
Wanita yang menikah dengan pria asing (barat) membutuhkan penyesuaian
yang baik di dalam pernikahannya, karena banyaknya perbedaan-perbedaan di
dalam pernikahan. Pada pernikahan antar bangsa seperti ini, perbedaan -perbedaan
yang ada pada masing-masing individu, seperti latar belakang budaya, hukum,
nilai, bahasa, perbedaan pola pikir dan agama dapat menjadi kendala atau masalah
dalam pernikahan (Lerrigo, 2005).
Melihat fenomena yang dipaparkan diatas, membuat peneliti tertarik untuk
mengetahui bagaimana penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan
pria asing (barat).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
mengajukan perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah gambaran
faktor-faktor penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing
(barat).
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat :
a. Menambah pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi,
terutama psikologi perkembangan dan psikologi perkembangan
keluarga mengenai penyesuaian pernikahan pada wanita Indonesia
yang menikah dengan pria asing (barat).
b. Menjadi masukan yang berguna dan menjadi referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan informasi kepada wanita asia khususnya wanita
Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat), untuk mampu
memahami faktor - faktor apa saja yang paling sering dilakukan atau
berkontribusi besar di dalam pernikahan antar bangsa, sehingga dapat
membantu mereka dalam melakukan penyesuaian pernikahan dan
mencapaikeberhasilan hidup berumah tangga.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat yang belum menikah
mengenai penyesuaian pernikahan sehingga dapat menjadi masukan
c. Memberikan informasi dan masukan kepada para praktisi dalam
konseling pernikahan, khususnya mengenai penyesuaian pernikahan
pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria barat dalam
menangani permasalahan pernikahan antar bangsa.
3. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori
yang menjelaskan dan mendukung data penelitian.
Diantaranya adalah penyesuaian pernikahan dan
faktor-faktor penyesuaian pernikahan, pola penyesuaian
pernikahan, tugas-tugas perkembangan dewasa awal dan
pernikahan antar bangsa.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian
kualitatif, alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif,
pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur
penelitian.
BAB IV : Hasil Analisa Data
Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil
analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan
sebelumnya.
BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisikan hasil dari
penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data
-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau
penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta
berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan
masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk
A. Penyesuaian Pernikahan 1. Definisi Pernikahan
Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian pernikahan, terlebih
dahulu diuraikan pengertian dari pernikahan itu sendiri.
Di Indonesia, agar hubungan pria dan wanita diakui secara hukum maka
pernikahan diatur dalam suatu undang-undang. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan
menyatakan bahwa pernikahan adalah:
Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Pernikahan).
Menurut UU RI di atas definisi pernikahan tidak hanya bersatunya pria dan
wanita secara lahir namun juga secara batin. Pernikahan di Indonesia juga
mempunyai nilai yang luhur karena dilandasi nilai keTuhanan pada proses
pembentukannya.
Ditambahkan oleh Dyer (1983), yang mendefinisikan pernikahan sebagai
suatu subsistem dari hubungan yang luas dimana dua orang dewasa dengan jenis
kelamin berbeda membuat sebuah komitmen personal dan legal untuk hidup
Duvall dan Miller (1985), mengatakan bahwa pernikahan adalah hubungan
yang diketahui secara sosial danmonogamous, yaitu hubungan berpasangan antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa didefinisikan sebagai suatu kesatuan
hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung
jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana
didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai anak dan
menetapkan pembagian tugas antara suami istri.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pernikahan adalah hubungan antara wanita dan pria yang membuat sebuah
komitmen personal dan legal untuk hidup sebagai suami dan istri dengan
menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah
menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai
anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri.
2. Tahapan Pernikahan
Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan
dalam komposisi, peran dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka
meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers dalam Sigelman & Rider, 2003). Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (dalam
Hoyer &Roodin, 2003), membagi tahapan pernikahan menjadi tahap sebelum
kehadiran anak pertama, kehadiran anak dan setelah keluarnya anak dari rumah.
Sementara Cole (dalam Lefrancois, 1993), membagi tahapan pernikahan menjadi
1. Tahap I :Married Couple
Berdasarkan Family Life Cycle, tahap ini berlangsung selama kurang
lebih dua tahun dimulai dari pasangan menikah dan berakhir ketika anak
pertama lahir.
