• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PERPAJAKAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN

PAJAK HIBURAN SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI

DAERAH

( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh :

Elida Debora L. Tobing

060903065

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur serta sembah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus untuk

segala hikmat, karunia dan kasih-Nya serta untuk setiap kebaikan yang telah

dianugerahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

judul “ Kebijakan Penetapan Tarif dan Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber

Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Asli Daerah Kota Medan ).

Mengingat keterbatasan kemampuan, waktu, dan pengetahuan, penulis menyadari

bahwa skripsi ini tidak akan mungkin dapat berjalan dengan lancar tanpa bantuan serta

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. M. Arif Nasution, M.A, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Marlon Sihombing, MA selaku ketua Departemen Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan tenaga, waktu, pikiran serta pengertian untuk membantu,

membimbing, dan mengarahkan penulis dengan sabar hingga selesainya penulisan

skripsi ini.

4. Seluruh staf pegawai Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah menbantu penulis dalam

(3)

5. Seluruh pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan yang telah dengan senang

hati menyambut kehadiran penulis dan memberikan begitu banyak bantuan dalam

pengumpulan data-data, bahkan di tengah-tengah padatnya kesibukan kantor.

6. Bapak Drs. Nawawi, Ibu Sabrina,SH, dan Ibu Wina yang telah memberikan waktu

untuk membantu pengumpulan data dan informasi dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

7. Buat kedua orang tuaku B. Lumban Tobing / E. Hutabarat, kakak dan Adeq

(K’Ocha en Ade ) yang sangat kukasihi & kucinta atas doa dan dukungan serta

segenap rasa cinta dan kasih sayangnya kepada penulis.

8. Buat semua komponen pelayanan UKM KMK UP PEMA FISIP atas setiap doa,

motivasi dan kebersamaannya dalam pelayanan. Saya sangat bersyukur dan

merupakan anugerah bagi saya dapat dibina dalam wadah pelayanan UKM KMK,

sehinggga saya dapat bertumbuh dalam iman, karakter dan kasih. Buat semua TPP

UKM KMK UP FISIP tetap semangat dalam menggembalakan pelayanan. Buat

semua PKK UKM KMK UP FISIP tetap setia dalam pelayanan yang Tuhan Yesus

percayakan. En semua AKK UKM KMK UP FISIP tetap semangat kelompok kecil

ya,,,,,,,Jadilah Garam dan Terang dimanapun berada dan tetap jaga kesaksian hidup

sebagai orang pilihan2 Allah, ( Jesus Luv U aLL  )

9. Untuk KTB ku ( K’Riama, Butet, Elida, Rindo, Yulia ) atas setiap doa, dukungan,

kebersamaan dan yang selalu bersedia mendengar curahan hatiku… baik dalam

pelayanan maupun dalam studiku,,. Thanks juga buat K’Riama atas motivasi,

perhatian, bimbingan dan binaannya selama ini sehingga aku dapat bertumbuh

(4)

kerjakan pelayanan yang Tuhan Anugerahkan dengan tetap menjaga komitmen dan

selamat mengerjakan visi pribadi,,

10.Buat adeq2 KK Benny Sianturi, Benny Sihombing, Bontor Tambunan, Jaka

Panggabean, Mianhot Pandiangan, Renaldy Hutahayan, Rio Tambunan dan Widodo

Sihotang, terima kasih buat kebersamaannya dalam KK, aku sangat bersyukur bisa

mengenal dan belajar dari kalian semua terutama semakin belajar untuk rendah hati

dan bersabar. Tetap semangat dalam studi dan pelayanan…  ( Keep Spirit & Keep

Pray )

11.Buat teman2 magang ( Azzo, Efriady, Juni, Martha, Juliyanti, en Rindo ) yang

selalu “berspekulasi” dan “Rubbish” selama kelompok magang ( tobatlah kita ya

secara da Alumni,,, )

12.Buat teman2 “ Challaushe Fams” selalu bersama tapi sering tidak akur karena

perbedaan prinsip dan pandangan ( macam pemikir az,,), Martha “ Sang Man_ja

alias manjawab2 sambil pegang poni yang buat semua orang poning en suntuk

(jangan sia2kan Parlaut itu ya,,) , Juni ( tuteng ) Si Sibuk tak Jolas, Yulia (Ju_Ndur)

Ratu Tidur, Ony (oneng) Si mood2an , Juliyanti (julped) si cerewet , Butet (butas) si pendoa syafaat en Unang songoni, dan yang terakhir Dina (dindong) rekan orang pao2 en oto2, kapan lagi kita Leg ketawa ngakak (Kwakakkakakakakakkakakk…).

13.Buat teman2 Konsentrasi KP’ 06 “ Public Policy “ Butet, Ezry, Ony, Ulfa, Sonasa,

Hariono, Arbaiyah, en Ricky Bajora yang sudah mw bersusah payah mencari senior

supaya Konsentrasi KP bias buka (alny kurang 1 orang lagi, hehehehehheheh ..  )

14.Buat teman-teman dari Departemen Ilmu Administrasi Negara stambuk’ 06 yang

(5)

15.Buat semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini, namun tidak disebutkan,

terima kasih banyak.

Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, demikian pula dengan

skripsi ini, pasti banyak kekurangan dan kesalahannya. Oleh karena itu, dengan tangan

terbuka penulis menerima saran serta kritik yang membangun dari pembaca.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Medan, 26 April 2010

Penulis

Elida Debora Tobing

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 9

I.3. Tujuan Penelitian ... 9

I.4. Mamfaat Penelitian ... 9

I.5. Kerangka Teori ... 10

A. Pengertian Kebijakan Perpajakan... 10

B. Pengertiaan Pajak ... 14

C. Pengertian Pajak Daerah... 15

D. Pengertian Pajak Hiburan ... 17

E. Objek Pajak Hiburan ... 18

F. Subjek Pajak Hiburan ... 19

G. Dasar Pengenaan, Tarif dan cara Perhitungan Pajak Hiburan ... 19

H. Pengelolaan Pemungutan Pajak Hiburan ... 23

I. Pendapatan Asli Daerah ... 25

I.6 Defenisi Konsep ... 29

I.7 Defenisi Operasional ... 30

BAB II METODOLOGI PENELITIAN ... 33

(7)

II.2. Lokasi ... 33

II.3. Informan... 33

II.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

II.5. Teknik Analisa Data ... 36

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 38

III.1 Sejarah Singkat Dinas Pendapatan daerah Kota Medan ... 38

III.2. Tugas Pokok, Fungsi, Visi dan Misi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 40

III.3 Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 42

III.4 Uraian Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 44

III.5 Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 46

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 64

IV.1 Hasil Penelitian ... 64

A. Kebijakan Perpajakan Penetapan pajak Hiburan ... 64

B. Kebijakan Perpajakan daerah Dalam Mengelola pajak Hiburan ... 66

C. Target, Realisasi dan Kontribusi Pajak Hiburan ... 86

D. Kontribusi Penerimaan pajak Hiburan Terhadap Pemasukan PAD ... 94

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan pajak Hiburan ... 101

F. permasalahan yang Dihadapi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ... 101

G. Upaya-upaya Dinas Pendapatan daerah Kota Medan dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak hiburan ... 103

