KEBIJAKAN PERPAJAKAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN
PAJAK HIBURAN SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI
DAERAH
( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun oleh :
Elida Debora L. Tobing
060903065
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Rasa syukur serta sembah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus untuk
segala hikmat, karunia dan kasih-Nya serta untuk setiap kebaikan yang telah
dianugerahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan
judul “ Kebijakan Penetapan Tarif dan Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber
Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Asli Daerah Kota Medan ).
Mengingat keterbatasan kemampuan, waktu, dan pengetahuan, penulis menyadari
bahwa skripsi ini tidak akan mungkin dapat berjalan dengan lancar tanpa bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. M. Arif Nasution, M.A, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Marlon Sihombing, MA selaku ketua Departemen Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan tenaga, waktu, pikiran serta pengertian untuk membantu,
membimbing, dan mengarahkan penulis dengan sabar hingga selesainya penulisan
skripsi ini.
4. Seluruh staf pegawai Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah menbantu penulis dalam
5. Seluruh pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan yang telah dengan senang
hati menyambut kehadiran penulis dan memberikan begitu banyak bantuan dalam
pengumpulan data-data, bahkan di tengah-tengah padatnya kesibukan kantor.
6. Bapak Drs. Nawawi, Ibu Sabrina,SH, dan Ibu Wina yang telah memberikan waktu
untuk membantu pengumpulan data dan informasi dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
7. Buat kedua orang tuaku B. Lumban Tobing / E. Hutabarat, kakak dan Adeq
(K’Ocha en Ade ) yang sangat kukasihi & kucinta atas doa dan dukungan serta
segenap rasa cinta dan kasih sayangnya kepada penulis.
8. Buat semua komponen pelayanan UKM KMK UP PEMA FISIP atas setiap doa,
motivasi dan kebersamaannya dalam pelayanan. Saya sangat bersyukur dan
merupakan anugerah bagi saya dapat dibina dalam wadah pelayanan UKM KMK,
sehinggga saya dapat bertumbuh dalam iman, karakter dan kasih. Buat semua TPP
UKM KMK UP FISIP tetap semangat dalam menggembalakan pelayanan. Buat
semua PKK UKM KMK UP FISIP tetap setia dalam pelayanan yang Tuhan Yesus
percayakan. En semua AKK UKM KMK UP FISIP tetap semangat kelompok kecil
ya,,,,,,,Jadilah Garam dan Terang dimanapun berada dan tetap jaga kesaksian hidup
sebagai orang pilihan2 Allah, ( Jesus Luv U aLL )
9. Untuk KTB ku ( K’Riama, Butet, Elida, Rindo, Yulia ) atas setiap doa, dukungan,
kebersamaan dan yang selalu bersedia mendengar curahan hatiku… baik dalam
pelayanan maupun dalam studiku,,. Thanks juga buat K’Riama atas motivasi,
perhatian, bimbingan dan binaannya selama ini sehingga aku dapat bertumbuh
kerjakan pelayanan yang Tuhan Anugerahkan dengan tetap menjaga komitmen dan
selamat mengerjakan visi pribadi,,
10.Buat adeq2 KK Benny Sianturi, Benny Sihombing, Bontor Tambunan, Jaka
Panggabean, Mianhot Pandiangan, Renaldy Hutahayan, Rio Tambunan dan Widodo
Sihotang, terima kasih buat kebersamaannya dalam KK, aku sangat bersyukur bisa
mengenal dan belajar dari kalian semua terutama semakin belajar untuk rendah hati
dan bersabar. Tetap semangat dalam studi dan pelayanan… ( Keep Spirit & Keep
Pray )
11.Buat teman2 magang ( Azzo, Efriady, Juni, Martha, Juliyanti, en Rindo ) yang
selalu “berspekulasi” dan “Rubbish” selama kelompok magang ( tobatlah kita ya
secara da Alumni,,, )
12.Buat teman2 “ Challaushe Fams” selalu bersama tapi sering tidak akur karena
perbedaan prinsip dan pandangan ( macam pemikir az,,), Martha “ Sang Man_ja
alias manjawab2 sambil pegang poni yang buat semua orang poning en suntuk
(jangan sia2kan Parlaut itu ya,,) , Juni ( tuteng ) Si Sibuk tak Jolas, Yulia (Ju_Ndur)
Ratu Tidur, Ony (oneng) Si mood2an , Juliyanti (julped) si cerewet , Butet (butas) si pendoa syafaat en Unang songoni, dan yang terakhir Dina (dindong) rekan orang pao2 en oto2, kapan lagi kita Leg ketawa ngakak (Kwakakkakakakakakkakakk…).
13.Buat teman2 Konsentrasi KP’ 06 “ Public Policy “ Butet, Ezry, Ony, Ulfa, Sonasa,
Hariono, Arbaiyah, en Ricky Bajora yang sudah mw bersusah payah mencari senior
supaya Konsentrasi KP bias buka (alny kurang 1 orang lagi, hehehehehheheh .. )
14.Buat teman-teman dari Departemen Ilmu Administrasi Negara stambuk’ 06 yang
15.Buat semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini, namun tidak disebutkan,
terima kasih banyak.
Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, demikian pula dengan
skripsi ini, pasti banyak kekurangan dan kesalahannya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka penulis menerima saran serta kritik yang membangun dari pembaca.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Medan, 26 April 2010
Penulis
Elida Debora Tobing
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 9
I.3. Tujuan Penelitian ... 9
I.4. Mamfaat Penelitian ... 9
I.5. Kerangka Teori ... 10
A. Pengertian Kebijakan Perpajakan... 10
B. Pengertiaan Pajak ... 14
C. Pengertian Pajak Daerah... 15
D. Pengertian Pajak Hiburan ... 17
E. Objek Pajak Hiburan ... 18
F. Subjek Pajak Hiburan ... 19
G. Dasar Pengenaan, Tarif dan cara Perhitungan Pajak Hiburan ... 19
H. Pengelolaan Pemungutan Pajak Hiburan ... 23
I. Pendapatan Asli Daerah ... 25
I.6 Defenisi Konsep ... 29
I.7 Defenisi Operasional ... 30
BAB II METODOLOGI PENELITIAN ... 33
II.2. Lokasi ... 33
II.3. Informan... 33
II.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35
II.5. Teknik Analisa Data ... 36
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 38
III.1 Sejarah Singkat Dinas Pendapatan daerah Kota Medan ... 38
III.2. Tugas Pokok, Fungsi, Visi dan Misi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 40
III.3 Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 42
III.4 Uraian Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 44
III.5 Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 46
BAB IV PENYAJIAN DATA ... 64
IV.1 Hasil Penelitian ... 64
A. Kebijakan Perpajakan Penetapan pajak Hiburan ... 64
B. Kebijakan Perpajakan daerah Dalam Mengelola pajak Hiburan ... 66
C. Target, Realisasi dan Kontribusi Pajak Hiburan ... 86
D. Kontribusi Penerimaan pajak Hiburan Terhadap Pemasukan PAD ... 94
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan pajak Hiburan ... 101
F. permasalahan yang Dihadapi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 101
G. Upaya-upaya Dinas Pendapatan daerah Kota Medan dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak hiburan ... 103
BAB V ANALISI DATA ... 106
V.1. Kebijakan Perpajakan Penetapan Tarif ... 106
V.4 Sistem Pengelolaan Pajak Hiburan Kota Medan ... 113
BAB VI PENUTUP ...118
VI.1. Kesimpulan ...118
VI.2. Saran...120
DAFTAR PUSTAKA ...121
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Pendapatan Asli Daerah Kota Medan Tahun
2001-2005 ... Tabel I.2 Target dan Realisasi Pajak Hiburan tahun Anggaran 2005-2009 ... Tabel I.3 Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran
Tabel II.1 Tarif Pajak untuk Pertunjukan Film di bioskop ... Taabel III.1 Komposisi Pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan Tahun 2009.. . Tabel IV.1 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2005 ... Tabel IV.2 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2006 ... Tabel IV.3 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2007 ... Tabel IV.4 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2008 ... Tabel IV.5 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2009 ... Tabel IV.6 Target dan Realisasi Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2005-2009 ... Tabel IV.7 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran
2007-2008 ... Tabel IV.8 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran 2007…………. Tabel IV.9 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran 2008…………. Tabel IV.10 Realisasi Target PAD Kota Medan Tahun 2008-2009 ...
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Metode Wawancara
Lampiran : Foto Dokumentasi Penelitian
Lampiran 2 : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah
Lampiran 3 : Penjelasan Atas PP RI No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
ABSTRAKSI
Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ) Nama : Elida Debora L. Tobing
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Thamrin Nasution, M.Si
Melalui otonomi diharapkan daerah menjadi lebih mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah maka Pemerintah Daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi daerah, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagian sumber keuangan daerah. Sumber PAD salah satunya adalah dari pajak daerah. Dan dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih dalam adalah pajak hiburan. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dianggap sangat potensial dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dalam penyelenggaraan Pajak Hiburan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan Pajak hiburan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan. Pajak hiburan memberikan kontribusi persentase yang terbesar 35%, namun dalam pelaksanaannya realisasi pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan dari empat tahun sebelumnya, dimana target yang telah ditetapkan dalam APBD tidak dapat tercapai.
terakhir dan bagaimana upaya Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan dalam meningkatkan penerimaan pajak hiburan serta hambatan atau kendala apa saja yang dihadapai Dinas Pendapatan daerah Kota Medan sehingga penerimaan pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode bentuk analisa deskriptif kualitatif.unit analisis yang terdiri dari informan kunci yaitu Kepala Sub Dinas Penagihan, Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan, informan tambahan yaitu Kepala Seksi Pembukuan dan
Verifikasi, Kepala Seksi Pertimbangan dan Keberatan, dan informan tambahan yaitu wajib pajak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penetapan tarif yang dikenanakan kepada wajib pajak tidak mencapai tarif maksimal yaitu sebesar 35% karena dirasakan masyarakat sangat berat. Dan pada tahun 2009 penerimaan dari pajak hiburan mengalami penurunan, dimana target APBD tidak dapat direalisasikan secara maksimal. Adapun yang menjadi penyebabnya salah satunya adalah adanya wajib pajak yang melakukan penunggakan pembayaran atas pajak hiburan yang dibebankan kepada wajin pajak, yaitu pengusaha atau penyelenggara hiburan di kota Medan.
ABSTRAKSI
Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ) Nama : Elida Debora L. Tobing
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Thamrin Nasution, M.Si
Melalui otonomi diharapkan daerah menjadi lebih mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah maka Pemerintah Daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi daerah, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagian sumber keuangan daerah. Sumber PAD salah satunya adalah dari pajak daerah. Dan dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih dalam adalah pajak hiburan. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dianggap sangat potensial dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dalam penyelenggaraan Pajak Hiburan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan Pajak hiburan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan. Pajak hiburan memberikan kontribusi persentase yang terbesar 35%, namun dalam pelaksanaannya realisasi pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan dari empat tahun sebelumnya, dimana target yang telah ditetapkan dalam APBD tidak dapat tercapai.
terakhir dan bagaimana upaya Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan dalam meningkatkan penerimaan pajak hiburan serta hambatan atau kendala apa saja yang dihadapai Dinas Pendapatan daerah Kota Medan sehingga penerimaan pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode bentuk analisa deskriptif kualitatif.unit analisis yang terdiri dari informan kunci yaitu Kepala Sub Dinas Penagihan, Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan, informan tambahan yaitu Kepala Seksi Pembukuan dan
Verifikasi, Kepala Seksi Pertimbangan dan Keberatan, dan informan tambahan yaitu wajib pajak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penetapan tarif yang dikenanakan kepada wajib pajak tidak mencapai tarif maksimal yaitu sebesar 35% karena dirasakan masyarakat sangat berat. Dan pada tahun 2009 penerimaan dari pajak hiburan mengalami penurunan, dimana target APBD tidak dapat direalisasikan secara maksimal. Adapun yang menjadi penyebabnya salah satunya adalah adanya wajib pajak yang melakukan penunggakan pembayaran atas pajak hiburan yang dibebankan kepada wajin pajak, yaitu pengusaha atau penyelenggara hiburan di kota Medan.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pemerintah adalah entitas masyarakat dalam suatu negara yang diberi kewenangan
untuk menjalalankan pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan
dengan adanya beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya dana yang
memadai. Sebab tanpa dukungan dana, semua program pemerintah tidak akan dapat
dilaksanakan dan itu berarti fungsi pemerintah dalam suatu negara tidak dapat berjalan
secara optimal. Dana yang diperoleh negara merupakan penerimaan yang digunakan untuk
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut
merupakan uraian pembiayaan yang dipergunakan penyelenggarakan pemerintahan dan
keperluan pembangunan.