2. Tahap II : Mengasuh anak (Chilrearing)
Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20
tahun. Umumnya tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun
(Duvall dalam Lefrancois, 1993). Seiring bertambahnya usia anak maka
orang tua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagai mana
dikatakan oleh Crnic &Booth (dalam Sigelman &Rider,2003), bahwa
stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat
bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stress orang tua
(O Brien dalam Sigelman &Rider ,2003).
3. Tahap III :Emptynest
Istilah Emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah. Tahap ini dimulai dengan
launching anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall dalam Lefrancois, 1993).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan pernikahan
3. Penyesuaian
Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang kontinu
dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun &
Acocella, 1995). Interaksi dengan diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa
yang telah ada pada seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri
sendiri adalah sesuatu yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang
lain, jelas berpengaruh pada individu, sebagaimana individu juga berpengaruh
terhadap orang lain. Interaksi dengan dunia kita, penglihatan dan penciuman serta
suara yang mengelilingi seseorang saat ia menyelesaikan urusannya,
mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya. Penyesuaian juga
merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau memenuhi
keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari, salah satu bentuk penyesuaian
diri adalah penyesuaian terhadap pernikahan. (Weiten & Lloyd, 2006).
4. Penyesuaian Pernikahan
Hurlock (2000), mendefinisikan penyesuaian pernikahan sebagai proses
adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah
terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses
penyesuaian diri. Lasswel & Lasswel (1987), mengatakatan bahwa penyesuaian
pernikahan adalah dua individu yang belajar untuk mengakomodasi kebutuhan,
keinginan, dan harapan masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat
kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian pernikahan bukan suatu keadaan
sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian
pernikahan.
Penyesuaian pernikahan juga merupakan suatu proses memodifikasi,
mengadaptasi dan mengubah individu dan pola perilaku pasangan serta adanya
interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam pernikahan
(DeGenova, 2008). Atwater (1990), juga menambahkan bahwa penyesuaian
pernikahan merupakan perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pernikahan
yang meliputi beberapa aspek dalam kehidupan pernikahan, seperti penyesuaian
terhadap hidup bersama, penyesuaian peran baru, penyesuaian terhadap
komunikasi dan penyelesaian konflik, serta penyesuaian terhadap hubungan
seksual dalam pernikahan dan penyesuaian terhadap kewarganegaraan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan adalah
suatu proses dimana dua orang yang memasuki tahap pernikahan dan mulai
membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling
menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling
mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan, serta saling menyesuaikan
diri di beberapa aspek pernikahan untuk mencapai kepuasan maksimum dalam
pernikahan.
5. Faktor-Faktor Penyesuaian Diri Dalam Pernikahan
Penyesuaian diri dalam pernikahan memiliki beberapa area yang akan dilalui,
seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan,
dan seksual. Hurlock (2000), juga mengatakan ada empat hal pokok yang
dan paling penting dalam menciptakan kebahagiaan pernikahan. Faktor-faktor
penyesuaian diri dalam pernikahan ini dapat digunakan untuk mengungkapkan
gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan pria barat,
yaitu :
1. Penyesuaian dengan pasangan
Penyesuaian yang paling penting dan pertama kali harus dihadapi saat
seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan
pasangan (istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam
hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu,
makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan
dalam penyesuaian dengan pasangan.
a. Konsep pasangan ideal
Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada
waktu tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk
selama masa dewasa. Semakin seseorang terlatih menyesuaikan diri
terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian yang dilakukan
terhadap pasangan.
b. Pemenuhan kebutuhan
Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi
kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal dan pasangan harus
membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Degenova (2008), menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan di
penerimaan dan pemenuhan diri), kebutuhan sosial (persahabatan dan
pengalaman yang baru bersama pasangan) dan kebutuhan seksual
(secara fisik dan psikologis).
c. Kesamaan latar belakang
Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah
untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar
belakang mereka sama, setiap orang dewasa mencari pandang unik
tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini, maka
semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.
d. Minat dan kepentingan bersama
Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan
pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik daripada
kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan dibagi bersama.
e. Keserupaan nilai
Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang
lebih serupa daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk. Hal ini
dapat terjadi karena adanya latar belakang yang sama sehingga
menghasilkan nilai yang sama pula.
f. Konsep peran
Setiap lawan pasangan mempunyai konsep yang pasti mengenai
bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap
harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan
konflik dan penyesuaian yang buruk
g. Perubahan dalam pola hidup
Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola
kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta
merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri.
Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.