BAB V ANALISI DATA ... 106

V.1. Kebijakan Perpajakan Penetapan Tarif ... 106

(8)

V.4 Sistem Pengelolaan Pajak Hiburan Kota Medan ... 113

BAB VI PENUTUP ...118

VI.1. Kesimpulan ...118

VI.2. Saran...120

DAFTAR PUSTAKA ...121

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Pendapatan Asli Daerah Kota Medan Tahun

2001-2005 ... Tabel I.2 Target dan Realisasi Pajak Hiburan tahun Anggaran 2005-2009 ... Tabel I.3 Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran

(9)

Tabel II.1 Tarif Pajak untuk Pertunjukan Film di bioskop ... Taabel III.1 Komposisi Pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan Tahun 2009.. . Tabel IV.1 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2005 ... Tabel IV.2 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2006 ... Tabel IV.3 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2007 ... Tabel IV.4 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2008 ... Tabel IV.5 Realisasi penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2009 ... Tabel IV.6 Target dan Realisasi Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2005-2009 ... Tabel IV.7 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran

2007-2008 ... Tabel IV.8 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran 2007…………. Tabel IV.9 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Tahun Anggaran 2008…………. Tabel IV.10 Realisasi Target PAD Kota Medan Tahun 2008-2009 ...

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Metode Wawancara

Lampiran : Foto Dokumentasi Penelitian

Lampiran 2 : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah

Lampiran 3 : Penjelasan Atas PP RI No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

(10)

ABSTRAKSI

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ) Nama : Elida Debora L. Tobing

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Thamrin Nasution, M.Si

Melalui otonomi diharapkan daerah menjadi lebih mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah maka Pemerintah Daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi daerah, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagian sumber keuangan daerah. Sumber PAD salah satunya adalah dari pajak daerah. Dan dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih dalam adalah pajak hiburan. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dianggap sangat potensial dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dalam penyelenggaraan Pajak Hiburan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan Pajak hiburan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan. Pajak hiburan memberikan kontribusi persentase yang terbesar 35%, namun dalam pelaksanaannya realisasi pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan dari empat tahun sebelumnya, dimana target yang telah ditetapkan dalam APBD tidak dapat tercapai.

(11)

terakhir dan bagaimana upaya Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan dalam meningkatkan penerimaan pajak hiburan serta hambatan atau kendala apa saja yang dihadapai Dinas Pendapatan daerah Kota Medan sehingga penerimaan pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode bentuk analisa deskriptif kualitatif.unit analisis yang terdiri dari informan kunci yaitu Kepala Sub Dinas Penagihan, Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan, informan tambahan yaitu Kepala Seksi Pembukuan dan

Verifikasi, Kepala Seksi Pertimbangan dan Keberatan, dan informan tambahan yaitu wajib pajak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penetapan tarif yang dikenanakan kepada wajib pajak tidak mencapai tarif maksimal yaitu sebesar 35% karena dirasakan masyarakat sangat berat. Dan pada tahun 2009 penerimaan dari pajak hiburan mengalami penurunan, dimana target APBD tidak dapat direalisasikan secara maksimal. Adapun yang menjadi penyebabnya salah satunya adalah adanya wajib pajak yang melakukan penunggakan pembayaran atas pajak hiburan yang dibebankan kepada wajin pajak, yaitu pengusaha atau penyelenggara hiburan di kota Medan.

(12)

ABSTRAKSI

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan ) Nama : Elida Debora L. Tobing

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Thamrin Nasution, M.Si

Melalui otonomi diharapkan daerah menjadi lebih mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah maka Pemerintah Daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi daerah, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagian sumber keuangan daerah. Sumber PAD salah satunya adalah dari pajak daerah. Dan dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih dalam adalah pajak hiburan. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dianggap sangat potensial dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dalam penyelenggaraan Pajak Hiburan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan Pajak hiburan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan. Pajak hiburan memberikan kontribusi persentase yang terbesar 35%, namun dalam pelaksanaannya realisasi pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan dari empat tahun sebelumnya, dimana target yang telah ditetapkan dalam APBD tidak dapat tercapai.

(13)

terakhir dan bagaimana upaya Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan dalam meningkatkan penerimaan pajak hiburan serta hambatan atau kendala apa saja yang dihadapai Dinas Pendapatan daerah Kota Medan sehingga penerimaan pajak hiburan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode bentuk analisa deskriptif kualitatif.unit analisis yang terdiri dari informan kunci yaitu Kepala Sub Dinas Penagihan, Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan, informan tambahan yaitu Kepala Seksi Pembukuan dan

Verifikasi, Kepala Seksi Pertimbangan dan Keberatan, dan informan tambahan yaitu wajib pajak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penetapan tarif yang dikenanakan kepada wajib pajak tidak mencapai tarif maksimal yaitu sebesar 35% karena dirasakan masyarakat sangat berat. Dan pada tahun 2009 penerimaan dari pajak hiburan mengalami penurunan, dimana target APBD tidak dapat direalisasikan secara maksimal. Adapun yang menjadi penyebabnya salah satunya adalah adanya wajib pajak yang melakukan penunggakan pembayaran atas pajak hiburan yang dibebankan kepada wajin pajak, yaitu pengusaha atau penyelenggara hiburan di kota Medan.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pemerintah adalah entitas masyarakat dalam suatu negara yang diberi kewenangan

untuk menjalalankan pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan

dengan adanya beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya dana yang

memadai. Sebab tanpa dukungan dana, semua program pemerintah tidak akan dapat

dilaksanakan dan itu berarti fungsi pemerintah dalam suatu negara tidak dapat berjalan

secara optimal. Dana yang diperoleh negara merupakan penerimaan yang digunakan untuk

menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut

merupakan uraian pembiayaan yang dipergunakan penyelenggarakan pemerintahan dan

keperluan pembangunan.

Agar pendanaan penyelenggaraan pemerintah terlaksana secara efektif dan efesien

serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu

bidang pemerintahan diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD, sedangkan

penyelenggaraan kewenangan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah

dibiayai dari APBN, baik kewenangan pusat yang dikonsentrasikan kepada gubernur atau

ditugaskan kepada pemerintah daerah dan / atau dalam rangka tugas pembantuan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya

(15)

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang kemudian

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. undang-undang ini merupakan perwujudan atas penyelenggaraan otonomi daerah

yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah

secara proporsional diwujudkan dalam bentuk pembagian, pemanfaatan sumber daya

nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang diikuti dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah timbul hak dan kewajiban

daerah yang dapat dinilai dengan uang, sehingga perlu dikalola dalam suatu sistem

pengelolaan keuangan dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

Percepatan pelaksaanaan otonomi daerah sebagai implementasi Undang-undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 34 tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah bergulir di

daerah. Banyak harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah, seiring

dengan itu tidak sedikit pula masalah, tantangan, dan kendala yang dihadapi oleh daerah.

Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh

kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah.

(16)

memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya

dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efektif, efesien,

termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan

kepada pemerintah atasnya maupun kepada publik / masyarakat.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. otonomi daerah juga merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, maka Pemerintah Daerah diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk

mengatur rumah tangga sendiri melalui sistem otonomi daerah. Ciri utama yang

menunjukkan suatu daerah otonom ataupun berotonom yaitu yang terletak pada

kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan

kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengolah dan

menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan

Pemerintah Daerah, sehingga Pendapatan asli Daerah (PAD) khususnya pajak dan retribusi

daerah harus menjadi bagian sumber keuangan yang terbesar.

Berdasarkan data lima tahun sebelumnya yaitu tahun 2001-2005 maka dapat

diuraikan perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kota Medan secara rata-rata maupun

(17)

2001-2005 adalah sebesar Rp 951.730.755.464,69 sedangkan periode terakhir sebelum tahun

2005 jumlah pendapatan daerah kota Medan sebesar Rp 1.228.649.091.079,96. Rincian per

jenis pendapatan ditinjau dari rata-rata lima tahun sebelumnya maupun kondisi khusus

tahun 2005 adalah sebagai berikut :

Tabel I.1 : Pendapatan Asli Daerah Kota Medan Tahun 2001-2005

Uraian Rata-rata 2001-2005

(Dalam Rupiah)

2005 (Dalam Rupiah) A Bagian Pendapatan Asli Daerah

I Pajak Daerah 118.901.889.046,70 178.113.363.793,22

II Retribusi Daerah 80.024.052.673,66 112.271.802.676,09

III Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah

990.834.356,40 800.000.000,00

IV Lain-lain PAD Yang Sah 6.153.801.032,79 12.197.905.844,65 206.070.577.109,55 303.383.072.313,96 B Bagian Dana Perimbangan

I Bagi Hasil Pajak 144.481.297.399,46 193.859.767.471,00

II Bagi Hasil Bukan Pajak dari

SDA

1.472.385.181,68 481.521.960,00

III Bagi Hasil Pajak dari PEMPROP 162.584.173.888,00 259.204.645.662,00

IV DAU dan DAK 421.030.990.000,00 430.572.000.000,00

729.568.846.469,14 884.117.935.093.00 C Lain-lain Pendapatan Yang Sah 16.091.331.886,00 41.148.083.673,00

Total 951.730.755.464,69 1.228.649.091.079,96 Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan 2005

Pajak daerah dan pajak nasional merupakan suatu sistem perpajakan Indonesia yang

(18)

Salah satu sumber PAD berasal dari pajak daerah. Pajak daerah adalah pungutan

daerah menurut peraturan yang ditetapkan guna pembiayaan daerah sebagai badan hukum

publik yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Dimana pajak daerah terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten /

kota. Pajak provinsi terdiri dari : pajak kendaraan dan kendaraan di atas air, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas aire, pajak bahan bakar kendaraan

bermotor, dan pajak pengambilan dan pemanafaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Sedangkan pajak kabupaten/ kota terdiri dari : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,

pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambi9lan dan pengolahan bahan galian

golongan C, dan pajak parkir.

Pajak hiburan adalah salah satu penerimaan daerah yang memberikan kontribusi

bagi peningkatan pendapatan asli daerah ( PAD ), sehinggga diharapkan pajak hiburan

dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan pemerintah unutuk mendukung peningkatan

potensi daerah. Pajak hiburan sangat potensial dalam peningkatan penerimaan daerah,

maka dalam menyelenggarakan pajak hiburan tersebut pemerintah Daerah Kota melalui

Dinas Pendapatan daerah Kota Medan harus mengawasi proses pelaksanaan pajak hiburan

ini sesuai dengan Peraturan Penerintah dan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan Nomor

12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan.

Berbicara masalah pembiayaan, idealnya pembiayaan daerah harus bertumpu pada

Pendapatan Asli Daerah terutama dalam pembiayaan pelayanan dasar pada masyarakat

umum. Pajak daerah kabupaten Kota yang memberikan kontribusi persentase yang paling

(19)

hiburan menjalankan salah satu sumber pendapatan daerah yang paling guna membiayai

penyelenggaaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan

memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian daerah mampu melaksanakan

otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan dalam rangka

mencapai otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Untuk mengetahui kontribusi yang dihasilkan dari pajak hiburan sebagai salah satu

sumber pendapatan dan pembangunan daerah. Berikut ini disajikan data target dan realisasi

dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 yang ditetapkan dan dapat dicapai dari hasil

pajak hiburan.

Tabel I. 2 : Target dan Realisasi Pajak HiburanTahun Anggaran 2005- 2009

No Tahun Target APBD

/ Tahun

Target APBD /Bulan

Realisasi %

1 2005 Rp 7.250.641.215 Rp 604.220.101,22 Rp 7.257.170.956,92 100.09

2 2006 Rp 7.975.705.000 Rp 674.631.666,67 Rp 7.998.696.250,60 100,29

3 2007 Rp 8.354.000.000 Rp 706.447.083,33 Rp 8.382.957.036,24 100,35

4 2008 Rp 8.921.700.000 Rp 743.475.000,00 Rp 9.394.720.639,23 105,30

5 2009 Rp. 9.556.580.000 Rp 796.381.666,67 Rp 8.993.349.705,22 94,11

Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan Tahun 2005-2009

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa realisasi penerimaan pajak hiburan terus

meningkat, kecuali pada tahun 2009 mengalami penurunan. Hal ini dapat kita lihat dalam

terget realisasi penerimaan pajak hiburan dari tiap sektor yang dicapai pada tahun anggaran

2005-2008 mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 mengalami penurunan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh peneliti, bisnis hiburan memang

(20)

perekonomian cukup berjalan tinggi. Di mana dengan banyaknya tersedia hiburan akan

mendatangkan penerimaan yang banyak bagi Pendapatan Asli Daerah. Berarti semakin

banyak hiburan akan semakin banyak pula penerimaan yang diperoleh. Sampai saat ini

kontribusi terbesar dari bisnis hiburan diperoleh lewat pajak hiburan. Pendapatan Asli

Daerah diperoleh dari pajak hiburan berasal dari pengunjung yang mendatangi

tempat-tempat hiburan.

Adapun jenis hiburan yang dikenakan dan dipungut pajak hiburanya adalah bioskop

sebanyak tiga belas, diskotik sebanyak empat, karaoke sebanyak tiga belas, billiard

sebanyak delapan puluh tujuh, ketangkasan sebanyak dua puluh delapan, panti pijat

sebanyak Sembilan belas, mandi uap/ Spa sebanyak dua belas, salon sebanyak 149, internet

sebanyak tujuh puluh satu, dan keramaian umum/ kolam renang sebanyak lima belas.