Agar pendanaan penyelenggaraan pemerintah terlaksana secara efektif dan efesien
serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu
bidang pemerintahan diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD, sedangkan
penyelenggaraan kewenangan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah
dibiayai dari APBN, baik kewenangan pusat yang dikonsentrasikan kepada gubernur atau
ditugaskan kepada pemerintah daerah dan / atau dalam rangka tugas pembantuan.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang kemudian
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. undang-undang ini merupakan perwujudan atas penyelenggaraan otonomi daerah
yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proporsional diwujudkan dalam bentuk pembagian, pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang diikuti dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah timbul hak dan kewajiban
daerah yang dapat dinilai dengan uang, sehingga perlu dikalola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Percepatan pelaksaanaan otonomi daerah sebagai implementasi Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 34 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah bergulir di
daerah. Banyak harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah, seiring
dengan itu tidak sedikit pula masalah, tantangan, dan kendala yang dihadapi oleh daerah.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh
kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah.
memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya
dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efektif, efesien,
termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan
kepada pemerintah atasnya maupun kepada publik / masyarakat.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. otonomi daerah juga merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, maka Pemerintah Daerah diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk
mengatur rumah tangga sendiri melalui sistem otonomi daerah. Ciri utama yang
menunjukkan suatu daerah otonom ataupun berotonom yaitu yang terletak pada
kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengolah dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, sehingga Pendapatan asli Daerah (PAD) khususnya pajak dan retribusi
daerah harus menjadi bagian sumber keuangan yang terbesar.
Berdasarkan data lima tahun sebelumnya yaitu tahun 2001-2005 maka dapat
diuraikan perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kota Medan secara rata-rata maupun
2001-2005 adalah sebesar Rp 951.730.755.464,69 sedangkan periode terakhir sebelum tahun
2005 jumlah pendapatan daerah kota Medan sebesar Rp 1.228.649.091.079,96. Rincian per
jenis pendapatan ditinjau dari rata-rata lima tahun sebelumnya maupun kondisi khusus
tahun 2005 adalah sebagai berikut :
Tabel I.1 : Pendapatan Asli Daerah Kota Medan Tahun 2001-2005
Uraian Rata-rata 2001-2005
(Dalam Rupiah)
2005 (Dalam Rupiah) A Bagian Pendapatan Asli Daerah
I Pajak Daerah 118.901.889.046,70 178.113.363.793,22
II Retribusi Daerah 80.024.052.673,66 112.271.802.676,09
III Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah
990.834.356,40 800.000.000,00
IV Lain-lain PAD Yang Sah 6.153.801.032,79 12.197.905.844,65 206.070.577.109,55 303.383.072.313,96 B Bagian Dana Perimbangan
I Bagi Hasil Pajak 144.481.297.399,46 193.859.767.471,00
II Bagi Hasil Bukan Pajak dari
SDA
1.472.385.181,68 481.521.960,00
III Bagi Hasil Pajak dari PEMPROP 162.584.173.888,00 259.204.645.662,00
IV DAU dan DAK 421.030.990.000,00 430.572.000.000,00
729.568.846.469,14 884.117.935.093.00 C Lain-lain Pendapatan Yang Sah 16.091.331.886,00 41.148.083.673,00
Total 951.730.755.464,69 1.228.649.091.079,96 Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan 2005
Pajak daerah dan pajak nasional merupakan suatu sistem perpajakan Indonesia yang
Salah satu sumber PAD berasal dari pajak daerah. Pajak daerah adalah pungutan
daerah menurut peraturan yang ditetapkan guna pembiayaan daerah sebagai badan hukum
publik yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Dimana pajak daerah terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten /
kota. Pajak provinsi terdiri dari : pajak kendaraan dan kendaraan di atas air, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas aire, pajak bahan bakar kendaraan
bermotor, dan pajak pengambilan dan pemanafaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Sedangkan pajak kabupaten/ kota terdiri dari : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambi9lan dan pengolahan bahan galian
golongan C, dan pajak parkir.
Pajak hiburan adalah salah satu penerimaan daerah yang memberikan kontribusi
bagi peningkatan pendapatan asli daerah ( PAD ), sehinggga diharapkan pajak hiburan
dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan pemerintah unutuk mendukung peningkatan
potensi daerah. Pajak hiburan sangat potensial dalam peningkatan penerimaan daerah,
maka dalam menyelenggarakan pajak hiburan tersebut pemerintah Daerah Kota melalui
Dinas Pendapatan daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan pajak hiburan
ini sesuai dengan Peraturan Penerintah dan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan.
Berbicara masalah pembiayaan, idealnya pembiayaan daerah harus bertumpu pada
Pendapatan Asli Daerah terutama dalam pembiayaan pelayanan dasar pada masyarakat
umum. Pajak daerah kabupaten Kota yang memberikan kontribusi persentase yang paling
hiburan menjalankan salah satu sumber pendapatan daerah yang paling guna membiayai
penyelenggaaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan
memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian daerah mampu melaksanakan
otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan dalam rangka
mencapai otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Untuk mengetahui kontribusi yang dihasilkan dari pajak hiburan sebagai salah satu
sumber pendapatan dan pembangunan daerah. Berikut ini disajikan data target dan realisasi
dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 yang ditetapkan dan dapat dicapai dari hasil
pajak hiburan.
Tabel I. 2 : Target dan Realisasi Pajak HiburanTahun Anggaran 2005- 2009
No Tahun Target APBD
/ Tahun
Target APBD /Bulan
Realisasi %
1 2005 Rp 7.250.641.215 Rp 604.220.101,22 Rp 7.257.170.956,92 100.09
2 2006 Rp 7.975.705.000 Rp 674.631.666,67 Rp 7.998.696.250,60 100,29
3 2007 Rp 8.354.000.000 Rp 706.447.083,33 Rp 8.382.957.036,24 100,35
4 2008 Rp 8.921.700.000 Rp 743.475.000,00 Rp 9.394.720.639,23 105,30
5 2009 Rp. 9.556.580.000 Rp 796.381.666,67 Rp 8.993.349.705,22 94,11
Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan Tahun 2005-2009
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa realisasi penerimaan pajak hiburan terus
meningkat, kecuali pada tahun 2009 mengalami penurunan. Hal ini dapat kita lihat dalam
terget realisasi penerimaan pajak hiburan dari tiap sektor yang dicapai pada tahun anggaran
2005-2008 mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 mengalami penurunan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh peneliti, bisnis hiburan memang
perekonomian cukup berjalan tinggi. Di mana dengan banyaknya tersedia hiburan akan
mendatangkan penerimaan yang banyak bagi Pendapatan Asli Daerah. Berarti semakin
banyak hiburan akan semakin banyak pula penerimaan yang diperoleh. Sampai saat ini
kontribusi terbesar dari bisnis hiburan diperoleh lewat pajak hiburan. Pendapatan Asli
Daerah diperoleh dari pajak hiburan berasal dari pengunjung yang mendatangi
tempat-tempat hiburan.