2. Penyesuaian seksual
Penyesuaian seksual merupakan penyesuaian utama yang kedua dalam
pernikahan, hal ini akan menjadi masalah yang paling sulit dalam
pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan
ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan
pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu
mengendalikan emosi mereka.
a. Perilaku terhadap seks
Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita
menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika
perilaku yang tidak menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali
untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin dihilangkan.
b. Pengalaman seks masa lalu
Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan
terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang wanita tidak
menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.
c. Dorongan seksual
Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita
dan cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik.
Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi
minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi
penyesuaian seksual.
d. Pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat
kontrasepsi, dan pengaruh vasektomi.
Akan terjadi lebih sedikit konflik dan ketegangan jika suami istri setuju
untuk menggunakan alat pencegah kehamilan disbanding apabila antara
keduanya mempunyai perasaan yang berbeda tentang sara tersebut.
Selain itu, apabila seseorang yang menjalani operaso vasektomi, maka
akan kehilangan ketakukan akan kehamilan yang tidak diinginkan.
3. Penyesuaian keuangan
Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
penyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang cenderung memiliki
sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan
hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di
luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga
4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok
keluarga baru. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua
Stereotip yang secara luas diterima masyarakat Ibu mertua yang
representatif dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak
menyenangkan bahkan sebelum pernikahan. Stereotip yang tidak
menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut
campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.
b. Keinginan untuk mandiri
Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan
petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan
keuangan, dan khususnya mereka menolak bantuan dari keluarga
pasangan.
c. Kebersamaan dengan keluarga
Penyesuaian dan pernikahan akan lebih pelik apabila salah satu
pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap
keluarganya daripada mereka sendiri. Apabila pasangan terpengaruh
oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam
d. Mobilitas sosial
Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota
keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap
membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan
anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.
e. Anggota keluarga berusia lanjut
Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat
sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak
menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila
dia juga mempunyai anak-anak.
f. Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan
Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung
jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering
membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan
anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan
tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
penyesuaian diri dalam pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan pihak
keluarga pasangan.
6. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan
Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan dari Hurlock (2000), untuk
melakukan pernikahan antar bangsa, khususnya pada wanita yang menikah dengan
pria barat, yaitu :
1. Kebahagiaan suami istri
Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama
akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka
mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan stabil
satu dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual
dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.
2. Hubungan yang baik antara anak dan orang tua
Hubungan yang baik antara anak dengan orangtuanya mencerminkan
keberhasilan penyesuaian pernikahan terhadap masalah tersebut. Jika
hubungan anatara anak dengan orang tuanya buruk, maka suasana rumah
tangga akan diwarnai perselisihan yang menyebabkan penyesuaian
pernikahan menjadi sulit.
3. Penyesuaian yang baik dari anak-anak
Apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dengan
teman-temannya, maka ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia di
sekolah. Hal ini merupakan bukti nyata keberhasilan proses pernikahan
kedua orangtuanya terhadap pernikahan dan perannya sebagai orangtua.
4. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat
dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan,
perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti
pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan
ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian
pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat
mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang
meningkat.
5. Kebersamaan
Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat
menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila
hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun
pernikahan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih
erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas
usahanya sendiri.
6. Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan
Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan
kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya
pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan
pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu
melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas
usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang
7. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan
Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan,
kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan
hubungan dengan mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuian pernikahan
dikatakan berhasil jika di dalam pernikahan terserbut menunjukkan adanya
kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan
pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan
penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
B. Pernikahan Antar Bangsa
1. Definisi Pernikahan Antar Bangsa
Pengertian pernikahan antar bangsa menurut Undang-Undang Republik
Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 tentang pernikahan, menyatakan
bahwa pernikahan antar bangsa adalah pernikahan antara dua orang di Indonesia
yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan yang
salah satu berkewarganegaraan asing dan salah satu berkewarganegaraan
Indonesia. Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977), mengatakan bahwa
pernikahan antar bangsa adalah :
Pernikahan antar bangsa dapat diartikan sebagai pernikahan yang terjadi
antar pasangan yang berbeda kultur atau budaya. Mereka berbeda dalam
nilai-nilai, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, gaya hidup, sehingga dimensi budaya itu
menjadi aspek signifikan yang relatif dalam pernikahan.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan antar
bangsa (intercultural marriage) adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya dan kewarganegaraan yang berbeda.
2. Faktor-Faktor yang Mendorong Minat Wanita Menikah dengan Pria Asing (Barat).
Erriyadi (2007), mengemukakan beberapa faktor yang mendorong minat
wanita Indonesia menikah dengan pria asing (barat).
