• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas (Analisis Linguistik Sistemik Fungsional)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas (Analisis Linguistik Sistemik Fungsional)"

Copied!
368
0
0

Teks penuh

(1)

UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA KELAS

(ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL)

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A.(K)

Dipertahankan pada tanggal 13 Agustus 2011 di Medan, Sumatera Utara

LIESNA ANDRIANY

068107004

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA KELAS

(ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL)

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Terbuka

Pada HarI : Sabtu

Tanggal : 13 Agustus 2011 Pukul : 10.00 WIB

Oleh

(3)

Judul Disertasi : UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA

KELAS (ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK

FUNGSIONAL)

Nama Mahasiswa : Liesna Andriany

NIM : 068107004

Program Studi : Linguistik

Menyetujui:

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Promotor

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. Ko-Promotor Ko-Promotor

Ketua Program Studi Linguistik, Direktur Sekolah Pascasarjana,

(4)

HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK

SIDANG TERBUKA TANGGAL 13 AGUSTUS 2011

Oleh Promotor

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Ko-Promotor

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd.

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

(5)

Diuji pada Ujian Disertasi Tertutup Tanggal : 13 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU Medan

Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. UNIMED Medan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan Asruddin Barori Tou, M.A., Ph.D UNY Yogyakarta Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

(6)

Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal : 13 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU Medan

Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. UNIMED Medan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan Asruddin Barori Tou, M.A., Ph.D UNY Yogyakarta Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

(7)

TIM PROMOTOR

1 Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

2 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(8)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.

Asruddin Barori Tou, M.A., Ph.D

(9)

BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI

Judul Disertasi : Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas (Analisis Linguistik Sistemik Fungsional) Nama Mahasiswa : Liesna Andriany

NIM : 068107004

Program Studi : Linguistik

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. 4. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. 5. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.

(10)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA KELAS

(ANALISIS LINGUISTIK SITEMIK FUNGSIONAL

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 13 Agustus 2011

Penulis,

(11)

Disertasi ini kupersembahkan buat keluarga, bangsa

dan negara

Orang tua tersayang

Alm. Dawam Mulyokuncoro

Liena

Mertua tersayang

Alm. Abdul rahman

Almh. Putri Intan Podi

Suami tercinta

Hapcin

Suhairy,

S.E.,M.S.i.

Anak-anak dan menantu tercinta

Dian Permata Sari, S. Ked.

Afni

Benazir

Maulida

Hadry

Sa’adillah

Fattah

Kafrawi

Suryaningrat

(12)

ABSTRAK

UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA KELAS : Analisis Linguistik Sistemik Fungsional, Liesna Andriany, Program S3, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Penelitian ini mengkaji ujaran interpersonal dalam wacana kelas dengan tujuan menjelaskan terjadinya sistem modus, struktur mood, modalitas, dan interpretasi konteks sosial dalam wacana kelas. Analisis dilakukan dengan mengkaji teks menurut satuan leksikogramatika yang merealisasikan ujaran interpersonal dengan menggunakan pendekatan analisis wacana di bawah payung teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dibantu dengan data kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif diuraikan dalam bentuk statistik sederhana berupa tabel dan persentase penggunaan unsur-unsur masalah yang diteliti, juga digunakan diagram untuk melihat tingkat perbandingan secara visual. Sumber data diperoleh dari 6 orang guru dan 232 siswa dari 3 sekolah di kota Medan.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa satuan leksikogramatika unsurnya dibangun dari subjek, predikator, komplemen, dan keterangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi leksikogramatika ujaran interpersonal dalam teks-teks yang diteliti menunjukkan bahwa seluruh modus (modus IND-DEK, IND-INT, IMP, dan PEN) ditemukan pada setiap teks baik direalisasikan guru maupun siswa. Modus DEK merupakan modus yang paling dominan digunakan. Penggunaan modus IND-DEK didorong oleh fungsi guru sebagai pemberi informasi/ilmu berkeinginan agar informasi tentang ilmu pengetahuan dapat sampai kepada siswa. Peringkat kedua yang dominan digunakan adalah modus IND-INT. Penggunaan modus IND-INT memotivasi siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu yang sedang dibicarakan, mengembangkan pola dan cara belajar aktif dari siswa, dan memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas. Urutan ketiga yang dominan digunakan adalah modus IMP. Modus IMP memotivasi siswa untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan kesiapannya memulai serangkaian aksi atau perbuatan dalam mencapai tujuan tertentu. Modus keempat yang dominan digunakan adalah modus PEN. Penggunaan modus PEN bersifat persuasif. Pada kenyataannya guru lebih banyak membuat fungsi ujar (IND-DEK, IND-INT, IMP, dan PEN) merupakan cerminan ideologi bahwa guru adalah pemegang kekuasaan manajerial di kelas, juga pemegang otoritas keilmuan.

(13)

penggunaan polaritas yang sebagian besar positif disebabkan oleh guru dan siswa mempunyai sikap positif terhadap pokok persoalan yang disajikan.

Modalitas yang ditemukan adalah modalisasi kemungkinan dengan derajat menengah dan tinggi mendominasi jenis dan nilai modalisasi lain. Sikap seperti ini didorong oleh keyakinan guru atas kepastian atau kebenaran terjadinya informasi yang diungkapkan. Sementara itu, siswa lebih banyak menggunakan modalisasi-kemungkinan dengan derajat menengah ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepastian dan kebenaran yang terjadi berada pada tingkat menengah ke bawah. Penggunaan modulasi yang didominasi oleh keharusan dengan derajat menengah dan tinggi banyak digunakan oleh guru yang bernada imperatif dan instruktif. Modalitas ini didorong oleh posisi guru sebagai pihak yang lebih tinggi daripada siswa.

(14)

ABSTRACT

INTERPERSONAL UTTERANCES IN CLASSROOM DISCOURSE: Systemic Functional Linguistic Analysis, Liesna Andriany, Program S3, Postgraduate of North Sumatra University, Medan

This research studies the interpersonal utterances in classroom discourse. This research aims to describ the form of modus system, mood structure, modality and interpretation of social context in classroom discourse. The analysis is conducted by studying the text according to the lexicogramatical units that realize the interpersonal utterances by using the discourse analysis approach in theory of Systemic Functional Linguistic.

This research is a qualitative research that supported by quantitative data. The results of quantitative analysis is described in the form of simplest statistic form such as table and percentage of using the studied problem elements and use the diagram to see the comparison level visually. The data are collected from 6 teachers and 232 students from 3 schools in Medan .

The results of this research that the interpersonal meaning of classroom discourse text is studied and realized by lexicogramatical units, i.e. Subject, predicate, complement and adjunct. The results of research indicates that the representation of interpersonal meaning lexicogramatical in the studied text by clause system focus indicates that the using of modus (modus of DEK, IND-INT, IMP and PEN) on each text that realized either by teachers or the students. Modus of IND-DEK is used as a consequence of the function of teacher as the giver of information/knowledge so the information that related to any knowledge aspect especially Bahasa can be accepted by the student. The consequences of the using of IND-INT modus, increasing the participation of students in learning and teaching activity, establishing students’ interest and desire to the discussed topic, developing a pattern and method of learning and teaching activity, because thinking itself actually is asking and focusing the concentration of the students to the discussed issue. The IMP modus is used to establish the motivation and encourage the students to do anything that cause their readiness to begin the action or deed in achieving the certain goal. PEN modus which is used is persuasive. The using of ellipsis caused by the desire to make the pronunciation efficient and also for the teachers who control the interaction. In fact, the teachers more make the pronunciation function is the reflection of the ideology that teacher is the managerial power holder in the class, as well as the knowledge authority holder.

(15)

The most dominant mood structure is Subject^Finite caused by the decision making by the speaker related to the topic of issue which is presented usually done without a doubt. As well as the using of polarity which almost all are positive because the teacher and student have a positive behavior to the presented issue.

Related to the modality issue found that the probability modality with the high and medium degree is more used by the teachers than another type and modality values. This is such behavior caused by teachers’ trust on the certainty or rightness to the happening information revealed. On the other hand, the students more use probability modality with the middle to the lower indicates that certainty level and rightness which happen in certainty and rightness on middle level to lower. The using of modality that dominated by an obligatory with the middle degree and higher more used by the teachers with imperative tone and instructive because the teachers pose themselves as the higher party than the students. From the all modality, the most dominant is obligatory modality with the middle and high degree.

(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin. Sukur dan puji penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Ujaran Interpersonal dalam wacana Kelas (Analisis Linguistik Sistemik Fungsional)” ini dapat diselesaikan seperti yang diharapkan. Salawat dan salam penulis ucapkan keharibaan Nabi Muhammad S.A.W yang telah memberi suri teladan dalam berkehidupan di dunia.

Disertasi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam proses pendidikan dan penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

(17)

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Promotor dan sekaligus sebagai Ketua Program Studi Doktor Linguistik, juga mantan Koordinator Kopertis Wilayah I - NAD yang dengan kesabaran, kelembutan, keibuan, keilmiahan, professional dan penuh kewibawaan ilmiah telah mencurahkan perhatiannya sejak sebelum memasuki Pascasarjana USU ini sampai penyelesaian studi Doktor penulis. Pemberi motivasi untuk melanjutkan studi sampai ke jenjang doktor, pemberian izin belajar, serta bantuan moril sangat banyak penulis peroleh. Bimbingan-bimbingan dan arahan menuju professional akademik banyak diberikan kepada penulis sehingga penulis dengan penuh keyakinan dapat menguasai permasalahan yang berkaitan dengan disertasi ini dan hal-hal yang erat kaitannya dengan bidang keilmuan. Beliau juga telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Sandwich di University of Malaya (UM) di Kuala Lumpur Malaysia.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. selaku Kopromotor I, yang telah memberikan motivasi, koreksi, pengamatan yang teliti, sumbangan pikiran, sumbangan materi pendukung, baik dalam bentuk buku, bahan-bahan lain, telah memperkaya, dan sekaligus penyempurnaan disertasi ini.

(18)

seluruh permasalahan yang berkaitan dengan disertasi ini dan hal-hal lain yang tertaut dengan bidang keilmuan.

Ucapan terima kasih kepada seluruh penguji, Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd., Asruddin Barori Tou, M.A., Ph.D, dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., yang telah bersedia mengoreksi, merevisi, memberi sumbangan yang cemerlang, memberi penilaian, dan membantu memberi masukan yang berharga demi sempurnanya disertasi ini.

Ucapan terima kasih kepada Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP, yang secara khusus merevisi disertasi ini dengan memberi masukan yang konstruktif serta sumbangan pikiran yang cemerlang baik ketika formal maupun tidak formal sehingga disertasi ini menjadi lebih sempurna.

Ucapan terima kasih kepada semua dosen Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Medan yang telah dengan ikhlas memberikan ilmu mereka yang sangat berguna kepada penulis selama masa perkuliahan.

Terima kasih kepada teman angkatan kedua pada pendidikan Doktor Linguistik USU yang senantiasa memotivasi penulis untuk terus belajar. Terima kasih juga kepada staf administrasi Program Studi Linguistik USU yang telah memberi pelayanan administrasi yang baik dan penuh kekerabatan selama masa studi penulis.

(19)

Firman, Afida Yusra, S.Pd., Drs. Tepu Sitepu, M.Si., Neni Andriani, S.Pd., Lili Nurindah Sari, S.Pd., dan Dra. Siti Ropiah Lubis yang bersedia menjadi subjek penelitian disertasi ini.

Sembah sungkem dan terima kasih untuk almarhum papa Dawam Mulyokuncoro dan Ibunda Liena tercinta yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh, mendidik, mendoakan penulis dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang sehingga akhirnya penulis sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi. Penghargaan yang sama juga penulis haturkan kepada almarhum Bapak dan Ibu Mertua. Semoga Allah menerima semua amal ibadah Papa, Bapak dan Ibu Mertua .dan ditempatkan-Nya di tempat yang sebaik-baiknya, demikian juga Ibunda agar tetap sehat dan diberi-Nya usia yang penuh berkah. Amin. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua adik-adik dan seluruh keluarga yang senantiasa mendukung penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

(20)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang belum disebut satu persatu, yang telah banyak membantu penulis baik moral, materil, dukungan, dan doa selama penulis mengikuti pendidikan sampai selesai. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang mungkin terjadi selama mengikuti pendidikan dan kebersamaan.

Peneliti menyadari bahwa disertasi ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, masukan dan kritik yang sifatnya membangun dan konstruktif selalu penulis harapkan. Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Medan, 13 Agustus 2011

Penulis,

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRAC ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG ... xix

GLOSARI ... ... xx

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II, KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ... 9

2.1 Konsep Dasar ... 9

2.1.1 Wacana dan Teks ... 10

2.1.2 Wacana Kelas ... ... 12

2.1.3 Klausa ... 15

2.2 Landasan Teori ... 17

2.2.1 Teori Linguistik Sistemik Fungsional... 17

2.2.2 Alasan Memilih Teori Linguistik Fungsional Sistemik... 20

2.2.3 Perbedaan antara Tatabahasa Formal dan Tatabahasa Fungsional ... 23

2.2.4 Orientasi Teori 1 : Latar Belakang Teori ... 24

2.2.4.1 Pengertian Linguistik Sistemik Fungsional... 26

(22)

2.2.4.1.2 Bahasa adalah Fungsional ... 29 2.2.4.1.3 Bahasa adalah Kontekstual ... 30 2.2.4.2 Metafungsi Bahasa ... 31 2.2.4.3 Konteks Situasi ... 41 2.2.4.4 Model-model Konteks Sosial pada Linguistik Fungsional

Sistemik ... 45 2.2.5 Orientasi Teori 2: Kerangka Kerja Teori Linguistik

Fungsional Sistemik ... 50 2.2.5.1 Kerangka Kerja Teori - Metafungsi Interpersonal...

dalam Linguistik Sistemik Fungsional... 50 2.2.5.2 Perspektif dalam Dimensi Interpersonal pada

Penggunaan Bahasa ... 51 2.2.5.3 Kerangka Kerja Analisis Interpersonal ... 53 2.2.5.3.1 Realisasi Makna Interpersonal ... 53 2.2.5.3.2 Sistem Klausa ... 54 2.2.5.3.3 Fungsi Klausa ... 55 2.2.5.3.4 Struktur Mood dan Residu ... 56 2.2.5.4 Modus dan Ujaran Interpersonal ... 58 2.2.5.5 Gramatikal Person dan Makna Interpersonal ... 70 2.2.5.6 Modalitas dan Makna Interpersonal ... 70 2.3 Kajian Pustaka ... 74 2.3.1 Kajian Wacana Kelas ... 75 2.3.2 Kajian Terdahulu ... 78 2.4 Kerangka Pikir Penelitian ... 82

(23)

3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ……….... 97 3.7 Analisis Data ... 98 3.8 Prosedur Analisis Data ... 100

BAB IVANALISIS UJARAN INTERPERSONAL DALAM

(24)

4.3.6 Modalitas dalam WK6 ... 246

BAB V INTERPRETASI UJARAN INTERPERSONAL

DALAM WACANA KELAS ... 257 5.1 Interpretasi Sistem Modus dalam Wacana Kelas ... 257 5.1.1 Modus Indikatif – Deklaratif ... 257 5.1.1.1 Modus Indikatif – Deklaratif ... 258 5.1.1.2 Modus Indikatif – Deklaratif (-) ... 260 5.1.2 Modus Indikatif – Interogatif ... 261 5.1.3.1 Modus Indikatif – Interogatif Kt Tanya ... 261 5.1.3.2 Modus Indikatif – Interogatif Ya/Tidak ... 263 5.1.4 Modus Imperatif ... 264 5.1.5 Klausa Mayor dan Klausa Minor ... 265 5.1.6 Klausa Elipsis ... 267 5.2 Interpretasi Struktur Mood dalam Wacana Kelas... 268 5.2.1 Variasi Struktur Mood ... 268 5.2.2 Polaritas ... 272 5.3 Interpretasi Modalitas dalam Wacana Kelas ... 272 5.4 Interpretasi Konteks Sosial dalam Wacana Kelas ... 276 5.4.1 Status ... 277 5.4.2 Kontak ... 291 5.4.3 Afek ... 295 5.5 Pemaknaan Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas ... 302

BAB VI SIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 315 6.1 Simpulan ... 315 6.2 Keterbatasan Penelitian ... 318 6.3 Rekomendasi ... 319

(25)

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Subjek Penelitian ... 327 Lampiran 2: Surat Pengantar Penelitian dari Ketua Program Doktor

(S3) Linguistik No.116/H.5.2.2.1.9/SPB/2008 ... 328 Lampiran 3: Surat Keterangan telah Mengadakan Penenlitian di

SMA Panca Budi Medan No. 194/I01/SMA-PB/2010 329 Lampiran 4: Surat Keterangan telah Mengadakan Penelitian di

SMA Prayatna Medan No. 007/15/P/SMA/2010 ... 330 Lampiran 5: Surat Keterangan telah Mengadakan Penelitian di

SMA Budi Agung Medan No.049/SMA/BA/MN/I/

(26)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1: Realisasi Semiotik Bahasa ... 28 Tabel 2.2 : Aksi Awal dan Aksi Jawab... 36 Tabel 2.3 : Aksi Dasar dan Realisasi ... 37 Tabel 2.4: Model konteks dalam Teori Linguistik Sistemik Fungsional (diadaptasi dan dikolaborasi dari Sinar (2002:85) ... 49 Tabel 2.5: Srtuktur Mood dan Residu pada klausa: Subjek^Finit^

Predikator ... 57 Tabel 2.6: Srtuktur Mood dan Residu pada klausa: Subjek^Finit/

Predikator ... 57 Tabel 2.7 Srtuktur Mood dan Residu pada klausa: Subjek^Finit/

Komplemen... 58 Tabel 2.8: Srtuktur Mood dan Residu pada klausa: Subjek^Finit/

Keterangan tempat ... 58 Tabel 2.9: Srtuktur Mood dan Residu pada klausa: Subjek^Finit/

(27)
(28)

Tabel 4.40: Sebaran Modulasi ... 245 Tabel 4.41: Modalitas dalam teks WK6 ... 247 Tabel 4.42: Contoh Modalitas Teks WK6... 250 Tabel 4.43: Sebaran Modalisasi ... 252 Tabel 4.44: Sebaran Modulasi ... 253

(29)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1: Susunan Semiotik Bahasa (Martin, 1992:495) ... 22 Gambar 2.2: Hubungan Konteks dengan Bahasa (Adaptasi dari Martin

1992:494 ... 32 Gambar 2.3 : Hubungan Bahasa dan Konteks (Adaptasi

dari Halliday,1991:8) ... 47 Gambar 2.4: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Mattiessen,

1993:227) ... 48 Gambar 2.6 Jenis-Jenis Klausa ... 54 Gambar 2.5: Fungsi Klausa ... 55 Gambar 2.8: Struktur Unsur Modus dalam kalimat ... 61 Gambar 2.9: Jenis Modalitas ... 72 Gambar 2.10: Kerangka Pikir Penelitian ... 84 Gambar 3.1: Komponen-Komponen Analisis Model Interaktif

Miles & Huberman (1994:12) …………...…… 98 Gambar 5.1: Jumlah Kekuasaan Guru/Siswa ... 310 Gambar 5.2: Mean Kekuasaan Guru/Siswa ... 311

(30)

DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG

Daftar Arti Singkatan

DEK : Deklaratif

F : Finit

IMP : Imperatif

INT : Interogatif

IND : Indikatif

IND-DEK : Indikatif Deklaratif IND-DEK (-) : Indikatif Deklaratif Negatif IND-INT : Indikatif Interogatif

IND-INT Kt Tanya : Indikatif Interogatif menggunakan Kata Tanya IND-INT Ya/Tidak : Indikatif Interogatif yang memerlukan jawaban

singkat.

K : Keterangan

Kom : Komplemen

Kt Tanya : Kata Tanya

LSF : Linguistik Sistemik Fungsional

P : Predikator

PEN : Penawaran

S : Subjek

WK1 : Wacana Kelas 1

WK2 : Wacana Kelas 2

WK3 : Wacana Kelas 3

WK4 : Wacana Kelas 4

WK5 : Wacana Kelas 5

WK6 : Wacana Kelas 6

Vok : Vokatif

Daftar Arti Lambang

^ : diikuti

: Pilihan

: Direalisasikan

(31)

GLOSARI

Menurut Linguistik Sistemik Fungsional

Finit (Finite): fungsi gramatikal yang dapat digunakan untuk menentukan: (1) polaritas (positif atau negatif); (2) bentuk tanya; dan (3) kala (tense), terutama dalam bahasa Inggris. Finit dapat berdiri sendiri pada klausa yang mempunyai struktur “Subjek^Finit^Predikator”. Namun demikian, finit juga dapat berfusi (bergabung) dengan predikator di dalam verba (pada struktur “Subjek^Finit/Predikator”) dengan komplemen (pada struktur “Subjek^Finit/Komplemen”), dan dengan keterangan (pada struktur “Subjek^Finit/Keterangan”).

Fonologi: sumber pengungkapan kata sebagai suara yang dilafalkan. Fonologi juga merupakan sumber intonasi untuk merealisasikan pilihan gramatika secara langsung, sekaligus merupakan sumber ritme serta artikulasi silabi dan fonem.

Fungsi (nomina), fungsional (ajektiva): istilah umum yang digunakan untuk menyatakan kegunaan. Dalam Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), fungsi mengacu kepada tiga hal sebagai berikut

Fungsi ideasional: fungsi untuk mengungkapkan realitas fisik dan biologis, serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman.

Fungsi interpersonal: fungsi untuk mengungkapkan realitas social serta berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dan pendengar/pembaca..

Fungsi tekstual: fungsi untuk mengungkapkan realitas semiotis/simbol dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks.

Genre: secara sempit, jenis-jenis teks atau wacana; secara luas, konteks budaya yang melatbelakangi lahirnya teks. Secara teknis, genre adalah proses social yang berorientasi kepada tujuan yang dicapai secara bertahap, (a staged, goal-oriented social process) (Martin, 1992). Dikatakan “sosial” karena orang menggunakan genre untuk berkomunikasi dengan orang lain; dikatakan “berorientasi kepada tujuan” karena orang menggunakan genre untuk mencapai tujuan komunikasi; dan dikatakan “bertahap” karena untuk mencapai tujuan komunikasi; dan dikatakan “bertahap” karena untuk mencapai tujuan tersebut, biasanya dibutuhkan beberapa tahap melalui pembabakan di dalam genre (Martin dan Rose, 2003).

(32)

Kalimat: gugusan kata dalam satuan ortografis yang diawali oleh huruf besar dan diakhiri oleh tanda titik (.). Dalam LSF, kalimat tidak dibedakan dengan klausa dalam hal bahwa kalimat dalam klausa mempunyai kedudukan yang sama dalam tata bahasa, yaitu keduanya mengandung setidak-tidaknya subjek dan finit atau finit/predikator (Halliday, 1985: 192-193)

Keterangan: unsur di dalam residu yang biasanya dipenuhi oleh adverbia. Keterangan bersifat sirkumstansial, dan meliputi keterangan tempat, keterangan waktu, atau keterangan cara.

Klausa : gugusan kata yang mengandung setidak-tidaknya subjek dan finit atau finit/predikator.

Komplemen: unsur di dalam residu yang biasanya dipenuhi oleh nomina atau kelompok nomina yang berpotensi sebagai subjek. Selain oleh nomina atau kelompok nomina, komplemen dapat dipenuhi oleh ajektiva. Apabila komplemen diisi oleh nomina atau kelompok nomina, komplemen dapat disejajarkan dengan objek, baik objek langsung maupun objek taklangsung. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan komplemen yang diisi oleh ajektiva; objek tidak lazim diisi oleh ajektiva. Pada tradisi LSF, istilah objek tidak digunakan, dan pengertian objek sudah tercakup di dalam komplemen.

Leksikogramatika: kata-kata dalam susunannya. Leksikogramatika terdiri atas ”leksis” dan ”gramatika”. Pada aliran linguistik selain LSF, leksis dianggap sama dengan leksikon, yaitu kata yang terdaftar di dalam kamus yang lepas dari konteks. Pada LSF, leksis adalah kata yang selalu berada dalam konteks penggunaan pada teks. Leksis juga tidak pernah dipisahkan dari gramatika, yaitu seperangkat sistem bahasa yang menunjukkan pilihan makna. Pada aliran linguistik lain, gramatika dianggap sebagai model tentang sistem linguistik secara menyeluruh yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik (yang masing-masing merupakan domain yang berbeda). Sebaliknya, pada LSF gramatika merupakan bagian dari leksikogramatika (di samping leksis) yang terdiri atas morfologi dan sintaksis (yang masing-masing tidak dipisahkan menjadi domain-domain yang berbeda). Gramatika dan leksis (pada kombinasinya di dalam leksikogramatika) direalisasikan oleh fonologi/grafologi.

Linguistik: ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sistem komunikasi manusia.

(33)

bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk merealisasikan makna; dan (c) bahasa bersifat fungsional, yaitu bentuk bahasa yang digunakan mencermintak ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya (Wiranto, 1993).

Makna (meaning): bahasa yang mengekspresikan tentang dunia nyata atau dengan segala kemungkinan ataupun dunia imajinasi.

Makna metafungsional: makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual.

Makna ideasional: makna yang tercipta sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang digunakan untuk memahami alam sekitar dan untuk mengorganisasikan pengalaman penutur atau penulis tentang dunia nyata atau rekaan.

Makna interpersonal: makna yang tercipta sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang digunakan untuk melakukan aksi terhadap orang lain.

Makna tekstual: makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tulis atau lisan, yang runtun dan yang sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin, 1992: 13-21)

Metafungsi (nomina), metafungsional (ajektiva): fungsi abstrak bahasa, yaitu fungsi yang memungkinkan terciptanya makna pada saat bahasa digunakan. Metafungsi meliputi tiga wilayah fungsi sekaligus: ideasional, interpersonal, dan tekstual.

Modalitas: sistem yang meliputi pilihan modalisasi dan modulasi. Modalisasi bersifat indikatif dan mengacu kepada wilayah makna di antara ”ya” dan ”tidak” atau di antara polaritas positif dan negatif. Makna yang demikian menunjukkan pada kemungkinan (probabilitas) atau kebiasaan. Modulasi bersifat imperatif dan berkaitan dengan keharusan atau kesiagaan/kesediaan untuk melakukan sesuatu.

Modus: sistem klausa yang menunjukkan fungsi tuturan modus berada pada wilayah makna interpersonal, serta mewadai indikatif (yang meliputi pilihan deklaratif dan interogatif) dan imperatif.

Mood: kesatuan antara subjek dan finit.

(34)

menunjukkan aktivitas. Predikator dapat digunakan untuk menyatakan voice (aktif-pasif), proses (misalnya: material, mental, relasional), dan khususnya dalam bahasa Inggris, acuan waktu yang terkait dengan kala (tense). Perlu dicermati bahwa tidak semua klausa mengandung predikator. Klausa yang berstruktur ”Subjek^Finit/Komplemen” dan ”Subjek^Finit/Keterangan” tidak mengandung predikator.

Register: pilihan variasi bentuk bahasa yang dipengaruhi oleh konteks situasi (Halliday, 1975), register mencakup tiga aspek, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan moda (mode).

Medan: seperangkat urutan-urutan aktivitas yang berorientasi kepada tujuan-tujuan institusional secara global (Martin, 1992: 536). Medan berhubungan dengan organisasi objek atau aktivitas. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa medan berkaitan dengan pokok persoalan yang dibicarakan melalui penggunaan bahasa di dalam kelas. Medan berurusan dengan apa yang sedang berlangsung dan siapa melakukan apa dengan siapa.

Pelibat: negosiasi yang mencerminkan hubunan sosial di antara para pengguna bahasa yang terdapat di dalam teks (Martin, 1992: 523). Dalam konfigurasi makna interpersonal, pelibat berkenaan dengan jarak semiotika sosial yang mencakup tiga fungsi hubungan, yaitu status (status), kontak (contact), dan afek (affect). Status adalah posisi masing-masing partisipan di dalam teks, misalnya sejajar atau tidak sejajar. Kontak adalah intensitas hubungan atau derajat keterlibatan di antara partisipan, misalnya hubungan itu bersifat permanen, reguler, atau temporal. Adapun afek berkaitan dengan muatan emosional dalam hubungan di antara partisipan, sehingga afek dapat menunjukkan penilaian atau justifikasi positif/negatif di antara partisipan terhadap masalah yang terungkap di dalam teks.

Moda: seleksi pilihan dalam kerangka sistem teks (Halliday, 1978: 144), dan berurusan dengan peranan yang dimainkan oleh bahasa dalam merealisasikan aksi sosial (Martin, 1992: 508). Moda mencakup dua sisi, media dan sarana (channel). Dari sisi media, teks dapat dinyatakan secara lisan atau tulis. Dari sisi sarana, teks dapat dipublikasikan melalui televisi, radio, buku, jurnal, dan sebagainya.

Residu: unsur-unsur sisa selain subjek dan finit, yaitu predikator, komplemen, dan keterangan.

(35)

sistem berkenaan dengan kenyataan bahwa bahasa secara sintagmatis mempunyai sistemnya sendiri, dengan kaidah-kaidah yang ada.

Subjek: fungsi gramatikal yang dipenuhi oleh kategori nomina atau kelompok nomina yang kehadirannya tidak terkait dengan finit dan atau predikator.

Teks: satuan lingual yang dimediakan secara tulis atau lisan dengan tata organisasi tertentu untuk mengungkapkan makna dalam konteks tertentu pula. Istilah ”teks” dan ”wacana” dianggap sama, dan hanya dibedakan dalam hal bahwa wacana lebih bersifat abstrak dan merupakan realisasi makna dari teks.

(36)

ABSTRAK

UJARAN INTERPERSONAL DALAM WACANA KELAS : Analisis Linguistik Sistemik Fungsional, Liesna Andriany, Program S3, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Penelitian ini mengkaji ujaran interpersonal dalam wacana kelas dengan tujuan menjelaskan terjadinya sistem modus, struktur mood, modalitas, dan interpretasi konteks sosial dalam wacana kelas. Analisis dilakukan dengan mengkaji teks menurut satuan leksikogramatika yang merealisasikan ujaran interpersonal dengan menggunakan pendekatan analisis wacana di bawah payung teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dibantu dengan data kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif diuraikan dalam bentuk statistik sederhana berupa tabel dan persentase penggunaan unsur-unsur masalah yang diteliti, juga digunakan diagram untuk melihat tingkat perbandingan secara visual. Sumber data diperoleh dari 6 orang guru dan 232 siswa dari 3 sekolah di kota Medan.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa satuan leksikogramatika unsurnya dibangun dari subjek, predikator, komplemen, dan keterangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi leksikogramatika ujaran interpersonal dalam teks-teks yang diteliti menunjukkan bahwa seluruh modus (modus IND-DEK, IND-INT, IMP, dan PEN) ditemukan pada setiap teks baik direalisasikan guru maupun siswa. Modus DEK merupakan modus yang paling dominan digunakan. Penggunaan modus IND-DEK didorong oleh fungsi guru sebagai pemberi informasi/ilmu berkeinginan agar informasi tentang ilmu pengetahuan dapat sampai kepada siswa. Peringkat kedua yang dominan digunakan adalah modus IND-INT. Penggunaan modus IND-INT memotivasi siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu yang sedang dibicarakan, mengembangkan pola dan cara belajar aktif dari siswa, dan memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas. Urutan ketiga yang dominan digunakan adalah modus IMP. Modus IMP memotivasi siswa untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan kesiapannya memulai serangkaian aksi atau perbuatan dalam mencapai tujuan tertentu. Modus keempat yang dominan digunakan adalah modus PEN. Penggunaan modus PEN bersifat persuasif. Pada kenyataannya guru lebih banyak membuat fungsi ujar (IND-DEK, IND-INT, IMP, dan PEN) merupakan cerminan ideologi bahwa guru adalah pemegang kekuasaan manajerial di kelas, juga pemegang otoritas keilmuan.

(37)

penggunaan polaritas yang sebagian besar positif disebabkan oleh guru dan siswa mempunyai sikap positif terhadap pokok persoalan yang disajikan.

Modalitas yang ditemukan adalah modalisasi kemungkinan dengan derajat menengah dan tinggi mendominasi jenis dan nilai modalisasi lain. Sikap seperti ini didorong oleh keyakinan guru atas kepastian atau kebenaran terjadinya informasi yang diungkapkan. Sementara itu, siswa lebih banyak menggunakan modalisasi-kemungkinan dengan derajat menengah ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepastian dan kebenaran yang terjadi berada pada tingkat menengah ke bawah. Penggunaan modulasi yang didominasi oleh keharusan dengan derajat menengah dan tinggi banyak digunakan oleh guru yang bernada imperatif dan instruktif. Modalitas ini didorong oleh posisi guru sebagai pihak yang lebih tinggi daripada siswa.

(38)

ABSTRACT

INTERPERSONAL UTTERANCES IN CLASSROOM DISCOURSE: Systemic Functional Linguistic Analysis, Liesna Andriany, Program S3, Postgraduate of North Sumatra University, Medan

This research studies the interpersonal utterances in classroom discourse. This research aims to describ the form of modus system, mood structure, modality and interpretation of social context in classroom discourse. The analysis is conducted by studying the text according to the lexicogramatical units that realize the interpersonal utterances by using the discourse analysis approach in theory of Systemic Functional Linguistic.

This research is a qualitative research that supported by quantitative data. The results of quantitative analysis is described in the form of simplest statistic form such as table and percentage of using the studied problem elements and use the diagram to see the comparison level visually. The data are collected from 6 teachers and 232 students from 3 schools in Medan .

The results of this research that the interpersonal meaning of classroom discourse text is studied and realized by lexicogramatical units, i.e. Subject, predicate, complement and adjunct. The results of research indicates that the representation of interpersonal meaning lexicogramatical in the studied text by clause system focus indicates that the using of modus (modus of DEK, IND-INT, IMP and PEN) on each text that realized either by teachers or the students. Modus of IND-DEK is used as a consequence of the function of teacher as the giver of information/knowledge so the information that related to any knowledge aspect especially Bahasa can be accepted by the student. The consequences of the using of IND-INT modus, increasing the participation of students in learning and teaching activity, establishing students’ interest and desire to the discussed topic, developing a pattern and method of learning and teaching activity, because thinking itself actually is asking and focusing the concentration of the students to the discussed issue. The IMP modus is used to establish the motivation and encourage the students to do anything that cause their readiness to begin the action or deed in achieving the certain goal. PEN modus which is used is persuasive. The using of ellipsis caused by the desire to make the pronunciation efficient and also for the teachers who control the interaction. In fact, the teachers more make the pronunciation function is the reflection of the ideology that teacher is the managerial power holder in the class, as well as the knowledge authority holder.

(39)

The most dominant mood structure is Subject^Finite caused by the decision making by the speaker related to the topic of issue which is presented usually done without a doubt. As well as the using of polarity which almost all are positive because the teacher and student have a positive behavior to the presented issue.

Related to the modality issue found that the probability modality with the high and medium degree is more used by the teachers than another type and modality values. This is such behavior caused by teachers’ trust on the certainty or rightness to the happening information revealed. On the other hand, the students more use probability modality with the middle to the lower indicates that certainty level and rightness which happen in certainty and rightness on middle level to lower. The using of modality that dominated by an obligatory with the middle degree and higher more used by the teachers with imperative tone and instructive because the teachers pose themselves as the higher party than the students. From the all modality, the most dominant is obligatory modality with the middle and high degree.

(40)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bahasa merupakan media penyalur pesan informasi ilmu pengetahuan, sarana komunikasi, dan interaksi di kelas, merupakan alat penting yang senantiasa harus diperhatikan oleh kalangan yang terlibat dalam pendidikan. Dalam fungsinya sebagai mempertukarkan pengalaman (interpersonal), bahasa yang dipergunakan di kelas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan corak berlangsungnya proses belajar-mengajar di kelas. Dari corak bahasa yang digunakan di kelas dapat ditentukan corak berlangsungnya proses belajar-mengajar di kelas; proses belajar-belajar-mengajar itu berlangsung hidup, dinamis, mengesankan, ataukah berlangsung tegang, monoton, dan membosankan.

(41)

Pada proses belajar mengajar yang berbasis KBK, pembelajaran berpusat pada siswa (student oriented).Penekanan pembelajaran yang berpusat pada siswa memungkinkan dapat mengeksplorasi potensi siswa secara optimal sehingga tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang Sisdiknas dapat terealisasi. Namun demikian dalam implementasi KBK di lapangan masih banyak kendala/kelemahan sehingga KBK yang dimulai tahun 2001 dan diterapkan secara meluas tahun 2004 (sehingga dikenal dengan kurikulum 2004) hasilnya belum seperti yang diharapkan (Suyanto, 2006). Terbukti dengan data dalam Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan

diluncurkan di New York pada Senin, 1 Maret 2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Peringkat pendidikan Indonesia dari peringkat 65 pada tahun lalu (2010) menjadi 69 pada tahun ini (2011) cukup menyesakkan dada. Pasalnya, peringkat pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan sebuah bangsa.

(42)

belajar-mengajar di kelas. Berbahasa sesuai dengan keadaan siswa akan sangat membantu terserapnya pesan yang disampaikan oleh guru kepada diri siswa (Nababan, 1987:ii) .

Kemampuan ujaran interpersonal guru dan siswa di dalam proses belajar-mengajar sangat membantu terwujudnya suasana proses belajar-belajar-mengajar yang dinamis dan mengesankan. Kemampuan tentang kapan, di mana, dan dalam situasi yang bagaimana jenis dan fungsi klausa tertentu patut diujarkan, dapat menentukan tingkat keberterimaan pesan yang disampaikan. Misalnya, Modus interogatif, dalam situasi yang bagaimana patut dilakukan pelibat pada saat proses belajar-mengajar di kelas, akan dapat membantu menentukan keberterimaan materi pelajaran.

Kemampuan guru dan siswa dalam merealisasikan atau mengkodekan pengalaman ke dalam bentuk linguistik yang sesuai dengan latar, topik, hubungan sosial, dan hubungan psikologisnya, akan membentuk hubungan sosial yang baik di dalam kelas. Penggunaan modalitas merupakan konsep penting dalam mengekspresikan makna interpersonal karena pembicara dapat memberikan pandangan, pertimbangan, atau pendapat pribadi tentang pesan yang disampaikannya dalam interaksi.

(43)

interpersonal bahasa di kelas tidak hanya sebagai penyampaian pesan informasi ilmu pengetahuan belaka, namun harus dapat pula berperan sebagai perangsang pikiran siswa, penarik perhatian, pendorong motivasi, mempermudah dan memperjelas konsep-konsep abstrak, serta pemberi pengalaman visual kepada siswa.

Mengingat begitu pentingnya pesan ilmu pengetahuan yang akan disampaikan melalui ujaran guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar itu, seyogyanyalah masalah ujaran interpersonal dalam wacana kelas harus menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang ujaran interpersonal yang digunakan guru dan siswa dalam kelas.

(44)

pengalaman mengajar dan memiliki penguasaan materi pelajaran memadai, serta penggunaan bahasa yang baik.

Penelitian ini akan dikaji dengan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang dikembangkan dalam tiga metafungsi bahasa Halliday (1985, 1994, 2004). Penelitian ini juga menggunakan kerangkakerja Martin (1992), dan Eggins (1994, 2004). Kerangkakerja penelitian ini akan difokuskan pada metafungsi interpersonal, yaitu hubungan pengguna bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Interpersonal melibatkan ekspresi dan pemahaman dari perasaan dan sikap, dan membuat hubungan antara partisipan dalam berinteraksi (Thompson, 1996). Ujaran interpersonal adalah kajian makna fitur leksikogramatikal dalam teks yang mengespresikan dan merealisasikan maknanya dalam dimensi interpersonal (dalam LSF istilah leksikogramatikal digunakan untuk mengacu pada fitur kosakata dan sintaks – leksis dan tatabahasa yang ditemukan dalam teks).

Konsep dasar lain dalam LSF adalah beberapa kajian bahasa yang berbengaruh pada konteks bahasa yang digunakan (Martin, 1999). Hal ini berkaitan pada konsep genre, dimana teks dari genre mempertimbangkan pilihan Field, Mode, dan tenor (Halliday & Martin, 1993:36.). Tiga aspek Field, Mode,

(45)

kelas dipengaruhi oleh hubungan guru–siswa yang merupakan seperangkat fitur leksikogramatikal teks.

1.2 Masalah Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memaknai perilaku semiotik guru dan siswa yang terepresentasi dalam verbal bahasa dalam kelas. Berikut ini dikemukakan masalah penelitiannya. Rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lebih operasional dijabarkan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah sistem modus ujaran interpersonal dalam wacana kelas, khususnya satuan-satuan leksikogramatika apa sajakah yang merealisasikan sistem modus tersebut?

2. Bagaimanakah struktur mood ujaran interpersonal dalam wacana kelas? 3. Bagaimanakah modalitas ujaran interpersonal dalam wacana kelas? 4. Bagaimanakah interpretasi ujaran interpersonal dalam wacana kelas itu?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi objektif tentang ujaran interpersonal dalam wacana kelas. Tujuan umum tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi tujuan khusus berikut ini.

1. Realisasi sistem modus ujaran interpersonal dalam wacana kelas, khususnya satuan-satuan leksikogramatika yang merealisasikan sistem modus tersebut. 2. Realisasi struktur mood ujaran interpersonal dalam wacana kelas.

(46)

4. Menginterpretasikan ujaran interpersonal dalam wacana kelas yang diteliti. Ujaran interpersonal antara guru dan siswa di dalam wacana kelas ditandai dengan sistem modus, struktur mood, dan modalitas yang direalisasikan oleh satuan-satuan leksikogramatika tertentu. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini juga menjabarkan alasan mengapa terjadi realisasi ujaran interpersonal sebagaimana ditemukan dalam wacana kelas.

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini mempunyai manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dikemukakan berikut ini.

Secara teoretis, penelitian ini memberikan sumbangan bagi perkembangan teori linguistik dan analisis wacana. Bagi teori linguistik, penelitian ini memberikan sumbangan berupa deskripsi tentang interpersonal Linguistik Sistemik Fungsional penggunaan bahasa di kelas. Bagi analisis wacana, penelitian ini merupakan data empiris sekaligus model analisis wacana bahasa Indonesia dalam konteks tertentu.

(47)
(48)

BAB II

KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA,

DAN KERANGKA PIKIR

Bab 1 sebelumnya telah dijelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, apa yang akan dibahas dan tujuan serta manfaat penelitian. Pada bagian ini akan dibagi menjadi empat yaitu konsep dasar, landasan teori, kajian pustaka, dan kerangka pikir. Konsep dasar terdiri dari wacana dan teks, wacana kelas, dan klausa. Landasan teori yang terdiri dari teori Linguistik Sistemik Fungsional, alasan memilih teori Linguistik Sistemik Fungsional, perbedaan antara tatabahasa formal dan tatabahasa fungsional, kemudian bagian berikutnya adalah orientasi teori 1 latar belakang teori Linguistik Sistemik Fungsional, dan orientasi teori 2: kerangka kerja teori Linguistik Sistemik Fungsional. Selanjutnya kajian pustaka dan kajian terdahulu. Berikut ini akan dikemukakan secara mendetail.

2.1 Konsep Dasar

(49)

dasar yang dimaksud adalah (1) wacana dan teks, (2) bahasa dalam kelas, dan (3) klausa.

2.1.1 Wacana dan Teks

Wacana dan teks selalu dicampuradukkan pengertiannya. Seperti yang dikemukakan Sinar (2008:6), pemakai bahasa selalu mengasosiasikan istilah wacana sebagai teks; makna mereka selalu dicampur baur, digunakan secara bertukar oleh penutur, penulis dan pengguna bahasa lainnya. Usulan yang membakukan batasan istilah di antara istilah wacana dan teks, seperti yang ditulis Sinar (2008:7) yang menyatakan istilah wacana cenderung digunakan di dalam mendiskusikan hal-hal yang berorientasi pada faktor sosial, sementara istilah teks cenderung digunakan dalam membicarakan hal-hal yang berdasar/berorientasi kepada bahasa.

(50)

Menurut aliran fungsional, antara teks dan wacana merupakan bentuk kembar yang cenderung tidak dapat dipisah; teks dan wacana adalah sama-sama unit atau satuan bahasa yang lengkap baik lisan maupun tulisan. Wacana memerlukan teks sebagai realisasinya dengan kata lain teks adalah bentuk konkrit wacana.

Wacana sebagai penggunaan bahasa, yaitu bahasa digunakan sesuai keperluannya. Wacana yang dilahirkan bukan sekedar dalam format kalimat, tetapi bisa di bawah kalimat seperti klausa, frase, atau di atasnya; paragraf, teks yang panjang. Wacana ini mengandung makna yang berbeda-beda, bergantung pada konteks dimana wacana atau bahasa itu digunakan (register). Oleh sebab itu, kajian wacana adalah kajian bahasa berdasarkan konteks penggunaannya.

Teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis (Halliday, 2002:26). Teks adalah unit arti atau unit semantik yang bisa direalisasikan oleh kata, frase, klausa, paragraf ataupun naskah. Akan tetapi teks bukan unit tatabahasa yang terdiri atas morfem, kata, frase dan klausa. Seperti yang dikemukakan Webster (2002:3) bahwa ukuran bukan merupakan masalah ketika menentukan sebuah teks. Dalam mendefinisikan teks, ukuran besar kecilnya teks bukanlah masalah, melainkan teks adalah pilihan semantik (makna) dalam konteks sosial; teks dideskripsikan sebagai konsep semantik, peristiwa sosiologis.

(51)

seperangkat opsi-opsi dalam lingkungan paradigmatik-subsistem inemerasi yang membuat sistem semantik. Teks adalah proses semantik yang terkode dalam sistem leksikogramatika. Disisi lain teks dan kejadian sosiologis adalah suatu proses sosial semantik. Sebagai proses yang terus menerus mempunyai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.

Dalam kajian disertasi ini yang menjadi objek penelitian ini, peneliti memahami fenomena wacana sebagai fenomena yang sama dengan teks. Dengan kata lain, istilah teks dan wacana adalah istilah yang berbeda tetapi mengandung atau menunjuk pada fenomena yang sama.

2.1.2 Wacana Kelas

Pembahasan mengenai wanana kelas sudah banyak dilakukan, pada penelitian ini yang dimaksud dengan istilah wacana kelas dikaitkan dengan teks linguistik. Istilah wacana kelas sering dikaitkan dengan bahasa dalam kelas (classroom language). Hal ini dikarenakan istilah juga menunjukkan jenis register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa di kelas (classroom language) identik dengan ‚classsroom register’ (lihat Halliday, 1987:610).

(52)

dan Martin (1992:8) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk mengekspresikan ide-ide dari proses fisik dan biologis saja, tetapi lebih dari itu, melalui bahasa seseorang dapat menginterpretasikan atau ‘menafsirkan’ pengalaman dengan pemindahan pengalaman kita ke dalam makna. Pengekspresian bahasa ilmu pengetahuan, banyak konsep dan pengetahuan yang dibentuk, karakteristik bahasa ilmu pengetahuan dihasilkan oleh cara berpikir yang spesifik.

Dengan demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang, pembelajar tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie bahwa pendidikan sebagai proses inisiasi dengan cara membincangkan dan perintah, merupakan pengalaman yang dihargai (1991:237).

Mackey (1967) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam situasi proses kegiatan pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dan siswa. Kesimpulan ini didukung oleh Arthur (1983) yang mengemukakan bahwa dalam kelas terjadi pertukaran tindak atau interaksi selama proses belajar mengajar.

(53)

Kegiatan pembelajaran di kelas adalah membelajarkan siswa. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa dalam konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman.

(54)

2.1.3 Klausa

Istilah klausa yang digunakan dalam tatabahasa formal dengan LSF tidak sama. LSF mengistilahkan klausa sama dengan kalimat dalam tatabahasa formal. Menurut Eggins (2004: 255-256) istilah klausa sendiri dinamai klausa simpleks yang artinya setara dengan kalimat simpel/sederhana dalam tatabahasa formal dan klausa kompleks setara dengan kalimat majemuk dan kalimat kompleks.

Klausa pada teori LSF merupakan satuan yang sempurna dan merupakan satuan yang tertinggi. Dikatakan satuan yang sempurna karena satuan itu dapat sekaligus membawa ketiga metafungsi bahasa yaitu bahwa setiap klausa membawa fungsi ideasional, interpersona, dan tekstual. Menurut Matthiesen (1992), pada prinsipnya setiap unit bahasa (morfem, kata, grup/frasa, klausa) cenderung membawa aksi dalam realisasi yang berbeda-beda. Akan tetapi dari semua unit tatabahasa itu hanya klausa yang sekaligus merealisasikan aksi bersamaan dengan aksi yang lain (pengalaman dan perangkai).

(55)

jawab untuk validitas tentang apa yang sedang dikatakan; sedangkan aktor berfungsi sebagai representasi beberapa proses dalam pengalaman manusia secara terus menerus. Aktor merupakan unsur penutur yang berperan sebagai seseorang yang melakukan perbuatan.

Klausa dalam pandangan LSF merupakan suatu gabungan kejadian/peristiwa, kombinasi dari tiga struktur yang berbeda yang berasal dari komponen-komponen fungsional yang berbeda. Ketiga struktur ini mengungkapkan tiga rangkaian pilihan semantik yaitu (1) struktur transitivitas (experiential), menyatakan makna representasi tentang apa itu klausa, khususnya proses yang dihubungkan dengan partisipan dan sirkumstan; (2) struktur mood (interpersonal), menyatakan makna interaksi, apa yang sedang dilakukan klausa, sebagai suatu pertukaran verbal antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca; dan (3) struktur tema (textual) menyatakan pengorganisasian pesan, bagaimana suatu klausa mempunyai hubungan dengan wacana yang ada di lingkungannya, dan konteks situasi yang dihasilkan klausa itu.

(56)

keduanya yaitu organisasi kosakata dan proses pilihan leksikal. Dalam linguistik sistemik, leksis dan gramatika (lexicogrammar) merupakan sumber yang mempersatukan.

2.2 Landasan Teori

Bagian ini akan menjelaskan secara mendetail kerangka kerja teori LSF yang dikemukakan oleh M.A.K. Halliday dan yang telah dikembangkannya bersama pengikutnya. Penting dijelaskan teori Linguistik Sistemik Fungsional, alasan memilih teori Linguistik Sistemik Fungsional, dan perbedaan tatabahasa formal dan tatabahasa fungsional.

2.2.1. Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Landasan berpijak teori yang digunakan adalah LSF yang dikemukakan Halliday. Menurut kajian teori ini, peran linguistik dalam analisis teks adalah membedakan fungsi dalam konteks paradigma dan fungsi dalam konteks sistematika (Halliday, 1985:xxviii). Konteks paradigma berfungsi sebagai sistem, sementara konteks sistematika dikenal sebagai struktur bahasa. Dengan sistem orang dapat menginterpretasikan hubungan secara paradigmatik.

(57)

Istilah teori linguistik (L) mempunyai dua implikasi yaitu (1) analisis wacana dengan mengemukakan suatu teori bahasa yang mempresentasikan suatu teori khusus dan kerangka penelitian dalam analisis wacana masuk ke dalam dan timbul dari suatu analisis yang dinamakan “linguistik” dan mengutip prinsip-prinsip teori Linguistik Sistemik Fungsional, (2) dengan mengidentifikasi fenomena analisis wacana mengimplikasikan pendekatan dasar bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin. Selanjutnya istilah (F) dalam analisis wacana mengimplikasikan tiga hal yaitu: (1) realisasi fungsional dari sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara teratur bersifat horizontal dan sintagmatis, (2) fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan (3) fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada berprofesi dalam tingkat dan dimensi bervariasi dalam bahasa yang dikaji. Sedangkan sistemik (S) berorientasi kepada tiga hal, yaitu bahwa kajian itu memperhatikan (1) hubungan sistemik dan pilihan-pilihan mereka dalam berbagai kemungkinan dalam sebuah jaringan sistem hubungan-hubungan dan pilihan-pilihan dimulai dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik (2) sistem-sistem makna yang terlibat dan interelasi dalam kaitannya dengan fenomena yang diinvestigasi, dan (3) sistem-sistem makna yang mendasari di belakangnya, di depannya, di bawahnya, di atasnya, dan di sekelilingnya atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi (Sinar, 2003:14-15).

(58)

1. Bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial. Sebagai semiotik secara umum bahasa terdiri atas dua unsur yaitu ‘arti’ dan ‘ekspresi’ dengan hubungan, arti direalisasikan oleh ekspresi. Semiotik sosial teridiri dari tiga unsur, yaitu ‘arti’, ‘bentuk’, dan ‘ekspresi’. Hubungan ketiga unsur ini yaitu, arti (semantik) direalisasikan bentuk (lexicogrammer) dan bentuk ini dikodekan oleh ekspresi (phonology/grophology). Teori LSF memandang bahasa dari ketiga unsur tersebut yaitu semantik, tata bahasa dan fonologi/grafologi. Semantik direalisasikan tata bahasa dan tata bahasa diekspresikan fonologi (dalam bahasa lisan) atau grafologi (dalam bahasa tulis). Hubungan arti dan bentuk bersifat alamiah, yaitu berdasarkan konteks sosial, sedangkan hubungan arti dan ekspresi bersifat arbitrer.

2. Teori LSF berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial. Teks adalah bahasa yang berfungsi atau yang sedang melakukan tugas (Halliday, 1994:13). Bahasa yang berfungsi (fungsional) memberikan arti kepada pemakai bahasa. Jadi teks adalah unit semantik bukan unit tata bahasa, tetapi sebagai unit arti teks dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa berupa paragraf, klausa, frase, group, dan kata. Arti itulah yang menjadi kajian LSF.

Konsep pemakaian bahasa dalam teori LSF mencakup dua hal, yaitu konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik mengacu kepada unit linguistik lain yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan misalnya, Dian membaca buku itu dengan lambat, Dian membaca dan dengan lambat

(59)

disebut konteks (context) internal karena konteks itu berada di dalam dan menyampaikan teks yang sedang dibicarakan.

2.2.2. Alasan Memilih Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Penelitian ini secara umum menerapkan kerangka teori LSF. Teori ini digunakan karena (1) teori LSF mencakup analisis aspek linguistik dan aspek semantik, dan (2) teori LSF mempunyai alat yang lengkap untuk mengkaji wacana. Teori LSF diterapkan karena teori ini mempunyai kelebihan dalam memadukan analisis formal bahasa sebagai kode dengan analisis fungsional bahasa sebagai perilaku, dan meletakkan dalam perspektif sosial-semiotik.

Linguistik dalam pandangan LSF merupakan pengertian yang membedakan fungsi dalam konteks paradigma dan fungsi dalam konteks sistematika. Pengertian fungsi dalam konteks yang umum dikenal sebagai struktur bahasa. Sistem menyebabkan orang dapat menginterpretasikan hubungan paradigmatika sedangkan struktur bahasa memungkinkan orang menginterpretasikan hubungan sintakmatika

(60)

linguistik umum yang dapat digunakan untuk melakukan analisis mulai dari tataran fonologi sampai tataran di atas wacana.

Tata bahasa fungsional, dalam hal ini LSF ancangan Halliday (1994). Matthiessen (1992), dan Martin, Matthiessen dan Painter (1997), merupakan bagian dari teori yang memerikan kerangka LSF dari sudut sintagmatik. Dengan demikian, kajian leksikogramatika bukanlah akhir dari tujuan kajian LSF, Kajian leksikogramatika hanya merupakan salah satu sarana untuk dapat memahami dan menjelaskan aspek-aspek lain yang terkait dengan unsur-unsur linguistik dalam wacana. Hal ini merupakan ciri pembeda LSF dari teori-teori tata bahasa lain. Ciri pembeda lainnya adalah pelabelan yang didasarkan pada fungsional semantik Martin (1992), Matthiessen (1992).

(61)

sebagai subordinatnya. Keterpaduan tersebut dapat dilihat dalam gambar susunan semiotik bahasa berikut ini.

Semiotik Konotatif

Konteks

Semiotik Linguistik

[image:61.595.123.511.184.339.2]

Denotatif

Gambar 2.1: Susunan Semiotik Bahasa (Martin, 1992: 495)

Dalam perspektif tatabahasa fungsional keberadaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari (1) teks, (2) sistem, dan (3) elemen pembentuk struktur linguistik (Halliday, 1985:xiii). Teks (Aminuddin, 2002:10) merujuk pada wujud penggunaan bahasa secara konkrit, baik dalam bentuk tuturan lisan maupun tulisan. Sebagai bentuk penggunaan bahasa, tuturan lisan maupun tulisan, kehadirannya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Sementara sistem mengacu pada kebermaknaan hubungan komponen fungsional, yang merujuk pada komponen ideasional, interpersonal dan tekstual. Karena komponen sistemis itu mengacu pada fungsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan aspek struktur kebahasaan, Halliday menyebutnya sebagai metafunction (Halliday, 1985:xv).

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa landasan analisis wacana dalam penelitian ini tepat bila menggunakan kerangka LSF. Pengkajian bahasa selalu bermakna kajian keseluruhan bahasa yang dikaitkan dengan kajian keseluruhan

(62)

konteks dimana bahasa tersebut digunakan. Konsekuensinya, pengkajian bahasa tidak hanya dari segi bahasanya saja tetapi juga di luar bahasa yang ada relevansinya potensial untuk diteliti dan dianalisis.

2.2.3. Perbedaan antara Tatabahasa Formal dan Tatabahasa Fungsional

Pada bagian di atas telah dikemukakan pengertian teori LSF dan alasan dipilihnya teori LSF sebagai landasan analisis data pada penelitian ini, maka pada bagian ini akan dibahas perbedaan tatabahasa formal dan tatabahasa fungsional, dan terakhir penjelasan tentang tatabahasa LSF yang merupakan tatabahasa fungsional.