Adapun jenis hiburan yang dikenakan dan dipungut pajak hiburanya adalah bioskop
sebanyak tiga belas, diskotik sebanyak empat, karaoke sebanyak tiga belas, billiard
sebanyak delapan puluh tujuh, ketangkasan sebanyak dua puluh delapan, panti pijat
sebanyak Sembilan belas, mandi uap/ Spa sebanyak dua belas, salon sebanyak 149, internet
sebanyak tujuh puluh satu, dan keramaian umum/ kolam renang sebanyak lima belas.
Adapun realisasi penerimaan dari pajak hiburan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel I.3 : Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2009
No Uraian Target APBD
Rp 2.644.000.000 Rp 220.333.333,33 Rp 2.947.260.000 111,47
6 Permainan Bilyard
Rp 329.832.000 Rp 27.486.000 Rp 197.628.000 59,92
7 Permaianan Ketangkasan
Rp 3.348.000.000 Rp 279.000.000 Rp 2.600.194.700,01 77,66
8 Panti Pijat/ Refleksi
Rp 878.000.000 Rp 73.166.666,67 Rp 566.956.159,20 64,57
9 Mandi Uap/ SPA
Rp 196.015.000 Rp 16.334.583,33 Rp 317.736.951 162,10
10 Pertandingan Olah Raga
Rp 12.000.000 Rp 1.000.000 Rp 16.200.000 135,00
11 Salon Kecantikan/ Wisma Pangkas
Rp 723.723.000 Rp 60.311.000 Rp 585.494.000 80,90
12 Permainan Internet
Rp 147.480.000 Rp 12.290.000 Rp 124.740.000 84,58
13 Kolam Renang/ Taman Rekreasi
Rp 329.988.000 Rp 27.499.000 Rp 385.005.000 116,67
TOTAL Rp 9.556.580.000 Rp 796.318.666,67 Rp 8.993.349.705,22 94,11
Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan 2009
Kontribusi pajak hiburan yang selama ini dipungut tentunya akan menambah
Pendapatan Asli Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah akan
bermanfaat bagi proses pembiayaan pembangunan dan juga digunakan untuk berbagai
pelayanan umum yang berguna untuk pembangunan kota Medan. Oleh karena itu, hiburan
diharapkan dapat menambah pemasukan ke kas daerah dari sisi penerimaan pajak hiburan.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “ Kebijakan Penetapan Tarif dan Pengelolaan Pajak Hiburan sebagai Sumber
Pendapatan Asli Daerah Kota Medan”.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan
Pajak Hiburan sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Medan“.
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dan menggambarkan
Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolan Pajak Hiburan sebagai Sumber
Pendapatan Asli Daerah pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.
I.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan kemampuan untuk
menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian teori dan aplikasi
yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi
kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan tentang Kebijakan Penetapan Tarif
dan Pengelolaan Pajak Hiburan guna membantu manajemen dalam pengambilan
keputusan.
c. Sebagai referensi bagi mahasiswa yang tertarik dalam topik Kebijakan Penetapan
Tarif dan Pengelolaan pajak Hiburan.
Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori
adalah konsep – konsep dan generalisasi – generalisasi hasil penelitian yang dapat di
jadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian. ( Sugiono, 2005 : 55 )
Dalam suatu studi penelitian perlu adanya kejelasan titik tolak atau landasan
berpikir untuk memecahkan dan membahas masalah. Untuk itu perlu disusun suatu
kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan dari mana sudut masalah tersebut
disorot ( Nawawi, 1992 : 149 ).
Berdasarkan rumusan di atas, penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat
ataupun gagasan yang akan dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini.
A . Pengertian Kebijakan Perpajakan
Frederich dalam Winarno ( 2002 : 16 ) mendefenisikan kebijakan sebagai “ suatu
arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran ataupun maksud tertentu.
Anderson ( Nurcholis, 2007 : 263 ) memandang kebijakan sebagai “ suatu tindakan
yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk
memecahkan suatu masalah. Anderson mengklasifikasikan kebijakan menjadi dua :
dikerjakan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana
kebijakan tersebut diselenggarakan.
Menurut PBB yang dikutip dalam ( Wahab, 1991 : 12 ) kebijakan diartikan sebagai
“ pedoman untuk bertindak “. Pedoman itu boleh jadi sangat sederhana atau kompleks,
bersifat umum atau bersifat khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, bersifat kuantitatif atau kualitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya
seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu
arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu
rencana.
Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya ( Islamy, 2001 : 17 ) yang
memberikan defenisi kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan, oleh karena itu tujuan kebijakan memuat tiga elemen, yaitu :
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari
taktik atau strategi.
Jones menjelaskan bahwa kata kebijakan sering dipertukarkan maknanya dengan
tujuan, program, keputusan, hukum, proposal, patokan maupun maksud-maksud lain.
(Charles, 1999 : 8)
Untuk menetahui lebih dalam lagi maksud kebijakan pemerintah penulis mengambil
Thomas R. Dye mendefenisikan kebijakan pemerintah sebagai “ is whatever
gevernments choose to do or not to do “ ( apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan )
Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka
harus ada tujuannya ( objektifnya ) dan kebijakan pemerintah itu harus meliputi semua
tindakan pemerintah, bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau
pejabat pemerintah saja.
George. C. Edward III dan Ira sharkansky ( Islami, 1991 : 17 ) mengartikan
kebijakan pemerintah sebagai “ is what government say and do, or not too do. It is the
goals or purposes of government program ( adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah).
Edward dan sharksky kemudian mengatakan bahwa kebijakan pemerintah itu dapat
ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam
pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan
pemerintah.
James E. Anderson ( Islami, 1991 : 19 ) mengatakan public policies are those
policies developed by gevernmental bodies and official ( kebijakan pemerintah adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah ).
1. Bahwa kebutuhan pemerintah itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yang terorientasi pada tujuan.
2. Bahwa kebutuhan pemerintah itu selalu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola
tindakan pejabat pemerintah.
3. Bahwa kebutuhan pemerintah adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah.
4. Bahwa kebutuhan pemerintah itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk
tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif, dalam arti
merupakan keputusan ppemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Bahwa kebutuhan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Kebijakan perpajakan ( Tax policy ) adalah kebijakan mengenai perubahan sistem
perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan ekonomi, politik dan sosial
pemerintah. Dengan adanya kebijakan perpajakan ini pemerintah mengharapkan terjadi
peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak, dalam rangka untuk mencapai
kemandirian pembiayaan dan pembangunan. ( Prakosa, 2003 : 64 ).