1. Kebutuhan Finansial
Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita untuk menikah
dengan pria asing. Hal ini dikarenakan wanita Indonesia
mempersepsikan pria asing memiliki kehidupan lebih dari cukup.
Persepsi positif tersebut mempengaruhi keyakinan mereka untuk dapat
menikah dengan pria asing.
2. Kebutuhan Sosial-Relasional
Kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan
sosial, identitas sosial yang diperoleh dengan menikahi pria asing,
Holilah (2005) menambahkan bahwa banyak alasan seorang wanita yang
ingin menikah dengan pria berkebangsaan asing karena ingin terpenuhi kebutuhan
ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa
menjadi istri laki-laki asing dapat memperbaiki keturunan. Selain itu perasaan
cinta juga berperan dalam pemutusan untuk menjadi istri pria berkebangsaan
asing. Menurut Roediger dkk (1987), bahwa cinta diyakini sebagai salah satu
bentuk emosi yang penting bagi manusia sehingga hampir semua manusia pernah
mengalami jatuh cinta dan membentuk hubungan intim dengan lawan jenisnya,
salah satunya adalah hubungan pernikahan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong
wanita untuk menikah dengan pria asing, yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan
sosial-relasional, untuk memperbaiki keturunan dan perasaan cinta.
3. Faktor-Faktor yang Mendukung Penyesuaian Pernikahan Antar Bangsa
Menurut Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977), faktor pendukung
keberhasilan penyesuaian pernikahan campur (intercultural marriage) pada pasangan berbeda etnis, termasuk pada pasangan pernikahan antar bangsa antara
lain :
1. Adanya sikap saling keterbukaan pikiran atauopen mindedness
Masing-masing pasangan, baik itu suami-istri menerapkan sikap saling
membuka pikiran atau open mindedness, dimana mau mendengarkan pendapat dan sa ran serta menerima kritikan dari pasangannya. Selain itu,
2. Adanya toleransi yang tinggi
Pasangan lebih menanamkan rasa toleransi, kerukunan, menghormati,
menghargai serta memahami pasangan masing-masing. Perbedaan yang
ada di dalam pernikahan tidak dijadikan konflik berkepanjangan. Selain
itu, masing-masing pasangan menyadari kapasitas dan peran yang harus
dijalankan dalam rumah tangga serta tidak memaksakan kehendak
masing-masing.
3. Memiliki sikap keluwesan
Pasangan dapat bersikap sesuai dengan situasi, fleksibel dan bijak dalam
menghadapi suatu permasalahan. Jadi, dalam hal ini pasangan cekatan
dalam mengambil sikap sesuai kondisi.
4. Memiliki keinginan untuk saling mempelajari kebudayaan dari pasangan.
Masing-masing pasangan akan membawa nilai-nilai budaya, sikap,
keyakinan ke dalam pernikahan, sehingga suami atau pun istri dari latar
belakang budaya yang berbeda dapat memperkenalkan tradisi yang
berlaku dalam kelompok budayanya dan saling mempelajari kebudayaan
pasangannya melalui perayaan di dalam keluarga dan kebiasaan yang
dilakukan pasangan.
5. Kepekaan terhadap kebutuhan pasangan
Suami atau pun istri memahami apa yang dibutuhkan pasangannya, tahu
terhadap apa yang pasangannya inginkan dan mewujudkan keinginan
pasangannya dengan tujuan membahagiakan pasangan serta menjaga
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mendukung penyesuaian pernikahan antar bangsa adalah adanya sikap saling
keterbukaan atau open mindedness, adanya toleransi yang tinggi, memiliki sikap keluwesan, memiliki keinginan untuk saling mempelajari kebudayaan dari
pasangan, dan kepekaan terhadap kebutuhan pasangan.
4. Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa
Perbedaan budaya merupakan permasalahan yang mendasar dalam
pernikahan antar bangsa, seperti pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria
asing (barat). Hal ini dikarenakan pada masing-masing pasangan menganut
kebudayaan yang berbeda, yang mana pada kebudayaan barat lebih mengesankan
kehidupan yang bebas sedangkan pada kebudayaan timur lebih mengesankan
kehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan lebih berdasarkan pada norma-norma
yang ada pada lingkungan sekitar (Matsumoto & Liang, 2006).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abigail (2009), menunjukkan secara
umum bahwa wanita Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris
mengalami berbagai permasalahan di dalam pernikahan seperti kendala bahasa,
perbedaan nilai, perbedaan pola perilaku kultural. Lerrigo (2005) menambahkan,
pada pernikahan antar bangsa, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing
individu, seperti latar belakang budaya, hukum, nilai, bahasa, perbedaan pola pikir,
agama dapat menjadi kendala atau masalah dalam pernikahan. Selain itu menurut
penelitian Inman dkk (2011) menunjukkan bahwa pada keluarga pernikahan antar
perbedaan dalam hal pola asuh sehingga hal ini cendurung menjadi sumber
permasalahan di dalam pernikahan antar bangsa.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada
pernikahan antar bangsa, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing
individu yang dilatar belakangi oleh kebudayaan yang berbed dapat menjadi
kendala atau sumbe masalah dalam pernikahan, seperti masalah dalam kendala
bahasa, perbedaan nilai, perbedaan pola perilaku kultural serta pola pengasuhan
anak.