Adapun realisasi penerimaan dari pajak hiburan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel I.3 : Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2009

No Uraian Target APBD

Rp 2.644.000.000 Rp 220.333.333,33 Rp 2.947.260.000 111,47

(21)

6 Permainan Bilyard

Rp 329.832.000 Rp 27.486.000 Rp 197.628.000 59,92

7 Permaianan Ketangkasan

Rp 3.348.000.000 Rp 279.000.000 Rp 2.600.194.700,01 77,66

8 Panti Pijat/ Refleksi

Rp 878.000.000 Rp 73.166.666,67 Rp 566.956.159,20 64,57

9 Mandi Uap/ SPA

Rp 196.015.000 Rp 16.334.583,33 Rp 317.736.951 162,10

10 Pertandingan Olah Raga

Rp 12.000.000 Rp 1.000.000 Rp 16.200.000 135,00

11 Salon Kecantikan/ Wisma Pangkas

Rp 723.723.000 Rp 60.311.000 Rp 585.494.000 80,90

12 Permainan Internet

Rp 147.480.000 Rp 12.290.000 Rp 124.740.000 84,58

13 Kolam Renang/ Taman Rekreasi

Rp 329.988.000 Rp 27.499.000 Rp 385.005.000 116,67

TOTAL Rp 9.556.580.000 Rp 796.318.666,67 Rp 8.993.349.705,22 94,11

Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan 2009

Kontribusi pajak hiburan yang selama ini dipungut tentunya akan menambah

Pendapatan Asli Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah akan

bermanfaat bagi proses pembiayaan pembangunan dan juga digunakan untuk berbagai

pelayanan umum yang berguna untuk pembangunan kota Medan. Oleh karena itu, hiburan

diharapkan dapat menambah pemasukan ke kas daerah dari sisi penerimaan pajak hiburan.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “ Kebijakan Penetapan Tarif dan Pengelolaan Pajak Hiburan sebagai Sumber

Pendapatan Asli Daerah Kota Medan”.

(22)

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah

dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan

Pajak Hiburan sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Medan“.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dan menggambarkan

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolan Pajak Hiburan sebagai Sumber

Pendapatan Asli Daerah pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan kemampuan untuk

menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian teori dan aplikasi

yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi

kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan tentang Kebijakan Penetapan Tarif

dan Pengelolaan Pajak Hiburan guna membantu manajemen dalam pengambilan

keputusan.

c. Sebagai referensi bagi mahasiswa yang tertarik dalam topik Kebijakan Penetapan

Tarif dan Pengelolaan pajak Hiburan.

(23)

Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan

dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori

adalah konsep – konsep dan generalisasi – generalisasi hasil penelitian yang dapat di

jadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian. ( Sugiono, 2005 : 55 )

Dalam suatu studi penelitian perlu adanya kejelasan titik tolak atau landasan

berpikir untuk memecahkan dan membahas masalah. Untuk itu perlu disusun suatu

kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan dari mana sudut masalah tersebut

disorot ( Nawawi, 1992 : 149 ).

Berdasarkan rumusan di atas, penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat

ataupun gagasan yang akan dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini.

A . Pengertian Kebijakan Perpajakan

Frederich dalam Winarno ( 2002 : 16 ) mendefenisikan kebijakan sebagai “ suatu

arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan

terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran ataupun maksud tertentu.

Anderson ( Nurcholis, 2007 : 263 ) memandang kebijakan sebagai “ suatu tindakan

yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk

memecahkan suatu masalah. Anderson mengklasifikasikan kebijakan menjadi dua :

(24)

dikerjakan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana

kebijakan tersebut diselenggarakan.

Menurut PBB yang dikutip dalam ( Wahab, 1991 : 12 ) kebijakan diartikan sebagai

“ pedoman untuk bertindak “. Pedoman itu boleh jadi sangat sederhana atau kompleks,

bersifat umum atau bersifat khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau

terperinci, bersifat kuantitatif atau kualitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya

seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu

arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu

rencana.

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya ( Islamy, 2001 : 17 ) yang

memberikan defenisi kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk

mencapai suatu tujuan, oleh karena itu tujuan kebijakan memuat tiga elemen, yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari

taktik atau strategi.

Jones menjelaskan bahwa kata kebijakan sering dipertukarkan maknanya dengan

tujuan, program, keputusan, hukum, proposal, patokan maupun maksud-maksud lain.

(Charles, 1999 : 8)

Untuk menetahui lebih dalam lagi maksud kebijakan pemerintah penulis mengambil

(25)

Thomas R. Dye mendefenisikan kebijakan pemerintah sebagai “ is whatever

gevernments choose to do or not to do “ ( apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan )

Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka

harus ada tujuannya ( objektifnya ) dan kebijakan pemerintah itu harus meliputi semua

tindakan pemerintah, bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau

pejabat pemerintah saja.

George. C. Edward III dan Ira sharkansky ( Islami, 1991 : 17 ) mengartikan

kebijakan pemerintah sebagai “ is what government say and do, or not too do. It is the

goals or purposes of government program ( adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau

tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah berupa sasaran atau tujuan

program-program pemerintah).

Edward dan sharksky kemudian mengatakan bahwa kebijakan pemerintah itu dapat

ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam

pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan

pemerintah.

James E. Anderson ( Islami, 1991 : 19 ) mengatakan public policies are those

policies developed by gevernmental bodies and official ( kebijakan pemerintah adalah

kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah ).

(26)

1. Bahwa kebutuhan pemerintah itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan

tindakan yang terorientasi pada tujuan.

2. Bahwa kebutuhan pemerintah itu selalu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola

tindakan pejabat pemerintah.

3. Bahwa kebutuhan pemerintah adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah.

4. Bahwa kebutuhan pemerintah itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk

tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif, dalam arti

merupakan keputusan ppemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Bahwa kebutuhan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan atau selalu

dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.

Kebijakan perpajakan ( Tax policy ) adalah kebijakan mengenai perubahan sistem

perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan ekonomi, politik dan sosial

pemerintah. Dengan adanya kebijakan perpajakan ini pemerintah mengharapkan terjadi

peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak, dalam rangka untuk mencapai

kemandirian pembiayaan dan pembangunan. ( Prakosa, 2003 : 64 ).

Dalam kebijakan perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000

Pasal 2 ayat ( 4 ) dimungkinkan bagi kabupaten/ kota menetapkan jenis pajak daerah, tetapi

harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a) harus bersifat pajak bukan retribusi; b) objek

pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan dan

(27)

kabupaten/ kota yang bersangkutan,; c) objek dan dasar pemungutan pajak tidak

bertentangan dengan kepentingan umum; d) objek pajak bukan merupakan objek pajak

propinsi atau objek pajak pusat; e) potensi memadai; f) tidak memberikan dampak ekonomi

yang negatif; g) memperhatikan damapak ekonomi yang negatif; h) memperhatikan aspek

keadilan dan kemampuan masyarakat. ( Mustaqim, 2008 : 216 ).