Dalam kebijakan perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
Pasal 2 ayat ( 4 ) dimungkinkan bagi kabupaten/ kota menetapkan jenis pajak daerah, tetapi
harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a) harus bersifat pajak bukan retribusi; b) objek
pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan dan
kabupaten/ kota yang bersangkutan,; c) objek dan dasar pemungutan pajak tidak
bertentangan dengan kepentingan umum; d) objek pajak bukan merupakan objek pajak
propinsi atau objek pajak pusat; e) potensi memadai; f) tidak memberikan dampak ekonomi
yang negatif; g) memperhatikan damapak ekonomi yang negatif; h) memperhatikan aspek
keadilan dan kemampuan masyarakat. ( Mustaqim, 2008 : 216 ).
B. Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang – undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapatkan jasa
imbalan ( kontrafrestasi ) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum. ( Mardiasmo, 2006 : 1 )
Djajaningrat mengemukakan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan perbuatan
tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara tidak langsung,
untuk memelihara kesejahtraan umum. ( Siti Resmi, 2008 : 1 )
Jadi, dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa adalah Pajak dipungut
berdasarkan atau dengan kekuatan undang – undang serta aturan pelaksanaannya. Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya terdapat surplus, digunakan untuk membiayai pengeluaran publik ( publik
C. Pengertian Pajak Daerah
Pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang dimaksud dengan
pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan ke pada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksaakan berdasarkan peraturan
perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Pajak daerah adalah pajak yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah
(propinsi, kota madya,kabupaten ) dan digunakan untuk membiayai keperluan rumah
tangga daerah APBD. Contohnya pajak hiburan, pajak hotel, pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian golongan C , dll. ( Prakosa, 2006 : 6)
Devas menyebutkan bahwa untuk menilai berbagai pajak daerah yang ada sekarang,
digunakan serangkaian ukuran ( Dasril Munir, dkk, 2004 : 1447 145 ).
a. Hasil ( Yierd ), memadai tidaknya hasil pajak daerah dengan kaitan dalam berbagai
layanan yang dibayarnya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar tidaknya
hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan
sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut.
b. Keadilan ( equity ) dasar pajak dan kewajiban harus dan tidak sewenang – wenang,
pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak harus sama benar
sama, haruslah adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya
ekonomi yang lebih besar dan memberikan sumbangan ekonomi yang lebih besar dari
pada kelompok yang tidak banyak mamiliki sumber daya ekonomi, dan perbedaan –
perbedaan yang besar dan sewenang – wenang dalam beban pajak dari suatu daerah ke
daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyediakan
layanan masyarakat.
c. Daya guna ekonomi ( economic efciency ), pajak hendaknya mendorong ( atau setidak-
tidaknya tidak menghambat ) penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam
kehidupan ekonomi, mencegah agar pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi
salah satu arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil
beban lebih pajak.
d. Kemampuan melaksanakan ( ability to implement ) suatu pajak haruslah dapat
dilaksanakan dari sudut keamanan politik dan kemauan tata usaha.
e. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah ( suitability as a local revenue source ),
ini baerarti haruslah jelas kepada daerah mana pajak harus dibayar dan tempat-tempat
akhir beban pajak, pajak tidak mungkin dihindari dengan cara memindahkan objek
pajak dari suatu daerah ke daerah lain. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam
perbedaan – perbedaan antara daerah dari segi potensi daerah masing – masing, dan
pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata
usaha pajak.
Pajak hiburan adalah objek atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu pajak hiburan
dapat diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Pengenaan pajak
hiburan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/ kota. Untuk dapat diterapkan
maka suatu daerah atau kabupaten / kota pemerintah daerah setempat harus mengeluarkan
peraturan daerah tentang pajak hiburan yang menjadi landasan hukum operasinal dalam
teknis pelaksanaan pengenaan dan pungutan pajak hiburan di daerah kabupaten atau daerah
yang bersangkutan. ( Marihot Siahaan, 2005: 297 )
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua
jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama
dan bentuk apapun, yang ditonton atau dapat dinikmati setiap orang dengan dipungut
bayaran tidak termasuk pungutan fasilitas untuk berolah raga. ( Prakosa, 2003 : 119 ).
E. Objek Pajak Hiburan
Menurut undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan,
Objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran, tidak
termasuk penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran seperti hiburan yang
diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat dan kegiatan keagamaan. (Prakosa,
2003 : 120)
Adapun objek pajak hiburan antara lain sebagai berikut ( Marihot Siahaan, 2003 :
300 ) : Pertunjukan film, Pertunjukan kesenian, Pertunjukan pegelaran, Penyelenggaraan
diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik, ( music room ), klub exsekutif
(axsecutif club ) dan sejenisnya, Permainan billiar dan sejenisnya, Permainan ketangkasan,
Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, tamaan rekreasi, seluncur ( ice skate), kolam
pemancingan, pasar malam, sirklus, komedi putar yang di gerakkan dengan peralaatan
elektronik, kereta pesiar dan sejenisnya, pertunjukan dan keramaian dan sejenisnya.
Penyelenggaraan hiburan yang dikenakan pajak adalah penyelenggaraan hiburan
yang memungut bayaran. Setiap penyelenggaraan hiburan harus mendapat izin tertulis dari
bupati / walikota. Pengajuaan izin harus diajukan secara tertulis sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan oleh kepala daerah. Izin-izin tersebut tidak dapat dipindah tangankan,
kecuali atas seizin kepala daerah. Hal ini terkait dengan kewajiban perpajakan, yaitu
penyelenggaraan hiburan tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban
perpajakan di bidang pajak hiburan.
F. Subjek Pajak Hiburan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan penerimaan
Pendapatan Lain-lain subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
dikenakan pajak daerah yang menyelenggarakan hiburan.
G. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hiburan
Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Pengertian yang seharusnya di bayar
termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma ( Marihot Siahaan, 2005 : 302 ).
Bab VIII pasal 50 dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan.
Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar tiga 35% dan ditetapkan dengan
peraturan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada pemerintahan
kabupaten / kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi
masing-masing daerah kabupaten / kota. Dengan demikian setiap daerah kota / kabupaten
diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan
kota/ kabupeten lainnya, asalkan tidak lebih dari 35%. Untuk mendukung pengembangan
kesenian tradisional, hiburan berupa kesenian tradisional umumnya dikenakan tarif pajak
yang lebih rendah dari hiburan lainnya.
Oleh karena objek pajak hiburan meliputi berbagai jenis hiburan, pemerintah
kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan, yang
biasanya berbeda antar jenis hiburan.
Perhitungan pajak hiburan tiap jenis hiburan sebagaimana berikut ini :
a. Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan :
No Golongan Tarif ( % ) 1. A II Utama 15 % dari HTM
2. A I 12,5 % dari HTM
3. B II Utama 12,5 % dari HTM
4. B II 10 % dari HTM
5. B I 10 % dari HTM
6. C 7,5 % dari HTM
7. D 7,5 % dari HTM
8. Keliling 5 % dari HTM
b. Tarif pajak untuk pertunjukan kesenian antara lain kesenian tradisional, pameran seni, pameran busana, kontes kecantikan ditetapkan sebesar 10%.
d. Tarif pajak untuk diskotik, bar, dan pub ditetapkan sebesar 30%.
e. Tarif pajak untuk karaoke, musik hidup,ruang musik,dan sejenisnya ditetapkan sebesar 10%.
f. Tarif pajak untuk klub malam ditetapkan sebesar 30% g. Tarif pajak untuk permainan biliar ditetapkan sebesar 10 %
h. Tarif pajak untuk permainan ketangkasan dan sejenusnya untuk dewasa ditetapkan sebesar 25% dan untuk anak-anak ditetapkan sebesar 10%.
i. Tarif pajak untuk panti pijat ditetapkan sebesar 25%.
j. Tarif pajak untuk mandi uap dan sejenisnya ditetapkan sebesar 25%. k. Tarif pajak untuk pertandingan olah raga ditetapkan sebesar 12,5%. l. Tarif pajak untruk permainan boweings ditetapkan sebesar 15%.
m. Tarif pajak untuk tempat pariwisata, rekreasi termasuk di dalamnya kolam renang, kolam pancingan, pasar malam, pertunjukan sirkus, komedi putar, kereta pesiar, dan sejenisnya, ditetapkan sebesar 10%.
n. Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan insidental ditetapkan sebesar 15%.
o. Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk, tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan harga tanda masuk ditetapkan sebesar 15%.
Adapun cara perhitungan pajak hiburan besarnya pokok pajak hiburan yang
terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.
Secara umum perhitungan pajak hiburan adalah dengan menggunakan rumus :
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk Menikmati
Contoh :
PT. Asindo Entertainment menyelenggarakan pergelaran musik The corrs di
Lapangan Merdeka, Medan. Saat itu tiket yang terjual untuk VVIP dengan harga
Rp700.000,00 sebanyak 100 lembar, VIP dengan harga Rp 500.000,00 sebanyak 200
lembar, untuk kelas I dengan harga RP 300.000,00 sebanyak 200 lembar, untuk kelas II
dengan harga Rp 200.000,00 sebanyak 300 lembar. Hitung berapa pajak hiburan yang
harus dibayar PT. Asindo Entertainment, jika tarif pajak hiburan di kota Medan ditetapkan
20 % ?
Jawab :
Penghasilan PT. Asindo Entertainment :
= ( 100 x Rp 700.000,00 ) + ( 200 x Rp 500.000,00 ) + ( 200 x Rp 300.000,00)
(300 x Rp 200.000,00 )
= Rp 70.000.000,00 + Rp 100.000.000,00 + Rp 60.000.000,00 +
Rp60.000.000,00
Maka pajak hiburannya adalah :
= 20% x Rp 290.000.000,00
= Rp 58.000.000,00
H. Pengelolaan Pemungutan Pajak Hiburan
Pengelolaan dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengelola; proses
melakukan kegiatan tertentu dengan mengerakkan tenaga orang lain; proses yang
membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; proses yang memberikan
pengawasan dan pencapaian tujuan sebagai perangkat unsur yang secara teratur yang saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, susunan yang teratur.
Dengan demikian pengelolaan pajak hiburan dilakukan dengan kegiatan sebagai
berikut : ( Marihot Siahaan, 2005 : 317 -319 )
1) Pemungutan
Pemungutan pajak adalah suatu rangkaian mulai dari penghimpunan data objek dan
subjek pajak, penentuan besarnya pajak kepada wajib pajak serta pengawasan
penyetorannya. ( Prakosa, 2003 : 79 ). Pemungutan pajak hiburan tidak dapat diserahkan
kepada pihak yang ketiga, walaupu demikian dimungkinkan adanya kerjasama dengan
pihak yang ketiga dalam proses pemungutan pajak antara lain pencetakan formulir
dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang,
pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.
Pemungutan pajak daerah termasuk salah satunya pajak hiburan dilaksanakan
dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang
dipergunakan. Adapun dasar pemungutan pajak daerah adalah : a) Surat ketetapan pajak
daerah kurang bayar; b) Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; c) Surat
tagihan pajak daerah; d) Surat keputusan pembetulan; e) Surat keputusan keberatan; f)
Putusan banding.
Dalam pengelolaan pajak hiburan fungsi dari masing-masing seksi yang berkaitan
dengan pengelolaan dan pemungutan pajak hiburan dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 1 : Seksi-seksi yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemungutan pajak hiburan ( Phi )
Seksi pendataan dan pemeriksaan
- Pendataan dan pemeriksaan
- Pemantauan dan perkembangan
Penyelenggaraan
Pemungutan
Pajak hiburan Seksi penagihan
-penatausahaan piutang , pembayaran dan
tunggakan pajak
- penagihan pasif
-penerbitan pelunasan
Seksi penetapan
- Nota perhitungan
- Penatausahaan
Sumber : Azhari Samudra, 2005 : 152
2) Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang dan
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi
laba pada setiap tahun pajak berakhir.
Pembukuan atau pencatatan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya yang
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya. Pembukuan yang berhubungan
dengan usaha atau perusahaan wajib pajak harus disimpan selama lima tahun. Tata cara
pencatatan ditetapkan oleh bupati/ walikota atau pejabat yang ditunjuk.
3) Pemeriksaan Pajak Hiburan
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah
dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan darah tentang pajak hiburan.
Pelaksanaan pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh bupati/ walikota
atau pejabat yang berwenang
Seksi penatausahaan dan pendapatan daerah
Pembuatan daftar subjek dan objek pajak
Pembuatan perhitungan hasil penetapan
1) Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pemerintahan daerah yang berotonom diharapkan mampu mengatur dan mengurus
sendiri urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan pada setiap pemerintahan lokal
(local government) yang menjalankannya. Setiap pemerintahan daerah yang berotonomi
harus mampu menggali sumber keuangan daerahnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
The Liang Gie :
“ Pada prinsipnya daerah otonom harus dapat membiayai sendiri semua kebutuhan sehari-hari yang rutin. Apabila untuk kebutuhan itu daerah masih mengandalkan bantuan keuangan dari pusat, maka sesungguhnya daerah itu tidak otonom lagi. Otonomi yang diselenggarakannya tidak ada artinya karena umumnya akan mengikuti irama datangnya dan banyaknya bantuan dari pusat, serta syarat-ayarat yang dikaitkan pada bantuan itu. Dengan demikian daerah itu tidak dapat dikatakan mempunyai kehidupan sendiri “.