C. Dewasa Awal
1. Definisi Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari kata kerja latin, seperti juga istilah adolescene adolescere, yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi, kata adult
berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999).
Hurlock (2000), membagi masa dewasa ini menjadi tiga tahapan, yaitu masa
dewasa awal usia 18 sampai 40 tahun, masa dewasa madya dimulai pada usia 40
sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun keatas. Hurlock
(2000), mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah
individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru
dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan
berusia 18 hingga 40 tahun.
2. Karakteristik Dewasa Awal
Menurut Hurlock (2000), karakteristik individu pada masa dewasa awal
adalah:
a. Masa pengaturan (settle down).
Pada masa ini seseorang akan mencoba-coba sebelum ia menentukan
mana yang sesuai, cocok, dan memberi kepuasan permanen. Ketika ia
sudah menemukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, ia akan mengembangkan pola-pola prilaku, sikap, dan
nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya
b. Masa usia produktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah
masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan
berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat
produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).
c. Masa bermasalah
Masa deewasa awal dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah.
Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan
peran barunya (pernikahan vs pekerjaan). Jika ia tidak bias mengatasinya
d. Masa ketegangan emosional
Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi emosionalnya
tidak terkendali. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat bergelora
dan mudah tegang. Namun, ketika sudah berumur 30-an, seseorang akan
cenderung stabil dan tenang dalam emosi.
e. Masa keterasingan sosial
Masa dewasa awal adalah masa dimana seseorang mengalami krisis
isolas , yaitu terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial.
Keterasingan di intensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat
untuk maju dalam berkarir.
f. Masa komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah
komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan
komitmen baru.
g. Masa ketergantungan
Pada awal masa deewasa awal sampai akhir usia 20-an, seseorang masih
punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi/instnasi yang
mengikatnya.
h. Masa perubahan nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa deewasa awal
berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas.
Nilai sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai
seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat
diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan
yang telah disepakati.
i. Masa penyesuaian diri dengan hidup baru.
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih
bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran
ganda. (peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja.
j. Masa kreatif
Disebut masa kreatif karena individu bebas untuk berbuat apa yang
diinginkan. Namun kreatifitas tergantung minat, potensi, dan
kesempatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu
pada masa dewasa awal adalah masa pengaturan (settle down), masa usia produktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan
sosial, masa komitmen, masa ketergantungan,masa perubahan nilai, masa
penyesuaian diri dengan hidup baru, dan masa kreatif.
3. Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2000), tugas perkembangan yang harus
dipenuhi pada masa dewasa awal adalah:
a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup.
b. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak.
c. Meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah
d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
e. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
4. Perkembangan Psikososial Dewasa Awal
Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), dewasa awal
merupakan masa krisis antara intimasi dan isolasi yang berarti selama usia masa
dewasa awal akan merasa lebih aman dalam identitasnya ketika individu tersebut
mampu membangun keintiman dengan diri mereka sendiri, baik dalam
persahabatan dan dalam hubungan cinta. Sedangkan individu yang tidak bisa
menjalin hubungan intim sepenuhnya karena takut kehilangan identitas dapat
mengembangkan rasa isolasi. Pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat)
menunjukkan bahwa mereka telah memasuki masa intimasi yang mana sudah
melakukan pernikahan dan mampu membangun keintiman dalam hubungan cinta
bersama pasangannya.
D. Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
Setiap pernikahan membutuhkan adanya penyesuaian agar pasangan
menjalani pernikahannya dengan bahagia (Hurlock,2000). Hal ini dikarenakan
penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah pernikahan
akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga yang berpengaruh kuat
terhadap kepuasan pernikahan, sehingga memudahkan seseorang untuk
menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan