• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Polresta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Polresta Medan)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Noach simanjuntak, 1984, Kriminologi, Penerbit tarsito, Bandung.

Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bryan Garner, Black Law Dictionary, (Oxford University,1999)

R. Soesilo, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Kesembilan, Penerbit Polieta, Bogor.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta. ABRI MABES Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1987, Himpunan JUKLAK

dan JUKNIS Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta. Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaiaan Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP,

Alumni Bandung.

Djoko Prakoso, 1987, POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Bina aksara, Jakarta.

(2)

R. Soesilo, 1989, Taktik dan Teknik dalamPenyidikan Perkara Kriminal, Politea, Bogor.

D.P.M. Sitompul, Edwar Syahperenong, 1985, Hukum Kepolisian di Indonesia (suatu Bunga Rampai), Transito, Bandung.

M. Faal, SH, M.H.Dilp Es, 1991, Penyeringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Santosa, diktip, oleh Ninik Widivanti, Yulius Waskita, 1987, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina aksara, Jakarta.

G.W. Bawengan, 1991, Pengantar Psikologi Krominal, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Chainur Arrasijd, 1988, Pengantar Psikologi Kriminal, Yani Corporation, Medan. Ruslan Prawiro, 1983, Kependudukan Teori Fakta dan Masalah, Alumni

Bandung.

Stephan Huewiz, disadur oleh, Ny, Muljatno, 1986, Kriminologi, Bina Aksara, Jakarta.

Simandjuntak, B. 1981. Pengantar Krimonologi dan Patologi Sosial. Tarsito. Jakarta.

Supardi Ramlan, Patofisiologi Umum, (Bandung : Rineka Cipta, 1998)

Ninik Widiyanti dan Yuius Wastika, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya ditinjau dari Kriminologi dan sosial, Pradnya Paramita, Jakarta.

(3)

Barda nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, citra Aditiya Bakti, Bandung.

Yesmil Anwar, SH., M.Si. dan Andang, SH., M.H. 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung.

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Wawancara :

Hasil wawancara dengan Iptu Pol. M. Idris Di Polresta Medan, Tanggal 19 Juni 2010.

Hasil wawancara dengan Iptu Pol. M. Idris di Polresta Medan tanggal 2 September 2010.

Internet :

www. Sinar Indonesia Baru.com 25 Mei 2010

24

September 2010

24 September

(4)

(5)

BAB III

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI

A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan Terhadap Jiwa Dan Tubuh

Kejahatan mutilasi biasanya terjadi tergantung kepada keadaan psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, kejahatan memutilasi merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan, dengan maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukanlah pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan menghambat penyidik untuk mengungkap identitasnya. Dari sisi ilmu kriminologi, secara definitive yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Beberapa penyebab terjadinya mutilasi disebabkan oleh kecelakaan, bisa juga merupakan faktor kesengajaan atau motif untuk melakukan tindakan jahat (kriminal), dan bisa juga oleh faktor lain-lain seperti sunat. Sebagai suatu konteks tindak kejahatan biasanya pelaku melakukan tindakan mutilasi adalah dengan tujuan untuk membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu.47

47

(6)

Alasan-alasan dilakukannya tindakan mutilasi oleh pelaku terhadap korban tentunya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu pula. pelaku menderita gangguan jiwa, sejenis sadism. Pelaku terpuaskan bila orang lain menderita, terbunuh, terpotong-potong. Ini bisa diketahui dengan hanya melihat potongan-potongan tubuh tersebut. Pada umumnya kalau motif yang dilatarbelakangi oleh motif cinta, potongannnya adalah di bagian-bagian genetalia seperti payudara, penis, dan yang lain. Namun kalau motifnya dendam, umumnya yang dimutilasi adalah bagian kepala. Kedua motif ini biasanya dilakukan dengan sengaja dan terencana yang disebabkan oleh rasa tidak puas pelaku mutilasi terhadap korban, Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi sering sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku sering sekali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.48

Adapun motif utama pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas korban sulit dilacak, apalagi pelakunya. Menghilangkan identitas dengan cara memotong-motong tubuh juga mencerminkan kepanikan pelaku. Usai melakukan pembunuhan, pelaku biasanya panik dan mencari jalan pintas untuk menyelamatkan diri. pelaku pembunuhan mutilasi juga umumnya seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan apalagi jika pelaku berpikir untuk menghilangkan kepala, jari, dan

48

(7)

tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji DNA (deoxyribonucleic acid) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA baru bisa dilakukan jika ada pembanding. ada dua kemungkinan orang melakukan mutilasi. Pertama, pelaku khawatir dirinya akan ditangkap bila meninggalkan korbannya secara utuh. Mereka berpikir bila meninggalkan jejak, terungkapnya kasus tersebut akan sangat tinggi. Karena itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku dengan sengaja melakukan mutilasi dengan harapan orang lain akan sulit mencari jejak korban maupun pelaku. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi atau media lainnya. Dengan demikian, para pelaku mengambil referensi dari berbagai ragam media massa,baik cetak maupun elektronik, yang tersebar di seluruh pelosok kota. Namun, kemungkinan yang paling besar adalah para pelaku panik dengan tindakan yang dilakukannya. Kemudian, mereka ingin aksi itu tidak diketahui banyak orang sehingga memutilasi korbannya.

B. Kajian Psikologi Kriminal Terhadap Aspek Kejiwaan Pelaku Tindak Pidana Mutilasi

Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu dari kata-kata:49

a. psyche, yang berarti Jiwa ; dan

49 Simandjuntak, B.Pengantar Krimonologi dan Patologi Sosial. (Jakarta : Tarsito,

(8)

b. logos (ology), yang berarti Ilmu Pengetahuan

Jadi secara etimologis, psikologi berarti ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

Namun ada beberapa ahli yang kurang sependapat bahwa pengertian psikologi itu benar-benar sama dengan ilmu jiwa, walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. perbedaannya terletak pada:

a. Ilmu jiwa :

- Merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan dikenal setiap orang ;

- Meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khayalan dan spekulasi mengenai jiwa

1. Woodworth

Psikologi adalah penasihat profesional dengan menggunakan peralatan ilmiah, member tes dan Konseling pada individu dalam berbagai area penyesuaian diri atau adjustment pada persoalan yang penting

2. Americal Psycological Association clinical section

Psikologi adalah penentuan kapasistas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-metode pengukuran assessment, analisa dan observasi dalam membantu penyesuaian diri individu secara tepat.

(9)

dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat, dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.