Diantara berbagai jenis penerimaan daerah yang menjadi sumber daya sepenuhnya
dapat dikelola oleh daerah adalah Pendapatan Asli Daerah ( PAD ), maka untuk itu upaya
peningkatan Pendapatan Asli Daerah perlu mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah daerah baik secara intensifikasi maupun secara ekstensifikasi dengan maksud
agar daerah tidak terlalu mengandalkan atau mengantungkan harapan pada pemerintah
tingkat pusat, tetapi harus mampu secara mendiri dalam menggali dan mencari
sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan cita-cita otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.
Koswara ( 2000 : 50 ) menyatakan bahwa cirri utama yang menunjukkan suatu
daerah otonomi mampu berotonom terletak pada kemampuan keuangan daerah. Maksudnya
sumber-sumber keuangan sendiri. Mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan
kepada pemerintah pusat harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli
Daerah ( PAD ) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung dengan kebijakan
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pemerintahan daerah.
Pendapatan Asli daerah merupakan salah satu komponen sumber penerimaan
keuangan daerah, disamping penerimaan lain berupa dana perimbangan, pinjaman daerah
dan lain-lain penerimaan yang sah, dan juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat
ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ). Meskipun Pendapatan Asli Daerah ( PAD )
tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan
tetap merupakan indikasi “derajat kemandirian” keuangan suatu pemerintah daerah
(Santoso, 1995 : 20 )
Menurut Insukindro, dkk ( 1994 : 2 ) dalam kaitannya dengan pemberian otonomi
kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan
daerah sesuai dengan kondisi daerah Pendapatan Asli Daerah dapat dipandang sebagai
salah satu indikator atau kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah kepada
pusat. Pada prinsipnya, semakin besar Pendapatan Asli daerah kepada APBD akan
menunjukkan semakin kecil ketrgantungan daerah kepada pusat.
Pendapatan Asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan asas desentralisasi. ( Ahmad Yani, 2002 : 51 )
Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) daerah dilarang
menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi
dan dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekpor / impor. Yang
dimaksud dengan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan biaya tinggi
adalah peraturan daerah yang mengatur pengenaan pajak dan retribusi oleh daerah terhadap
objek-objek yang telah dikenakan pajak oleh pusat dan provinsi sehingga menyebakan
menurunnya daya saing daerah. Pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas
retribusi izin masuk kota dan pajak / retribusi atas pengeluaran / pengiriman barang dari
satu daerah ke daerah lain. ( Ahmad Yani, 2002 : 52 )
I.6 Defenisi Konsep
Defenisi konsep merupakan unsur penelitian yang penting untuk menggambarkan
secara tepat fenomena yang hendak diteliti ( Singarimbun, 1993 : 33 ). Selain itu tujuan
adanya konsep adalah untuk mendapatkan pembatasan yang jelas dari setiap konsep yang
diteliti. Maka untuk mendapatkan batasan yang jelas, penulis menggunakan defenisi konsep
dalam penelitian ini adalah :
1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah
yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang
bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan
dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
2. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksaakan
berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
3. Pajak Hiburan adalah Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan
dinikmati setiap orang dengan dipungut bayaran tidak termasuk pungutan fasilitas
untuk berolah raga.
4. Kebijakan perpajakan daerah adalah kebijakan mengenai perubahan sistem
perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan ekonomi, politik dan sosial
pemerintah dalam rangka peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak, untuk
mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan.
5. Pengelolaan Pajak Hiburan adalah proses pengelolaan pajak hiburan yang dilakukan dengan kegiatan pengelolaan, yang pertama pemungutan, yaitu suatu rangkaian
mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak
kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya. Kedua pembukuan, yaitu
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan. Ketiga pemeriksaan pajak hiburan, yaitu menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan
daerah tentang pajak hiburan.
I.7 Defenisi Operasional
Dalam penelitian lapangan, konsep yang relevan dan berkedudukan sentral dalam
penelitian terlebih dahuli harus dibuat operasionalnya. Jadi, tidak cukup kiranya jika
konsep itu hanya sekedar didefenisikan secara eksplisit ( Suyanto, 2005 : 50 ). Adapun
yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :
Untuk menilai pajak daerah digunakan serangkaian ukuran :
a. Hasil ( Yierd ), memadai tidaknya hasil pajak daerah dengan kaitan dalam
berbagai layanan yang dibayarnya, stabilitas, juga perbandingan hasil pajak
dengan biaya pungut.
b. Keadilan ( equity ) dasar pajak dan kewajiban harus dan tidak sewenang –
wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak
harus sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda beda tetapi dengan
kedudukan ekonomi yang sama.
c. Daya guna ekonomi ( economic efciency ), pajak hendaknya mendorong ( atau
setidak- tidaknya tidak menghambat ) penggunaan sumber daya secara berdaya
guna dalam kehidupan ekonomi
d. Kemampuan melaksanakan ( ability to implement ) suatu pajak haruslah dapat
dilaksanakan dari sudut keamanan politik dan kemauan tata usaha.
e. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah ( suitability as a local revenue
source ), ini baerarti haruslah jelas kepada daerah mana pajak harus dibayar dan
tempat-tempat akhir beban pajak.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakann bentuk penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Dengan bentuk
deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan
penerapan tarif dan pengelolaan pajak hiburan sebagai sumber Pendapatan Asli daerah
(PAD ) kota Medan.
II. 2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan yang beralamat di
Jalan Karya Jasa Medan, Sumatera Utara.
II. 3 Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil
penelitiaanya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan
sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan
secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga
macam, (1) informan kunci (Key Informant), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan uatama, yaitu
mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan,
yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam
interaksi sosial yang diteliti ( Hendrarso dalam Suyanto, 2005 : 171-172 )
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menentukan informan dengan
pedoman atau wilayah tetapi didasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan
dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini menggunakan informan
peneliti terdiri dari :
1. Informan kunci, berjumlah dua orang :
a. Kepala Subdinas Penagihan : 1 orang
b. Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan : 1 Orang
2. Informan utama berjumlah dua orang :
a. Kepala seksi pembukuan dan verifikasi : 1 Orang
b. Kepala seksi pertimbangan dan keberatan : 1 Orang
3. Informan tambahan berjumlah dua orang, yaitu :
a. Wajib Pajak : 2 Orang
II.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data atau informasi dan keterangan-keterangan lain yang
diperlukan, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Teknik Pengumpulan Data Primer, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan
secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
instrumen :
Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara
langsung kepada pihak-pihak terkait atau mengajukan pertanyaan kepada orang
yang berhubungan dengan objek penelitian.
b) Kuesioner Terbuka
Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
menberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawab. Kuesioner terbuka adalah pertanyaan yang mengharapkan
responden untuk menuliskan jawabannya berbentuk uraian tentang sesuatu hal.
c) Observasi partisipan
Yaitu kegiatan mengamati secara langsung objek penelitian dengan mencatat
gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang
diperlukan sebagai acuan yang berkenan dengan topik penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder, Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui studi kepustakaan yang terdiri dari :
a) Dokumentasi ( Documenter )
Yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau
dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan
dengan objek penelitian.
b) Studi Kepustakaan ( Library research )
Yaitu tekni pengumpulan data denganmenggunakan berbagai literatur seperti
yang bersumber dari buku-buku serta referensi lainnya yang berkaitan dengan
kebijakan penerapan tarif dan pengelolaan pajak hiburan.
II.5 Teknik analisis Data
Menurut Patton ( Hasan, 2002 : 97 ) analisa data adalah proses mengatur urutan
data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisa data kualitatif yang merupakan analisa
yang tidak menggunakan model matematika, model statistik, dan model okonometrik, atau
model-model tertentu lainnya. Analisa yang dilakukan terbatas pada teknik pengolahan
data yang diperoleh dari informan, seperti pada pengecekan data dan tabulasi. Dalam hal
ini sekedar membaca table-tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia, kemudian
melakukan uraian atau penafsiran.
Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang digunakan penulis
dalam penelitian ini menggunakan kualitatif. Menurut Farid ( 1997 : 152 ) bahwa analisa
kualitatif adalah analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar
penelitian dalam menghubung-hubungkam fakta data dan informasi. Jadi, teknik analisis
data kualitatif yaitu dengan menyajikan hasil wawancara dan melakukan analisis terhadap
masalah yang diteukan di lapangan, sehingga dipeoleh gambaran yang jelas tentang objek
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
III.1 Sejarah Singkat Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan
Pada mulanya Dispenda kota medan adalah suatu sub bagaian pada bagian
keuangan yang mengelola bidang penerimaan dan pendapatan daerah. Pada sub bagian ini
tidak terdapat lagi sub seksi, karena pada saat itu wajib pajak dan wajib retribusi yang
berdomisili di daerah kota Medan belum begitu banyak.
Mempertimbangkan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk di kota Medan
melalui peraturan daerah sub bagian keuangan tersebut dirubah menjadi bagian pendapatan.
Pada bagian pendapatan dibentuklah beberapa seksi yang mengelola penerimaan pajak dan
retribusi daerah yang merupakan kewajiban para wajib pajak dan wajib retribusi dalam
daerah kota Medan. Daerah kota Medan terdiri dari 21 kecamatan, diantaranya Kecamatan
Kota, Medan Area, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Selayang, Medan Sunggal, dan
lainnya.
Sehubungan dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri KUPD No. 7/12/41-10 tentang
penyeragaman struktur organisasi Dinas Pendapatan Daerah di seluruh Indonesia, maka
pemerintah daerah kota Medan berdasarkan PERDA No. 12 Tahun 1978 menyesuaikan
atau membentuk struktur organisasi Dinas Pendapatan Daerah yang baru. Di dalam struktur
organisasi Dispenda yang baru ini dibentuklah seksi-seksi administrasi Dinas Pendapatan
Daerah serta bagian tata usaha yang membawahi 3 ( tiga ) Kepala sub bagian yang
merupakan sub sector perpajakan, retribusi daerah, dan pendapatan daerah lainnya yang
merupakan kontribusi yang cukup penting bagi Pemerintah Daerah dalam mendukung serta
memelihara hasil-hasil pembangunan dari peningkatan pendapatan daerah.
Meningkatnya pendapatan daerah hendaknya tidak harus ditempuh dengan cara
kebijaksanaannya menaikkan tarif saja, tetapi yang lebih penting dengan memperbaiki atau
menyempurnakan administrasi, system dan prosedur serta organisasi Dispenda yang ada
sekarang. Namun, pada kondisi saat ini, dirasakan tuntutan untuk perlunya meninjau
kembali dan penyempurnaan Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA ). Seiring dengan
tuntutan gerak pembangunan yang sedang berjalan terutama dari pola pendekatan yang
selama ini dilakukan secara sektoral perlu dirubah secara fungsional dan disesuaikan
dengan kebijaksanaan pemerintah yang paling akhir di bidang perpajakan, maka
penyempurnaan telah dilaksanakan secara bersunggu-sungguh sehingga berhasil disusun
Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA )
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 973-442 Tahun 1988 pada tanggal 26
Mei 1988, tentang system prosedur perpajakan, retribusi daerah, dan
pendapatan daerah lainnya serta pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 tanggal 26 Mei , tentang
pelaksanaannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 973-442 Tahun 1988.
3. Surat Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 1989 tanggal 26 Mei 1989,
tentang organisasi dan tata kerja Dinas Pendapatan Daerah.
Pendapatan Daerah Kota Medan atau Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA )
yang dilaksanakan bertahap dan penyempurnaan sebagai tahap awal untuk dinas
Pendapatan Daerah Kota Medan secara efektif. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 061/1861/PUOD, tanggal 2 Mei 1988, Instruksi Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Sumatera Utara No. 188.342/790/SK/1991, tentang Pelaksanaan PERDA No. 16
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.
III.2 Tugas Pokok, Fungsi, Visi dan Misi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan
Tugas Pokok :
1. Dinas Pendapatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam bidang
pungutan pajak, retribusi dan pendapatan daerah lainnya yang dipimpin oleh seorang
kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui
2. Dinas Pendapatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah
dalam bidang pendapatan daerah dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai dengan
bidang tugasnya.
Fungsi :
a. merumuskan dan melaksankan kebijakan teknis dibidang pendapatan daerah;
b. melakukan pembukuan dan pelaporan atas pekerjaan penagihan pajak daerah, retribusi
daerah dan penerimaan asli daerah lainnya, serta penagihan Pajak Bumi dan Bangunan;
c. melaksanakan koordinasi dibidang pendapatan daerah dengan unit dan instansi terkait
dalam rangka penetapan besarnya pajak dan retribusi;
d. melakukan penyuluhan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan daerah lainnya
serta PBB;
e. melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan bidang tugasnya;
f. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.
Visi :