B. Pengertian Pajak

Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

berdasarkan undang – undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapatkan jasa

imbalan ( kontrafrestasi ) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum. ( Mardiasmo, 2006 : 1 )

Djajaningrat mengemukakan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan perbuatan

tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah

serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara tidak langsung,

untuk memelihara kesejahtraan umum. ( Siti Resmi, 2008 : 1 )

Jadi, dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa adalah Pajak dipungut

berdasarkan atau dengan kekuatan undang – undang serta aturan pelaksanaannya. Dalam

pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh

pemerintah. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila dari

pemasukannya terdapat surplus, digunakan untuk membiayai pengeluaran publik ( publik

(28)

C. Pengertian Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan

peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang dimaksud dengan

pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan ke pada daerah

tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksaakan berdasarkan peraturan

perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Pajak daerah adalah pajak yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah

(propinsi, kota madya,kabupaten ) dan digunakan untuk membiayai keperluan rumah

tangga daerah APBD. Contohnya pajak hiburan, pajak hotel, pajak pengambilan dan

pengolahan bahan galian golongan C , dll. ( Prakosa, 2006 : 6)

Devas menyebutkan bahwa untuk menilai berbagai pajak daerah yang ada sekarang,

digunakan serangkaian ukuran ( Dasril Munir, dkk, 2004 : 1447 145 ).

a. Hasil ( Yierd ), memadai tidaknya hasil pajak daerah dengan kaitan dalam berbagai

layanan yang dibayarnya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar tidaknya

hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan

sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut.

b. Keadilan ( equity ) dasar pajak dan kewajiban harus dan tidak sewenang – wenang,

pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak harus sama benar

(29)

sama, haruslah adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya

ekonomi yang lebih besar dan memberikan sumbangan ekonomi yang lebih besar dari

pada kelompok yang tidak banyak mamiliki sumber daya ekonomi, dan perbedaan –

perbedaan yang besar dan sewenang – wenang dalam beban pajak dari suatu daerah ke

daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyediakan

layanan masyarakat.

c. Daya guna ekonomi ( economic efciency ), pajak hendaknya mendorong ( atau setidak-

tidaknya tidak menghambat ) penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam

kehidupan ekonomi, mencegah agar pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi

salah satu arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil

beban lebih pajak.

d. Kemampuan melaksanakan ( ability to implement ) suatu pajak haruslah dapat

dilaksanakan dari sudut keamanan politik dan kemauan tata usaha.

e. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah ( suitability as a local revenue source ),

ini baerarti haruslah jelas kepada daerah mana pajak harus dibayar dan tempat-tempat

akhir beban pajak, pajak tidak mungkin dihindari dengan cara memindahkan objek

pajak dari suatu daerah ke daerah lain. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam

perbedaan – perbedaan antara daerah dari segi potensi daerah masing – masing, dan

pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata

usaha pajak.

(30)

Pajak hiburan adalah objek atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu pajak hiburan

dapat diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Pengenaan pajak

hiburan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/ kota. Untuk dapat diterapkan

maka suatu daerah atau kabupaten / kota pemerintah daerah setempat harus mengeluarkan

peraturan daerah tentang pajak hiburan yang menjadi landasan hukum operasinal dalam

teknis pelaksanaan pengenaan dan pungutan pajak hiburan di daerah kabupaten atau daerah

yang bersangkutan. ( Marihot Siahaan, 2005: 297 )

Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua

jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama

dan bentuk apapun, yang ditonton atau dapat dinikmati setiap orang dengan dipungut

bayaran tidak termasuk pungutan fasilitas untuk berolah raga. ( Prakosa, 2003 : 119 ).

E. Objek Pajak Hiburan

Menurut undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan,

Objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran, tidak

termasuk penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran seperti hiburan yang

diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat dan kegiatan keagamaan. (Prakosa,

2003 : 120)

Adapun objek pajak hiburan antara lain sebagai berikut ( Marihot Siahaan, 2003 :

300 ) : Pertunjukan film, Pertunjukan kesenian, Pertunjukan pegelaran, Penyelenggaraan

diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik, ( music room ), klub exsekutif

(axsecutif club ) dan sejenisnya, Permainan billiar dan sejenisnya, Permainan ketangkasan,

(31)

Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, tamaan rekreasi, seluncur ( ice skate), kolam

pemancingan, pasar malam, sirklus, komedi putar yang di gerakkan dengan peralaatan

elektronik, kereta pesiar dan sejenisnya, pertunjukan dan keramaian dan sejenisnya.

Penyelenggaraan hiburan yang dikenakan pajak adalah penyelenggaraan hiburan

yang memungut bayaran. Setiap penyelenggaraan hiburan harus mendapat izin tertulis dari

bupati / walikota. Pengajuaan izin harus diajukan secara tertulis sesuai dengan tata cara

yang ditetapkan oleh kepala daerah. Izin-izin tersebut tidak dapat dipindah tangankan,

kecuali atas seizin kepala daerah. Hal ini terkait dengan kewajiban perpajakan, yaitu

penyelenggaraan hiburan tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban

perpajakan di bidang pajak hiburan.

F. Subjek Pajak Hiburan

Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan penerimaan

Pendapatan Lain-lain subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang dapat

dikenakan pajak daerah yang menyelenggarakan hiburan.

G. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hiburan

Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya

dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Pengertian yang seharusnya di bayar

termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma ( Marihot Siahaan, 2005 : 302 ).

(32)

Bab VIII pasal 50 dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang

seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan.

Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar tiga 35% dan ditetapkan dengan

peraturan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada pemerintahan

kabupaten / kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi

masing-masing daerah kabupaten / kota. Dengan demikian setiap daerah kota / kabupaten

diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan

kota/ kabupeten lainnya, asalkan tidak lebih dari 35%. Untuk mendukung pengembangan

kesenian tradisional, hiburan berupa kesenian tradisional umumnya dikenakan tarif pajak

yang lebih rendah dari hiburan lainnya.

Oleh karena objek pajak hiburan meliputi berbagai jenis hiburan, pemerintah

kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan, yang

biasanya berbeda antar jenis hiburan.

Perhitungan pajak hiburan tiap jenis hiburan sebagaimana berikut ini :

a. Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan :

No Golongan Tarif ( % ) 1. A II Utama 15 % dari HTM

2. A I 12,5 % dari HTM

3. B II Utama 12,5 % dari HTM

4. B II 10 % dari HTM

5. B I 10 % dari HTM

6. C 7,5 % dari HTM

7. D 7,5 % dari HTM

8. Keliling 5 % dari HTM

b. Tarif pajak untuk pertunjukan kesenian antara lain kesenian tradisional, pameran seni, pameran busana, kontes kecantikan ditetapkan sebesar 10%.

(33)

d. Tarif pajak untuk diskotik, bar, dan pub ditetapkan sebesar 30%.

e. Tarif pajak untuk karaoke, musik hidup,ruang musik,dan sejenisnya ditetapkan sebesar 10%.

f. Tarif pajak untuk klub malam ditetapkan sebesar 30% g. Tarif pajak untuk permainan biliar ditetapkan sebesar 10 %

h. Tarif pajak untuk permainan ketangkasan dan sejenusnya untuk dewasa ditetapkan sebesar 25% dan untuk anak-anak ditetapkan sebesar 10%.

i. Tarif pajak untuk panti pijat ditetapkan sebesar 25%.

j. Tarif pajak untuk mandi uap dan sejenisnya ditetapkan sebesar 25%. k. Tarif pajak untuk pertandingan olah raga ditetapkan sebesar 12,5%. l. Tarif pajak untruk permainan boweings ditetapkan sebesar 15%.

m. Tarif pajak untuk tempat pariwisata, rekreasi termasuk di dalamnya kolam renang, kolam pancingan, pasar malam, pertunjukan sirkus, komedi putar, kereta pesiar, dan sejenisnya, ditetapkan sebesar 10%.

n. Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan insidental ditetapkan sebesar 15%.

o. Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk, tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan harga tanda masuk ditetapkan sebesar 15%.

Adapun cara perhitungan pajak hiburan besarnya pokok pajak hiburan yang

terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.

Secara umum perhitungan pajak hiburan adalah dengan menggunakan rumus :

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk Menikmati

(34)

Contoh :

PT. Asindo Entertainment menyelenggarakan pergelaran musik The corrs di

Lapangan Merdeka, Medan. Saat itu tiket yang terjual untuk VVIP dengan harga

Rp700.000,00 sebanyak 100 lembar, VIP dengan harga Rp 500.000,00 sebanyak 200

lembar, untuk kelas I dengan harga RP 300.000,00 sebanyak 200 lembar, untuk kelas II

dengan harga Rp 200.000,00 sebanyak 300 lembar. Hitung berapa pajak hiburan yang

harus dibayar PT. Asindo Entertainment, jika tarif pajak hiburan di kota Medan ditetapkan

20 % ?

Jawab :

Penghasilan PT. Asindo Entertainment :

= ( 100 x Rp 700.000,00 ) + ( 200 x Rp 500.000,00 ) + ( 200 x Rp 300.000,00)

(300 x Rp 200.000,00 )

= Rp 70.000.000,00 + Rp 100.000.000,00 + Rp 60.000.000,00 +

Rp60.000.000,00

(35)

Maka pajak hiburannya adalah :

= 20% x Rp 290.000.000,00

= Rp 58.000.000,00

H. Pengelolaan Pemungutan Pajak Hiburan

Pengelolaan dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengelola; proses

melakukan kegiatan tertentu dengan mengerakkan tenaga orang lain; proses yang

membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; proses yang memberikan

pengawasan dan pencapaian tujuan sebagai perangkat unsur yang secara teratur yang saling

berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, susunan yang teratur.

Dengan demikian pengelolaan pajak hiburan dilakukan dengan kegiatan sebagai

berikut : ( Marihot Siahaan, 2005 : 317 -319 )

1) Pemungutan

Pemungutan pajak adalah suatu rangkaian mulai dari penghimpunan data objek dan

subjek pajak, penentuan besarnya pajak kepada wajib pajak serta pengawasan

penyetorannya. ( Prakosa, 2003 : 79 ). Pemungutan pajak hiburan tidak dapat diserahkan

kepada pihak yang ketiga, walaupu demikian dimungkinkan adanya kerjasama dengan

pihak yang ketiga dalam proses pemungutan pajak antara lain pencetakan formulir

(36)

dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang,

pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.

Pemungutan pajak daerah termasuk salah satunya pajak hiburan dilaksanakan

dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang

dipergunakan. Adapun dasar pemungutan pajak daerah adalah : a) Surat ketetapan pajak

daerah kurang bayar; b) Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; c) Surat

tagihan pajak daerah; d) Surat keputusan pembetulan; e) Surat keputusan keberatan; f)

Putusan banding.

Dalam pengelolaan pajak hiburan fungsi dari masing-masing seksi yang berkaitan

dengan pengelolaan dan pemungutan pajak hiburan dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 1 : Seksi-seksi yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemungutan pajak hiburan ( Phi )

Seksi pendataan dan pemeriksaan

- Pendataan dan pemeriksaan

- Pemantauan dan perkembangan

Penyelenggaraan

Pemungutan

Pajak hiburan Seksi penagihan

-penatausahaan piutang , pembayaran dan

tunggakan pajak

- penagihan pasif

-penerbitan pelunasan

Seksi penetapan

- Nota perhitungan

- Penatausahaan

(37)

Sumber : Azhari Samudra, 2005 : 152

2) Pembukuan

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk

mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban,

modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang dan

jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi

laba pada setiap tahun pajak berakhir.

Pembukuan atau pencatatan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya yang

mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya. Pembukuan yang berhubungan

dengan usaha atau perusahaan wajib pajak harus disimpan selama lima tahun. Tata cara

pencatatan ditetapkan oleh bupati/ walikota atau pejabat yang ditunjuk.

3) Pemeriksaan Pajak Hiburan

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah

dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan darah tentang pajak hiburan.

Pelaksanaan pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh bupati/ walikota

atau pejabat yang berwenang

Seksi penatausahaan dan pendapatan daerah

Pembuatan daftar subjek dan objek pajak

Pembuatan perhitungan hasil penetapan

(38)

1) Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pemerintahan daerah yang berotonom diharapkan mampu mengatur dan mengurus

sendiri urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan pada setiap pemerintahan lokal

(local government) yang menjalankannya. Setiap pemerintahan daerah yang berotonomi

harus mampu menggali sumber keuangan daerahnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

The Liang Gie :

“ Pada prinsipnya daerah otonom harus dapat membiayai sendiri semua kebutuhan sehari-hari yang rutin. Apabila untuk kebutuhan itu daerah masih mengandalkan bantuan keuangan dari pusat, maka sesungguhnya daerah itu tidak otonom lagi. Otonomi yang diselenggarakannya tidak ada artinya karena umumnya akan mengikuti irama datangnya dan banyaknya bantuan dari pusat, serta syarat-ayarat yang dikaitkan pada bantuan itu. Dengan demikian daerah itu tidak dapat dikatakan mempunyai kehidupan sendiri “.

Diantara berbagai jenis penerimaan daerah yang menjadi sumber daya sepenuhnya

dapat dikelola oleh daerah adalah Pendapatan Asli Daerah ( PAD ), maka untuk itu upaya

peningkatan Pendapatan Asli Daerah perlu mendapat perhatian yang serius dari

pemerintah daerah baik secara intensifikasi maupun secara ekstensifikasi dengan maksud

agar daerah tidak terlalu mengandalkan atau mengantungkan harapan pada pemerintah

tingkat pusat, tetapi harus mampu secara mendiri dalam menggali dan mencari

sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan cita-cita otonomi yang nyata dan bertanggung

jawab.

Koswara ( 2000 : 50 ) menyatakan bahwa cirri utama yang menunjukkan suatu

daerah otonomi mampu berotonom terletak pada kemampuan keuangan daerah. Maksudnya

(39)

sumber-sumber keuangan sendiri. Mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup

memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan

kepada pemerintah pusat harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli

Daerah ( PAD ) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung dengan kebijakan

perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem

pemerintahan daerah.

Pendapatan Asli daerah merupakan salah satu komponen sumber penerimaan

keuangan daerah, disamping penerimaan lain berupa dana perimbangan, pinjaman daerah

dan lain-lain penerimaan yang sah, dan juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat

ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ). Meskipun Pendapatan Asli Daerah ( PAD )

tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan

tetap merupakan indikasi “derajat kemandirian” keuangan suatu pemerintah daerah

(Santoso, 1995 : 20 )

Menurut Insukindro, dkk ( 1994 : 2 ) dalam kaitannya dengan pemberian otonomi

kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan

daerah sesuai dengan kondisi daerah Pendapatan Asli Daerah dapat dipandang sebagai

salah satu indikator atau kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah kepada

pusat. Pada prinsipnya, semakin besar Pendapatan Asli daerah kepada APBD akan

menunjukkan semakin kecil ketrgantungan daerah kepada pusat.

(40)

Pendapatan Asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut

berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil

pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan

kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai

perwujudan asas desentralisasi. ( Ahmad Yani, 2002 : 51 )

Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :

1. Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.

Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) daerah dilarang

menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi

dan dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas

penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekpor / impor. Yang

dimaksud dengan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan biaya tinggi

adalah peraturan daerah yang mengatur pengenaan pajak dan retribusi oleh daerah terhadap

objek-objek yang telah dikenakan pajak oleh pusat dan provinsi sehingga menyebakan

menurunnya daya saing daerah. Pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas

(41)

retribusi izin masuk kota dan pajak / retribusi atas pengeluaran / pengiriman barang dari

satu daerah ke daerah lain. ( Ahmad Yani, 2002 : 52 )

I.6 Defenisi Konsep

Defenisi konsep merupakan unsur penelitian yang penting untuk menggambarkan

secara tepat fenomena yang hendak diteliti ( Singarimbun, 1993 : 33 ). Selain itu tujuan

adanya konsep adalah untuk mendapatkan pembatasan yang jelas dari setiap konsep yang

diteliti. Maka untuk mendapatkan batasan yang jelas, penulis menggunakan defenisi konsep

dalam penelitian ini adalah :

1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah

yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang

bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan

dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.

2. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada

daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksaakan

berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

3. Pajak Hiburan adalah Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan

(42)

dinikmati setiap orang dengan dipungut bayaran tidak termasuk pungutan fasilitas

untuk berolah raga.

4. Kebijakan perpajakan daerah adalah kebijakan mengenai perubahan sistem

perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan ekonomi, politik dan sosial

pemerintah dalam rangka peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak, untuk

mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan.

5. Pengelolaan Pajak Hiburan adalah proses pengelolaan pajak hiburan yang dilakukan dengan kegiatan pengelolaan, yang pertama pemungutan, yaitu suatu rangkaian

mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak

kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya. Kedua pembukuan, yaitu

proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan

informasi keuangan. Ketiga pemeriksaan pajak hiburan, yaitu menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan

daerah tentang pajak hiburan.

I.7 Defenisi Operasional

Dalam penelitian lapangan, konsep yang relevan dan berkedudukan sentral dalam

penelitian terlebih dahuli harus dibuat operasionalnya. Jadi, tidak cukup kiranya jika

konsep itu hanya sekedar didefenisikan secara eksplisit ( Suyanto, 2005 : 50 ). Adapun

yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :

(43)

Untuk menilai pajak daerah digunakan serangkaian ukuran :

a. Hasil ( Yierd ), memadai tidaknya hasil pajak daerah dengan kaitan dalam

berbagai layanan yang dibayarnya, stabilitas, juga perbandingan hasil pajak

dengan biaya pungut.

b. Keadilan ( equity ) dasar pajak dan kewajiban harus dan tidak sewenang –

wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak

harus sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda beda tetapi dengan

kedudukan ekonomi yang sama.

c. Daya guna ekonomi ( economic efciency ), pajak hendaknya mendorong ( atau

setidak- tidaknya tidak menghambat ) penggunaan sumber daya secara berdaya

guna dalam kehidupan ekonomi

d. Kemampuan melaksanakan ( ability to implement ) suatu pajak haruslah dapat

dilaksanakan dari sudut keamanan politik dan kemauan tata usaha.

e. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah ( suitability as a local revenue

source ), ini baerarti haruslah jelas kepada daerah mana pajak harus dibayar dan

tempat-tempat akhir beban pajak.

(44)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

(45)

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakann bentuk penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Dengan bentuk

deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan

penerapan tarif dan pengelolaan pajak hiburan sebagai sumber Pendapatan Asli daerah

(PAD ) kota Medan.

II. 2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan yang beralamat di

Jalan Karya Jasa Medan, Sumatera Utara.

II. 3 Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil

penelitiaanya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan

sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan

secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga

macam, (1) informan kunci (Key Informant), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki

berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan uatama, yaitu

mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan,

yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam

interaksi sosial yang diteliti ( Hendrarso dalam Suyanto, 2005 : 171-172 )

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menentukan informan dengan

(46)

pedoman atau wilayah tetapi didasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan

dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini menggunakan informan

peneliti terdiri dari :

1. Informan kunci, berjumlah dua orang :

a. Kepala Subdinas Penagihan : 1 orang

b. Kepala Seksi Penagihan dan Perhitungan : 1 Orang

2. Informan utama berjumlah dua orang :

a. Kepala seksi pembukuan dan verifikasi : 1 Orang

b. Kepala seksi pertimbangan dan keberatan : 1 Orang

3. Informan tambahan berjumlah dua orang, yaitu :

a. Wajib Pajak : 2 Orang

II.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dan keterangan-keterangan lain yang

diperlukan, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Teknik Pengumpulan Data Primer, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan

secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan

instrumen :

(47)

Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara

langsung kepada pihak-pihak terkait atau mengajukan pertanyaan kepada orang

yang berhubungan dengan objek penelitian.

b) Kuesioner Terbuka

Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

menberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden

untuk dijawab. Kuesioner terbuka adalah pertanyaan yang mengharapkan

responden untuk menuliskan jawabannya berbentuk uraian tentang sesuatu hal.

c) Observasi partisipan

Yaitu kegiatan mengamati secara langsung objek penelitian dengan mencatat

gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang

diperlukan sebagai acuan yang berkenan dengan topik penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder, Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan

melalui studi kepustakaan yang terdiri dari :

a) Dokumentasi ( Documenter )

Yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau

dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan

dengan objek penelitian.

b) Studi Kepustakaan ( Library research )

Yaitu tekni pengumpulan data denganmenggunakan berbagai literatur seperti

(48)

yang bersumber dari buku-buku serta referensi lainnya yang berkaitan dengan

kebijakan penerapan tarif dan pengelolaan pajak hiburan.