Psikologi kriminal merupakan cabang ilmu psikologi terapan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu hubungan kausalitas antara kondisi karakteristik dan deternimistik jiwa pelaku tindak pidana terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan.

C. Dampak Terjadinya Kejahatan Mutilasi Terhadap

Masyarakat

Kejahatan Mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan juga memotong-motong setiap bagian tubuh si korbannya. menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini terjadi tergantung pada keadaan Psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan,dengan maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukan lah pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya.50

Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi kerap sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan

50

(10)

kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya ,pelaku sering sekali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.

Apapun alasannya yang dikembangkan mengenai kejahatan mutilasi, seharusnya pelaku kejahatan ini dijerat dengan hukuman mati layaknya apa yang diatur dalam PASAL 340 KUHP ( tentang pembunuhan berencana), aparat penegak hukum diharapkan dapat menafsirkan dan mempersamakan kejahatan ini dengan kejahatan pembunuhan berencana walaupun dalam melakukannya setelah si korban mati duluan. mengingat bahwa pengaturan dan batasan pengertian tentang kejahatan ini tidak dijelaskan secara spesifik dan tegas didalam Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.

Dengan semakin maraknya tindak kejahatan mutilasi, timbul berbagai reaksi dari masyarakat, baik itu yang memandang positif ataupun negatif bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa saja. Kejahatan mutilasi yang semakin marak terjadi belakangan ini, Tidak hanya timbul dari dorongan kejiwaan si pelaku sendiri, tetapi juga kerap timbul dari dorongan luar seperti ingin lari dari tanggung jawab. Salah satu contohnya adalah kasus mutilasi di Brebes, dimana pelaku dari mutulasi tersebut adalah pacar korban sendiri dan diketahui bahwa korban telah hamil 4 bulan.

(11)

Bila diperhatikan kejahatan mutilasi akhir-akhir ini juga tersebar luas di media masa. Padahal jika dianalisis berdasarkan psikologi masyarakat,

masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi (meniru). Peniruan atau imitasi seperti ini merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru. Oleh karena itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif mengingat Media massa yang menampilkan kejahatan mutilasi cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas. Ini membuktikan bahwa media massa menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal. Dampak mekanisme peniruan atau imitasi ini dapat terjadi baik secara langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect).51

Dampak dari kejahatan mutilasi lainnya yaitu terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Ketegangan ini terjadi dikarenakan munculnya rasa tidak aman terhadap lingkungan pasca terjadinya suatu kejahatan mutilasi. Ketegangan yang dikarenakan rasa tidak aman ini menyebabkan krisis kepercayaan terhadap orang lain dengan kata lain seseorang akan selalu merasa curiga terhadap orang

disekitarnya, di karenakan rasa ketakutan akan hal yang sama terjadi pada

51

(12)

dirinya.sikap paranoid ini akan berdampak buruk terhadap social masyarakat dan justru akan saling apatis dan tertutup.

D. Pencegahan Kejahatan Mutilasi

Secara nyata manusia tidak mundur dari kejahatan, walaupun mereka menginsafi atau mengetahui atau untuk perlakuan itu akan dihukum. jadi sebenarnya sangatlah sulit untuk menghentikan suatu kejahatan, termasuk juga dengan mutilasi. Sebab, dimana ada masyarakat maka disitulah akan timbul suatu kejahatan, dan tidak menutup kemungkinan juga kejahatan mutilasi. Namun setidaknya kejahatan seperti mutilasi ini dapat diminimalisir dengan cara pencegahan-pencegahan tertentu.

Mereka berpendapat bahwa pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan cara:52

1) Merubah yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu. 2) mengasingkan mereka yang tak dapat di perbaiki.

3) koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan.

4) menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong kearah kejahatan.

Kaitannya dengan pencegahan kejahatan mutilasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Dari pendapat ahli diatas dapat dikemukakan bahwa untuk mencegah

52

Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada,

(13)

terjadinya suatu mutilasi, maka diperlukan suatu deteksi dini terhadap orang-orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang aneh. Selain itu pembatasan kondisi terhadap masyarakat terhadap hal-hal yang dapat berakibat terjadinya suatu pembunuhan mutilasi juga harus dilakukan.

Mengenai sistem penghukuman walaupun diakui sebagai alat yang penting untuk preventif suatu kejahatan, namun dapat dikatakan bahwa hukuman bukanlah faktor utama yang mampu untuk mencegah suatu kejahatan, termasuk juga kejahatan mutilasi. Hal ini terbukti, meskipun telah banyak tersangka pelaku mutilasi yang dihukum bahkan di pidana mati, ternyata presentase kejahatan mutilasi tetap saja meningkat dari tahun ke tahun. Mengembangkan tingkah laku melalui pendidikan, memperluas atau memperdalam tradisi, mengadakan kontak atau saling pengertian antara manusia yang mengutamakan penilaian norma-norma adalah cara yang baik untuk prevensi, dengan kata lain filterisasi diri adalah faktor utama dalam usaha preventif kejahatan mutilasi.

Untuk menghadapi masalah Crime Preventation, ketentuan-ketentuan berikut ini sebagai faktor yang perlu diperhatikan:

c. Perlu diingat bahwa menghadapi the casual offender adalah berbeda dengan occasional criminal, lain pula dengan episodic, habitual dan sebagainya. Keliru bila menciptakan suatu ketentuan umum bila menghadapi penjahat dalam tipe-tipe yang berbeda-beda itu.

(14)

oleh kaum awam tetapi mudah dipahami oleh kaum psychiatrist terutama yang menyangkut emotional dan psychotic criminal. Oleh karena itu maka pencegahan harus dimulai dari anak-anak remaja dan remaja.

e. Untuk mencapai hasil yang bermanfaat, maka pencegahan harus diarahkan pada gejala-gejala kejahatan, tetapi harus ditujukan pada penyebab yang tersembunyi dibalik perbuatan. Sebagai contohnya, ada tempat-tempat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang melatar belakangi kejahatan. Beberapa jenis tertentu dari gangguan emosionil dapat membimbing ke arah perbuatan-perbuatan mendadak yang bersifat kekerasan, bahkan sampai dengan pembunuhan yang diikuti dengan tindakan lanjutan seperti memutilasi korban.

Maka usaha-usaha prevensi itu, memerlukan pengarahan seperti:

a. Community reorganization. Yaitu mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat untuk ambil bagian dalam usaha prevensi. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah umum misalnya tidak saja mengutamakan formal curriculum tetapi perlu diarahkan pula pada character training, personality study dan sebagainya. Tugas polisi juga tidak saja menangkap dan menahan, tetapi juga ikut menjadi pembimbing dalam penanaman moral untuk usaha preventif kejahatan terutama kejahatan berat seperti pembunuhan disertai mutilasi.

(15)

kejahatan dan oleh karena itu kebutuhan kasih sayang dalam keluarga disertai dengan penanaman moral sangatlah penting perananya dalam proses pencegahan kejahatan mutilasi.

c. Gangguan emosisonal dan mental. Banyak kasus kejahatan yang berawal tekanan-tekanan emosional serta konflik-konflik yang mengarah pada perbuatan criminal.

Kesimpulan dari pendapat Cavan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggungjawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.

Masalah pokok yang ada adalah usaha untuk mengembangkan kesadaran hukum, karena masalah hukum adalah sebuah unsur utama yang menyokong pencegahan kejahatan.

(16)

BAB IV

UPAYA-UPAYA DAN KENDALA-KENDALA SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENANGGULANGI DAN MENGUNGKAP

TINDAK PIDANA MUTILASI.

A. Upaya–upaya yang dilakukan Satuan Reserse Kriminal Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana Mutilasi

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)

kebijakan penggulangan kejahatan harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau memberikan partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. 53

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Piter Hoefnagels, kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan dengan dua cara yaitu kebijakan penal (penal Policy) dan kebijakan non penal (non penal policy).54

1. Upaya Penal

Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa

53

(17)

yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkakan.55

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana. Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial walfare). Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.56

Sehubungan dengan hal ini, Ted Honderich Bependapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.

2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya tindakan keadaan yang lebih berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan.

55 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan, Pustaka Bangsa Perss, 2008), hal, 66.

(18)

3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya kerugian yang lebih kecil.57

Dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar pembunuhan dapat di basmi, dicegah atau dikurangi, ternyata merupakan hampa belaka.

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan apabila preventif atau upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan.

(19)

yang maksimal yang sesuai dengan ketentuan KUHPidana kepada pelaku pembunuhan.58

2. Upaya Non Penal

Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada KUHPidana yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan korban dalam pembuktian kasus disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan pembuktian KUHPidana.

Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan pada kasus pembunuhan yang akan diterima adalah hukuman pidana maksimal berbagai pertimbangan, juga mengaju pada pasal-pasal 338 KUHPidana. Namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dann berotientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kodusif antara lain berpudat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global.

(20)

maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal.

Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara materil dan imateril dari faktor-faktor krominoge. 59

a. Adanya suasana masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis. Sesuai dengan hakikat sumber terjadinya kriminalitas, penanggulangan kejahatan secara umum senantiasa dilakukan melalui upaya preventif dan represif, secara konsepsional penanggulangan kejahatan dirumuskan oleh Polri khususnya satuan Reserse Kriminal Poltabes Medan dengan ketentuan bahwa pola dasar penanggulangan kejahatan di Indonesia bersifat terpadu, baik dalam ingkup yang melibatkan komponen lain di luar Polri. Dengan demikian penanggulangan kejahatan melibatkan tidak saja unsur-unsur interen Polisi, tetapi juga unsur-unsur di luar Polri denngan dukungan peran aktif masyarakat.

Polri khususnya satuan Reserse Kriminal sebagai unsur utama yang paling awal dalam menghadapi kejahatan dan pelaku kejahatan, bertugas melaksanakan kegiatan penanggulangan kejahatan guna mewujudkan situasi yang nyaman dan terkendali.

Tujuan penanggulangan kejahatan secara terpadu ini yang dimaksudkan adalah kemantapan situasi kamtibmas yaitu:

b. Adanya suasana bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan dan ketakutan serta rasa kepastian dan ketaatan hukum.

59

(21)

c. Adanya suasana masyarakat yang merasakan adanya perlindungan dari segala macam bahaya.

d. Adanya kedamaian dan ketentraman lahiriah.

Upaya penanggulangan kejahatan melalui upaya preventif, polri khusunya satuan Reserse Kriminal dan aparat penegak hukum lainnya serta dukungan swakarsa masyarakat, mengusahakan untuk memperkecil ruang gerak serta kesempatan dilakukannya kejahatan. Upaya ini meliputi memberikan himbauan-himbauan kepada masyarakat mengenai kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat jangan sampai terjerumus melakukan kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat, memperkuat ibadah karena dengan ibadah yang baik bisa menghindarkan diri dari tindak kejahatan.60

B. Kendala–kendala yang di hadapi dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi

Dalam hal proses pengungkapan suatu tindak pidana pembunuhan mutilasi guna menemukan pelakunya atau tersangkanya agar dapat di jatuhi hukuman maka tidak terlepas dari kerja keras pihak kepolisian khusunya satuan Reserse Kriminal yang mana satuaan ini bertugas sebagai pemberantasan kejahatan menemui kendala-kendala atau hambatan-bambatan dalam proses pengungkapannya yang menyebabkan tidak selesainya proses pengusutan.

Pengungkapan tindak pidana apa lagi tindak pidana Pembunuhan tidak semudah yang di harapkan oleh semua pihak apa lagi pihak Kepolisian khususnya

60

(22)

satuan Reserse Kriminal dikarenakan pelaku kejahatan sudah barang tentu tidak akan sampai meninggalkan jejak/barang bukti yang nantinya akan bisa membuat terungkapnya kejahatan yang dilakukannya.

Berdasarkan hasil penelitian penulis yang di lakukan di Polresta Medan, maka yang menjadi kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan tersebut antara lain

1. Pelaku tidak tertangkap

Proses pengungkapan tindak pidana Pembunuhan Mutilasi tidaklah mudah ini membutuhkan kerja keras dari pihak kepolisian khususnya satuan reserse Kriminal dan bahkan akan menjadi terhambat, ini disebabkan tidak tertangkapnya pelaku dari peristiwa Pembunuhan tersebut, bisa jadi pelaku dari Pembunuhan tersebut telah melarikan diri dan bersembunyi keluar dari daerah dimana pelaku tersebut tinggal.

Ini disebabkan karena masih kurangnya kemampuan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan dalam menerapkan teknik-teknik penyelidikan dalam mengungkap suatu perkara pidana yang telah terjadi, maka seringkali kasus-kasus yang agak sulit pembuktianya dibiarkan begitu saja sehingga tidak dapat terungkap dengan tuntas.

(23)

Kota yang mana pelakunya bernama TP alis Jait alis Topan alis Poltak (34), penduduk jalan pelajar, lingkungan VII, kelurahan Binjai Timur, Medan Denai, yang disebut-sebut otak dari Pembunuhan Tersebut berhasil di tanggkap di Jakarta. 61

2. Kurangnya saksi yang di peroleh.

Dengan tertangkapnya pelaku Pembunuhan tesebut menunjukkan tidak hentinya pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal dalam mengejar dan menemukan Tersangka dari Pembunuhan yang terjadi demi memberikan rasa nyaman kepada masyarakat dan tegaknya hukum di Negara Indonesia.

Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk menjadi acuan dalam mengungkap tindak pidana apa lagi tindak pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal yang mana dengan saksi yang di peroleh akan sangat bisa membantu pihak kepolisian dalam mencari dan menemukan pelaku tindak pidana Pembunuhan, karena saksi adalah orang yang mengetahui atau yang menemukan telah terjadinya tindak pidana Pembunuhan.

Kurangnya saksi yang diperoleh akan menjadi kendala-kendala/hambatan-hambatan yang di hadapi oleh pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap kasus Pembunuhan, dengan kurangnya saksi yang diperoleh akan membuat pihak kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal akan bekerja lebih keras lagi dalam mencari dan mengumpulkan bukti yang mengarah kepada pelaku kasus pembunuhan tersbut.

61

(24)

Kurangnya saksi yang diperoleh disebabkan kurang cepatnya Polisi Khususnya satua Reserse Kriminal dalam mendatangi TKP, tidak menguasai teknik pencarian dan pengambilan barang bukti yang ada di TKP, tidak menguasai tekniks pembungkusan dan pengiriman barang bukti ke laboratorium criminal (labkrim) yang mengakibatkan barang bukti tersebut tidak dapat diperiksa di labkrim.

Bahkan pihak kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal cepat putus asa dalam melakukan penyelidikan, bila tidak berhasil mendapatkan informasi yang diperlukan, langsung berhenti dan tidak ditindak lanjuti hanya menunggu datangnya informasi dari masyarakat.

3. Pemanggilan

Masih adanya penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemanggilan baik terhadap tersangka maupun terhadap saksi yang tidak dilayanai sesuai waktu yang telah dicantumkan dalam surat penggilan, orang yang dipanggil dibiarkan lama menunggu bahkan sama sekali tidak dilayani atau disuruh pulang dan disuruh kembali lagi pada hari yang lain dengan seenaknya tanpa memperhatikan tenggang waktu dan kesibukan saksi, yang terkesan tidak mau tau atau organ, hal ini meyebabkan seseorang enggan untuk membantu penyidik memberikan informasi atau keterangan yang di butuhkan untuk proses pengungkapannya.

4. Penangkapan

(25)

penangkapan tanpa menggunakan surat perintah penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada, masih ditemukan adanya polisi yang salah tangkap terhadap orang yang bukan pelaku kejahatan, akibat kurang jelinya polisi atau terlalu gegabah dalam melaksanakan tugasnya.

5. Penahanan

Pihak kepolisian seringkali salah dalam melakukan penahanan adalah terlambat membuat Surat Perintah Penahanan atau perpanjangan penahanan atau terlambat memberikan tembusannya kepada keluarga tersangka, bahkan penyidik/penyidik pembantu sering melupakan tentang hak-hak tersangka yang terkait masalah penahanan, seperti misalnya tahanan tidak boleh dikunjungi keluarganya atau penasehat hukumnya tanpa asalan yang jelas, pada waktu dilakukan penahan tidak dilakukan pemeriksaan kondosi kesehatannya.

Bahkan masih adanya polisi yang memanfaatkan kewenangan penahanan terhadap tersangka digunakan untuk menekut-nakuti seseorang untuk mendapatkan materi.

6. Penyitaan.

(26)

tidak disita dan masih adanya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tidak dilengkapi dangan Surat Perintah dan Surat Izin Penyitaan.

7. Pemeriksaan

Pihak kepolisian khususnya satuan reserse kriminal masih menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka ataupun tidak dapat mengendalikan emosi karena keterangan tersangka yang berbelit-belit, masih adanya polisi yang bertindak sebagai penyidik merekayasa Berita Acara Pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan materi dari pihak-pihak yang diuntungkan , maupun untuk kepentingan tertentu, dan masih adanya penyidik yang tidak menguasai unsur-unsur pasal atau penafsiran pasal, sehingga Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat tidak memenuhi unsur-unsur pasal pidana yang diterapkan, tidak menguasai uraian kasus yang terjadi sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berbelit-belit dan membingungkan yang diperiksa, tidak mampu menerapkan keterampilan bertanya sehingga pertanyaan-pertanyaan tidak berkembang, dalam pemeriksaan masih adanya unsure menekan sehingga yang diperiksa tidak bebas atau kurang leluasa sekedar menuruti kemauan pihak kepolisian yang bertugas sebagai penyidik dan pada akhirnya penyidik tidak memperoleh keterangan yang berkembang disamping itu dalam persidangan bisa tidak diakui oleh tersangka atau saksi.

(27)

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Pada akhir penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan yang berupa inti sari dari penguraiaan skripsi ini. Kesimpulan ini juga merupakan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang di ajukan pada awal penulisan skripsi ini sekaligus merupakan hasil pengujian hipotesa yang telah dilakukan dalam pembahasan materinya. Maka dari penguraian skripsi ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana Mutilasi, diantaranya :

a. Melakukan Penyelidikan

Setelah diketahuinya suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi maka pihak kepolisian akan langsung melakukan Penyelidikan tentang tindak pidana tersebut, kegiatan penyelidikan ini dimaksudkan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti permulaan atau barang bukti yang cukup . b. Melakukan Penyidikan

(28)

pengaduan atau informasi tentang telah terjadinya kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut tidak dengan sendirinya surat perintah penyidikan dikeluarkan,

c. Melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara

Untuk mencari barang bukti yang tertinggal di Tempat Kejadian Pembunuhan, mengambil Sdik Jari Korban, mengambil Foto Korban, dan membawa korban kerumah sakit untuk dilakukan Visum. Ini dilakukan untuk mencari barang bukti mengenai kematian korban.

d. Memeriksa saksi-saksi

Tujuannya adalah memintai keterangan pada seseorang yang mengetahui/melihat peristiwa pembunuhan yang nantinya akan menjadi bukti untuk pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana Pembunuhan tersebut.

e. Melakukan Visum/Otopsi

Ini dilakukan untuk mengetahui tentang kematian korban dari tindak pidana Pembunuhan apakah di pukul dengan menggunakan bendan tumpul, ditikam menggunakan pisau, atau dicekik menggunakan tali. f. Mencari Tersangka

Ini dilakukan setelah adanya bukti-bukti yang kuat mengenai ciri-ciri dari tersangka yang melekukan tindak pidana Pembunuhan tersebut. g. Penangkapan

(29)

penangkapan. penangkapan ini dilakukan terhadap orang yang diduga keras melakukan kejahatan berdasarkan bukti-bukti yang telah mengarah kepada tersangka.

h. Penyelesain dan penyerahan berkas perkara

Ini dilakukan setelah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi serta kelengkapan bukti yang diperoleh, unsur-unsur tindak pidana.

Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahaan tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum.

2. Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi sebagai berikut ;

Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Intensitas tindak pidana mutilasi mengalami peningkatan baik dalam bentuk latar belakang, motif maupun bentuk, yang keseluruhannya bertujuan untuk menghilangkan jejak pelaku terhadap terjadinya suatu peristiwa pidana pembunuhan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP

(30)

seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti mayat tidak diketahui identitasnya.

3. Bahwa upaya-upaya yang dapat diambil dalam menanggulangi tindak pidana Mutilasi. Adalah sebagai berikut :

- Upaya Penal

Dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik laporan masyarakat maupun temuan Kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelu menjadi sadar dan jera untuk berbuat kembali.

- Upaya Non Penal

Sesuai dengan hakikat sumber terjadinya kriminsalitas penanggulangan kejahatan secara umum senantiasa dilakukan melalui upaya preventif dan refresif

B. Saran

Adapun yang menjadi saran penulis adalah :

1. Perlunya penyuluhan hukum bagi masyarakat awam untuk mengetahui perbuatan yang dilarang atau tidak oleh hukum sehingga timbul kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum dalam rangka menciptakan budaya hukum yang baik di kota medan sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana Pembunuhan.

(31)

masyarakatnekonomi lemah sebagai kelompok masyarakat terbanyak di kotamadya Medan.

(32)

BAB II

PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA MUTILASI

A. Peranan dan Tugas Satuan Reserse Kriminal sebagai Polisi Republik Indonesia.

Istilah Polisi bersasal dari kata “Politea” atau Negara kota, di mana pada zaman yunani kuno manusia hidup berkelompok-kelompok, kelompok-kelompok manusia tersebut kemudian membentuk suatu himpunan, himpunan dari kelompok-kelompok manusia inilah yang merupakan kota (polis). Agar kehidupan masyarakat di kota tersebut dapat tertata maka dibuatlah norma-norma. Norma-norma tersebut ditegakkan melalui suatu kekuatan, kekuatan inilah yang dinamakan kepolisian.33

Negara Republik Indonesia adalah Negara bekas jajahan Belanda termaksuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang masalah polisi banyak diciptakan oleh Belanda. Hukum Kepolisian di Indonesia mengikuti

Adapun pengertian polisi menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”

33

Yesmil Anwar , SH., M.SI. Dan Andang, SH., M.H. Sistem Peradilan Pidana,

(33)

paham Belanda, yaitu Politea Recht, yang berarti sejumlah peraturan hukum yang mengatur hal polisi, baik segala tugas, fungsi maupun organ. Di dalam hukum Kepolisian terdapat dua arti, yaitu hukum Kepolisian dalam arti Materil adalah hukum yang mengatur polisi sebagai fungsi dan hukum Kepolisian dalam dalam arti Formal adalah hukum yang mengatur polisi sebagai organ.34

Istilah hukum Kepolisian di Indonesia menurut Tata Bahasa “Istilah hukum Kepolisian adalah istilah majemuk yang terdiri atas kata Hukum dan Kepolisian. Menurut kamus WJS POERWADINATA kata Kepolisian berarti urusan polisi atau segala sesuatu yang bertalian dengan polisi. Jadi menurut arti bahasa hukum Kepolisian adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan polisi”35

Menurut Warsito Hadi Utomo, Fungsi dan Peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari masa kemasa selalu menjadi bahan perbincangan berbagasi kalangan, mulai dari praktisi hukum maupun akademis bahkan Sejak ditetapkannya Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indoenesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan parana Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelambagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

34

Ibid, hal 155.

35

(34)

masyarakat kebanyakan pada umumnya mereka berusaha secara positif mengupas kedudukan, fungsi dan peranan Kepolisian tersebut. Upaya pengupasan masalah kepolisian itu dikarenakan adanya faktor kecintaan dari berbagai pihak kepada lembaga kepolisian dan ditaruhnya harapan yang begitu besar, agar fungsinya sebagai aparat penegak hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.36

Seiring dengan perubahan-perubahan sesuai dengan kebijakan polisi, maka citra kepolisian terus melekat, karena baik positif maupun negatif, sebagai pelaksana fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan tugas memrangai tingkah laku yang bervariatif atas ketertiban yang terjadi di masyarakat. Dinamika masyarakat yang terus berubah dengan cepat, diiringi dengan perubahan sosial. Budaya dan teknologi, sementara di sisi lain perkembangan tingkat kesejahteraan juga semakin kompleks menuntut tinggi peranan Kepolisian untuk mengatasi berbagai pelanggaran hukum yang terjadi.37

Mengenai permasalahan aparat kepolisian di dalam penegakan hukum ditengah masyarakat gunan terciptanya kesan positif dari masyarakat terhadap aparat Kepolisian, menurut Soerjono Soekanto, “ kalau seorang anggota angkatan perang harus senantiasa siap tempur dan memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota polisi harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan gangguan terhadap keamanan. Masalah-masalah tersebut tidak hanya terbatas pada kejahatan dan pelanggaran

36

(35)

belaka, mungkin dia harus menolong orang yang sudah tua untuk menyebrang jalan raya yang padat dengan kendaraan bermotor, atau dia harus melerai suami istri yang sedang bertengkar, atau dia harus menolong orang yang terluka karena kasus tabrak lari dan lain sebagainya. Alangkah banyaknya tugas-tugas polisi, akan tetapi warga masyarakat memang mempunyai harapan yang demikian, warga masyarakat menghendaki polisi-polisi senantiasa “siap pakai” untuk melindungi masyarakat.

Oleh karena masyarakat mengharapkan bahwa polisi akan dapat melindunginya, maka dengan sendirinya polisi harus mengenal lingkungan tempat dia bertugas dengan baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik-baiknya tidak mungkin terjadi kalau polisi tidak manyatu dengan lingkungan tersebut. Keadaan akan bertambah buruk lagi apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk mengenal dan memahami lingkungan tersebut, karena terlalu berpegang pada kekuasaan formal atau kekuasaan fisik belaka.

Di dalam situasi-situasi tertentu, polisi mau tidak mau harus melaksanakan peranan yang aktual yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, misalnya penerapan kekerasan, akan tetapi di dalam keadaan demikian perlu diteliti apakah kekerasan tersebut memang berasal dari polisi atau merupakan suatu akibat dari lingkungan.

(36)

pernah dikenal suatu bentuk negara “Politea”, pemisahan Polri dari ABRI pada tanggal 1 April 1999 belum menjadi jaminan untuk terwujudnya Negara berdasarkan kedaulatan rakyat, apabila proses perubahannya akan tersesat pada pola Negara kepolisian seperti pada masa lampau yang diidentikan dengan kekuasaan tirani.38

Tugas dan kewenangan Polri di bidang “administration of criminal justice” sebagai bagian dari ujung tombak peradilan pidana perlu ditumbuhkan kemahiran menghadapi perilaku kriminal berdasarkan doktrin “the criminal character of behavior”. Pengembangan tugas-tugas Polisi yang bersifat prospektif inilah yang masih mengalami keracunan dan bahkan tampa disadari bertentangan dengan standar serta asas-asas internasional, dengan telah selesainya rancangan Undang-unadang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan disahkannya RUU tesebut menjadi Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan revisi dari undang-undang Nomor 27 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka pada pasca pemisahan TNI dan dalam secara independen berada dibahwa Presiden RI dan tidak lagi berada dibawah Panglima ABRI. 39

38

Ibid hal, 161.

(37)

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. b. Menegakkan hukum.

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 tersebut di atas maka dapat kita ketahui bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang meresahkan masyarakat merupakan salah satu tugas kepolisian dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyara kat.

Adapun devriasi atau penjabaran tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 14 adalah :

(1). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas.

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dan menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan.

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum .

f. Melakukan kordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

g. Melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semuan tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya .

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian .

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, warga masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia .

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara waktu sebelum di tanganni oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang .

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian serta .

(38)

(2).Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ayat. (1) huruf f di atur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.40

a. Menerima laporan dan atau pengaduan.

(1). Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 tersebut diatas, maka dalam Pasal 15 ayat 1 diuraikan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum.

c. Mencegah dan menanggulangi tumbunya penyakit masyarakat.

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian.

f. Melaksanakan pemerikasaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. Melakukan tindakan pertema di tempat kejadian.

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainya serta memotret seseorang. i. Mencari keterangan dan barang bukti.

j. Menyelenggarakan Pusat InformasiKriminal Nasional.

k. Mengeluarkan surat ijin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat.

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serat kegiatan masyarakat.

m.Menerima dan menyimpan barang temuan untuk semnetara waktu. (2). Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang :

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan mesyarakat lainnya.

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. c. Memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor.

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.

f. Memberikan izin operasiaonal dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan .

g. Memberikan petunjuk, mendidik,, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.

h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional.

40

(39)

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait.

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional.

k. Melaksanakan kewenangan lain yang tremasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.41

Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) menetapkan, manyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan teknis Kepolisian, sebagaimana tercantum dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tantang polri, Kopolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas : penyelenggaraan kegiatan perasional dan penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.42

Jika dilihat dari alasan keberadaannya tugas polri memiliki dua aspek, pertama aspek refresif yakni berupa penindakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum, jadi polisi berfungsi sebagai seorang penegak hukum, sedangakan aspek yang kedua adalah tugas preventif yakni meliputi tugas perlindungan dan pencegahan terjadinya suatu kejahatan atau pelanggaran, dan untuk melaksanakan tugas keduanya itu terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan yang lebih serius seperti huru hara, pemberontakan memerlukan kemampuan pemukul sehingga dibutuhkan keterampilan teknik dan taktik kemiliteran seperti kemampuan yang dimiliki pasukan Brimob..43

41

Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No.2 Tahun 2002

42

Op.cit hal, 163.

43

(40)

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana tanggal 31 Desember 1981 lembaran Negara Republik Indonesia 1981 nomor 76, maka Kepolisian yang dimaksud diatas dan dijabarkan oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu.

Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, anggota Polri yang didalam hal ini berkualifikasi sebagai penyidik.

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang adanya tindak pidana. 2. Mencari keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

1. Penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

(41)

Sehingga peran dan tugas satuan Reserse Kriminal sebagai Polisi Republik Indonesia adalah sebagai bagian untuk melakukan proses Penyelidikan dan Penyidikannya guna membuat terang suatu tindak Pidana yang terjadi didalam masyarakat. Dan juga menjaga ketertiban, keamanan, kedamaian, ketenangan, kesehatan umum masyarakat, usaha-usaha ini juga bisa dilakukan berupa patroli, penyuluhan, penerangan-penerangan pendidikan, melakukan bantuan atau pertolongan dan sebagainya.

Semuanya dijalankan oleh Kepolisian demi memberikan rasa nyaman kepada masyarakat dan sekaligus untuk mencegah tidak terjadinya suatu peristiwa tindak pidana.

B. Peranan dan Tugas Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.

Pembunuhan mutilasi merupakan kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain dengan memotong-motong tubuh korban dikarenakan adanya rasa tidak puas apabila melihat korban tidak menderita, dalam melaksanakan aksinya pelaku menggunakan berbagai cara dan teknik yang dijalankan untuk menghabisi korbanya baik dipukul menggunakan benda tumpul, dicekik, maupun ditusuk menggunakan benda tajam seperti pisau, sampai korbannya tidak berdaya lagi sampai akhirnya mati, setelah mati pelaku langsung memutilasi korban untuk menghilangkan jejaknya.44

44

(42)

Dalam kasus pembunuhan mutilasi, tersangka berusaha agar perbuatannya jangan sampai diketahui oleh orang lain apa lagi janga n sampai diketahui oleh pihak Kepolisian, tersangka akan menghilangkan jejak perbuatannya dengan memotong-motong tubuh korban yang memudahkannya untuk menghilangkan jejak lalu membuang atau mengubur bagian-bagian korban yang telah di mutilasi ini untuk tujuan agar tidak bisa diketahui bahkan jangan sampai terungkap tentang perbuatannya yang melakukan pembunuhan.

Dengan adanya peristiwa tindak Pidana Pembunuhan mutilasi maka diharapkan peran dan tugas dari pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkapnya sehingga pelakunya bisa tertangkap sehingga bisa memberikan rasa aman bagi masyarakat walaupun dalam pengungkapannya tidak mudah dilakukan oleh pihak Kepolisian.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan Pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam menemukan dan mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan Mutilasi adalah :

1. Kegiatan Penyelidikan

(43)

oleh Penyelidikan Reserse. Yang berwenang untuk melakukan penyelidikan reserse adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang khususnya ditugaskan untuk itu. Yang menjadi sasaran penyelidikan adalah : orang, Benda/barang, Tempat (termasuk rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya). Penyelidikan reserse dilaukan secara terbuka sepanjang hal itu dapat menghasilkan keterangan-keterangan yang diperlukan dan dilakukan secara tertutup apabila kesulitan mendapatkannya.

Pertimbangan dilakukan penyelidik reserse berbagai bentuk laporan yang diterima Reserse, laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan di TKP, Berita Acara Pemeriksaan tersangka atau saksi. Penyelidikan Reserse dapat dilakukan untuk : mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menetukan suatu peristiwa yang dilaporkan atau diadukan, merupakan tindak pidana atau bukan, melengkapi keterangan yang telah diperoleh agar menjadi jelas sebelum dapat dilakukan penindakan.

2. Kegiatan Penyidikan

(44)

melakukan penyidikan maka penyidik akan mulai melakukan tugasnya sesuai prosedur yang berlaku.

3. Melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara.

Dalam terjadinya tindak Pidana Pembunuhan mutilasi yang pertama kali yang harus dilakukan adalah melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dimana peristiwa itu terjadi, karena TKP adalah merupakan sumber informasi yang sangat mementukan dalam pengungkapan sebuah perkara seperti mengambil Sidik Jari Korban, mengambil Foto Korban, membawa Korban Kerumah Sakit Untuk di Visum, membawa barang-barang yang ditemukan di TKP yang terkait dengan tindak pidana Pembunuhan mutilasi tersebut untuk diperiksa apakah ada sidik jari tersangka menempel di benda yang ditemukan tersebut.

Dengan dilakukannya Olah TKP tersebut untuk tujuan mencari dan mengumpulkan barang bukti yang tertinggal dan dengan barang bukti itu akan menjadi petunjuk bagi pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal untuk mengungkap terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan.

Dan apa bila Tempat Kejadian Perkara tidak seteril lagi untuk dilakukannya Olah TKP maka akan sulit bagi Pihak Kepolisian khususnya satuan reserse kriminal untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti yang nantinya akan membuat proses Penyidikan akan menjadi terhambat.

4. Pemeriksaan Saksi – saksi.

(45)

suatu tindak pidana, tersebut yang nantinya akan menambah kuat bagi Pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap Pembunuhan tersebut.

Dan yang berwenang mengeluarkan pemeriksaan saksi adalah penyidik atau penyidik pembantu, pemeriksaan dilakukan atas dasar : laporan polisi, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu, berita acara pemeriksaan di TKP. Keterangan yang dikemukakan oleh saksi akan dicatat dengan seteliti-telitinya oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan.

5. Melakukan Visum/Otopsi

(46)

tentang peristiwa Pembunuhan tersebut, dikarenakan dalam kasus pembunuhan mutilasi tidak mudah untuk mengidentifikasinya tanpa dilakukan visum/otopsi.

6. Mencari Tersangka.

Setelah ditemukannya petunjuk mengenai terjadinya tindak pidana yang terjadi bedasarkan hasil temuan di Tempat Kejadian Perkara dan juga bardasakan hasil laporan saksi-saksi mengenai ciri-ciri dari tersangka yang telah disimpulkan maka pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal akan mencari dan menemukan tersangka dari pelaku tindak pidana Pembunuhan tersebut sesuai dari hasil laporan dan juga bukti-bukti yang telah lengkap.

7. Penangkapan

Setelah dilakukannya penyelidikan terhadap peristiwa Pidana yang terjdi dan telah di penuhinya bukti-bukti yang mengarah kepada tersangka maka akan dilakukan penangkapan, penangkapan dilakukan oleh penyidik/peyidik pembantu terhadap seseorang yang telah diduga keras melakukan tindak pidana. Penangkapan dilengkapi dengan Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan.

Petugas yang melakukan penangkapan harus menunjukkan Surat Perintah Penangkapan dan atau identitas kepada yang ditangkap atau keluarganya, setelah dilakukan penangkapan harus dibuat Berita Acara Penangkapan yang ditanda tangani oleh petugas dan orang yang ditangkap. Dan alasan penangkapan terhadap tersangka apabila diduga keras melakukan tindakan pidana dan atas dugaan yang kuat tadi harus didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.

(47)

Penyelesaian dan penyerahaan Berkas Perkara merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilukukan oleh penyidik/penyidi pembantu. Pertimbangan penyelesaian dan penyerahaan berkas perkara hasil pemeriksaan tersangka dan saksi serta kelengkapan bukti yang diperoleh , unsur-unsur tindak pidana.

Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari, pembuatan resume, pembuatan resume merupakan kegiatan penyidik untuk menyusun ikhtisar dan kesimpulan berdasarkan hasil penyidikan suatu tindak pidana yang terjadi. Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum.

Itulah yang menjadi Peran dan Tugas dari satuan Reserse Kriminal dalam mencari dan mengungkap tindak pidana Pembunuhan sehingga dengan demikian akan terungkap siapa yang melakukan tindak pidana Pembunuhan tersebut sehingga pelakunya dapat dijatuhi hukuman yang sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana.45

Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice) terdapat beberapa komponen fungsi yang terdiri dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan yang terakhir adalah lembaga pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para pelaku kejahatan. Kesemua komponen ini berkerja secara bersama-sama,

45

(48)

terpadu usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu menaggulangi kejahatan. Tetapi dalam kenyataannya yang sangat berperan besar dalam mengungkap, mencari dan menemukan kasus kejahatan pembunuhan adalah pihak kepolisian, dikarenakan pihak kepolisianlah yang menerima dan memperoses terlebih dahulu segala laporan mengenai kejahatan pembunuhan yang terjadi di masyarakat.

Dalam mengungkap kejahatan pembunuhan mutilasi di kota Medan pihak kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal di Polresta Medan memiliki peranan yang sangat penting. Perlu di ketahui struktur organisasi di Polresta Medan khususnya di Bidang Sat Reskrim Polresta Medan. Sat Reskrim dipimpin oleh Kasat Reskrim. Sat Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) unit yaitu :

1. Unit Reskrim Umum (Resum) 2. Unit Reskrim Ekonomi (Resek) 3. Unit Reskrim Judi Sila

4. Unit Reskrim Jahtanras 5. Unit Reskrim Rannor 6. Unit Reskrim Tipiter

(49)

Dalam melaksanakan fungsi Reserse (Penyidikan) polri selalu

memperhatikan asas-asas yang panyidikan tindak pidana yang menyangkut hak asasi manusi :

1. Praduga tak bersalah (presumption of innocence) bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidaj bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Persamaan dimuka hukum, (equality before the law)

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan.

3. Hak pemberian bantuan/penasehat hukum

Setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semat-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan.

4. Sebelum dimulainya pemeriksaan kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkaranya itu wajib didampingi penasehat hukum.

(50)

6. Penangkapan, penahanan, pengeledahaan dan penyitaan harus dengan pentintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

7. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undangdan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian.

8. Penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya diseluruh Indonesia.46

46

(51)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.1

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi Mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

1

(52)

Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digologkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku.

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang yang dinilai serta mendapat reaksi yang yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat begitu juga dengan kejahatan mutilasi.

Tindak pidana mutilasi (human cutting body) merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan bagian tubuh tertentu. Dalam hal lain mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi yaitu, pemotongan bagian tubuh tertentu dalam hal kepentingan medis.

(53)

tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan female genital mutilation (FGM), merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

Maraknya modus mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor di samping untuk menghilangkan jejak, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku

(54)

dalam Pengungkapannya sebab penbunuhan yang dilakukan secara mutilasi atau dengan memotong-motong korbanya sangat susah untuk di lakukan pengungkapan di karenakan kondisi korban yang rusak dan banyaknya anggota tubuh yang hilang, ini membutuhkan kerja keras dari pihak kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal, jadi dengan Keberadaan institusi Kepolisian dalam kehidupan masyarakat harus dapat mewujudkan hukum dalam kenyataan, menjamin kepastian hukum, dan keadilan, sehingga memegang peranan penting dalam mewujudkan Negara hukum.2

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya Baik buruknya citra suatu Negara hukum sebahagian turut ditentukan oleh kinerja Kepolisian negaranya. Kebutuhan pokok setiap manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga Negara adalah terjaminnya kesejahteraan dan keamanan hidupnya. Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama yang mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradad berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada dasarnya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 sebagai berikut :

2

(55)

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

Fungsi kepolisian merupakan bagian dari suatu fungsi pemerintahan Negara dibidang penegaka hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum, kepolisian sebagai integral fungsi pemerintah negara, ternyata fungsi tesebut memiliki takaran yang begitu luas, tidak sekedar aspek refresif, dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana saja, tapi juga mencakup aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang begitu melekat pada fungsi utama hukum administratif dan bukan kopetensi pengadilan.3

Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pihak Polri khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mencari dan menemukan para pelaku kejahatan, serta memberikan rasa aman bagi setiap warga negara dan mencegah agar tidak terjadi Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat sudah seharusnya pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal mewujudkan rasa aman tersebut. Dalam hal mengungkap tindak pidana pembunuhan diperlukan kerja keras dari pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mengidentifikasi korban agar menemukan siapa yang menjadi otak pelaku pembunuhan tersebut dan segera untuk menghukum para pelaku pembunuhan tersebut.

3

(56)

lagi kejahatan ini sesuai dengan apa yang menjadi cita – cita Pihak kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dan sudah diatur dalam Undang – undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

melatar belakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai motif tindak pidana mutilasi dari segi penyimpangan perilaku seksual apakah antara satu sama lain memiliki keterkaitan yang erat, dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal dalam meneliti aspek-aspek kejiwaan pelaku serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelaku, serta bagaimana peranan pemeriksaan psikologis sebagai pembuktian unsur bersalah sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa

Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul : PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA MUTILASI (STUDI LAPANGAN DI POLRESTA MEDAN)

B. Perumusan Masalah

Dari judul skripsi di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Peranan Tugas Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak pidana Mutilasi.

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi.

(57)

C. Tujuan Penulisan

Yang menjadi tujuan Penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Peranan dan Tugas Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menjadi Penyebab Tindak Pidana Mutilasi di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui Upaya-upaya dari Satuan Reserse Kriminal untuk Menanggulangi Tindak Pidana Mutilasi.

D. Manfaat Penelitian

Penulisan Skripsi ini kiranya dapat memberi manfaat kepada pembaca baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis, yaitu untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis, diharapkan datar memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat pada umumnya. Tentang peranan Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan.

E. Keaslian Penulisan

(58)

masa baik cetak maupun elektronika. Selanjutnya dari penelusuran ke perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi.

Apabila dikemudian hari ternyata ada skripsi yang sama baik judul maupun isi keseluruhan maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.4

Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni Straf, baar dan feit, Straf diterjemahkan dengan hukum dan pidana. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Maka secara sederhana, strafbaar feit dapat diartikan sebagai suatu tindakan, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan yang dapat dihukum atau dipidana.5

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari hukum

4

(59)

istilah strafbaar feit adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan pidana.6

Menurut Wirjono Prodjodikoro, indak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.7

Menurut Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakukan orang

(menselijke gendraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.8

Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefenisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.9

<

Referensi

Dokumen terkait

Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan UMTS dan terdapat 4 operator yang menggunakan frekuensi ini dengan 2 diantaranya memiliki lebar pita 15 MHz atau 3

(b) Spektra protoporphyrin IX menggunakan metode ultrasonik pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm.

Tujuan Pembelajaran : Dengan model pembelajaran pemecahan masalah sosial siswa dapat menentukan sikap yang tepat terhadap keputusan bersama yang sudah ditetapkan di

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris modal kerja, tingkat perputaran piutang dan perputaran

LAPORAN PUBLIKASI (BULANAN)/CONDENSED FINANCIAL STATEMENT (MONTHLY) LABA RUGI DAN PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN.. PT BANK DANAMON INDONESIA, Tbk Jl Prof DR Satrio Kav

(1) Kontraktor wajib menyampaikan Laporan Realisasi Ekspor atas barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang diberikan pembebasan bea masuk dan tidak

Kereta Api Indonesia (persero) DAOP IX Jember dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diterima pelanggan kereta api Sritanjung kelas ekonomi AC adalah

[r]