(63)

Pendekatan fungsional untuk mengkaji bahasa, yang disebut dengan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) juga menguraikan kalimat-kalimat. Lock (1996:3) mengemukakan bahwa kajian dasar analisis tatabahasa fungsional adalah memahami bagaimana tatabahasa bekerja sebagai sumber untuk membuat dan mengganti makna.

Halliday menunjukkan bahwa tatabahasa tidak dikembangkan dalam isolasi dan makna direalisasi dalam konteks situasi. Tatabahasa dalam LSF diarahkan dalam semantik. Halliday (1996:7) mengemukakan bahwa fungsi bahasa manusia ada dua jenis yaitu ‘bahasa membentuk pengalaman manusia dan fungsi tatabahasa adalah menafsirkan’. ‘Bahasa membentuk proses sosial dan fungsi tatabahasa adalah membawa proses itu dan dikemukakan melalui makna’.

Dengan kata lain, tatabahasa mentransformasi pengalaman ke dalam makna. Selanjutnya Halliday (1996: 8 & 35) menambahkan bahwa tatabahasa adalah teori pengalaman manusia dan tatabahasa adalah sebuah teori umum pengalaman; oleh karena itu, membangun sebuah teori tentang tatabahasa adalah seperti memahami bagaimana tatabahasa membangun teori pengalaman manusia. Dengan demikian, tatabahasa yang ditemukan pada penelitian ini diharapkan dapat membangun teori tatabahasa dalam pengalaman penggunaan bahasa di kelas.

2.2.4 Orientasi Teori 1: Latar Belakang Teori

(64)

dibahas mengenai pengertian LSF, bahasa adalah sistem semiotik sosial, bahasa adalah fungsional, bahasa adalah kontekstual, metafungsi bahasa, konteks situasi, dan model-model sosial konteks pada LSF. Di bawah ini akan dikemukakan satu persatu.

Di negara-negara maju LSF banyak dimanfaatkan di dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris (Adenan, 2001:1). Penerapan LSF terhadap linguistik dimulai dari aplikasi-aplikasi penelitian yang menghasilkan teori sampai kepada tugas-tugas untuk menyelesaikan masalah.

Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada makna interpersonal dalam wacana kelas. Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang dikemukakan Halliday merupakan dasar teori untuk menganalisis data pada penelitian ini. Berdasarkan teori Halliday (1975, 2004), kajian interpersonal termasuk dalam kajian wacana teks yang dilakukan dalam tiap-tiap klausa. Hal ini disebabkan klausa dipandang sebagai unit yang tertinggi di dalam bahasa karena klausa memiliki tiga fungsi bahasa sekaligus yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman.

(65)

Kajian bahasa yang didasarkan pada LSF berorientasi pada deskripsi bahasa sebagai sumber makna bukan sistem kaidah, dengan kata lain kajian difokuskan pada potensi makna penutur (apa yang mereka maksud) bukan pada batasan-batasan apa yang mereka bisa katakan (Halliday & Martin, 1993:22). Hal ini berarti bahwa dalam memakai bahasa, seseorang melakukan sesuatu yakni menyampaikan arti atau fungsi, yang direalisasikan melalui bentuk bahasa dengan memiliki sejumlah arti yang tersedia, yang disebut sistem makna (Halliday, 1994:xiv). Pendekatan ini tepat untuk mengkaji bahasa yang digunakan di kelas dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan penelitian ini.

2.2.4.1 Pengertian Linguistik Sistemik Fungsional

Setiap kajian bahasa berdasarkan pada suatu pendekatan, tidak ada kajian bahasa yang bebas terhadap anggapan dasar. Pada konsep LSF dikemukakan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan arti tersebut.

(66)

model bahasan Halliday yang akan diambil sebagai dasar kerangka kerja untuk penelitian ini.

2.2.4.1.1 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial.

Akar pandangan Halliday adalah bahasa sebagai sistem semiotik sosial (Halliday, 1985:3). Bahasa sebagai semiotik sosial yang terjadi dari tiga unsur (yang juga disebut tiga tingkat), yakni ‘arti, bentuk, dan ekspresi, yang secara teknis disebut semantik, tata bahasa (lexicogrammar) dan fonologi (lisan), grafologi (tulisan), atau isyarat (sign). Berbeda dengan semiotik umum, semiotik bahasa terjadi dari tiga komponen itu, yakni arti (semantik), bentuk (tata bahasa), dan ekspresi, yang berupa bunyi, tulisan, atau isyarat. Arti direalisasikan oleh bentuk dan selanjutnya bentuk direalisasikan ekspresi (Saragih, 2006:227).

Ketiga unsur bahasa membentuk semiotik yang terhubung dengan realisasi, yakni ‘arti’ atau semantik direalisasikan oleh bentuk atau lexicogrammar (lexis adalah kosa kata dan grammar adalah tata bahasa), dan selanjutnya bentuk diekspresikan oleh bunyi (phonology) dalam bahasa lisan atau sistem tulisan (graphology) dalam bahasa tulisan. Hubungan ketiga unsur ini dalam persepsi bahasa sebagai semiotik sosial. Lihat bagan berikut ini.

‘Arti’ Bentuk Ekspresi

(67)

mengikuti dua tahap, yakni pertama ‘arti’ direalisasikan dalam susunan kata (wordings) dan penyusunan kata ini disebut tata bahasa (lexicogrammar). Seterusnya, ‘arti’ yang terealisasi di dalam kata yang telah terstruktur menurut tata bahasa diekspresikan dalam bunyi (bahasa lisan) atau dalam huruf (bahasa tulisan). Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia seseorang ingin menyampaikan arti membersihkan papan tulis, arti itu direalisasikan oleh berbagai struktur di dalam lexicogrammar (tata bahasa) dan diekspresikan dengan tulisan.

Misal kalimat yang dapat dikemukakan (1) Kotor sekali papan tulis ini.

(2) Alangkah baiknya kalau papan tulis ini bersih.

(3) Apakah kamu tidak merasa risih melihat papan tulis ini? (4) Tolong bersihkan papan tulis itu!

[image:67.595.108.514.492.620.2]

(5) Bersihkan papan tulis itu!

Tabel 2.1: Realisasi Semiotik Bahasa

Arti Bentuk Ekspresi

1. Deklaratif

2. Interogatif

3. Imperatif + tolong 4. Imperatif

Kotor sekali papan tulis ini Apakah kamu tidak merasa risih melihat papan tulis ini?

Tolong bersihkan papan tulis itu! Bersihkan papan tulis itu!

“Membersihkan papan tulis” dapat direalisasikan dengan beberapa unsur leksikogrammar atau lebih.

(68)

menentukan dan ditentukan oleh konteks. Keadaan ini dinyatakan sebagai bahasa berkonstrual (construal) dengan konteks sosial. Dengan pengertian ini konteks dan teks saling menentukan: konteks menentukan teks dan teks menentukan konteks.

Istilah semiotik sosial adalah hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia yang memiliki arti, dan arti tersebut akan dimaknai oleh orang-orang yang saling berinteraksi dengan melibatkan lingkungan arti tersebut. Konteks sosial berada di luar bahasa, yang membentuk semiotik konotatif terhadap bahasa.

Semiotik konotatif dalam konteks sosial memiliki ‚arti’ tetapi tidak memiliki ekspresi. Konteks sosial di satu sisi adalah semiotik konotatif, tetapi di sisi lain bahasa adalah semiotik denotatif (Saragih, 2006:224). Semiotik bahasa dan konteks sosial membentuk semiotik konteks sosial dan teks adalah gabungan semiotik denotatif dan semiotik konotatif.

2.2.4.1.2 Bahasa adalah Fungsional

(69)

merangkai pengalaman (metafungsi bahasa), (iii) setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar.

Bahasa diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, dalam arti bahasa adalah fungsion

Gambar

Tabel 4.9: Klausa Major..................................................................
Gambar 2.1: Susunan Semiotik Bahasa (Martin, 1992: 495)
Tabel 2.1: Realisasi Semiotik Bahasa
Gambar 2.2: Hubungan Konteks dengan Bahasa (Adaptasi dari Martin 1992:494)
+7

Referensi

Dokumen terkait

pada kelompok kata yaitu kelompok nomina yang terdapat dalam klausa atau. kalimat, bukan mencakup teks

Referensi adalah unsur yang memiliki fungsi memberikan acuan, menegaskan situasi dalam sebuah teks dan menyatakan sesuatu dalam topik yang sama, selain itu dapat

Residu dalam kalimat di atas adalah "akan kami tambahkan lagi kredit start-up milenial." Residu ini merinci bahwa subjek "kami" akan melakukan tindakan "menambahkan lagi" terhadap