II.5 Teknik analisis Data

Menurut Patton ( Hasan, 2002 : 97 ) analisa data adalah proses mengatur urutan

data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisa data kualitatif yang merupakan analisa

yang tidak menggunakan model matematika, model statistik, dan model okonometrik, atau

model-model tertentu lainnya. Analisa yang dilakukan terbatas pada teknik pengolahan

data yang diperoleh dari informan, seperti pada pengecekan data dan tabulasi. Dalam hal

ini sekedar membaca table-tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia, kemudian

melakukan uraian atau penafsiran.

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang digunakan penulis

dalam penelitian ini menggunakan kualitatif. Menurut Farid ( 1997 : 152 ) bahwa analisa

kualitatif adalah analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar

penelitian dalam menghubung-hubungkam fakta data dan informasi. Jadi, teknik analisis

data kualitatif yaitu dengan menyajikan hasil wawancara dan melakukan analisis terhadap

masalah yang diteukan di lapangan, sehingga dipeoleh gambaran yang jelas tentang objek

(49)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

III.1 Sejarah Singkat Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan

Pada mulanya Dispenda kota medan adalah suatu sub bagaian pada bagian

keuangan yang mengelola bidang penerimaan dan pendapatan daerah. Pada sub bagian ini

tidak terdapat lagi sub seksi, karena pada saat itu wajib pajak dan wajib retribusi yang

berdomisili di daerah kota Medan belum begitu banyak.

Mempertimbangkan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk di kota Medan

melalui peraturan daerah sub bagian keuangan tersebut dirubah menjadi bagian pendapatan.

Pada bagian pendapatan dibentuklah beberapa seksi yang mengelola penerimaan pajak dan

retribusi daerah yang merupakan kewajiban para wajib pajak dan wajib retribusi dalam

daerah kota Medan. Daerah kota Medan terdiri dari 21 kecamatan, diantaranya Kecamatan

(50)

Kota, Medan Area, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Selayang, Medan Sunggal, dan

lainnya.

Sehubungan dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri KUPD No. 7/12/41-10 tentang

penyeragaman struktur organisasi Dinas Pendapatan Daerah di seluruh Indonesia, maka

pemerintah daerah kota Medan berdasarkan PERDA No. 12 Tahun 1978 menyesuaikan

atau membentuk struktur organisasi Dinas Pendapatan Daerah yang baru. Di dalam struktur

organisasi Dispenda yang baru ini dibentuklah seksi-seksi administrasi Dinas Pendapatan

Daerah serta bagian tata usaha yang membawahi 3 ( tiga ) Kepala sub bagian yang

merupakan sub sector perpajakan, retribusi daerah, dan pendapatan daerah lainnya yang

merupakan kontribusi yang cukup penting bagi Pemerintah Daerah dalam mendukung serta

memelihara hasil-hasil pembangunan dari peningkatan pendapatan daerah.

Meningkatnya pendapatan daerah hendaknya tidak harus ditempuh dengan cara

kebijaksanaannya menaikkan tarif saja, tetapi yang lebih penting dengan memperbaiki atau

menyempurnakan administrasi, system dan prosedur serta organisasi Dispenda yang ada

sekarang. Namun, pada kondisi saat ini, dirasakan tuntutan untuk perlunya meninjau

kembali dan penyempurnaan Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA ). Seiring dengan

tuntutan gerak pembangunan yang sedang berjalan terutama dari pola pendekatan yang

selama ini dilakukan secara sektoral perlu dirubah secara fungsional dan disesuaikan

dengan kebijaksanaan pemerintah yang paling akhir di bidang perpajakan, maka

penyempurnaan telah dilaksanakan secara bersunggu-sungguh sehingga berhasil disusun

Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA )

(51)

1. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 973-442 Tahun 1988 pada tanggal 26

Mei 1988, tentang system prosedur perpajakan, retribusi daerah, dan

pendapatan daerah lainnya serta pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 tanggal 26 Mei , tentang

pelaksanaannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 973-442 Tahun 1988.

3. Surat Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 1989 tanggal 26 Mei 1989,

tentang organisasi dan tata kerja Dinas Pendapatan Daerah.

Pendapatan Daerah Kota Medan atau Manual Pendapatan Daerah ( MAPATDA )

yang dilaksanakan bertahap dan penyempurnaan sebagai tahap awal untuk dinas

Pendapatan Daerah Kota Medan secara efektif. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri No. 061/1861/PUOD, tanggal 2 Mei 1988, Instruksi Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I Sumatera Utara No. 188.342/790/SK/1991, tentang Pelaksanaan PERDA No. 16

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.

III.2 Tugas Pokok, Fungsi, Visi dan Misi Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan

Tugas Pokok :

1. Dinas Pendapatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam bidang

pungutan pajak, retribusi dan pendapatan daerah lainnya yang dipimpin oleh seorang

kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui

(52)

2. Dinas Pendapatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah

dalam bidang pendapatan daerah dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai dengan

bidang tugasnya.

Fungsi :

a. merumuskan dan melaksankan kebijakan teknis dibidang pendapatan daerah;

b. melakukan pembukuan dan pelaporan atas pekerjaan penagihan pajak daerah, retribusi

daerah dan penerimaan asli daerah lainnya, serta penagihan Pajak Bumi dan Bangunan;

c. melaksanakan koordinasi dibidang pendapatan daerah dengan unit dan instansi terkait

dalam rangka penetapan besarnya pajak dan retribusi;

d. melakukan penyuluhan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan daerah lainnya

serta PBB;

e. melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan bidang tugasnya;

f. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.

Visi :

Gambar

Tabel I.1 : Pendapatan Asli Daerah Kota Medan Tahun 2001-2005
Tabel I. 2 : Target dan Realisasi Pajak HiburanTahun Anggaran 2005- 2009
Tabel  I.3 : Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan Tahun Anggaran 2009
Gambar 1 : Seksi-seksi yang berkaitan dengan penyelenggaraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dimana presentase dari jawaban yang benar tersebut terhadap jumlah responden yaitu 82 %, yang mana presentase tersebut berdasarkan Arikunto (2013) berada pada kategori pengetahuan

Komunikasi ini akan menampilkan data yang telah diterima sensor sehingga dapat diakses melalui alamat IP(internet protocol). Modul WiFi ini akan melakukan ping ke server

(Tanggal 8 September 2015) - 4 orang pengrajin songket mengalami kram kaki saat membuat songket dalam waktu lama - Pengrajin songket mengatakan kaki terasa dingin dan kaku

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan karya ilmiah dengan fokus penelitian yang lebih menarik sehingga dengan penelitian yang sudah ada ini dapat

Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan dalam penentuan tingkat kerusakan jalan terdapat enam parameter yang digunakan, yaitu: kemiringan lereng, tekstur tanah,

Kompleksitas pekerjaan atau kerumitan geometri produk yang harus dibuat dapat diatasi dengan memilih mesin perkakas dengan jumlah sumbu gerakan yang lebih banyak

Pada saat crank web mengalami defleksi maka bentuk dari atas dan dari bawah akan berbeda. Apabila mengalami defleksi maka defleksi tersebut tidak dapat dilihat dengan mata

bahwa sesuai ketentuan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12